fluctuius

i leave my thoughts here.

31 Januari 2025

Juwan.

Hari ini, aku harus chat Juwan.

Dia kelihatannya sehat beberapa bulan belakangan, tapi kata Tara tugas mereka lumayan banyak.

Semoga tahun ini aku enggak banyak bikin Juwan kaget dan pusing seperti tahun lalu.

Hahaha... Degdegan banget... Will he actually believe me kalau aku bilang i'll be his date for 14 days...?


Hahaha!

Juwan tetap Juwan, apapun kondisinya.

Emosi duluan disapa kayak gitu, he don't bother to scroll through the roomchat. Tipikal Juwan banget.

At last, enggak sabar buat bisa lihat Juwan pakai helm kuning lagi!

For this year too, hope only good things come ahead.

yang hari ini gugup setengah mati, seren.


01 Februari 2025

Hahaha Juwan selalu lucu dan menggemaskan!

Pasti dia stalking instagram aku. Enggak sengaja kirim reaction pula. Very Juwan thing to do. Sekarang aku bisa bayangkan paniknya dia gimana. Selalu lucu, Juwan. Oh, untungnya juga highlight Juwan sudah aku hapus dulu, nanti aku bikin lagi kalau sudah 14 hari.

Terus kenapa ya, setelah bertahun-tahun, dia tetap pemalu banget? Ditatap orang-orang di lobi yang sebetulnya juga teman satu kelasnya aja dia malu banget. Such a cutie, there.

Lebih lucu lagi waktu dia akhirnya pakai helm kuningnya! Hahaha seperti anak bebek, lucu sekali.

Hari ini dia masih pakai gue-lo, tapi enggak papa. It takes time to bring back a habit. Apalagi, Juwan enggak ingat sama sekali soal apapun.

Enggak papa. Seenggaknya dia sehat dan bahagia sekarang.

Dan dia masih selalu sama. Masih selalu berpikir kalau namaku seperti judul lagu. Senang kalau dia bisa mengingat itu, tapi kayaknya buat ingat soal aku lagi lumayan sulit, ya, Juwan?

Tapi enggak apa. Bisa sama kamu 14 hari aja sudah cukup.

Begitu saja, sudah lebih dari cukup.

Bahagia selalu ya, Juwan.

**yang hari ini adalah orang paling bahagia sedunia,__ seren.


02 Februari 2025

Masih susah bangun pagi, ternyata. Juwan selalu seperti ini.

Padahal larinya selalu lebih kencang dari aku, tapi selalu malas olahraga. Padahal, dulu di awal-awal Juwan juga yang selalu ajak olahraga. Kayaknya, prinsip hidup sehatnya sudah bergeser, ya.

Tapi aku senang deh, dia masih menggerutu waktu aku bilang bubur enaknya enggak diaduk. Walau akhirnya dia mengalah kayak biasanya, tapi aku tetap bisa dengar dia menggerutu dan jidatnya yang mengerut lihat ke aku. Hahahaha. Selalu lucu, Juwan. Senang banget juga Juwan tetap lahap makannya, selahap waktu pertama kali aku diajak makan ke sini.

Aku senang kalau Juwan senang.

Tadi aku berdoa banyak ke Tuhan.

Tapi aku enggak pernah berdoa supaya Juwan bisa ingat lagi, soalnya aku rasa memang ini salah satu cara supaya aku kelihatan berusaha ya? Enggak papa. Dulu, Juwan juga sama berusahanya kan? Jadi, buat sekarang aku cuman doakan supaya Juwan sehat dan bahagia selalu.

Masih ada dua belas hari lagi sama Juwan, semoga Juwan belum bosan sama aku.

yang hari ini juga makan buburnya masih enggak diaduk, seren.


03 Februari 2025

Sebaaaaaaaal banget! Hari ini harusnya bisa jemput Juwan, tapi jadwal diskusi tutorialku dimajukan and i should be on campus pagi banget.

Tipikal Juwan, baru bangun mendekati jam kuliahnya, untung juga kebangun. Aku yakin tadi malam juga pasti ngerjain tugas yang tenggatnya masih lama, very Juwan thing to do. Bahkan setelah dia kehilangan hampir separuh bagian hidupnya, dia masih bisa melakukan rutin yang aku enggak sangka-sangka.

Juwan yang pekerja keras.

Juwan yang selalu aku kagumi.

Juwan yang enggak mengeluh capek, padahal aku ajak dia jalan-jalan malam pakai sepeda motor dan kakinya harus menekuk lebih lama daripada duduk nyaman di dalam mobil. Tapi, Juwan yang ini juga yang bilang lebih suka sentuh langsung angin malam sambil boncengan sama aku.

Aku tadi merasa, kok, kalau Juwan ambil foto aku diam-diam dari belakang, tapi karena aku tahu Juwan pemalu, aku enggak tegur ataupun berbalik sama sekali. Cuman, aku sedikit sedih aja, walau Juwan yang sekarang rasanya bukan kayak Juwannya aku, masih ada kebiasaan-kebiasaan Juwan yang tetap dilakukan. Aku suka banget, Juwan selalu abadikan momen yang menurut dia pantas untuk diabadikan.

Andai, aku juga bisa abadi dalam hidupmu, ya, Juwan? Harusnya, kalau seperti itu, aku bisa jawab dengan mantap pertanyaanmu—kalau kita masih bisa terus sama-sama walaupun tanggal empat belas sudah lewat.

11 hari lagi bersama Juwan, aku selalu bahagia melihat senyumnya.

Semoga Tuhan beri Juwan banyak kebahagiaan.

yang hari ini tangannya dibawa masuk ke dalam hoodie yang aku belikan dua tahun lalu, seren.


04 Februari 2025

Juwan dan keingintahuannya yang tinggi itu... Bikin geleng-geleng kepala.

Hampir aja dia jatuh ke dalam danau cuman karena pengen tahu cara bebek dan angsa berenang mengapung.

Niat awalnya 'kan cuman jalan pagi dan beri makan bebek. Kalau sampai harus berenang juga, aduh, aku takut dia deman.

Hari ini dia banyak ketawanya, termasuk waktu banyak banget angsa mau nyosor ke tanganku buat makan kacang polong. Aku sih udah enggak takut ya, udah berkali-kali aku melakukan ini sampai rasa takutnya sudah ditelan ke dalam badanku. Nah, dia ini, masih tetap si sok jagoan. Ujung-ujungnya dia juga yang takut dan aku yang kasih makan bebek dan angsanya.

My silly Juwan.

Bahagia terus ya, Juwan.

10 hari lagi bersama Juwan, semoga bahagianya masih sama selalu, ya.

yang hari ini kasih makan kacang polong bukan biji jagung, seren.


05 Februari 2025

Aneh. Banget.

Sumpah aneh banget.

Aku tau Juwan punya banyak tingkah polah yang aneh! Tapi bukan berarti dia datang ke art gallery pakai hoodie kan?!?!

Sumpah.

Harusnya dia dan kecintaannya sama hoodie itu bisa aku prediksi supaya tahun ini enggak aneh-aneh. Taunya, dia betulan pakai hoodie ke art gallery, aku enggak habis pikir.

Tapi enggak apa, masih belum seberapa sama keinginan anehnya, yang anehnya juga masih mau aku sanggupi saja.

Painting class katanya, yang tentu saja setiap tahun pasti akan Juwan minta, katanya dia bisa bikin yang lebih bagus dari yang dipajang di art gallery.

Sombongnya.

Tapi, dia betulan bisa.

Seenggaknya, di mataku, dia betulan bisa.

9 hari lagi bersama Juwan, semoga ia tetap sebahagia ini untuk bertingkah konyol.

yang hari ini ikut tertawa karena tingkah konyolnya dalam impersonate lukisan, seren.


06 Februari 2025

Painting class kali ini enggak buruk-buruk amat.

Untungnya hari ini malam Jumat dan besok jadwalku enggak sebanyak biasanya, jadi aku bisa berlama-lama bersama Juwan untuk menghadapi antiknya anak itu.

Hari ini Juwan mau sok melukis langit, katanya mau menyaingi lukisan terkenal itu.

Ujung-ujungnya, ia memang melukis langit, tapi matahari jadi objek utamanya dan langitnya dibiarkan menjadi biru yang terkesan biasa saja.

Waktu aku tanya kenapa, katanya hanya ingin.

Aku tertawa karena Juwan menyeringai, puas bisa membalas segala ucapan pasif-agresifku seperti biasanya.

Juwan, juwan.

8 hari lagi bersama Juwan, semoga tawanya masih sama menggelegarnya seperti hari ini.

yang hari ini dicolek cat berwarna kuning ke pipinya, seren.


07 Februari 2025

Juwan dan cintanya pada musik memang enggak pernah mati.

Walau separuh hidupmu sudah hilang, tapi kamu tetap cinta mati ke musik ya, Juwan?

Hari ini kita lihat live music lagi, kali ini aku ajak Juwan lihat jazz, karena seingatku Juwan ingin sekali melihat itu dengan kedua matanya langsung. Mungkin, Juwan enggak akan ingat, tapi aku selalu ingat setiap keinginan Juwan.

Rasanya aneh, Juwan, waktu kamu kelihatan antusias ketika aku ajak ke sini.

Padahal, dulu kamu yang selalu antusias mengajak aku kemanapun kamu mau mengenalkan aku ke sesuatu yang baru.

Rasanya aneh, Juwan, waktu aku lihat kamu begitu bersemangat menelurusi setiap langkah yang aku tuntun di trotoar menuju kafe.

Padahal, dulu Juwan, yang selalu menuntun aku untuk berjejak di trotoar tersebut.

Tapi, senyum Juwan selalu yang paling lebar. Mungkin, aku harus berterima kasih ke musik, ya, Juwan?

7 hari lagi bersama Juwan, semoga senyumnya masih selebar hari ini.

yang hari ini tidak kenakan sepatu kuning untuk berjalan di atas trotoar, seren.


08 Februari 2025

Memang anak alam.

Selalu yang paling semangat kalau urusan alam, ya, Juwan?

Hari ini aku ajak piknik ke tepi danau dan Juwan jadi yang paling heboh untuk siapkan barang-barangnya.

Juwan yang paling semangat untuk menggelar tikar sebagai alas sebelum kemudian kamu habiskan waktumu berjam-jam lamanya bermain di pinggir air.

Seru sekali, ketika kedua mata Juwan membesar dengan kilat-kilat bahagianya setiap kali air danau menyentuh sedikit saja ujung jarimu. Belum lagi macam-macam serangga dan hewan yang Juwan temui—yang aku heran kenapa isengnya Juwan masih sama aja sih? Aku capek harus lari menghindari, tahu!

Besok Juwan berulang tahun.

Aku ingat sekali, Juwan pernah bilang, kalau Februari enggak pernah menjadi bulan spesial buat Juwan. Yang kemudian beberapa tahun kemarin Juwan kembali bilang kalau Februari jadi spesial lagi sejak Serenata mampir ke dalam Februarinya Juwan.

Semoga tahun ini juga sama, ya, Juwan.

