fluctuius

i leave my thoughts here.

Panggilannya adalah Tarta.

Yang sebenarnya sudah biasa ia dengar sehari-hari, tetapi entah kenapa ketika seseorang dengan pakaian casual (yang tidak pernah Tartarus lihat, sebab ia lebih banyak jumpai yang bersangkutan dengan scrub atau kemeja formal), panggil namanya setiap hari, entah dengan intensi apapun itu—maka ada satu tombol di dalam dirinya yang melunak dalam sekejap mata.

Mungkin, entah karena pertama kalinya interaksi intens mereka adalah ketika Tartarus menjadi narahubung kelompoknya.

Mungkin juga karena bagaimana ia lihat yang lebih tua darinya tersebut menggigil di hari yang luar biasa panas—kemudian berterima kasih dengan senyuman di wajah pucatnya ketika Tartarus lakukan hal minimum yang dapat dilakukannya.

“Kenapa enggak dimakan, Tarta?”

Mungkin juga karena yang bersangkutan sedang mengunyah makan malam di hadapannya saat ini, menatapnya dengan kedua mata yang membulat seperti anak anjing dan rongga mulut yang menggembung diisi makanan.

“Ini saya makan, dok.” Baru kemudian ia arahkan sesuap nasi goreng kantin rumah sakit itu ke dalam mulutnya, mengunyahnya perlahan sembari perhatikan bagaimana yang lebih tua menyisihkan sayuran yang tercampur di dalam nasi goreng tersebut dengan susah payah sampai keningnya mengerut karena fokus, membuat Tartarus tarik lagi sebuah sendok baru dari tempatnya.

“Saya permisi, ya, dokter,” ujarnya, seraya bantu Jeniosa menyingkirkan sayuran-sayuran tersebut ke piringnya sendiri, “kenapa enggak dimakan, dok?” tanyanya.

“Enggak suka. Aneh.”

“Gara-gara ini mungkin dokter lebih mudah terkena flu,” ujar Tartarus lagi, masih sembari membantu sosok yang seharusnya menjadi konsulennya di perkuliahan itu, yang kemudian gerakan tangannya berhenti ketika menyadari bahwa ia bisa saja mengutarakan sesuatu yang seharusnya tidak ia ucapkan. “Mohon maaf dokter, saya enggak bermaksud buat meng—”

“Enggak papa,” potong Jeniosa, meletakkan garpu dan sendoknya ke atas piring, “santai saja. Saya juga merasanya begitu, kok, sudah dari dulu juga sebetulnya. Cuman sulit buat saya membiasakan makan sayur.”

Tartarus mengangguk paham seraya bawa beberapa buah kacang polong ke piringnya sebagai sayur terakhir yang ia ambil dari piring yang lebih tua.

“Kata mama saya, kalau begitu harus makan buah, dok.”

“Saya makan buah.”

Tartarus mengangguk lagi, kali ini membiarkan yang lebih tua kembali menyantap makanannya setelah nasi gorengnya bersih dari sayur-sayuran yang berada di sana.

“Saya padahal sudah bilang kalau saya enggak mau merepotkan, dok. Saya betulan ikhlas kok soal itu, 'kan saya juga sekaligus minta maaf.”

“Saya enggak repot dan lagipula kalian sebetulnya juga enggak salah apa-apa, 'kan,” tandas Jeniosa, tatap Tartarus langsung di matanya.

Tartarus menghela napasnya pelan, takut menyinggung konsulennya yang bersikap lebih akrab dari biasanya sejak mengetuk pintu kamar rawat inap kakaknya sekitar setengah jam yang lalu.

“Kalau begini 'kan, dokter jadi sampai ke sini cuman buat tepatin janjinya...,” lirihnya di ujung kalimat. “Saya enggak mau merepotkan, dok,” tambahnya lagi.

“Siapa yang bilang kalau ini kehitung penepatan janji saya?” tanyanya dengan satu alis yang dibawa naik. “Yang itu tetap direncanakan lain kali, ini saya cuman mau mengunjungi kakakmu dan kamu saja,” tambahnya, kemudian masukkan sendok terakhir dari nasi gorengnya ke dalam mulutnya.

“Kalau saya bilang enggak sampai saya lulus juga kayaknya dokter akan coba terus, ya?”

Yang kemudian Tartarus merutuki dirinya sendiri, sebab segala spontanitasnya dalam bercakap-cakap tidak bisa ia tahan pula malam ini.

Tidak bisa tentu ketika yang seharusnya menjadi konsulennya terlihat seperti.... Seperti.... Seperti apa ya. Tartarus pun tidak bisa petakan seperti apa sang dokter di dalam kepalanya sekarang, sebab yang ia pikir adalah bahwa sang dokter dan dirinya saat ini tengah seperti tidak miliki sebuah gap. Sebuah ruang yang seharusnya begitu jauh dan tidak mungkin mampu Tartarus isi untuk saat ini.

Tidak bisa tentu ketika tangannya secara otomatis ambil alih botol air mineral dari tangan yang lebih tua dan buka tutupnya dengan mudah sebelum dikembalikan hanya karena yang lebih tua kesulitan untuk membukanya.

Tidak bisa tentu saja ketika nasi goreng di hadapannya tidak lagi terlihat menarik sebab perutnya sudah terasa kenyang menonton teman makannya mengunyah setiap butir nasi yang masuk ke dalam mulutnya.

“Ya namanya juga janji, 'kan tidak boleh ingkar, Tarta.”

“Saya cuman enggak enak, dokter,” jawabnya, perhatikan raut wajah yang lebih tua, “saya 'kan cuman koas, dokter konsulen saya, saya enggak enak kalau kelihatannya saya melampaui batas.”

Panggilannya adalah Tarta.

Panggilan itu sudah miliaran kali sapa indra pendengarannya semenjak ia sudah pahami arti namanya sendiri.

“Tarta.”

Tartarus balas tatap yang disorot lurus ke arah matanya langsung, perhatikan perubahan ekspresi wajah yang lebih tua, terlihat lebih serius, dan juga—tidak senang.

“Iya, dokter?”

“Enggak. Saya cuman mau pastikan kalau saya tetap masih hutang janji ke kamu, ya. Yang malam ini anggap saja saya lagi mampir.”

“Dok—”

“Ayo balik, kasian kakakmu kalau kamu saya pinjam terlalu lama dan saya harus kembali praktik.”

Panggilannya adalah Tarta.

“Sampai ketemu nanti lagi, ya, Tarta.”

Dan panggilan tersebut tidak pernah terasa lebih menyenangkan lagi ketika sebuah senyuman menggantung sembari namanya mengudara di parkiran rumah sakit malam itu.

mengubur diri adalah opsi pertama saat ini.

jungwon tidak pernah merasa malu yang dalam artian sangat malu sekarang ini. yang sampai rasa-rasanya mau bersembunyi tiga ratus tahun pun, seperti bagaimana sejarah mencatat kependudukan belanda di indonesia, hal tersebut tidak akan membuatnya bisa berhenti untuk merasa malu.

bertingkah membuat dirinya sendiri berada di posisi yang dapat dihadiahi kernyitan heran ataupun tawa jenaka bukan sesuatu yang baru untuk ia lakukan.

toh, menghibur orang termasuk dalam deskripsi pekerjaannya sebagai seorang public figure.

namun, untuk dua kali bertingkah memalukan di hadapan seseorang yang bahkan namanya tidak ia kenal?

rasa-rasanya, bukan bagiannya untuk bertingkah seperti badut.

kehadiran si rambut pirang yang buatnya kirimkan pesan heboh dan belepotan seperti anak kecil baru belajar mengetik itu hadir sembari peluk tablet dengan case berwarna biru muda yang begitu kontras dengan warna pakaiannya hari itu (sebenarnya pun, jungwon tidak perhatikan pakaian si rambut pirang itu seperti apa dan berwarna apa).

sebab, bulan lalu, di pesta dengan ruangan yang penerangannya tidak mendukung sama sekali itu, ia dapat ingat dengan jelas wajah yang bersurai pirang. wajah yang tampakkan ekspresi bingung bahkan ketika ia dibawa menjauh dalam sebuah sentuhan yang lewat dalam selayang pandang di pinggangnya.

