gumongjae

Senyum tak luntur keluar dari mulut Haechan yang sekarang sedang melihat Mark dari balik kaca super market yang berada di pinggiran Sungai Han. Mungkin malam ini menjadi salah satu malam manis yang akan Haechan tuliskan di daftar hari manis yang ia punya.

Karena, malam ini dia berhasil keluar dan simulasi kencan dengan Mark. Ya meskipun baru tiga puluh menit mereka menghabiskan waktu berdua saja. Karena sebelumnya ada Jaehyun yang menjadi jembatan cinta Haechan kepada Mark.

“Nih.. MInum, gue bilang juga apa. Lo nggak akan kuat basket bareng kita,” Mark yang baru saja keluar dari super market menyerahkan satu botol besar minuman ion kepada Haechan. Tanpa basa-basi, Haechan langsung mengambil minuman itu dengan senyuman.

Tadi Mark sendiri yang menawarkan untuk membelikan minuman. Sekarang kalian bisa bayangkan bagaimana lebarnya senyum Haechan saat mulai membuka minuman yang ia dapatkan dari Mark.

“Kalau udah minum kita balik yuk langsung. Besok ada jadwal kan.” Mark bangkit dari duduknya, mengajak Haechan untuk segera pulang. Namun ajakan Mark sama sekali tidak disetujui oleh Haechan.

“Nggak mau makan dulu Kak? Kita mumpung lagi di luar loh? Eh atau sepedahan dulu?” Haechan berbicara sambil menyamakan langkah nya dari Mark yang sekarang sudah lurus melangkah menjauhi super market tempat mereka duduk tadi. “Kak? Kak Mark....”

Haechan meraih lengan Mark dan membuat Mark menghentakan lengannya. Setelah itu Haechan tersenyum memperlihatkan deretan giginya di depan Mark, bersiap untuk memohon kembali kepada Mark.

“Lo itu nggak cape apa nempel terus sama gue?” Nada kesal kental sekali terdengar beradu dengan intonasi suaran Mark. Haechan menggeleng menjawab pertanyaan Mark.

“Kenapa harus cape? Gue suka deket-deket lo,” jawab Haechan.

“Tapi gue risih tau. Lo kebanyakan sentuh-sentuh gue!” Satu lagi teriakan penuh tekanan keluar dari mulut Mark, setelah teriakan itu Mark langsung menengokan kepalanya ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada orang yang terganggu dan sadar kalau mereka sedang berselisih.

Haechan mengeratkan pergelangan tangannya. Dalam hatinya terucap sebuah mantra. Mantra yang berucap kalau ini hanya sebagian dari cara Mark mengungkapkan rasa nya.

“T-tapi gue suka deket-deket sama lo! G-gue nggak bisa jauh dari lo, lo itu gemesin Ka!!” Haechan membalas perkataan Mark dengan kepala menengadah, membuat postur tak gentar dan pantang menyerah.

“Tapi gue risih Lee Haechan.”

“Tapi lo nggak bilang lo nggak suka, jadi nggak apa-apa dong? Lama-lama lo juga pasti suka gue ada di deket lo,” Haechan memotong omongan dari Mark.

“Tau di mana lo kalau gue bakalan jadi suka kalo lo di deket gue?” Mark berbicara dengan nada malasnya. Menghadapi Haechan itu harus banyak-banyak menumpuk sabar. Dia tidak boleh ikut alurnya, itu hanya membuat dia kalah.

Senyuman Haechan terukir saat mendapatkan pertanyaan yang tidak biasa dari Mark. Tidak sia-sia rupanya memiliki mulut yang ceplas-ceplos. “Tau dari gue! Liat aja, lama kelamaan lo pasti suka gue deketin, lo pasti terbiasa dengan apa yang gue lakuin di samping lo. Lo tunggu aja sampai hari itu tiba Mark Lee.”

“Terserah..”

Mark mendengus mendengar jawaban dari Haechan, setelah itu dia berbalik dan kembali melanjutkan langkah nya menjauhi Sungai Han yang sudah mulai sepi karena bumi sudah lebih menggelap. Melihat punggung Mark yang berjalan tanpa keraguan menyadarkan Haechan kalau mulai dari detik ini dia akan mulai maraton nya.