6 hari lagi bersama Juwan, semoga iseng dan tawa bahagianya masih sama selalu, ya.

yang hari ini kena ciprat air danau karena ada yang terlalu bersemangat, seren.


09 Februari 2025

Selamat ulang tahun, Juwan!

Serta mulia selalu untuk Juwan. Semoga di usia yang baru ini Juwan hanya dilingkupi kebahagiaan dan kasih sayang yang melimpah dan cukup.

Aku mungkin enggak akan bisa hadir banyak di usia Juwan yang sekarang, ya. Aku hanya bisa hadir sampai tanggal empat belas, setelah itu aku akan menyayangi Juwan dari jauh.

Juwan, aku ingat sekali kamu akan melihat aku dengan tatapan penasaran setiap kali kita selesai berdoa di gereja.

Aku akan selalu bilang kalau aku mendoakan kebahagiaan dan kesehatan untuk Juwan.

Tapi, Juwan, dulu aku cukup egois untuk berdoa kalau aku ingin selalu bisa membahagiakan Juwan dengan cara selalu menyayangi Juwan. Dulu, aku cukup egois berdoa aku ingin selalu bisa mengiringi langkah Juwan.

Tapi kali ini, maaf Juwan, aku enggak akan egois lagi.

Tahun ini, aku doakan Juwan selalu dilingkupi kasih sayang yang cukup dari seluruh yang ada di sekitar Juwan.

Dari aku, cukup kasih sayang dari jauh, yang selalu akan peluk Juwan dalam hari terburuk Juwan. Dari aku, cukup kasih sayang dari jauh, yang selalu akan semangati Juwan dalam kesedihan Juwan.

Dari aku, cukup kasih sayang dari jauh, yang tidak akan pernah terputus segala doa untuk miliaran kebaikan bagi Juwan.

Karena kalau Juwan bahagia, maka aku bisa jadi orang paling bahagia di dunia ini.

5 hari lagi bersama Juwan. Tuhan, ambil semua sedihnya, dan limpahilah Juwan dengan segala kebahagian dan kebaikan di dunia ini.

yang hari ini makan terlalu banyak krim, seren.


10 Februari 2025

Aku paham betul Juwan mana betah kalau harus duduk diam berjam-jam lamanya, kan.

Sama seperti dulu waktu Juwan fomo mau ikut-ikutan seperti yang lain untuk menyusun puzzle sama pacarnya, jadi Juwan beli puzzle dengan 1000 keping itu.

Yang ujung-ujungnya aku yang selesaikan dan Juwan cuman melihat bagaimana aku menyusun sambil berceloteh panjang lebar tentang berbagai macam hal.

Aku sama sekali enggak keberatan, soalnya pipi kamu kalau lagi bercerita jadi lucu sekali rasanya. Juwan benar-benar seperti kucing, yang cuman ikut di samping orang lagi sibuk sambil mengeong supaya terlihat sibuk.

Lucu sekali, selalu lucu Juwan.

Andai menyusun puzzle realita juga semudah menyusun 1000 keping ini, maka aku akan kembali susun hidup kita dari awal, Juwan. Biar aku juga punya usaha yang sama besar seperti Juwan waktu itu.

4 hari lagi bersama Juwan, ternyata sebentar lagi, ya. Sedih. Tapi aku harap Juwan selalu bahagia, ya.

yang hari ini menyesap kopi sambil tahan sakit kepala karena 1000 keping puzzle, seren.


11 Februari 2025

Andai saja berhenti dari semua ini semudah mendayung perahu kayak, maka aku akan jadi yang pertama kali belajar untuk menjadi profesional.

Juwan, bagaimana caranya dulu kamu enggak pernah lelah buat menunjukkan cintamu secara gamblang setiap hari?

Juwan, bagaimana caranya dulu kamu enggak pernah lelah buat selalu lingkupi semua orang dengan cintamu yang selalu miliki volume terbesar dalam hidup?

Juwan.

Juwan.

Juwan.

Juwan, memangnya kamu enggak mau mengajari aku, cara untuk bisa mencintai sebesar kamu mencintai, Juwan?

Supaya aku enggak perlu harus berandai-andai sedang mendayung menjauh dari semua hal ini.

Juwan.

Juwan.

3 hari lagi bersama kamu, Juwan. Aku bahagia sekali, kamu juga harus selalu bahagia, ya.

yang hari ini mendayung kayak seperti orang kesetanan, seren.


12 Februari 2025

Si paling selalu suka cokelat.

Hari ini kita makan gelato di tempat biasa Juwan ajak aku makan gelato. Hari ini lagi-lagi Juwan pesan gelato rasa cokelat. Hari ini lagi-lagi Juwan curi cicip gelato punyaku lalu dengan iseng mencampurkan dengan punya Juwan sendiri.

Rasanya gelato ini enggak bisa aku telan ke dalam tenggorokan setiap kali aku ingat, kalau kita sudah makan gelato bersama, artinya besok aku akan mengajak Juwan jalan-jalan malam dan artinya kita cuman punya waktu sebanyak 2 hari lagi.

Rasanya, aku mau egois lagi, Juwan. Aku mau berdoa lagi supaya aku bisa sama kamu terus tanpa harus menghitung mundur hari-hariku bersama kamu seperti ini.

Mana tega tapi diriku kalau yang ada di hadapanku adalah Juwan yang paling bahagia—yang aku mana pernah tahu apakah kamu juga sebahagia ini bertahun-tahun lalu, Juwan?

2 hari lagi bersama Juwan. Bahagia. Bahagia. Bahagia. Hanya itu yang aku inginkan untuk Juwan. Bahagia ya, Juwan.

yang hari ini lagi-lagi makan gelato stroberi, seren.


13 Februari 2025

Pulang jalan-jalan malam, Juwan bertanya memangnya kenapa kita enggak bisa melanjutkan semua ini setelah empat belas hari.

Dan aku harus menelan semua rasa bersalah itu untuk kesekian kalinya.

Juwan, enggak ada satu sentipun bagian tubuhku yang mampu untuk jawab pertanyaan itu. Enggak ada satu sel pun di dalam tubuhku yang tega untuk menjawab pertanyaan itu secara gamblang.

Apalagi setelah melihat kamu yang semakin hari semakin bahagia. Kamu yang semakin hari semakin lebar tawanya. Kamu yang semakin hari terlihat seperti bisa menjalani hidupmu sendirian dengan seluruh kasih sayang yang diberikan orang-orang ke kamu.

Juwan, aku cuman punya malam ini untuk berjalan kembali ke kamu.

Juwan, aku cuman punya malam ini untuk membawa kembali seluruh cinta yang apa adanya ke kamu.

Juwan, aku cuman punya malam ini.

Aku cuman punya malam ini untuk pandangi wajah bahagiamu selekat mungkin, yang kemudian akan aku patri selamanya dalam memoriku sendiri. Aku cuman punya malam ini untuk bisa menggandeng jari-jarimu yang kemudian tanganku akan kamu tarik masuk ke dalam kantong hoodie yang merupakan pemberianku dulu. Aku cuman punya malam ini untuk bisa dengar tawa lepasmu sebelum semuanya berakhir dalam sebuah kedipan mata.

1 hari lagi bersama Juwan. Bahagia, ya, Juwan?

yang malam ini tidur setelah membuat kamu marah, seren


14 Februari 2025

Selamat hari kasih sayang untuk orang yang paling tau cara menyayangi orang lain, Juwan.

Juwan, aku paling paham kalau kamu enggak suka pergi tidur dengan perasaan kesal. Aku juga paling paham kalau kamu enggak suka bangun tidur dengan perasaan sesak karena apa yang belum tuntas semalam.

Juwan, aku juga paling paham kalau marahmu itu enggak akan bertahan lama. Jadi, semoga ketika kamu membaca ini, kamu sudah enggak punya sisa amarah di dalam hati kamu.

Aku enggak akan pernah bosan untuk menyampaikan ini berkali-kali di setiap tahunnya, di setiap momen terakhir kamu akan mengingat aku dan semua yang aku bawa ke dalam empat belas hari singkat bersama Juwan.

Juwan, terima kasih banyak sudah hadir ke dunia ini di Bulan Februari yang dingin. Kalau Juwan enggak hadir, mungkin Februari akan tetap selalu menjadi dingin. Juwan pernah bilang kalau Juwan enggak pernah menganggap Februari sebagai bulan spesial, tapi aku harap Juwan setelah ini selalu bisa berjalan masuk ke dalam Februari dengan sukacita sebagaimana Februari bersukacita juga untuk menyambut hadirnya Juwan.

Juwan, terima kasih sudah pernah hadir ke dalam hidup Seren. Terima kasih karena tidak pernah lelah untuk berulang-ulang mengikuti semua keinginan Seren selama 14 hari lamanya. Namun, terima kasih yang paling utama adalah untuk Juwan yang bertahun-tahun silam datang ke hidup Seren dan bawa Seren ke dalam perjalanan cinta paling menyenangkan dalam hidup Seren.

Juwan, maaf. Maaf. Maaf. Beribu maaf, Seren belum bisa buat Juwan jadi manusia paling bahagia di dunia ini. Malah-malah, Seren buat Juwan kehilangan hampir separuh hidup dan memori Juwan, menyisakan Juwan dan banyaknya pertanyaan yang muncul di kepala Juwan. Namun, Seren percaya kalau orang-orang di sekitar Juwan akan selalu bantu Juwan untuk bahagia—meskipun tanpa Seren ikut terlibat secara langsung di dalamnya.

Juwan, Seren masih ingat betul di hari terakhir Juwan mampu mengingat Seren, Juwan bilang ingin mendengarkan kata cinta dari Seren. Waktu itu, Seren pikir, cukup saja Seren ucapkan hal tersebut lewat hal-hal lain, tetapi ternyata tentu saja itu enggak selamanya cukup. Padahal, Juwan selalu menyayangi Seren sebegitu besarnya dan sebegitu dalamnya. Dan Seren dengan angkuhnya pikir selamanya Seren akan punya hal tersebut dalam genggaman Seren. Sayangnya, Seren salah dan kemudian seluruh hal tersebut diambil dari Seren, menyisakan Seren yang berusaha ambil setiap keping memori tersebut untuk kembali disatukan guna membawa cinta ini kembali ke Juwan.

Juwan, setelah ini Juwan enggak akan mengenal—apalagi mengingat siapa itu Jiwa Serenata.

Jangan kaget, ya, hahaha. Sudah beberapa tahun kita lewati hal ini, aku saja sudah biasa, jadi Juwan Si Jagoan juga harusnya sudah harus biasa juga dong, ya?

Juwan, setelah ini Seren akan kembali menjadi Jiwa Serenata yang enggak akan Juwan ingat eksistensinya.

Setelah ini Jiwa Serenata enggak akan ada di sisi Juwan dan Juwan bahkan enggak akan pernah mencari-cari Jiwa Serenata.

