fluctuius

i leave my thoughts here.

“Selamat malam, apakah benar saya sedang terhubung dengan Kim Sunoo?”

Ia mengerjap dengan ragu sebelum akhirnya menjawab, “Betul, ini saya.”

“Baik, terima kasih atas konfirmasinya. Saya menelpon dari death-cast dan saya memberikan permohonan maaf bahwa saya harus menyampaikan berita ini, tapi suatu waktu pada dua puluh empat jam kedepan, anda akan bertemu dengan kematian anda.”

Bahkan, Sunoo rasa ia masih bisa mendengar bunyi dentang jam sebanyak dua belas kali yang membuat telinganya pekak beberapa menit yang lalu.

“Oh? Benarkah?” Lidahnya bahkan terlalu kelu untuk menjawab.

Otaknya saja tidak bisa memproses informasi ini.

“Kami turut menyampaikan duka kami dan we're sorry to lose you.”

Tidak.

“Terima kasih.”

“Kami menyediakan layanan yang bisa anda hubungi jika anda membutuhkan apapun. Mari hidup dengan baik hari ini, Kim Sunoo.”

Dia tidak butuh apapun.

Bunyi sambungan telepon yang diputus penuhi gendang telinganya sebelum menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, meskipun rambutnya masih basah.

Dalam dua puluh empat jam ia akan mati.

Ia akan mati.

“You're finally here.”

Sunoo terkekeh sebelum berjalan menghampiri salah satu dinding ruangan putih miliknya tersebut.

“Maaf, aku seharian berkegiatan, pulangnya harus mengerjakan beberapa hal.”

Ada gumaman pelan yang ia dengar, cukup untuk memberikan isyarat bahwa yang menjadi lawan bicaranya sudah menerima alasan tersebut.

“How's your day?”

“Melelahkan.”

“Bagaimana caranya aku membantu? To help ease your tiredness?”

Hening yang jatuh di antara keduanya selalu nyaman, buat Sunoo menunggu apa yang diinginkan lawan bicaranya dari seberang sana.

“Sing that song for me again, please?”

Tawanya mengudara ketika didengarnya permintaan sederhana tersebut.

“Sure. Close your eyes.”

Ketika tidak ada lagi jawaban dari seberang sana, Sunoo turut melakukan hal yang sama sebelum ia berdeham pelan untuk melegakan tenggorokannya sebelum menyanyikan sebuah lagu yang biasa ia bagikan setiap kali orang yang berbagi ruangan yang sama dengan miliknya ini membutuhkan sesuatu yang menenangkan.

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ “Lavender's blue, dilly, dilly....”

“Hajar!!”

Kendati pria yang berada satu tingkat di atasnya itu suka sekali mengganggunya atas dasar kesenangan semata, tidak bisa dipungkiri bahwa kehadirannya cukup menyenangkan bagi Sunoo.

Dalam hari-hari biasa, Sunoo, yang katanya temannya ada di seluruh penjuru dunia—akan lebih banyak menyesuaikan diri sesuai dengan siapa ia sedang berteman.

Akan tetapi, apabila yang sedang bersamanya adalah Park Sunghoon, maka kakak tingkatnya itu yang akan menyesuaikan energinya. Pria ini akan menjadi lebih enerjik, bahkan berani meneriaki kedua sepupunya yang sedang bertanding dari tribun tempatnya duduk—sesuatu yang mustahil dilakukannya sendirian.

“10 menit lagi balik?” tanyanya, menoleh pada Sunoo yang duduk dengan nyaman di bangkunya.

Sunoo mengangguk, “boleh.”

“Besok aku ada rapat.”

“Segala puji, tugasku meladenimu digantikan oleh orang lain.”

“Hei!”

Tawa geli Sunoo meledak karena ia berhasil buat Sunghoon menyuarakan protesnya, kemudian menoleh kembali ke arah arena ketika suara tepuk tangan dan sorakan begitu ramai memenuhi pendengarannya dalam sekejap mata.

Dilihatnya di sana dua orang dengan pakaian bela diri mereka masing-masing lengkap dengan sabuk penanda tingkat, tengah membungkuk kepada satu sama lain sebelum berjalan saling menjauhi. Yang bersurai hitam dan tengah berjalan ke arah tribun tempatnya duduk itu memberikan senyuman kecil seraya melambai-lambaikan tangan ke arah orang-orang yang meneriakkan namanya tadi.

“Jungwon keren!”

“Enggak apa, Won! Balas di nasional!”

“Keren! Keren!”

Yang entah bagaimana hiruk-pikuk tersebut tenggelam ketika tanpa sengaja netra coklat yang lebih muda tabrak miliknya dan kunci keduanya dalam sekon yang begitu cepat berlalu, membuat Sunoo yang tadinya masih dikuasai tawanya lama-lama meredam tawa tersebut dan menggantikannya dengan sebuah senyuman yang entah bisa diartikan sebagai apa dari bawah sana.

“Sun? Sunoo?”

Dalam beberapa kerjapan matanya, ia memutus tatapan tadi dan menoleh pada Sunghoon yang menatapnya dengan kernyitan di keningnya.

“Kenapa?” tanyanya, setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya.

“Pulang enggak? Katanya takut kelewat busnya?”

Sunoo buru-buru mengangguk dan meraih tas yang tadi diletakkan di sebelah kakinya untuk digendong pada pundaknya. Ia melirik ke arah arena dan mendapati bahwa yang tadi saling bertukar tatap dengannya sudah menghilang dari jarak pandangnya. Entah kemana perginya.

“Sun? Ayo!”

“Sorry! Iya ini ke sana!”

Buru-buru Sunoo mengangguk dan beranjak dari bangkunya, kakinya dibawa buru-buru untuk menyusul Sunghoon yang sudah beberapa langkah menuruni tangga tribun di depannya sana.

Mungkin, sebab langkahnya yang diburu-buru itu, maka hilang pula keseimbangannya dalam menginjakkan kakinya satu-persatu pada anak tangga yang menunggu ke bawah. Jantungnya hampir melompat jauh dari tubuhnya ketika ia menyadari bahwa kakinya tidak menginjak anak tangga yang seharusnya.

“Astaga! You should really watch where you're going!”

Akan tetapi, ekspektasi bahwa ia akan jatuh berguling ke bawah dipatahkan oleh tubuhnya yang sudah ditangkap dengan mudah oleh yang tadinya berada di arena bawah sana. Netranya jelas tampilkan gusar dan terkejut—sama terkejutnya dengan dirinya saat ini.

“Goodness....” Sunoo mendesis pelan, tidak berani mengangkat pandangannya ke sekitar, takut bahwa ia baru saja mengundang atensi puluhan orang yang berada di sana.

“Enggak ada yang lihat,” bisik pria tersebut, meskipun Sunoo tahu bahwa pria itu berbohong, tetapi ada reasuransi yang nyaman ketika kalimatnya dilanjutkan setelah kedua tangan yang tadi berada di sisi tubuhnya sekarang menggenggam jari-jarinya untuk menuntunnya pada keseimbangan baru, “turunkan kakimu ke anak tangga yang satu lagi, pelan-pelan,” ujarnya, kali ini mundur menuruni anak tangga agar Sunoo memiliki ruang untuk bergerak.

“Thank you, Jungwon.”

Senyuman atentif melebar di wajahnya, tampakkan ceruk yang dalam di pipinya yang baru Sunoo sadari hari ini.

“Please becareful next time.”

Sunoo mengangguk, “i'll try.”

Jungwon melepaskan jari-jari Sunoo dari genggamannya setelah dipastikannya Sunoo berada pada keseimbangannya, kemudian menoleh pada Sunghoon yang berjalan mendekat ke arah mereka.

“Makasih, Won.” Sunghoon menepuk pundak Jungwon yang menjawab dengan anggukan singkat sebelum menyahuti beberapa basa-basi Sunghoon yang berpamitan.

Ketika Sunghoon kembali menuruni tangga, Sunoo mengikuti di belakangnya, bersamaan dengan Jungwon yang juga beranjak menaiki anak tangga.

“I'll see you next time, kak.”

Sunoo melemparkan senyumnya dan mengangguk, “till then, Jungwon.” Kemudian kembali menuruni anak tangga untuk menyusul Sunghoon yang sudah berada di bawah.

‎ ‎ ‎ ‎ “And please watch where you're going, please.”