Pertandingan maraton yang dia sendiri tidak tau di mana garis finish nya.

“Kak Mark, keren..”

Entah sudah berapa kali Haechan merapalkan kalimat itu saat matanya disuguhi pemandangan Mark yang tengah unjuk gigi di dalam ruang rekaman berlapis dinding kaca transparan di depannya.

Haechan benar-benar tidak langsung pulang meskipun rekaman dia sudah sempurna dan selesai.

Dia benar-benar menunggui Mark untuk rekaman.

“Kak Jae, aku minta istirahat boleh?”

Sayup-sayup suara Mark terdengar di dalam ruangan kaca sana. Rupanya Mark sedang mengalami masalah saat menyanyikan bagiannya, sangat terlihat raut tidak puas selalu tergambar di wajah Mark setelah dia membuka mulutnya dan menyuarakan bagiannya. Haechan, menyadari itu.

Bahkan dari awal dia sudah merasakan kalau Mark tidak ada dalam keadaan terbaiknya hari ini.

Okay Mark, take your time.

Pria jangkung yang membalas pertanyaan Mark itu pun melepas headphone yang sedari pagi bertengger manis di kepalanya. Setelah itu dia berbalik, satu senyuman terulas saat matanya dipenuhi oleh pemandangan Haechan yang sedang menatap Mark khawatir.

“Biasa aja kali Chan, natap nya. Bisa bolong itu kaca kalau kamu natap Mark kaya gitu,” ucapnya membuat Haechan kaget.

“Kak Jae! Ish kalau mau manggil pake ancang-ancang dong! Kan aku kaget.” Haechan mengelus dadanya menatap Jaehyun sengit, namun beberapa detik kemudian rautnya kembali menjadi raut khawatir. “Kak Jae? Kak Mark nggak kenapa-napa kan?”

Satu senyuman dibarengi munculnya lesung pipi di kedua sisi wajah laki-laki yang Haechan sebut “Kak Jae” itu muncul. Sangat menggemaskan, pikirnya.

“Nggak apa-apa, Mark cuma lagi lost sedikit aja. Jangan terlalu khawatir.”

“Tapi hasil rekamannya bagus kan? Aku denger tadi bagus deh..”

Tawa kembali menggelegar di mulut pria berlesung pipi itu saat mendengar ucapan dari Haechan. “Iya bagus, tapi karena Mark minta ulang terus, Kakak nggak bisa apa-apa. Artis nya juga harus puas sama hasil rekamannya. Biar nanti nggak ada yang ganjel.”

Haechan menganggung mendengar penjelasan dari sang produser, Jaehyun. Ya, Jaehyun yang semasa trainee menjadi saingan duo Mark dan Donghyuck. Jaehyun memutuskan untuk tidak debut dan menjajal karir nya di bidang produse musik.

“Hhhh emang perfeksionis banget dah tu orang..” Haechan bergumam sambil menatap Mark tajam.

___

“Lo belom pulang?”

Ucapan pertama yang keluar dari Mark setelah sesi rekaman yang memakan waktu dua jam setengah itu keluar saat melihat Haechan yang berdiri di depan pintu menyodorkan botol minuman kepadanya. Nadanya terkesan tidak ramah, cenderung kesal.

“Gue nungguin lo,” Haechan menyodorkan minumannya kepada Mark, “Nih.. minum.”

Napas lelah keluar dari mulut Mark saat melihat Haechan menyodorkan sebotol gelas untuknya. Jujur saja, ini bukan hal yang bisa membuat dia kesal, tapi kenapa dia sangat kesal hanya dengan melihat Haechan seperti itu?

“Nggak usah.”

Setelah mengucapkan itu Mark berlalu pergi meninggalkan Haechan yang hanya bisa diam melihat punggung Mark menjauhi nya. Meninggalkan beribu tanya tentang sikap Mark yang seperti ini kepadanya.

