[ cw // character death and talk about break up ]
Dulu Satoru tidak percaya tentang konsep selamanya.
Akan tetapi, bertemu dengan Suguru ketika ia masih seorang remaja yang belum paham cara main dunia, cuman tahu gilanya belajar, belajar, dan belajar—ia mulai memahami kerakusan manusia akan konsep selamanya itu.
Satoru lahir di keluarga serba sempurna dengan keadaan serba sempurna pula. Namun, hal tersebut tentu menjadi sebuah tuntutan bertekanan baginya seiring ia bertumbuh besar.
Nilaimu harus A.
Kamu harus sekolah di sekolah top.
Kamu harus bisa menjadi keluarga Gojo yang baik.
Kamu harus sempurna
Dulu Satoru hanya iya-iya saja, tanpa banyak membantah menuruti apapun yang sudah dirancang oleh kedua orang tuanya untuk masa depannya.
Akan tetapi, bertemu Suguru di musim panas dengan tawanya yang menggelegar seraya dirinya dibonceng menggunakan sepeda untuk membeli eskrim di tengah teriknya matahari membuatnya diam-diam menggeliat keluar dari zona nyamannya.
Bersepeda tak tentu arah, berlarian dengan kaki telanjang di bukit belakang sekolah, mengganggu Shoko dengan berbagai macam lelucon (kemudian menemani mood gadis tersebut berubah-ubah ketika tamu bulanan datang), menerobos hujan dengan sembarangan, berbagi popsicle, mengitari alun-alun kota, dan hal-hal lainnya menjadi alasan-alasan mengapa Satoru ingin memaksakan konsep selamanya itu dengan Suguru.
(“Waktu dinas, gue ketemu sama Geto.”)
Satoru dengan segala bising di kepala bertemu Suguru dengan seribu petualangan untuk menyingkirkan bising tersebut.
Tumbuhnya mereka menjadi dewasa seiring pula dengan bertumbuhnya hal-hal lain di dalam mereka.
“Namanya cinta.”
Satoru terbahak keras-keras, sebenarnya tidak ada yang lucu. Ia juga bukan bermaksud membuat Suguru merasa tersinggung. Yang sebenarnya ia lakukan adalah menyembunyikan wajah memerahnya di bawah sinar matahari yang terik itu ketika mendengar kalimat tersebut mengudara dari mulut sahabatnya, tepat setelah ia mengadu (dengan sedikit merajuk) pada sahabatnya tersebut mengenai ia ingin Suguru selamanya bersamanya.
“Kalau salting enggak usah disembunyiin gitu kali, Satoru.”
Ketawanya berhenti saat itu juga. Satoru bukan pribadi yang sering jujur terhadap perasaannya, berbeda dengan Suguru yang lebih gamblang dalam mengeluarkan isi kepalanya.
“Eh gila yang bener aja?”
“Ya enggak tau? Coba lo diskusi sama diri sendiri dulu, kenapa bisa sampai ngerasa kayak gitu?”
Satoru mengerucutkan bibirnya sebal, “emang enggak bisa diskusinya sama lo aja gitu? Ini kan menyangkut lo juga!”
Yang Satoru ingat kala itu adalah bagaimana Suguru tertawa dan menyentil keningnya kemudian berkata sesuatu yang membuatnya merona persis seperti warna popsicle stroberi mereka hati itu.
“Kalau ngobrol sama gue, gue takut egois, Satoru. Soalnya konsep selamanya gue sama lo itu ya karena gue cinta sama lo.”
Setelah itu, Satoru dibiarkan berpikir selama satu minggu yang menyiksa. Rasanya aneh ketika ada orang yang biasa berada di sisimu dalam hal apapun tiba-tiba menghilang. Rasanya aneh dan Satoru tidak menyukai hal tersebut. Sehingga, setelah satu minggu yang memuakkan itu, ia muncul di depan kamar tidur Suguru cuman untuk berucap satu kalimat—
“Konsep selamanya gue sama lo itu bukan cuman cinta aja, tapi gue emang mau semua-muanya sama lo sampai nanti.”
