fluctuius

i leave my thoughts here.

— 30 Days OTP Challenge Day 30 —

[ domestik. satu semesta dengan With The Night Sky yang merupakan karyaku juga di ffn: https://m.fanfiction.net/s/13606453/1/With-The-Night-Sky ] — disarankan membaca itu terlebih dahulu.


“Itu kotak terakhir?”

Tetsurou yang sedang mengangkat kardus terakhir memasuki kamar mengangguk pelan. Dirinya lelah, seharian mengangkut puluhan kardus bersama kekasihnya ke apartment baru mereka. Setelah melewati serangkaian usaha pendekatan (lagi), keduanya akhirnya menjalin kisah kasih lagi dan memutuskan membeli sebuah unit apartment bersama dan pindah ke sana. Keduanya enggan untuk kembali tinggal di unit lama milik Tetsurou maupun rumah milik Yaku yang kini hanya Yaku sewakan agar ia tetap mendapatkan uang walaupun ia tidak menempati rumah itu.

Read more...

— 30 Days OTP Challenge Day 29 —


“Kak Omi naksir orang!” adalah teriakan dari Shoyo yang memenuhi kamar asrama mereka sore itu. Membuat Atsumu menurunkan majalah yang sedang ia baca dari pandangannya dan membuat Koutarou yang tadinya sedang sibuk pundung di kasurnya sendiri beralih fokus dengan wajah semangat dari kasurnya yang berada di atas kasur Atsumu.

“Shoyo!” Kiyoomi berdecak sebal. Ingin marah—tapi ini Shoyo. Tidak ada yang bisa marah dengan Shoyo kecuali anak itu melakukan suatu hal yang benar-benar tidak masuk di akal, selebihnya maka mereka akan membiarkan Shoyo.

Atsumu menatap penasaran ke arah Kiyoomi yang menjadi kikuk sendiri harus bagaimana atas bocornya rahasia yang ia simpan.

“Hooo tidak beruntung sekali orang itu.” Atsumu berucap.

“Maksudmu?” sewot Kiyoomi yang tidak terima.

“Ya tidak beruntung sekali orang itu karena Omi suka dia.”

Kiyoomi sudah menggulung lengan bajunya dan Atsumu berlari menuju pintu kamar asrama mereka dan berlari keluar saat Kiyoomi berucap, “Kemari kamu bocah tengik!” Sementara, Atsumu sudah berlari di koridor gedung asrama mereka dan Kiyoomi yang turut mengejarnya dari belakang.

Koutarou yang suasana hatinya masih cukup buruk memilih bertanya kepada Shoyo secara langsung. “Memangnya siapa yang ditaksir Omi?”

Shoyo yang sudah merangkak naik ke atas kasurnya yang berada di atas kasur Kiyoomi berujar bingung kepada Koutarou yang sekarang jadinya juga ikut bingung.

“Huh? Bukannya sudah jelas Kak Omi suka dengan Kak Atsumu?”


Drama kejar-kejaran itu berakhir dengan Atsumu yang mengangkat tangannya tanda menyerah ketika ia sudah tidak mampu lari lagi dari kejaran Kiyoomi yang bahkan masih mengejarnya sampai ke rooftop tempat mereka biasanya menjemur baju mereka setelah dicuci.

“Capek, sumpah. Niat banget Omi ngejar aku sampai ke sini.”

Keluhan yang Atsumu tahan sedari tadi ia udarakan seraya tubuhnya merosot dan berakhir duduk bersandar pada pagar di rooftop.

“Salah siapa menyebalkan.”

“Haaah? Yang menyebalkan itu Omi!”

“Kenapa aku?”

Bahunya digendikkan, “Enggak tahu. Murni aja.”

“Bukannya yang murni menyebalkan itu kamu? Yang mengatai penggemarnya. Yang songong abis.”

“Sialan.”

Kiyoomi tertawa mengejek. “Sama-sama.”

Keheningan merayapi atmosfer di antara keduanya. Napas Atsumu masih tersengal sementara Kiyoomi sudah berhasil mengatur kembali napasnya yang tadi juga berantakan karena mengejar Atsumu sampai ke sini. Sejujurnya, Kiyoomi juga tidak mengerti kenapa ia mau mengejar Atsumu sampai ke atas rooftop yang penuh debu ini.

“Aku juga naksir orang.” Atsumu berucap tiba-tiba, membuat Kiyoomi menaikkan kedua alisnya. “Kasian orang yang kamu taksir.”

“Balik ngeledek aku, nih?”

Kiyoomi balas mengendikkan bahunya dan melipat kedua tangannya di depan dada.

“Siapa?” tanya Kiyoomi.

“Kamu.”

Kali ini Kiyoomi hampir kehilangan kewarasannya. Sementara Atsumu tertawa karena membayangkan wajah seperti apa yang sebenarnya dibuat Kiyoomi di balik maskernya ketika Atsumu menjawab dengan gamblang. Walau tertawa, sebenarnya jantung Atsumu berdetak dengan tidak normal sedari tadi, agak takut dengan reaksi yang akan diberikan Kiyoomi nantinya.

“Tapi kayaknya bertepuk sebelah tangan, ya. Ya sudah, sih. Cuman bilang.”

Lagi, keheningan merayapi keduanya. Karena hal ini Atsumu merutuki dirinya sendiri dalam hati karena membuat suasana di antara keduanya menjadi canggung begini. Akhirnya ia berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu untuk kembali turun dari rooftop dan kembali ke kamar asrama mereka.

“Uh, aku kembali duluan, ya?”

Kiyoomi tidak menjawab membuat Atsumu meneruskan langkahnya dan mulai menuruni tangga ketika Kiyoomi memanggilnya dan berbicara cepat.

“Hei, Atsumu. Tidak bertepuk sebelah tangan, kok.”

Atsumu hampir jatuh di tangga.


fluctuius.

