— 30 Days OTP Challenge Day 28 —
Kuapan malas mengudara seraya tubuhnya diregangkan. Masih terduduk di atas kasur dengan malas dan selimut yang masih menutupi dari pinggang hingga kakinya, ia menepuk-nepuk pipinya berusaha mengumpulkan nyawanya untuk segera beraktivitas. Setelah dirasa cukup, maka selimutnya disibak lalu ia beranjak berdiri dan sekali lagi meregangkan tubuhnya. Hawa dingin begitu keluar dari selimut langsung merambati dan menusuk tubuhnya, membuatnya kali ini sepenuhnya terjaga.
Netranya bergulir malas untuk mencari fakta tanggal berapakah hari ini di Bulan Desember. Bergumam oh pelan dengan suara serak sebelum melirik jendela di samping kepala kasurnya dan mendapati salju sudah turun.
Salju pertama di tahun ini.
“Aku serius, Osamu! Pulanglah sebelum malam tahun baru, kasihan mama rindu.”
Jujur, telinga Osamu sudah panas mendengarkan kembarannya sedari tadi berceloteh di telinganya sepanjang perjalanan ia menuju swalayan. Ingin mematikan sambungan telepon sepihak tetapi ia tahu kembarannya itu akan mengadukan hal ini kepada ibu mereka dan berujung Osamu akan diomeli oleh ibu mereka. Padahal, Atsumu juga sering melakukan hal ini—memutuskan sambungan telepon sepihak, dan Osamu tidak pernah, tuh, mengadukan hal ini kepada ibunya.
“Iya. Aku pulang. Nanti aku kirim bukti aku memesan tiket.”
“Awas saja bohong.”
Osamu mendengus sebal lalu berhenti ketika lampu jalan untuk pejalan kaki berubah menjadi berwarna merah, “Iya, cerewet. Aku tutup. Salam untuk Mama dan Kiyoomi.” Lalu Osamu memutuskan sambungannya sepihak, toh, ia sudah pamit. Ponselnya disimpan lagi ke dalam kantung coat-nya yang ia gunakan hari ini. Pandangannya kembali ke jalanan di depannya. Melamun seraya menatap orang-orang yang berlalu-lalang seraya merangkul kekasihnya berbagi rasa hangat di hari pertama salju turun.
Ketika lampu jalanan untuk pejalan kaki sudah berubah menjadi hijau, Osamu masih bergeming di tempatnya, tubuhnya kadang tidak sengaja tersenggol beberapa orang yang lalu-lalang di jalan yang sama. Pikirannya terbuai entah ke mana seraya memandang sekitar. Sedetik kemudian, ia berbalik. Tidak jadi pergi ke swalayan. Kakinya berat. Kepalanya juga.
Apalagi hatinya.
Ia melangkah pulang.
Pulang ke rumahnya yang dingin.
Setelah mengirimi bukti ia membeli tiket pulang ke Jepang pada Atsumu dan ibunya juga Kiyoomi sebagai jaga-jaga saja jika Atsumu mengada-ada pada ibu mereka dan ibunya tidak membuka pesan Osamu, baru Osamu melempar dirinya ke sofa dan menyalakan televisi di unit apartment-nya. Begitu televisinya menyala, Osamu tidak melakukan apapun, tidak ada niat mengganti saluran sesuai apa yang ia inginkan, pun niat untuk menontonnya juga nihil. Yang dilakukannya setelah itu hanyalah menatap kosong televisi sebelum tidak lama terlelap di sofa.
Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya yang menelisik masuk ke indera penglihatannya, asalnya adalah dari televisi yang masih menyala dan menampilkan berita yang tentu saja masih tentang salju pertama yang turun di tahun ini. Osamu menguap sekali sebelum berdiri dan meregangkan tubuhnya yang terasa pegal karena tertidur di sofa. Betisnya dibawa melangkah ke dapur, menyiapkan air panas untuk membuat coklat hangat, menolak untuk membuat kopi karena ia ingin tidur cepat saja malam ini mumpung ini masih hari liburnya dan ia harus menyimpan tenaganya karena nantinya ia akan duduk cukup lama di pesawat untuk pulang ke Jepang.