“halo, maaf ganggu waktunya, aku diminta checking up on our face for the whole next 6 months,” ujar si rambut pirang, seraya mengintip dari balik pintu ruang rias.

ponselnya buru-buru dimatikan dan diletakkan di atas meja setelah mengirimkan pesan-pesan panik pada manajernya yang bisa ia dengar tawanya dari dalam sini.

kehadiran dari si rambut pirang secara mendadak siang hari itu mampu buatnya yang bisa hipnotis lensa manapun itu menjadi lebih gugup dan lakukan kesalahan-kesalahan kecil yang jarang dilakukan. bahkan, membuatnya berkeringat lebih banyak sampai-sampai tim penata rias itu harus menambahkan pulasan pada wajahnya lebih cepat dari biasanya.

“halo.” jungwon menyapa balik kepada yang berjalan masuk ke dalam ruangan, ia perhatikan lamat-lamat pantulan si pirang pada kaca besar di ruang rias, yang sekarang tidak lagi terasa samar di wajahnya di memori jungwon. “though i don't know your name,” tambahnya lagi.

“oh, maaf,” ia terkekeh kecil dengan sebuah senyum apologetik di wajahnya, “thought you already know my name because i do remember that a month ago you're actually dragging me to rooftop after saying that we might onto something, or am i being delusional?”

skakmat.

jungwon tidak miliki satu titik pun keberanian untuk tatap pantulannya sendiri pada kaca di depan wajahnya, sebab ia akan melebur ke dalam kursi tempatnya bersandar ketika sadar sememalukan apa kondisinya saat ini.

“but that's o—”

“enggak. aku sebetulnya ingat kamu, the thing is i don't know your name or do i miss out when you tell me your pretty name?”

and that slipped out just like that.

ada tawa kecil mengudara sekali lagi dan jungwon bisa rasakan bagaimana kepalanya tiba-tiba beputar seperti mengikuti arah rotasi bumi sekarang, yang tidak ia mengerti atau mungkin ia hanya sedang menyangkal bahwa kepalanya sakit karena 1) hadirnya si surai pirang ini; 2) tawa si surai pirang ini; atau 3) bagaimana rayuan murahannya itu bisa sebabkan pipi si surai pirang sama merahnya dengan miliknya sekarang.

“not as pretty as you, if i supposed to say.”

jungwon rasa sebentar lagi jantungnya akan meluncur keluar melalui kerongkongannya sebab ia rasakan perutnya juga melilit kuat dengan sensasi menggelikan yang mampir kembali di sana.

“jadi?”

ada abai sebentar di sana ketika sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya, yang membuat jungwon perhatikan gerak-gerik si surai pirang dalam membalas apapun pesan yang masuk ke dalam ponselnya, bahkann ketika penata riasnya sudah meninggalkan mereka berdua di ruangan tersebut.

“maaf, kayaknya kita harus melanjutkan obrolannya nanti,” ujarnya setelah menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku celana berwarna khaki (oh, puji Tuhan, akhirnya pikirannya sudah jernih untuk identifikasi warna pakaian orang lain). “ada sesuatu yang harus aku urus bersama kak sejin di luar, i'll watch you later, okay, mr. pretty supermodel?”

“namaku yang jungwon.”

“aku tahu, kok,” jenakanya, ketika ia berbalik dan melenggang menuju pintu ruang rias dan menekan knopnya ke bawah untuk membuka pintu tersebut, sebelum kepalanya dibawa mengintip ke balik pundak tanpa memutar tubuhnya. jungwon perhatikan semua gerak-gerik tersebut dari pantulan cermin besar di hadapannya. “selesaikan pekerjaanmu dengan baik, oke? supaya setelah itu kamu bisa mengobrol denganku daripada harus curi-curi pandang seperti tadi.”

pintu dibuka lebih lebar dan seringai di wajah jungwon terlihat seperti sebuah senyuman bodoh ketika semuanya terasa menggema di dalam kepalanya dan yang bisa ia dengar hanya sebuah kalimat yang hilang ditelan suara pintu yang berdebum menutup di belakang tubuhnya.

“namaku kim sunoo, omong-omong.”

Netranya tidak pernah punya memori tentang warna-warni gemerlap lampu pasar malam.

Sunoo tumbuh dengan banyak keistimewaan. Hadir sebagai anak tunggal dari pasangan pebisnis, ia tumbuh besar dengan segala hal yang sudah disediakan dalam segala versi terbaik untuknya.

Keistimewaan itu hadir dengan sebuah kekang yang linear dalam membentuk hidupnya.

Keistimewaan itu hadir dengan sebuah hidup yang tercipta dari segala setir yang diarahkan oleh kedua orang tuanya.

Sunoo tidak pernah protes, pun mempertanyakan tentang hal-hal tersebut. Sesederhana “mengapa teman-temanku bisa pulang lebih malam untuk bersenang-senang sedangkan aku akan dijemput tepat pukul enam sore” pun tidak pernah terbesit di kepalanya apalagi terlontar sebagai sebuah tuntutan pertanyaan. Sebab, ia tumbuh besar percaya, bahwa apapun yang dilakukan orang tuanya untuk dirinya, selalu menjadi pilihan yang terbaik untuknya.

Tidak pernah pula ia mencoba lakukan hal-hal yang tidak pernah diizinkan tersebut dengan sembunyi-sembunyi. Hingga acap kali orang-orang melabelinya sebagai seorang yang membosankan.

Pertama kalinya ia mulai diperbolehkan turut memegang setir hidupnya adalah ketika ia duduk di bangku perkuliahan. Mungkin karena seiring bertambahnya hari, kedua orang tuanya semakin sibuk dengan apa yang menjadi pekerjaan mereka, sehingga perlahan Sunoo dibiarkan turut ambil andil dalam mengatur-atur hidupnya sendiri. Meskipun ia tetap membiarkan kedua orang tuanya kelak ambil tujuh puluh lima persen keputusannya, setidaknya, ia pikir, bahwa ia masih berhak untuk tentukan dua puluh lima persen hidupnya.

“Ayah ingin nikahkan kamu dengan anak teman ayah dulu.”

Atau mungkin, ia pikir lagi, dua puluh lima persen hidupnya itu kembali direnggut dan ia tidak miliki hak apapun lagi atas apa yang ia inginkan dalam hidupnya. Sehingga, ketika ia pikir menikah dengan orang pilihan orang tuanya adalah titik kembalinya ia ke dalam hidup yang tidak pernah ia nahkodai, maka ia tidak akan pernah sangka bahwa justru sekarang ia diperbolehkan nahkodai hidupnya sendiri.

Sistem hidupnya yang sebelumnya adalah melanjutkan hidup seperti apa yang diajarkan orang tuanya, perlahan berubah dengan sebuah kata boleh yang sederhana terlontar dari teman hidupnya sekarang.

Sehingga, ketika ia dikenalkan pada hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah seujung jari pun ia cicip menyenangkannya, begitu banyak buncahan yang meledak-ledak di dalam dadanya. Yang antarkan segala endorfin untuk berada pada seluruh tubuhnya, mendorongnya untuk terus-terusan merasa bahagia dan hidup.

Ajakan-ajakan makan siang yang mengeksplor berbagai menu makanan sedikit banyak mengajarkannya bahwa masih banyak hal-hal di luar sana yang belum ia coba dan lucunya adalah ada sebuah tangan yang terulur untuk ajak ia mencoba hal-hal tersebut.

Tukar pesan yang acap kali terjadi dengan isi selamat bekerja, ya yang entah bagaimana menjadi sebuah rutinitas sedikit banyak mengajarkannya bahwa afeksi bisa datang dari sebuah hal sederhana yang memberikan nuansa baik dalam hari itu.

Cara-cara menyenangkan dalam menyelipkan hidupnya ke dalam hidup yang lain pun juga sama besar pengaruhnya terhadap hidupnya sekarang ini.

“Haloooo? Bumi kepada Sunoo?”

Dalam beberapa bulan sejak ia merasa kini ia diperbolehkan setir sendiri hidupnya, banyak ajakan petualangan pada hal-hal baru yang menyenangkan untuknya. Yang tentu dengan senang hati ia sambut sebagai satu cara baginya untuk jejakkan kaki telanjangnya di atas rerumputan dunia.

“Pulang yuk?”

Sunoo tumbuh dan percaya bahwa apa yang dilakukan oleh orang di sekitarnya, untuknya, adalah pilihan-pilihan paling yang baik untuk hidupnya. Agar ia bisa tetap hidup sebagaimana manusia menjalani harinya.