Juwan, setelah ini Seren akan kembali memperhatikan Juwan dari jauh. Seren akan mendoakan semua bahagia dan hal baik untuk Juwan dari jauh—dan biarkan tugas untuk menyayangi Juwan dari dekat dilakukan oleh orang-orang terdekat Juwan seperti Kak Jeremy, Tara, dan Riki—juga yang lain, tentu saja!

Juwan, sebetulnya Seren takut sekali. Setelah ini, Seren akan sendirian lagi, tanpa Juwan yang punya banyak kasih sayang untuk Seren. Namun, Juwan enggak perlu risau atau khawatir, ya, Seren akan selalu punya jalan untuk kembali lagi ke Juwan dalam empat belas hari lainnya untuk membawa semua cinta ini kembali ke Juwan.

Karena cuman cinta yang sanggup buat Seren berjalan sampai sejauh ini, Juwan.

Juwan, setelah ini hidup dengan baik ya. Kalau setelah ini kamu merasa kurang baik, segera hubungi Kak Jeremy, Tara, ataupun Riki. Mereka pasti akan membantu Juwan selalu. Kalau mereka enggak mau, cukup jitak sekali aja, mereka pasti mau, kok.

Juwan.

Juwan.

Juwan.

Enggak apa kalau setelah ini Juwan enggak akan punya ingatan apa-apa soal Seren dan 14 hari kita, ya.

Seren akan kembali lagi nanti, kenalkan lagi 14 hari tersebut juga membawa lagi cinta yang Seren akan jaga selama yang Seren mampu.

Juwan, bahagia selalu, ya.

Hari terakhir bersama Juwan, setelah ini tidak akan ada Jiwa Serenata yang Juwan ingat di dalam hidupnya.

Bahagia selalu, Juwan.

yang selalu mencintai dan mendoakan bahagianya Juwan, Jiwa Serenata.

09 Februari 2025 — 08.56 PM

“Aku mau keluarkan kuenya dulu dari kulkas!”

Juan tidak kuasa menahan tawa ketika Serenata berlarian meninggalkan sofa rumahnya—yang hari ini kosong dan hanya ada mereka berdua di sana—menuju dapur ketika dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima puluh enam.

“Iiiih kamu bantu dong ambilkan lilin yang tadi kita beli!” teriaknya dari dapur, membuat Juan semakin terbahak seraya ia beranjak mengikuti langkah Serenata yang sudah ada di dapur rumahnya terlebih dahulu.

Pagi-pagi buta Serenata sudah menyeretnya untuk pergi ke gereja, beribadah sebelum memulai hari mereka. Mereka. Sebab, Juan sudah habiskan delapan hari sebelumnya dan ia menyukai perubahan-perubahan yang terjadi selama lebih dari seminggu dalam hidupnya. Ia lebih sering bangun pagi, ia lebih banyak bergerak keluar dari kamar indekosnya dan tidak hanya keluar dari indekos untuk pergi ke kelas. Banyak kegiatan menyenangkan yang diajaknya oleh Serenata untuk coba setiap harinya.

Kencan empat belas hari ini memang tidak terlalu buruk.

Sepulang dari gereja, Serenata mengenalkan sebuah warung soto kepadanya, memberikannya sebuah resep rahasia, yang tuai tawa dari sang pemilik warung. Yang kemudian memberikan Serenata sebuah kedipan mata dan acungan jempol, seperti mereka tengah bagi rahasia sementara Serenata hanya tertawa dan turut membalas acungan jempol tersebut.

Sesi sarapan tersebut berlanjut pada bermain-main sebentar di taman kota, mengajak berbicara anjing peliharaan orang-orang yang sedang menikmati pagi hari di akhir pekan.

(Juan suka sekali tiap Serenata membiarkan dirinya diciumi oleh setiap anjing yang mereka sapa).

Semua itu berakhir dengan sepeda motor hitam milik Serenata dibelokkan ke sebuah toko kue yang tidak terlalu besar, membuat Juan mengernyit dan hanya mampu mengekori yang lebih tua di belakang langkahnya. Yang kemudian menatap Serenata heran ketika ia menerima sebuah kue dengan tulisan Happy Birthday, Juwan! dengan diameter yang tidak terlalu besar. Kemudian, mereka pulang dan menghabiskan hari tersebut dengan menonton beberapa fim dan memainkan beberapa board game yang Serenata bilang adalah favoritnya dan seseorang dulu.

“Orang tuh ulang tahun bukannya dikasih surprise, malah diajak ambil kuenya bareng.”

Serenata mendelik dari balik pintu kulkas seraya menarik keluar kue tersebut dari dalam sana, ia berjalan lebih dahulu untuk kembali ke sofa ruang tengah dengan Juan yang mengekor di belakangnya, lengkap dengan pisau kue dan lilin di tangan yang tadi diambilnya dari meja makan dapur.

“Kamu 'kan enggak suka kejutan,” jawab Serenata singkat.

Kue tersebut diletakkan di atas meja kecil pada ruang tengah tersebut, kemudian tangan Serenata terulur untuk meminta lilin yang ada di tangan Juan. Lilin itu berpindah tangan ke Serenata yang dengan cekatan menancapkannya pada kue tersebut, sementara Juan hanya menatap bingung Serenata yang dengan enteng kemudian menyalakan lilin tersebut dengan korek api yang sudah dikeluarkan dari dalam laci televisi sejak beberapa saat yang lalu.

09 Februari 2025 — 09.02

“Sembilan lewat dua!” serunya dengan senyuman lebar di wajahnya.

“Ayo cepat make a wish terus tiup lilin sebelum berubah jadi lewat tiga!” serunya lagi.

Meskipun ia masih bertanya-tanya dengan ucapan Serenata soal kejutan, tetapi ia tetap menuruti perkataan Serenata yang sudah menunggunya.

Juan menangkupkan kedua tangannya di bawah dagunya, kemudian memejamkan mata seraya mengucapkan beberapa kalimat di dalam hatinya sebagai sebuah doa dan harapan untuk usianya yang baru bertambah hari ini. Ketika ia akhirnya meniup lilin sampai padam, Serenata bertepuk tangan kemudian berujar amen pelan, yang hampir saja tidak bisa ditangkap oleh pendengaran Juan.

“Kenapa harus jam sembilan lewat dua?” tanya Juan seraya meraih pisau kue yang diletakkan di atas meja.

“Enggak papa,” senyum Serenata, yang Juan perhatikan betul-betul sebab hampir sembilan hari menghabiskan waktu bersama Serenata, ia menyadari bahwa Serenata begitu ekspresif dalam segala geriknya—bahkan dalam senyumnya pun siapa saja bisa menangkap apa maksud dari senyum tersebut.

Meskipun begitu, Juan selalu kesulitan untuk mengartikan beberapa maksud senyuman Serenata, termasuk sekarang ini. Ia tidak begitu yakin apa maksud senyuman Serenata. Rasanya seperti ia tengah bernostalgia sendiri di dalam kepalanya melalui senyuman itu, tetapi pada saat yang bersamaan, Serenata terlihat seperti tengah coba tutupi semua ledakan emosinya melalui senyumannya.

“Hey, you okay?” tanya Juan pada akhirnya.

Serenata mengerjap beberapa kali sebelum mempertemukan netra hazelnutnya dengan obsidian milik Juan.

“Kenapa aku harus enggak oke?” senyumnya pada Juan.

Pasif-agresif lagi.

“Cuman, apa ya, you seems off,” ujar Juan akhirnya.

Serenata menggeleng masih dengan senyuman di wajahnya, “enggak, kok! Perasaanmu aja, mungkin.” Kemudian buru-buru membuat gestur melambai di depan wajahnya sendiri, “ngapain mikirin aku, sih? Ini 'kan hari ulang tahun kamu! Let's celebrate!”

Yang selanjutnya terjadi adalah mereka yang menghabiskan waktu dengan bersenda gurau melalui kelakar-kelakar yang dilemparkan satu sama lain. Kue yang ada di atas meja masih tersisa setengah sebab mereka tidak sanggup menelan lebih banyak krim ke dalam perut mereka. Kali ini mereka berdua berakhir terkapar di atas sofa, dengan Serenata yang menaruh kepalanya di atas sandaran sofa, menatap ke arah Juan yang tengah melakukan yang sama dengannya.

“Kenapa?” tanya Juan, bingung dengan maksud tatapan Serenata ke arahnya.

Serenatanya hanya tertawa kemudian mengulas senyum sebelum menutup kedua kelopak matanya. “Enggak apa, i'm just happy to have you here.”

“Aku juga senang bisa merayakan ulang tahunku seperti ini,” sahut Juan. “Februari buatku selalu jadi biasa aja, Seren. Setelah ulang tahun lalu kenapa? Memangnya ada apa lagi di Bulan Februari yang bisa buat aku bahagia, iya 'kan? Pada akhirnya juga sama aja kayak bulan lainnya,” tambahnya.

“Then, it will be special from now on, Juwan,” jawab Serenata seraya membuka kembali kedua kelopak matanya, menatap lekat obsidian miliknya.

“Kenapa kayak gitu?” tanya Juan.

“Karena—” Serenata menjeda kalimatnya, tersenyum pada bagaimana ekspresi Juan melunak di dalam tatapannya, sebelum ia memejamkan kembali kedua kelopak matanya, untuk merekam setiap inci ekspresi tersebut dengan baik di dalam memorinya.

“—aku sudah mendoakan segala yang baik buat kamu, jadi aku harap, kamu akan selalu bahagia dan melewati Februari yang berbaik hati untuk kamu.”

03 Februari 2025 — 10.42 PM

“Dingin enggak?” tanya Serenata seraya menoleh dari balik pundaknya, menyadari bahwa Juan mengambil beberapa langkah mundur darinya beberapa saat lalu.

Pandangannya yang semula tertuju pada ponselnya langsung diangkat untuk bersitatap dengan hazelnut milik Serenata yang mengerling khawatir ke arahnya.

“Enggak, 'kan aku pakai hoodie,” sahutnya, kemudian mengernyit bingung ketika Serenata tersenyum ke arahnya. “Kenapa?” tanyanya penasaran.

“Enggak, just happy,” ujarnya dengan suara kecil sebelum kembali menoleh pada hamparan kerlap-kerlip lampu kota di malam hari. “Kepalanya ada sakit lagi enggak hari ini?” tanyanya.

Juan mengerjap seraya beranjak untuk berdiri tepat di sisi Serenata, menyandarkan tubuhnya juga—berpegangan pada railing rooftop tempat mereka berada sekarang.

“Tadi siang sempat, tapi habis makan akhirnya aku minum obat karena aku masih ada kelas lagi.”

Anggukan adalah satu-satunya respons dari Serenata, tanpa mengucapkan sepatah katapun keduanya membiarkan hening mengisi atmosfir di antara mereka sekarang. Juan sesekali melirik pada bagaimana sesekali Serenata mengerjap memerhatikan kerlap-kerlip lampu dari gedung pencakar langit kota mereka. Sesekali juga Serenata akan bawa tangannya ke depan mulut hanya untuk ditiup kemudian digosok sebelum dibawa masuk ke dalam kantong celananya.