(maaf banget!! i really don't know how to make fun on one another D: huhu)

— 30 Days OTP Challenge Day 28 —


Kuapan malas mengudara seraya tubuhnya diregangkan. Masih terduduk di atas kasur dengan malas dan selimut yang masih menutupi dari pinggang hingga kakinya, ia menepuk-nepuk pipinya berusaha mengumpulkan nyawanya untuk segera beraktivitas. Setelah dirasa cukup, maka selimutnya disibak lalu ia beranjak berdiri dan sekali lagi meregangkan tubuhnya. Hawa dingin begitu keluar dari selimut langsung merambati dan menusuk tubuhnya, membuatnya kali ini sepenuhnya terjaga.

Netranya bergulir malas untuk mencari fakta tanggal berapakah hari ini di Bulan Desember. Bergumam oh pelan dengan suara serak sebelum melirik jendela di samping kepala kasurnya dan mendapati salju sudah turun.

Salju pertama di tahun ini.


“Aku serius, Osamu! Pulanglah sebelum malam tahun baru, kasihan mama rindu.”

Jujur, telinga Osamu sudah panas mendengarkan kembarannya sedari tadi berceloteh di telinganya sepanjang perjalanan ia menuju swalayan. Ingin mematikan sambungan telepon sepihak tetapi ia tahu kembarannya itu akan mengadukan hal ini kepada ibu mereka dan berujung Osamu akan diomeli oleh ibu mereka. Padahal, Atsumu juga sering melakukan hal ini—memutuskan sambungan telepon sepihak, dan Osamu tidak pernah, tuh, mengadukan hal ini kepada ibunya.

“Iya. Aku pulang. Nanti aku kirim bukti aku memesan tiket.”

“Awas saja bohong.”

Osamu mendengus sebal lalu berhenti ketika lampu jalan untuk pejalan kaki berubah menjadi berwarna merah, “Iya, cerewet. Aku tutup. Salam untuk Mama dan Kiyoomi.” Lalu Osamu memutuskan sambungannya sepihak, toh, ia sudah pamit. Ponselnya disimpan lagi ke dalam kantung coat-nya yang ia gunakan hari ini. Pandangannya kembali ke jalanan di depannya. Melamun seraya menatap orang-orang yang berlalu-lalang seraya merangkul kekasihnya berbagi rasa hangat di hari pertama salju turun.

Ketika lampu jalanan untuk pejalan kaki sudah berubah menjadi hijau, Osamu masih bergeming di tempatnya, tubuhnya kadang tidak sengaja tersenggol beberapa orang yang lalu-lalang di jalan yang sama. Pikirannya terbuai entah ke mana seraya memandang sekitar. Sedetik kemudian, ia berbalik. Tidak jadi pergi ke swalayan. Kakinya berat. Kepalanya juga.

Apalagi hatinya.

Ia melangkah pulang.

Pulang ke rumahnya yang dingin.


Setelah mengirimi bukti ia membeli tiket pulang ke Jepang pada Atsumu dan ibunya juga Kiyoomi sebagai jaga-jaga saja jika Atsumu mengada-ada pada ibu mereka dan ibunya tidak membuka pesan Osamu, baru Osamu melempar dirinya ke sofa dan menyalakan televisi di unit apartment-nya. Begitu televisinya menyala, Osamu tidak melakukan apapun, tidak ada niat mengganti saluran sesuai apa yang ia inginkan, pun niat untuk menontonnya juga nihil. Yang dilakukannya setelah itu hanyalah menatap kosong televisi sebelum tidak lama terlelap di sofa.

Matanya mengerjap membiasakan diri dengan cahaya yang menelisik masuk ke indera penglihatannya, asalnya adalah dari televisi yang masih menyala dan menampilkan berita yang tentu saja masih tentang salju pertama yang turun di tahun ini. Osamu menguap sekali sebelum berdiri dan meregangkan tubuhnya yang terasa pegal karena tertidur di sofa. Betisnya dibawa melangkah ke dapur, menyiapkan air panas untuk membuat coklat hangat, menolak untuk membuat kopi karena ia ingin tidur cepat saja malam ini mumpung ini masih hari liburnya dan ia harus menyimpan tenaganya karena nantinya ia akan duduk cukup lama di pesawat untuk pulang ke Jepang.

Setelah secangkir coklat hangat selesai dibuat, Osamu kembali duduk di sofanya dan mengganti saluran televisi di depannya, mencari film yang sedang tayang atau apa saja yang penting dapat mengusir kebosanannya. Coklat hangat dihirup sedikit demi sedikit, lalu ditaruh di meja kecil sementara dirinya fokus pada televisi menatap film yang bahkan ia tidak tahu judulnya dengan tatapan kosong. Berakhir dengan ia yang lagi-lagi bosan dan melempar pandangannya keluar jendela.

Langit malam telah naik untuk menyapa.

Salju masih turun dan udara semakin dingin. Keputusan bagus untuk pulang lusa karena takut-takut salju turun lebih lebat lagi dan ia tidak bisa terbang pulang.

Helaan napas berat kembali mengudara seraya Osamu menoleh ke televisi lagi.

Rasanya kosong.

Rasanya hampa.

Ada yang hilang. Sebuah bagian dari memorinya. Ada yang hilang. Sebuah penggalan kisah tentang salju pertama. Ada yang hilang. Sebuah kebiasaan lama. Ada yang hilang.

Dan ia rindu.

Osamu rindu.

Berat untuk bernapas seraya mengucapkan kata rindu. Entah karena ego yang tinggi. Atau karena segan berucap?

Tapi, toh, tahun lalu tidak ada yang ego yang menghalangi keduanya.

Osamu ingat betul bagaimana ia duduk menghabiskan coklat hangat seraya berbagi selimut dan berdesakan di atas sofa yang cukup kecil untuk mereka berdua. Bagaimana akan ada senda gurau kecil yang membuat Osamu mampu terbahak. Atau keheningan yang biasanya dipecahkan dengan kalimat acak yang konyol oleh mantan kekasihnya itu.

“Kamu tahu tidak?”

“Apa, Rin?”

