fluctuius

i leave my thoughts here.

06.03 PM — 6 Hours till Doomsday.

Seluruh koneksi internet, hingga sinyal telepon semua lenyap. Dunia dipaksa kembali pada zaman seluruhnya belum bisa ia genggam dengan kedua tangannya.

Ia memeluk lututnya dan sembunyikan wajahnya di sana.

Mulutnya rapalkan satu kalimat berulang. Menunggu yang memberi kasih untuk datang membuainya dalam 6 jam terakhirnya di dunia.

“He will hold me.”

“zu..., ini gimana kita bopong iki-nya ke kamar ya....”

bisikan nelangsa itu membuat zefirino mau tidak mau terkikik geli sembari beranjak dari sofa ruang tengah.

“bangunin aja, kak.”

cemberut adalah yang didapatkan oleh zefirino sebagai jawaban, bahwa yang paling tua di antara mereka enggan untuk melakukannya. paham betul zefirino mengapa hal tersebut tidak ingin dilakukan oleh yang lebih tua.

“kasian, ah. dia lama banget tadi rapatnya, pasti capek.”

zefirino tersenyum ketika ucapan tersebut mengudara. soleil dan seribu kebaikannya adalah satu dari banyaknya hal-hal baik tentang laki-laki tersebut. yang buat ia dan nicholas tergulung dalam entah ombak cinta bagian mana yang membuat keduanya sepakat mengajak yang lebih tua untuk saling bagi afeksi dalam hubungan mereka.

senyuman di wajah zefirino semakin melebar ketika soleil beranjak masuk ke dalam kamar tidur mereka bertiga, kemudian kembali ke ruang tengah dengan selimut tebal dalam pelukannya, membuat dirinya yang menyeret benda tersebut tenggelam karenanya. hampir membuat zefirino tertawa kalau saja soleil tidak buka suara lebih dulu.

“yasudah, malam ini kita tidur di sofa aja,” cengirnya dengan wajah mengantuk. “biar iki di tengah yaa,” ujarnya, kemudian membentangkan selimut untuk menutupi tubuh nicholas dan juga mereka berdua yang sama-sama mengambil tempat di kedua sisi yang paling muda di antara mereka.

“kakak, maaf ya aku sama iki hari ini iseng,” ujarnya, menguap di ujung kalimatnya setelah menyamankan diri di sisi sebelah kiri.

“tau aku mah.” soleil tertawa, “makanya aku balas pakai nonton pretty woman malam ini.”

“enggak seruuuu ah, jahilin kamu mah dijahilin balik.”

zefirino tersenyum mendengar tawa pelan soleil.

satu yang menyenangkan dari hubungan yang diisi oleh tiga orang ini adalah, yang paling tua di antara mereka selalu bisa mengimbangi setiap jahil menyenangkan yang dilakukan oleh yang lebih muda, tetapi juga akan menegur dengan baik-baik ketika ada hal-hal yang melewati batas—tanpa menuding satupun di antara mereka.

soleil tidak pernah bersikap merasa paling dewasa walau secara teknis, ia memang yang paling tua di antara mereka bertiga. alih-alih, ia mengambil fakta tersebut untuk berperan di dalam hubungan mereka seperti bagaimana peran cahaya begitu penting untuk bumi.

“tapi aku juga tau kamu enggak iseng soal hari jelekmu tadi—” jeda oleh kuapan yang lebih tua mengudara sebelum ia melanjutkan, “—jadi walau tadi kamu sama iki juga enggak iseng, i would let you eat those ice cream and chocolates,” ujarnya.

zefirino mengulas senyuman lebar di wajahnya.

di pertama kali ia menyadari bahwa perasaannya pada soleil meroket jauh dari sekadar kagum pada kakak tingkat, hati dan otaknya kalang kabut coba menyelesaikannya dengan logika, berusaha singkirkan probabilitas bahwa ia hampir mencurangi apa yang sudah ia miliki dengan nicholas saat itu. namun, ketika ia dan nicholas sampai pada pembicaraan itu, baru ia paham bahwa mereka berdua hanya akan tergulung makin jauh dalam hal-hal tidak pasti dan berpotensi kehilangan soleil (yang bahkan belum dimiliki saat itu), sehingga ketika soleil diajak bicara oleh mereka pertama kalinya tentang hal tersebut, jawaban-jawaban dari yang lebih tua mampu sentil otak dan bahkan hati keduanya untuk bekerja lebih baik.

(“kalau itu yang diinginkan hati kalian, aku mau untuk berada di antara kalian.” soleil tersenyum, kemudian mengarahkan satu telunjuknya ke pelipisnha sendiri, “aku lebih percaya soal hati, daripada logika, kalau diminta bicara soal cinta.”)

“aku sayang kakak selalu,” ujar zefirino, akhirnya, dengan kuapan di ujung kalimatnya, tanpa melihat ke arah soleil yang berada di sisi lain tubuh nicholas.

namun, ketika ia akhirnya memejamkan mata dengan pemandangan terakhir adalah credit scene dari film 'pretty woman', ia tahu soleil tersenyum di ujung sana setelah menjawab pernyataannya tadi.

(“karena logika akan selalu bisa dibohongi, tapi enggak dengan hati. the heart always know what it wants.”)

“aku juga sayang kamu dan nicholas selalu.”

(“do you want me or not?”)

“oh hei, kamu sudah di sini?”

sunoo berdiri di tengah-tengah ruangan kosong berwarna putih, headspace dalam mimpi miliknya yang nyaman, ia beranjak menuju salah satu dinding dari ruangan putih itu dan beringsut untuk duduk bersandar di sana.

“aku tidur lebih awal, hari ini lumayan capek,” ujar lawan bicaranya. “gimana harimu?” tanyanya setelah memberi jeda.

sunoo memainkan jemari-jemari tangannya di atas pangkuan, berdengung sebelum menjawab, “biasa saja.” ia memperhatikan kuku-kuku tangannya dan melanjutkan, “tapi hari ini tuh aneh buat aku.”

lama tidak ada jawaban dari yang lain, walau sunoo tidak bisa melihat orang tersebut, ia tahu bahwa orang itu masih ada di ruangan milik mereka ini—bukan hanya hari ini, tetapi sejak 3 tahun belakangan sejak sunoo menginjak usianya yang ke-19.

“aneh bagaimana?”

mungkin akan terdengar tidak masuk akal, apabila sunoo harus menjelaskan bahwa ia sering bertukar cerita dengan seseorang yang bahkan belum pernah ditemuinya. hanya melalui sebuah ruangan yang terbentuk karena keinginan dan kebutuhan mereka sebagai pasangan jiwa.

“pernah enggak kamu melakukan sesuatu yang…, bikin kamu bingung? bukan bingung karena kamu enggak tahu gitu, tapi karena kamu merasa ada sesuatu yang enggak semestinya terjadi, tapi tetap terjadi ke kamu, gitu.”

“eh…. enggak pernah, sih,” jawab lawan bicaranya, “tapi aku paham maksudnya, kok, hari ini juga aku merasa aneh, tapi aneh dalam maksud yang baik.”

“kenapa bisa seperti itu?”

apabila banyak orang yang merasa bahwa soulmate merupakan sebuah kutukan karena mereka harus terikat dengan orang yang menjadi pasangan jiwa mereka. maka, sunoo merasa beruntung karena selama hidupnya, baru kali ini ia mendapatkan tempat bercerita yang rasa nyamannya tidak mampu ia deskripsikan.

sudah banyak cerita yang mereka bagikan dalam ruangan ini. walaupun saat pertama kali terasa canggung, apalagi suasana ruangan yang terkesan mencekam di kali pertama mereka menginjakkan kaki di sana—sebuah ruangan putih kosong—betulan kosong di mana hanya ada dirinya sendiri di sana dengan kebingungan dan segala keterkejutan pada headspace miliknya ini.

akan tetapi, setiap cerita tersebut akan bertemu dengan tempatnya untuk diberi penenang, validasi, dan nasihat-nasihat yang membuatnya mampu melanjutkan langkah-langkahnya. bahkan ketika di hari terburuknya, ketika untuk bicara pun tidak sanggup, sunoo akan membiarkan pasangan jiwanya bernyanyi untuknya, menenangkan pikirannya dan mengantarkannya pada suasana hati yang lebih baik.

“hari ini capek,” jujurnya, “tapi aku tadi sore baru mengalami hal yang kataku aneh tadi, tapi enggak mengganggu sama sekali dan aku merasa…, senang? entahlah.”

sunoo tersenyum, ia bisa merasakan apa yang dirasakan pasangan jiwanya sekarang. banyak emosi dan perasaan yang ia bagikan satu sama lain dengan pasangan jiwanya tersebut, membuatnya turut dilingkupi suasana-suasana tersebut tanpa bendungan.

“sounds like you're in a good mood.”

“iya sepertinya.”

dan dengan begitu, gelenyar yang sedari tadi merayapi tubuhnya perlahan meluruh dan hilang, membuat tubuhnya menjadi lebih rileks.

“kayaknya menyenangkan kalau kita bisa bersama di dunia nyata, ya?”

hening merayapi perlahan. ujaran lawan bicaranya itu terdengar seperti ide bagus. tentu setiap pasangan jiwa yang menerima kehadiran satu sama lain pasti sangat ingin bertemu—agar bisa saling mengasihi tanpa harus pergi ke alam mimpi mereka terlebih dahulu.

“iya, tentu saja bakal menyenangkan.”

sunoo menarik sudut bibirnya memaksakan sebuah senyuman, “pasti bakal lebih banyak cerita yang bisa kita bagi kalau kita bersama-sama kan?” dan tanpa melihat pun ia tahu bahwa pasangan jiwanya tengah mengangguk setuju dengan ucapannya.

hening di antara keduanya masih berada dalam atmosfir yang sama. sebab tidak hanya satu atau dua kali saja percakapan ini terjadi di dalam headspace mereka.

andai-andai milik mereka ini seringkali diujarkan, entah karena memang menginginkan, entah karena bercanda, entah karena menyadari bahwa hal tersebut tidak mungkin untuk terjadi pada mereka.

sebab setelahnya salah satu dari mereka akan berujar satu hal yang mereka tahu pasti akan selalu memisahkan mereka. sebab norma yang berjalan tidak akan membiarkan mereka untuk saling mengasihi sebagaimana manusia mengasihi. sebab mereka adalah sama di mata dunia.

“tapi sepertinya dunia enggak bakal sebaik itu buat kita, 'kan?”

“oh? sudah di sini?”

sunoo tersenyum kikuk ketika ia menoleh dan mendapati seseorang yang tidak ia kenal menegurnya.

“iya,” jawab sunoo, “betul kan ada briefing buat pengisi acara diesna kampus…?” tanyanya dengan suara yang berangsur pelan di ujung kalimatnya.

lawan bicaranya mengangguk dengan senyuman tipis di wajahnya, “betul, kok. maaf ya kayaknya bakal agak ngaret sedikit, soalnya masih nunggu ketua divisi acaranya sama yang lain juga.”

sunoo mengangguk paham, “enggak masalah.”

senyuman tipis masih betah berada di wajah lawan bicaranya, sebelum kemudian sirna ketika ia ingin buka suara lagi—

“sunoo!”