Sunoo tumbuh bukan dengan pola pikir bahwa apa yang dilakukan orang-orang untuknya adalah sebuah bentuk afeksi yang dibagi karena hadirnya kasih sayang untuknya. Sebab, yang ia tahu adalah apa yang diberikan kepadanya selama ini hanyalah apa yang sewajibnya diberikan kepadanya.

Sebuah tangan diulurkan kepadanya yang masih duduk mendongak tatap sosok tersebut.

Sehingga ia pikir, mungkin memang dirinya tidak pantas untuk kasih sayang-kasih sayang yang dicurahkan tersebut.

“Yuk? Makin malam makin ramai, kita susah lawan arus manusia di sini.” Sebuah gestur penegasan agar uluran tangan itu disambut dilakukannya.

Namun, mungkin untuk kali ini, ia tidak ingin setir kemana hidupnya akan berjalan. Mungkin, untuk kali ini, membiarkan hidupnya berjalan sesuai intuisinya bersama orang ini tidak terdengar seburuk itu. Sebab, risiko bagaimana kedepannya bisa dipikirkan belakangan nanti.

Tangannya sambut uluran tersebut dan ada hangat yang lingkupi selama perjalanan pulang menuju rumah.

“Latte-nya satu ya, kak.”

Dengan sabar, sembari jemarinya bolak-balik menggulir layar ponselnya, Sunoo mengantre di belakang seseorang dengan jaket denim yang betah dikenakan bahkan ketika mentari bersinar terik di luar sana.

“Minum di sini aja, kak. Bisa cashless kan?”

Ia mengangkat kepalanya dari layar ponselnya ketika ia dengar orang di depannya sudah melakukan pembayaran dan bergeser untuk pergi dari kasir, sehingga itu adalah tanda bahwa gilirannya datang.

Kopi bukan sesuatu yang dapat diterima dengan ramah oleh perutnya, walaupun ia sedikit rindukan rasa kafein tersebut untuk bercumbu dengan lidahnya, ia masih sedikit lebih menyayangi perutnya dan juga setumpuk revisi dari klien yang haruus ia kerjakan.

“Chamomile tea-nya satu untuk take away ya, kak. Aku bayar cash saja,” ujarnya sembari mengeluarkan beberapa lembar uang yang mencapai nominal dari pesanannya. Setelah ia menerima struk bukti pembayarannya, ia menyingkir untuk berdiri menunggu bersama beberapa orang sembari kembali menggulir layar ponselnya.

Sesekali ia tersenyum setiap kali percakapan-percakapan konyol dilontarkan pada grup kantornya yang sedari tadi sibuk ia baca. Membuat dirinya tidak begitu mendengarkan ketika namanya dipanggil untuk ketiga kalinya—

“Chamomile tea atas nama Kim Sunoo!”

“Coffee latte atas nama Yang Jungwon!”

—bersamaan dengan nama lain yang juga dipanggil dengan nyaring.

Yang kemudian membuatnya buru-buru mematikan layar ponselnya dan dimasukkan ke dalam saku celana sebelum ia bergegas menuju area dengan tanda pick-up here, berterima kasih kepada pegawai yang memberikan pesanannya kemudian berbalik untuk meninggalkan kafe.

“Ah, maaf. Aku tidak memperhatikan jalan,” ujarnya, ketika setelah ia berbalik dan melangkah beberapa kali, bahunya tidak sengaja tabrak seseorang yang berjalan berlawanan arah dengannya.

“Enggak apa. Aku juga minta maaf ya.” Orang tersebut tersenyum setelah Sunoo menganggukkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya menghilang ke balik punggung Sunoo yang juga turut lakukan hal yang sama.

“Kak, tadi latte atas nama Yang Jungwon, ya?”

Adalah hal samar terakhir yang tidak berarti apa-apa yang terdengar di telinga Sunoo sebelum pintu kaca kafe siang itu menutup di belakang punggungnya.


“Aku butuh bunganya untuk diberikan sebagai ucapan cepat sembuh, bisa tolong buatkan satu buket?”

Ia tidak terlalu memperhatikan ketika bel pintu pertanda ada pembeli lain yang masuk ke dalam toko bunga kecil ini berbunyi. Mungkin, ia terlalu asik memerhatikan bunga-bunga yang berwarna-warni. Mungkin pula, ia terlalu sibuk memilih yang paling cantik di antara bunga-bunga tersebut untuk diberikan pada cinta yang baru ia sadari. Ia tidak terlalu memperhatikan sampai-sampai sayup percakapan antara pemilik toko bunga tersebut dengan pembeli lainnya tersebut baru saja terdengar oleh indranya sekarang.

“Yang sederhana saja, enggak perlu terlalu megah, ini cuman teman kantor biasa.”

Yang kemudian, ia rasa, ia tidak perlu terlalu mencampuri urusan orang lain dan lebih baik fokus pada apa yang ia inginkan. Dirinya mungkin tidak terlalu mengerti tentang bunga dan bahasa yang ada di baliknya, tetapi ia yakin, bunga akan selalu menyenangkan jika didapatkan dari orang terkasih—sehingga, ia ingin turun tangan sendiri untuk memilih bunga-bunga untuk dirangkai menjadi sebuah buket.

Tungkai-tungkainya yang melangkah bebas tersebut membawanya berputar kembali ke meja kasir, dimana pelanggan selain dirinya itu tengah menunggu sebuah buket sederhana yang tengah difinalisasi oleh florist toko ini untuk diberikan kepadanya sebelum melakukan pembayaran. Sementara, ia kembali berjalan menjauh untuk mengitari toko ini sekali lagi untuk mengambil bunga-bunga yang ia inginkan dan dibawa kepada florist yang akan membantunya untuk tahap selanjutnya.

“Nama pengirimnya cukup Kim Sunoo saja, iya betul begitu.”

Setelah ada ucapan terima kasih yang saling membalas sebanyak tiga kali dan langkah dirinya sendiri yang sudah mengitari toko ini hampir tiga kali banyaknya, ia bisa dengar suara langkah kaki lain yang mendekat dan berlalu di depannya dengan eksistensi seseorang yang memeluk erat buket bunga penuh dengan warna cerah yang didominasi dengan warna kuning cerah.

Senyumannya terkembang lebar sembari hirup salah satu bunga yang ada di dekat hidungnya.

Ia melangkah menuju kasir dengan buru-buru kemudian berujar—

“Boleh bantu aku dengan satu buket Yarrow persis seperti orang tadi?”

—bersamaan dengan bel pintu yang bergemerincing ribut sekali lagi.

“Kartunya atas nama Yang Jungwon, thank you.”


“Aku lagi belanja bulanan, tahu. Lagipula kenapa bisa sih filenya hilang?”

Jungwon mengangkat kepalanya dari fokus yang sedang membaca komposisi pada bungkusan makanan instan di tangannya sekarang, ia memperhatikan bagaimana orang yang suaranya menarik perhatiannya tersebut tengah berdiri tidak jauh dari dirinya dengan ponsel yang dijepit di antara pundak dan telinga kanannya, sebab kedua tangannya sibuk membandingkan dua buah produk dari makanan instan yang diambil dari rak di hadapan mereka.

“Makanya jangan ceroboh, ah, aku kirim kalau aku sudah di rumah, ya.”

Surai kuningnya jatuh menutupi salah satu matanya, yang membuatnya meringis sebelum kemudian letakkan satu produk dari tangan kirinya kembali ke rak sebelum menyingkirkan anak rambut tersebut dan kemudian mengambil produk dari tangan kanannya agar ia kini bisa memegangi ponselnya dengan benar.

“Iyaaa, aku kirim segera setelah ini, lima belas menit, makanya jangan ganggu aku dulu biar aku cepat selesai.”

Bibirnya mencebik seraya ia membolak-balik kemasan di tangannya entah untuk tujuan apa sebelum diletakkan ke dalam troli belanjanya. Yang membuat Jungwon penasaran mengapa orang tersebut kembali menimbang-nimbang produk yang tadi telah ia letakkan ke dalam troli dengan produk lainnya yang baru ia ambil kembali dari rak.

“Mau mampir ke rumah? Boleh aja, sih,” ujarnya lagi. “Tapi aku enggak masak, ya, lagi pengen kwetiau instan, aku cuman beli ini di sini.” Akhirnya, produk yang sedari tadi ditimbang-timbang tersebut turut dimasukkan ke dalam troli yang didorongnya menjauh dari sana, berjalan melewatinya yang masih memperhatikan rak makanan instan itu bergantian dengan si surai kuning yang berlalu menjauh raib ditelan rak-rak tinggi supermarket tersebut setelah satu kalimat terakhir melintas di indra pendengarannya.