Senandung lagunya tidak berhenti sepanjang jari-jarinya mengudara untuk mengembalikan buku-buku ke dalam rak.

Perpustakaan bukan spot favorit bagi mahasiswa, dengan banyaknya study cafe di luar sana, sekarang perpustakaan hanya menjadi tempat bagi segelintir orang yang mencari nyaman dalam damai yang diciptakan suasana perpustakaan.

Ini menyebabkan Sunoo merasa ia akan lebih leluasa jika ia mencari hal yang sama seperti orang-orang. Dengan suasana yang tidak seramai dahulu, Sunoo juga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan apabila ia sesekali bersenandung kecil seperti saat ini.

Langkah kakinya dibawa ringan setelah ia selesai mengembalikan buku-buku tersebut. Ransel yang disampirkan di salah satu pundaknya dibetulkan letaknya sembari masih melantunkan senandung-senandung lagu yang dihapalnya di luar kepala, sementara tangannya mengeluarkan ponsel dari dalam kantung celananya, menggulirkan layarnya sebelum jari-jarinya dengan cepat mengetikkan balasan-balasan pada kakak tingkatnya yang sedari tadi tidak berhenti mengirimkan pesan-pesan yang bermaksud untuk menjahilinya.

Fokusnya tersebut buahkan hasil pada ia yang tidak memperhatikan jalan sampai-sampai menabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya pada area rak-rak sempit tersebut. Yang sialnya pula membuatnya hampir jatuh kehilangan keseimbangan jika saja yang ditabraknya tidak menahan tubuhnya dengan memegangi kedua sikunya.

“Maaf!” desisnya pelan, takut mengganggu yang lain, tetapi tetap sama terkejutnya dan merasa bersalah karena lalai dalam berjalan, “maaf, aku tadi enggak memperhatikan jalan.”

“Hati-hati.”

Sunoo mengangguk, “aku minta maaf,” bisiknya lagi.

Yang ditabrak mengangguk, “enggak apa, kemari, kamu tadi hampir jatuh,” ujarnya seraya membantu Sunoo kembali pada keseimbangannya.

“Kim Sunoo, 'kan?” tanyanya, begitu Sunoo sudah berdiri dengan kedua kakinya sendiri.

Ranselnya kembali dibetulkan letaknya sebelum ia mengangguk dan memetakan wajah orang yang ditabraknya.

“Ah— kamu.”

“Aku?”

“Yang Jungwon?” ujarnya hati-hati, takut membuat kesalahan dalam menyebutkan namanya. “Betul enggak?” tanyanya meminta afirmasi.

Ketika pria itu mengangguk, Sunoo tersenyum apologetik, “maaf ya, Jungwon, tadi aku enggak memperhatikan jalan.”

Jungwon mengangguk, “enggak apa, hati-hati ya, Kak. Watch where you're going.”

Sunoo mengangguk, “i will.” Kemudian ia menoleh pada ponselnya yang menampakkan layar kunci dan jam yang sudah menunjukkan hampir pukul 5 sore itu. “Keberatan kalau aku duluan?” tanyanya, yang dijawab dengan sebuah anggukan dari yang lebih muda.

“Baiklah, sampai ketemu lagi, Jungwon.”

Anggukan adalah satu-satunya jawaban yang ia dapatkan kembali. Namun, Sunoo tidak banyak ambil pusing dan melanjutkan jalannya sembari kembali membetulkan letak ranselnya pada pundaknya.

“Kak Sunoo.”

Ketika namanya dipanggil, Sunoo menoleh melalui pundaknya, memperhatikan bagaimana kedua netra sewarna coklat hangat di musim dingin itu menatapnya penasaran dan penuh tanya.

“Maaf, tadinya aku ingin tanya sesuatu,” ujarnya, menggelengkan kepalanya, “tapi kayaknya tadi perasaanku saja, so nevermind,” finalnya sebelum berbalik pula untuk kembali pada barang-barangnya yang berada di salah satu meja perpustakaan.

Sunoo hanya mengernyitkan keningnya sebelum kembali fokus pada ponselnya dan berjalan untuk meraih pintu keluar dari perpustakaan.

Senandung lagunya tidak tinggalkan bibirnya sedetik pun sampai pintu gedung perpustakaan menutup di belakang punggungnya.

(“Late bloomer. Anda adalah seorang late bloomer.”) (“Kita tidak tahu kapan anda akan menunjukkan gender sekunder anda, tapi untuk berjaga-jaga, saya akan menjadwalkan kunjungan rutin agar kita bisa mencegah hal yang tidak diinginkan.”)

‎ ‎ ‎ ‎

Sunoo menghirup udara dalam-dalam, melipat tungkainya ke dalam dada untuk dipeluk sebelum menaruh kepalanya ke atas sana. Memorinya berputar ke beberapa tahun silam, ketika usianya delapan belas dan gender sekundernya tidak kunjung muncul setelah ditunggu semenjak dirinya tiup lilin untuk yang ke-17 kalinya. Ia ingat betul bagaimana raut khawatir tercetak dengan jelas di wajah kedua orang tuanya maupun saudara-saudaranya yang lain ketika hal tersebut diutarakan oleh dokter yang menanganinya.

Sebab itulah, Sunoo berusaha menjadi anak baik yang tidak ingin khawatirkan semua orang dan pasang topeng terbaiknya, seakan-akan berkata bahwa ia tidak apa-apa dan gender sekunder bukanlah segalanya.

Kunjungan rutin setiap bulan itu kemudian berubah menjadi dua kali dalam satu tahun, sama seperti kunjungan rutinnya ke dokter gigi, yang kemudian berubah menjadi satu kali dalam setahun.

Senyuman tetap ada pada wajahnya, tidak indikasikan lelah, walau hatinya selalu diselimuti khawatir yang penuhi rongga dadanya.

‎ ‎

(“Omega.”)

‎ ‎

Usianya mencapai dua puluh dua tahun ketika kunjungan itu bawakan kabar baru baginya. Momen itu bukan sesuatu yang ditunggu-tunggu, tidak ada debaran gugup, ataupun takut yang dirasa ketika kertas pemeriksaan bertandatangan dokter tersebut dirematnya di atas pangkuan pada perjalanan pulang di dalam mobil.

(“Banyak yang harus dipersiapan. Namun, heat adalah yang menjadi concern utama saat ini. Heat anda kemungkinan akan datang dalam beberapa minggu, siklus yang akan anda alami kemungkinan besar tidak akan normal seperti kebanyakan omega. Perlu kesabaran ekstra dalam menangani heat anda.”)

Menyusahkan.

Ia tidak menunggu selama empat tahun lamanya hanya untuk sebuah fakta bahwa ia akan menjadi orang paling merepotkan di dunia. Orang yang menyebabkan satu rumahnya berubah menjadi protektif, kemudian menjadi lebih awas pada semua hal yang ada pada kesehariannya.

Satu-satunya di keluarganya.

Yang pertama di keluarganya.

Bukan dalam hal yang membanggakan.

Walaupun kedua orang tuanya tetap sambut dirinya dengan sebuah peluk hangat penuh syukur atas gender sekundernya, tetapi hal tersebut jelas tidak buat Sunoo serta-merta merasa lega akan apa yang terjadi.

Banyak kesulitan yang harus dilalui dalam proses peralihan Sunoo, terutama di empat bulan pertama ketika ia pun tidak menyadari perubahan-perubahan dalam tubuhnya.

Untuk merasakan heat-nya pun ia tidak mengerti.

Seakan-akan, sistem tubuhnya coba halangi gender sekundernya untuk ambil alih cara hidupnya, menyebabkan konflik di dalam dirinya sendiri, yang acap kali antarkan Sunoo pada rasa sakit berlebih ketika masa-masa tersebut tiba.

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Kepalanya diangkat dari posisinya dan dibawa menoleh dari balik pundaknya ketika didengarnya pintu rooftop yang engselnya sudah berkarat tersebut berderit dan ada langkah kaki yang terdengar mendekat ke arahnya.

“Kamu mikirin apa?”

Napasnya jelas berantakan, rambutnya sudah mencuat di sana-sini, dengan turtleneck yang lengannya digulung hingga ke siku jelas pria itu akan kepanasan setelah menaiki dua lantai tanpa lift menuju rooftop gedung kantor mereka, dan yang pertama ditanyakannya adalah apa yang sedang dipikirkan oleh matenya.