—yang dibatalkan ketika seseorang memanggil namanya.

sunoo mengalihkan atensinya dan tersenyum seraya melambaikan tangan, “kak kai!”

yang disapa melambaikan tangan pula sebagai balasan dan memberikan senyuman lebar ketika ia sudah berada di dekat sunoo dan satu orang lain yang mengajak sunoo bicara tadi.

“jadi pengisi acara juga, kak?”

anggukan kakak tingkatnya yang akrab disapa sebagai kai itu membuatnya bertanya lagi, “band ya? sama kak jongseong dan yang lain?”

“seratus!” angguk kai semangat, kemudian mengambil tempat di samping sunoo yang duduk di kursi panjang yang terletak di depan ruang sekretariat bem.

sunoo kembali beralih kepada lawan bicaranya sebelum ini, tersenyum apologetik ketika sadar ia tadi mengabaikannya untuk beberapa waktu.

“masuk dulu aja ya nanti kalau mau tunggu di dalam,” ujarnya, membuat sunoo dan kai mengangguk, “aku masuk duluan karena mau ada yang dikerjakan dulu.”

setelah sunoo dan kai mengangguk dan berterimakasih pada orang tersebut, ia berlalu untuk beranjak masuk ke dalam sekretariat bem, meninggalkan sunoo dan kai di sana.

“oh iya.” kepala tersebut menyembul dari balik pintu dengan setengah tubuhnya yang keluar dari sana, membuat sunoo menoleh menatapnya dengan alis yang naik penasaran, “kalau ada apa-apa, boleh kabari aku ya, aku di dalam.”

“oke, terima kasih—” sunoo menggantung kalimatnya, bingung dengan apa ia harus memanggil orang tersebut yang kembali menyunggingkan senyuman, menampilkan sebuah ceruk dalam di pipinya.

“jungwon.” yang masih berdiri di ambang pintu itu tersenyum, “namaku yang jungwon.”

“Kamu di sana?”

Kakinya dibawa melangkah sebelum punggungnya bersandar pada dinding ruangan. Tubuhnya meringsut perlahan untuk duduk bersandar di sana. Ia mendengar kekehan pelan dalam ruangan yang sama dengan dirinya sekarang, membuat bola matanya bergulir ke segala arah mencoba menebak ada di manakah lawan bicaranya sekarang.

“Pertanyaan retoris.”

Kali ini bola matanya diputar dramatis dengan decakan yang mengudara sebelum menjawab, “kamu enggak mengerti basa-basi, ya?”

Tawa mengalun perlahan mengisi indera yang bermata seperti rubah tersebut.

“Paham, kok, apalagi mungkin kamu dan aku sama-sama bosan dengan ruang putih ini.”

“Enggak pernah bosan, kok. Enggak ada yang bilang seperti itu.”

Tawa itu mengalun lagi, membuat yang bermata seperti rubah mengerucutkan bibirnya sebal, walaupun lawan bicaranya itu kemudian meminta maaf kepadanya dengan setengah bercanda.

“Lagipula mau ke mana lagi sih, aku?”

Kemudian, kedua kelopak mata itu dibawa menutup perlahan dengan senyuman di wajahnya ketika kalimat final orang tersebut akan menjadi awal segala percakapan mereka malam ini.

“Aku selalu di sini bersama kamu, bukan?”

“cinta tuh emang sederhana gitu, ya?”

sunoo yang meringkuk di dalam selimutnya menggeliat sebentar kemudian menarik tubuhnya sendiri untuk melawan gravitasi dan kembali duduk bersandar pada sandaran sofa.

“iya,” jawabnya singkat, menguap ketika credit scene dari film yang dibintangi julia roberts dan richard gere itu tampil di layar televisi ruang tengah mereka. “cinta tuh..., enggak usah dipikir pakai kepala, jungwon,” ujarnya lagi seraya mengacak rambutnya asal.

“kenapa gitu? bukannya kita harus pikir baik-baik ya soal siapa yang pantas kita cintai? baik dan buruknya?” tanyanya lagi.

sunoo tertawa, “kalau begitu, di dunia ini enggak ada yang pantas buat dicintai, dong.” ia menoleh pada jungwon yang menatapnya sedari tadi.

“maksudnya?”

“ya itu, kayak katamu. kalau menimbang baik dan buruk dari seseorang, berarti semua orang enggak pantas buat dicintai karena masing-masing orang pasti punya bagian buruk mereka sendiri, ‘kan?”

jungwon membetulkan posisi duduknya kali ini badannya ikut dibawa menyerong agar ia dapat berhadapan langsung dengan sunoo, selimutnya merosot ke atas pangkuannya. ia membiarkan sunoo menarik selimut yang sudah turun ke pinggang yang lebih tua agar menutupi hingga bagian pundaknya sebab udara malam ini cukup dingin.

“cinta bukan cuman soal baik dan buruk, jungwon.” sunoo menaruh seluruh beban kepalanya pada puncak sandaran sofa sempit milik mereka, suaranya setengah mengantuk, “cinta itu…,” ia menggantung kalimatnya untuk menguap sebentar, “harusnya datangnya begitu aja, tanpa mikir, kalau kamu harus lihat yang baik-baik dulu dari orang tersebut, artinya kamu cari-cari alasan buat jatuh cinta padahal harusnya enggak kayak gitu, dong.”

jungwon memperhatikan bagaimana netra lawan bicaranya memejam perlahan.

”you should love someone because they’re a human.”

“meskipun kitanya jatuh cintanya mungkin sama orang-orang yang kita enggak sangka?”

“justru di situ seninya mencintai,” kekeh sunoo di ujung kalimatnya, membuka matanya yang terlihat sayu.

jungwon meneguk ludahnya dengan susah payah, berusaha mengingat film ‘pretty woman’ yang baru ditontonnya malam ini, tetapi sudah berulang kali ditamatkan oleh yang lebih tua yang malam ini—terlihat lebih menarik dari biasanya.

(maksudnya, kim sunoo selalu terlihat memikat mata, tetapi khusus malam ini—kim sunoo terlihat memikat seperti dewa). “kayak film tadi, siapa yang sangka ‘kan kalau mencintai seseorang bisa dimulai dari kamu yang iseng bawa mobil padahal enggak tahu jalan?”

netranya menatap milik jungwon kemudian tersenyum, “bahkan, mencintai di dalam film tadi juga tibanya tanpa memandang pada sisi buruk maupun baiknya kan? kalau memang buat kamu, ya cinta itu akan buat kamu, jungwon.”

jungwon tidak tahu apakah film tadi masih berpengaruh padanya atau bagaimana, tetapi otaknya pun tidak mampu memproses bagaimana tubuhnya sudah beringsut mendekat pada sunoo yang masih terlihat setengah mengantuk itu.

“terus gimana caranya kita bisa tahu kalau kita jatuh cinta?”

sunoo tersenyum, ”you don’t know. you feel.”

kemudian tidak tahu sejak kapan, tapi senyum itu ditelan jungwon ke dalam sebuah ciuman yang begitu lambat.

otaknya berkabut. apalagi ketika netra rubah dengan warna hazelnut yang terang senada amber itu—menutup perlahan ketika ciuman tersebut berubah menjadi sebuah lumatan-lumatan sensual pada bibir bawahnya.

“jung—”

ketika lumatan tersebut diberi jeda oleh jungwon, kedua kelopak mata yang lebih tua masih menutup ketika ucapan yang mungkin ingin melayangkan protes itu kembali dibungkam ke dalam ciuman lainnya. kali ini lebih menuntut dan memaksa, yang buat sunoo kepayahan sehingga ia berusaha menghela napasnya dalam lumatan-lumatan yang diberikan oleh yang lebih muda, menghasilkan lenguhan yang tidak sama sekali bermaksud untuk diudarakan.

mana sunoo tahu apabila agenda menonton filmnya bisa berubah menjadi seperti sekarang.

dan juga mana sunoo tahu apabila selimut yang tadinya menutupi tubuh keduanya sudah jatuh ke lantai yang dingin ketika sepuluh jemarinya meremat bagian depan kaos yang dikenakan jungwon malam ini.

atau mana sunoo tahu kalau pembicaraan sederhana cinta bisa buat yang lebih muda mendorongnya merebah setengah tubuh dengan kepalanya bertopang pada lengan sofa yang bahkan panjangnya tidak mampu mengakomodasi tinggi badan mereka—termasuk bagaimana ketika jemari-jemari milik jungwon tidak hanya mengabsen sisi wajahnya, tetapi mulai turun pada bagian-bagian tubuhnya yang mengenakan piyama malam itu, disertai dengan rematan-rematan dari luar piyama tersebut. yang mana piyama itu tidak membantu sama sekali sebab seluruh sentuhan itu menghantarkan getar pada seluruh tubuhnya, sehingga ketika kedua tangan itu mampir pada pinggangnya, yang bisa sunoo lakukan adalah menggeliat pelan.

sebab ciuman tersebut seperti tidak berniat untuk dilepaskan oleh yang lebih muda, membuat sunoo turut melakukan hal yang sama—membalas setiap lumatan tersebut dengan hal yang sama, sehingga beberapa kali lenguhan tertahan entah dari ia maupun jungwon mengudara mengisi ruang tengah rumah mereka saat ini.

”ahh—”

sunoo tersentak dan refleks melepaskan lumatannya ketika tangan-tangan jungwon kembali sibuk memeta setiap bagian tubuhnya, sesekali meremat pada bagian yang membuat tubuh sunoo meremang tidak hanya karena dingin.

lutut yang menjadi satu-satunya tumpuan massa tubuh jungwon yang berada di sisi-sisi kaki sunoo yang ditarik menekuk mulai terasa kebas, tetapi tidak menghentikan kegiatannya dalam merasa tubuh sunoo yang berada di bawahnya saat ini.

sunoo sudah di ambang tidak mengerti yang mana yang kenyataan, hingga ia melupakan fakta bahwa tidak seharusnya jungwon dan dirinya melakukan hal ini, apalagi ketika yang lebih muda baru bercerita tentang kebingungannya tentang jatuh cinta beberapa hari yang lalu.

kepalanya dibawa mendongak, membiarkan kedua bibir jungwon kini ikut memeta sembari indera penciumannya mengendusi kelenjar-kelenjar yang ada pada sisi wajahnya yang kemudian turun hingga ke leher yang lebih tua.

tidak ada suara apapun yang terjadi di antara keduanya kecuali napas berat keduanya yang saling memburu dan bersahutan dalam hening yang jauh dari kata menyenangkan di antara mereka.

kedua tangannya yang semula meremat bagian depan kaos yang dikenakan jungwon beralih melakukan hal yang sama yang dilakukan jungwon pada tubuhnya, tetapi kendati terlalu lemas, jemari-jemari yang memerah ujung-ujungnya karena dingin itu hanya mampu meremat pundak yang lebih muda sebelum menjalar naik untuk mengusak asal surai jungwon, menjadikan rambut yang tadinya berantakan karena menonton film dengan posisi malas-malasan tersebut menjadi lebih berantakan tanpa aturan sekarang.