—yang tahu-tahu buat mereka jadi sepasang kekasih; tepat setelah Suguru tertawa atas kalimat itu kemudian membawa bibirnya dalam pagut pertama mereka dan berbisik, “lama ya sadarnya.”
(“Dia nanya, konsep selamanya lo masih sama enggak kayak dulu?”)
Semua hal berubah menjadi dua di dalam hidup Satoru.
Ada dua sepatu putih di rak dengan ukuran yang berbeda. Kemudian dua buah kursi di meja makan. Dua buah sikat gigi di dalam dua gelas yang berbeda di kamar mandi. Dua buah gelas kopi yang tersusun rapi di rak dapur. Dua buah kunci mobil di sebuah piringan depan televisi.
Termasuk rasa cinta yang diberikan.
Satoru bukan seorang anak yang besar dengan kasih sayang. Sehingga, ia juga tidak terbiasa memberi orang di sekitarnya rasa cinta yang sama besar dengan bagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Akan tetapi, Suguru lagi-lagi hadir untuk mengajarkannya cara mencintai.
“Aku cinta kamu.”
Pertama kali Satoru mendengar hal itu adalah di hari pertama mereka akan pergi tidur di apartemen mereka. Satoru yang sudah siap untuk memejamkan matanya di dalam pelukan Suguru buru-buru beringsut menjauh dari sana, matanya membola menatap Suguru aneh di bawah cahaya remang lampu tidur.
“Kenapa kaget gitu?” Suguru tertawa, “kan emang benar kalau aku cinta kamu?”
Sepersekian detik kemudian Satoru merasakan bahwa matanya memanas dan dalam hitungan detik selanjutnya, air mata sudah mengalir dari sana—tanpa suara, membuat Suguru panik dan buru-buru menarik Satoru lagi ke dalam pelukannya. Ia membiarkan bagian depan kaos tidurnya terasa basah karena air mata sementara tangannya digunakan untuk mengusap punggung Satoru yang kali ini tubuhnya gemetar, seperti berusaha menghentikan tangisnya secara paksa.
“Hei. Hei. Maaf. Maaf. Maaf kalau aku salah omong,” ulang Suguru berkali-kali seraya mengecup pucuk kepala yang bersurai putih. “Sayang. Satoru sayang. Maaf ya? Maaf aku salah omong,” ucapnya lagi ketika Satoru berangsur mereda tangisnya. Tangis tanpa suara itu jelas membuat Suguru lebih panik, takut-takut ia benar-benar melakukan kesalahan fatal.
Ia membiarkan bagaimana napas ditarik dengan kuat beberapa kali sebagai efek samping sesak karena menangis, selain itu wajah Satoru masih disembunyikan di atas dadanya, menyebabkan Suguru meletakkan dagunya tepat di atas kepala Satoru sekarang dengan tangannya yang tidak bosan untuk tetap mengusap-usap punggung Satoru dan satunya lagi melingkar di sekitar pinggangnya.
“Sorry,” ucap Satoru akhirnya, suaranya teredam karena posisinya, tetapi Suguru terlatih mendengarkan sehingga ia hanya tetap melakukan apa yang ia lakukan untuk membiarkan Satoru tahu bahwa ia mendengarkan. “Kaget beneran. Habisnya terakhir kamu ngomong cinta gitu tuh lama banget, kayaknya waktu aku pertama nanya ke kamu itu, deh,” akunya dalam satu tarikan napas, masih dengan suara kecil, ketara sekali bahwa ia berusaha menenggelamkan peristiwa beberapa menit lalu yang membuatnya emosional.
Kemudian ia berbisik pelan, “aku belum biasa kayak gini,” ucapnya, seperti takut apabila ia ucapkan dengan lantang, maka hal-hal tersebut akan hilang bersamaan dengan angin musim panas yang berhembus tidak nyaman.
“Mmm-hmm. Aku ngerti, kok.”