“Kalau dunia besok berakhir, kwetiau instan ini bakal jadi makanan terakhir yang aku makan.”


“Menurutmu, apakah di kehidupan selanjutnya, aku akan menemukanmu melalui hal-hal konyol seperti ini lagi?”

Ada tawa yang lepas di sana seraya tubuhnya diayun memutar.

“Menurutku, mungkin, kita akan menemukan satu sama lain melalui cara-cara sederhana yang bisa terjadi di dunia ini.”

“Soal sikat gigi—”

Sunoo mengurungkan niatnya untuk meraih knop pintu kamar dan menoleh pada Jungwon yang berada di sisi seberang dari kamarnya. Ia memperhatikan bagaimana Jungwon terlihat menimbang-nimbang apa yang akan ia katakan ketika salah satu jari pada tangannya yang melingkupi knop pintunya sendiri mengetuk-ngetuk benda berwarna perak tersebut. Sehingga, ia membiarkan Jungwon berkontemplasi sendiri di dalam pikirannya, membiarkan yang lebih muda menyusun kata-katanya untuk diucapkan.

“—sebetulnya aku sudah lama mau bertanya soal....” Ia berhenti sejenak untuk memikirkan kata-kata, “benang gigi? Dental floss?” Sunoo mengangguk untuk memberikan reasuransi bahwa apa yang dikatakan lawan bicaranya betul. Ada senyuman tipis yang tersungging di wajahnya, “iya soal itu. Cara pakainya yang benar seperti apa, ya? Aku pernah coba, tapi gusiku jadi berdarah, jadinya enggak pernah aku lakukan lagi.”

Sunoo ikut tersenyum, “mau aku bantu ajari?”

“Boleh, kalau kamu berkenan dan enggak sibuk.”

“Boleh. Habis ini aku ke kamarmu, ya.”

Buru-buru Jungwon mengangguk sebagai tanda mengiyakan. Yang setelah Sunoo menghilang masuk ke dalam kamarnya, ia pun turut ikut masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk menyiapkan keperluannya dalam menyikat gigi. Yang kalau setelahnya langkahnya dibawa buru-buru kembali untuk membukakan pintu ketika ia dengar ketukan sebanyak tiga kali dari pintu kamarnya—maka, Jungwon tidak mampu bedakan apa yang lebih menyenangkan antara mendengar ketukan yang pertama kali ia dengar di depan pintu atau bagaimana cara Sunoo memegang segulung dental floss dan gelas berisikan sikat giginya.

“Pasta gigi kemarin masih ada 'kan?”

Jungwon mengangguk. “Banyak,” ujarnya sembari membukakan pintu kamar lebih lebar untuk mempersilakan yang lebih tua untuk melangkah masuk.

Segulung benang tipis berwarna putih itu diletakkan Sunoo pada rak kecil di depan kaca pada wastafel kamar mandi yang lebih muda, sementara ia menyalakan keran air untuk membasahi bulu sikatnya dan memperhatikan Jungwon yang melakukan hal yang sama setelahnya.

“Tolong pastanya,” ujar Sunoo, yang buru-buru Jungwon raih pasta gigi tersebut dan serahkan padanya. “Kalau pakai pasta gigi itu enggak perlu sepanjang bulu sikatnya,” jelas Sunoo seraya memposisikan tubuhnya sedikit menyerong agar Jungwon bisa lihat apa yang ia lakukan, “pea-sized sudah cukup banget, terus makainya agak ditekan masuk ke antara bulu sikatnya, jadi pastanya enggak nemplok jatuh,” ujar Sunoo, tertawa kecil ketika dilihatnya Jungwon mengerutkan keningnya dan berusaha lakukan instruksinya sebagaimana ia juga melakukannya tadi.

“Oke, sudah. Ini aku sekalian dapat tutorial sikat gigi yang benar, ya?”

“Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui,” celetuk Sunoo, kemudian mengarahkan sikat giginya ke arah mulut, kemudian memberikan instruksi kembali, “dimulai dari depan dulu, sikatnya satu arah aja dari merah ke putih alias gusi ke gigi atau atas ke bawah.” Sunoo memberikan contoh dengan menggerakkan sikatnya yang sengaja tidak dikenakan pads giginya dari gusi ke arah giginya.

“Yang belakang juga sama,” tambahnya, yang kemudian mengangguk ketika Jungwon menatapnya dengan isyarat apakah boleh ia lakukan saat itu juga, “kalau sudah semua sisi depan gigi bagian atas dan bawah, baru permukaan kunyah atas dan bawah juga, tarik dari belakang ke depan, jangan dibolak-balik,” ujarnya, kali ini tanpa memperagakan sebab Jungwon sudah lakukan dengan benar.

“Baru dengan gerakan mencongkel di sisi dalam, bisa eng—” Sunoo menghentikan ucapannya ketika Jungwon kembali lakukan instruksinya dengan benar.

“Gwinhi?” tanyanya dengan mulut penuh busa dan sikat gigi yang masih ada di dalam mulut.

Sunoo tertawa sembari mengangguk dan mengambilkan air dari gelas milik yang lebih muda, membiarkan Jungwon berkumur sampai selesai.

“Kayak lagi ngajarin Jia.” Sunoo tertawa ketika Jungwon merengut nama itu meluncur dari bibirnya.

“Aku cepat pahamnya daripada anak kecil, tau.”

Sunoo tertawa semakin lebar, tentu saja Jungwon, laki-laki dewasa berusia 27 tahun tidak ingin disamakan dengan seorang anak yang bahkan belum genap menyentuh 5 tahun usianya.

“Jia juga pahamnya cepat, loh,” ledek Sunoo sekali lagi menggunakan nama keponakan satu-satunya itu, yang membuat Jungwon semakin menekuk bibirnya tidak terima dan berhasil ledakkan tawanya sekali lagi.

(Jungwon menikmati semua ini diam-diam.)

“Kamu potong dulu benangnya, aku sikat gigi dulu.” Jungwon membiarkan Sunoo menyikat giginya terlebih dahulu seraya ia menarik benang dari gulungan yang dibawakan Sunoo tadi. Ia memperhatikan bagaimana Sunoo menyikat giginya perlahan sampai berakhir dengan berkumur sebanyak dua kali.

“Do dentist always did this?”

“Sikat gigi?” tanya Sunoo bingung seraya meletakkan sikat giginya di dalam gelas yang sudah kosong, “semua orang juga sikat gigi, 'kan....”

“Enggak.” Ia menjawab cepat, sebelum menunjukkan benang yang sudah ia ambil, “segini cukup?”

“Cukup,” ujar Sunoo kemudian meminta benang tersebut dari tangan Jungwon, “yang penting kalau difiksasi di tangan kayak gini—” Sunoo melilitkan sedikit bagian benang pada kedua jari telunjuknya yang kemudian dijepit dengan ibu jarinya, “—dia tetap ada area supaya bisa masuk ke sela-sela gigi. Omong-omong, sebetulnya lebih baik flossing dulu sebelum sikat gigi, tapi enggak masalah, habis ini bisa berkumur lagi aja.”

“Oke, terus kalau sudah—” Sunoo dengan ragu melirik ke sekitarnya, “—uhm, boleh enggak kalau aku duduk di wastafel supaya aku bisa—”

“Boleh.”

Dengan satu kata afirmasi tersebut, Sunoo dapati dirinya tersenyum kecil, yang membawanya untuk beralih segera memosisikan dirinya seperti yang diinginkan, dengan bantuan Jungwon yang memegangi satu tangannya ketika ia beranjak duduk di pinggiran wastafel yang dilapisi marmer tersebut, ia berterima kasih dengan suara kecil pada Jungwon sebelum meminta yang lebih muda untuk lebih mendekat ke arahnya.

“Inti dari flossing itu 'kan untuk membersihkan di sela-sela gigi sampai bagian dekat gusi, 'kan, supaya enggak numpuk makanan atau hal lainnya di sana yang bisa bikin kal—karang gigi maksudku.” Sunoo mengisyaratkan kembali pada Jungwon untuk membuka mulutnya, “aku permisi, ya, Jungwon,” ujarnya seraya menahan napas ketika hembusan napas Jungwon menerpa langsung ke kedua tangannya yang memegangi benang tersebut.