“Mark kecapean doang. Udah jangan dipikirin,” lamunan Haechan terhenti oleh ucapan Jaehyun yang tadi melihat adegan tolak air minum antara Mark dan Haechan. Satu usapan di rambut Haechan membuat dia sepenuhnya sadar kalau dia sudah ditinggalkan oleh Mark.

“Eh? Ah. .Iya Kak..”

“Jangan bengong, nanti kesambet. Udah gih susul Mark, pulang istirahat,” lanjut Jaehyun.

Haechan menatap sengit Jaehyun, “sembarangan kalo ngomong. Dah ah aku balik. bye Kak Jae..”

Setelah mengucap salam kepada Jaehyun dan seluruh staff yang ada di ruang rekaman, Haechan bergegas untuk menyusul Mark dan mungkin sang manajer yang telah ada di parkiran untuk pulang.

Senyum dia tautkan sebelum memanggil Mark yang sekarang sudah terduduk dengan mata terpejam rapih. Mungkin benar kata Jaehyun, Mark hanya sedang capek saja. Haechan berharap itu benar.

Denting jam dinding yang tergantung di salah satu ruangan bercat putih bertuliskan MS Entertaiment terdengar sangat nyaring. Sangat nyaring sampai-sampai dua tangan berkulit tan nan mungil yang biasanya melayang percaya diri merapat menahan gugup. Sudah sekitar 15 menit anak itu duduk sambil menggenggam tangannya dan menggoyang-goyang kan kakinya gusar.

Bukan karena apa, tapi sejak 15 menit itu dia sedang menunggu seseorang untuk pertama kalinya. Seseorang yang kata Manajer Hanㅡ orang yang mengurus dia dan teman-teman trainee, akan menjadi teman semasa pelatihannya di agensi itu.

Umurnya masih belum genap menginjak 13 tahun, tapi dengan seluruh tekadnya bocah kecil itu rela mengikuti audisi bersama puluhan ribu orang untuk berebut tempat menjadi salah satu siswa pelatihan di agensi ternama ini.

Suara dia nyaring. Terlampau nyaring karena belum terjamah pubertas. Tapi berkat suara yang percaya diri itu dia bisa berada di sini. Mengalahkan beribu-ribu orang yang saling sikut ingin masuk dan berlatih di sini.

Trainee baru?”

Kepala mungil itu mendongak saat satu sapaan menghampiri rungunya. Detik berikutnya satu senyum ceria andalannya muncul senada dengan badannya yang sudah sigap untuk berdiri dan menyambut orang yang menyapa nya dengan salam.

“Iya. Nama aku Donghyuck. Lee Donghyuck,” tangan kecil itu mengulur dengan percaya diri di hadapan pria yang masih sama-sama kecil berkaos abu itu. Tak lama kemudian, senyum Donghyuck semakin berkembang tat kala uluran tangan yang dia julurkan mendapat sambutan.

“Nama gue Minhyung. Lee Minhyung, tapi Kakak – kakak di sini manggil gue Mark. Jadi lo juga manggil gue Mark aja,” ucap laki-laki itu.

Haechan mengangguk paham.

“Salam kenal Kak Mark. Semoga kita bisa jadi temen dan debut bareng nanti.”

Mark mengangguk seadanya mendengar jawaban polos dari Haechan. “Mmh.. Kalau gitu, kita langsung ke ruang latihan?” Haechan mengangguk cepat meng-iyakan ucapan Mark.

Ini adalah hal yang dia tunggu.

“AYO !!!!” teriak Haechan dengan cengiran cerianya membawa tawa bagi Mark. Entah tawa akan malu atau karena gemas terhadap bocah kecil itu.

Hari itu.

Hari di mana Haechan menggebu dengan mimpi nya untuk tampil di panggung. Hari di mana Haechan menanam mimpi nya tinggi untuk bernyanyi dan menari di hadapan banyak orang, menjadi hari di mana dia menemukan sosok yang amat dia kagumi sepanjang hidupnya.

Lee Minhyung. Ah tidak... Mereka sebut dia Mark Lee.

“K-kak Jonathan?”

Jean berucap saat dia melihat Jonathan tengah berdiri di depan pintu kosannya. Tatapan Jonathan sangat dingin dan sangat tidak ramah menusuk netra coklat Jean.