Suguru benar-benar mengerti sebab ketika ia pertama kali maniknya bersitatap dengan milik Satoru yang biru cemerlang itu, yang bisa ia lihat hanyalah palung kesepian. Membuat Suguru berpikir bahwa anak itu pasti menghabiskan hidupnya lebih banyak sendiri daripada dilingkupi kasih sayang yang harusnya menemani ia tumbuh dewasa. Maka, Suguru bawa Satoru ke dalam petualangan-petualangan menyenangkan berupa berlarian ke puncak bukit dengan kaki telanjang, bersepeda tidak tentu arah, atau hanya sekadar duduk di halte bus seraya menghitung berapa banyak mobil dengan warna tertentu berlalu-lalang.
Seiring keduanya tumbuh dewasa, entah di musim panas yang keberapa, Suguru menyadari bahwa seiring netra biru itu berubah menjadi cemerlang, ada sesuatu yang turut bergeser di dalam dirinya.
Petualangan-petualangan itu bukan lagi perihal mencoba menyingkirkan rasa kesepian dari dalam diri Satoru, perlahan hal-hal itu bergeser menjadi niat yang lain; misalnya hanya supaya ia bisa menikmati bagaimana Satoru tertawa di bawah terik mentari sore yang lebih jingga dari biasanya atau hanya sebatas modus kecil untuk mengusak-usak rambut perak itu dengan dalih menyingkirkan air hujan dari rambutnya setelah berlarian menerobos hujan dan menabrak sembarang kubangan air.
Petualangan-petualangan itu bergeser untuk menyenangkan hatinya yang jatuh cinta.
Fase-fase denial itu mampir selama beberapa hari, sembari Suguru coba mencari alasan kenapa ia bisa jatuh cinta dan apakah alasan tersebut masuk akal.
Mungkin karena netra birunya itu.
Mungkin karena tawanya itu.
Mungkin karena bagaimana ia langsung terserang flu setelah terkena hujan.
Mungkin karena bagaimana ia mengomel ketika merasakan brain freeze.
Makin dicari, maka makin Suguru merasa sepertinya memang hal-hal yang melekat pada Satoru—apapun itu—yang membuatnya jatuh cinta di musim panas yang terik. Maka ketika suatu hari Satoru datang dan menanyakan kebingungannya tentang konsep selamanya, Suguru rasa adil bila ia keluarkan apapun yang mengganjal di dalam pikirannya; membuat Satoru jatuh dalam hening selama satu minggu lamanya, tidak ingin sahabat tengilnya itu hanya ikut-ikutan jatuh cinta hanya karena ia iseng bilang “namanya cinta” saat itu, tetapi ia tidak pernah berintensi jahil terkait konsep selamanya bagi Suguru adalah karena ia sudah kepalang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
Pun ketika Satoru utarakan kembali konsep selamanya miliknya sendiri, Suguru bawa bibir itu dalam sebuah ciuman ringan dan ia tersenyum ketika manik-manik biru itu menutup perlahan bahkan bertahan seperti itu setelah ia menarik dirinya menjauh, kemudian tertawa ketika Satoru berbisik pelan, “gila gini ya rasanya ciuman.” dengan semburat merah muncul di wajahnya.
Cantik sekali, Suguru berani sumpah.
Semenjak itu, yang Suguru tahu adalah ketika hatinya memang sudah lama jadi milik Satoru maka kali ini yang akan ia ajarkan pada Satoru adalah petualangan-petualangan menyenangkan lainnya tentang mencurahkan cinta.
“Maaf, kalau kamu enggak nyaman aku bisa berhenti kayak gitu, kok.”
“Jangan.”
Jawaban cepat itu terdengar mencekat ketika habis diucap, seperti ada yang menahan tenggorokannya untuk berucap lebih lanjut.
“Aku mau dengar setiap hari,” tambah Satoru pada akhirnya. “Aku mau tau kalau kamu cinta aku, setiap hari,” tuturnya lagi.
“Mmm-hmm. Aku cinta kamu. Selamanya.”
Malam itu adalah tidur ternyenyak Satoru sepanjang umurnya berjalan.