“Halo,” senyum Sunoo padanya, mengupayakan agar ia tidak terlihat seperti memiliki pikiran yang mengganggu sedari tadi.

“I can smell that you're anxious even when the door is closed.”

Senyumnya jatuh setelah kalimat itu, ia membiarkan langkah pria itu menggantung dan berhenti dengan sedikit jarak dari tempatnya duduk.

“Banyak,” jawabnya, kembali menaruh kepalanya pada posisi semula, kali ini dengan dagu yang diletakkan di atas lututnya yang masih dipeluk, “kamu baru selesai ya? Makan dulu, tadi aku pesan du—”

“You're getting more anxious.”

Sunoo mengatupkan kedua bilah bibirnya, kemudian membiarkan Jungwon kembali menyeret langkahnya perlahan mendekat ke arahnya, kemudian mengambil tempat tepat di sebelahnya, mengabaikan dua buah kotak makanan yang digeser menjauh dari keduanya.

“Boleh aku bantu?”

(“Kedepannya, dalam proses tubuh beradaptasi dengan sistem yang baru, mungkin, anda akan butuh banyak bantuan dalam mengatasi beberapa permasalahan seperti soal feromon yang sulit dikontrol, untuk keluar dari subspace, hingga heat itu sendiri.”)

Sunoo menoleh pada yang menatapnya dengan atentif, ada kernyitan di keningnya. Buat Sunoo berusaha petakan apakah ia tengah menahan diri dari feromonnya yang menyeruak sembarangan atau apakah itu sebuah pertanda khawatir.

“Boleh.”

Dengan satu kata itu, maka aroma citrus yang kuat, tetapi bercampur lembut dengan aroma teh hangat yang diberi manisnya madu, menyeruak sapa indra penciumannya.

Aroma itu, apabila dihirupnya beberapa minggu yang lalu, maka akan menjadi aroma paling menyebalkan yang mati-matian dihindarinya. Namun, untuk sekarang, aroma itu satu-satunya yang mampu beri tenang, hingga ia kemudian menaruh sisi wajahnya di atas kedua lututnya dengan wajah yang menoleh ke arah Jungwon yang duduk di sisi kanannya.

“Kamu selalu kayak gini? Kesulitan setiap kali pikiranmu enggak baik-baik saja?”

Sunoo diam sebentar sebelum mengangguk dalam posisinya, “iya, mau enggak mau,” jawabnya. “Itu kenapa aku juga enggak pernah mau punya banyak pikiran di luar rumah, aku enggak bisa menyelamatkan diriku sendiri dalam kondisi seperti itu,” tambahnya.

Mengakui bahwa dirinya lemah yang disebabkan oleh sistem tubuh gender sekundernya bukan sesuatu yang Sunoo sering lakukan. Ia hanya membuka diri kepada keluarganya dan beberapa orang yang dianggapnya dekat dan perlu tahu.

“Heat kamu juga begitu? Aku kemarin banyak bertanya ke orang tuaku, katanya heat-mu enggak teratur dan sakit?”

(“Siklus heat omega sendiri berbeda-beda, ada yang mengalami siklus satu bulan sekali, tetapi ada juga yang mengalaminya setiap dua bulan. Namun, kasus late bloomer sedikit berbeda, keterlambatan hadirnya sistem gender sekunder jadi alasan heatnya akan menjadi tidak teratur, dan jelas lebih menyakitkan dari yang seharusnya.”)

“Iya, dua tahun ini aku baru heat sebanyak empat kali, aku hampir enggak bisa keluar kamar sampai satu minggu. Daripada panas yang—” Sunoo melirik ekspresi yang ada pada wajah Jungwon sebelum melanjutkan, “—muncul seperti omega kebanyakan, yang aku rasakan cuman sakit dan perih.”

Ada rasa aman yang hadir dalam rentetan pertanyaan yang diutarakan oleh Jungwon dari caranya menyampaikan pertanyaan tersebut.

Atau mungkin sebab, Jungwon adalah orang yang seharusnya menjadi matenya.

“Aku juga..., baru tahu, kalau ternyata menjadi seorang late bloomer mempengaruhi hormon dan feromon, ya? Termasuk yang tadi dan juga bagaimana kamu enggak mengenali aku.”

Senyuman apologetik dilempar Sunoo padanya, ia meringis sebelum berujar, “betul. Aku mau minta maaf soal itu, aku enggak bermaksud buat jadi kasar. Aku enggak punya pembelaan diri, penolakan-penolakan itu pasti bikin kamu sakit juga,” ujarnya, kali ini menatap pada dua buah netra Jungwon yang berwarna coklat terang, hampir menyamai miliknya dengan warna hazelnut yang kental tersebut.

“Enggak apa.” Ada tarikan napas yang terasa berat dilakukan oleh Jungwon ketika ia berujar seperti itu, “aku juga minta maaf karena aku enggak lebih awas terhadap sekitarku, terutama ke kamu, aku seenaknya coba tarik perhatian kamu tanpa mikir dua kali.”

Sunoo terkekeh, “itu 'kan respons natural, ya,” ujarnya, “jadi enggak apa, kamu enggak salah.”

Jungwon terlihat ingin membantah, tetapi bilah bibirnya mengatup kuat setelahnya, seperti tengah berpikir apakah boleh ia utarakan kalimat yang ingin diudarakannya, yang kemudian ia putuskan untuk lakukan setelah Sunoo mengerjap beberapa kali, memberikan isyarat bahwa ia menunggu Jungwon untuk buka suara.

“It's that hard, ya, jadi late bloomer.”

Itu bukan sebuah kalimat tanya yang buat Sunoo kini menegapkan tubuhnya berusaha untuk cerna betul-betul percakapan di antara mereka ini.

(“Menjadi seorang late bloomer tidak akan mudah, apalagi anda adalah seorang omega, sistem tubuh anda akan sulit merespons pada sekitar, butuh pembiasaan bertahun-tahun lamanya. Saya akan kembali jadwalkan kunjungan rutin untuk memastikan anda baik-baik saja dalam prosesnya.”)

“It is,” ujarnya, berbisik pelan, seperti tengah coba mengutarakan sebuah rahasia yang seharusnya tidak boleh diketahui oleh orang-orang.

(“Akan lebih baik juga, apabila anda segera bertemu dengan mate anda, itu akan membantu proses ini menjadi lebih mudah.”)

Sebuah rahasia yang membuatnya sadar diri, bahwa ia bukan seseorang yang akan diterima dengan mudah oleh siapapun di dunia ini. Ia adalah seseorang dengan cacat pada bagian tak terlihat dari tubuhnya, yang tidak akan bisa diperbaiki dengan sebuah sihir dari ibu peri.

Ia tidak pantas untuk berharap akan ada yang mencintainya secara utuh dengan kondisinya.

“Aku banyak belajar belakangan ini,” ujar Jungwon lagi, yang buat Sunoo kali ini tatap dirinya dengan tatap atentif yang sama, apalagi ketika disadarinya ada getar yang mengkhawatirkan dari suara si alpha yang kini tatapnya dengan tatapan rasa bersalah yang menguar kuat dari kerlingan kedua netranya tersebut.

“Kamu enggak perlu terima aku cuman karena aku—”

“Aku minta maaf.”

Bibirnya mengatup rapat tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya ketika yang mengudara dari bilah bibir sang alpha di hadapannya ini adalah sebuah permintaan maaf, yang diikuti dengan air mata yang menumpuk di ujung matanya, yang ketika kelopaknya mengedip sekali, maka loloslah buliran-buliran air tersebut basahi kedua pipinya yang memerah terkena cahaya matahari siang ini.

“Hei, Jungwon—”

“Aku—aku minta maaf. Kamu harus lewati semuanya sendiri. Susahnya harus kamu lewati sendiri, tanpa ada aku, yang harusnya bisa temani kamu dan buat semuanya lebih baik.”

“Jungwon—”

“I couldn't be on your side and i'm drown in so much guilt for that, to think—” napasnya ditarik kuat sebelum ia melanjutkan, “—to think that you bear all of that alone. To be in pain alone. That creeps me up in so much guilt. I'm sorry. I'm sorry. I'm sorry.”