“Tadi burung gereja bilang ke aku kalau kamu hari ini tetap menawan seperti biasa.”

Kalimat sederhana yang kadang membuat Osamu mabuk kepayang jika diingat saat mereka masih dimabuk asmara. Namun, ketika sekarang hanya rasa rindu yang menusuk, hal itu malah menjadi sebuah pengasah yang mempertajam tombak rindu itu di hatinya.

Tahun lalu, salju pertama dihabiskan dengan mereka yang berjalan berdempetan di trotoar sembari tangan Osamu diberi hangat di dalam kantung jaket milik Rintarou, sesekali bertingkah konyol dengan menghitung seberapa banyak langkah yang mereka habiskan untuk mencapai rumah mereka. Kadang sengaja memutar satu komplek perumahan agar menjadi genap dan kadang dikecilkan untuk menggenapkannya. Lalu tertawa konyol seakan baru saja melakukan sesuatu yang bodoh.

“Aneh banget kita menghitung langkah, Rin!”

“Enggak apa. Seberapa banyak langkah yang aku ambil bersama kamu, aku suka, kok.”

Osamu terkekeh mengingat kenangan yang satu persatu mulai berdatangan padahal ia sudah berusaha melupakannya di hari mereka berpisah. Di hari salju turun deras ketika keduanya bertengkar hebat dan tidak dapat lagi memanggil satu sama lain sebagai rumah untuk berpulang ke dalam dekap hangat. Osamu sudah berusaha keras melupakannya.

Namun, terkadang memori adalah sesuatu paling tidak tahu diri di hidup semua orang.

Bisa saja ia mampir tanpa permisi, membuka kembali jalan masa lalu. Memberi harapan. Lantas memusnahkannya juga.

Osamu tidak masalah jika memori tiba-tiba menyapanya begini.

Tapi, apakah Rintarou merasakan hal yang sama?

Apakah Rintarou menghabiskan malam salju pertamanya tanpa tidur dan menatap kosong televisi yang salurannya enggan diganti? Apakah Rintarou sama rindunya dengan segala rangkaian memori yang mampir tanpa mengetuk pintu?

Osamu mendengus geli.

Karena, mana mungkin orang itu rindu.

Lantas, kakinya dibawa menumpu beban tubuhnya, menuju lemari dan mengambil beberapa barangnya untuk dikemasi. Pergi dari tempat ini untuk sementara waktu.

Karena, rumahnya pun bukanlah di sini lagi.


fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 26 —

[ sebuah semesta semi-lokal ]


“Masih ngantuk....”

Koushi menghela napas kala mendengar adik kelasnya berucap seperti itu saat pembekalan. Karena dirinya juga sama mengantuknya sekarang. Ditambah lelah karena jujur, Koushi lelah sekali sekarang.

Sejak kemarin adalah hari Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) untuk anggota baru dari angkatan kelas 10 yang tergabung dalam MPK-OSIS sekolah mereka. Tadi malam setelah anak-anak kelas 10 pergi tidur, angkatan Koushi yang menjadi panitia (kelas 11) semacam mengalami LDKS ulang karena mereka dimarahi oleh kakak kelas mereka dan beberapa alumnus yang hadir. Kesalahan mereka sebenarnya sederhana yaitu: masih belum mempercayai satu sama lain, bahkan setelah bekerja bersama-sama selama setahun lebih. Karena itulah tadi malam semuanya tidak tidur karena setelah acara mereka dilatdas ulang mereka harus melanjutkan ke acara jurit malam. Padahal, banyak yang kelelahan setelah menangis. Termasuk Ketua OSIS yang baru. Koushi yakin sekali sampai jurit selesai dan kelas 10 diberikan waktu istirahat, kekasihnya itu pasti masih merasa kalut karena memang ia yang dimarahi paling banyak. Saat kelas 10 beristirahat sebentar untuk shalat dan sarapan, beberapa anak kelas 11 memilih untuk tidur di Ruang MPK-OSIS dan Koushi memaksa kekasihnya untuk tidur karena Koushi cukup mengkhawatirkan kondisi kekasihnya itu.

“Woi.”

Koushi menoleh malas dan mendapati Eita di sana. “Enggak usah ngajak berantem. Gue ngantuk.”

Eita turut duduk di sebelahnya dan menyerahkan tiga lembar uang seratus ribuan ke Koushi. “Uang konsum siang ini. Lo yang beli ke sana?”

Gelengan kepala adalah jawaban Koushi seraya tangannya menerima uang yang diserahkan oleh Eita si bendahara LDKS padanya. “Suguru. Liat dia enggak? Apa masih tidur?”

“Masih, berbagi jaket sama cowo lo di RMO.”

“Kasian banget cowo gue.” Koushi mengeluh lalu memijat pelipisnya. “Pembekalan nanti sekali lagi habis makan siang 'kan?”

Eita mengangguk. “Yaudah biarin aja cowo gue tidur sampai pembekalan terakhir mau selesai. Kasian banget gue liatnya.”

“Yeeeh buciiiiin!” ledek Eita.

“Iri lo?” balas Koushi sewot yang membuat Eita bergidik tanda tidak setuju dengan ucapan Koushi.

“Yaudahlah, titip ini anak-anak ya harusnya tadi Yaku di sini. Orangnya cuci muka dulu tadi. Gue bangunin Suguru dulu.”

Eita mengacungkan jempolnya lalu Koushi berdiri dan keluar dari ruangan menuju Ruang MPK-OSIS (RMO) yang digunakan sebagai tempat panitia menaruh perlengkapan, beraktivitas, dan tidur.

Ketika masuk ke dalam ruangan, Koushi tidak perlu terkejut dengan pemandangan yang menyapanya. Beberapa teman seangkatannya yang tidak kebagian tugas menjaga para adik kelas saat pembekalan materi sedang memanfaatkan waktu mereka untuk tidur sebelum renungan dan acara simbur-menyimbur dengan air kembang sebagai tanda penyambutan para adik kelas sebagai anggota baru pengurus MPK-OSIS. Matanya dengan cepat mencari-cari Suguru yang tidur dengan cara khasnya yaitu menutupi kakinya dengan jaket (enggak tahu fungsinya apa) dan mengingat ucapan Eita, harusnya kekasihnya juga berada di sebelah Suguru jika mereka benar berbagi jaket.