sunoo melenguh geli ketika hembusan napas itu menerpa pada lehernya dan perpotongan pundaknya, memberikannya sensasi yang aneh dan membuat seluruh tubuhnya merinding sekarang. jemarinya yang melemah kembali jatuh pada pundak jungwon, merematnya sebagai tumpuan dan mengingatkan bahwa yang menyentuhnya sekarang adalah benar jungwon, teman satu rumahnya, yang bahkan baru mengenal bahwa cinta hadir dalam segala bentuk yang berbeda ketika mulai hidup sendiri.

sentuhan-sentuhan oleh bibir yang lebih muda pada seluruh permukaan leher dan pundaknya yang kini terekspos pada udara malam juga bagaimana rematan dari jemari yang memeta tubuhnya seakan haus dan ingin tahu pada apa yang tengah ia sentuh sekarang—semuanya familiar bagi sunoo.

akan tetapi, debaran yang ada di dalam dadanya ketika rematan tersebut mampir pada dadanya, yang membuat napasnya menderu berat dan cepat, menyadarkan padanya bahwa ini adalah kali pertama bagi jungwon untuk menyentuh seorang laki-laki. “jungwon—” sadarnya pada fakta tersebut, membuatnya mendorong pundak yang lebih muda, sehingga segala aktivitas yang tadinya dilakukan yang lebih muda berhenti dan membuat mereka bersitatap sebentar, “kamu—” dan kalimat itu harus ditelan kembali ketika jungwon merunduk kembali untuk menggapai kedua bibir sunoo yang sudah membengkak, terima kasih pada lumatan menggairahkan dari yang lebih muda—sunoo melenguh lagi dan hampir mendesah ketika kedua tangan jungwon kembali menggerayangi tubuhnya perlahan.

salah.

salah.

sunoo mengatupkan kedua kelopak matanya kuat-kuat, sebelum kemudian membukanya lagi dan merasakan dirinya akan meledak dalam tangis apabila jungwon tidak berhenti karena ia paham apa yang jungwon lakukan semuanya bukan atas dasar bahwa ia menginginkan sunoo—

“jungwon!”

—sama seperti rasa menginginkan sunoo pada cinta yang lebih muda.

ketika sunoo berhasil mendorong kembali pundak jungwon, membuat yang lebih muda kini menumpu massa tubuhnya tidak hanya pada kedua lututnya, tetapi juga pada kedua tangannya yang kini diletakkan di kedua sisi tubuh sunoo.

“jangan seperti ini…,” lirih sunoo pelan, hampir jatuh dalam tangisnya sendiri.

ini membuat jungwon tersadar pada apa yang baru saja mereka lakukan, membuatnya buru-buru menarik tubuhnya setelah kepalanya mampu memproses wajah sunoo dengan air muka yang tidak bisa ia jelaskan—juga air mata yang menumpuk di pelupuk matanya. tubuhnya dibawa beranjak dari sofa, berdiri di depan sofa tersebut dengan posisi yang canggung, memperhatikan bagaimana sunoo ikut turut bangkit untuk duduk dan memandangnya.

mungkin ada sedikit harap di sana.

jungwon menarik napasnya sebelum ditahan, dengan suara yang cukup keras, membuat sunoo menatapnya dengan tatapan yang kepalanya tidak bisa terjemahkan sekarang.

“kak, aku—”

gelengan sunoo membuatnya menghentikan kalimatnya, toh, memang tidak ada yang bisa ia ucapkan sebab otaknya tidak akan mau bekerja sama dengannya sekarang untuk menyusun kalimat yang ingin ia ucapkan.

semuanya salah.

sehingga kemudian kedua kakinya dibawa melangkah mundur, sebelum pergi begitu saja untuk melarikan dirinya dari hadapan yang lebih tua, menuju kamarnya sendiri mungkin untuk merenungi entah apapun itu—apabila mungkin hal tersebut dapat direnungkan.

dan apabila ia berpura-pura untuk menulikan bagaimana ada isak yang terdengar begitu pilu ketika pintu kamarnya berdebam menutup di belakang punggungnya, jungwon tahu ia akan dihantui rasa bersalah dan kebingungan di sisa hidupnya.

jungwon tidak pernah suka hujan.

buatnya, hujan itu mengganggu seluruh aktivitas yang bisa ia lakukan hari itu. rencana-rencananya akan berantakan karena banyak hal yang harus dibatalkan ataupun harus tertunda karenanya, membuat dirinya yang terbiasa mengatur jadwal harus bekerja dua kali untuk membuat ulang jadwal miliknya.

tetapi ketika hujan mengguyur kota seharian ini dan ia mendapati bahwa teman satu rumahnya tidak berada di manapun yang mengindikasikan bahwa ia berada di tempat dengan atap dan fakta bahwa jaket yang sering digunakannya masih tergantung di balik pintu kamar—membuatnya mampu meraih payung yang hampir tidak pernah digunakan dan bergegas menyusuri tempat-tempat paling memungkinkan untuk teman satu rumahnya itu berada.

selama kakinya dengan ribut menabrak asal setiap kubangan air yang ia temui, kepalanya terus-terusan merutuki kejadian yang sudah terjadi sejak seminggu belakangan yang membuat orang yang lebih tua darinya sekarang bisa sebegitu marah pada dirinya.

hidup dalam norma masyarakat dan di antara orang-orang dengan moral yang benar, jungwon hanya mengerti tentang hukum bahwa laki-laki harus bersama dengan perempuan. semasa tumbuhnya, pola pikir tersebut tertanam dalam pikirannya. termasuk norma-normal lain yang sibuk mengatur bagaimana laki-laki harus hidup dan bagaimana perempuan harus hidup.

termasuk tentang bagaimana laki-laki harus menjaga dan bersikap kuat setiap waktu, yang artinya air mata adalah tabu untuk mereka yang lahir sebagai laki-laki. yang artinya menunjukkan tanda apapun untuk menjadi lemah adalah sesuatu yang tidak boleh mereka lakukan.

namun, sunoo dan segala boleh pada dunianya itu hadir dan mengajarkan jungwon tentang bagaimana dunia tidak hanya berputar pada satu peratursan tidak tertulis saja.

pada hadirnya sunoo yang menangis ketika ia bersedih, pada hadirnya sunoo yang tidak segan untuk meruntuhkan pertahanannya dalam mengakui perasaannya—jungwon belajar bahwa akhirnya mereka semua hanyalah manusia yang memiliki pikiran dan perasaan mereka sendiri.

pada hadirnya sunoo yang penuh dengan cinta dan bisa mencintai semua hal di dunia ini, bahkan yang jahat sekalipun—jungwon belajar bahwa hakikat cinta bukanlah hanya berdasarkan laki-laki dan perempuan saja, tetapi cinta adalah sesuatu yang lebih dari hal tersebut.

pada hadirnya sunoo, jungwon belajar bahwa ia pun bisa menjadi seorang manusia.

itu sebabnya, ketika mendapati laki-laki yang lebih tua itu menangis di pertengkaran terakhir mereka kemarin malam, jungwon tidak bisa pikirkan hal lain selain ingin membawa yang lebih tua ke dalam peluknya dan diberikan hanya hal-hal baik. bahkan, jungwon bersedia lakukan apapun jika itu bisa membuat yang lebih tua memberikan ia sedikit saja maaf dari seluruh cinta yang dimilikinya.

jungwon tahu itu adalah hal besar yang terlampau egois untuk ia minta karena ia akui ia memang sudah buat banyak gores pada hati yang lebih tua. dimulai sejak pertama kali ia mencium yang lebih tua hanya karena suasana yang mendukung setelah perbincangan mengenai cinta menjadi topik mereka di suatu malam. yang kemudian hati tersebut ia gores lebih banyak lagi ketika selama satu minggu mati-matian jungwon berusaha tidak berinteraksi dengan yang lebih tua. dan puncaknya adalah kemarin ketika kontemplasinya selama satu minggu mengenai seksualitasnya sendiri membawanya pada keinginan untuk mencium yang lebih tua sekali lagi untuk membuktikan bahwa benar ia cinta pada yang lebih tua.

namun, tentu sunoo muak dipermainkan seperti itu.

padahal—setelah ia menyadarinya—ia bisa temukan pertanda-pertanda tersebut pada bagaimana ia bisa menghangat hatinya ketika tiap kali senyuman di wajah sunoo mengembang, atau pertanda-pertanda pada bagaimana ia bisa saja membiarkan pundaknya ditimpa massa kepala sunoo selama berjam-jam lamanya di malam mereka menghabiskan film bersama, atau pertanda-pertanda pada bagaimana kehadiran sunoo saja bisa membuatnya tidak berkutik dan inderanya seperti dikendalikan oleh yang lebih tua sepenuhnya.

“kamu bisa sakit, loh, kak.”

kakinya berhenti melangkah dan menabrak asal kubangan air di trotar tempatnya membawa langkahnya sedari tadi. payung masih setia melindungi kepalanya, tetapi kali ini diturunkan ketika atap pada salah satu permainan anak-anak di taman komplek rumah mereka ikut meneduhi kepalanya juga sekarang.

“apa peduli kamu sih?” suara tersebut dibuat ketus dengan paksa, tapi jungwon bisa dengar ada sedikit getar di sana entah karena dingin atau karena tangisnya yang baru habis beberapa menit yang lalu.

mungkin, yang kedua akan lebih tepat sebagai jawaban setelah wajah itu mendongak menatapnya dan yang bisa jungwon lihat adalah semerah apa hidung dan mata yang lebih tua.

payung di tangannya dilepaskan sebelum ia bergerak untuk melepaskan jaket yang dikenakannya dan disampirkan pada pundak yang lebih tua.

“enggak ma—”

“pakai. sini tangannya, dipakai yang benar jaketnya. kamu gampang flu tahu, kak,” paksa jungwon, seraya membantu tangan sunoo untuk masuk ke bagian lengan jaketnya.

yang lebih tua—kepalang kedinginan—akhirnya menuruti apa yang dilakukan oleh jungwon. setelah resleting dinaikkan sampai paling atas dan tubuhnya sudah tenggelam pada jaket (yang pada jungwon saja kebesaran, apalagi pada sunoo) yang dikenakannya sekarang. bau deterjen yang mereka pakai berdua di rumah membuat sunoo memejamkan matanya sebentar, terlena pada bau yang tercium seperti rumah untuknya. membuat dirinya tidak sadar bahwa jungwon kini sudah berjongkok di hadapannya dan menunggu sampai sunoo membuka netranya lagi.

“aku enggak mau dengar kata 'maaf' lagi,” ujar sunoo langsung.

jungwon yang belum berujar apa-apa hanya dapat mengangguk, kemudian memainkan ujung jaket yang dikenakan sunoo sekarang, “iya, aku enggak bakal bilang maaf lagi, tapi aku masih boleh coba jelaskan ya?”

sunoo diam sebentar dan jungwon menunggu dengan sabar, ia tidak dapat mengambil risiko menggores hati yang lebih tua lebih lanjut dan lebih banyak lagi dari yang sudah ia lakukan sekarang, sehingga ia berikan waktu untuk sunoo menimang apakah dirinya memang bisa dimaafkan kali ini.

