fluctuius

i leave my thoughts here.

“Halooo cantik!”

Jungwon yang mengekor di belakang Sunoo hanya mampu mengintip sedikit dari balik pundak yang lebih tua, memperhatikan bagaimana seorang gadis kecil, mungkin sekitar usia empat atau lima tahun, berlarian masuk ke dalam peluk Sunoo yang sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.

“Sore, mas.” Jungwon menyapa dengan anggukan dan senyuman tipis ketika menyadari kehadiran Kim Wooseok dan suaminya—Lee Jinhyuk. “Maaf ya Sunoo-nya jadi lama, tadi harus jemput aku dulu,” jelas Jungwon.

“Aku yang paksa jemput, mobil Jungwon belum sampai di sini soalnya,” timpal Sunoo, kemudian membiarkan gadis kecil itu kembali berlari ke Jinhyuk yang kemudian menggendong anak itu.

Wooseok menggeleng tipis, “enggak masalah,” ujarnya, kemudian menoleh ke Sunoo, “dede nanti Jia ditemenin ayahnya, ya, biar enggak rewel.”

Sunoo menekuk bibirnya, tahu betul tabiat Jinhyuk yang suka berlaku iseng padanya, bahkan semenjak dulu ketika yang tersangka belum menikah dengan kakak sepupunya tersebut.

“Tapi kalau Mas Jinhyuk ngeselin aku suruh keluar, ya,” ujarnya, membuat Wooseok mengulum senyum dan mengangguk sebelum mengibas-ngibaskan salah satu tangannya guna menyuruh Sunoo agar masuk ke dalam ruangan pemeriksaan tempatnya biasa bekerja.

Sebelum betulan berbalik memasuki ruangannya sebab Jinhyuk dan keponakannya, Jia, sudah lebih dahulu masuk kesana, Sunoo menyempatkan dirinya menoleh pada Jungwon dan melemparkan senyuman apologetik.

“Aku cek Jia dulu sebentar ya, Jungwon, kamu tunggu dulu sebentar ya, itu di kulkas ada minuman kalau kamu mau, bisa minta cookies juga ke Mba Gowon—” Sunoo menunjuk meja resepsionis di depan, “—kalau kamu mau,” finalnya, kemudian menoleh pada Wooseok yang menatapnya balik dengan satu alis yang dibuat naik menukik. “Mas jangan aneh-aneh, ya, dede enggak lama, kok.”

“Mau ngapain juga mas coba?”

Sunoo mendengus pelan, “kamu kadang suka ide aneh-aneh. Cocok sama Mas Jinhyuk.”

Gelak tawa pelan dari Wooseok mengantar pintu ruangan Sunoo menutup perlahan. Yang kemudian ketika Wooseok berbalik dan kali ini bersitatap langsung dengan Jungwon, ia akhirnya paham maksud aneh-aneh yang dilontarkan Sunoo beberapa detik yang lalu.

“Ngobrol sebentar sama aku, ya.”

Jungwon hanya mengangguk untuk menyetujui, menggeser sedikit tubuhnya agar Wooseok bisa ikut duduk di tepat di sebelahnya pada sofa ruang tunggu tersebut.

“Seminggu pernikahan, sudah tahu apa soal Sunoo?”

Jungwon menoleh dan mengerjap bingung ketika mendapati Wooseok juga menoleh padanya dengan senyum kecil di wajahnya. Jungwon baru satu kali bertemu Wooseok di hari pemberkatannya dengan Sunoo saat itu, hingga ia baru menyadari fitur wajah kakak sepupu Sunoo memang sangat mirip dengan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya.

“Jawab aja, Jungwon. Aku enggak menggigit, kok.”

Jungwon mengangguk, “soal Sunoo ya?” gumamnya pelan, menggigit pipi dalamnya sebelum kemudian melanjutkan kembali, “enggak banyak,” ujarnya, kemudian kembali menatap pada pigura berisikan sertifikasi milik Sunoo dan dokter lain di klinik tersebut, “dia terlihat tahu cara menjalani hidupnya, sangat tertata dan rapi, tahu apa yang harus dipersiapkan dan punya cara buat menjalankan harinya sesuai keinginannya.”