“Wah beneran berbagi jaket.” Koushi mendengus geli ketika melihat kekasihnya turut menutupi kakinya dengan jaket Suguru.

“Suguru banguuuun!” Koushi berucap dengan bisik seraya mengguncang tubuh Suguru perlahan.

Suguru bangun dengan terkejut langsung terduduk dan meracau, “Hah? Apa? Kebakaran di mana?”

Jika saja Koushi lupa bahwa teman-temannya dan beberapa kakak kelas sedang tidur di ruangan ini sekarang, mungkin Koushi sudah tergelak karena racauan aneh Suguru yang jarang diperlihatkan kecuali jika dibangunkan secara tiba-tiba seperti tadi. Karena itulah Koushi hanya bisa mendengus geli menahan tawanya sementara Suguru yang mulai sadar mendengus sebal.

“Anjing lo.”

“Lo lah!” balas Koushi tidak terima. “Cuci muka sana terus ambil konsum,” lanjutnya seraya menyerahkan uang yang tadi diberikan Eita.

Suguru mengambil uang itu lalu jaketnya, “Eeet cowo gue gimana ini?”

“Pake jaket siapa gih sana, males banget gue minjemin jaket buat cowok lo.” Suguru berujar malas lalu keluar dari ruangan sementara Koushi berdiri dan mengambil jaketnya yang diikat di tasnya lalu menutupi kaki kekasihnya.

Karena ruang yang tersedia lumayan luas, Koushi bisa tengkurap dan menatapi wajah kekasihnya yang masih lelap dalam mimpinya.

“Cape banget ya?” salah satu tangan Koushi yang tadi menumpu kepalanya digunakan untuk menyibak rambut kekasihnya.

“Kasian banget. Pasti tadi malam merasa bersalah banget ya.” Koushi masih bermonolog.

Mengingat kejadian tadi malam ketika angkatannya dimarahi oleh kakak kelas dan kekasihnya yang pada akhirnya menanggung semua beban yang diberikan kepadanya karena itu memang tanggung jawabnya sebagai Ketua OSIS. Tidak ada yang menangis awalnya sampai tiba-tiba sebuah kalimat menghantam kekasihnya dengan telak perihal organisasi dan kepemimpinan baru satu-persatu dari mereka menangis. Kekasihnya saat itu tidak menangis tapi ketika mereka dibubarkan untuk bersiap melakukan jurit malam, baru Koushi lihat ada air mata yang turun. Bukan. Bukan karena dimarahi. Koushi paham betul watak kekasihnya. Pasti, kekasihnya menangis karena merasa dirinya tidak becus. Padahal, Koushi menganggap kekasihnya adalah orang paling hebat di dunia.

Tapi, bukankah memang kekasihnya seperti itu?

Kali ini senyuman kecil terbit di wajahnya.

“Sleep tight, Tetsurou.”


fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 25 —


“Indah ya?”

Jyuto tidak bisa tidak tersentak terkejut ketika sebuah suara menyapa indera pendengarannya ketika ia sedang menghabiskan sebatang rokok di balkon apartment Samatoki.

“Maaf, tapi jangan terkejut seperti itu. Sekali lagi maaf.”

“Kalau kamu jadi aku juga kamu pasti kaget.”

“Maaf.”

Jyuto terkekeh lalu menepuk satu kursi lainnya yang kosong di sebelah kirinya. “Duduk sini, Doppo.”

Doppo menurutinya dan duduk di kursi yang berada di sebelah kiri Jyuto.

“Maaf ya, Jyuto-san,” ucapnya seraya mendaratkan bokongnya di sana.

“Chuuoku sudah runtuh pun kamu masih suka minta maaf ya?” tanya Jyuto terkekeh seraya menghembuskan asap rokoknya ke udara. “... Tidak ada hubungannya, sih,” lanjut Jyuto.

“Maaf.”

“Jangan minta maaf lagi.”

“... Oke.”

Lalu keduanya hening, masih duduk bersisian. Pikiran keduanya berkecamuk. Sama rancunya seperti pikiran Jiro yang sebentar lagi akan ujian di sekolahnya, sama kacaunya dengan pikiran Samatoki dan Ichiro yang pada akhirnya berbaikan. Chuuoku runtuh. Mereka menang. Kabar yang membahagiakan. Sungguh. Sungguh membahagiakan. Karena itulah mereka memutuskan untuk merayakannya, tetapi sehari setelah kemenangan karena tenaga sudah terkuras habis, bahkan mereka berkumpul dalam keadaan masih ada luka yang basah, lebam-lebam baru di tubuh, dan hal lainnya sisa-sisa pertarungan mereka.

Setidaknya, itu akan menjadi kenangan.

Selanjutnya, Jyuto berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pagar balkon, menumpukan berat badannya di sana lalu menatap langit malam itu. Masih indah. Sama indahnya seperti pertama kali ia bertemu Doppo. Maka, dirinya berbalik menatap Doppo yang juga menatapnya dari tempat duduknya.

“Kemari.”

Doppo menurut dan mendekat, turut menumpukan berat tubuhnya pada pagar balkon. Putung rokok dibuang Jyuto begitu saja ke bawah, dalam hati Doppo berharap tidak ada orang di bawah sana yang menjadi korban dari putung rokok milik Jyuto yang dilempar asal (walau sudah mati) ke bawah.

“Ingat pertama kali kita bertemu?” Jyuto bertanya, kini fokusnya sudah kembali pada langit di mana bintang bertaburan di atas sana.