Setelah yang lebih muda mengangguk, baru Sunoo mengarahkan benang tersebut ke arah sela-sela gigi yang sedang diajari dengan perlahan. “Enggak usah beri pressure berlebih, intinya sampai bisa tarik yang kotor aja di antara gigi dan gusi ini, jadi memang harus masuk sedikiiiiiit banget,” ujarnya, fokus pada benang yang diarahkan semakin dekat dengan gusi. “Tekanannya ringan aja, supaya enggak berdarah,” tambahnya.

Jungwon memperhatikan bagaimana kedua tangan tersebut bergerak perlahan sembari fokusnya tertuju pada rongga mulut Jungwon sekarang.

“Terus—” Sunoo melanjutkan, membuat fokus Jungwon memerhatikannya ikut tertarik kembali ke cara melakuka dental flossing yang menjadi agenda malam ini, “tarik deh ke arah luar alias bawah untuk gigi atas, dan atas untuk gigi bawah. Tariknya zigzag begini,” final Sunoo seraya melakukan sesuai instruksinya, dan menarik benang tersebut keluar dari rongga mulutnya.

“Sudah, deh.” Sunoo berujar dengan berbisik sembari tersenyum padanya, yang membuat Jungwon terdiam di tempatnya sekarang, dengan posisi ia tepat berada di depan tubuh Sunoo yang tengah duduk di pinggiran wastafel kamar mandinya membelakangi dari cermin kecil di sana. Tubuhnya sendiri sedikit condong ke depan untuk mempermudah Sunoo meraih area yang diinginkan untuk mengajarinya.

“Terima kasih—” diucapkan dengan pelan di bawah napasnya, yang bahkan tidak disadari telah terjadi semenjak tadi, atau mungkin ia memang terlalu fokus sehingga tidak menyadari bagaimana otot lehernya pegal karena tegang yang menarik.

“Terima kasih kembali.”

Atau mungkin ia memang terlalu fokus pada bagaimana napas yang lebih tua sesekali menerpa wajahnya dengan intimasi jarak yang dipangkas hampir habis malam ini.

(Mungkin juga, bagaimana kedua tangannya berada di sisi-sisi tubuh yang lebih tua, cengkram kuat sisi wastafel—entah kenapa.)

Pemandangan yang pertama kali menyapanya ketika pintu kamarnya dibuka adalah Sunoo dengan kacamata yang bertengger di wajahnya, tengah duduk di salah satu kursi meja makan, dengan tablet miliknya yang terlihat menjadi satu-satunya pusat dunianya sekarang.

Akan tetapi, ketika mendengar bunyi pintu menutup yang berasal dari pintu kamar Jungwon, kepalanya didongakkan untuk kemudian bertemu tatap dengan kedua manik Jungwon. Ada senyuman kecil di wajahnya, walaupun Jungwon bisa lihat pula ada sorot lelah di kedua mata yang dinaungi dengan kacamata malam ini.

“Kamu ngopi jam segini?” tanya Jungwon ketika langkahnya dibawa mendekat pada meja makan, kemudian mendaratkan bokongnya pada satu-satunya kursi lain yang kosong di sana.

“Iya, kepengen,” ujarnya, “hari ini aku belum minum kopi,” tambahnya, kemudian jemarinya yang tadi melingkupi pensil untuk menuliskan sesuatu di tabletnya bergerak untuk membuka kotak makanan yang berisikan kue berwarna cokelat yang ditawarkan Sunoo melalui percakapan mereka di ponsel beberapa menit yang lalu.

“Terima kasih.” Jungwon berujar seraya mengambil sepotong dari dalam kotak tersebut, “bisa tidur enggak kalau minum kopi jam segini?”

Sunoo mengangguk, “sudah enggak mempan lagi diriku sama kopi sejak kuliah,” ujarnya, membuat Jungwon tertawa dengan mulut yang penuh dengan brownies.

Keduanya jatuh dalam hening ketika Jungwon mengambil potongan kedua untuk dirinya dan sesekali menghirup teh yang dibuat Sunoo untuknya, sementara Sunoo sesekali kembali pada layar tabletnya yang ketika Jungwon intip menampilkan sebuah jurnal dengan banyak istilah yang tidak ia mengerti.

“Jadi....” Sunoo menekan tombol power pada tabletnya sebelum kemudian menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya yang berada di sisi-sisi wajahnya, “...pekerjaanmu masih banyak, ya? Sampai dibawa pulang?” tanyanya.

Jungwon menghabiskan sisa brownies di dalam mulutnya sebelum mengangguk dan menenggak kembali teh yang baru ia sadari punya aksen peppermint yang uniknya mampu buatnya lebih relaks sekarang.

“Betul, tapi bukan yang banyak banget. Aku cuman mau pastikan traffic-nya enggak melenceng dari loop baru yang dibikin,” ujarnya, meletakkan gelas yang isinya sudah tandas masuk ke dalam perutnya, “ini tehnya kamu beri peppermint, ya?”

Sunoo mengangguk-angguk, “kemarin-kemarin aku sempat baca sesekali sambil menunggu pasien,” tuturnya, satu tangannya berhenti menopang kepalanya dan beralih mengetuk-ngetuk layar tabletnya yang mati. “Rumit ya, ternyata? Aku baru tahu kalau ternyata traffic advertising di bagian marketing itu bisa went wrong juga, apalagi kalau loop-nya malah enggak bisa diputus.”

Yang bisa dilakukan Jungwon ketika laki-laki di hadapannya ini mengutarakan sesuatu dengan istilah-istilah yang begitu akrab dengan kehidupannya, membuat Jungwon terperangah sedikit, hampir jatuhkan rahangnya karena kagum.

Sebab, bagaimana bisa ada seseorang yang sebelumnya tidak pernah bersentuhan dengan hal tersebut, miliki keinginan untuk mengerti?

“Kerja bagus karena kamu sudah bisa buat traffic baru,” senyum Sunoo, “walau aku mungkin enggak bisa menempatkan diriku di posisi kamu ya, Jungwon, tapi tetap aja, you did great.” Senyuman itu masih bertahan di wajahnya ketika kemudian kedua tangan yang lebih tua diturunkan ke bawah meja untuk menghilang dari jarak pandangnya, “dan iya betul! Tehnya aku kasih sedikit peppermint, walau aku enggak yakin kamu suka, tapi dulu biasanya kalau aku anxious atau ada di masa-masa berat waktu masih sekolah, aku minum teh itu buat bikin diriku jadi lebih relaks,” ujarnya.

Yang kemudian ada kontemplasi di dalam benaknya, yang begitu cepat terjadi, berusaha proses darimana kebaikan-kebaikan hangat dari sosok di depannya ini berasal bila betul ia tumbuh dalam sebuah keluarga yang tak pernah ajarkan dirinya untuk tumbuh menjadi sosok yang bisa berikan kasih dalam bentuk-bentuk sederhana yang di penghujung hari mampu bantu orang lain, dirinya, merasa lebih baik setelah lewati hari-hari berat yang sebelumnya mustahil untuk dimaafkan.

Akan tetapi, sosok laki-laki dengan sorot mata serupa rubah, tetapi teduh tanpa picik itu, hadirkan alasan bagi Jungwon untuk memaafkan seberapa burukpun beberapa hari belakangan, melalui segelas teh peppermint juga beberapa potong brownies.

“Di mana kamu beli browniesnya omong-omong?”

Jungwon perhatikan raut wajah yang berubah perlahan di hadapannya, kedua netra yang mengerjap lambat juga bibir yang membuka kemudian menutup seakan ragu ingin menjawab. Buat Jungwon mengulum senyum yang kemudian dihantarkan dalam bentuk tawa kecil ketika kepalanya berhasil proses reaksi tersebut.

Rupanya, laki-laki ini tidak pandai berbohong.

“Kamu buat ya browniesnya?”

Tawanya pecah ketika kedua pipi lawan bicaranya dikembungkan, dengan kedua tangan yang sekarang memeluk dirinya sendiri.

“Jungwooon,” rengeknya pelan, buat Jungwon telan bulat-bulat tawanya dengan usaha keras, “ah ketahuan deh, padahal niatku tadi biar kamu bisa makan lahap,” helanya pelan.

“Kenapa kayak gitu?”