Maka dalam permintaan maaf yang ketiga, Sunoo tarik si alpha muda ke dalam sebuah peluk, yang buat keduanya ada dalam posisi yang canggung, tetapi cukup untuk bagi hangat dari masing-masing mereka.

“Hey, Jungwon, listen to me, you're not in any fault on this.”

“I failed you.”

Memorinya berputar pada beberapa tahun silam, ketika ia pertama kali pulang ke rumah mengantongi fakta bahwa ia terlambat untuk terima takdir yang seharusnya hampiri ketika usianya capai tujuh belas tahun. Ia ingat bagaimana dirinya remaja akan meringkuk di dalam selimut, berpikir bahwa ia adalah sebuah barang yang rusak, sampai-sampai takdir pun enggan menghampirinya cepat-cepat.

“I failed you many times, Sunoo.”

Akan tetapi, fakta bahwa kini dalam peluknya hadir seorang alpha yang belajar begitu banyak tentang dirinya dan memahami begitu dalam tentang dirinya, ketika ia mencoba cari seribu satu alasan tentang mengapa ia bukanlah seorang fated mate yang cocok untuknya.

Fakta bahwa kini dalam peluknya, hadir seorang alpha yang menangis untuknya dan rasa sakitnya yang telah lama ia pendam sendirian.

“You're not,” bisiknya lembut, seperti tengah nyanyikan lagu pengantar tidur pada yang tangisnya berangsur berhenti, yang kemudian menarik tubuhnya sendiri agar ia bisa lihat pasangan hidup yang ditakdirkan untuknya, “now that you're here, it's more than enough for me.”

“I swear i'll make it up to you.”

(“Talk to him and you'll know what he actually think of you.”)

Fakta bahwa kini di hadapannya ada seorang alpha, yang pertemukan kening mereka, dengan jemari yang telusuri perlahan setiap lekuk wajahnya, dan jemari pada tangan yang lain memilin jemari-jemarinya untuk bertaut saling genggam di atas pangkuan sang alpha yang kuarkan aroma citrus tersebut sekali lagi.

“Berdua, ya? Kita jalanin berdua pelan-pelan.”

Selanjutnya, dalam pagut yang dibagi, semua ketidaksempurnaan itu ditelan dalam sebuah eksistensi dzat yang begitu kuat dan memabukkan, yang mampu buat ketidaksempurnaan yang ada menjadi sebuah cara untuk menyayanginya dan memberinya kasih yang sama.

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

Dalam pagut yang sama, untuk pertama kalinya, Sunoo terima bahwa mungkin cinta memang pantas untuknya.

Serangkaian kejadian tidak menyenangkan seringkali hampiri hidupnya, itu sebabnya Sunoo berusaha bersikap tenang.

Ini cuman salah satu hari sial.

Akan tetapi, rasa-rasanya, seperti ia telah berkali-kali dikenai oleh hari sial itu, semenjak satu kejadian yang membuatnya kerap kali berdoa untuk tidak bersinggungan kembali dengan oknum yang dicurigainya sebagai akar penyebab segala pelik permasalahannya beberapa minggu terakhir ini.

Yang juga bagaimana si alpha selalu berada di sekitarnya selama beberapa hari belakangan, secara sengaja (oh, tentu Sunoo paham betul) muncul pada radarnya dan pada jarak pandangnya. Entah berusaha berada di sekitar tempat duduknya saat makan siang di kantin kantor. Entah mencoba cari perhatian ketika ia mampir ke ruangan produksi untuk mengantarkan beberapa hal pada Jongseong selaku ketua tim mereka.

Walau Sunoo selalu berusaha abai, alpha dan feromonnya itu tetap akan menghantui Sunoo kemanapun ia melangkah di gedung ini.

Serangkaian hari sial itu berujung pada satu hari sial yang paling Sunoo tidak inginkan.

“You okay there?”

Sunoo mengangguk ketika ditanyai seperti itu. Terjebak di dalam lift bersama dengan seseorang yang paling dihindarinya beberapa minggu belakangan ini jelas bukan sesuatu yang diinginkannya.

“Aman, tapi boleh tolong feromonnya...? A bit dizzy for me here,” ujarnya jujur, sebab seperti katanya, feromon dari alpha yang hari ini kenakan kemeja berwarna biru sewarna langit itu betul-betul penuhi ruang lift yang sempit dan pasokan oksigennya pun terbatas.

Sunoo melirik ponselnya yang tampilkan notifikasi dari Sejin yang mengatakan bahwa bantuan akan segera datang, entah siapa yang ia panggil untuk membantu di sini. Sunoo hanya berharap semoga bantuan itu cepat datang dan ia bisa segera menghindari orang yang sedang bersamanya sekarang.

“Ah, iya, maaf ya,” ujarnya, yang kemudian Sunoo bisa bernapas lebih nyaman ketika feromon yang tadinya ikut memenuhi udara tersebut lebih berkurang. Walau Sunoo rasa alpha ini masih muda, ia cukup kagum dengan kontrol dirinya yang baik.

Sebetulnya, bukan masalah gender sekunder merekalah yang buat Sunoo setengah mati ingin hindari yang berstatus alpha yang tengah bersamanya ini. Mungkin, ia juga punya stigma buruk pada alpha karena perilaku beberapa dari mereka, seperti tempo hari di rapat terakhir kali itu. Namun, sebagian besar kenapa Sunoo berusaha hindari alpha tersebut adalah sebab ada sesuatu yang selalu membuat innerwolf-nya bertingkah tidak menyenangkan baginya.

Bohong kalau beberapa kali ia mencium bau feromon dari si alpha, tidak ada yang bereaksi dari dirinya sendiri maupun innerwolf-nya. Kendali dirinya cukup bagus, sebab ia juga habiskan bertahun-tahun tanpa gender sekunder sehingga hal ini cukup membantu sebab ia tidak terlalu sensitif terhadap bau-bauan feromon dari siapapun di sekitarnya. Namun, sepertinya ini banyak mempengaruhi dari innerwolf-nya yang jelas menjadi sensitif. Spesifik terhadap kehadiran dari si alpha bernama Yang Jungwon tersebut.

Yang pada awalnya Sunoo hanya kira innerwolf-nya tengah menjadi manja dan ketagihan mencium sebuah feromon, lambat laun menjadi khawatir sebab timbul rasa nyaman setiap kali kehadiran Yang Jungwon itu kembali ada di sekitarnya lengkap dengan senyuman yang timbulkan ceruk dalam pada pipinya tersebut dan feromonnya yang khas dengan aroma perpaduan jeruk nipis serta madu yang disuguhkan bersama dengan teh hangat yang biasa diminum ketika angin sudah mulai berhembus dingin.

Feverfew.

Aroma familiar yang sudah membersamainya semenjak kecil sebab ibunya juga rawat bunga yang sama di rumah mereka. Yang sebabkan Sunoo selalu coba lari sebab aroma familiar itu lambat laun buatnya nyaman dan ingin menyerahkan dirinya dalam rasa nyaman tersebut pada aroma sang alpha.

Sebab, apabila hal tersebut sampai terjadi, jelas Sunoo pikir ia tidak akan punya tempat untuk meminta agar hal tersebut bisa diberikan kepadanya.

Rasa nyaman dari aroma tersebut.

Sampai pada kesempatan menjadi sebuah pasangan.

Semuanya. Semuanya tidak akan pernah menjadi tempat dan kesempatan untuk dimiliki oleh Sunoo. Semuanya bukan untuk seorang omega seperti Kim Sunoo yang lahir dengan segala kekurangannya.

“Terus—” Sunoo memulai, menyimpan ponselnya ke dalam saku kemejanya sebelum bersandar pada dinding bagian kiri dari lift, “—lo boleh berhenti coba cari perhatian gue. Kalau lo marah soal apa yang gue bilang di lobi waktu itu ke lo, gue minta maaf soal itu, i was mean and that's my fault—”

“Hey, gue enggak masalah—”

“Please just accept my apology and leave me alone, could you do it please?”

Ada satu bagian dari dalam dirinya yang jelas berdenyut nyeri, hantarkan gelenyar tidak menyenangkan yang buat innerwolf-nya bereaksi tidak nyaman di dalam sana, buat Sunoo meringis.

“You—”

“Apa lagi?”

Sunoo tidak bermaksud untuk berujar seketus itu, yang buatnya segera menoleh dan mendapati tatapan terluka dari alpha yang berdiri canggung beberapa sentimeter dari tempatnya berdiri.