Doppo mengangguk dan Jyuto dapat menangkap sinyal itu melalui ekor matanya. Dalam hati bersyukur, setidaknya ia tidak sendirian dalam mengenang pertemuan pertama mereka yang cukup membekas di hati. Dan bohong rasanya jika ia bilang ia tidak senang dengan gestur tubuh yang dibuat Doppo.

“Berarti ingat juga kalimatku malam itu?”

Kali ini melalui ekor matanya, ia bisa melihat telinga Doppo yang memerah dan kepalanya yang menunduk menatap tangan kanannya yang kini jemarinya sudah diraih oleh Jyuto dimulai dari kelingking mereka yang saling bertaut.

Selanjutnya, yang keluar dari bibir Jyuto hanya tiga kata tersebut. Tiga kata yang sama seperti yang ia katakan pada Doppo jauh di pertemuan pertama mereka. Tiga kata sederhana yang buat Doppo membalas genggaman yang menguat di tangannya. Tiga kata yang membuat Doppo turut mendongak memandang langit dan menikmati bintang-bintang indah di atas sana.

Tiga kata di bawah bintang-bintang. Persis seperti malam itu.

— 30 Days OTP Challenge Day 24 —


“Memangnya kamu mau ke mana?”

Matanya lari dari tatapan menuntut yang ditujukan padanya. Tangannya yang berada di kedua sisi tubuhnya dikepal dan dibuka berulang kali, berusaha usir rasa gugup yang merayap. Kenma tidak mau menatap wajah kekasihnya yang sekitar tiga puluh menit yang lalu baru saja ia ajak bertengkar karena perihal salah paham yang sejujurnya tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Namun, satu hal yang membuat keduanya tetap mempermasalahkan hal kecil ini—ego. Memangnya apa lagi selain ego?

“Enggak tahu.”

Yang lebih tua menghela napas. “Di sini saja, dulu. Aku baca prakiraan cuaca, malam ini akan hujan lebat.”

Kenma membuka mulutnya. Ingin bicara. Ingin membantah.

“Aku tidak mau kamu kenapa-napa, oke?” Yang lebih tua melipat kedua tangannya di depan dada. “Kita memang sedang bertengkar tapi itu bukan artinya aku tidak peduli padamu.”

Akhirnya, Kenma mengangguk.

“Tapi, Tooru, kamu tidur di mana?”

Satu kebiasaan kecil Kenma. Tidak ingin tidur di kasur yang sama dengan kekasihnya. Karena perihal itu seringkali Kenma akan berada di apartment Shoyo atau Tetsurou untuk menginap. Namun, malam ini Shoyo dan Tetsurou tidak bisa dijadikan tempat menginap karena keduanya sedang sibuk dengan kekasih mereka masing-masing. Dan Tooru paham. Paham. Sangat paham. Karena itulah ia menanyai Kenma, mau pergi ke mana kekasihnya itu di pukul sepuluh malam?

Mereka memang bertengkar, tapi itu bukanlah alasan untuk berhenti peduli pada satu sama lain.

“Aku—” Tooru mendelik ke sofa.

“—jangan di sofa,” cicit Kenma. “Badanmu gampang sakit. Jangan tidur di sofa,” lanjutnya, menuai kerutan kening dari Tooru. Mulutnya kembali dibuka, “Seperti kata kamu, kita memang sedang dalam kondisi yang tidak baik. Tapi, itu bukan berarti aku berhenti peduli.”

“Lalu aku tidur di mana?” tanya Tooru tenang.

“Di kamar saja,” jawab Kenma cepat. “Tidak apa. Asal jangan yang macam-macam. Aku masih marah.”

Tooru terkekeh sebentar lalu mengangguk. “Oke. Kamu tidur duluan sana.”

Dengan kalimat itu Kenma berlalu dan pergi ke dalam kamar lalu menutup pintunya rapat—tapi tidak dikunci. Pergi tidur lebih dahulu. Sembari berharap besok mereka bisa berbaikan.


Napasnya berantakan kala matanya dipaksa membuka dalam keterkejutan yang menguasai dirinya. Netranya bergulir takut, masih bergetar, ketika mendapati Tooru ada di sisinya dengan wajah mengantuk namun khawatir, Kenma menghela napasnya dan menghambur ke dalam pelukan Tooru.

“Ssst. Enggak apa-apa. Semua baik. Semua baik. Aku di sini.”

Aku di sini.

Tiga kata yang membuat Kenma semakin menyamankan posisinya yang tenggelam dalam dekapan Tooru yang menenangkan.

“Mau minum air hangat?” tawar Tooru seraya jemarinya menelisik di surai-surai kekasihnya yang sudah mulai tenang. Gelengan yang dirasakannya di dadanya adalah jawaban yang diterima.

“Kenapa? Mimpi buruk?” tanya Tooru akhirnya.

Anggukan adalah jawaban kali ini, sehingga tangan Tooru beralih dari mengusap lembut surai Kenma menuju punggungnya dan mengusapnya penuh kasih di sana.

“Aku bermimpi—” ada jeda di kalimatnya. Kenma jarang menggantungkan kalimatnya. Namun, tidak masalah, Tooru akan menunggu.

“—kamu pergi.”

“Dalam konteks apa?” karena sesungguhnya pergi memiliki banyak arti.

Kenma tidak menjawab dan malah semakin menenggelamkan dirinya ke dalam dada Tooru, mencari-cari kehangatan lebih. “Tidak mau dibicarakan ya?”

Dan masih tidak ada jawaban. Tooru tersenyum kecil lalu mematikan lampu di samping tempat tidur mereka lalu kembali mengusap lembut punggung Kenma seraya membawanya untuk merebahkan diri karena sedari tadi Kenma duduk di pangkuannya.

“Kalau begitu istirahat lagi, ya?”

“Tapi kamu di sini.”

“Iya aku di sini.”

Hening sebelum Kenma bergerak menyamankan dirinya di dalam peluk Tooru yang juga bergerak membenarkan posisinya agar Kenma dapat terlelap kembali dengan nyaman dan kali ini tanpa mimpi buruk.

“Jangan pergi.”