Ekor matanya melirik sedikit ke Wooseok yang juga sekarang merubah pandangannya lurus ke depan, sama sepertinya, kemudian ia melanjutkan kembali, “juga yang paling mencolok itu ada satu, sih.”

“Dia baik hati. Terlalu baik, if i must say.”

Wooseok terkekeh, membuat Jungwon kembali menelengkan kepalanya, “iya, dia begitu, soalnya dia sebetulnya banyak enggak tahunya, Jungwon.” Yang kemudian ketika Wooseok menoleh juga untuk bersitatap dengannya, Jungwon lemparkan sebuah ekspresi bertanya atas kalimat tersebut.

“Sunoo itu…,” mulainya, “belajar sendiri bagaimana caranya hidup, termasuk bagaimana menjadi baik hati.” Wooseok merapikan anak rambutnya sendiri yang jatuh menghalangi pandangannya. “Jadi dalam beberapa aspek, dia masih banyak bingungnya, banyak enggak tahunya, banyak yang dia rasa masih harus dia eksplor dalam beberapa bagian hidupnya sendiri.” Wooseok menyelesaikan kalimatnya, kemudian beranjak berdiri dari duduknya.

“Maksudnya?” Jungwon memberanikan diri untuk bertanya, mengikuti gerak Wooseok yang menarik totebag untuk disampirkan di pundaknya.

“Tinggal lah bersama Sunoo lebih lama, kamu bakal mengerti,” ujar Wooseok.

Jungwon melihat bagaimana Wooseok tersenyum padanya, begitu mirip dengan senyuman yang seringkali Sunoo lempar padanya. Membuatnya menyadari bahwa mungkin selama ini apa yang Sunoo lakukan bukan hanya sebuah formalitas, tetapi memang karena ia ingin melakukannya.

“Menurut mas, pernikahanku dan Sunoo, yang didasari janji lama orang tua kami bisa bertahan selama itu?”

Ada tawa Wooseok sebagai penutup pembicaraan mereka yang menggema di dalam ruang tunggu, bahkan di telinganya ketika Jungwon menyetir pulang dengan Sunoo yang duduk di kursi penumpang sembari bersenandung kecil bersama ABBA pada lagu 'Dancing Queen' yang diputar radio malam itu.

“Kalau kamu sudah mengenal Sunoo lebih lama, kamu akan tahu jawaban dari pertanyaan itu sendirinya, Jungwon.”

“Ini ya, Jungwon.”

Sunoo memperhatikan bagaimana ketika ia menyerahkan kotak berisikan pasta gigi kepada yang tadi meminta, rambutnya masih basah dan menitikkan beberapa titik air yang jatuh ke handuk kecil yang disampirkan di pundaknya.

“Terima kasih, ya,” jawabnya, mengambil pasta gigi tersebut, “maaf ya jadi pakai punya kamu.”

Buru-buru Sunoo menggeleng dan menjawab, “enggak masalah sama sekali.” Ia kemudian menambahkan, “kalau mau cuci baju dan pakai deterjenku juga boleh, aku enggak masalah sama sekali kamu mau pakai apa aja yang ada di rumah, kok.”

“Merepotkan enggak, sih?” ujar Jungwon, mengulas senyuman di wajahnya, “enggak papa, nanti weekend aku bakal belanja.”

“Kamu tau harus belanja apa aja?”

Jungwon terdiam ketika pertanyaan tersebut mengudara, membuat Sunoo menyunggingkan senyum tipis berarti maklum.

“Ibumu malam sebelum pemberkatan cerita ke aku. Banyak. Soal kamu,” ujar Sunoo, “aku cuman berusaha bantu aja, kalau kamu enggak keberatan, aku bisa buatkan kamu daftar apa saja yang harus kamu beli.”

(Jungwon tidak pernah dapatkan yang sama, sepertinya).

“Merepotkan, enggak?”

Sunoo menggeleng, “enggak sama sekali, besok aku kirim ke kamu ya.”

“Terima kasih, maaf merepotkan lagi, ya....”

“Enggak merepotkan,” ujar Sunoo, kemudian melangkah mundur sedikit, “kalau gitu, aku kembali ke kamarku, ya? Kalau-kalau kamu butuh sesuatu..., you could just knock.”