“boleh,” ujar sunoo.

“terima kasih,” ujarnya, tersenyum menampilkan ceruk pada kedua pipinya. ia bawa kedua tangan sunoo sebelum ditiup beberapa kali dan digosok dengan tangannya untuk membagi hangat pada yang lebih tua, “waktu aku bilang aku sayang sama kamu, aku betulan jujur. aku enggak main-main, aku enggak bermaksud beri kesan kayak aku lagi bikin kamu sebagai batu buat jadi samsakku mencari tahu soal diriku sendiri. enggak pernah kayak gitu sekalipun karena dari awal aku memang sukanya—cintanya sama kamu.” ia menjelaskan dalam satu tarikan napas, kemudian mengunci tatapannya pada netra sunoo yang masih terlihat merah.

“aku sadar kalau aku kurang ajar banget. aku jahat. dan aku terlalu banyak dalam fase denialku buat sadar kalau apa yang aku rasain ke kamu itu namanya rasa sayang.” jungwon melanjutkan, kembali mengulang kegiatannya untuk membagi hangat pada tangan sunoo. “cuman, aku udah mikir, lama banget memang, tapi aku sudah mikir kalau misalnya..., kamu benar. kalau cinta ya cinta aja. enggak perlu ada hal-hal lain yang harus menyertai atau apapun, apa yang dimau oleh hati ya itu yang diinginkan oleh seluruh batin, iya kan?” jungwon mengulang apa yang pernah sunoo katakan padanya di sesi-sesi pembicaraan mereka.

sunoo mengangguk, “iya. kamu jahat loh tapi, jungwon.”

“iya aku sadar sama hal itu, aku boleh minta maaf enggak sih soal itu?”

kali ini sunoo menggeleng, membuat jungwon menghela napasnya perlahan, “kayaknya cuman itu yang bisa aku bilang ke kamu, kak. aku enggak mau terdengar banyak omong dan berpotensi bikin kamu sakit hati lagi, aku udah terlalu sering dan banyak bikin kamu sakit hati, dan itu adalah hal paling terakhir yang kalau bisa tidak usah aku lakukan ke kamu,” ujarnya. kemudian meniup kedua tangan sunoo sekali lagi dan menggosokkan tangannya pada kedua tangan yang disimpan dalam tangkupan tangannya.

“kalau kamu mau kasih aku kesempatan, buat mencintai kamu sama seperti kamu mengajari aku soal cinta. entah berapa lamapun sampai kamu bisa yakin, aku mau ambil kesempatan itu.”

jantung jungwon rasanya hampir meledak setelah ucapan tersebut mengudara dan sunoo tidak kunjung menjawab ucapannya. ia hampir akan buka suara lagi untuk berkata bahwa ia tidak akan memaksa sunoo untuk melakukan apa yang tidak ia inginkan.

akan tetapi, hal tersebut ia urungkan ketika sunoo menarik tangannya sendiri dan juga tangan jungwon, merubah letak tangan mereka agar saling menangkup, ia lakukan hal yang sama yang dilakukan jungwon padanya tadi sebelum meninggalkan satu kecup pelan di sana dan menurunkan tangan keduanya.

“boleh.” sunoo berujar, ia tersenyum kali ini dan jungwon tahu bahwa ia tidak boleh buat lengkung tersebut berbalik arah lagi seperti sebelumnya, “tapi aku enggak segan bikin kamu membereskan gudang kalau kamu bertingkah lagi, loh, ya.”

jungwon tertawa sebelum berujar, “oke,” ujarnya, menatap sunoo yang tersenyum padanya, “oke. aku janji enggak akan bertingkah lagi.”

“oke,” ujar sunoo juga pada akhirnya.

“let's get you home, then.”

pada sunoo yang hadir dengan seribu maaf pada cintanya yang tidak pernah habis itu—jungwon biarkan dirinya belajar lebih banyak tentang cinta dan mempercayai hatinya.

rainier baru menjadi nahkoda hidupnya sendiri ketika usianya mencapai angka 21.

meninggalkan hidupnya yang gemerlap dan penuh sokongan orang tua di tengah-tengah masa perkuliahannya pada jurusan bisnis—merupakan hal paling sulit yang pernah rainier lalui.

egonya yang setinggi langit ketika mengejar gelar kembali di jurusan musikologi dengan sokongan dari diri sendiri itu hampir lenyap dan tergantikan oleh pikiran untuk bersujud di kedua kaki orang tuanya. yang artinya kembali menjadi boneka tanpa perasaan dari kedua orang tuanya.

“kamu tuh rainier tamara anak musik kan ya?”

mana pernah rainier akan memikirkan skenario penurunan egonya itu akan dihalangi oleh sebuah eksistensi mirip anak anjing dalam tinggi 178 sentimeter dengan bolongan di pipinya yang muncul ketika ia hampir berbelok di ujung koridor menuju kantor kemahasiswaan untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya.

“namaku gael, omong-omong. terus aku dengar dari renandra—”

(siapa pula renandra?)

“—kamu bikin musik ya? katanya juga musik punyamu semuanya keren!”

“enggak juga, biasa a—”

“bikin musik sama aku yuk!”

entah ajakan membuat musik tersebut, entah tindak impulsif apa lagi yang membuatnya seperti itu, atau entah bagaimana senyuman yang membuat pipi lawan bicaranya itu membentuk cetuk pada pipinya—kertas pengunduran diri itu dirobek dan dibuang ke tong sampah terdekat.

sama seperti 5 menit pertama rainier membuat musik bersama gael yang kemudian berubah menjadi jam-jam, lalu hari-hari menyenangkan yang dilewatkan bersama di studio musik itu; semua kalimat sampai ketemu besok! ataupun besok jam 7 kita ketemu lagi ya! berubah menjadi—

“kamu mau enggak, kalau...” rainier menggigiti bibir bawahnya, berkomtemplasi terhadap pikirannya sendiri, apalagi ketika kedua mata seperti anak anjing itu menunggunya dengan penasaran, “... kalau aku ajak kamu keluar tapi buat—” napasnya tercekat ketika senyuman mengembang di wajah gael, “—buat berkencan...?” finalnya dengan suara yang mengecil di ujung kalimatnya.

—ajakan kencan yang diangguki dengan penuh semangat dan berubah menjadi kencan-kencan selanjutnya.

kali pertama rainier tahu bahwa ia menginginkan selamanya bersama gael adalah ketika usianya 25 tahun dan ia melihat bagaimana gael dengan nyaman menggeliat dalam peluknya pada sebuah pagi yang dingin.

kali kedua rainier tahu bahwa ia menginginkan gael sebenar-benarnya seorang manusia menginginkan manusia lainnya adalah ketika gael dan tawanya mampu membuat harinya menjadi lebih baik kala itu.

kali ketiga rainier tahu bahwa ia menginginkan gael dalam sebuah sumpah dan janji pada Tuhan adalah ketika ia lihat bagaimana kedua mata anak anjing itu berkaca-kaca ketika ia bertanya, “menikah sama aku, yuk?” pada sebuah pagi ketika gael tengah mengunyah bacon yang masih panas, baru selesai dipanggang sebagai sarapan pagi itu.

kali keempat rainier tahu bahwa bahagia selamanya milik dirinya sendiri adalah gael, ketika cincin itu ditukar pasang ke masing-masing jari manis mereka. dan kali kelima rainier tahu bahwa ia sudah sampai di pelabuhan yang sesungguhnya semenjak ia menahkodai hidupnya sendiri adalah ketika sumpah milik gael selesai mengudara dan pernikahan mereka di taman belakang rumah kecil mereka ditutup dengan now i present you as husband and wife juga bagaimana gael terkikik geli dalam ciuman mereka.

“kamu mau buat musik buat siapa?”

gael yang tengah mengetik di depan layar laptopnya memutar tubuhnya untuk langsung bersitatap dengan dirinya yang sedang mengenakan kemejanya.

“production house,” ujar rainier, mengembangkan senyumnya, “mereka mau bikin film baru dan aku ditawari membuat scoring untuk mereka.”

mana pernah rainier akan menyangka, seseorang akan begitu bahagia atas pencapaiannya atas mimpi-mimpinya sendiri sampai ketika suaminya itu meloncat dari bangkunya dengan jeritan kecil dan menerjangnya dengan sebuah pelukan erat dan kecupan kilat di bibir juga kalimat, “i'm super proud of you.”

rainier pikir, bahagianya adalah gael. dan selalu gael.

sampai kecelakaan yang menimpa keduanya karena kelalaian kecil entah milik gael yang lupa mengenakan sabuk pengaman atau pengemudi yang menabrak mereka dari belakang dalam keadaan mabuk di malam hari jadi pernikahan mereka yang ke-5 kala itu.

“kamu tahu siapa aku, kan?”

“iya...? kamu dokterku kan?”

rainier pikir, bahagianya sudah menemukan pelabuhan, tetapi Tuhan sedang coba membuat rainier buktikan sumpahnya 5 tahun silam.

karena itu ia kembali menjadi nahkoda hidupnya lagi, menghabiskan waktunya mengais pikirannya sendiri mencoba untuk membuat gael setidaknya mau menyerah dari pikiran buruknya tentang hal-hal yang tidak benar adanya.

misalnya, seperti bagaimana ia tidak bisa mencintai rainier kembali sebesar rainier mencintainya.

sempat terbesit sedikit banyak lelah yang dirasakan oleh rainier setiap kali pertanyaan-pertanyaan kecil dari gael terlontar. ia paham betul bukan maksud gael untuk mencoba menoreh luka atau apapun itu, sebab kepalanya tidak membiarkan dirinya mengingat apapun tentang sebagian besar kehidupan dewasanya.

(“dan aku berjanji—”)

akan tetapi, baginya, bagi rainier, banyaknya rasa lelah yang mungkin ia rasakan sekarang masih sanggup ia lawan daripada ia harus kembali ketika bahagia selamanya yang ia kenal dalam eksistensi seorang gael—tidak ada lagi dalam hidupnya.

sebab, rainier akan sanggup kembali mengarungi samudra yang sama untuk kembali capai cintanya yang sedang berusaha pergi jauh dari dirinya.

“seenggaknya, tolong pakai mantelmu dengan benar.”

yang diajak bicara mengangkat kepalanya dan sontak kedua bola matanya membulat terkejut, membuat rainier tersenyum sembari sedikit merunduk untuk membenarkan mantel yang dikenakan gael.

“kok kamu—” gael menggantung kalimatnya, mengerjapkan kedua matanya cepat. rainier yang sudah bertahun-tahun bersamanya mengerti bahwa itu adalah gestur takut dan khawatir dari yang bersangkutan, sehingga ketika ia selesai membenarkan mantel abu-abu tersebut dan kembali berdiri tegap di depan gael yang duduk di depannya sekarang, ia tersenyum dan berujar, “aku tahu semuanya soal kamu, you used to tell me anything.”

“well, maybe that's the old gael you know.” hela napas yang jadi lawan bicaranya berat dan ia melarikan pandangannya dari rainier, “yang sekarang cuman aku. cuman gael.”