“Maaf, gue enggak bermak—”

“You don't even realize that you're my mate, didn't you?”

Hah?

Sunoo mengerjapkan netranya beberapa kali, berusaha memproses pertanyaan tiba-tiba dari lawan bicaranya yang sekarang melangkah mendekat ke arahnya.

“I'm sorry— I didn't follow—”

“I'm right. You don't realize that you're my mate. That's why you keep rejecting me, even worse my innerwolf.”

“Jungwon, gue—”

“Kalau memang enggak suka sama alpha, lo enggak perlu segitunya enggak sih seharusnya? Maksudnya, selain gue juga punya perasaan, kasihan sama innerwolf lo sendiri kalau lo terus-terusan nolak mate lo.”

“Dengarkan gue dulu—”

“You even went as far as didn't want to see me? Is it actually pain you—”

“It's because i'm a late bloomer!”

Lift tersebut jatuh dalam hening yang terasa canggung setelah Sunoo berujar dengan meninggikan nada suaranya, membuat kalimat-kalimat yang ingin disuarakan oleh Jungwon, kalimat-kalimat yang berisikan resahnya setelah berhari-hari kerap kali ditolak oleh mate-nya sendiri, kalimat-kalimat itu menggantung dan sirna menghilang pada atmosfir. Sampai yang bisa didengar keduanya hanya deru napas satu sama lain dan ribut-ribut dari luar lift yang menandakan mereka sedang mencoba mengeluarkan mereka dari dalam sana.

“I don't know any single thing about recognizing my mate. Hell. I even don't know when will my next wave of heat would come. What did you expect me to do?!”

“Sunoo, gue—”

Bunyi pintu lift yang dibuka secara paksa tersebut alihkan keduanya, juga kalimat yang menanyakan apakah mereka baik-baik saja di dalam sana. Sementara Sunoo menyahuti orang-orang di luar sana yang berusaha mengeluarkan mereka dari dalam lift tersebut, Jungwon berusaha mencerna informasi yang baru didapatkannya sekarang, menyambungkannya pada rentetan kejadian beberapa minggu belakangan yang terjadi di antaranya dan juga Sunoo.

“And even if i'm a fated mate of someone, i might not fit to be one,” ujarnya, menoleh pada Jungwon yang masih menatapnya, jelas dengan ekspresi terkejut yang tidak bisa disembunyikannya, “masih mau gue sebagai mate lo? Enggak, 'kan? So please just leave me alone after this.”

Jungwon tidak diberikan ruang untuk mencerna informasi tersebut yang muncul bersama rentetan kalimat lainnya, sebab kemudian pintu lift tersebut berhasil dibuka dari luar dan Sunoo meraih satu tangan yang berusaha menjangkaunya dari luar sana dan juga kalimat-kalimat yang berujar syukur bahwa tidak terjadi apa-apa pada mereka yang terkurung hampir tiga puluh menit lamanya di dalam sana.

(“I'm a defected omega. Even as a fated mate, i'm pretty sure, you don't want me.”)

Ruang meeting itu tidak pernah terasa begitu sempit bagi Sunoo.

Walaupun divisi yang hadir bertambah, seingat Sunoo, ruangan itu cukup luas dan tidak membuatnya merasa terapit seperti dipaksa tidak boleh bergerak di tempat duduknya.

Mungkin itu karena pendingin ruangan yang belum menyala atau mungkin karena presensi yang kenakan kemeja putih bergaris biru yang ambil tempat di sebelahnya setelah keduanya tukar tatap beberapa menit lalu saat si alpha masuk ke dalam ruangan bersama Jongseong.

“Kalau dari creative, sih, segitu dulu,” ujar Hyunggu, meletakkan pen-nya kembali ke casing tabletnya, menoleh pada Riki yang ikut duduk di sebelahnya pada seberang dari Sunoo pada meja memanjang ruangan. Riki yang menggangguk membuat Hyunggu ikut mengangguk juga ke arah Sejin yang duduk di sebelah kanan Sunoo.

“Oke, kalau gitu gantian ke kita, ya,” ujar Sejin, kemudian mulai menjelaskan beberapa hal yang sudah dilakukan oleh Tim Editorial dalam publikasi kali ini. “Selanjutnya boleh ditambahkan oleh Sunoo karena dia yang pegang klien ini—”

“Seharusnya editorial pertimbangkan lagi sebelum beri pekerjaan head team ke omega. Bukan bermaksud apa-apa—” Sunoo mengangkat kepalanya dan menatap pada seseorang yang lebih tua darinya, salah satu tim bagian publikasi yang tempo hari juga melakukan hal yang sama padanya, “—takutnya aja, kerjaannya jadi enggak beres. Banyak faktornya 'kan tuh, omega 'kan suka ribet juga sehari-harinya, belum lagi masa ka—”

“Maaf memotong.”

Yang ini, baru sesuatu yang mana pernah Sunoo sangka.

“Bagaimana kalau kita dengar dulu dari editorialnya sendiri bagaimana? They did the work as hard as we did ours, so let's trust them and listen first, okay?”

Sunoo tertegun seraya menoleh pada yang duduk di sebelah kirinya, sedang melipat tangannya di depan dadanya dengan rahang yang tegas terkatup. Yang Sunoo tidak pahami kenapa adalah reaksi innerwolf-nya yang seperti tengah berusaha meringkuk nyaman dengan perlakuan seperti itu.

“Buru-buru sekali menilai pekerjaan seseorang dari gender sekundernya, memangnya sebagai alpha apakah jelas pekerjaan kita akan lebih baik? Tidak, 'kan? Jadi let's hear them for a second.”

Ada dominansi yang kuat dalam nada suaranya, buat Sunoo yang tadinya ingin buka suara untuk membantah dan memulai bagiannya terdiam dengan bilah bibir yang mengatup rapat.

“The floor is yours,” ujarnya, menoreh senyum pada kalimatnya juga nada yang melembut ketika menoleh pada Sunoo untuk mempersilakannya bicara.

“Thank you,” bisiknya, setelah menyadari bahwa ruangan jatuh dalam hening yang menegangkan setelah alpha tersebut mempersilakannya.

Ia berdeham sekali sebelum memulai penjelasan dari pekerjaan tim editorial, membiarkan berpasang-pasang mata dan telinga mendengarkan sesekali bertukar bisik dengan yang terdekat di antara mereka, tetapi Sunoo memilih tidak acuh pada hal-hal tersebut dan tetap melanjutkan apa yang menjadi bagiannya. Selesai mengutarakan dengan lugas ia melemparkan tawaran mungkin ada beberapa pertanyaan? dengan percaya diri, tetapi ketika ruangan jatuh pada hening yang menyenangkan kali ini, ini lemparkan kembali tanggungjawabnya pada Sejin yang sudah memasang senyum kemenangan.

(Bohong kalau Sunoo bilang ia tidak hirup sebuah aroma menyenangkan yang bantu dirinya rileks dalam penjelasan panjangnya yang datang dari si alpha dengan kemeja putih bergaris biru tersebut.)

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ “You did a great job there.” Sunoo mengangkat kepalanya seraya membawa tabletnya masuk ke dalam peluknya. Ia tertegun ketika dilihatnya yang bersangkutan tengah menunggunya di depan pintu ruang rapat sementara yang lain telah beranjak keluar dari sana untuk kembali ke ruangan masing-masing.

“Nothing spectacular. I just did my job, that's all.” Sunoo mengendikkan pundaknya.

Yang bersangkutan hanya menganggukkan kepalanya kemudian menarik pintu ruangan tersebut dan mengedikkan kepalanya, mengisyaratkan pada Sunoo untuk berjalan lebih dahulu.

“Thank you for your help, and as much as i appreciate what you did back on the meeting—” Sunoo berjalan mendekat dan berdiri di hadapan si alpha muda yang tingginya sepantaran dengannya tersebut, “—please don't do that again in the future, i don't want to owe you anything and i can stand on my own.”

Ia berjalan melalui si alpha setelah melirik ID card yang menggantung pada lanyard berwarna merah dengan gradasi oranye yang cukup nyalak menyapa matanya.

“Okay? Yang Jungwon? You can save that heroic alpha thing for another omega, i don't really need it. But thank you, tho, i really appreciate that.”