“Besok-besok jangan pakai sweater aja kalau enggak tahan dingin.” Tangannya terulur untuk menggenggam kedua tangan Serenata ke dalam sebuah tangkupan tangannya, kemudian ia meniup beberapa kali untuk beri hangat sebelum dibawa masuk ke dalam kantong hoodie-nya.

Juan melirik Serenata yang tersenyum lebar ke arahnya dan berujar terima kasih dengan nada riang, tidak indikasikan lelah sedikitpun meski Juan tahu kalau jadwal yang lebih tua jelas benar-benar padat dari pagi hingga sore ini. Akan tetapi, alih-alih mengambil waktu istirahat, ia lebih memilih muncul di depan pagar indekos Juan dengan pelindung kepala kuning yang dikeluarkan dari bawah jok sepeda motornya.

“Jalan sekarang, yuk? Lapar banget.”

Juan bahkan bisa menebak bahwa makan siang yang lebih tua pasti tidak habis karena diburu-buru oleh waktu dan mana sempat ia untuk sekadar menyantap cemilan yang kemungkinan besar juga tidak disiapkan.

Makan malam mereka dengan bebek goreng yang dilengkapi dengan sayuran itu disantap keduanya sampai habis, mengabaikan bagaimana sambal yang tadinya ada di piring Juan dipindahkan seluruhnya ke piring Serenata hanya untuk disisakan separuh setelah mereka selesai makan.

“Habis ini kita lihat city lights, ya!”

Ia melirik lagi pada Serenata yang kali ini sudah kembali memandangi pemandangan di depan mereka.

“Memangnya kamu enggak capek, ya?”

Kali ini Serenata menoleh pada Juan, tersenyum kecil padanya, kemudian beralih untuk menatap bulan yang muncul dengan malu-malu di atas langit dengan warna gelap gulita tersebut.

“Enggak,” jawabnya, “soalnya, waktuku sama kamu 'kan cuman sedikit, empat belas hari itu sebentar banget, Juwan.”

“Setelah empat belas hari, 'kan, kita masih bisa ketemu sesekali, walaupun kamu enggak bakal jadi date-ku lagi?”

Kali ini tawa yang menjadi penghantar jawaban yang lebih tua, sebersamaan tawanya yang semakin mereda, ia juga menurunkan pandangannya untuk menoleh ke arah Juan yang menatapnya bingung.

“Enggak, Juwan. Cara kerjanya, bukan seperti itu.”

02 Februari 2025 — 06.19 PM

Bangun pagi di hari libur bukan sesuatu yang biasa Juan lakukan.

Akan tetapi, ia mendapati dirinya sudah mengenakan pakaian olahraganya dengan pelindung kepala berwarna kuning yang ditenteng di tangan kanan, tepat pukul enam lewat sembilan belas ketika ia melirik jam yang tertera pada layar ponselnya.

Kuapan yang entah keberapa kembali menguar pagi ini. Serenata sukses buat dirinya bangun pagi-pagi buta dan menyentuh air dingin yang tidak pernah disukainya. Bukan berarti Juan pemalas yang tidak pernah bergerak di akhir pekan, tetapi ia jelas membutuhkan tidur lebih lama setelah minggu yang panjang.

“Hai!”

Sapaan riang itu mengudara untuk menyapa indra pendengarannya. Kendati baru kemarin ia mengenal Serenata, pria itu betulan hidup sesuai dengan namanya.

Serenata.

Alunan musik.

Meskipun impresi pertamanya terhadap yang lebih tua tidak terlalu bagus—sebab siapa yang tidak kesal dan kaget dihubungi di penghujung malam dan bilang bahwa ia adalah teman kencanmu empat belas hari kedepan?—tetapi Juan tidak menyangkal bahwa ia sama sekali tidak keberatan dengan kehadiran Serenata yang mengisi permulaan Bulan Februarinya.

“Gimana kalau gue yang bawa motornya?” tawar Juan.

Gelengan dengan sebuah senyum riang di wajah yang lebih tua adalah yang didapat oleh Juan sebagai jawaban.

“Enggak apa, it's your special month afterall, aku mau semua jadi spesial buat kamu.”

Special, huh?

“Okay, then,” ujarnya, kemudian mengenakan pelindung kepala miliknya sendiri, mengernyit ketika ia berjalan mendekat dan didapatinya yang duduk di atas sepeda motor tidak mengunci pengaman pada pelindung kepala yang dikenakannya.

“Jangan lupa di-klik helmnya,” ujar Juan, kemudian kedua tangannya terulur untuk mengunci pengaman tersebut.

Ketika tangannya ditarik kembali ke sisi tubuhnya, ia dapati Serenata bergeming di tempatnya, mengerjap beberapa kali sebelum menghela napas yang dilakukan dengan pelan—tetapi Juan bisa tangkap lega yang muncul di sana.

“Serenata?”

Kali ini Serenata menepuk jok belakang sepeda motornya, “yuk naik, nanti mataharinya makin tinggi.”

“And anyway, It's Seren.”

01 Februari 2025 — 16.20 PM

Kelas internasional kadang buat Juan merutuki dirinya yang terpaksa harus berada di kampus bahkan pada akhir pekan.

Mungkin, bagi beberapa yang terbiasa habiskan waktu bergelut dengan organisasi, hal ini akan terkesan biasa saja. Akan tetapi, untuk seseorang seperti Juan—jelas itu buat dirinya merasa energinya dikuras habis di akhir pekan.

Yang mana hal tersebut diperparah oleh hadirnya Jiwa Serenata dengan motor scoopy-nya dan pelindung kepala berwarna hitam yang bertengger rapi di atas kepalanya. Pakaiannya biasa saja, malah terkesan kasual, mengingat sepertinya pria itu tidak mikiki jadwal apapun di akhir pekan. Walau, setelah Juan mendekat dan menerima uluran pelindung kepala berwarna kuning, bisa ia lihat sebuah paperbag bergantung di sepeda motor tersebut, yang terlihat penuh entah dengan apa.

“Ayo naik,” ujar Serenata yang mengendik ke arah jok belakang sepeda motornya, mengisyaratkan untuk Juan segera ambil tempat di sana karena yang lebih muda masih bergeming di tempatnya, “kita mampir ke kos kakak tingkat aku dulu, ya, mau antar alat skill lab.”

Juan hanya mengangguk-angguk setuju, lagipula ini bukan keinginannya untuk dijemput oleh yang lebih tua dan menjadi pusat perhatian banyaknya mahasiswa yang berlalu-lalang kendati ini adalah akhir pekan.

Setir sepeda motor tersebut dikendarai dengan mudahnya oleh Serenata membelah jalanan kota yang ramai dengan pengguna jalan lainnya. Yang mungkin sedang buru-buru menuju tempat tujuan ataupun yang hanya berjalan-jalan dengan bingung menguasai—yang pertama adalah Serenata dan yang kedua adalah Juan.

“Thank you, ya, Seren, ngerepotin banget jadi lo yang antar ke kos gue.”

Yang dipanggil Seren tersebut menggeleng dengan senyuman di wajahnya, pelindung kepalanya sudah tanggal dan digantungkan pada kaca spion motornya sementara Juan berdiri di sebelah sepeda motor, menatap canggung ke arah Serenata dan yang dirujuk sebagai kakak tingkat oleh Serenata beberapa waktu lalu—kemudian sibuk menatap sepatu converse-nya yang terlihat lebih menarik.

“Enggak sama sekali, ini gue soalnya sekalian mau ada urusan sama Juwantya.”

Juan mengangkat kepalanya ketika nama itu mengudara dari bibir yang sekarang mengerling ke arahnya, sebelum kembali kepada lawan bicaranya. Ia memperhatikan bagaimana Serenata mengangguk-angguk dan tertawa sebentar sebelum kemudian berpamitan pada yang melambaikan tangan dari arah pagar indekos yang menjulang tinggi.

“Lo tau nama gue?”

“Kenapa aku harus enggak tau nama kamu?”

Bunyi klik pada pengaman pelindung kepala itu berbunyi nyaring menyapa indra pendengaran Juan. Serenata kembali pada posisinya dan menyalakan sepeda motor sebelum sedikit menoleh dari balik pundaknya.

“Nah, sekarang kita pulang. Boleh tolong bantu aku kasih arah jalan ke kos kamu, ya.”

“Kita pulang?”

Kali ini Serenata menoleh sepenuhnya sampai tubuhnya juga dibawa sedikit berputar ke belakang. Kepalanya dianggukkan seraya netra hazelnutnya menatap obsidian milik Juan.

“Iya, pulang.”

Juan mengernyitkan keningnya bingung. Bukan maksudnya dia berharap akan sesuatu, tetapi dari bagaimana Serenata mengaku akan menjadi pasangan kencannya selama empat belas hari ke depan—juga bagaimana Serenata bersikukuh untuk menjemputnya hari ini, jelas buat Juan bingung dengan pernyataan tersebut.

“Oh, kamu mikir kita punya agenda lain hari ini ya?”

Tawa renyah dari Serenata buat Juan memerah di bawah terik matahari sore, skakmat ketahuan bahwa ia berekspektasi pada hal lain.

“As much as i want, hari ini agenda kita baru berkenalan! Nah besok itu baru kita punya agenda lain!”

“Sorry,” cicit Juan, tidak tahu mengapa ia meminta maaf, tetapi juga berusaha menyingkirkan rasa malu yang menguasai dirinya, “anyway, aku satu kos sama Kak Jeremy, kenal 'kan?” tanyanya.

“Kenal,” senyum Serenata, menatap obsidian Juan seksama, “aku juga tahu kos kamu di situ, kok, tadi cuman basa-basi aja supaya aku enggak keliatan kayak stalker,” tuturnya, kemudian tertawa ketika Juan membulatkan kedua matanya atas pengakuan tersebut. “Tara yang kasih tahu aku, dia sepupuku,” tambahnya.

Juan hanya mengangguk-angguk paham, yang buat Serenata membuat konklusi bahwa tidak ada pertanyaan lebih lanjut lagi sebelum ia mulai menjalankan motornya membelah jalanan kota.


“Sampai, deh!” ujar Serenata riang, seraya menurunkan standar sepeda motor dengan kaki kirinya, “helmnya dibawa aja, ya, besok aku jemput lagi.”

Juan yang baru melepaskan pelindung kepala berwarna kuning itu mengernyit bingung, “mau kemana kita besok?” tanyanya.

“Jogging,” jawabnya enteng dengan senyuman di wajah, “tapi ke sananya harus naik motor dulu, jadi kamu bawa dulu aja, ya.”

Juan akhirnya mengangguk mengiyakan. Meskipun ia tidak mengerti mengapa ia bisa menjadi sepenurut ini pada orang yang jelas-jelas tidak ia kenal. Namun, ada sesuatu pada diri Serenata dan perjalanan singkat mereka sore ini melalui jalan-jalan baru yang belum pernah Juan jejaki—buat Juan percaya bahwa Serenata jelas bukan seorang yang berniat buruk padanya.

“Terus agenda hari ini?”

Serenata tersenyum lebar sebelum mengulurkan tangannya.