“gael manapun enggak masalah,” ujar rainier, berjongkok untuk menyamakan tingginya dengan gael.

“aku sudah bilang buat enggak cari aku, kan?”

(“—apabila suatu hari cinta itu mulai menghilang dan kehilangan arahnya—”)

“iya.” rainier menjawab dengan enteng, mengeluarkan sebuah sapu tangan dari dalam mantelnya sendiri yang kemudian ia sodorkan pada gael tepat di depan wajahnya. “lap hidungmu pakai ini, udah merah banget, tuh, jangan jahat sama diri sendiri gitu, deh. kecuali kamu mau aku yang lap?”

mau tidak mau gael menerima sapu tangan tersebut dari empunya, memperhatikan bordir huruf G di ujung bawah kanannya dan tergagu ketika menyadari bahwa benda tersebut adalah miliknya.

“punyaku...?”

“punyamu,” senyum rainier padanya, “kamu kebiasaan enggak bawa tisu atau sapu tangan, padahal kamu gampang pilek, apalagi dingin begini.”

“kamu beneran cinta banget ya... sama aku...?”

“love would be an understatement.”

gael memperhatikan bagaimana kali ini rainier menumpu tubuhnya dengan sedikit berlutut di hadapannya, ia mengikuti arah pandang rainier yang tertuju pada tangannya yang memegangi sapu tangan tadi dan menyadari bahwa cincin yang terpasang di jari manisnya lah yang menjadi pusat perhatian rainier saat ini.

“apa yang kamu kasih ke aku lebih dari cinta, aku berusaha kasih kamu yang sama dan dengan usaha yang sama juga.”

gael menghela napasnya, “tapi enggak dengan mengorbankan diri kamu sendiri juga, dong?”

“kata siapa sih,” tawa rainier pelan, tetapi tawa itu terdengar menyedihkan bagi gael sehingga dadanya harus berdenyut perih mendengarnya, “kamu bakal selalu sepadan sama apapun yang aku lalui buat sama kamu, gael. kamu tahu itu.”

dan ketika suara yang berlutut di depannya itu terdengar bergetar, gael mengulurkan tangannya untuk menangkup kedua pipi tersebut dan mengangkat wajah itu untuk melihat bagaimana kedua pipi tersebut dialiri oleh air mata yang jatuh perlahan tanpa terbendung apapun.

“rainier—” gael terlihat ragu sebelum ia menarik yang lebih tinggi ke dalam pelukannya, membuat mereka berada dalam posisi yang tidak nyaman, tetapi bagaimana gael bisa tega bila yang sekarang bersembunyi di tengkuknya itu meremat mantelnya dengan sebegitu kuatnya seperti takut kehilangan nyawanya?

“rainier,” panggil gael sekali lagi, “aku iri sekali tahu, sama gael yang enggak aku kenal itu karena dia bisa dicintai seperti ini oleh kamu,” ujarnya, mengusap punggung yang masih bergetar di dalam peluknya, “dan aku bahagia juga rasanya, waktu tahu gael yang seharusnya adalah aku itu, dicintai sebesar ini oleh kamu.”

“i swear i will love you for eternity,” ujar rainier di sela tangisnya, teredam oleh bagaimana ia masih menyimpan wajahnya di pundak gael.

“dan aku juga bersumpah kalau aku akan menemani kamu dalam mencintai hidup kita.”

baru setelah itu rainier menarik dirinya dari dalam peluk itu, menatap gael yang tersenyum sendu padanya. “kamu—” ia kehabisan kata-kata setelah berusaha memproses apa yang ia dengar.

“aku juga bersumpah kalau aku akan mencintai kamu dengan hangat dan mengingatkan kamu dengan rumah tempatmu pulang.”

“kamu ingat?”

gael menggeleng dan tersenyum apologetik, “enggak,” jawabnya, “tapi aku hapal semua itu di luar kepalaku karena sudah dua minggu ini aku menonton rekaman itu, berusaha mencari apa yang bisa buat aku ingat sama cintaku ke kamu,” jelasnya.

“apa itu aja enggak cukup untuk buat kamu tinggal?”

ada nada desperasi penuh harap di dalam kalimatnya, membuat gael merasakan denyut perih itu lagi di dalam dadanya.

“i wish it's enough.” gael meraih kedua tangan rainier, meletakkan kembali sapu tangan yang belum ia gunakan tersebut ke atas telapak tangannya, “tapi kamu bakal terus tersiksa karena aku akan terus mempertanyakan apakah aku bisa mengembalikan cintaku ke kamu seperti sebelumnya, rainier. dan kamu terlalu penuh dengan cinta dan kebaikan dan enggak sepatutnya aku jahat ke kamu.” gael menuntun tangan rainier untuk menggenggam sapu tangan tersebut.

“sayang—” rainier memulai, tenggorokannya kering dan suaranya tercekat di sana. “kamu betulan—”

gael mengangguk, “seenggaknya sampai aku mulai bisa menerima hidupku yang sekarang.”

“kalau kamu,” mulai rainier lagi, meneguk salivanya susah payah, “kalau suatu hari kamu sudah siap untuk mencintai dan dicintai lagi, apakah aku boleh—”

“boleh.” gael menjawab, mengusak rambut yang berjongkok di hadapannya, “aku rasa gael yang punya ingatan sampai di usianya sekarang ini juga menginginkan itu, tapi beri gael yang lupa ingatan ini sedikit waktu ya?”

dan kalau gael bilang ia tidak merasakan sakit yang hebat pada dadanya ketika ia lihat bagaimana rainier dan tangisnya kembali pecah, maka ia akan menjadi seorang pembohong ulung.

“istirahat ya, rainier,” ujarnya lembut sebelum berdiri dari duduknya, melirik pada bagaimana rainier mengikutinya melakukan hal yang sama. ia melirik pada kafe di belakang punggungnya, yang katanya menjadi tempat keduanya sering berkencan bahkan setelah menikah.

“sebelum kamu pergi.” rainier memanggil, membuat gael mendongak sedikit agar ia bisa menatap kedua netra yang terlihat getir, tetapi kali ini lebih tenang dan jauh lebih lembut, “aku ingin kamu dengar satu hal dari aku.”

“hmm?”

“aku cinta kamu.”

gael tersenyum setelah kalimat itu mengudara, sebersamaan dengan rainier melangkah mundur.

“semoga suatu hari, aku punya cara untuk mencintai kamu kembali seperti sebelumnya.”

gael memperhatikan bagaimana rainier melempar senyum dan bagaimana netra getir itu menutup sebelum tubuhnya di bawa berbalik dari hadapannya dan melangkah menjauh dari sana.

(“aku akan selalu menemukan cara untuk membawanya pulang.”)

[ cw // character death and talk about break up ]


Dulu Satoru tidak percaya tentang konsep selamanya.

Akan tetapi, bertemu dengan Suguru ketika ia masih seorang remaja yang belum paham cara main dunia, cuman tahu gilanya belajar, belajar, dan belajar—ia mulai memahami kerakusan manusia akan konsep selamanya itu.

Satoru lahir di keluarga serba sempurna dengan keadaan serba sempurna pula. Namun, hal tersebut tentu menjadi sebuah tuntutan bertekanan baginya seiring ia bertumbuh besar.

Nilaimu harus A.

Kamu harus sekolah di sekolah top.

Kamu harus bisa menjadi keluarga Gojo yang baik.

Kamu harus sempurna

Dulu Satoru hanya iya-iya saja, tanpa banyak membantah menuruti apapun yang sudah dirancang oleh kedua orang tuanya untuk masa depannya.

Akan tetapi, bertemu Suguru di musim panas dengan tawanya yang menggelegar seraya dirinya dibonceng menggunakan sepeda untuk membeli eskrim di tengah teriknya matahari membuatnya diam-diam menggeliat keluar dari zona nyamannya.

Bersepeda tak tentu arah, berlarian dengan kaki telanjang di bukit belakang sekolah, mengganggu Shoko dengan berbagai macam lelucon (kemudian menemani mood gadis tersebut berubah-ubah ketika tamu bulanan datang), menerobos hujan dengan sembarangan, berbagi popsicle, mengitari alun-alun kota, dan hal-hal lainnya menjadi alasan-alasan mengapa Satoru ingin memaksakan konsep selamanya itu dengan Suguru.

(“Waktu dinas, gue ketemu sama Geto.”)

Satoru dengan segala bising di kepala bertemu Suguru dengan seribu petualangan untuk menyingkirkan bising tersebut.

Tumbuhnya mereka menjadi dewasa seiring pula dengan bertumbuhnya hal-hal lain di dalam mereka.

“Namanya cinta.”

Satoru terbahak keras-keras, sebenarnya tidak ada yang lucu. Ia juga bukan bermaksud membuat Suguru merasa tersinggung. Yang sebenarnya ia lakukan adalah menyembunyikan wajah memerahnya di bawah sinar matahari yang terik itu ketika mendengar kalimat tersebut mengudara dari mulut sahabatnya, tepat setelah ia mengadu (dengan sedikit merajuk) pada sahabatnya tersebut mengenai ia ingin Suguru selamanya bersamanya.

“Kalau salting enggak usah disembunyiin gitu kali, Satoru.”

Ketawanya berhenti saat itu juga. Satoru bukan pribadi yang sering jujur terhadap perasaannya, berbeda dengan Suguru yang lebih gamblang dalam mengeluarkan isi kepalanya.

“Eh gila yang bener aja?”

“Ya enggak tau? Coba lo diskusi sama diri sendiri dulu, kenapa bisa sampai ngerasa kayak gitu?”

Satoru mengerucutkan bibirnya sebal, “emang enggak bisa diskusinya sama lo aja gitu? Ini kan menyangkut lo juga!”

Yang Satoru ingat kala itu adalah bagaimana Suguru tertawa dan menyentil keningnya kemudian berkata sesuatu yang membuatnya merona persis seperti warna popsicle stroberi mereka hati itu.

“Kalau ngobrol sama gue, gue takut egois, Satoru. Soalnya konsep selamanya gue sama lo itu ya karena gue cinta sama lo.”

Setelah itu, Satoru dibiarkan berpikir selama satu minggu yang menyiksa. Rasanya aneh ketika ada orang yang biasa berada di sisimu dalam hal apapun tiba-tiba menghilang. Rasanya aneh dan Satoru tidak menyukai hal tersebut. Sehingga, setelah satu minggu yang memuakkan itu, ia muncul di depan kamar tidur Suguru cuman untuk berucap satu kalimat—

“Konsep selamanya gue sama lo itu bukan cuman cinta aja, tapi gue emang mau semua-muanya sama lo sampai nanti.”

—yang tahu-tahu buat mereka jadi sepasang kekasih; tepat setelah Suguru tertawa atas kalimat itu kemudian membawa bibirnya dalam pagut pertama mereka dan berbisik, “lama ya sadarnya.”

(“Dia nanya, konsep selamanya lo masih sama enggak kayak dulu?”)

Semua hal berubah menjadi dua di dalam hidup Satoru.

Ada dua sepatu putih di rak dengan ukuran yang berbeda. Kemudian dua buah kursi di meja makan. Dua buah sikat gigi di dalam dua gelas yang berbeda di kamar mandi. Dua buah gelas kopi yang tersusun rapi di rak dapur. Dua buah kunci mobil di sebuah piringan depan televisi.