(Ada sesuatu yang membuat innerwolf-nya merintih tidak nyaman, tetapi Sunoo memutuskan untuk abai).

“Hey, i'm not doing it for some heroic alpha thing and don't you realize that we—”

‎ ‎ “Sunoo! Ayo, kata Serim kalau lo enggak buruan balik, waffle lo dimakan sama dia!”

Sunoo menengok pada Sejin yang sudah menunggunya di ujung lorong dengan ponsel yang teracung di udara, sepertinya menampakkan ruang obrolan mereka, yang jelas Sunoo tidak bisa lihat dari kejauhan.

“Just— please don't okay?” Sunoo menepuk pundak alpha itu sekali, “dan terima kasih hari ini feromon lo enggak kayak biasanya, stop being bitter, bau ini lebih cocok buatmu.” Ia beranjak menjauh setelah mengucapkan itu.

(Dan Sunoo memilih abai pada perubahan bau feromon yang bila dikecap lidahnya akan terasa pahit dari alpha yang ditinggalkannya pada ambang pintu ruang rapat.)

‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎ ‎

(Dan Sunoo juga abai pada bagaimana innerwolfnya yang seperti merintih sakit—sebab, mungkin itu hanya perasaannya saja.)

Hening.

Satu-satunya yang dapat menggambarkan keadaan mobil Jungwon malam ini adalah hening yang membungkus seluruh atmosfir yang tercipta di antara keduanya.

Sunoo tidak banyak buka suara, yang disuarakannya hanya mengucapkan terima kasih ketika Jungwon membantunya berkemas, mengenakan jaketnya karena kali ini tidak mengganti scrub kerjanya, juga membantunya masuk ke kursi penumpang perlahan.

Bahkan ketika rem tangan ditarik oleh Jungwon dan mobilnya sudah terpakir rapi tepat di sebelah mobil miliknya yang sudah seminggu tida digunakan itu, Sunoo enggan untuk membuka suaranya.

Sebab, ia bisa runtuh kapan saja jika ia coba untuk bicara lagi malam ini.

“Tunggu ya,” ujar Jungwon, beranjak dari kursi kemudi membawa barang-barangnya, kemudian mengitari mobilnya melalui depan sampai tiba di pintu pada sisi Sunoo, yang membuat Sunoo memperhatikan setiap gerak-geriknya dari duduknya yang bahkan masih kenakan sabuk pengaman.

Pintu mobil dibuka dan Jungwon membawa tubuhnya masuk sebagian, melepaskan sabuk pengaman yang melingkupi tubuh Sunoo sebelum mengambil barang-barang Sunoo dan membawa tubuhnya kembali keluar. Namun, tubuhnya dibawa merunduk dan tangannya diulurkan kepadanya. Sunoo menoleh dan pertemukan netra coklat milik Jungwon yang tidak pernah redup akan cahaya kasih sayang itu, sedang menatapnya tanpa suara—tanpa rasa kasihan yang coba Sunoo cari-cari setelah relapse-nya beberapa jam yang lalu.

Apapun yang indikasikan bahwa pria itu pun juga tidak bisa berikan Sunoo tempat di hidupnya.

Akan tetapi, tangan yang diulurkan oleh Jungwon dan bagaimana netra coklatnya masih betah bersabar menunggu Sunoo menyambutnya tidak berikan jawaban yang Sunoo inginkan.

Sebab, semuanya akan lebih mudah jika seperti itu.

Sebab, semuanya tidak akan berubah menjadi rumit apabila Jungwon tidak berikan ia tempat untuk lepaskan khawatirnya hampir seminggu belakangan ini dengan mudahnya.

“Ayo kita turun, ya? Kamu masih harus bersih-bersih dan istirahat, besok kamu masih ada pasien 'kan?” Timbre suaranya lembut, tanpa ada nada ketus terpaksa atas atensi yang diberikannya pada Sunoo, membuat Sunoo terhenyak di kursinya, “atau besok kamu mau istirahat dulu? Nanti aku bantu omongkan dengan Kak Jake dan Mba Gowon supaya pasiennya dijadwalkan ulang ke minggu depan.”

Pada pilihan-pilihan yang selalu Jungwon berikan Sunoo ruang dan celah untuk berpartisipasi dalam menentukan langkah selanjutnya inilah Sunoo rasakan perubahan paling besar dalam hidupnya. Nada suaranya yang bisa Sunoo dengar melalui balon-balon pesannya setiap kali menawarkan Sunoo sesuatu, yang selalu memberikan Sunoo waktu dan ruang untuk turut menentukan apa yang seharusnya menjadi porsinya.

“Atau mungkin kamu mau masuk setengah hari? Menurut kamu gimana enaknya?”

Pada pendapat-pendapatnya yang selalu diberikan ruang untuk didengar adalah perubahan besar lain yang sekejap mata terjadi dalam hidupnya. Bahwa sekali saja dalam hidupnya apa yang ia katakan miliki bobot yang sama dengan apa yang diyakini orang lain baik baginya, bahwa ia boleh menyampaikan mana yang baik dan tidak untuk dirinya sendiri.

“Sunoo?”

Ada nada khawatir yang ditambahkan pada cara Jungwon memanggil namanya. Sunoo menyadarinya, tentu, ia lebih perasa dari yang dikira oleh orang-orang. Yang payahnya bagi Sunoo adalah, bahwa ia sadari, Jungwon memahami hal tersebut. Yang menyebabkannya kerap kali mencoba memastikan bahwa beberapa hari belakangan ini ia baik-baik saja dengan segala hiruk-pikuk di dalam kepalanya sendiri.

“Enggak papa, aku masuk aja. Enggak enak sama pasiennya kalau harus jadwal lagi,” jawab Sunoo, meringis ketika menyadari tenggorokannya tercekat ketika akhirnya ia buka suara untuk menjawab Jungwon.

“Oke, enggak apa, nanti kalau sudah selesai bisa diatur aja pulangnya jam berapa.”

“Maaf ya, tadi aku relaps,” tuturnya akhirnya, kali ini membalas tatapan Jungwon yang melembut mendengar kalimatnya. “Aku betulan khawatir kalau cincin nikahnya hilang, itu 'kan barang berharga, harusnya aku enggak teledor buat simpan-simpannya gitu.”

Anggukan adalah yang diberikan Jungwon sebagai jawaban sebelum ia berujar, “enggak apa, namanya juga lupa, 'kan. Mungkin, kamu lagi capek atau kepalamu lagi mikir soal banyak hal. Jadi hal-hal kayak gitu bisa kejadian, enggak apa. Itu manusiawi, Sunoo.”

Sunoo menggigit bibir bawahnya ragu. Kemudian bergantian tatap netra Jungwon juga tangannya sendiri yang menaut satu sama lain di atas pangkuannya sendiri.

“Buat yang tadi juga, kalau kamu merasa cara mengeluarkan emosinya begitu, enggak ada salahnya. Kamu 'kan juga manusia.”

“Merepotkan enggak sih?” Sunoo terkekeh pelan, tetapi kerutan muncul di kening Jungwon, yang pertanda pria itu tidak terlalu menyukai ucapan itu.

“Enggak ada yang merepotkan, Sunoo.”

Ini yang Sunoo harapkan tidak terjadi pada pernikahannya dengan Jungwon yang hanya didasari dari bagaimana mereka menikah karena permintaan orang tua keduanya. Bahwa, akan ada perangai-perangai baik seperti ini yang buat dirinya dengan mudah runtuhkan apa yang sudah dibangunnya sebagai benteng hidupnya sendiri.

Perangai-perangai baik Jungwon itu lah yang seharusnya tidak ada di sana, sebab apabila sekali saja Sunoo biarkan dirinya melarut nyaman dalam uluran tangan dan juga dekap hangat yang lebih muda—maka semakin sulit pula hidup Jungwon akan dibuatnya.

“Kamu bakal sadar seberapa merepotkannya aku the moment you realize how much of rotten work i am.”

Sunoo tersenyum pada Jungwon sebelum menurunkan tangan Jungwon yang sedari tadi terulur untuk menyambutnya—secara harfiah.

Akan tetapi, uluran tangan itu akan selalu kembali lagi dan lagi karena sejatinya begitulah seorang Jungwon dan seribu kasih sayangnya yang seharusnya bisa ia curahkan pada orang yang lebih tepat.

Bukan dirinya.

