(“Late bloomer. Anda adalah seorang late bloomer.”)
(“Kita tidak tahu kapan anda akan menunjukkan gender sekunder anda, tapi untuk berjaga-jaga, saya akan menjadwalkan kunjungan rutin agar kita bisa mencegah hal yang tidak diinginkan.”)
Sunoo menghirup udara dalam-dalam, melipat tungkainya ke dalam dada untuk dipeluk sebelum menaruh kepalanya ke atas sana. Memorinya berputar ke beberapa tahun silam, ketika usianya delapan belas dan gender sekundernya tidak kunjung muncul setelah ditunggu semenjak dirinya tiup lilin untuk yang ke-17 kalinya. Ia ingat betul bagaimana raut khawatir tercetak dengan jelas di wajah kedua orang tuanya maupun saudara-saudaranya yang lain ketika hal tersebut diutarakan oleh dokter yang menanganinya.
Sebab itulah, Sunoo berusaha menjadi anak baik yang tidak ingin khawatirkan semua orang dan pasang topeng terbaiknya, seakan-akan berkata bahwa ia tidak apa-apa dan gender sekunder bukanlah segalanya.
Kunjungan rutin setiap bulan itu kemudian berubah menjadi dua kali dalam satu tahun, sama seperti kunjungan rutinnya ke dokter gigi, yang kemudian berubah menjadi satu kali dalam setahun.
Senyuman tetap ada pada wajahnya, tidak indikasikan lelah, walau hatinya selalu diselimuti khawatir yang penuhi rongga dadanya.
(“Omega.”)
Usianya mencapai dua puluh dua tahun ketika kunjungan itu bawakan kabar baru baginya. Momen itu bukan sesuatu yang ditunggu-tunggu, tidak ada debaran gugup, ataupun takut yang dirasa ketika kertas pemeriksaan bertandatangan dokter tersebut dirematnya di atas pangkuan pada perjalanan pulang di dalam mobil.
(“Banyak yang harus dipersiapan. Namun, heat adalah yang menjadi concern utama saat ini. Heat anda kemungkinan akan datang dalam beberapa minggu, siklus yang akan anda alami kemungkinan besar tidak akan normal seperti kebanyakan omega. Perlu kesabaran ekstra dalam menangani heat anda.”)
Menyusahkan.
Ia tidak menunggu selama empat tahun lamanya hanya untuk sebuah fakta bahwa ia akan menjadi orang paling merepotkan di dunia. Orang yang menyebabkan satu rumahnya berubah menjadi protektif, kemudian menjadi lebih awas pada semua hal yang ada pada kesehariannya.
Satu-satunya di keluarganya.
Yang pertama di keluarganya.
Bukan dalam hal yang membanggakan.
Walaupun kedua orang tuanya tetap sambut dirinya dengan sebuah peluk hangat penuh syukur atas gender sekundernya, tetapi hal tersebut jelas tidak buat Sunoo serta-merta merasa lega akan apa yang terjadi.
Banyak kesulitan yang harus dilalui dalam proses peralihan Sunoo, terutama di empat bulan pertama ketika ia pun tidak menyadari perubahan-perubahan dalam tubuhnya.
Untuk merasakan heat-nya pun ia tidak mengerti.
Seakan-akan, sistem tubuhnya coba halangi gender sekundernya untuk ambil alih cara hidupnya, menyebabkan konflik di dalam dirinya sendiri, yang acap kali antarkan Sunoo pada rasa sakit berlebih ketika masa-masa tersebut tiba.
Kepalanya diangkat dari posisinya dan dibawa menoleh dari balik pundaknya ketika didengarnya pintu rooftop yang engselnya sudah berkarat tersebut berderit dan ada langkah kaki yang terdengar mendekat ke arahnya.
“Kamu mikirin apa?”
Napasnya jelas berantakan, rambutnya sudah mencuat di sana-sini, dengan turtleneck yang lengannya digulung hingga ke siku jelas pria itu akan kepanasan setelah menaiki dua lantai tanpa lift menuju rooftop gedung kantor mereka, dan yang pertama ditanyakannya adalah apa yang sedang dipikirkan oleh matenya.
“Halo,” senyum Sunoo padanya, mengupayakan agar ia tidak terlihat seperti memiliki pikiran yang mengganggu sedari tadi.
“I can smell that you're anxious even when the door is closed.”
Senyumnya jatuh setelah kalimat itu, ia membiarkan langkah pria itu menggantung dan berhenti dengan sedikit jarak dari tempatnya duduk.
“Banyak,” jawabnya, kembali menaruh kepalanya pada posisi semula, kali ini dengan dagu yang diletakkan di atas lututnya yang masih dipeluk, “kamu baru selesai ya? Makan dulu, tadi aku pesan du—”
“You're getting more anxious.”
Sunoo mengatupkan kedua bilah bibirnya, kemudian membiarkan Jungwon kembali menyeret langkahnya perlahan mendekat ke arahnya, kemudian mengambil tempat tepat di sebelahnya, mengabaikan dua buah kotak makanan yang digeser menjauh dari keduanya.