Termasuk rasa cinta yang diberikan.

Satoru bukan seorang anak yang besar dengan kasih sayang. Sehingga, ia juga tidak terbiasa memberi orang di sekitarnya rasa cinta yang sama besar dengan bagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Akan tetapi, Suguru lagi-lagi hadir untuk mengajarkannya cara mencintai.

“Aku cinta kamu.”

Pertama kali Satoru mendengar hal itu adalah di hari pertama mereka akan pergi tidur di apartemen mereka. Satoru yang sudah siap untuk memejamkan matanya di dalam pelukan Suguru buru-buru beringsut menjauh dari sana, matanya membola menatap Suguru aneh di bawah cahaya remang lampu tidur.

“Kenapa kaget gitu?” Suguru tertawa, “kan emang benar kalau aku cinta kamu?”

Sepersekian detik kemudian Satoru merasakan bahwa matanya memanas dan dalam hitungan detik selanjutnya, air mata sudah mengalir dari sana—tanpa suara, membuat Suguru panik dan buru-buru menarik Satoru lagi ke dalam pelukannya. Ia membiarkan bagian depan kaos tidurnya terasa basah karena air mata sementara tangannya digunakan untuk mengusap punggung Satoru yang kali ini tubuhnya gemetar, seperti berusaha menghentikan tangisnya secara paksa.

“Hei. Hei. Maaf. Maaf. Maaf kalau aku salah omong,” ulang Suguru berkali-kali seraya mengecup pucuk kepala yang bersurai putih. “Sayang. Satoru sayang. Maaf ya? Maaf aku salah omong,” ucapnya lagi ketika Satoru berangsur mereda tangisnya. Tangis tanpa suara itu jelas membuat Suguru lebih panik, takut-takut ia benar-benar melakukan kesalahan fatal.

Ia membiarkan bagaimana napas ditarik dengan kuat beberapa kali sebagai efek samping sesak karena menangis, selain itu wajah Satoru masih disembunyikan di atas dadanya, menyebabkan Suguru meletakkan dagunya tepat di atas kepala Satoru sekarang dengan tangannya yang tidak bosan untuk tetap mengusap-usap punggung Satoru dan satunya lagi melingkar di sekitar pinggangnya.

“Sorry,” ucap Satoru akhirnya, suaranya teredam karena posisinya, tetapi Suguru terlatih mendengarkan sehingga ia hanya tetap melakukan apa yang ia lakukan untuk membiarkan Satoru tahu bahwa ia mendengarkan. “Kaget beneran. Habisnya terakhir kamu ngomong cinta gitu tuh lama banget, kayaknya waktu aku pertama nanya ke kamu itu, deh,” akunya dalam satu tarikan napas, masih dengan suara kecil, ketara sekali bahwa ia berusaha menenggelamkan peristiwa beberapa menit lalu yang membuatnya emosional.

Kemudian ia berbisik pelan, “aku belum biasa kayak gini,” ucapnya, seperti takut apabila ia ucapkan dengan lantang, maka hal-hal tersebut akan hilang bersamaan dengan angin musim panas yang berhembus tidak nyaman.

“Mmm-hmm. Aku ngerti, kok.”

Suguru benar-benar mengerti sebab ketika ia pertama kali maniknya bersitatap dengan milik Satoru yang biru cemerlang itu, yang bisa ia lihat hanyalah palung kesepian. Membuat Suguru berpikir bahwa anak itu pasti menghabiskan hidupnya lebih banyak sendiri daripada dilingkupi kasih sayang yang harusnya menemani ia tumbuh dewasa. Maka, Suguru bawa Satoru ke dalam petualangan-petualangan menyenangkan berupa berlarian ke puncak bukit dengan kaki telanjang, bersepeda tidak tentu arah, atau hanya sekadar duduk di halte bus seraya menghitung berapa banyak mobil dengan warna tertentu berlalu-lalang.

Seiring keduanya tumbuh dewasa, entah di musim panas yang keberapa, Suguru menyadari bahwa seiring netra biru itu berubah menjadi cemerlang, ada sesuatu yang turut bergeser di dalam dirinya.

Petualangan-petualangan itu bukan lagi perihal mencoba menyingkirkan rasa kesepian dari dalam diri Satoru, perlahan hal-hal itu bergeser menjadi niat yang lain; misalnya hanya supaya ia bisa menikmati bagaimana Satoru tertawa di bawah terik mentari sore yang lebih jingga dari biasanya atau hanya sebatas modus kecil untuk mengusak-usak rambut perak itu dengan dalih menyingkirkan air hujan dari rambutnya setelah berlarian menerobos hujan dan menabrak sembarang kubangan air.

Petualangan-petualangan itu bergeser untuk menyenangkan hatinya yang jatuh cinta.

Fase-fase denial itu mampir selama beberapa hari, sembari Suguru coba mencari alasan kenapa ia bisa jatuh cinta dan apakah alasan tersebut masuk akal.

Mungkin karena netra birunya itu.

Mungkin karena tawanya itu.

Mungkin karena bagaimana ia langsung terserang flu setelah terkena hujan.

Mungkin karena bagaimana ia mengomel ketika merasakan brain freeze.

Makin dicari, maka makin Suguru merasa sepertinya memang hal-hal yang melekat pada Satoru—apapun itu—yang membuatnya jatuh cinta di musim panas yang terik. Maka ketika suatu hari Satoru datang dan menanyakan kebingungannya tentang konsep selamanya, Suguru rasa adil bila ia keluarkan apapun yang mengganjal di dalam pikirannya; membuat Satoru jatuh dalam hening selama satu minggu lamanya, tidak ingin sahabat tengilnya itu hanya ikut-ikutan jatuh cinta hanya karena ia iseng bilang “namanya cinta” saat itu, tetapi ia tidak pernah berintensi jahil terkait konsep selamanya bagi Suguru adalah karena ia sudah kepalang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.

Pun ketika Satoru utarakan kembali konsep selamanya miliknya sendiri, Suguru bawa bibir itu dalam sebuah ciuman ringan dan ia tersenyum ketika manik-manik biru itu menutup perlahan bahkan bertahan seperti itu setelah ia menarik dirinya menjauh, kemudian tertawa ketika Satoru berbisik pelan, “gila gini ya rasanya ciuman.” dengan semburat merah muncul di wajahnya.

Cantik sekali, Suguru berani sumpah.

Semenjak itu, yang Suguru tahu adalah ketika hatinya memang sudah lama jadi milik Satoru maka kali ini yang akan ia ajarkan pada Satoru adalah petualangan-petualangan menyenangkan lainnya tentang mencurahkan cinta.

“Maaf, kalau kamu enggak nyaman aku bisa berhenti kayak gitu, kok.”

“Jangan.”

Jawaban cepat itu terdengar mencekat ketika habis diucap, seperti ada yang menahan tenggorokannya untuk berucap lebih lanjut.

“Aku mau dengar setiap hari,” tambah Satoru pada akhirnya. “Aku mau tau kalau kamu cinta aku, setiap hari,” tuturnya lagi.

“Mmm-hmm. Aku cinta kamu. Selamanya.”

Malam itu adalah tidur ternyenyak Satoru sepanjang umurnya berjalan.

(“Soalnya dia bilang kalau—”)

Satoru mendelik pada tulisan yang ditempelkan di atas nakas samping tempat tidur mereka. Isinya selalu sama setiap hari.

Aku kayaknya pulang telat hari ini. Kamu tidur duluan, ya. Ada sup di panci, jangan lupa diangetin. Jangan lupa makan. Ada kue juga di kulkas. Aku cinta kamu.

Isinya selalu sama setiap hari, hanya berganti sedikit apabila ia harus meninggalkan pesan lainnya.

“Kirim pesan apa enggak sempat, dikiranya ini tahun berapa sih pakai sticky notes,” dengusnya sebal, tetapi tetap melakukan apa yang diminta dalam pesan tersebut.

Kehidupan berjalan lebih cepat dari yang diduga, tahu-tahu keduanya hanya akan berada di apartemen di malam hari. Saling mengucap cinta sebelum pergi tidur dan sebelum meninggalkan pintu apartemen tertutup di belakang punggung setiap pagi.

Itu apabila mereka memang bertemu.

Suguru sibuk dengan dunia dan ambisinya.

Satoru sibuk dengan dunia dan egonya.

Ia duduk di atas meja makan kecil apartemen mereka dengan semangkuk sup di hadapannya yang asapnya sudah menghilang dibawa angin. Sup itu dibiarkan teronggok tanpa disentuh sekalipun. Seakan-akan eksistensinya hanya untuk menemani hening yang mengisi apartemen mereka.

Satoru berhenti menghitung musim panas keberapa yang mereka lalui, sebab konsep selamanya itu terpatri di pikirannya. Sebab ia pikir dengan eksistensi selamanya itu, sehening apapun keadaan di antara mereka sekarang, seharusnya hal-hal itu akan segera terusir apabila setelah ini pintu apartemen terbuka dan menampakkan sosok yang dinanti-nanti untuk pulang.

Satoru duduk lebih lama lagi di kursi meja makan. Mangkuk sup tersebut masih terisi penuh di atas meja. Sesekali melirik pada jam dinding yang digantung di dekat televisi mereka, benda itu keberadaannya seakan hanyalah formalitas; toh tidak ada di antara mereka yang mengingat waktu untuk tetap pulang ke rumah.

Hanya sekadar untuk mengucap selamat malam atau kata cinta itu lagi sebelum terlelap dalam tidur.

Buatnya, musim panas selalu menjadi saat-saat paling membahagiakan. Banyak hal pertama yang ia lalui. Pertama kali melepas sepatunya untuk berlarian di bukit, pertama kali makan popsicle, pertama kali menggendong kelinci ke dalam pelukan, pertama kali melepaskan payung untuk terbang entah ke mana dan berlarian di bawah hujan, pertama kali tertawa sebebas itu dalam semua kata pertama mereka.

Buatnya, Suguru selalu menjadi yang pertama dalam hidupnya. Ia hadir dalam setiap peristiwa pertama bagi Satoru.

Cintanya juga hadir sebagai yang pertama untuk mencintai Satoru.

Maka ketika cinta itu menjadi dasar konsep selamanya milik Satoru, ia tidak enggan meninggalkan semua hal-hal yang tidak mendukung konsep selamanya itu.

Suara kunci apartemennya yang berbunyi beep beep beep berkali-kali menandakan bahwa ada yang memasukkan pin ke sana menyadarkan Satoru bahwa ada seseorang yang pulang.

Sekarang musim semi tiba.

Buatnya, musim semi adalah masa-masa peralihan yang cukup memainkan isi kepala. Semester baru biasanya dimulai. Intensitasnya bertemu dengan Suguru berkurang—ia tenggelam dalam dunianya, begitu pula dengan Suguru.

“Satoru? Kamu di rumah? Kenapa lampu ruang tengah enggak dinyalakan?”

Ah. Itu dia.