“Sure.” Jungwon tersenyum, “terima kasih, ya.”

Sunoo mengangguk, kemudian sebelum berbalik menuju kamarnya, ia berujar sesuatu yang ketika Jungwon tutup pintu kamarnya, tetesan air yang jatuh dari rambutnya tidak lagi terasa dingin.

“Selamat malam, Jungwon.”

Waktu dan permainannya adalah hal konyol.

Bermain-main dengan waktu bukan hal yang Sunoo senangi. Ia cenderung menghargai waktu, miliknya maupun orang lain. 24 jam perputaran bumi pada poros akan dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kesehariannya.

Akan tetapi, sepertinya waktu lah yang senang bermain-main dengan Sunoo.

Ketika ia berkata bahwa satu taun silam ia tidak terlalu memperdulikan bagaimana dunia akan berakhir, ia betulan berkata jujur dan menghabiskan satu tahun terakhirnya dengan baik. Yang kemudian ia berniat membuat teman baru di hari terakhirnya, hanya sekadar untuk melepas bosan dan kembali menjadi dirinya yang bisa menjadi lebih jujur tentang semua hal. Sunoo tidak peduli—toh besoknya dunia sudah tidak ada lagi eksistensinya.

Maka semesta kabulkan semua itu sembari waktu bermain-main dengan dirinya melalui eksistensi laki-laki yang muncul di depan pintu unit apartemennya, dengan setangkai bunga liar yang entah didapatnya dari mana, juga senyuman tipis di bibirnya. ‎

“5 hours to doomsday, Kim Sunoo.”

Yang dilakukannya pertama kali adalah membiarkan tubuhnya jatuh merosot di depan pintu, membiarkan laki-laki tersebut panik berusaha menangkapnya—balas dendam, hampir satu jam yang lalu laki-laki itu membuatnya panik karena ia berjanji dengan waktu 30 menit, tetapi ia baru memunculkan batang hidungnya hampir lebih dari satu jam kemudian, dengan kondisi koneksi internet sudah terputus sepenuhnya di seluruh dunia.

Dengan cara apa lagi ia bisa menemukan Yang Jungwon setelah itu?

Jungwon membiarkan Sunoo merebahkan dirinya di sofa miliknya sendiri, dengan kepala yang diletakkan pada pahanya yang bertumpuk dengan bantal. Kedua kelopak mata itu memejam, tetapi Jungwon masih bisa lihat bagaimana mata tersebut terlihat bengkak dan ada jejak air mata di wajahnya. Jika orang biasa melihat kondisi Sunoo saat ini, orang akan menerka bahwa ia tengah tidur dengan damai setelah menghabiskan tenaganya untuk khawatir dan menangis sebagai bentuk penyaluran perasaannya. Namun, dari bagaimana kedua tangannya memegangi satu tangan milik Jungwon yang diletakkan di atas perutnya—sesekali diremat kuat, Jungwon tahu bahwa laki-laki ini masih simpan khawatir di dalam dirinya.

(“I want you to hold me.”)

“Tadi aku ambil bunga liar ini di depan halaman orang,” ujar Jungwon memecah hening mereka yang sudah berlangsung selama hampir lima belas menit lamanya. ‎

07.17 PM, 4 Hours 43 Minutes to Doomsday.

“Makasih banyak,” sahut Sunoo, tanpa bergerak sedikitpun. “Tapi buat apa…?” tanyanya, kali ini membuka kedua kelopak matanya dan menatap langsung kedua netra Jungwon yang menunduk sedikit dan menatapnya lurus dari atas.

“Pengen aja, to cheer you up,” jawabnya.

“Wow.” Sunoo terkikik sehingga tubuhnya berguncang sedikit, “romantis banget.”

“Enggak.” Jungwon menyugar rambutnya dengan satu tangannya yang bebas, “cuman mau jadi orang baik aja, kayak kamu.”

Sunoo tidak menjawab lagi dan alih-alih menutup kelopak matanya, kali ini dengan senyuman di wajahnya.

“Kamu betulan hubungi nomorku yang aku tinggalkan saja sudah bilang kalau kamu orang baik, Jungwon.”