Tooru mendengus geli. Kenma terlalu manis.

“Enggak akan.” Tooru menjawab dengan bisikan halus seraya tetap mengusap lembut punggung Kenma, memberikan stimulus rasa nyaman agar kekasihnya mampu terlelap kembali tanpa rasa takut akan mimpi buruk yang dialaminya tadi. Seraya membisikkan beberapa kalimat cinta, Tooru merasakan napas Kenma mulai teratur di dalam dekapannya.

Bisikan Tooru selanjutnya, mengantarkan Kenma kepada senyuman juga tidur lelap dengan mimpi yang lebih baik.

“Walau seluruh dunia pergi, aku akan terus ada di sini untuk Kenma. Kamu masih punya aku, sayang.”


fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 23 —


Ada kalanya ketika Atsumu tidak ingin mengganggu privasi orang lebih dalam. Ada juga kalanya ketika Atsumu menarik dirinya keluar dari ruang seseorang yang biasanya ia tidak akan segan mengisinya dan menganggunya seiring hari berlalu.

Atsumu menarik dirinya.

Semua ini pada awalnya terjadi karena ia bertengkar dengan seorang yang tidak terlalu dekat dengannya. Namanya Sakusa Kiyoomi. Keduanya bertemu karena bekerja di kantor yang sama walaupun berbeda divisi, namun keduanya cukup sering diminta bekerja sama jika ada tugas keluar kota sehingga perlahan akhirnya mereka menjadi lebih akrab.

Dan Atsumu jatuh cinta.

Konyol rasanya mendengar Atsumu mengaku ia menyukai laki-laki yang tipe kesukaannya untuk dikencani bukanlah yang seperti Atsumu. Bahkan, kembaran Atsumu saja sampai terbahak ketika Atsumu bilang bahwa ia menyukai Kiyoomi dan bingung harus bagaimana, mengingat Atsumu tidak pernah berkencan sekalipun karena ia sangat ambisius di masa sekolahnya bahkan setelah bekerja. Tobio juga tidak membantu banyak, Shoyo memberikannya semangat dan mengajaknya makan siang agar Atsumu tidak dirundung rasa galau dan Osamu sendiri sesekali mengantarkan onigiri kesukaan Atsumu menggunakan jasa ojek online ke kantor yang biasanya ampuh meningkatkan suasana hati Atsumu dan membuatnya kembali bersemangat bekerja untuk hari ini. Sejak ia sadar akan perasaannya sendiri pula Atsumu menarik dirinya dari kehidupan Kiyoomi. Berusaha membatasi segala interaksinya, jika tidak sengaja berpas-pasan saat keluar dari lift, Atsumu akan membuang pandangannya dan berjalan lebih cepat, jika tidak sengaja bertemu di pantry saat membuat teh hangat maupun kopi dengan cepat Atsumu akan putar balik dan kembali ke ruangannya dan memilih menunggu lima belas menit kemudian untuk kembali ke pantry. Bahkan, Atsumu tidak segan untuk meminta bertukar dengan temannya yang lain jika ia harus bekerja dengan Kiyoomi.

Atsumu hanya merasa..., sepertinya sudah cukup dirinya menganggu Kiyoomi terlalu dalam selama ini. Dengan memiliki perasaan seperti ini tanpa permisi, ia merasa terlalu lancang pada Kiyoomi. Memangnya siapa dia tanpa permisi tiba-tiba jatuh cinta dan berharap perasaannya datang berbalik saling balas?

Konyol.

Karena itulah ketika Kiyoomi tidak tahan lagi dengan tingkah laku Atsumu, ia menyeret Atsumu ke pantry di saat mereka selesai makan siang. Tangannya berada di depan dada, menatap Atsumu penuh tuntutan akan jawaban masuk akal yang mampu ia terima sedangkan Atsumu sendiri lebih tertarik memandangi lantai dan sepatu kerjanya yang baru ia semir kemarin.

“Jadi?”

Atsumu tidak segera menjawab, ia memilih mengeluarkan dengungan bingung yang jujur Kiyoomi tidak suka karena ia mendecih sebal sekarang. “Jawab Atsumu. Aku tidak menerima jawaban konyol.”

Baru setelah itu Atsumu langsung menubrukkan netranya dengan netra milik Kiyoomi dengan kilatan marah dan kecewa di matanya, membuat Kiyoomi tersentak sebentar sebelum berusaha menutupi keterkejutannya dengan bertingkah tenang.

“Jadi menurutmu perasaanku konyol?”

“Apa mak-”

“Aku menghindarimu karena aku jatuh cinta padamu. Jika menurutmu itu konyol, aku tidak memiliki alasan lagi untuk berada di sini.” Atsumu mendengus dan beursaha mengatur napasnya yang berkejaran karena emosi. “Permisi.” Ia berlalu begitu saja dari depan Kiyoomi dan keluar dari pantry dan tidak sengaja bertabrakan dengan Shoyo yang baru masuk ke dalam sana.

“Sakusa?” panggil Shoyo.

Kiyoomi yang bergeming di tempatnya karena masih setengah terkejut berbalik menatap Shoyo. “Ya?”

“Kamu tahu Atsumu kenapa? Ia buru-buru sekali keluar dari sini sembari menangis.”

Masih belum pulih dari keterkejutan sebelumnya, kali ini Kiyoomi dibuat terkejut lagi dengan ucapan Shoyo perihal Atsumu menangis.

“Mungkin karena aku?” Kiyoomi menjawab dengan suara pelan dan intonasi yang menandakan ia tidak yakin, membuat Shoyo yang sedang membuat kopi menatapnya bingung.

“Kalau karenamu, kenapa tidak dikejar?”

Ah, Shoyo benar.

Harusnya ia kejar Atsumu daripada berdiam diri bingung. Harusnya kedua kaki ini dibawa berlari secepat yang ia bisa daripada diam dan memikirkan perkataan Atsumu yang terus-terusan berputar di kepalanya.