Setelah secangkir coklat hangat selesai dibuat, Osamu kembali duduk di sofanya dan mengganti saluran televisi di depannya, mencari film yang sedang tayang atau apa saja yang penting dapat mengusir kebosanannya. Coklat hangat dihirup sedikit demi sedikit, lalu ditaruh di meja kecil sementara dirinya fokus pada televisi menatap film yang bahkan ia tidak tahu judulnya dengan tatapan kosong. Berakhir dengan ia yang lagi-lagi bosan dan melempar pandangannya keluar jendela.
Langit malam telah naik untuk menyapa.
Salju masih turun dan udara semakin dingin. Keputusan bagus untuk pulang lusa karena takut-takut salju turun lebih lebat lagi dan ia tidak bisa terbang pulang.
Helaan napas berat kembali mengudara seraya Osamu menoleh ke televisi lagi.
Rasanya kosong.
Rasanya hampa.
Ada yang hilang. Sebuah bagian dari memorinya. Ada yang hilang. Sebuah penggalan kisah tentang salju pertama. Ada yang hilang. Sebuah kebiasaan lama. Ada yang hilang.
Dan ia rindu.
Osamu rindu.
Berat untuk bernapas seraya mengucapkan kata rindu. Entah karena ego yang tinggi. Atau karena segan berucap?
Tapi, toh, tahun lalu tidak ada yang ego yang menghalangi keduanya.
Osamu ingat betul bagaimana ia duduk menghabiskan coklat hangat seraya berbagi selimut dan berdesakan di atas sofa yang cukup kecil untuk mereka berdua. Bagaimana akan ada senda gurau kecil yang membuat Osamu mampu terbahak. Atau keheningan yang biasanya dipecahkan dengan kalimat acak yang konyol oleh mantan kekasihnya itu.
“Kamu tahu tidak?”
“Apa, Rin?”
“Tadi burung gereja bilang ke aku kalau kamu hari ini tetap menawan seperti biasa.”
Kalimat sederhana yang kadang membuat Osamu mabuk kepayang jika diingat saat mereka masih dimabuk asmara. Namun, ketika sekarang hanya rasa rindu yang menusuk, hal itu malah menjadi sebuah pengasah yang mempertajam tombak rindu itu di hatinya.
Tahun lalu, salju pertama dihabiskan dengan mereka yang berjalan berdempetan di trotoar sembari tangan Osamu diberi hangat di dalam kantung jaket milik Rintarou, sesekali bertingkah konyol dengan menghitung seberapa banyak langkah yang mereka habiskan untuk mencapai rumah mereka. Kadang sengaja memutar satu komplek perumahan agar menjadi genap dan kadang dikecilkan untuk menggenapkannya. Lalu tertawa konyol seakan baru saja melakukan sesuatu yang bodoh.
“Aneh banget kita menghitung langkah, Rin!”
“Enggak apa. Seberapa banyak langkah yang aku ambil bersama kamu, aku suka, kok.”
Osamu terkekeh mengingat kenangan yang satu persatu mulai berdatangan padahal ia sudah berusaha melupakannya di hari mereka berpisah. Di hari salju turun deras ketika keduanya bertengkar hebat dan tidak dapat lagi memanggil satu sama lain sebagai rumah untuk berpulang ke dalam dekap hangat. Osamu sudah berusaha keras melupakannya.
Namun, terkadang memori adalah sesuatu paling tidak tahu diri di hidup semua orang.
Bisa saja ia mampir tanpa permisi, membuka kembali jalan masa lalu. Memberi harapan. Lantas memusnahkannya juga.
Osamu tidak masalah jika memori tiba-tiba menyapanya begini.
Tapi, apakah Rintarou merasakan hal yang sama?
Apakah Rintarou menghabiskan malam salju pertamanya tanpa tidur dan menatap kosong televisi yang salurannya enggan diganti? Apakah Rintarou sama rindunya dengan segala rangkaian memori yang mampir tanpa mengetuk pintu?
Osamu mendengus geli.
Karena, mana mungkin orang itu rindu.
Lantas, kakinya dibawa menumpu beban tubuhnya, menuju lemari dan mengambil beberapa barangnya untuk dikemasi. Pergi dari tempat ini untuk sementara waktu.
Karena, rumahnya pun bukanlah di sini lagi.
fluctuius.