“Itu kamu sengaja betulan…?”

Sunoo menggumam hmm singkat, kemudian membuka lagi kedua kelopak matanya, “iya. Aku mau betulan cari teman.” Ia memperhatikan bagaimana Jungwon menatapnya dengan berkedip lambat pada beberapa kesempatan. “Aku sudah bilang 'kan setahun belakangan aku kesepian? Aku enggak mau merasa makin begitu di hari terakhir dunia ini, jadi aku coba peruntungan.”

“And your luck is me.”

“Iya. Bonus doomsdayku, 'kan?” kikiknya geli sebelum menyamankan posisinya, masih dengan memegangi tangan Jungwon.

(“I want you to hold me.”)

Jungwon hanya menjawab dengan dengusan geli dan membiarkan mereka jatuh lagi dalam hening yang menenangkan. Menikmati presensi satu sama lain di sekitar mereka sekarang. Sebab, sudah berbulan-bulan mereka lupakan rasanya bernapas begitu dekat dengan entitas lain yang mampu berdetak jantungnya, memberi mereka rasa aman dan nyaman yang telah lenyap ketika dunia mengumumkan bahwa ia akan menemui akhirnya dalam kurun waktu sekian bulan.

07.46 PM, 4 Hours 14 Minutes to Doomsday.

“Kamu belum coba kwetiau itu,” ujar Sunoo, kemudian melepaskan genggamannya pada tangan Jungwon dan beranjak untuk duduk di sebelah Jungwon, “makan yuk? Aku masih punya dua bungkus.”

Yang bisa dilakukan Jungwon adalah mengekor pada langkah Sunoo yang berjalan menuju dapur apartemennya. Ia tidak banyak bicara dan membiarkan Sunoo melakukan pekerjaannya—merebus air, menyeduh kwetiau, menambahkan bumbu, bahkan membuat teh—sembari ia menonton dengan bersandar pada kulkas yang dimiliki oleh laki-laki bermarga Kim itu.

“Aku enggak punya kopi, jadi enggak papa ya kamu minumnya teh seduh biasa?” tanya Sunoo yang melempar senyum apologetik kepadanya ketika ia menoleh ke arah dirinya, sebersamaan dengan dirinya yang baru saja melihat jam yang melingkar di tangannya.

“4 hours to doomsday.”

Sunoo tersenyum dan mengangguk, “empat jam menuju akhir dunia. Habis ini kita bakal kayak menghitung jam ke tahun baru.”

Mau tidak mau kelakar tersebut mengundang tawa Jungwon, yang turut membuat Sunoo melebarkan senyumnya. Kemudian Jungwon beranjak membantu Sunoo untuk membawa kedua piring berisi kwetiau instan yang diagung-agungkan oleh Sunoo sejak kemarin malam juga dua gelas teh pada gelas keramik.

“Selamat makan malam terakhir, Jungwon.”

Jungwon membiarkan Sunoo mengambil suapan pertama di antara mereka yang duduk di lantai ruang tengah. Piring dan gelas mereka diletakkan pada meja di sana, yang juga terdapat kaktus kecil milik Sunoo sebab ia tidak tega meninggalkan kaktus tersebut di meja dapur.

“Selamat makan malam terakhir, Sunoo.”

Piring kotor dan gelas Jungwon yang sudah kosong dibiarkan pada meja ruang tengah tersebut sementara keduanya bersandar pada kaki sofa.

“Enak, 'kan?”

“Iya.” Jungwon mengiyakan, toh, memangnya seberapa beda rasa makanan instan satu sama lain. “Akhirnya aku bisa coba sebelum dunia hancur, ya.” Ia terkekeh ketika didengarnya tawa Sunoo mengudara dari sebelahnya.

“Yang bisa kamu coba di kehidupan selanjutnya adalah resep-resepku.”

Ada hening yang jatuh ketika kalimat tersebut mengudara. Jungwon dengan pribadinya yang tidak banyak bicara kini membiarkan Sunoo meletakkan gelasnya yang tadi dipegang ke atas meja, sebelum kemudian tangan kanannya mengudara untuk mengambil tangan Sunoo, dan melingkupi seluruhnya beserta jemari-jemarinya yang saling menaut dengan miliknya.