“Hai!”

“Hai?” balas Juan bingung seraya sambut uluran tangan tersebut ke dalam sebuah genggaman.

“Nama kamu?” tanya Serenata, seraya menaikkan satu alisnya, seperti menunggu Juan untuk mengenalkan dirinya lebih dulu.

“Juan. Mahardika Juwantya.”

Senyuman itu masih sama lebarnya ketika namanya mengudara, menciptakan rasi-rasi familier bermain di dalam kepala Juan saat ini.

“Hai! Aku Jiwa Serenata!”

Juan berceletuk ketika ia akhirnya temukan apa yang buat dirinya merasa familiar semenjak kemarin. “Seperti judul lagu?” tanyanya.

Ada tawa riang mengalun dan anggukan yang berangsur mengubah tawa tersebut menjadi senyuman kecil dan sorot yang menatap obsidiannya dengan penuh arti.

“Betul. Seperti judul lagu.”

31 Januari 2025 — 11.50 PM

Sepuluh menit menuju tanggal 1 pada Bulan Februari.

Februari bukan bulan yang spesial bagi Juan.

Terlepas dari hari ulang tahunnya yang jatuh pada tanggal 9 Februari, semuanya terasa sama saja bagi Juan yang menjalani kehidupannya begitu-begitu saja.

Bulan Februari menurut Juan sama saja seperti bulan lainnya. Hitungan hari yang capai angka 28 itu akan berlalu begitu saja, kemudian berganti menjadi bulan selanjutnya. Biasa saja. Tidak ada yang spesial.

Mungkin, banyak muda-mudi yang menunggu hadir bulan ini karena hadirnya tanggal 14 yang digadang-gadang sebagai hari spesial penuh kasih sayang. Yang hadirkan banyak janji serta okasi-okasi khusus yang dibuat untuk menyenangkan hati pasangan.

Juan yang habiskan hampir 21 tahun hidupnya sendirian—tentu akan anggap Februari menjadi bulan yang sama saja seperti bulan lainnya.

Itu yang sebabkan Juan tidak banyak berekspektasi apapun lagi tahun ini. Toh, ia memang sudah terbiasa lalui bulan ini sendirian. Akan ada ucapan-ucapan menyenangkan pada hari ulang tahunnya, tetapi semua itu kemudian akan lenyap ketika hari berganti. Jadi, buat apa Juan harus berpusing-pusing untuk menyambut bulan ini dengan suka cita?

Bulan Februari itu biasa saja bagi Juan. ‎


31 Januari 2025 — 11.51 PM

Atau mungkin, mulai sekarang—Juan bisa pertimbangkan sematkan kata spesial untuk Bulan Februari.

Kepalanya menoleh ketika disadarinya ada presensi lain yang hadir di dekatnya.

“Hai.”

Senyuman mengembang ketika sapaan tersebut mengudara, buat dirinya juga mengudarakan sebuah sapaan balik.

“Halo, Jungwon, sudah selesai main sama abang-abang aku?”

“Sudah, hampir setengah jam yang lalu,” ujarnya, “tadi aku barusan dari ruang kerja Papi,” timpalnya lagi sembari ambil tempat tepat di ruang kosong samping kiri Sunoo yang duduk di bangku taman belakang rumahnya.

Sebuah kerutan menghiasi kening yang lebih tua. “Kok? Tiba-tiba? Papi yang panggil?” tanyanya.

“Aku yang ke sana.”

Kerutan itu semakin bertambah seiring satu buah alisnya naik ketika ia menoleh bingung kepada yang lebih muda.

“Buat apa?”

Tidak ada jawaban dari yang lebih muda selain tangannya terulur untuk singkirkan helai rambut yang jatuh ganggu wajah omeganya sebelum kemudian diselipkan di balik telinganya. Ada sebuah senyum yang merekah dan gelengan kepala yang menyertainya.

“Masuk, yuk? Kata Mami tadi makan siangnya sudah selesai.”


(“Kalian juga baru pertama kali bertemu, 'kan? Selain karena memang anak saya adalah fated mate-mu. Apa yang buat kamu menginginkan anak saya?”)

Ban mobil yang berdecit pelan menyadarkan Sunoo dari lamunannya.

“Sampai, deh.”

Ketika ia menoleh, ia mendapati si alpha muda—alphanya, yang hari ini eksistensinya terasa begitu mendebarkan sekaligus menyenangkan—itu sedang tersenyum ke arahnya. Sesuai dengan janjinya pula, apabila semua berjalan lancar, maka ia ingin mengajak Sunoo untuk keluar dan berjalan-jalan sebentar.

Diajaknya Sunoo dalam sebuah genggaman tangan yang tidak pernah dilepaskan itu untuk menyantap eskrim—yang dibeli satu cup berdua karena yang lebih tua sudah menyantap satu di rumahnya. Diajaknya pula langkah kaki yang mengikutinya itu untuk pergi ke sebuah kafe yang sediakan kucing-kucing lucu untuk diajak bermain. Pada penghujung hari, kembali diajaknya Sunoo dalam sebuah rangkulan hangat itu untuk membeli beberapa oleh-oleh bagi yang menunggunya di rumah.

(“Memang semuanya terasa mendadak dan terlalu cepat, ya, Om dan Tante, juga abang-abang, tapi sejak saya tahu bahwa Sunoo adalah fated mate saya, satu-satunya yang bisa saya pikirkan adalah bagaimana saya bisa membangun hidup bersama Sunoo.”)

‎ Sunoo mengulas senyuman di wajahnya, “tadi sebelum berangkat, mami bilang mau bungkuskan kamu lauk tadi, katanya buat makan kamu di apart nanti,” ujarnya, membiarkan Jungwon mencondongkan tubuh ke arahnya untuk membantu Sunoo melepaskan sabuk pengamannya.

“Aku bisa sendiri, tahu,” ujarnya lirih.

Jungwon mengulas senyum tipis di wajahnya seraya ambil beberapa paperbag yang ada di pangkuan yang lebih tua.

“Tahu, kok,” ujarnya, kali ini melepas sabuk pengamannya sendiri, “tapi aku juga mau perlakukan kamu seperti ini.”

“Seperti apa?

Dilihatnya Jungwon mengulum senyumnya, “seperti satu dunia ini seharusnya cuman berbaik-baik saja sama kamu,” ujarnya. ‎

(“Sejak saya tahu kalau Sunoo adalah late bloomer, yang ada di dalam hati saya adalah rasa bersalah. Rasa bersalah tentang apa yang saya lakukan ke Sunoo dengan feromon saya, tetapi terlebih lagi rasa bersalah itu muncul dengan pikiran 'kemana saja saya sebagai fated matenya di saat Sunoo paling butuh saya?'. Tapi, selain rasa bersalah itu, ada hal lain lagi, yang mungkin rasanya terlalu cepat—”)

‎ “Aku tahu kamu terbiasa melakukan banyak hal sendirian, kata abang-abangmu juga mungkin itu karena kamu enggak mau merepotkan banyak orang, tapi kalau sekarang sama aku—” ucapannya dijeda untuk ambil satu tangan Sunoo dan dimainkan jari-jarinya dalam sentuhan yang menggelitik hingga ke ujung saraf Sunoo, “—kata merepotkan itu enggak eksis lagi, i'm beyond happy to take care of you.”

“I want to take care of you too.”

Jungwon tersenyum seraya jari-jarinya menggenggam milik Sunoo. “Iya, kita bisa lakukan itu sama-sama,” ujarnya, usap lembut punggung tangan yang ada di genggamannya dengan ibu jarinya.

“Terima kasih ya,” ujar Sunoo, setelah mereka jatuh ke dalam sebuah hening.

“Untuk?”

“Hari ini,” senyum Sunoo padanya, kedua matanya pancarkan sesuatu yang terasa seperti musim gugur yang nyaman bagi Jungwon, “semua yang kamu bilang ke keluargaku, rasanya aku enggak pantas buat disayangi seperti itu.”

Sunoo tertawa ketika dilihatnya Jungwon akan buka mulut untuk protes, yang kemudian segera dipotongnya. “Aku habiskan bertahun-tahun merasa enggak pantas buat orang, Jungwon,” ujarnya, balik remat jari-jari Jungwon yang bertaut dengan miliknya, “makanya aku juga membiasakan diri buat bisa melakukan apapun itu sendirian, takut kalau aku terlalu bergantung dengan orang tuaku juga Abang Min dan Abang Joo, aku akan selalu terbiasa. Abang-abang itu alpha, aku enggak mungkin akan selalu jadi prioritas mereka, suatu hari mereka akan buat keluarga mereka sendiri dengan mate mereka nantinya,” ia tersenyum ketika dirasanya Jungwon mendengarkan dengan seksama ucapannya.

Sunoo bersandar dengan nyaman pada kursi penumpang tempatnya duduk sekarang, menoleh pada Jungwon yang kini membiarkan paperbag tersebut untuk berada di pangkuannya saja tanpa dipegangi.

“Aku juga enggak mungkin merepotkan Papi dan Mami juga, kan?” senyumnya, “mereka juga harus menikmati masa tua mereka nanti, tanpa harus mengkhawatirkan aku terus-terusan. Akhirnya aku membentuk caraku sendiri untuk hidup, juga sikap defensif yang aku lakukan ke kamu sejak pertama kali kita bertemu,” ujarnya, tertawa kecil mengingat pertemuan pertama mereka yang konyol dan jauh sekali dari kata romantis.

Tapi, takdir selalu punya caranya sendiri.

“Aku sering merasa marah sama Moon Goddess, tahu,” tawanya, “bukan soal kondisiku, tapi aku marah karena aku khawatir sama fated mate-ku nantinya, yang akan punya mate cacat seperti aku. Makanya, waktu pertama kali tahu kalau kamu fated mate-ku, aku punya banyak khawatir, Jungwon. Aku cari tahu soal kamu beberapa kali dari anak-anak kantor—” Sunoo hampir tersedak oleh tangisnya sendiri ketika ia mengingat bagaimana rasanya ia harus telan segala takut beberapa hari belakangan.

“Hey, enggak perlu dilanjutkan sekarang kalau kamu enggak sanggup, ya.”

Sunoo menggeleng, sebab ia ingin jelaskan semuanya ke Jungwon sekarang juga. Sebab, ia rasa Jungwon berhak untuk tahu tentang dirinya.

“—kamu itu.... Kamu terlalu sempurna. Kamu terlalu sempurna untuk bersama aku yang tidak bisa mengimbangi kamu, Jungwon. Banyak omega di luar sana yang ingin kamu sebagai alpha mereka—omega yang jelas lebih cocok untukmu, omega yang akan serasi lengkapi lagi segala sempurna kamu, daripada aku yang mungkin hanya akan repotkan dirimu dalam sisa hidupmu,” ujarnya, menatap Jungwon yang mengerutkan keningnya.

Sunoo suka sekali bagaimana Jungwon begitu jujur melalui segala ekspresinya.