Maka, di detik selanjutnya Kiyoomi berlari.


fluctuius.

[ bagian dari semesta samudra-angkasa ]


Hujan masih menyiram dunia ketika Angkasa selesai dengan tugasnya. Ponselnya hanya sempat disentuh sebentar untuk membaca tugas yang dikabarkan oleh penanggung jawab kelas kepada teman-teman sekelasnya, ingin bertanya tapi teman-temannya sudah bertanya dan sudah dijawab oleh Dennis, jadinya dengan mata masih kabur karena baru bangun, Angkasa berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci wajahnya dan gosok gigi lalu duduk di depan meja kecil pada kamar kosnya dan menyalakan laptopnya lalu segera menyelesaikan tugasnya.

Makanya, baru sekarang benda pipih itu bisa disentuhnya, membuka ruang obrolan paling atas pada aplikasi bertukar pesannya. Alih-alih menjawab rentetan pesan panjang yang dikirimkan pacarnya sedari pagi tadi, Angkasa langsung menekan icon gagang telepon, nada sambung terdengar sebentar sebelum digantikan suara serak khas bangun tidur.

“Iya sayaaang?”

“Baru bangun lagi ya?” tembak Angkasa langsung diiringi tawa diakhir.

Dapat didengar oleh Angkasa dari seberang sana suara kuapan sebelum diganti dengan jawaban oleh kekasihnya, “Iya. Kamu enggak balas chat aku lama banget, sih. Nungguin kamu jadinya aku nonton Glee yang kamu saranin kemarin itu, eh ketiduran.”

“Huhu, maaaaaf,” Angkasa meluruskan kakinya, berusaha meregangkan tubuhnya yang kaku kebanyakan tidur. “Begitu bangun tadi aku langsung ngerjain tugas, ini baru banget selesai.”

“Hahaha cie yang banyak tugas.”

“Yeee mentang-mentang udah lulus!!”

Tawa dari seberang sana mampu menghangatkan hari Angkasa yang sedari bangun tadi dingin karena sampai sekarang pun Hujan masih setia mengguyur bumi.

“Nanti bilang aja kamu pacar kakak gitu, pasti enak deh soal tugas dan segalanya.”

“Idiih! Enggak ah, nanti malah aku dikenal jadi Angkasa pacarnya Kak Samudra, dong! Bukan Angkasa anak akuntansi yang kereeeen sedunia itu.”

Samudra tertawa lagi dari seberang sana, “Pasti deh bibirnya lagi nekuk.”

“Kak Samudra sok tauuuuu.”

“Mana ada aku sok tau, Angkasa.” Samudra menyahut penuh percaya diri karena ia sudah hapal dengan segala macam sifat dan perilaku Angkasa. “Ganti video call dong, aku kangen.”

“Manja deh.” Ucapannya meledek tapi tangannya tetap menjauhkan ponselnya dari telinga dan menekan icon untuk video call. “Kakaknya mana!!” protesnya kemudian ketika tidak mendapati wajah Samudra di layar ponselnya.

“Sebentar, Angkasa. Sinyalnya kurang bagus gara-gara hujan.”

Tidak lama baru wajah Samudra terpampang di layarnya, tidak lupa dengan cengiran yang jujur saja Angkasa rindukan dilihat secara langsung, namun karena lockdown ini terpaksa mereka hanya bisa saling bertukar rindu melalui pesan, telepon, dan panggilan video.

“Aaaa! Kangen banget sama Kak Samudra!” rengeknya langsung yang menuai tawa gemas dari Samudra dari seberang sana.

“Iya sama, kakak juga kangen banget sama Angkasa.”

Bibirnya ditekuk lagi ke bawah sebelum berucap, “Kak ini bangun lagi udah cuci muka belum?”

Ekspresi oh iya yang ditunjukkan Samudra sudah cukup untuk menjawab pertanyaan dari Angkasa. “Cuci muka sana!”

“Iya, Angkasa bawel.” Samudra berdiri seraya membawa ponselnya ke kamar mandi. “Matiin dulu kameranyaaaa.” Samudra yang sudah berada di dalam kamar mandi dan menaruh ponselnya di depan wastafel mengernyit bingung mendengar ucapan Angkasa.

“Buat apa dimatikan?”

“Kakak ganteng kalau lagi cuci muka. Nanti aku makin kangeeeen makin enggak sabar mau ketemuuuuu,” rajuknya. “Jangan tega sama hati aku dong, kak.”

Alih-alih menjawab, Samudra malah tertawa mendengar alasan yang membuatnya gemas luar biasa dengan pacarnya itu. “Gemes banget sih kamu. Pacarnya siapa deh?”

“Angkasa pacarnya Kak Samudra. Ayo matiin dulu kameranya!”

“Gemes banget, sumpah. Mau banget kakak datangin kamu ke kos. Mau cium kamu sekali. Eh jangan deh— dua kali! Apa tiga? Atau em—”

Mendengar ucapan Samudra, Angkasa malah menjadi malu dan merasakan wajahnya memanas lalu berucap, “Nanti aku kasih yang banyak! Tapi matiin kameranya, huhuhu, ayooo kasihani hati aku!”

Menuruti permintaan pacarnya, Samudra mematikan kameranya jadi yang berada di layarnya sekarang hanya ada wajah Angkasa yang menunggu Samudra selesai mencuci wajahnya dan sesekali memberi tahu dirinya jangan lupa kumur-kumur pakai obat kumur yang kata Angkasa enggak enak rasanya.

Selesai dengan kegiatannya, Samudra mengeringkan wajahnya dengan cara mengusak pelan menggunakan handuk kecil khusus sebelum merapikan poninya dan kembali menyalakan kameranya.

“Yaaay pacar Angkasa ganteng banget.”

Ucapan tiba-tiba Angkasa setelah kamera milik Samudra kembali menyala membuat Samudra menahan diri untuk tidak nekat keluar dari rumahnya dan menyetir ke kos Angkasa.

“Angkasa.”

“Iya, Kak Samudra?”