“You want me to hold you, right?”

Sunoo mengangguk sebelum menaruh kepalanya pada pundak Jungwon, yang kemudian laki-laki itu turut menaruh kepalanya di atas kepala Sunoo. Sementara, tangan mereka yang saling menggenggam diletakka di atas paha mereka berdua.

08.27 PM, 3 Hours 33 Minutes to Doomsday.

“Di kehidupan selanjutnya—” Jungwon memulai, mengandai-andai apabila betul di akhir hitungan mereka dunia akan berakhir; maka apakah ia akan terlahir kembali nantinya pada dunia yang baru, “—aku mau kamu ada di dalam hidupku.” Genggamannya menguat pada tangan Sunoo.

“Aku mau kenal kamu lebih lama dari sekarang.”

“Aku juga mau,” ujar Sunoo, “tapi gimana kalau sebenarnya kita memang dimaksudkan buat saling melengkapi di setiap akhir dunia?”

“Jahat banget dong takdir, kalau begitu.”

Sunoo tidak menanggapi sebentar ketika ia membetulkan letak kepalanya pada pundak Jungwon sebab punggungnya mulai merosot dari sandarannya.

“Kayak yang kamu bilang, doomsday soulmate, gimanapun kita bakal ketemu di setiap akhir dunia.”

“Will you also search for me next time, Sunoo?”

“Tentu, Jungwon.” Sunoo gerakkan ibu jempolnya untuk mengusap lembut tangan Jungwon, “kamu menyenangkan untuk menjadi teman terakhir, jadi kenapa enggak?”

Ada gumaman terima kasih yang terdengar kecil, tetapi tulus yang menyapa indera Sunoo. Yang kemudian membuatnya membiarkan keduanya larut pada pembicaraan-pembicaraan lain, mengabaikan jarum panjang pada jam dinding yang terus bergerak mengejar pada angka selanjutnya, membiarkan mereka sadar bahwa dunia di luar sana sudah mulai hancur dan yang mereka miliki sekarang hanyalah satu sama lain.

08.50 PM, 3 Hours 10 Minutes to Doomsday.

Gumaman-gumaman yang menyahuti setiap cerita, komentar jenaka, kelakar konyol, dan tawa yang dibagi mampu alihkan perhatian mereka dari perhitungan yang dijanjikan di percakapan mereka pertama kali sejak Jungwon betulan hubungi Sunoo yang tinggalkan nomor ponselnya pada kertas di rak supermarket.

09.00 PM, 3 Hours to Doomsday.

“Oh? 3 jam menuju akhir dunia,” tawa pelan Sunoo di ujung kalimatnya, membuat Jungwon menoleh pada jam yang tergantung di atas televisi ruang tengah apartemen.

Jungwon mendengus geli sebelum berujar, “betulan seperti hitung mundur tahun baru.” Kemudian menggelengkan kepalanya sendiri karena tidak percaya ia baru saja menyetujui celetukan asal Sunoo dalam percakapan mereka melalui ponsel beberapa jam yang lalu.

“Persis tahun baru, 'kan, sering juga tuh biasanya pesta tahun baru kita habiskan sama orang asing?”

Jungwon menoleh pada Sunoo yang duduk di sebelahnya, mereka masih nyaman duduk di atas karpet yang lapisi lantai, bersandar pada kaki sofa, tetapi kali ini tangan Jungwon sudah tidak berada dalam genggaman Sunoo sejak bermenit-menit yang lalu sebab Sunoo beralih untuk memeluk kedua lututnya yang dilipat masuk ke dalam dadanya.

“Buat sekarang, kamu sudah bukan orang asing buatku.”

Yang membuat Sunoo tersenyum karena kalimat itu. Sebab, semua hal yang ia lakukan untuk usir kesepian tersebut ternyata jatuh pada ide konyolnya—menaruh note kecil di rak mie instan—dan kemudian direalisasikan oleh laki-laki yang tengah duduk di sebelahnya saat ini, begitu dekat hingga sisi tubuh mereka saling menempel, berbagi hangat dan panas tubuh yang mana Sunoo sangka di hari terakhirnya ia bisa sedekat itu dengan manusia.