“Lo satu-satu nya saksi mata pembunuhan kakak gue kan?”

Tanpa basa-basi, Jonathan langsung berbicara. Masih dengan posisi dia yang berdiri di depan pintu kosan Jean dan dengan tatapan dingin dan tajam itu. Jean menelan ludah nya dan mengangguk.

Apa yang akan dilakukan Jonathan kepadanya? Jean sudah bilang semua nya kepada polisi, semua yang coba dia ingat. Tapi kenapa Jonathan malah kembali menemui nya?

“Lo liat wajah pembunuh itu,” Jeha mengangguk, tidak dengan pertanyaan itu lagi. Dia sama sekali tidak bisa mengingat bagian itu. “Dan lo pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu..”

Jean mengangkat kepalanya menatap Jonathan saat mendengar kalimat itu.

Pura-pura?

“Gue beneran nggak inget muka nya Kak. Buat apa gue pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu?” Jean mendengus setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus kembali mengatakan ini kepada Jonathan. Okay dia tau Jonathan itu adalah adik dari korban, tapi kan Jean sudah mengatakan semua nya kepada polisi? Semuanya dengan sejujur-jujurnya. Jujur kalau dia tidak mengingat wajah pembunuh itu.

Tapi kenapa sekarang laki-laki di depannya ini menuduhnya dengan tuduhan tidak masuk akal?

Demi Tuhan, Jean lelah. Dia baru saja keluar dari rumah sakit.

“Kenapa diem? Lo beneran kaki tangan pembunuh itu?” Jonathan kembali mendesak Jean untuk membuka mulutnya.

“Terserah. Percaya apa yang mau lo percaya. Gue udah bilang semuanya ke polisi, dan gue rasa tugas gue udah selesai.” Jean berbalik dan masuk ke dalam kosannya bersiap untuk menutup pintu sebelum Jonathan membuka mulutnya.

“Buktiin!! Buktiin kalau lo bukan kaki tangan pembunuh itu.”

Jean menatap Jonathan gugup.

“Ayo kita ke cafe itu, kita buat ingatan lo yang ilang itu balik lagi.”

“K-kak Jonathan?”

Jean berucap saat dia melihat Jonathan tengah berdiri di depan pintu kosannya. Tatapan Jonathan sangat dingin dan sangat tidak ramah menusuk netra coklat Jean.

“Lo satu-satu nya saksi mata pembunuhan kakak gue kan?”

Tanpa basa-basi, Jonathan langsung berbicara. Masih dengan posisi dia yang berdiri di depan pintu kosan Jean dan dengan tatapan dingin dan tajam itu. Jean menelan ludah nya dan mengangguk.

Apa yang akan dilakukan Jonathan kepadanya? Jean sudah bilang semua nya kepada polisi, semua yang coba dia ingat. Tapi kenapa Jonathan malah kembali menemui nya?

“Lo liat wajah pembunuh itu,” Jeha mengangguk, tidak dengan pertanyaan itu lagi. Dia sama sekali tidak bisa mengingat bagian itu. “Dan lo pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu..”

Jean mengangkat kepalanya menatap Jonathan saat mendengar kalimat itu.

Pura-pura?

“Gue beneran nggak inget muka nya Kak. Buat apa gue pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu?” Jean mendengus setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus kembali mengatakan ini kepada Jonathan. Okay dia tau Jonathan itu adalah adik dari korban, tapi kan Jean sudah mengatakan semua nya kepada polisi? Semuanya dengan sejujur-jujurnya. Jujur kalau dia tidak mengingat wajah pembunuh itu.

Tapi kenapa sekarang laki-laki di depannya ini menuduhnya dengan tuduhan tidak masuk akal?

Demi Tuhan, Jean lelah. Dia baru saja keluar dari rumah sakit.

“Kenapa diem? Lo beneran kaki tangan pembunuh itu?” Jonathan kembali mendesak Jean untuk membuka mulutnya.