“Siapa tahu ternyata kamu enggak mau makan kalau aku yang buat, belum cukup percaya sama aku, misalnya. Makanya aku bilang beli, sebetulnya aku minta bantuan Mas Wooseok tadi sore, makanya aku pulang juga lebih cepat,”

Jungwon ambil lagi sepotong brownies tersebut, kemudian ia kunyah perlahan, sengaja buat ekspresi bahwa ia betul nikmati rasa cokelat yang mengecap manis pada lidahnya. Buktikan apa yang menjadi asumsi dari yang lebih tua adalah tidak benar.

“Aku suka, kok. I don't mind anything from you,” ujarnya, berlagak seperti Sunoo telah buatkan dirinya seribu candi seperti apa yang dipersembahkan Bandung Bondowoso pada Roro Jonggrang. Yang juga sebetulnya tidak bisa disandingkan, sebab yang ini jelas jauh lebih baik dari apa yang bisa ditawarkan seisi bumi untuknya hari ini.

“Ini bikin aku membaik,” tutur Jungwon jujur, memperhatikan lagi perubahan ekspresi dari Sunoo yang kembali mengulas senyuman kecil di wajahnya, “this is very kind of you.”

Yang selain itu pula, tentang bagaimana ia ingin mengerti sulitnya dan hadirkan penawarnya dengan cara miliknya sendiri.

“You did great, Jungwon.”

Jungwon mengangguk dan tersenyum, “terima kasih.”

Ucapan itu dibalas dengan anggukan pelan dan sebuah celetukan, “tapi kamu makan cokelat banyak banget, jangan lupa sikat gigi ya habis ini.”

Gelak tawa mengudara sekali lagi, Jungwon kemudian mengangguk untuk mengiyakan ucapan laki-laki tersebut yang telah kulum senyumnya di hadapan Jungwon.

Dan kalau setelah ini Jungwon menganggap kebaikan-kebaikan dunia padanya hadir dalam eksistensi seorang Kim Sunoo, bukan salahnya pula untuk lupakan pertimbangan untuk berjalan pergi.

Hujan mengisi hening yang ada di antara mereka.

Rutinitas pergi ke rumah orang tuanya sudah sering Jungwon lakukan beberapa tahun belakangan, hampir satu kali dalam sebulan apabila ia sempat, setelah ia memilih untuk hidup sendiri pertama kali di apartemen yang ia sewa berdua dengan Riki saat itu. Namun, ketika akhirnya sekarang ia menikah dengan orang pilihan orang tuanya, Kim Sunoo, maka Jungwon rubah rutinitas itu menjadi lebih sering dan ia kali ini datang dengan seseorang yang sekarang menjadi suaminya.

“Capek enggak?” tanya Jungwon, menyadari Sunoo yang banyak bicaranya ketika masih bersama kedua orang tuanya itu menjadi diam di dalam mobil. Padahal, Jungwon sudah sengaja untuk tidak nyalakan pemutar musik, berharap mereka buka lebih banyak obrolan seperti tadi pagi. “Maaf ya, kita enggak perlu sering mampir ke sini kalau kamu capek,” ujar Jungwon dengan nada apologetik.

Sunoo menggeleng, “enggak, kok,” katanya, “aku kekenyangan,” keluhnya, mengundang tawa Jungwon yang masih fokus pada kemudi, sembari sesekali menyalakan wiper untuk membantunya melihat jalanan lebih mudah.

“Mamah senang tuh, soalnya aku sama kakak enggak banyak makannya, ketambahan kamu sekarang jelas mamah senang karena mamah suka masak banyak,” cerita Jungwon, menginjak rem di kakinya juga menarik rem tangan ketika lampu lalu lintas di depan mereka menunjukkan warna merah, “mana kamu doyan gitu, jelas mamah senang,” tambahnya.

“Tapi aku yang enggak enak, deh, dimasakin terus kayak gini,” ujar Sunoo, membenarkan posisi duduknya kali ini menyerongkan tubuhnya ke arah Jungwon, sementara kepalanya bersandar nyaman pada sandaran kepala di kursi penumpang, “kapan-kapan kalau senggang aku mau coba buatkan kue ya.”

“Kalau pekerjaanmu banyak, enggak usah repot, Sunoo.”

Sunoo menggeleng seraya memejamkan matanya, “enggak, kok, aku sibuknya sama pasien di RSGM sama klinik aja, sisanya aku senggang. Bosan juga kadang malah,” jawabnya.

“Dua dokter lain di klinik kamu itu kelihatannya sibuk banget sampai kadang kamu yang harus handle klinik lebih pagi, kenapa bisa seperti itu?”

Ada gumaman kecil tidak berarti yang didengungkan Sunoo sebelum ia membuka netranya perlahan, “mereka itu di RSGM bukan cuman jadi dokter aja. Mereka 'kan juga dosen di kampus ya, jadi di RSGM pun mereka jadi pengajar gitu, deh, sederhananya gitu.”

“Kamu enggak mau seperti itu?”

Jungwon melirik sedikit, memperhatikan bagaimana kedua netra Sunoo menatap pada wiper yang bolak-balik bergerak di depan kedua mata mereka sekarang.

“Kenapa bertanya seperti itu?”

Jungwon mengatupkan kedua bibirnya, harusnya pertanyaannya maupun pertanyaaan Sunoo tersebut tidak bersifat ofensif sedikitpun, tetapi karena ini datangnya adalah dari Sunoo yang belum Jungwon mengerti lika-liku hidupnya, maka ia memilih untuk menyusun kalimatnya dahulu sebelum menjawab.

“Penasaran saja.”

Jungwon kembali melirik Sunoo yang masih sibuk mengikuti arah gerak wiper, ia kemudian mengingat kembali tentang seberapa semangat dan senangnya laki-laki yang duduk di kursi penumpang ini ketika bertanya apakah ia diperbolehkan untuk mengisi materi pada acara kampus tempatnya dulu berkuliah. Ia ingat juga bagaimana cerahnya wajah yang lebih tua ketika di siang hari yang petang mobilnya mampir di depan lobi Fakultas Kedokteran Gigi untuk menjemputnya yang tersenyum lebar, dan sibuk berterima kasih dan mendoakan hal-hal baik bagi para mahasiswa yang sudah mengundangnya untuk datang. Ia juga mengingat bagaimana menyenangkannya obrolan di meja makan ketika ayahnya menanyai dirinya terkait apa yang dilakukannya di akhir pekan karena pakaiannya yang begitu rapi, yang kemudian mengundang kikikan geli setiap kali ayahnya suarakan kelakar-kelakar menyenangkan yang jarang mengudara selama ini.

“You seems happy soalnya, waktu pagi tadi aku antar ke kampus, terus waktu aku jemput, waktu ditanyai papah kamu beri materinya bagaimana,” ujar Jungwon, membiarkan Sunoo menyerap jawabannya dan memperhatikan perubahan ekspresi yang lebih tua, “kamu lebih banyak cerita soal mahasiswanya daripada soal kamu sendiri. Kelihatannya ya, buat aku-” Jungwon menggantungkan kalimatnya seraya memutar kemudinya untuk berbelok putar arah, “-kamu jelas senang melakukan semua ini.”

“Aku senang,” cicitnya kecil, membuat Jungwon menahan napasnya, sebab perasaan senang yang dimaksudkan oleh yang lebih tua saat ini bukan sesuatu yang menurutnya berupa ungkapan, tetapi tentang bagaimana yang lebih tua sedang berusaha jujur kepadanya (atau bahkan ke dirinya sendiri).

Sunoo menelengkan kepalanya ke sisi kiri untuk menatap buliran air yang meluncur turun di kaca mobil pada sisi kiri tubuhnya, “aku dulu sempat mau jadi dosen,” kekehnya, kemudian tangannya terulur untuk menggapai kaca mobil di sisi tubuhnya, mengetuknya sekali dengan buku-buku jarinya, “tapi kedua orang tuaku bilang, aku enggak boleh jadi akademisi,” ujarnya dengan suara yang mengecil.

Jungwon mendengarkan dengan seksama pada bagaimana ia bisa dengar ada nada sedih dalam caranya berujar, “aku disekolahkan menjadi seorang praktisi dan bisa apa aku selain menurut? Aku enggak punya kemampuan untuk bantah apa kata mereka,” ceritanya, “dulu aku sempat bergurau bahwa aku ingin sekolah spesialis lagi, kemudian aku akan kembali ke kampusku dan mengajar di sana, sesekali bercerita kalau aku juga pernah ada di posisi mahasiswa-mahasiswa itu.” Buku-buku jarinya mengetuk dua kali pada kaca mobil, seperti berusaha mengusir buliran air yang bertahan di sana.