Sebab, sejak dunia memutuskan untuk perlahan menghancurkan dirinya, Sunoo sudah kepalang terima takdir ia akan temui akhirnya sendirian.

09.33 PM, 2 Hours 27 Minutes to Doomsday.

“Kamu punya wishlist yang belum terpenuhi?”

Sunoo meletakkan sisi wajahnya di atas lututnya, menoleh pada Jungwon yang juga menoleh ke dirinya. Mana Sunoo sangka, laki-laki ini juga sama seperti dirinya, simpan banyak hal yang tidak akan selesai hanya dengan satu hari sebelum dunia berakhir.

“Punya, tapi bakal terpenuhi dalam beberapa jam lagi.”

Ketika Jungwon menatapnya bingung, Sunoo tersenyum lagi (sepertinya ini adalah hari dimana senyuman paling banyak muncul di wajahnya dalam satu tahun terakhir), “aku buat catatan di memo ponselku,” ujarnya mulai menjelaskan, “aku lupa deh menaruh ponselku dimana.”

“Enggak papa, toh aku juga sudah di sini, 'kan?”

Sambaran cepat Jungwon itu membuat Sunoo mengangguk karena betul adanya bahwa hari ini ponselnya hanya digunakan untuk bertukar pesan dengan Jungwon—dan kehadiran laki-laki itu di sebelah tubuhnya, buat Sunoo tidak pedulikan lagi dimana letak ponselnya di sisa hari ini.

“Terus?”

“Aku sudah lupa sama poin-poin lainnya, tapi aku ingat yang terakhir,” ujar Sunoo, “dan itu adalah to die on the doomsday,” finalnya.

09.48 PM, 2 Hours 12 Minutes to Doomsday.

Sunoo tahu kalimatnya memberikan Jungwon rasa tidak nyaman, sehingga mereka lalui kembali hening yang menenangkan itu, dengan Jungwon yang juga alihkan pandangannya dan lebih memilih pandangi hal lain selain dirinya yang masih meletakkan satu sisi wajahnya di atas kedua lututnya, kali ini memejamkan kedua kelopak matanya.

“Pernah kebayang enggak kalau ternyata hari ini bukan hari terakhir dan perhitungan ilmuwan bisa salah?” tanya Jungwon, memecah hening mereka.

Sunoo bergumam hmm yang panjang s sebelum menjawab, “baru aja habis kamu bilang gitu, lucu enggak sih ternyata kita masih punya banyak waktu ternyata?”

“Yang artinya i could know you better,” sahut Jungwon, menoleh pada Sunoo kembali, “dan lebih lama.”

“Kenapa sih kamu mau kenal aku?”

“Impresi pertama.” Jungwon buka suara, “buatku, impresi pertama itu penting, note kecilmu di rak mie instan, kemudian bagaimana kamu meladeniku yang betulan hubungi kamu, semua itu menandakan kamu orang yang…, enggak tahu ya, menurutku kamu layak dipertahankan di dalam hidupku.”

09.56 PM, 2 Hours 4 Minutes to Doomsday

“Kenapa?”

“Feeling, Sunoo.”

10.00 PM, 2 Hours to Doomsday.

“Dua jam terakhir sebelum akhir dunia dan kamu bilang kamu punya sesuatu towards me?”

Jungwon mengulas senyum tipis, yang terlihat menyedihkan bagi Sunoo dan benar faktanya begitu, sebab apapun yang mungkin terjadi di antara mereka sekarang, waktu sudah lahap habis setiap kesempatan tersebut.

10.11 PM, 1 Hour 49 Minutes to Doomsday.

“That's not fair….”

“Aku tau,” ujarnya, meraih tangan Sunoo untuk dibawa ke dalam sebuah genggamannya, “but this time, i will be on your side when the world ends.”

10.29 PM, 1 Hour 31 Minutes to Doomsday.

“Dan artinya aku enggak too late, kan, buat jadi bagian hidupmu?”

Jungwon tertawa, “you're my doomsday soulmate, it's not too late if the fate said i will met you on this day.”

“Dan kamu adalah doomsday bonus-ku, jadi kamu memang harusnya ada di sampingku.”