“Terserah. Percaya apa yang mau lo percaya. Gue udah bilang semuanya ke polisi, dan gue rasa tugas gue udah selesai.” Jean berbalik dan masuk ke dalam kosannya bersiap untuk menutup pintu sebelum Jonathan membuka mulutnya.

“Buktiin!! Buktiin kalau lo bukan kaki tangan pembunuh itu.”

Jean menatap Jonathan gugup.

“Ayo kita ke cafe itu, kita buat ingatan lo yang ilang itu balik lagi.”

“K-kak Jonathan?”

Jean berucap saat dia melihat Jonathan tengah berdiri di depan pintu kosannya. Tatapan Jonathan sangat dingin dan sangat tidak ramah menusuk netra coklat Jean.

“Lo satu-satu nya saksi mata pembunuhan kakak gue kan?”

Tanpa basa-basi, Jonathan langsung berbicara. Masih dengan posisi dia yang berdiri di depan pintu kosan Jean dan dengan tatapan dingin dan tajam itu. Jean menelan ludah nya dan mengangguk.

Apa yang akan dilakukan Jonathan kepadanya? Jean sudah bilang semua nya kepada polisi, semua yang coba dia ingat. Tapi kenapa Jonathan malah kembali menemui nya?

“Lo liat wajah pembunuh itu,” Jeha mengangguk, tidak dengan pertanyaan itu lagi. Dia sama sekali tidak bisa mengingat bagian itu. “Dan lo pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu..”

Jean mengangkat kepalanya menatap Jonathan saat mendengar kalimat itu.

Pura-pura?

“Gue beneran nggak inget muka nya Kak. Buat apa gue pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu?” Jean mendengus setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus kembali mengatakan ini kepada Jonathan. Okay dia tau Jonathan itu adalah adik dari korban, tapi kan Jean sudah mengatakan semua nya kepada polisi? Semuanya dengan sejujur-jujurnya. Jujur kalau dia tidak mengingat wajah pembunuh itu.

Tapi kenapa sekarang laki-laki di depannya ini menuduhnya dengan tuduhan tidak masuk akal?

Demi Tuhan, Jean lelah. Dia baru saja keluar dari rumah sakit.

“Kenapa diem? Lo beneran kaki tangan pembunuh itu?” Jonathan kembali mendesak Jean untuk membuka mulutnya.

“Terserah. Percaya apa yang mau lo percaya. Gue udah bilang semuanya ke polisi, dan gue rasa tugas gue udah selesai.” Jean berbalik dan masuk ke dalam kosannya bersiap untuk menutup pintu sebelum Jonathan membuka mulutnya.

“Buktiin!! Buktiin kalau lo bukan kaki tangan pembunuh itu.”

Jean menatap Jonathan gugup.

“Ayo kita ke cafe itu, kita buat ingatan lo yang ilang itu balik lagi.”

“K-kak Jonathan?”

Jean berucap saat dia melihat Jonathan tengah berdiri di depan pintu kosannya. Tatapan Jonathan sangat dingin dan sangat tidak ramah menusuk netra coklat Jean.

“Lo satu-satu nya saksi mata pembunuhan kakak gue kan?”

Tanpa basa-basi, Jonathan langsung berbicara. Masih dengan posisi dia yang berdiri di depan pintu kosan Jean dan dengan tatapan dingin dan tajam itu. Jean menelan ludah nya dan mengangguk.

Apa yang akan dilakukan Jonathan kepadanya? Jean sudah bilang semua nya kepada polisi, semua yang coba dia ingat. Tapi kenapa Jonathan malah kembali menemui nya?

“Lo liat wajah pembunuh itu,” Jeha mengangguk, tidak dengan pertanyaan itu lagi. Dia sama sekali tidak bisa mengingat bagian itu. “Dan lo pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu..”

Jean mengangkat kepalanya menatap Jonathan saat mendengar kalimat itu.

Pura-pura?

“Gue beneran nggak inget muka nya Kak. Buat apa gue pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu?” Jean mendengus setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus kembali mengatakan ini kepada Jonathan. Okay dia tau Jonathan itu adalah adik dari korban, tapi kan Jean sudah mengatakan semua nya kepada polisi? Semuanya dengan sejujur-jujurnya. Jujur kalau dia tidak mengingat wajah pembunuh itu.