Bukan dirinya, ketika gemuruh kepalanya bukan sesuatu untuk dibagi kepada seseorang seperti Jungwon, yang bisa cintai seluruh makhluk hidup di dunia ini dengan porsi yang sama besar.

Bukan dirinya.

Bukan dirinya, ketika apa yang diberikan Jungwon hanya akan dimintanya lagi dan lagi dengan serakah, seperti semuanya adalah miliknya—padahal, bukan.

Dan mana pantas dirinya untuk itu.

Sehingga, sebelum semuanya terlalu jauh dan bentengnya runtuh lebih banyak lagi. Mengingatkan Jungwon bahwa ia bukanlah seorang yang tepat untuk terima semua uluran hangat dan penuh kasih sayang yang ditawarkannya.

Because Jungwon is full of kindness and love.

And Sunoo and his head were a rotten work that no one could understand.

Insiden hari ini jadi satu penyebab suasana hati Sunoo tidak dalam keadaan baik.

Statusnya sebagai omega selalu membuatnya terjebak dalam kondisi seperti ini. Diremehkan. Bahkan, di kantor lamanya lebih parah, eksistensinya bisa-bisa dianggap tidak ada. Yang untungnya adalah, Sunoo keluar dari sana tepat sebelum gender sekundernya, pada akhirnya, mengantarkannya pada gelombang heat pertamanya.

Late bloomer.

Istilah yang digunakan oleh seluruh dunia terhadap orang-orang yang belum mendapatkan identitas dari gender sekundernya di usia ke-17, usia dimana seluruh dunia akan terasa jungkir balik bagi beberapa individu.

Sunoo tumbuh besar di keluarga yang tidak pernah mempermasalahkan gender sekunder setiap orang. Ketika Sunoo belum mendapatkan gendernya, mereka sering menerka-nerka dengan jenaka—juga reasuransi bahwa apapun yang kelak akan menjadi jati diri baru Sunoo, maka cinta keluarganya untuknya masih tetap akan sama. Itu sebabnya ketika Sunoo mendapatkan omega sebagai gender sekundernya, kakak-kakaknya yang merupakan alpha dan beta, mereka menyambutnya dengan suka cita, dan seiring berjalannya waktu—keluarganya cenderung menjadi protektif pada dirinya.

Tidak ada salahnya menjadi omega.

Itu yang ditanamkan oleh keluarganya di dalam pikirannya. Akan tetapi, ketika ia berhadapan dengan dunia nyata—bahwa keberadaan omega seperti sesuatu yang merusak tatanan semesta, maka Sunoo memutuskan bahwa ia harus menjaga dirinya dengan baik.

Statusnya sebagai omega kerap kali membuat orang-orang bersikap 1) Semena-mena pada dirinya dan 2) Protektif pada dirinya.

Kedua hal tersebut, tidak ada yang Sunoo sukai.

Meskipun sebagai omega, ia yakin bahwa dirinya mampu menjaga dirinya. Terbukti semenjak beberapa tahun belakangan ia lebih dari mampu menghindari setiap tingkah alpha yang ingin tunjukkan dominansi padanya. Terbukti pula bahwa ia selalu mampu berdiri dengan kedua kakinya—bahkan, membela dirinya tiap kali para alpha dengan otak yang mengedepankan hierarki gender sekunder itu berusaha menginjak-nginjaknya ke tanah.

Akan tetapi, Sunoo tidak pernah tahu bahwa akan hadir hari dimana—

“Hai? Lo yang kemarin di ruang kesehatan bukan?”

—innerwolf-nya hampir mampu ambil alih seluruh kendali tubuhnya.

Hanya karena kehadiran satu alpha yang bahkan tidak pernah ia kenal.

Sunoo mengernyit karena feromon yang asing baginya menyeruak sapa indra penciumannya—feromon yang sama yang bersinggungan dengan miliknya di ruang kesehatan kemarin.

Sunoo tidak pernah sensitif terhadap feromon orang lain.

“Gue—gue mau minta maaf soal kemarin, gue enggak bermaksud mau bikin lo enggak nya—”

“Berhenti.”

Alpha muda di hadapannya mengerjap bingung, bergeming memperhatikan bagaimana Sunoo mengambil langkah mundur dengan kening yang mengernyit tidak suka.

“Feromon lo.” Sunoo menunjuk alpha muda di depannya, “apapun yang lagi lo coba lakukan pakai feromon lo, berhenti sekarang juga.”

“Gue enggak—” Sang Alpha di hadapannya jelas ingin mengatakan sesuatu, yang kemudian diurungkan karena bibirnya mengatup rapat.

“You don't recognize me?”

Ada sesuatu yang meronta di dalam dirinya, Sunoo tahu itu innerwolf-nya, seperti menjerit ingin menyerahkan diri pada alpha di hadapannya sekarang. Yang seumur hidup belum pernah Sunoo alami semenjak gender sekundernya mengubah hidupnya beberapa tahun lalu.

“Enggak,” jawab Sunoo setelah mengumpulkan kekuatannya untuk menjawab dengan waras, sebelum kemudian melanjutkan lagi, “what i know is you're a typical alpha that trying to show your dominance.”

“Hei gue enggak ber—”

Sunoo meringis sembari melangkah mundur ketika alpha yang menjadi lawan bicaranya sekarang mengulurkan tangannya seperti berusaha meraihnya. Akal sehatnya tengah berusaha melawan bagaimana innerwolf-nya seperti mulai terasa sakit dan sedih ketika secara akal sehat, Sunoo sedang mencoba menarik dirinya dari alpha di hadapannya.

“Stay away from me.”

Final Sunoo kemudian menyeret langkahnya susah payah menjauh dari lobi untuk pergi ke luar gedung. Meninggalkan alpha yang hanya mampu kantongi dua hal darinya sore ini.

Namanya, setelah melirik kartu identitas yang tergantung di lehernya.

Dan juga sakit hati yang membuat kepalanya sakit sebab innerwolf-nya yang menganggap seluruh hal tadi adalah penolakan dari satu orang yang seharusnya ditakdirkan untuknya—

—fated matenya.

“Jungwon....”

Kepalanya didongakkan ketika namanya disebut. Atensinya yang semula berada pada tablet berisi pekerjaannya (yang dikejar untuk rampung sebelum pergi cuti) dialihkan sepenuhnya pada yang memanggil dari ambang pintu ruang praktiknya.

“Iya, Sunoo?”

Pemandangan ini berulang kali ia lihat beberapa hari belakangan ini. Sunoo yang muncul di depan pintu ruang praktik, masih menggunakan scrub kerjanya, kadang lengkap dengan headcap berwarna hijau di kepalanya. Ekspresi wajahnya akan selalu menyapa Jungwon dengan senyuman, yang disertai lelah karena pekerjaannya yang mengharuskan dirinya duduk berjam-jam lamanya dan menggerakkan tangan dengan intensitas serta frekuensi tinggi pada gerakan berulang.

Walau beberapa hari belakangan ini juga senyuman itu selalu miliki ekspresi lain yang bersembunyi di sana setiap kali Jungwon menatapnya.

Akan tetapi, malam ini, senyuman itu betul-betul sirna tidak bersisa di sana. Hanya menyisakan air muka yang keruh dan kening yang dikerutkan serta wajah sendu yang buat Jungwon buru-buru lempar tabletnya ke tempat kosong pada sofa yang tengah didudukinya dan menghampiri yang tengah berdiri di ambang pintu.

“Kenapa, Sunoo? Are you okay? Pusing kah? Ada yang sakit?”

Gelengan Sunoo membuatnya menghentikan tangannya yang hampir naik untuk sentuh kening yang lebih tua.

“Kenapa?”

Jungwon bisa lihat bagaimana familiarnya tingkah Sunoo beberapa hari belakangan, kedua lengannya yang ditaruh di depan perutnya dengan entah jemari dari tangan kanan atau kirinya akan mengusap gusar siku tangan antagonisnya. Membuat Jungwon tahu bahwa Sunoo sedang dalam kondisi yang tidak mengenakkan untuknya.

“Aku pernah bilang, ‘kan, kalau kamu boleh bilang sama aku tentang apa aja?” Jungwon mengulurkan tangannya untuk raih jemari Sunoo yang masih sibuk mengusap gusar siku tangan kanannya, kemudian ganti ia yang usap lembut bagian siku tersebut, berusaha hantarkan penenang dan reasuransi pada yang lebih tua, “pelan-pelan ya, enggak papa, aku tunggu.”