“Tapi, sejak kamu menangis beberapa hari lalu, aku jadi berpikir lagi. Kalau aku kayaknya enggak bisa merelakan kamu bersama orang lain karena untuk pertama kalinya ada yang meminta maaf karena enggak bisa menemani aku—” Sunoo tersenyum mengingat bagaimana Jungwon yang menangis sampai bergetar tubuhnya di dalam peluknya, “—apalagi menangis untukku. Rasanya, kalau aku dorong kamu menjauh, aku yang akan menangis detik itu juga.”

“Aku enggak pernah berpikir bahwa aku akan diinginkan oleh orang lain, Jungwon.”

Genggaman pada jemarinya terasa makin erat, buat Sunoo balik usap punggung tangan Jungwon perlahan.

“Tapi kamu jadi orang pertama yang buat aku merasa seperti aku diinginkan.” ‎

”(—tapi saya harap ini bisa buat Om, Tante, dan juga Abang-abang percaya dengan saya.“)

“Kamu itu lebih dari sekadar omega late bloomer, Sunoo.”

Ada nada yang hati-hati dalam bicaranya dan juga ketulusan yang bisa Sunoo tangkap sebersamaan dengan aroma citrus bercampur teh itu menyapa penciumannya.

“Aku tahu, makanya aku berterima kasih karena kamu mau menerima hal tersebut.” Sunoo tersenyum dengan bagaimana kedua mata serupa kucing itu kini menatapnya teduh sembari aroma citrus itu terus berikan rasa nyaman untuknya.

“Aku bukan omega yang sempurna. Mungkin, aku malah akan banyak merepotkan, dari bagaimana orang harus belajar lebih banyak soal aku, sampai dari cara hidup berdampingan dengan aku. Semuanya enggak mudah. Makanya, aku berterima kasih ke kamu buat semuanya.”

Tangannya ditarik oleh Jungwon dengan lembut, diusap perlahan sebelum dikecup dengan cara paling lembut dalam mengasihi. Yang buat Sunoo bergeming pada tempatnya bahkan ketika detik-detik mendebarkan itu berlalu dan tangannya sudah diturunkan dan dibawa beristirahat di atas pangkuan Sunoo sendiri.

“Do not ever think that you're just an imperfect omega, Sunoo,” bisiknya perlahan, tatap Sunoo dengan ribuan perasaan yang menari di antara kilat matanya, “sama kayak kataku tadi, kamu itu lebih dari sekadar statusmu sebagai omega. Kamu adalah Kim Sunoo, your own person. Orang paling luar biasa yang pernah aku kenal,” ujarnya lagi.

(“Saya ingin habiskan sisa hidup saya dengan Sunoo. Hanya dengan Sunoo. Bukan hanya karena dia adalah fated mate saya.”)

‎ Netra miliknya yang menatap teduh itu kini pancarkan hangat bersama dengan wangi citrus yang semakin kuat lingkupi atmosfir tempat mereka berada sekarang.

“To be your fated mate is such a blessing to me,” senyumnya pada Sunoo, “to know that i will spend my life with you after this—you don't know how much of joy that cause me.”

“Jungwon—”

“Jadi, jangan berpikir seperti itu lagi, ya.”

Jungwon kecup punggung tangan itu sekali lagi untuk salurkan sayangnya.

“Karena buat aku, kamu adalah garis takdir dari jiwaku untuk selamanya.” ‎

(“Juga karena saya cinta dengan Sunoo.”)

“Do you have a dream wedding?”

Sunoo menoleh ke pundak kirinya ketika pertanyaan tersebut mengudara dalam sebuah bisikan setelah kalimat i now pronounce you... diucapkan yang sisanya menghilang dari pendengarannya karena pertanyaan tersebut.

Berdiri di sebelah kirinya, pria yang kenakan jas berwarna hitam, yang pagi ini menata rambutnya menggunakan gel rambut dengan sedikit bantuan dari Sunoo yang mengundang gelak tawa keduanya di dalam kamar Sunoo karena kelakar-kelakar aneh yang sesekali dilontarkan oleh yang lebih muda.

(“Kamu tuh kayak kucing.”

“Bagus, dong. Kamu punya satu kucing di rumah sekarang tanpa bikin aku alergi.”)

Senyuman dilemparkan Sunoo pada pria yang tadi pagi menawarkan diri untuk menyetir hingga ke hotel tempat pernikahan kakak sepupu Sunoo dilaksanakan, tetapi perubahan rencana mendadak terjadi sebab pria tersebut—dengan kesadaran penuh—mendekati bahkan menyentuh alergen yang buat dirinya bersin tiada henti hingga separuh perjalanan menuju hotel. Yang buat Sunoo kerap kali menoleh khawatir dari kursi kemudi, hanya untuk memastikan bahwa pria tersebut menunjukkan tanda membaik.

(“Kita belok ke rumah sakit aja, ya?”

“Enggak papa, aku sebentar lagi juga baikan. Masa kamu melewatkan pernikahan sepupu kamu, sih?”)

Sunoo baru ingin membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi riuh hiruk-pikuk tepuk tangan yang diiringi sorakan bahagia penuh haru menenggelamkan Sunoo kembali ke ruangan dan seluruh atmosfir di sekitarnya. Hal ini membiarkan Jungwon memperhatikan bagaimana kedua netra sewarna karamel itu mengerling terharu pada kakak sepupunya yang tersenyum lebar bergandengan tangan bersama suaminya.

“The flowers are pretty,” bisik Sunoo pelan, tetapi di tengah ramainya ruangan, Jungwon masih bisa mendengar suara itu dengan sama jelasnya ketika mereka hanya berdua di rumah sederhana mereka. Sunoo menoleh dari balik pundaknya, “yuk? Let's congratulate Mas Eunsang,” ujarnya, yang diangguki oleh Jungwon seraya keduanya membelah lautan manusia untuk mencapai pasangan yang baru menikah tersebut.


“Kok ada media di sini?”

Sunoo mendongak dan mendapati Jungwon yang berdiri di kanan depannya seraya menyerahkan segelas minuman kepadanya yang diterima dengan senang hati sebab ia juga cukup haus setelah berbincang dengan beberapa tamu undangan di sana.

“Mas Junho itu pewaris satu-satunya perusahaan keluarga, satu dari yang paling berpengaruh juga, sama kayak punya sepupunya— Hwang Group, kalau enggak salah?”

Jungwon yang masih berdiri di tempatnya mengerutkan keningnya merasa familiar, “huh? Dia sepupunya Hwang Yunseong?”

“Bingo.”

“Yang kemarin baru tunangan dengan bungsu keluarga Kang, bukan?”

Sunoo mengangguk, “iya, sepupu Kak Sunghoon, tapi dari sisi ibunya.”

“Hah—”

Tawa Sunoo mengalun pelan ketika didapatinya Jungwon yang berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya.

“Wow, dunia sempit ya?”

“Atau mungkin memang kita hanya berputar-putar dan sudah keburu nyaman berada di sini, makanya dunia terasa lebih sempit,” senyum Sunoo, memperhatikan bagaimana Eunsang dan suaminya tengah menjawab beberapa pertanyaan dari media, didampingi oleh kedua orang tua mereka pula.

“Uncle Jungwon!!”

Atensi keduanya teralihkan pada gadis kecil dengan gaun putihnya berlarian menggunakan kedua kaki kecilnya itu untuk buru-buru mendekat pada Jungwon yang tersenyum lebar setelah melihat siapa yang memanggil namanya.

“Uncle Sunoo bagaimana?” ujar Sunoo, memasang raut wajah sedih yang dibuat-buat ketika si kecil yang kerap disapa Jia tersebut sudah disambut Jungwon ke dalam sebuah pelukan kecil untuk menyambutnya sembari sedikit berjongkok. “Jia sudah enggak sayang Uncle Sunoo lagi, ya?”

“Bukan,” jawab gadis kecil tersebut, “Jia ke sini untuk meminta maaf ke Uncle Jungwon,” ujarnya lagi, kemudian beralih pada Jungwon yang menunggu gadis kecil tersebut untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan.

“Jia minta maaf, ya, Uncle,” ujarnya dengan nada merasa bersalah, “kata Ayah dan Papah, Uncle bersin-bersin dan menangis karena Jia ajak bermain dengan kucing di belakang rumah,” ujarnya, “kata Ayah, Uncle itu ayer— aley?” Gadis kecil tersebut mengerutkan keningnya berusaha mengingat kata yang baru diajarkan oleh ayahnya tadi untuk menjelaskan kondisi Jungwon yang tiba-tiba bersin tiada henti setelah menjejakkan kaki di halaman belakang bersama Jia.

“Alergi, sayang.” Sunoo membantu seraya mengulum senyumnya memperhatikan interaksi di depannya, Jia yang berusaha menjelaskan dengan perlahan dan Jungwon yang dengan sabar mendengarkan.

“Iya! Alergi!” repetisinya dengan semangat, buat Sunoo tertawa pelan, menuai lirikan dari Jia yang tidak mengerti dan juga Jungwon yang memperhatikan keduanya secara bergantian sebelum mengulas senyumnya.

“Uncle maafkan ya, Jia, lagipula bukan salah Jia, ‘kan,” ujar Jungwon seraya membetulkan letak bando yang dikenakan anak itu, “tapi dengan satu syarat,” ujar Jungwon lagi, kali ini memberikan cengiran pada wajahnya.

“Jangan yang susah ya.” Wajah anak itu ditekuk ketika mendengar bahwa Jungwon menginginkan sesuatu darinya supaya permintaan maafnya bisa diterima, “Jia tidak punya uang, Uncle.”

Kali ini Jungwon tertawa sebelum kemudian beralih memegangi jemari milik anak itu, yang juga balas menggenggam dengan erat, kendati ia masih bingung apa yang diingikan oleh pamannya itu. Ia memperhatikan bagaimana Jungwon menyerahkan gelas berisi minumannya pada Sunoo yang juga sama bingungnya dengan keponakannya itu sekarang walau ia tetap terima gelas tersebut berpindah ke tangannya.

“Jia harus menari bersama Uncle!” seru Jungwon pada Jia, yang kemudian langkahnya dibawa menuntun gadis kecil tersebut turun ke lantai dansa bersama beberapa orang lainnya di sana.

Sementara orang-orang di sana memperhatikan bagaimana Jungwon menuntun si gadis kecil yang tertawa riang itu ke dalam sebuah dansa yang membawa kaki-kaki kecilnya melangkah dengan acak pada lantai tersebut, yang tentu undang beberapa gelak tawa dari yang menonton, termasuk Sunoo yang hanya duduk pada tempatnya dan memperhatikan gerak-gerik keduanya yang membuatnya mengembangkan senyuman di wajahnya. Yang dalam sepersekian sekon kemudian, ketika Jungwon memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Sunoo dari sisi seberang sana—ada senyuman yang mampir di wajah itu ketika netra mereka saling mengunci, bahkan ketika tubuhnya bergerak kemanapun kakinya dan si gadis kecil itu melangkah.

Ah.