“Janji enggak yang tadi?”

Ekspresi bingung diberikan oleh Angkasa, “Yang mana?”

“Cium. Yang banyak.”

Wajah Angkasa rasanya memanas lagi. Samudra tidak bisa lihat apakah memerah atau tidak karena kualitas panggilan video mereka hari ini lumayan buruk (oh, sungguh. terima kasih sinyal di hari hujan).

“Janji enggak niiiih?”

“Ih iyaaaaa!”

Rasanya, mau cepat-cepat selesai saja perihal pandemi ini. Biar Samudra bisa cepat-cepat ambil ciumnya yang banyak.


SEVENTEEN THE8 sebagai Dennis.


© fluctuius. [ selmriie on twt ]

— 30 Days OTP Challenge Day 22 —

[ konten pacaran bertiga kuroo x mika x suguru ]

┉┅━━━━━━━━━

“Tetsurou cepaaaat.”

Mika mengomel. Maka dari itu Tetsurou tidak memiliki pilihan lain selain buru-buru membawa kue ulang tahun dengan lilin di atasnya ke ruang tengah.

“Papico-nyaaa.” Mika kali ini berdiri lalu berlari ke dapur yang bahkan jaraknya tidak sampai satu meter dari ruang tengah.

Melihat pacarnya berlarian dengan senang, Suguru angkat bicara, “Mika-chan jangan lari-lari.”

“Yang punya acara siapa yang repot siapa.”

“Kan ulang tahun!!” protes Suguru balik seraya menjulurkan lidahnya ke Tetsurou.

Mika kembali dengan tiga buah papico di tangannya. Lalu melirik jam yang melingkar manis di tangannya. “Dua menit!” ucapnya riang lalu memberikan cengiran kepada dua lelaki yang berada di apartment Suguru malam itu.

Mereka bertiga tengah menunggu pergantian hari menuju tanggal satu Juli satu-satunya di tahun ini karena hari ini umur seorang Suguru Daishou akan bertambah. Mereka merayakannya bertiga karena perihal Mika adalah pacar Suguru, Suguru adalah pacar Tetsurou, dan Tetsurou otomatis tiba-tiba merangkap menjadi pacar Mika juga. Hubungan yang aneh.

Tapi selama mereka bahagia, kenapa tidak?

“Pukul 12!” Mika berucap riang.

“Tiup lilinnya.” Tetsurou berucap seraya menggerakkan kepalanya untuk menunjuk kue ulang tahun buatannya menggunakan dagu.

Mika menambahkan, “Permohonannya jangan lupa.”

Maka, Suguru mengatupkan kedua tangannya di depan dada seraya merapalkan permohonan di dalam hati, lalu berucap sesuatu yang membuat Mika dan Tetsurou menerbitkan senyuman turut berbahagia di hari bahagia kekasih mereka, dan meniup lilin.

“Semoga, Mika-chan serta Tetsurou juga bahagia selalu dan kami selalu bersama.”

Lalu, lilin pun padam.

┉┅━━━━━━━━━

selamat ulang tahun, suguru daishou!

┉┅━━━━━━━━━

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 21 —

┉┅━━━━━━━━━

Ini adalah kencan pertama Koushi dan Tooru semenjak keduanya berkencan.

Kesibukan sebagai seorang pemain voli (Koushi harus berangkat ke nasional) dan masih berstatus sebagai pelajar menyebabkan keduanya agak sulit untuk bertemu dan menghabiskan waktu layaknya kekasih.

Dalam bayangan Tooru (harap Tooru, Koushi juga), mereka akan melalui kencan hari ini dengan damai, tanpa ada gangguan apapun. Kencan romantis ala-ala yang sudah diimajinasikan beberapa bulan yang lalu ketika keduanya masih sama-sama sibuk. Kencan menyenangkan ala-ala, pergi ke bioskop, mencetak foto di photobooth, berbagi satu minuman dengan sedotan yang sama. Kencan sederhana ala-ala, bergandengan tangan, tertawa bahagia bersama, dan sesekali saling lirik lalu meleleh malu ketika lirikan mereka bertemu.

Setidaknya, hal itu terlaksana walau pada akhirnya di ujung kencan mereka, Tooru dan Koushi malah harus berdiri di pusat informasi bersama seorang anak kecil yang Tooru tebak seumuran dengan keponakannya yang sering ia jemput di waktu senggangnya, menunggu si orang tua dari anak ini menjemputnya.

Koushi beberapa kali membujuk si anak kecil agar tidak menangis tapi ia kehabisan ide.

Karena kasihan kekasihnya agak kebingungan untuk menenangkan anak kecil, Tooru ikut turun tangan. Yang memberi ide pertama untuk membantu si anak kecil juga sebenarnya Tooru, karena walau seberapa anehnya orang melihat dirinya, ia tetaplah manusia yang tentu saja juga punya sisi kemanusiaan.

Tidak lama, ada sepasang suami-istri yang mendekat dan mengklaim bahwa itu adalah anak mereka. Si anak kecil menangis lalu memeluk ibunya dengan erat. Keduanya sama-sama membungkuk setelah mengucap terima kasih dan pada akhirnya beranjak pergi dari sana.

“Pulang sekarang?” tanya Tooru.

Koushi mengangguk lalu melangkah lebih dahulu dari Tooru.

“Aku tidak biasa menenangkan anak kecil,” keluh Koushi.

“Tapi tadi bagus, kok.”

“Huum, aku hanya biasa memisahkan Kageyama atau Hinata jika mereka lagi-lagi saling mengatai sebelum mereka dimarahi Daichi.”

Tooru tertawa, “Duo aneh itu masih saja ya?”

Koushi mengangguk sebelum tangannya meraih tangan Tooru yang dengan senang hati Tooru selipkan jemarinya ke sela-sela jemari Koushi.

Kencan mereka hari itu sebenarnya tidak terlalu buruk. Malah, menyenangkan.

┉┅━━━━━━━━━

© fluctuius.