Tapi kenapa sekarang laki-laki di depannya ini menuduhnya dengan tuduhan tidak masuk akal?

Demi Tuhan, Jean lelah. Dia baru saja keluar dari rumah sakit.

“Kenapa diem? Lo beneran kaki tangan pembunuh itu?” Jonathan kembali mendesak Jean untuk membuka mulutnya.

“Terserah. Percaya apa yang mau lo percaya. Gue udah bilang semuanya ke polisi, dan gue rasa tugas gue udah selesai.” Jean berbalik dan masuk ke dalam kosannya bersiap untuk menutup pintu sebelum Jonathan membuka mulutnya.

“Buktiin!! Buktiin kalau lo bukan kaki tangan pembunuh itu.”

Jean menatap Jonathan gugup.

“Ayo kita ke cafe itu, kita buat ingatan lo yang ilang itu balik lagi.”

“K-kak Jonathan?”

Jean berucap saat dia melihat Jonathan tengah berdiri di depan pintu kosannya. Tatapan Jonathan sangat dingin dan sangat tidak ramah menusuk netra coklat Jean.

“Lo satu-satu nya saksi mata pembunuhan kakak gue kan?”

Tanpa basa-basi, Jonathan langsung berbicara. Masih dengan posisi dia yang berdiri di depan pintu kosan Jean dan dengan tatapan dingin dan tajam itu. Jean menelan ludah nya dan mengangguk.

Apa yang akan dilakukan Jonathan kepadanya? Jean sudah bilang semua nya kepada polisi, semua yang coba dia ingat. Tapi kenapa Jonathan malah kembali menemui nya?

“Lo liat wajah pembunuh itu,” Jeha mengangguk, tidak dengan pertanyaan itu lagi. Dia sama sekali tidak bisa mengingat bagian itu. “Dan lo pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu..”

Jean mengangkat kepalanya menatap Jonathan saat mendengar kalimat itu.

Pura-pura?

“Gue beneran nggak inget muka nya Kak. Buat apa gue pura-pura nggak inget wajah pembunuh itu?” Jean mendengus setelah mengucapkan kalimat itu. Dia sebenarnya tidak mengerti kenapa dia harus kembali mengatakan ini kepada Jonathan. Okay dia tau Jonathan itu adalah adik dari korban, tapi kan Jean sudah mengatakan semua nya kepada polisi? Semuanya dengan sejujur-jujurnya. Jujur kalau dia tidak mengingat wajah pembunuh itu.

Tapi kenapa sekarang laki-laki di depannya ini menuduhnya dengan tuduhan tidak masuk akal?

Demi Tuhan, Jean lelah. Dia baru saja keluar dari rumah sakit.

“Kenapa diem? Lo beneran kaki tangan pembunuh itu?” Jonathan kembali mendesak Jean untuk membuka mulutnya.

“Terserah. Percaya apa yang mau lo percaya. Gue udah bilang semuanya ke polisi, dan gue rasa tugas gue udah selesai.” Jean berbalik dan masuk ke dalam kosannya bersiap untuk menutup pintu sebelum Jonathan membuka mulutnya.

“Buktiin!! Buktiin kalau lo bukan kaki tangan pembunuh itu.”

Jean menatap Jonathan gugup.

“Ayo kita ke cafe itu, kita buat ingatan lo yang ilang itu balik lagi.”

“S-saya beneran nggak inget...”

Jean menggenggam kedua tangannya erat. Mendapatkan pertanyaan seperti itu di hari ke dua dia membuka matanya sungguh membuat Jean tidak nyaman.

Karena potongan ingatan dia pada malam itu hilang. Benar – benar hilang.

“Pelan-pelan aja. Kita lihat di rekaman cctv kalau kamu buka masker pembunuhnya,” polisi itu menyodorkan satu lembar foto kepada Jean. “Muka pembunuh itu, ini 'kan?”

Jean menggelengkan kepalanya, “saya beneran nggak inget. Demi Tuhan,” napas nya terengah. Sudah sejak setengah jam yang lalu kedua polisi ini menanyai dan terus menyodorkan foto yang sama kepada Jean.