(“Soalnya dia bilang kalau—”)
Satoru mendelik pada tulisan yang ditempelkan di atas nakas samping tempat tidur mereka. Isinya selalu sama setiap hari.
Aku kayaknya pulang telat hari ini. Kamu tidur duluan, ya. Ada sup di panci, jangan lupa diangetin. Jangan lupa makan. Ada kue juga di kulkas. Aku cinta kamu.
Isinya selalu sama setiap hari, hanya berganti sedikit apabila ia harus meninggalkan pesan lainnya.
“Kirim pesan apa enggak sempat, dikiranya ini tahun berapa sih pakai sticky notes,” dengusnya sebal, tetapi tetap melakukan apa yang diminta dalam pesan tersebut.
Kehidupan berjalan lebih cepat dari yang diduga, tahu-tahu keduanya hanya akan berada di apartemen di malam hari. Saling mengucap cinta sebelum pergi tidur dan sebelum meninggalkan pintu apartemen tertutup di belakang punggung setiap pagi.
Itu apabila mereka memang bertemu.
Suguru sibuk dengan dunia dan ambisinya.
Satoru sibuk dengan dunia dan egonya.
Ia duduk di atas meja makan kecil apartemen mereka dengan semangkuk sup di hadapannya yang asapnya sudah menghilang dibawa angin. Sup itu dibiarkan teronggok tanpa disentuh sekalipun. Seakan-akan eksistensinya hanya untuk menemani hening yang mengisi apartemen mereka.
Satoru berhenti menghitung musim panas keberapa yang mereka lalui, sebab konsep selamanya itu terpatri di pikirannya. Sebab ia pikir dengan eksistensi selamanya itu, sehening apapun keadaan di antara mereka sekarang, seharusnya hal-hal itu akan segera terusir apabila setelah ini pintu apartemen terbuka dan menampakkan sosok yang dinanti-nanti untuk pulang.
Satoru duduk lebih lama lagi di kursi meja makan. Mangkuk sup tersebut masih terisi penuh di atas meja. Sesekali melirik pada jam dinding yang digantung di dekat televisi mereka, benda itu keberadaannya seakan hanyalah formalitas; toh tidak ada di antara mereka yang mengingat waktu untuk tetap pulang ke rumah.
Hanya sekadar untuk mengucap selamat malam atau kata cinta itu lagi sebelum terlelap dalam tidur.
Buatnya, musim panas selalu menjadi saat-saat paling membahagiakan. Banyak hal pertama yang ia lalui. Pertama kali melepas sepatunya untuk berlarian di bukit, pertama kali makan popsicle, pertama kali menggendong kelinci ke dalam pelukan, pertama kali melepaskan payung untuk terbang entah ke mana dan berlarian di bawah hujan, pertama kali tertawa sebebas itu dalam semua kata pertama mereka.
Buatnya, Suguru selalu menjadi yang pertama dalam hidupnya. Ia hadir dalam setiap peristiwa pertama bagi Satoru.
Cintanya juga hadir sebagai yang pertama untuk mencintai Satoru.
Maka ketika cinta itu menjadi dasar konsep selamanya milik Satoru, ia tidak enggan meninggalkan semua hal-hal yang tidak mendukung konsep selamanya itu.
Suara kunci apartemennya yang berbunyi beep beep beep berkali-kali menandakan bahwa ada yang memasukkan pin ke sana menyadarkan Satoru bahwa ada seseorang yang pulang.
Sekarang musim semi tiba.
Buatnya, musim semi adalah masa-masa peralihan yang cukup memainkan isi kepala. Semester baru biasanya dimulai. Intensitasnya bertemu dengan Suguru berkurang—ia tenggelam dalam dunianya, begitu pula dengan Suguru.
“Satoru? Kamu di rumah? Kenapa lampu ruang tengah enggak dinyalakan?”
Ah. Itu dia.
Buatnya, musim semi dimana bunga-bunga bermekaran dan dimana angin mulai berhembus lebih dingin dan menyejukkan—adalah saat di mana kasurnya akan terasa lebih dingin dan kosong dari biasanya.