“Boleh aku bantu?”
(“Kedepannya, dalam proses tubuh beradaptasi dengan sistem yang baru, mungkin, anda akan butuh banyak bantuan dalam mengatasi beberapa permasalahan seperti soal feromon yang sulit dikontrol, untuk keluar dari subspace, hingga heat itu sendiri.”)
Sunoo menoleh pada yang menatapnya dengan atentif, ada kernyitan di keningnya. Buat Sunoo berusaha petakan apakah ia tengah menahan diri dari feromonnya yang menyeruak sembarangan atau apakah itu sebuah pertanda khawatir.
“Boleh.”
Dengan satu kata itu, maka aroma citrus yang kuat, tetapi bercampur lembut dengan aroma teh hangat yang diberi manisnya madu, menyeruak sapa indra penciumannya.
Aroma itu, apabila dihirupnya beberapa minggu yang lalu, maka akan menjadi aroma paling menyebalkan yang mati-matian dihindarinya. Namun, untuk sekarang, aroma itu satu-satunya yang mampu beri tenang, hingga ia kemudian menaruh sisi wajahnya di atas kedua lututnya dengan wajah yang menoleh ke arah Jungwon yang duduk di sisi kanannya.
“Kamu selalu kayak gini? Kesulitan setiap kali pikiranmu enggak baik-baik saja?”
Sunoo diam sebentar sebelum mengangguk dalam posisinya, “iya, mau enggak mau,” jawabnya. “Itu kenapa aku juga enggak pernah mau punya banyak pikiran di luar rumah, aku enggak bisa menyelamatkan diriku sendiri dalam kondisi seperti itu,” tambahnya.
Mengakui bahwa dirinya lemah yang disebabkan oleh sistem tubuh gender sekundernya bukan sesuatu yang Sunoo sering lakukan. Ia hanya membuka diri kepada keluarganya dan beberapa orang yang dianggapnya dekat dan perlu tahu.
“Heat kamu juga begitu? Aku kemarin banyak bertanya ke orang tuaku, katanya heat-mu enggak teratur dan sakit?”
(“Siklus heat omega sendiri berbeda-beda, ada yang mengalami siklus satu bulan sekali, tetapi ada juga yang mengalaminya setiap dua bulan. Namun, kasus late bloomer sedikit berbeda, keterlambatan hadirnya sistem gender sekunder jadi alasan heatnya akan menjadi tidak teratur, dan jelas lebih menyakitkan dari yang seharusnya.”)
“Iya, dua tahun ini aku baru heat sebanyak empat kali, aku hampir enggak bisa keluar kamar sampai satu minggu. Daripada panas yang—” Sunoo melirik ekspresi yang ada pada wajah Jungwon sebelum melanjutkan, “—muncul seperti omega kebanyakan, yang aku rasakan cuman sakit dan perih.”
Ada rasa aman yang hadir dalam rentetan pertanyaan yang diutarakan oleh Jungwon dari caranya menyampaikan pertanyaan tersebut.
Atau mungkin sebab, Jungwon adalah orang yang seharusnya menjadi matenya.
“Aku juga..., baru tahu, kalau ternyata menjadi seorang late bloomer mempengaruhi hormon dan feromon, ya? Termasuk yang tadi dan juga bagaimana kamu enggak mengenali aku.”
Senyuman apologetik dilempar Sunoo padanya, ia meringis sebelum berujar, “betul. Aku mau minta maaf soal itu, aku enggak bermaksud buat jadi kasar. Aku enggak punya pembelaan diri, penolakan-penolakan itu pasti bikin kamu sakit juga,” ujarnya, kali ini menatap pada dua buah netra Jungwon yang berwarna coklat terang, hampir menyamai miliknya dengan warna hazelnut yang kental tersebut.
“Enggak apa.” Ada tarikan napas yang terasa berat dilakukan oleh Jungwon ketika ia berujar seperti itu, “aku juga minta maaf karena aku enggak lebih awas terhadap sekitarku, terutama ke kamu, aku seenaknya coba tarik perhatian kamu tanpa mikir dua kali.”
Sunoo terkekeh, “itu 'kan respons natural, ya,” ujarnya, “jadi enggak apa, kamu enggak salah.”
Jungwon terlihat ingin membantah, tetapi bilah bibirnya mengatup kuat setelahnya, seperti tengah berpikir apakah boleh ia utarakan kalimat yang ingin diudarakannya, yang kemudian ia putuskan untuk lakukan setelah Sunoo mengerjap beberapa kali, memberikan isyarat bahwa ia menunggu Jungwon untuk buka suara.
“It's that hard, ya, jadi late bloomer.”
Itu bukan sebuah kalimat tanya yang buat Sunoo kini menegapkan tubuhnya berusaha untuk cerna betul-betul percakapan di antara mereka ini.