“Kenapa kamu enggak coba saja sekarang?”

Sunoo terkekeh pelan sebelum menoleh pada Jungwon yang sudah menarik rem tangan lagi karena lampu lalu lintas kembali berubah merah di depan mereka.

“Menurut kamu, aku boleh coba?”

“Boleh.”

Jungwon menjawab seraya menoleh pada Sunoo, memperhatikan bagaimana yang lebih tua menampakkan wajah lelahnya secara gamblang sekarang. Lelah yang bukan secara harfiah lelah, tetapi seperti ia baru saja keluarkan begitu banyak hal dari dalam hati dan pikiran yang mampu ganggu seluruh dunia apabila ia ceritakan. Jungwon diam-diam meringis ketika merasa ada sesuatu di dalam dadanya yang berdenyut sakit, seperti ia baru saja dicubit pelan di sana.

“Sekarang, kamu sama aku—” Jungwon kunci kedua netra dengan warna hazelnut yang hadirkan binar sendu, “—kamu boleh lakuin apa aja yang kamu mau.”

Kedua netra lawan bicaranya ditutup perlahan seiring sebuah senyuman kecil yang terulas di wajahnya.

Jungwon kembalikan fokusnya pada jalanan di depannya, sedikit tersenyum ketika akhirnya jemarinya raih pengendali wiper mobilnya ketika ia sadari hujan sudah mereda dan ia tidak memerlukan lagi wiper tersebut, terlebih mereka juga sudah memasuki area komplek perumahan tempat mereka tinggal.

“Jungwon,” panggil Sunoo, tepat ketika Jungwon selesai memakirkan mobil di garasi rumah mereka.

“Iya?” tanya Jungwon, menoleh setelah membuka kunci pintu dan melepaskan sabuk pengamannya sendiri.

“Terima kasih, ya.” Netra yang lebih tua bergantian mengunci milik Jungwon yang terpaku di tempatnya, “you're so kind, it's a waste that you should marry me instead.”

“I'm happy to be here for now.”

“Kamu boleh pergi nanti kalau setelah ini kamu sadar mungkin kamu enggak bisa dapatkan bahagiamu di sini.”

“Jangan suruh aku untuk pergi.”

Jungwon hadirkan kerutan di keningnya setelah kalimat tersebut ia ujarkan pada Sunoo yang masih dengan nyaman bersandar pada kursi penumpang tersebut, ia raih satu sisi wajah Sunoo dan mengusapnya pelan.

“Aku masih mau di sini.”

Jemari Sunoo hangat selimuti tangannya yang masih berada di pipinya, kemudian diusap lembut dengan sama hangatnya sebelum diturunkan ke atas pangkuan Jungwon yang masih duduk bergeming di tempatnya.

“Enggak apa-apa, mungkin nanti kalau kamu sudah sadar bahwa kamu enggak mau lagi di sini, setelah kamu tahu tentang aku lebih banyak. Mungkin. Untuk sekarang, kamu boleh ada di sini dan aku berterima kasih untuk itu.” Sunoo lepaskan tangan Jungwon untuk dikembalikan pada empunya, kemudian ia beranjak untuk membuka pintu mobil dan keluar dari sana.

“Yuk, turun?”

Jungwon mengangguk sebelum berujar, “ayo, turun.”

Yang kemudian ketika mereka lalui lagi pintu rumah yang terasa hangat pagi ini, tidak ada rasa yang sama lagi bagi Jungwon ketika pintu berdebam menutup di belakang punggungnya sore itu.

Aroma kopi yang khas menguar hampiri indra penciumannya ketika Sunoo membuka pintu kamarnya.

Pemandangan Jungwon yang menggunakan kaos hitam dan celana selutut yang berwarna sama sedang mondar-mandir di dapur adalah hal yang pertama kali menyapanya.

“Selamat pagi, Jungwon,” ujarnya seraya mengulas senyum, membuat yang sedang sibuk sendiri sedari tadi akhirnya menoleh pada Sunoo yang meletakkan sleeve laptopnya di atas meja makan, juga ponselnya dengan layar yang menampilkan lockscreen dengan notifikasi-notifikasi yang Jungwon tidak mungkin bisa pahami tentang sesibuk apa dunia seorang Kim Sunoo.

“Pagi, Sunoo, mau berangkat sekarang?”

Pertanyaan itu diberi anggukan oleh Sunoo sebagai jawaban sembari yang lebih tua bergerak mendekat untuk mengambil botol minumnya dan mengisinya dengan air, sementara Jungwon juga kembali pada sibuknya yang tidak terlalu Sunoo perhatikan karena sehari-harinya begitu pula yang mereka lakukan.

“Kamu bisa minum kopi, 'kan?” tanya Jungwon, membuat Sunoo yang tengah menutup botol minumnya mendongak dan menoleh pada Jungwon dari arah meja makan, “minum dulu, tadinya aku mau buatkan kamu roti bakar juga, tapi kamu kayaknya buru-buru, jadi mungkin nanti-” Jungwon menggantung kalimatnya seraya meletakkan segelas kopi dengan asap yang masih mengepul dari sana, “-siang aku jemput? Kita mampir ke rumah papah dan mamah, tadi pagi mamah sempat tanya apa ada yang bisa mampir karena mamah mau masak.”

Sunoo terdiam di tempatnya, menatap gelas kopi yang ada di hadapannya dan Jungwon yang berdiri di sisi lain meja makan rumah mereka. Bisa Sunoo lihat wajah mengantuk yang lebih muda, sebab seingat Sunoo, apabila akhir pekan maka Jungwon akan jarang sekali bangun pagi untuk repot-repot sarapan. Apalagi hanya untuk membuatkan kopi untuknya. Jadi, Sunoo kemudian mengulas senyum dengan wajah dan dada yang menghangat walau kopi tersebut gelasnya baru ia raih dengan kedua tangannya dan belum ia tenggak sama sekali.

“Terima kasih, Jungwon.”

Jungwon mengangguk dan menarik kursi untuk duduk di seberang Sunoo, memperhatikan bagaimana yang lebih tua meniup uap yang masih mengepul sebelum perlahan menghirup kopi tersebut dari gelasnya, sembari sesekali melirik pada ponsel yang masih diletakkan di atas meja.

“Pelan-pelan aja,” ujar Jungwon, kemudian beranjak berdiri, “aku ambil jaket dulu, ya, hari ini diantar saja mau? Supaya jemputnya juga lebih enak sebelum ke rumah mamah.”

“Enggak merepotkan?” tanya Sunoo, badannya menyerong dan kepalanya ditelengkan ke arah Jungwon yang memasuki kamarnya hanya untuk mengambil jaket dari balik pintu kamar, “aku bisa naik bis aja pagi ini kalau merepotkan kamu.”

“Bukannya katamu naik transum bisa buat stres?” kekeh Jungwon, mengenakan jaketnya dan menarik zipper tersbeut naik, “lagipula aku lebih baik direpotkan mengantar kamu daripada nanti kamu kebingungan naik bis, kata Mas Wooseok kamu jarang naik transum,” ujar Jungwon dengan kedua alis yang naik jahil, mencoba mencairkan suasana di antara keduanya pagi ini, yang mana berhasil karena Sunoo tergelak sebelum beranjak dari meja makan untuk menaruh gelas kotor ke pencucian.

“Tapi kondisi aku 'kan enggak lagi capek?” balas Sunoo.

Jungwon meraih kunci mobil miliknya dari atas meja televisi yang jarang sekali mereka gunakan, “well, kamu harus tampil dalam kondisi prima 'kan?” ujarnya, kemudian menuding pada pintu rumah dan mengangkat kunci mobil yang berada di tangan kanannya, “you could use some help then,” ujarnya.

Barang-barangnya yang tadi diletakkan di atas meja sudah diambil masuk ke dalam pelukannya, ponselnya meluncur masuk ke dalam saku blazer cokelatnya, ia berjalan mendekat ke arah Jungwon dengan senyuman di wajahnya, kemudian terkekeh ketika yang lebih muda berujar lagi, “dan ini enggak sama sekali merepotkan.”

“Oke,” gelak Sunoo, mengenakan sepatunya bersamaan dengan Jungwon yang pasang dengan asal slipper miliknya, “kalau begitu, tolong antarkan aku sampai dengan selamat ke kampus ya, Jungwon.”

Pintu rumah dibuka dan Sunoo dipersilakan berjalan melaluinya lebih dulu sementara ia bersiap mengunci pintu rumah mereka.