10.49 PM, 1 Hour 11 Minutes to Doomsday.

“Pernah kepikiran soal kamu bakal habisin waktumu sama orang asing kayak aku?”

“Sudah aku bilang kamu bukan orang asing buatku sekarang.”

“Kamu paham maksudku! Jawab saja,” ujar Sunoo dengan bibir yang mengerucut.

Jungwon tertawa dan menggeleng, “jelas enggak pernah.”

10.53 PM, 1 Hour 7 Minutes to Doomsday.

“Terus kenapa kamu mau-mau aja hubungi aku?”

“Impresi pertama kan kataku, you seems nice from that note.”

10.57 PM, 1 Hour 3 Minutes to Doomsday.

“Padahal kamu bisa lakukan rutinitasmu yang lain daripada meladeni note-ku dan berpotensi dijahati oleh aku, kan?”

10.59 PM, 1 Hour 1 Minutes to Doomsday.

Jungwon menggeleng, kemudian beranjak berdiri dari tempatnya, membuat Suno mendongak untuk menatapnya.

Satu tangan Jungwon diulurkan ke arah Sunoo, yang mengundang kerutan di keningnya dan tatapan bingung ditujukan kepada netra lawan bicaranya.

11.00 PM, 1 Hour 49 to Doomsday. ‎ ‎

“Satu jam menuju akhir dunia, kamu sudah lakukan hal jahat apa buatku?”

Tangannya masih terulur, yang kemudian disambut oleh Sunoo. Dirinya ditarik berdiri dan ketika ia sudah bertumpu pada kedua kakinya sendiri, satu tangannya yang dipegangi tadi diangkat tinggi dan ia diisyaratkan untuk berputar—seperti berdansa.

‎ ‎11.01 PM, 59 Minutes to Doomsday.

“Enggak ada 'kan?”

Pinggangnya ditangkap kemudian tubuhnya diayunkan melangkah menjauhi sofa dan meja ruang tengah.

“And i did promise to hold you.”

(“I will hold you.”)

‎ ‎11.11 PM, 49 Minutes to Doomsday.

Sunoo membiarkan hening menyenangkan mengisi ruang mereka sebersamaan dengan setiap langkahnya dituntun Jungwon dalam sebuah dansa yang berantakan. Satu tangannya masih saling bertautan dengan milik Jungwon, satunya lagi diletakkan di pundak Jungwon yang sibuk membawanya berputar-putar dalam langkah mereka pada ruangan kecil tersebut.

‎ ‎11.21 PM, 39 Minutes to Doomsday.

Mereka terus berputar dalam hening yang nyaman. Netra yang saling mengunci. Juga rematan pada masing-masing jemari yang saling menguat, seperti tidak ingin lepaskan satu sama lain kendati dunia akan berakhir.

‎ ‎11.31 PM, 29 Minutes to Doomsday.

Tidak ada suara apapun yang mengisi bahkan ketika sunoo beralih letakkan wajahnya di perpotongan pundak Jungwon, hirup aroma sabun mandi lawan dansanya sekarang.

‎ ‎11.41 PM, 19 Minutes to Doomsday.

“Thank you for holding me like what i want.”

“Tentu, toh, bukan cuman permintaanku yang harus dipenuhi kan?”

‎ ‎11.51 PM, 9 Minutes to Doomsday.

“Sunoo, aku mau lihat wajahmu.”

Wajah yang tadi disembunyikan di tengkuk lawan dansanya dibawa kembali ke dunia, menatap lawan bicaranya begitu dekat dengan kedua tangan yang kini melingkar melalui kedua pundak tersebut.

‎ ‎11.55 PM, 5 Minutes to Doomsday.

“Rutinitasmu. Ceritakan rutinitasmu sebelum tidur kepadaku.”

“Sebelum tidur, aku akan cuci muka dan kaki. Kemudian dikeringkan sebelum naik ke atas kasur.”

Tubuhnya diayun lagi, wajahnya semakin mendekat dan Sunoo bisa rasakan napas Jungwon menerpa langsung pada wajahnya.

“Lalu?”

“Lalu aku akan mengucapkan selamat tidur untuk diriku sendiri.”

‎ ‎11.56 PM, 4 Minutes to Doomsday.