Mungkin, sebab stamina si gadis kecil masih belum stabil seperti orang dewasa, gadis itu sekarang sudah mengeluh lelah dan sekarang sudah berada di dalam gendongan Jungwon yang menyingkir dari lantai dansa, mengembalikan anak itu kepada orang tuanya dan mengusap rambutnya penuh sayang sebelum kembali menoleh pada Sunoo yang sedari tadi pandangan matanya tidak pernah lepas barang sedetik saja dari suaminya tersebut.

“Hai,” sapanya, ketika berhasil membelah lautan manusia untuk kembali mencapai Sunoo yang menyerahkan gelas minumannya, ”Jia sure had lots of energy,” kekehnya setelah menandaskan minuman tersebut hingga ke dasarnya.

“Anak kecil,” jawab Sunoo, mengalihkan pandangannya dari Jungwon yang sudah duduk di kanannya sedari tadi, ia beralih mendongak untuk memandang kandelar megah yang menggantung di langit-langit aula hotel tersebut, ”that’s so kind of you to give her one of the best experience,” ujarnya lagi, kemudian menoleh lagi hanya untuk kembali bersitatap dengan netra Jungwon yang terlihat lebih terang baginya hari ini.

”Learnt that from a certain someone.”

Sunoo mengulum senyumnya sebelum kemudian menunduk untuk memperhatikan gelasnya yang masih setengah penuh, yang dipegangi dengan kedua tangannya dan diletakkan di atas pangkuannya.

”Do you have a dream wedding, Jungwon?” bisiknya.

Lama sebelum kemudian Jungwon menjawab, ”i do.” Kemudian pria tersebut mendongak ke atas untuk memperhatikan kandelar yang tadi menarik perhatian Sunoo, “sederhana, kok,” ujarnya lagi.

”What is it?” tanya Sunoo, berbisik dalam takut, seperti tidak ingin mengetahui jawaban dari pertanyaan yang dilemparkan Jungwon tadi pagi dan ia lemparkan balik siang ini.

”I want what my partner wants,” ujarnya.

Hal tersebut membuat Sunoo mengangkat wajahnya dari gelas yang berada di pangkuannya untuk menoleh dan menatap Jungwon yang kini juga sudah beralih untuk menatapnya sehingga netra mereka langsung bertemu dalam sebuah garis linear yang menyenangkan di bawah kandelar hangat ruangan.

”What do you want, Sunoo?”


“Enggak bisa tidur?”

Kalimat tanya itu membuat Sunoo berjengit di tempatnya, membuat Jungwon terkekeh pelan sebelum beranjak sedikit bangun untuk meraih saklar lampu kamar di sisi ranjang untuk menyalakan lampu yang dimatikan.

“Aku ganggu, ya….”

Tubuhnya yang sedari tadi membelakangi Jungwon, tetapi kerap kali bergerak gelisah di bawah selimut membuat Jungwon jelas menyadari gerak-geriknya bahwa malam ini juga sama mengkhawatirkannya seperti malam sebelumnya—dibawa berbalik untuk menghadap ke arah Jungwon yang sedari tadi merebahkan diri telentang pada sisi ranjang satunya.

*”You’re fine,” jawab Jungwon, kali ini meletakkan ponselnya ke bawah bantal untuk membawa badannya turut menyamping sehingga ia berhadapan dengan Sunoo sekarang, ”mind to share what’s on your mind?” tanyanya pelan, tangannya terulur untuk membetulkan letak selimut Sunoo yang sudah merosot hingga ke lengan atasnya agar kembali menutupi hingga hampir menyentuh dagunya.

”Don’t have lots in my mind,” jawabnya, menatap Jungwon yang mendengarkan dengan seksama, “tapi tadi aku mengobrol sedikit dengan Ayah,” ujarnya.

“Kapan?”

“Waktu aku ke toilet. Aku keluar ternyata ada Ayah, merokok di luar, jadi aku menyapa sebentar.”

Kalimat itu terasa memiliki massa yang aneh di lidahnya sendiri, membicarakan tentang hubungannya dengan orang tuanya bukan sesuatu yang biasa Sunoo lakukan, apalagi keluarganya bukan keluarga yang berfungsi sebagaimana keluarga kebanyakan di luar sana.

“Ada hal penting yang dibicarakan?”

“Enggak ada,” jujurnya, kemudian membiarkan Jungwon memangkas sedikit jarak di antara mereka, “cuman bertanya flight kembali ke kantor cabang jam berapa dan menanyakan di mana Mama,” ujarnya lagi.

“Biasa saja.” Sunoo menggigit pipi dalamnya, “tapi aku merasa aneh, ketika aku harus bertanya seperti itu ke—” ia menggigit bibir bawahnya ragu, “—ke orang tuaku sendiri.”

“Do you want me to hold you?”

Sunoo mengerjap beberapa kali untuk memproses tawaran tersebut sebelum menjawab, “hold—like… hold?”

Jungwon terkekeh sebelum mengulurkan sedikit tangan kanannya, “coba kemarikan tangannya,” pintanya, buat Sunoo mengulurkan tangan kirinya dari dalam selimut.

Ketika tangan itu sudah terulur pada jarak yang membentang di antara mereka, Jungwon yang berbaring dengan sisi kanan tubuhnya yang menempel pada ranjang itu kemudian mempertemukan jemarinya dengan milik Sunoo yang diletakkan pada jarak di ranjang yang mereka gunakan untuk tidur bersama beberapa malam ini.

”Like this.” Jungwon berbisik kemudian tersenyum pada Sunoo yang sudah terlebih dahulu memasang senyuman di wajahnya.

Ada kekehan geli dari Sunoo yang tidak menolak sama sekali tautan jemari tersebut, alih-alih dengan sebagian wajah kirinya yang terbenam pada bantalnya ia berujar dengan senyuman yang terkulum, ”you’re cute, like a cat.”

“And you’re pretty.”

Semburat merah yang ada pada wajah yang lebih tua berusaha disembunyikan dalam sebuah tawa yang diudarakan, buat Jungwon melebarkan senyumannya. Ada yang berdesir dalam setiap saraf tubuhnya setiap kali tawa tersebut mengudara dengan lepas tanpa ada maksud apapun di baliknya. Menjadi alasan dari tawa itu juga—sama menyenangkannya.

Ketika tawanya mereda, baru Jungwon kembali bertanya, “enakan untuk kembali coba tidur?”

Sunoo mengangguk walau dengan usaha yang cukup susah payah karena kepalanya yang sudah menempel pada bantal dengan nyaman. Sementara Jungwon terus memandanginya masih dengan tatapan yang sama sedari tadi—yang buat Sunoo enggan untuk memejamkan kedua kelopak matanya walau kantuk mulai menguasainya.

(“Do you have a dream wedding?”)

“Aku enggak punya dream wedding, Jungwon,” bisiknya pelan, seperti takut untuk menjawab pertanyaan yang mengganggu pikirannya sejak tadi pagi, berusaha untuk menemukan jawaban sederhana dari pertanyaan tersebut.

Jungwon tidak menjawab apapun, membuat Sunoo kembali buka bilah bibirnya walau kantuk semakin kuasai dirinya.

“Tapi aku punya a dream marriage,” ujarnya, tersenyum ketika mengucapkan kalimatnya sebersamaan dengan jemari Jungwon yang usap jemari-jemari miliknya untuk bantu antarkannya ke dalam kantuk yang lebih dalam.

“Bagaimana?”

”It’s a simple one, i guess,” ujar Sunoo, menutup kedua netranya perlahan setelah satu kuapan yang menjeda kalimatnya.

”I just want a warm and kind life together, that brings nothing but happiness.”

Setelahnya, entah pada kuapan keberapa malam itu dan juga usapan yang semakin perlahan pada tangannya oleh jemari-jemari yang lebih muda—Sunoo jatuh dalam tidur yang nyaman, tanpa gelisah apapun yang hampiri sepanjang sisa malam setelah ia jatuh dalam lelap dan hanya satu yang bisa ia dengar sebelum kehilangan kesadarannya.

“That would do too.”

Segala macam kalimat pedas bukan sesuatu yang baru bagi Sunoo setiap kali keluarga besarnya berkumpul seperti ini.

Konversasi yang biasa terjadi adalah semacam menuding atau mencemooh bagaimana hidupnya dan orang tuanya tidak pernah menemukan masalah dari semua itu sehingga Sunoo terbiasa pada hal-hal tersebut.

Bagi keluarga besarnya yang tidak pernah menyukai kehadirannya di antara mereka sebagai yang paling muda—dan yang paling banyak mendapatkan cinta pada awalnya, Sunoo hanyalah satu dari banyaknya serangga pengganggu tidak berarti yang harus disingkirkan dari hidup mereka.

“Orang tua Sunoo bahkan enggak bisa menyempatkan mampir malam ini, ya?”

Sunoo mengangkat kepalanya ketika namanya disebut dalam pembicaraan orang-orang yang lebih dewasa darinya. Orang-orang yang tidak pernah Sunoo bisa merasa tenang jika mereka berada di sekitarnya, bahkan dalam waktu sesingkat apapun.

“Katanya masih ada pekerjaan di kantor cabang, Tante,” jawab Sunoo dengan sebuah senyuman yang muncul di wajahnya, sebagai bentuk formalitas berupa kesopanan. “Baru bisa menyusul pemberkatan besok pagi,” tambahnya lagi, pandangannya mengedar untuk perhatikan seluruh ekspresi dari saudara-saudara ayahnya yang tengah jadikan Sunoo pusat perhatian.

Pusat penghakiman.

“Seharusnya sekaligus saja enggak usah datang, ya? Toh, sudah melepas semua tanggung jawab di kantor pusat bukannya?”

Sunoo menelan salivanya susah payah, mengedarkan pandangannya acak ke seluruh ruangan demi hindari bagaimana saudara-saudara ayahnya memandang dirinya dengan tatapan yang sama seperti ketika ia baru saja lulus dari sekolah menengah atas dan menjawab pertanyaan bahwa ia akan menjadi dokter, alih-alih melanjutkan bisnis keluarganya.

“Sending his child as his substitute, supaya enggak malu sama keluarga, tapi yang dikirim juga sama enggak becusnya sebetulnya.”

Ada gelak tawa dengan berbagai timbre yang terpantik dari kalimat tersebut, walaupun nadanya begitu seragam dan sudah Sunoo hapal di dalam kepalanya—nada mencemooh itu.

“Kebetulan memang lagi ada kesibukan saja, Om, Tante. Makanya Ayah dan Mamah baru bisa ke sini besok pagi.” Sunoo berujar, kedua tangannya mulai bergerak untuk memeluk dirinya sendiri.

Jari-jari tangan kanannya mengusap sikunya dengan gusar seraya ia tetap mendengarkan kalimat-kalimat selanjutnya yang kembali ditudingkan kepadanya.

“Sudah bagus dulu semuanya diserahkan ke ayahmu dan kamu, bahkan sudah dipilihkan semua yang terbaik, tapi keluargamu—” Decak cemooh yang terdengar dengan penuh ejekan berpura-pura kecewa tersebut mampir ke dalam ruang pendengaran Sunoo, “—malah membelot di saat-saat terakhir. Bagus, sih, tapi merepotkan sekali.”

