Panggilannya adalah Tarta.
Yang sebenarnya sudah biasa ia dengar sehari-hari, tetapi entah kenapa ketika seseorang dengan pakaian casual (yang tidak pernah Tartarus lihat, sebab ia lebih banyak jumpai yang bersangkutan dengan scrub atau kemeja formal), panggil namanya setiap hari, entah dengan intensi apapun itu—maka ada satu tombol di dalam dirinya yang melunak dalam sekejap mata.
Mungkin, entah karena pertama kalinya interaksi intens mereka adalah ketika Tartarus menjadi narahubung kelompoknya.
Mungkin juga karena bagaimana ia lihat yang lebih tua darinya tersebut menggigil di hari yang luar biasa panas—kemudian berterima kasih dengan senyuman di wajah pucatnya ketika Tartarus lakukan hal minimum yang dapat dilakukannya.
“Kenapa enggak dimakan, Tarta?”
Mungkin juga karena yang bersangkutan sedang mengunyah makan malam di hadapannya saat ini, menatapnya dengan kedua mata yang membulat seperti anak anjing dan rongga mulut yang menggembung diisi makanan.
“Ini saya makan, dok.” Baru kemudian ia arahkan sesuap nasi goreng kantin rumah sakit itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya perlahan sembari perhatikan bagaimana yang lebih tua menyisihkan sayuran yang tercampur di dalam nasi goreng tersebut dengan susah payah sampai keningnya mengerut karena fokus, membuat Tartarus tarik lagi sebuah sendok baru dari tempatnya.
“Saya permisi, ya, dokter,” ujarnya, seraya bantu Jeniosa menyingkirkan sayuran-sayuran tersebut ke piringnya sendiri, “kenapa enggak dimakan, dok?” tanyanya.
“Enggak suka. Aneh.”
“Gara-gara ini mungkin dokter lebih mudah terkena flu,” ujar Tartarus lagi, masih sembari membantu sosok yang seharusnya menjadi konsulennya di perkuliahan itu, yang kemudian gerakan tangannya berhenti ketika menyadari bahwa ia bisa saja mengutarakan sesuatu yang seharusnya tidak ia ucapkan. “Mohon maaf dokter, saya enggak bermaksud buat meng—”
“Enggak papa,” potong Jeniosa, meletakkan garpu dan sendoknya ke atas piring, “santai saja. Saya juga merasanya begitu, kok, sudah dari dulu juga sebetulnya. Cuman sulit buat saya membiasakan makan sayur.”
Tartarus mengangguk paham seraya bawa beberapa buah kacang polong ke piringnya sebagai sayur terakhir yang ia ambil dari piring yang lebih tua.
“Kata mama saya, kalau begitu harus makan buah, dok.”
“Saya makan buah.”
Tartarus mengangguk lagi, kali ini membiarkan yang lebih tua kembali menyantap makanannya setelah nasi gorengnya bersih dari sayur-sayuran yang berada di sana.
“Saya padahal sudah bilang kalau saya enggak mau merepotkan, dok. Saya betulan ikhlas kok soal itu, 'kan saya juga sekaligus minta maaf.”
“Saya enggak repot dan lagipula kalian sebetulnya juga enggak salah apa-apa, 'kan,” tandas Jeniosa, tatap Tartarus langsung di matanya.
Tartarus menghela napasnya pelan, takut menyinggung konsulennya yang bersikap lebih akrab dari biasanya sejak mengetuk pintu kamar rawat inap kakaknya sekitar setengah jam yang lalu.
“Kalau begini 'kan, dokter jadi sampai ke sini cuman buat tepatin janjinya...,” lirihnya di ujung kalimat. “Saya enggak mau merepotkan, dok,” tambahnya lagi.
“Siapa yang bilang kalau ini kehitung penepatan janji saya?” tanyanya dengan satu alis yang dibawa naik. “Yang itu tetap direncanakan lain kali, ini saya cuman mau mengunjungi kakakmu dan kamu saja,” tambahnya, kemudian masukkan sendok terakhir dari nasi gorengnya ke dalam mulutnya.
“Kalau saya bilang enggak sampai saya lulus juga kayaknya dokter akan coba terus, ya?”
Yang kemudian Tartarus merutuki dirinya sendiri, sebab segala spontanitasnya dalam bercakap-cakap tidak bisa ia tahan pula malam ini.
Tidak bisa tentu ketika yang seharusnya menjadi konsulennya terlihat seperti.... Seperti.... Seperti apa ya. Tartarus pun tidak bisa petakan seperti apa sang dokter di dalam kepalanya sekarang, sebab yang ia pikir adalah bahwa sang dokter dan dirinya saat ini tengah seperti tidak miliki sebuah gap. Sebuah ruang yang seharusnya begitu jauh dan tidak mungkin mampu Tartarus isi untuk saat ini.
Tidak bisa tentu ketika tangannya secara otomatis ambil alih botol air mineral dari tangan yang lebih tua dan buka tutupnya dengan mudah sebelum dikembalikan hanya karena yang lebih tua kesulitan untuk membukanya.
Tidak bisa tentu saja ketika nasi goreng di hadapannya tidak lagi terlihat menarik sebab perutnya sudah terasa kenyang menonton teman makannya mengunyah setiap butir nasi yang masuk ke dalam mulutnya.
“Ya namanya juga janji, 'kan tidak boleh ingkar, Tarta.”
“Saya cuman enggak enak, dokter,” jawabnya, perhatikan raut wajah yang lebih tua, “saya 'kan cuman koas, dokter konsulen saya, saya enggak enak kalau kelihatannya saya melampaui batas.”
Panggilannya adalah Tarta.
Panggilan itu sudah miliaran kali sapa indra pendengarannya semenjak ia sudah pahami arti namanya sendiri.
“Tarta.”
Tartarus balas tatap yang disorot lurus ke arah matanya langsung, perhatikan perubahan ekspresi wajah yang lebih tua, terlihat lebih serius, dan juga—tidak senang.
“Iya, dokter?”
“Enggak. Saya cuman mau pastikan kalau saya tetap masih hutang janji ke kamu, ya. Yang malam ini anggap saja saya lagi mampir.”
“Dok—”
“Ayo balik, kasian kakakmu kalau kamu saya pinjam terlalu lama dan saya harus kembali praktik.”
Panggilannya adalah Tarta.
“Sampai ketemu nanti lagi, ya, Tarta.”
Dan panggilan tersebut tidak pernah terasa lebih menyenangkan lagi ketika sebuah senyuman menggantung sembari namanya mengudara di parkiran rumah sakit malam itu.