“Kemudian aku larut dalam lelap.”

‎ ‎11.57 PM, 3 Minutes to Doomsday.

“Kamu tidak pernah berharap datangnya mimpi indah?”

‎ ‎11.58 PM, 2 Minutes to Doomsday.

“Enggak pernah sebelumnya. Mungkin, malam ini akan aku coba, tapi tanpa aku coha pun kurasa mimpiku akan bagus, i'm in your arms, right now.”

‎ ‎11.59 PM, 1 Minute to Doomsday.

“Selamat malam, Jungwon.”

Sunoo tersenyum ketika kemudian Jungwon turut berujar yang sama sepertinya.

“Selamat malam, Sunoo. Semoga mimpimu indah.”

‎ ‎00.00 PM, Doomsday.

Dan apabila kemudian pijakannya tiba-tiba menghilang runtuh ke dalam bumi yang sedang mendekstruksi dirinya sendiri, mereka temukan nyaman yang begitu hangat. Bahkan, ketika jemari-jemari itu terpisahkan dengan paksa ketika mereka turut ditelan oleh bumi yang meruntuh.

Sunoo mengulas senyumnya, sebab samar dalam penghujung hidupnya, ia dengar sebuah doa lainnya yang ia aminkan dengan penuh harap.

‎ ‎ ‎ ”(Di kehidupan selanjutnya, apabila ada, aku juga ingin bersamamu seperti sekarang, tetapi lebih lama tanpa dikejar oleh apapun. Semoga, semoga, semoga kita bisa saling menemukan kembali.“)

07.00 PM — 5 Hours to Doomsday.

“5 hours to doomsday, Kim Sunoo.”

Lututnya berdebum lebih dahulu menuju lantai dan isak tangisnya menggema pada lorong yang senyap.

06.59 PM — 5 Hours 1 Minutes to Doomsday.

Mungkin benar adanya, bila kotak pandora itu ditutup rapat dan pintu lain yang dibuka untuk menyambut hal baik, maka hanya akan ada harapan yang kembali ke dalam perapian rumahmu.

06.57 PM — 5 Hours 3 Minutes to Doomsday.

Bel pintu apartemennya berbunyi.

06.55 PM — 5 Hours 5 Minutes to Doomsday.

Seperti ia yang kehilangan seluruh substansi hidupnya—ia juga mulai kehilangan harapan.

06.41 PM — 5 Hours 19 Minutes to Doomsday.

“He will be here.”

Kakinya dibawa untuk mengambil jarak terdekatnya dengan pintu apartemennya.

“He will hold me.”

06.27 PM — 5 Hours 33 Minutes to Doomsday.

Ia sudah lebih tenang sekarang. Langkahnya dibawa ringan untuk mendekat pada tumbuhan sukulen kaktus kecil yang bertengger di atas meja makan. Disapanya dengan senyuman dan sebuah usapan pada pot berwarna putih tempatnya bertumbuh.

“Kamu enggak perlu lihat gimana dunia ini berakhir ya.”

Kemudian ia menoleh pada lorong menuju pintu apartemennya, memperhatikannya lamat seperti menunggu keajaiban datang melalui pintu itu—satu keajaiban terakhir dalam hidupnya.

Napasnya ditarik sebelum ia berujar perlahan lagi—

“He will hold me.”

—dengan penuh doa yang diaminkan pada setiap katanya.

06.27 PM — 5 Hours 33 Minutes to Doomsday.

Ia sudah lebih tenang sekarang. Langkahnya dibawa ringan untuk mendekat pada tumbuhan sukulen kaktus kecil yang bertengger di atas meja makan. Disapanya dengan senyuman dan sebuah usapan pada pot berwarna putih tempatnya bertumbuh.

“Kamu enggak perlu lihat gimana dunia ini berakhir ya.”

Kemudian ia menoleh pada lorong menuju pintu apartemennya, memperhatikannya lamat seperti menunggu keajaiban datang melalui pintu itu—satu keajaiban terakhir dalam hidupnya.

Napasnya ditarik sebelum ia berujar perlahan lagi—

“He will hold me.”

—dengan penuh doa yang diaminkan pada setiap katanya.