Mereka masih muda, dengan ambisi menggebu yang tiada padamnya untuk membuktikan diri pada dunia.
Kata cinta itu tidak pernah lagi terucap, hanya sekadar sapa sebelum tidur dan beraktivitas. Mungkin, sesekali akan terucap, tetapi tanpa jiwa yang hidup seperti sebelumnya setiap kata itu terhembus.
Memangnya, cinta itu masih ada?
Satoru lebih banyak meringkuk di atas kasurnya, berusaha memahami bagaimana konsep cinta dan selamanya itu bisa ia tumpuk menjadi satu. Namun, tidak akan pernah bisa ia campurkan menjadi satu. Kedua hal tersebut tidak akan pernah homogen dalam satu waktu, keduanya akan tetap terpisahkan layaknya air dan minyak—memiliki ruang sendiri dan tidak dapat dimiliki bersama-sama dengan serakah.
Satoru lebih banyak meringkuk memeluk lututnya sebersamaan bagaimana semua peristiwa pertama itu menciut menjadi hanya sekadar memori—tidak ada lagi cinta yang membumbui di sana.
Satoru lebih banyak meringkuk memeluk dirinya sendiri sebersamaan dengan konsep selamanya itu ikut meringkuk di dalam dirinya, mulai kehilangan eksistensinya.
Sebab, Satoru mulai meragu akan cintanya.
Lampu ruang tengah menyala, Satoru bergeming.
“Satoru?”
Itu dia. Cintanya.
Satoru rasa memang cinta itu sudah tidak ada di sana. Sudah habis di musim panas mereka yang menyenangkan sebersamaan dengan demam-demam kecil itu pergi.
“Suguru.”
Cintanya. Selamanya menjadi cintanya.
Dengan bagaimana musim panas itu berakhir dan musim semi itu datang, mengusir hal-hal yang mengulurkan tangannya untuk membuatnya percaya dengan konsep cinta dan selamanya dapat menjadi satu–
“Mungkin sudah waktunya buat kamu dan aku enggak sama-sama lagi.”
—Satoru mengatupkan tangannya berdoa pada tuhan yang mana saja, bahwa ia ingin kembali ke bulan-bulan musim panas, bertelanjang kaki di bukit belakang sekolah. Sebab ia rasa cintanya ada di sana, di musim panas mereka saat itu.
Hening mereka belum pernah semenyakitkan itu.
(Satoru tertawa, “konsep selamanya?” tanyanya, memotong ucapan Shoko.)
“Gue selalu penasaran setiap datang ke makam, sebenarnya lo berdoa apa sih buat Geto?” tanya Shoko, memposisikan dirinya berdiri di sebelah Satoru yang masih mengatupkan kedua tangannya seraya memejamkan mata.
Perempuan dengan rambut panjang yang terurai itu, kali ini tanpa jas dokternya, ikut melakukan hal yang sama mengucapkan doa-doa untuk menyertai keberadaan yang sudah tidak berpijak di dunia lagi.
Ketika Shoko menurunkan tangannya dan menatap makam di depannya, begitu pula yang dilakukan Satoru.
“Banyak.”
Satoru masih memejamkan matanya. “Banyak yang gue doakan untuk Suguru. Dari sehatnya sampai bahagianya. Dari yang terpendek sampai terpanjang. Apapun yang baik, yang pantas dia punya di atas sana,” ucapnya lagi, kali ini ada senyuman di wajahnya seraya ia membuka matanya.
“Gue juga minta sesuatu, Sho.”
“Hmmm?”
“Gue minta dia sering-sering mampir ke hidup gue dan lo tentu saja,” ucapnya, senyuman masih terpatri di sana dalam intensi lain, “dia boleh mampir dalam bentuk apa aja. Mimpi, cuitan burung-burung, buih air, atau sekadar lewat angin musim panas.”
Rambut Shoko yang digerai itu berterbangan perlahan ketika angin berembus pelan, membuat Satoru tertawa kecil, “tuh, dia.”