“M-malem itu..” tangan Jean bergetar. Ada yang aneh di diri Jean saat dia membicarakan tentang malam itu. Dia tidak ingat sepenuhnya, dia hanya ingat bagaimana dia berusaha melawan, dan dia hanya ingat bagaimana dia dicekik dan ditusuk oleh pembunuh itu.

Dan mengingat hal – hal seperti itu membuat Jean kembali takut.

“Ahh kalau gitu, saya tunjukin kamu video malem itu..”

Polisi itu terus bersikekeuh ingin mendapat pernyataan dari Jean. Tak memperdulikan Jean yang sekarang sudah bermandikan keringat dingin saat polisi itu mulai mengeluarkan ipadnya.

Detik berikutnya, mata Jean memerah saat dia melihat rekaman yang diambil dari sisi kanan yang menunjukan bagaimana aksi pembunuh itu sedang mencekik nya. Rasanya sesak. Jean seperti berada pada malam itu lagi.

“Liat baik-baik,” ucap polisi itu.

Stop..” ucap Jean tersenggal.

“SAYA BILANG STOP !!!!” Jean berdiri lalu menepis ipad yang berada di hadapannya sampai terjatuh. Napas nya masih acak tak beraturan, matanya memerah menahan air mata, setelah itu Jean terjatuh dari duduk nya, bersimpuh di lantai.

BRAKK

Suara pintu dari kamar rawat Jean terbuka dengan keras, menampilkan Dirgantara yang berselimut peluh dan napas tak beraturan khas orang setelah berlari. Matanya membulat melihat Jean duduk bersimpuh di lantai.

“Jeha?!!”

Jean menghembuskan napasnya. Dia paling tidak suka untuk masuk ke gudang penyimpanan di cafe tempat dia bekerja. Selain jauh di lantai bawah, gudang itu juga gelap. Biasanya kalau dia pergi ke gudang dia selalu ditemani Mba Utut atau pegawai yang lainnya. Tapi sial nya, malam ini hanya ada dia sendiri di cafe. Mau tidak mau dia harus turun sendiri untuk mengambil biji kopi itu.

“Itu mas mas kok nggak balik ya. Nyusahin gue aja.”

Setelah menguatkan tekad untuk beberapa menit di depan tangga sambil terus merutuki pelanggal laki-laki yang sudah sedaritadi duduk mengisi cafe sendirian, Jean melangkahkan kakinya turun meniti anak tangga menuju ke gudang penyimpanan.

“Kopi item..” Jean terus berguman sambil mengelilingi gudang penyimpanan itu mencari biji kopi yang menjadi pesanan pelanggannya itu. “Nah ketemu.”

Dengan terburu Jean mengambil satu bungkus biji kopi itu, setelah itu dia mematikan lampu gudang penyimpanan dan melangkah cepat untuk keluar dari gudang penyimpanan itu. Bulu kuduk nya merinding.

“Gila. Nggak akan lagi gue masuk ke gudang sendirian.”

Jean kembali membuang napasnya. Setelah mendapatkan biji kopi di tangannya, Jean berjalan kembali ke counter cafe, namun langkah nya terhenti saat dia melihat kursi cafe yang berantakan. Mata Jean otomatis melihat apa yang terjadi di dalam cafe.

Seketika, mata Jean membulat saat dia melihat satu orang laki – laki bermasker tengah memegang pisau yang belumuran darah dengan laki – laki yang merupakan pelanggannya sudah terbujur kaku di bawahnya.

bruk..

Tangan Jean melepas satu bungkus biji kopi itu membuat laki – laki bermasker itu menoleh ke arahnya.

“Oh.. Hai? ada saksi rupanya.”

Tangan Jean bergetar saat mendengar dan melihat laki-laki bermasker itu datang menghampirinya. Kaki nya mendadak kelu dan tidak bisa bergerak. Sesaat kemudian, leher Jean sudah terhimpit oleh dua tangan besar dengan sarum tangan hitam, memotong pasokan oksigen untuk Jean hirup.