(“Menjadi seorang late bloomer tidak akan mudah, apalagi anda adalah seorang omega, sistem tubuh anda akan sulit merespons pada sekitar, butuh pembiasaan bertahun-tahun lamanya. Saya akan kembali jadwalkan kunjungan rutin untuk memastikan anda baik-baik saja dalam prosesnya.”)
“It is,” ujarnya, berbisik pelan, seperti tengah coba mengutarakan sebuah rahasia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang-orang.
(“Akan lebih baik juga, apabila anda segera bertemu dengan mate anda, itu akan membantu proses ini menjadi lebih mudah.”)
Sebuah rahasia yang membuatnya sadar diri, bahwa ia bukan seseorang yang akan diterima dengan mudah oleh siapapun di dunia ini. Ia adalah seseorang dengan cacat pada bagian tak terlihat dari tubuhnya, yang tidak akan bisa diperbaiki dengan sebuah sihir dari ibu peri.
Ia tidak pantas untuk berharap akan ada yang mencintainya secara utuh dengan kondisinya.
“Aku banyak belajar belakangan ini,” ujar Jungwon lagi, yang buat Sunoo kali ini tatap dirinya dengan tatap atentif yang sama, apalagi ketika disadarinya ada getar yang mengkhawatirkan dari suara si alpha yang kini tatapnya dengan tatapan rasa bersalah yang menguar kuat dari kerlingan kedua netranya tersebut.
“Kamu enggak perlu terima aku cuman karena aku—”
“Aku minta maaf.”
Bibirnya mengatup rapat tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya ketika yang mengudara dari bilah bibir sang alpha di hadapannya ini adalah sebuah permintaan maaf, yang diikuti dengan air mata yang menumpuk di ujung matanya, yang ketika kelopaknya mengedip sekali, maka loloslah buliran-buliran air tersebut basahi kedua pipinya yang memerah terkena cahaya matahari siang ini.
“Hei, Jungwon—”
“Aku—aku minta maaf. Kamu harus lewati semuanya sendiri. Susahnya harus kamu lewati sendiri, tanpa ada aku, yang harusnya bisa temani kamu dan buat semuanya lebih baik.”
“Jungwon—”
“I couldn't be on your side and i'm drown in so much guilt for that, to think—” napasnya ditarik kuat sebelum ia melanjutkan, “—to think that you bear all of that alone. To be in pain alone. That creeps me up in so much guilt. I'm sorry. I'm sorry. I'm sorry.”
Maka dalam permintaan maaf yang ketiga, Sunoo tarik si alpha muda ke dalam sebuah peluk, yang buat keduanya ada dalam posisi yang canggung, tetapi cukup untuk bagi hangat dari masing-masing mereka.
“Hey, Jungwon, listen to me, you're not in any fault on this.”
“I failed you.”
Memorinya berputar pada beberapa tahun silam, ketika ia pertama kali pulang ke rumah mengantongi fakta bahwa ia terlambat untuk terima takdir yang seharusnya hampiri ketika usianya capai tujuh belas tahun. Ia ingat bagaimana dirinya remaja akan meringkuk di dalam selimut, berpikir bahwa ia adalah sebuah barang yang rusak, sampai-sampai takdir pun enggan menghampirinya cepat-cepat.
“I failed you many times, Sunoo.”
Akan tetapi, fakta bahwa kini dalam peluknya hadir seorang alpha yang belajar begitu banyak tentang dirinya dan memahami begitu dalam tentang dirinya, ketika ia mencoba cari seribu satu alasan tentang mengapa ia bukanlah seorang fated mate yang cocok untuknya.
Fakta bahwa kini dalam peluknya, hadir seorang alpha yang menangis untuknya dan rasa sakitnya yang telah lama ia pendam sendirian.
“You're not,” bisiknya lembut, seperti tengah nyanyikan lagu pengantar tidur pada yang tangisnya berangsur berhenti, yang kemudian menarik tubuhnya sendiri agar ia bisa lihat pasangan hidup yang ditakdirkan untuknya, “now that you're here, it's more than enough for me.”
“I swear i'll make it up to you.”
(“Talk to him and you'll know what he actually think of you.”)
Fakta bahwa kini di hadapannya ada seorang alpha, yang pertemukan kening mereka, dengan jemari yang telusuri perlahan setiap lekuk wajahnya, dan jemari pada tangan yang lain memilin jemari-jemarinya untuk bertaut saling genggam di atas pangkuan sang alpha yang kuarkan aroma citrus tersebut sekali lagi.
“Berdua, ya? Kita jalanin berdua pelan-pelan.”
Selanjutnya, dalam pagut yang dibagi, semua ketidaksempurnaan itu ditelan dalam sebuah eksistensi dzat yang begitu kuat dan memabukkan, yang mampu buat ketidaksempurnaan yang ada menjadi sebuah cara untuk menyayanginya dan memberinya kasih yang sama.
Dalam pagut yang sama, untuk pertama kalinya, Sunoo terima bahwa mungkin cinta memang pantas untuknya.