“Hai, Geto,” senyum Shoko.
“Hai, Suguru, aku mampir sama si cantik kurang tidur ini,” beo Satoru, dihadiahi pukulan kecil di pinggangnya.
Keduanya jatuh dalam hening yang nyaman, membiarkan masing-masing mulai hanyut dalam memori-memori mereka dengan orang yang eksistensinya hanya tersisa dalam memori dan hati mereka.
“Kenapa—” Shoko memecah hening terlebih dahulu dengan suara yang tercekat di tenggorokannya, “—kenapa lo minta dia mampir supaya lo ingat sama dia?”
“Lo pernah takut sama yang namanya kehilangan, Sho?”
Shoko berdecak bingung sebab pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lainnya, “pernah. Kehilangan lo sama Geto, terus kehilangan orang-orang yang nyawanya bisa gue bantu,” jawabnya, kali ini menoleh untuk menatap Satoru yang masih betah menatap nisan di hadapannya.
“Sama,” ucap Satoru. “Gue takut banget kehilangan Geto sama lo, Sho.”
Shoko tersenyum kecil, “oh, kayak gitu? Sekarang gue tanya lagi, kita udah kehilangan dia, apa yang bikin lo masih takut?”
“Gue takut kehilangan Suguru lagi.”
“Suguru emang udah enggak ada, Gojo…,” ucap Shoko melirih di ujung kalimatnya, berusaha berbisik mengenai hal tersebut seperti ingin menelan kalimat itu bulat-bulat; tidak meyakini kebenaran kalimat yang ia nyatakan sendiri.
“Gue takut Suguru hilang dari memori gue, Shoko.”
Shoko terdiam ketika ucapan itu mengudara, ia menatap lekat-lekat pada sahabatnya itu, satu-satunya yang tersisa yang ia miliki saat ini, untuk menemukan kantung mata yang menebal dan menghitam. Kentara sekali tidak beristirahat—kebiasaan jelek setiap kali Satoru yang tempo hari bilang 'udah keremet-remet ini hati gw' melalui pesannya. Fase-fase itu selalu membuatnya menyibukkan diri sebisa mungkin hanya untuk menumpuk perasaan-perasaan yang menurutnya mengganggu tersebut.
“Gue—” ia berhenti, meneguk salivanya sendiri dengan susah payah, “—gue takut banget, Sho.” Satoru bersusah payah untuk mengeluarkan suaranya sementara Shoko mendengarkan dalam diam.
“Beberapa hari gue mimpi terus. Yang ada di sana cuman punggungnya Suguru. Membelakangi gue. Dipanggil berkali-kali pun gue enggak disahutin. Gue bingung. Gue bingung banget, Sho.”
Matanya menutup perlahan sebagai usaha untuk tidak menangis, “setelah itu enggak lama Suguru ngomong sesuatu, tapi—” suaranya tercekat lagi, “—gue. Gue enggak bisa dengar dia ngomong apa, Sho. Gue jadi sadar sesuatu.”
“Gue ngerti,” ucap Shoko pelan.
“Suguru mulai memudar dari memori gue, Sho,” bisiknya, takut jika ia bersuara lebih nyaring daripada itu nantinya semesta akan tahu mengenai hal tersebut—
“Gue mulai lupa suaranya. Gue mulai lupa ketawanya. Bahkan sekarang rasanya wajahnya juga samar,” bisiknya lagi.
“Gue takut, Sho.”
—maka semesta akan mengorek rasa takutnya tersebut dan benar-benar mengambil residu yang tertinggal dari apa yang ia coba kais untuk satukan lagi agar memorinya kembali utuh.
Agar Suguru tetap hidup di dalam dirinya.
“Kalau sampai Suguru pergi lagi, gue enggak tahu apakah gue bakal hidup atau enggak, Sho.”
Shoko memutar mimpi buruknya lagi, mengenai bagaimana hilangnya cahaya hidup Satoru. Mimpi buruknya tentang kehilangan Suguru dan Satoru yang kehilangan binar di matanya.