Buatnya, musim semi dimana bunga-bunga bermekaran dan dimana angin mulai berhembus lebih dingin dan menyejukkan—adalah saat di mana kasurnya akan terasa lebih dingin dan kosong dari biasanya.

Mereka masih muda, dengan ambisi menggebu yang tiada padamnya untuk membuktikan diri pada dunia.

Kata cinta itu tidak pernah lagi terucap, hanya sekadar sapa sebelum tidur dan beraktivitas. Mungkin, sesekali akan terucap, tetapi tanpa jiwa yang hidup seperti sebelumnya setiap kata itu terhembus.

Memangnya, cinta itu masih ada?

Satoru lebih banyak meringkuk di atas kasurnya, berusaha memahami bagaimana konsep cinta dan selamanya itu bisa ia tumpuk menjadi satu. Namun, tidak akan pernah bisa ia campurkan menjadi satu. Kedua hal tersebut tidak akan pernah homogen dalam satu waktu, keduanya akan tetap terpisahkan layaknya air dan minyak—memiliki ruang sendiri dan tidak dapat dimiliki bersama-sama dengan serakah.

Satoru lebih banyak meringkuk memeluk lututnya sebersamaan bagaimana semua peristiwa pertama itu menciut menjadi hanya sekadar memori—tidak ada lagi cinta yang membumbui di sana.

Satoru lebih banyak meringkuk memeluk dirinya sendiri sebersamaan dengan konsep selamanya itu ikut meringkuk di dalam dirinya, mulai kehilangan eksistensinya.

Sebab, Satoru mulai meragu akan cintanya.

Lampu ruang tengah menyala, Satoru bergeming.

“Satoru?”

Itu dia. Cintanya.

Satoru rasa memang cinta itu sudah tidak ada di sana. Sudah habis di musim panas mereka yang menyenangkan sebersamaan dengan demam-demam kecil itu pergi.

“Suguru.”

Cintanya. Selamanya menjadi cintanya.

Dengan bagaimana musim panas itu berakhir dan musim semi itu datang, mengusir hal-hal yang mengulurkan tangannya untuk membuatnya percaya dengan konsep cinta dan selamanya dapat menjadi satu–

“Mungkin sudah waktunya buat kamu dan aku enggak sama-sama lagi.”

—Satoru mengatupkan tangannya berdoa pada tuhan yang mana saja, bahwa ia ingin kembali ke bulan-bulan musim panas, bertelanjang kaki di bukit belakang sekolah. Sebab ia rasa cintanya ada di sana, di musim panas mereka saat itu.

Hening mereka belum pernah semenyakitkan itu.

(Satoru tertawa, “konsep selamanya?” tanyanya, memotong ucapan Shoko.)

“Gue selalu penasaran setiap datang ke makam, sebenarnya lo berdoa apa sih buat Geto?” tanya Shoko, memposisikan dirinya berdiri di sebelah Satoru yang masih mengatupkan kedua tangannya seraya memejamkan mata.

Perempuan dengan rambut panjang yang terurai itu, kali ini tanpa jas dokternya, ikut melakukan hal yang sama mengucapkan doa-doa untuk menyertai keberadaan yang sudah tidak berpijak di dunia lagi.

Ketika Shoko menurunkan tangannya dan menatap makam di depannya, begitu pula yang dilakukan Satoru.

“Banyak.”

Satoru masih memejamkan matanya. “Banyak yang gue doakan untuk Suguru. Dari sehatnya sampai bahagianya. Dari yang terpendek sampai terpanjang. Apapun yang baik, yang pantas dia punya di atas sana,” ucapnya lagi, kali ini ada senyuman di wajahnya seraya ia membuka matanya.

“Gue juga minta sesuatu, Sho.”

“Hmmm?”

“Gue minta dia sering-sering mampir ke hidup gue dan lo tentu saja,” ucapnya, senyuman masih terpatri di sana dalam intensi lain, “dia boleh mampir dalam bentuk apa aja. Mimpi, cuitan burung-burung, buih air, atau sekadar lewat angin musim panas.”

Rambut Shoko yang digerai itu berterbangan perlahan ketika angin berembus pelan, membuat Satoru tertawa kecil, “tuh, dia.”

“Hai, Geto,” senyum Shoko.

“Hai, Suguru, aku mampir sama si cantik kurang tidur ini,” beo Satoru, dihadiahi pukulan kecil di pinggangnya.

Keduanya jatuh dalam hening yang nyaman, membiarkan masing-masing mulai hanyut dalam memori-memori mereka dengan orang yang eksistensinya hanya tersisa dalam memori dan hati mereka.

“Kenapa—” Shoko memecah hening terlebih dahulu dengan suara yang tercekat di tenggorokannya, “—kenapa lo minta dia mampir supaya lo ingat sama dia?”

“Lo pernah takut sama yang namanya kehilangan, Sho?”

Shoko berdecak bingung sebab pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lainnya, “pernah. Kehilangan lo sama Geto, terus kehilangan orang-orang yang nyawanya bisa gue bantu,” jawabnya, kali ini menoleh untuk menatap Satoru yang masih betah menatap nisan di hadapannya.

“Sama,” ucap Satoru. “Gue takut banget kehilangan Geto sama lo, Sho.”

Shoko tersenyum kecil, “oh, kayak gitu? Sekarang gue tanya lagi, kita udah kehilangan dia, apa yang bikin lo masih takut?”

“Gue takut kehilangan Suguru lagi.”

“Suguru emang udah enggak ada, Gojo…,” ucap Shoko melirih di ujung kalimatnya, berusaha berbisik mengenai hal tersebut seperti ingin menelan kalimat itu bulat-bulat; tidak meyakini kebenaran kalimat yang ia nyatakan sendiri.

“Gue takut Suguru hilang dari memori gue, Shoko.”

Shoko terdiam ketika ucapan itu mengudara, ia menatap lekat-lekat pada sahabatnya itu, satu-satunya yang tersisa yang ia miliki saat ini, untuk menemukan kantung mata yang menebal dan menghitam. Kentara sekali tidak beristirahat—kebiasaan jelek setiap kali Satoru yang tempo hari bilang 'udah keremet-remet ini hati gw' melalui pesannya. Fase-fase itu selalu membuatnya menyibukkan diri sebisa mungkin hanya untuk menumpuk perasaan-perasaan yang menurutnya mengganggu tersebut.

“Gue—” ia berhenti, meneguk salivanya sendiri dengan susah payah, “—gue takut banget, Sho.” Satoru bersusah payah untuk mengeluarkan suaranya sementara Shoko mendengarkan dalam diam.

“Beberapa hari gue mimpi terus. Yang ada di sana cuman punggungnya Suguru. Membelakangi gue. Dipanggil berkali-kali pun gue enggak disahutin. Gue bingung. Gue bingung banget, Sho.”

Matanya menutup perlahan sebagai usaha untuk tidak menangis, “setelah itu enggak lama Suguru ngomong sesuatu, tapi—” suaranya tercekat lagi, “—gue. Gue enggak bisa dengar dia ngomong apa, Sho. Gue jadi sadar sesuatu.”

“Gue ngerti,” ucap Shoko pelan.

“Suguru mulai memudar dari memori gue, Sho,” bisiknya, takut jika ia bersuara lebih nyaring daripada itu nantinya semesta akan tahu mengenai hal tersebut—

“Gue mulai lupa suaranya. Gue mulai lupa ketawanya. Bahkan sekarang rasanya wajahnya juga samar,” bisiknya lagi.

“Gue takut, Sho.”

—maka semesta akan mengorek rasa takutnya tersebut dan benar-benar mengambil residu yang tertinggal dari apa yang ia coba kais untuk satukan lagi agar memorinya kembali utuh.

Agar Suguru tetap hidup di dalam dirinya.

“Kalau sampai Suguru pergi lagi, gue enggak tahu apakah gue bakal hidup atau enggak, Sho.”

Shoko memutar mimpi buruknya lagi, mengenai bagaimana hilangnya cahaya hidup Satoru. Mimpi buruknya tentang kehilangan Suguru dan Satoru yang kehilangan binar di matanya.

Konfrontasi yang tidak berlangsung lama setelah Satoru mengajak Suguru mengakhiri hubungan mereka berujung pada menghilangnya Suguru. Sedetik ia masih berada di tempat yang sama, sedetik kemudian Suguru sudah lenyap seperti ditelan oleh bumi.

Tidak ada yang pernah bertemu Suguru semenjak hari itu, entah bagaimana mereka mencarinya dan bertanya ke siapapun. Nihil. Satoru kerap menyalahkan dirinya, bermimpi buruk setiap hari sampai Shoko harus menginap untuk menjaganya tetap waras dan memastikan Satoru memasukkan barang satu atau dua suap nasi ke dalam perutnya.

Mimpi buruk itu adalah mimpi yang Shoko dapat kendalikan, tetapi ia tidak berdaya. Melihat Satoru kehilangan separuh dirinya, jiwanya, nyawanya membuat Shoko lebih sering merokok sebab perempuan itu harus menjadi lebih kuat untuk keduanya.

Karena benar Shoko memang kehilangan sahabatnya, tetapi Satoru kehilangan separuh hidupnya.

Ketika kabar kepergian Suguru bukanlah lagi kepergian dimana eksistensinya masih ada di dunia ini, untuk pertama kalinya Shoko melihat Satoru menangis.

“Satoru tuh kalau nangis enggak ada suaranya.”

Ucapan Suguru beberapa tahun silam terngiang di telinganya ketika melihat Satoru duduk di hadapannya dengan crepes di tangan dan air mata yang mengalir di pipinya dari mata biru jernih itu.

Ketika Shoko membawa temannya itu ke dalam pelukannya, merasakan bagaimana jemari-jemari itu meremat jas dokternya dan bagaimana kepalanya dibawa bersembunyi di pundak Shoko—baru kali itu Shoko merasa bahwa temannya itu terasa kecil dan tidak berdaya. Sebab, sehebat apapun Satoru mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri, ia juga hanyalah seseorang yang menautkan konsep cintanya pada satu orang yang menjadi separuh nyawanya.

Karena benar Shoko ditinggalkan oleh sahabatnya, tetapi Satoru ditinggalkan oleh separuh jiwanya.

“Geto enggak bakal suka kalau lo nyusulin dia secepat ini,” ucap Shoko akhirnya, “gue juga enggak bakal suka, Jo. Banyak yang enggak bakal suka, termasuk tiga anak koas kesayangan lo itu,” tambahnya.

Satoru terkekeh,”kan kalau ajaa, cantiiiik,” ujarnya.

Shoko mengendik yang kemudian Satoru melingkarkan lengannya pada pundak Shoko, merangkulnya mendekat sementara angin kembali berhembus pelan. “Masih keremet-remet enggak tuh hati lo?” tanya Shoko bercanda, mengundang tawa lagi dari Satoru yang kemudian menggeleng kecil.

“Enggak, soalnya tadi barusan Suguru bilang lewat angin kalau dia janji bakal lebih sering mampir.”

“Dia ketawa?”

Satoru mengangguk kemudian membawa langkahnya dan Shoko mundur dari makam, ia mengucap perpisahan dan janji untuk kembali dalam hati.