Kedua netra Sunoo yang terlihat getir dengan kilat seperti takut itu ditatap Jungwon dengan cara yang paling lembut, seperti ia tengah coba berikan kembali reasuransi melalui cara lain agar yang tengah diselimuti kalut tahu bahwa ia boleh untuk mengambil waktunya sebanyak mungkin sebelum berujar apa yang membuatnya khawatir setengah mati.

“.... Hilang,” cicitnya kecil, hampir tidak terdengar, tetapi Jungwon bersyukur bahwa klinik sekarang sudah sepi dan yang terdengar hanya deru pendingin udara dan suara Sunoo yang tadinya hampir tenggelam.

Jungwon memerhatikan bagaimana kedua bilah bibir tersebut membuka sedikit sebelum menutup kembali, seperti ragu untuk mengulang kalimat yang ingin ia ucapkan pada Jungwon, tetapi Jungwon menunggu dengan sabar, jemarinya masih bergantian usap siku yang lebih tua dan perlahan Jungwon bisa lihat bagaimana punggung dan pundak yang tadinya terlihat tegang perlahan berubah menjadi lebih lema.

Senyuman adalah hal final yang bisa Jungwon berikan pada Sunoo untuk membuat yang masih kenakan scrub kerja berwarna biru malam itu menjadi lebih tenang dan hilang dari kalutnya. Jungwon belum pernah lihat Sunoo seperti ini, mungkin beberapa kali ia bisa terlihat sendu dan sedih karena beberapa hal, tetapi Sunoo adalah tipe yang dapat menyusun kembali pikiran dan dirinya untuk kembali tenang sebelum melanjutkan harinya. Sehingga, bohong apabila Jungwon bilang sekarang jantungnya sendiri tidak tengah berdegup berantakan sebab khawatir yang berlebih pada sosok yang lebih tua darinya.

“Cincin nikahnya, hilang….”

Jungwon mengerjap sebentar, berusaha memproses informasi yang dikatakan oleh Sunoo yang sekarang menunduk berusaha hindari kontak mata dengan Jungwon.

“Enggak sengaja hilangnya…. Maaf…, biasanya aku kalau mau kerja pasien ‘kan aku lepas ya, terus biasanya aku taruh di atas meja, tapi hari ini malah hilang, maaf akunya teledor….”

Ia berujar dengan satu tarikan napas dan suara yang melirih di ujung kalimatnya, buat Jungwon masih berusaha memproses informasi tersebut, bahwa segala yang ada di pikiran Sunoo berakhir buatnya berpikir bahwa ia teledor dan menghilangkan cincin pernikahan mereka, yang buat Jungwon kembali mengerjapkan kedua matanya.

Orang ini lebih khawatir tentang hal tersebut daripada dirinya sendiri.

“Kalau mau marah, marah aja, Jungwon, ini memang salah a—”

“Kita cari sama-sama ya? Tadi Sunoo terakhir ingat lepasnya dimana?”

Jungwon tersenyum memerhatikan perubahan ekspresi pada yang lebih tua, terlihat seperti terkejut, tetapi lega di saat yang bersamaan. Jemarinya ditarik mundur dan tangannya dikembalikan ke sisi tubuhnya sebelum diangkat untuk membuka pintu menjadi lebih lebar dengan cara menggesernya ke samping, ketika Jungwon melihat ke dalam ruangan, ia mendapati Jake dan juga Gowon yang tengah membantu mencari di sudut-sudut ruangan. Jungwon menoleh lagi pada Sunoo seperti menunggu jawaban dari jawabannya tadi, membuat Sunoo menelan salivanya perlahan sebelum buka suara.

“Di meja seingatku.”

Jungwon mengangguk lalu mengisyaratkan Sunoo untuk kembali masuk sebelum mengekorinya di belakang.

“Berarti harusnya enggak jauh-jauh dari situ,” ujar Jungwon seraya mendekat ke meja tempat Sunoo meletakkan komputernya dan beberapa berkas maupun keperluan lainnya. “Ingat enggak habis itu Sunoo geraknya ke mana?”

“Dental unit,” jawabnya, kali ini gantian mengekori Jungwon yang beralih mendekat ke arah dental unit tempat Sunoo untuk melakukan pemeriksaan maupun tindakan pada pasien.

Sementara Jungwon mulai mengitari dental unit untuk mencari cincin yang sama yang tengah melingkar di jari manisnya, Sunoo hanya berdiam di belakang Jungwon, mengikuti arah gerak yang masih kenakan kemeja kerjanya, walaupun beberapa bagian sudah tampak kusut dan lengannya sudah digulung hingga ke siku. Ia berusaha memproses segala hal yang terjadi—tadinya, sudah bersiap kalau-kalau Jungwon kecewa padanya sebab ia terlalu banyak memenuhi isi kepalanya sampai-sampai menjadi teledor dan menghilangkan benda sakral yang seharusnya ia jaga dengan baik.

Sunoo memerhatikan bagaimana Jungwon dengan sabar mengecek setiap bagian dan sudut tanpa meninggalkan satu senti pun tidak tersentuh oleh kedua matanya. Membuatnya semakin merasa bersalah pada Jungwon—yang kerap kali direpotkan oleh dirinya dan segala hal yang ada di kepalanya sejak hari pertama mereka diperkenalkan satu sama lain. Ini membuat matanya memanas dan mulai mengabur, bahkan ketika Jungwon berdiri tegap dan berbalik ke arahnya dengan senyuman lebar.

“Ketemu.”

Sunoo buru-buru mengerjapkan kedua netranya, menatap Jungwon yang mengangkat cincin yang serupa dengan yang menyelimut jari manisnya dengan apik.

“Ah—” Ia memperhatikan cincin tersebut, kehabisan kalimat untuk diucapkan sebersamaan dengan tenggorokannya yang tercekat.

“Keselip tuh di antara senderan sama tempat duduknya,” kekeh Jungwon, kemudian meraih tangan kanan Sunoo yang bergeming di tempatnya, ”tricky sih memang, kalau enggak betul-betul diselipkan jari ke sana buat cari, enggak bakal ketemu, syukurnya ketemu, ya,” senyum Jungwon dalam ucapannya.

Cincin tersebut diselipkan masuk ke dalam jari manisnya, tempat cincin tersebut seharusnya berada sebelum tiba-tiba hilang, jemari-jemarinya masih berada di atas telapak tangan Jungwon bahkan setelah cincin tersebut melincir dan berdiam nyaman kembali ke pangkal jari manisnya.

“Nanti kita beli tempat cincinnya ya,” ujar Jungwon, mengusak rambut Sunoo setelah menurunkan kembali tangan yang lebih tua ke sisi tubuhnya.

Yang tidak disangka oleh tiga orang lainnya adalah Sunoo yang tiba-tiba membiarkan pertahanannya runtuh dalam hitungan detik dan menubrukkan dirinya ke Jungwon yang sigap menangkap massa tubuh Sunoo yang bergetar dalam peluknya yang otomatis membungkus tubuh yang terasa lebih kecil darinya.

“Sunoo? Hey? Enggak papa, cincinnya ‘kan sudah ketemu.”

Telapak tangannya bergerak mengusap tengkuk yang lebih tua, yang sembunyikan wajahnya di perpotongan pundak Jungwon untuk menyembunyikan tangisnya, kemudian bergerak turun untuk mengusap pundak dan punggung yang lebih tua—gerakan itu dilakukan berulang kali sampai Sunoo meremat sisi-sisi pakaian Jungwon sampai kusut dibuatnya. Namun, tidak masalah, Jungwon tidak keberatan sama sekali apabila Sunoo ingin berpegangan padanya setelah hari-hari beratnya.

Bahkan ketika Jake dan Gowon lempar pandangan berterima kasih padanya sebelum meninggalkan ruangan, Jungwon hanya mampu membalas dengan anggukan singkat, sebab baginya yang paling penting adalah menekankan kehadirannya untuk Sunoo.

Sebab, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sunoo dapat percayakan dirinya ke dalam sebuah reasuransi yang hangat dan nyaman.

Dan Jungwon bisa melawan dunia dengan tangan kosong untuk berikan Sunoo hal tersebut.

“Thank you for doing well today too, let's get you home, okay?”