Konfrontasi yang tidak berlangsung lama setelah Satoru mengajak Suguru mengakhiri hubungan mereka berujung pada menghilangnya Suguru. Sedetik ia masih berada di tempat yang sama, sedetik kemudian Suguru sudah lenyap seperti ditelan oleh bumi.
Tidak ada yang pernah bertemu Suguru semenjak hari itu, entah bagaimana mereka mencarinya dan bertanya ke siapapun. Nihil. Satoru kerap menyalahkan dirinya, bermimpi buruk setiap hari sampai Shoko harus menginap untuk menjaganya tetap waras dan memastikan Satoru memasukkan barang satu atau dua suap nasi ke dalam perutnya.
Mimpi buruk itu adalah mimpi yang Shoko dapat kendalikan, tetapi ia tidak berdaya. Melihat Satoru kehilangan separuh dirinya, jiwanya, nyawanya membuat Shoko lebih sering merokok sebab perempuan itu harus menjadi lebih kuat untuk keduanya.
Karena benar Shoko memang kehilangan sahabatnya, tetapi Satoru kehilangan separuh hidupnya.
Ketika kabar kepergian Suguru bukanlah lagi kepergian dimana eksistensinya masih ada di dunia ini, untuk pertama kalinya Shoko melihat Satoru menangis.
“Satoru tuh kalau nangis enggak ada suaranya.”
Ucapan Suguru beberapa tahun silam terngiang di telinganya ketika melihat Satoru duduk di hadapannya dengan crepes di tangan dan air mata yang mengalir di pipinya dari mata biru jernih itu.
Ketika Shoko membawa temannya itu ke dalam pelukannya, merasakan bagaimana jemari-jemari itu meremat jas dokternya dan bagaimana kepalanya dibawa bersembunyi di pundak Shoko—baru kali itu Shoko merasa bahwa temannya itu terasa kecil dan tidak berdaya. Sebab, sehebat apapun Satoru mampu berdiri dengan kedua kakinya sendiri, ia juga hanyalah seseorang yang menautkan konsep cintanya pada satu orang yang menjadi separuh nyawanya.
Karena benar Shoko ditinggalkan oleh sahabatnya, tetapi Satoru ditinggalkan oleh separuh jiwanya.
“Geto enggak bakal suka kalau lo nyusulin dia secepat ini,” ucap Shoko akhirnya, “gue juga enggak bakal suka, Jo. Banyak yang enggak bakal suka, termasuk tiga anak koas kesayangan lo itu,” tambahnya.
Satoru terkekeh,”kan kalau ajaa, cantiiiik,” ujarnya.
Shoko mengendik yang kemudian Satoru melingkarkan lengannya pada pundak Shoko, merangkulnya mendekat sementara angin kembali berhembus pelan. “Masih keremet-remet enggak tuh hati lo?” tanya Shoko bercanda, mengundang tawa lagi dari Satoru yang kemudian menggeleng kecil.
“Enggak, soalnya tadi barusan Suguru bilang lewat angin kalau dia janji bakal lebih sering mampir.”
“Dia ketawa?”
Satoru mengangguk kemudian membawa langkahnya dan Shoko mundur dari makam, ia mengucap perpisahan dan janji untuk kembali dalam hati.
(“Buat gue, konsep selamanya udah beda, Sho.”)
“Iya, dia ketawa, terus senyum juga.”
Shoko melingkarkan lengannya di pinggang Satoru, membiarkan angin memainkan rambutnya yang tergerai panjang.
“Terus dia bilang juga katanya hati-hati di jalan,” tambah Satoru lagi.
Angin berhembus sekali lagi menerbangkan dedaunan yang jauh di tanah, kali ini Shoko yang angkat suara, “barusan dia bilang, kalau dia sayang sama lo dan gue.”
Satoru tersenyum dan mengacak rambut Shoko, “gue juga selalu sayang sama kalian.”
(“Musim panas adalah selamanya buat gue, gue akan terus ada di bulan Juli menikmati musim panas buat mencintai Suguru. Selamanya.”)
eya.