“Betul. Enggak punya malu sekali masih bersikap biasa saja setelah semuanya terjadi.”

“Soal itu—”

“Mohon maaf, Om dan Tante semuanya.”

Sunoo mengangkat arah pandangnya menuju timbre suara yang akhir-akhir ini begitu menyenangkan mengisi hari-harinya. Timbre yang tidak pernah berubah sejak kali pertama mereka bicara. Timbre yang selalu berikan reasuransi dalam bentuk nyaman yang kemudian muncul dalam sebuah perbuatan sesederhana menemaninya sepanjang waktu di rumah keluarganya sendiri.

“Bukan bermaksud enggak sopan, saya tahu maksud Om dan Tante semuanya adalah baik untuk memberikan Sunoo sedikit masukan, tapi sepertinya bisa disampaikan dengan lebih baik, ya?”

Sunoo tidak lagi memperhatikan bagaimana seluruh pasang mata itu kini memandang ke arah Jungwon—sebab, kali ini, netranya sudah terkunci pada segala gerak Jungwon yang berdiri dari duduknya di atas karpet. Tangannya menyingkirkan beberapa mainan milik Jia—gadis kecil itu sudah kembali ke dalam peluk ayahnya di salah satu sudut sofa ruangan. Satu tangannya menyugar seraya menatap satu-persatu pasang mata milik ayah dan ibu dari para sepupunya yang tengah menatapnya.

“Jungwon—”

“Dan untuk semua kesalahan orang tua Sunoo, enggak ada satupun dari hal tersebut yang menjadi kewajiban Sunoo untuk memperbaiki apalagi membayarnya kepada anda semua.”

Sunoo tidak begitu mendengarkan lagi bagaimana protes mulai mengudara dari beberapa orang di sana, walaupun ia masih bisa mendengar beberapa sepupunya yang menyahuti setuju dari apa yang diucapakan Jungwon—sebab, pria itu sekarang berjalan menyeberangi ruangan untuk mencapai tempatnya duduk dan mengambil tempat di sana.

“Hari ini Sunoo sedang cukup lelah juga, jadi saya harap semuanya bisa berucap lebih baik kepada suami saya.”

Ada decih yang tidak menyenangkan dari para orang yang tadi sedang mengarahkan telunjuknya pada Sunoo. Namun, semua keadaan itu berangsur menghilang dan singkirkan tegang dari pundak Sunoo yang tidak terasa ada di sana sedari tadi—semuanya terasa luluh lantak bersama perubahan atmosfir di sekitarnya. Walaupun bisa ia lihat sesekali saudara-saudara ayahnya masih melirik ke arahnya dengan tatapan tidak suka beberapa kali, semuanya tidak terasa menegangkan lagi.

Sebab, ada jemari yang gantikan usapannya pada sikunya dengan reasuransi yang menenangkan.

Seakan berkata bahwa ia berada di sana untuknya.

“Hey, you okay?”

Tidak perlu berpikir begitu lama untuk Sunoo menjawab pertanyaan tersebut.

Sebab, ada jemari yang gantikan usapannya pada sikunya dengan reasuransi yang menyenangkan.

Seakan berkata bahwa ia akan terus baik-baik saja selama mereka bersama.

“I'm okay that you're here.”

“Jadi cousins' day tuh begini, ya?”

Kepalanya menoleh dari balik pundak untuk melihat Jungwon yang baru saja mengunci mobil dan mengekori jalan Sunoo di belakangnya.

“Betul.” Sunoo tersenyum lebar seraya gerak kepalanya mengikuti langkah Jungwon yang sekarang sudah berjalan bersisian dengannya. “Sebenarnya enggak selalu begini, tapi katanya Mas Eunsang cuman mau ke tempat-tempat kita biasa hangout,” ujarnya lagi, membiarkan Jungwon mengambil alih totebag dari tangannya.

Sunoo membiarkan Jungwon membuka pintu restoran yang menjadi tujuan tempat makan siang mereka hari ini. Awalnya ia akan membiarkan Jungwon masuk terlebih dahulu, tetapi pria yang hari ini kenakan kaos berwarna hitam dan celana jeans—malah berdiri diam di depannya dan balas menatap pada dirinya dengan kedua alis diangkat.

Pria ini—yang setelah tahu apa itu kegiatan yang disebut sebagai cousins' day dan mengetahui bahwa ia diperbolehkan ikut, segera menawarkan diri untuk membantu menyetir ketika diketahuinya Sunoo akan menyetir untuk beberapa sepupunya yang akan menempati salah satu mobil yang digunakan. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa suami kakak sepupunya yang lain juga ada yang ikut untuk menemani—jelas hal tersebut buat Jungwon bersedia untuk bergabung dalam acara tersebut secara sukarela.

“Yuk?” ujarnya, menyadarkan Sunoo dari lamunannya.

Pada akhirnya Sunoo melangkah masuk ke dalam restoran tersebut lebih dahulu dan membiarkan Jungwon menyusulnya di belakang langkahnya, sengaja ia berhenti sebentar untuk menoleh dan memperhatikan Jungwon yang kembali menyamai langkah dengan miliknya.

“Pilih dulu aja, ya,” ujar Eunsang seraya menyodorkan buku menu pada Sunoo yang mengambil buku tersebut sementara Jungwon menarik mundur sebuah kursi dan sedikit mengisyaratkan pada Sunoo untuk duduk di kursi tersebut.

Sunoo duduk dengan berterima kasih pada Jungwon yang ikut duduk di sebelah kanannya setelah memastikan Sunoo duduk pada tempatnya dengan nyaman. Sementara masing-masing orang di meja tersebut sibuk dengan buku menu dan berbincang masing-masing, Sunoo membuka buku menu tersebut dan menggesernya sehingga berada di tengah antaranya dan Jungwon.

“Rekomendasi?” tanya Jungwon, buat Sunoo membalikkan buku menu tersebut beberapa halaman selanjutnya kemudian menunjuk salah satu menu di sana, “ini?” tanya Jungwon.

Sunoo mengangguk, “iya, mirip sedikit sama soto yang dekat kantor kamu itu, segar,” ujarnya, mencoba deskripsikan perasannya terhadap makanan tersebut.

“Kamu pesan apa?” tanya Jungwon seraya mengulum senyumnya.

“Yang ini. Sebentar—” Sunoo mengembalikan halaman tersebut hampir menuju halaman awal dan menunjukkan pada Jungwon menu yang kemudian ia sebutkan pada Eunsang ketika kakak sepupunya tersebut bertanya, “—kamu gimana?” tanya Sunoo seraya menoleh melalui pundaknya ke arah Jungwon.

“Yang tadi kamu rekomendasi aja,” ujarnya, mengulum senyum ketika Sunoo mengangguk antusias—senang karena rekomendasinya menjadi pilihan—dan membiarkan suaminya tersebut berbicara lagi pada Eunsang sebelum menutup buku menu dan mengembalikannya ke tengah meja.

Setelah pramusaji tersebut selesai mencatat seluruh pesanan meja mereka, meja tersebut jatuh dalam beberapa obrolan kecil. Yang kebanyakan diinisiasi oleh sepupu-sepupu Sunoo yang terlihat antusias menceritakan perkembangan kehidupan mereka, entah bicara tentang karir atau sekadar menceritakan kehidupan romansa mereka.

“Kalau Jungwon bagaimana?”

Diserbu dengan sebuah pertanyaan mendadak setelah hanya diam untuk menyimak percakapan-percakapan yang sedari tadi lalu-lalang di antara atmosfir mereka—membuat Jungwon mengerjapkan kedua matanya cepat untuk memproses sebelum menyunggingkan sebuah senyuman sopan.

“Seperti biasa saja, kerjaanku sekarang cuman berkutat di pemasaran dan segala macam saudaranya,” ujar Jungwon, “enggak begitu banyak kesibukan, biasa, budak korporat,” ujarnya melemparkan kekehan kecil pada ujung jawabannya, yang disambut tawa dan ujaran setuju—sebab hampir seluruh sepupu Sunoo berkutat pada bidang yang sama dengannya.

“You know, we're very glad, waktu tahu yang nikah sama bungsu kami itu kamu,” ujar Lucy, salah satu sepupu perempuan Sunoo yang duduk di seberang Jungwon. “Yang tahu kalian menikah awalnya 'kan cuman Mas Wooseok, ya, terus kita cuman kebagian diceritain aja,” ujarnya lagi, buat satu tangan Jungwon yang tadinya berada di atas meja turun ke bawah untuk mencari tangan Sunoo yang diletakkan di atas pahanya sendiri.

Jungwon tersenyum ketika ia berhasil menemukan jemari milik Sunoo dan menautkan kelima jemari tersebut dengan miliknya seraya menjawab, “sekali lagi maaf kemarin belum bisa mengundang semuanya untuk berhadir,” ujarnya, berikan usapan pada punggung tangan yang lebih tua, buat Sunoo meremat jemari milik Jungwon menjadi lebih erat.

Buru-buru semua sepupu Sunoo yang berada di meja tersebut menggeleng, bahkan beberapa mengibaskan tangan mereka.

“Enggak apa sama sekali! Jangan dipikirkan apa yang jadi omongan orang tua kami kemarin, kami juga minta maaf soal itu, pasti rasanya enggak enak baru datang dari perjalanan jauh langsung dikomentari yang enggak-enggak.” Kali ini Chaehyun—sepupu Sunoo yang lain yang memberikan mereka berdua reasuransi menenangkan tersebut.

“We've checked your background, Jungwon, maaf soal itu,” jujur Gaon, buat kali ini Sunoo menatap beberapa sepupunya dengan tatapan tidak percaya.

“Mas, mba—”

“On our defense—” potong Chaehyun seraya melirik Gaon dengan tajam, “—kita cuman mau tahu apakah Sunoo is in good hands or no,” ujarnya, seraya melemparkan senyuman apologetik pada Jungwon yang hanya mengangguk paham—tidak tersinggung sama sekali.

“Mas Wooseok sering cerita, sih,” tutur Eunsang, buat Sunoo kali ini menatap Wooseok dengan tatapan yang benar aja, mas?, “dan setelah lihat bagaimana kamu memperlakukan Sunoo, jelas kami merasa lega dan berterima kasih, Jungwon, Sunoo is indeed in a good hands,” senyum Eunsang padanya.

“How about you?” tanya Lucy, melemparkan pertanyaan pada Jungwon yang tidak langsung menangkap maksud pertanyaan tersebut, “sama Sunoo, maksudnya, selama sama Sunoo beberapa bulan ini, gimana rasanya?”

Rematan jemarinya menguat di bawah meja, seraya wajahnya lemparkan sebuah senyuman pada seluruh meja.

“Sunoo felt like a summer to me.”

Sunoo mengangkat kepalanya untuk menoleh pada Jungwon yang meliriknya sebentar, kemudian mengusap punggung tangannya setelah mengerlingkan netranya pada hazelnut serupa karamel tersebut pada Sunoo.

“I'm beyond happy to be with him.”