(“Buat gue, konsep selamanya udah beda, Sho.”)

“Iya, dia ketawa, terus senyum juga.”

Shoko melingkarkan lengannya di pinggang Satoru, membiarkan angin memainkan rambutnya yang tergerai panjang.

“Terus dia bilang juga katanya hati-hati di jalan,” tambah Satoru lagi.

Angin berhembus sekali lagi menerbangkan dedaunan yang jauh di tanah, kali ini Shoko yang angkat suara, “barusan dia bilang, kalau dia sayang sama lo dan gue.”

Satoru tersenyum dan mengacak rambut Shoko, “gue juga selalu sayang sama kalian.”

(“Musim panas adalah selamanya buat gue, gue akan terus ada di bulan Juli menikmati musim panas buat mencintai Suguru. Selamanya.”)


eya.

“kamu tuh beneran gila ya?”

yang muncul di balik pintu pukul tiga pagi itu cuman ketawa aja. seneng berhasil bikin pacarnya ngedumel.

“sejak sama kamu kan aku emang suka jadi gila.”

toh, memang benar. kalau satoru sekarang minta pergi ke mars juga dengan senang hati suguru akan membawanya ke sana; dengan apa dan bagaimana itu urusan nanti.

“ketularan aku sih boleh,” gerutu yang lebih tinggi, seraya menariknya masuk, “cuman gilanya bukan gila yang jam tiga bagi banget kamu di depan rumahku cuman karena aku minta peluk!!”

“buat kamu, enggak ada kata cuman,” timpal suguru langsung, kali ini menarik tangan satoru, sementara satu tangannya lagi langsung berlari ke wajah satoru yang mengernyit merasakan tangan dingin tersebut menangkup sisi wajah bagian kanannya. “kamu tau kan kalau aku bisa ngelakuin apa aja di dunia ini karena kamu?”

termasuk membalikkan dunia juga suguru rela lakukan.

menghela napasnya, satoru jatuh pada sentuhan kekasihnya, “aku tau,” jawabnya, “cuman besok-besok kalau aku minta kayak gini lagi di jam-jam aneh, kamu enggak perlu lah ladenin aku sampai bela-belain jam tiga pagi ke sini,” tambahnya seraya tangannya yang bebas naik melingkupi tangan suguru yang masih berada di pipinya.

“tangan kamu dingin.”

suguru tersenyum tipis, membiarkan satoru membawa tangannya turun dari sana sebelum langkah kakinya diseret menaiki tangga dan memasuki kamar kekasihnya.

tahu-tahu, suguru sudah bergabung dengan satoru di atas ranjangnya. suguru setengah duduk bersandar pada kepala ranjang sementara satoru dengan nyaman menyenderkan tubuhnya pada dada suguru. kedua tangannya sibuk memainkan jemari-jemari suguru yang di bawa ke pinggangnya.

suguru tidak perlu bertanya lebih lanjut sebelum menyirami satoru dengan afeksi yang mampu memberhentikan bising di dalam kepalanya malam ini. dikecupnya berulang kali pucuk kepalanya, sesekali pelipis satoru juga menjadi incaran kecupan-kecupan ringan tersebut sampai satoru akhirnya angkat bicara.

“maaf ya, kepalaku sering berisik kayak gini. kamu jadi ikut repot.”

“mmm—hmmm.” suguru menggumam kecil, sebelum membawa salah satu tangan satoru naik, menggenggamnya lembut sebelum dibawa ke bibirnya, dihirup aromanya, dan dikecupi jemarinya satu-persatu sebelum melakukan hal yang sama pada tangan satunya. “enggak papa kok, aku malah tenang kalau setiap kayak gini kamu bilang sama aku. jadi kamu enggak sendirian.”

jadi kamu enggak sendirian.

satoru sudah terlalu lama sendirian. suguru tahu itu. kali pertama ia bertemu dengan gumaman gila mata ini anak cantik banget gila (sampai dua kali kata gila terlontar), satoru juga sendirian. saking terbiasanya sendirian, suguru dan shoko dahulu baru tahu kalau satoru seringkali melewati hal seperti ini dan lebih memilih meringkuk sendirian di kamarnya.

sebenarnya, ketika mereka masih hanya berteman suguru lebih sering membiarkannya, walau tanpa dipungkiri juga rasa khawatir tentu merayapi tubuhnya. pada akhirnya, ketika satoru kembali menghilang pada suatu hari, yang dilakukan suguru adalah memanjat (jangan tanya bagaimana) hingga menyentuh jendela kamar satoru, mengetuknya perlahan sampai si empu terkejut dan buru-buru membuka jendelanya dan tertawa bingung, “lo nih gila ya?!?!”

suguru rela lakukan apapun demi bisa denger tawa itu lagi.

sejak itu, ia tidak pernah absen di setiap bising itu mengambil alih isi kepala satoru.

“kamu kayaknya orang pertama yang bisa bikin aku jujur sama diri sendiri.”

suguru lebih suka mendengarkan apabila satoru mulai mengeluarkan bising dari dalam kepalanya, sembari sesekali jemari milik satoru bergantian dimainkannya, mengingatkan bahwa lagi-lagi ia ada di sini bersamanya. mengingatkan bahwa suguru ada buat satoru.

“dulu setiap kayak gini, aku suka mikir kayaknya ini tuh cuman angin lalu aja, emang lagi disuruh mikir yang jelek aja.”

“aku denger.” atau sesekali menambahkan hal-hal seperti ini, sekadar kembali mengingatkan bahwa ia mendengarkan.

“cuman waktu pertama kali kamu nemenin aku kayak gini, kamu bilang sama aku—” kalimatnya menggantung di sana, sebelum ia tiba-tiba bangkit untuk duduk tegak dan menatap suguru dengan tatapan horror, “—hah? sug? masa aku lupa kamu bilang apa sama aku waktu itu?!”

suguru tertawa, kali ini menarik satoru langsung ke dalam pelukannya, membiarkan yang lebih tinggi menyamankan dirinya kali ini di atas pangkuan kekasihnya yang masih tergelak dengan penuturan tadi.

“kenapa ketawa sih? harusnya kamu marah sama aku!” protesnya, setelah berhasil mengambil jarak, tetapi masih duduk di atas paha kekasihnya. “sumpah aku lupa, tau, suguruuuuu,” dumelnya, benar-benar kesal melupakan hal tersebut.

yang dilakukan suguru berikutnya adalah mengecup ringan bibir satoru yang bergeming di tempatnya.

“enakan, sayang?”

satoru luluh di sana, tersenyum kecil, “lumayan.”

“oh ya? kenapa cuman lumayan? kamu mau lanjutin ceritanya?”

satoru beranjak dari pangkuan kekasihnya, beringsut memasuki selimut dan perilaku tersebut diikuti pula oleh suguru yang membiarkan dirinya terbaring telentang dengan tangannya sebagai bantal untuk satoru, membiarkan yang sebenarnya lebih jenjang mengaitkan kedua kaki mereka sementara tangannya dibawa melingkar pada pinggang suguru—mencari rasa nyaman.

“sejak kamu bilang itu tuh, maaf ya aku kok lupa kepalaku enggak beres, aku ngerasa aku harus nerima apa yang diomongin sama kepalaku, kalau hal-hal itu emang enggak semuanya benar, tapi kalau semakin aku dorong mereka ke belakang—”

“—semakin mau meledak kamunya,” potong suguru, mengakhiri dengan mengecup sisi wajah satoru yang dijatuhi cahaya lampu kamarnya.

satoru bergumam, seraya memejamkan matanya, “setelah aku lebih pilih buat nerima apapun isi kepalaku, ditemenin kamu juga, episode-episode kayak gini rasanya jadi lebih baik aja,” ucapnya, sembari menyamankan diri sementara tangan suguru digunakan untuk mengusap punggung satoru yang berbalut kaos longgarnya untuk tidur.

karena benar perihalnya. ditemani oleh suguru dalam setiap episode kepalanya berisik itu membuatnya jauh lebih membaik. rentang kejadiannya pun menjadi lebih jauh. dahulu bisa rutin terjadi satu minggu sekali paling sedikit, tetapi semenjak suguru ada di sana dari awal hingga akhir, menemaninya dengan sentuhan-sentuhan ringan, dengan pelukan, dengan kecupan di setiap jengkal wajahnya—rasa bising itu akan terusir perlahan. semakin lama frekuensi kejadiannya berkurang, menjadi satu bulan sekali, sampai akhirnya hanya beberapa kali bising itu mampir dalam satu tahunnya.

semua karena hadirnya suguru.

jemarinya meremat sisi hoodie suguru, kemudian bergumam kecil, “semenjak sama kamu, semuanya membaik.”

“sampai aku takut kamu hilang.”

ketakutan terbesarnya yang dahulu adalah merasa kesepian dan sendiri perlahan berganti menjadi yang lebih penting baginya.

kehilangan cintanya ketika ia sungguh sudah terbiasa dan nyaman dibalut dalam cinta itu kerap kali menakuti dan memenuhi isi kepalanya. kehilangan rasa untuk ingin terus hidup karena cinta yang begitu besar itu tiba-tiba hilang cukup membuatnya takut dan selalu ingin meremat kekasihnya dalam jemarinya—mengatup kedua tangannya dan berdoa kepada dewa mana saja bahwa boleh semua hal diambil dari dirinya; asalkan bukan cintanya yang satu itu.

“aku enggak bakal ninggalin kamu sendirian.”

dan kalimat yang dihembus perlahan seraya tangan-tangan itu memegangi tubuhnya dan bibir itu menghujaninya kecupan adalah jawaban atas doa-doa yang ia panjatkan setiap harinya.

“kalau satu dunia mau pergi dari kamu pun, aku bakal temenin kamu sampai nanti.”

keduanya banyak belajar mengenai cinta sejak pertemuan pertama mereka di musim panas. tentang bagaimana cinta tidak hanya mengenai menerima, tetapi juga memberi dalam porsi yang sama. dengan caranya masing-masing. apabila satoru dengan segala macam cerita dan tingkah tengilnya, maka suguru adalah dengan cara menemaninya dalam hal apapun.

“jangan kemana-mana, ya, suguru?”

“iya, cintaku.”

“janji?”

“janji, cintaku.”

satoru menyamankan letak kepalanya sekali lagi seraya senyuman terulas di wajahnya. kemudian, dengan kantuk yang menyerang karena usapan di punggungnya tidak berhenti dan bagaimana angin dari pendingin ruangan seperti membisik mengembalikan ingatannya kembali ke masa suguru memanjat sampai ke jendela kamarnya, termasuk ketika bagaimana kedua lengan tersebut merengkuh dirinya dan membisik sesuatu yang membuatnya jatuh cinta—ia jatuh tertidur dalam pelukan cintanya yang tidak pernah habis.

suguru memberikan kecup terakhir di kening satoru sebelum kembali membisik pelan sesuatu di telinganya, mungkin hanya didengar satoru di ambang sadarnya saja, tetapi cukup untuk membawanya terbang ke mimpi.

(“kamu enggak perlu sendirian. selama ada aku, kamu enggak bakal ngerasain yang namanya sendiri, cintaku.”)


eya.