“Off we go.”

“Aku boleh tanya sesuatu?”

Jungwon yang baru menginjak rem di kakinya menoleh pada Sunoo yang duduk di kursi penumpang.

“Boleh.” Tangannya kemudian diulurkan untuk mengecilkan suara musik yang sedari tadi menemani hening di antara mereka, yang sesekali Sunoo akan bersenandung kecil ketika ia tahu lagunya, dan kemudian hanya mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti ketukan tempo bila ia tidak tahu tentang lagu tersebut, “mau tanya apa?”

“Keluargamu—” ucapannya digantung seraya Jungwon bisa lihat bagaimana tangannya yang saling menaut di atas pangkuan itu mulai bergerak resah, “—sering makan siang begini?”

Jungwon mengangguk, kemudian menginjak pedal gas, sebelum buka suara ketika menyadari kemungkinan Sunoo tidak melihat anggukannya, “iya, baru-baru aja sih beberapa tahun belakangan sejak kakak menikah dan aku move out buat hidup sendiri, jadi kadang suka minta pulang ke rumah deh si mamah.”

“Oh....” Jungwon bisa lihat yang lebih tua mengangguk melalui ekor matanya, “enggak apa kah aku masuk ke kegiatan kalian seperti ini?” tanyanya lagi dengan suara kecil.

“Enggak papa,” jawab Jungwon dengan tegas.

Jungwon tumbuh di lingkup keluarga yang begitu hangat, hingga ia tidak menyadari bahwa akan ada beberapa keluarga di luar sana yang tidak sama seperti keluarga miliknya.

Keluarga yang tidak pernah makan siang di satu meja yang sama kecuali pada okasi tertentu, misalnya.

“Ada mamas juga, suaminya kakak, kamu ingat?”

Sunoo mengangguk lagi, “Mas Hyungu, 'kan?”

“Betul.” Jungwon tersenyum, memelintir kemudi di tangannya untuk berputar arah karena komplek perumahan orang tuanya ada di seberang jalan yang mereka lalui. “Lagipula, memang mamah dan papah yang mau ketemu kamu, kakak juga karena dia baru ketemu sekali waktu pemberkatan aja. Si Papah tuh, mau tagih janji ke kamu buat mengajari cara ambil foto,” kekeh Jungwon di ujung kalimatnya, mengingat bagaimana tempo hari sang ayah bilang bahwa suaminya itu memiliki janji untuk mengajarinya mengambil foto, entah foto apa yang dimaksud.

“Ah!” Sunoo memekik kecil kemudian menepuk kedua pipinya pelan, “betul! Aku punya janji begitu.... Marah enggak ya beliau aku lupa begini, Jungwon...?”

Jungwon memutar memorinya ke hari-hari sebelumnya, hingga ke hari pertama kali ia makan siang bersama Sunoo.

Ada begitu banyak hal yang membingungkan baginya, sebab apabila dari ceritanya dan segala macam cara Sunoo bersikap tentang hal-hal yang tidak biasa baginya, Jungwon paham bahwa Sunoo mungkin tidak tumbuh besar di keluarga sepertinya—mungkin, kedua orang tua Sunoo memang miliki harta berlimpah dan kemampuan untuk kirim anaknya berkuliah menjadi seorang dokter, tetapi ada beberapa aspek yang tidak Sunoo dapatkan seiring dalam pertumbuhannya sampai sekarang. Yang mana, itulah yang membuat Jungwon bingung. Sebab, bagaimana caranya laki-laki ini tetap miliki hati yang begitu baik dan sungguh menyayangi pada sekitarnya.

“Enggak dong,” tawa Jungwon, renyah menyentuh indra pendengaran Sunoo yang kini menoleh padanya yang memutar setir untuk berbelok memasuki komplek perumahannya. “Tapi kamu harus siap-siap meladeni papah dan semua pertanyaannya hari ini,” ujar Jungwon, tertawa membayangkan akan seperti apa cerewet ayahnya itu hari ini.

Sunoo mau tidak mau ikut tersenyum, yang buat Jungwon yang telah hentikan mobilnya di pekarangan rumahnya ikut mengembangkan senyum kecil di wajahnya ketika yang lebih tua menyahut, “tentu, beliau teman yang menyenangkan, kok.”

“Oke, yuk turun?” ajak Jungwon.

Bunyi sabuk pengaman dilepas terdengar nyaring, buat Jungwon berdebar setengah mati. Padahal, ini orang tuanya yang akan ia temui—buat apa ia merasa gugup?

“Yuk turun.”

Atau mungkin berdebar itu bukan hanya pertanda gugup. Iya, 'kan?

Derit engsel pintu menjadi suara yang memekakkan untuk telinganya sekarang.

Sunoo yang duduk di tengah ruangan dengan gitar di atas pangkuannya lantas mendongak untuk memastikan bahwa benar eksistensi dari orang yang dia pikirkan beberapa menit lalu ketika membalas pesan dari Jongseong lah yang menimbulkan bunyi berisik tersebut.

(“Enggak usah ditekan sampai habis! Malah berdecit! Ngilu, tahu!”)

“Pakai salam kalau mau masuk ke kamar orang,” ketusnya, kemudian kembali pada gitar di pangkuannya, memposisikan beberapa jemarinya membentuk kunci-kunci yang sudah ia hapal di luar kepalanya.

“Sakit enggak tuh?”

Sunoo mendengus, “yang jelas nanyanya,” jawabnya tanpa menoleh.

“Sakit atau enggak?”

Kali ini Sunoo menoleh pada lawan bicaranya, yang menatapnya datar, tetapi ada satu gemilang di kedua netranya yang Sunoo paham betul maksudnya apa.

“Biasa aja, 'kan kata orang enggak pernah dipakai nyanyi, kenapa harus sakit memangnya, Jungwon?”

Jarak keduanya yang bisa dipangkas kapan saja kalau Jungwon beranjak duduk di hadapan yang lebih tua itu menjadi terasa lebih canggung sebab yang lebih muda memilih untuk tetap berdiri di tempatnya, memperhatikan setiap sudut wajah Sunoo yang mendongak menatapnya.

“Kalau nangis memangnya sakitnya bakal lega?”

Sunoo diam-diam merutuk dalam hatinya sebab laki-laki yang lebih muda satu tahun darinya ini terlampau hapal tentang dirinya sejak bertahun-tahun silam; yang kemudian membawa mereka pada tensi hubungan mereka sekarang yang serba penuh dengan urat.

“Enggak tahu.”

Totebag berwarna biru khas minimarket yang ada di depan komplek perumahannya diletakkan di sebelah kaki Sunoo, sementara ia masih berdiri di tempatnya.

“Told you,” bisiknya, merunduk sedikit mendekati wajah Sunoo yang masih mendongak, kemudian menahan dagunya untuk tetap terangkat ketika yang lebih tua ingin buang wajah, “harusnya kamu di Picles aja, Kak. Jadi drummer, lalu aku jadi bassist.”

“And i told you already i want to sing, stop acting like you know me that much, would you?”

(“Sengaja. Biar kamu kesal.”)

“Enggak mau,” ujarnya yang kemudian tenggelam dalam seringai tipis, “soalnya aku betulan tahu kamu. Termasuk how you like every part of me that you keep screaming for more under your breath.”

Yang kemudian belum sempat Sunoo menjawab, Jungwon dengan seribu peringai tengilnya itu mampir menunduk semakin dekat dengan wajah yang lebih tua—dan mampir pula bibirnya ambil sedikit lumat pada bibir yang sudah sejak lama jadi candunya.

Bahkan ketika mereka tidak lagi sedekat nadi kehidupan.

“Akun gosipnya biar aku yang urus. Kamu pikirkan operasinya saja.” Jungwon beranjak berdiri, membiarkan Sunoo terpaku di tempatnya dengan masih memangku gitarnya yang sudah beralih fungsi menjadi tempatnya berpegang ketika lumatan tersebut sempat buatnya hampir terbang seperti tempo hari lalu.

“Soalnya, enggak boleh ada yang ganggu kamu selain aku karena mereka enggak tahu cara yang benar.

Yang kemudian kalimat tersebut tenggelam bersama dengan eksistensi darinya juga yang menghilang ketika pintu kamarnya berdebum nyaring dengan bunyi decit yang menyebalkan.

“Bangsat, Yang Jungwon!!”

(“You're so annoying, Oh God.”

“Oh, i know you love me for that.”)