(NO) DIGGITY
Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja.
“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya.
Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion.
Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya
Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.
“Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.
Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.
“Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.
“Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.
“Oh-uhm … itu anu, Jean …”
“Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.
“Bro!! Lo gak kejar Jean?”
“H-hah?”
“Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!”
“Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”
“Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”
“Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”
“Iya, sih.”
“Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.
Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya.
Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia.
Xion.hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya.
Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat.
Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu.
“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu.
“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“
“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih.
“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun.
Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu.
“Ngomong, Jean!”
“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa nafsu pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”
“Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.
“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee.”
“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean.” Xion beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya.
Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari.
“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”
“Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee.
Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.
Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.
“Keonhee!”
Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.
Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka.
Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.
“K-Keonhee, aku gak bisa napas.”
Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya.
“A-ah, sorry ….”
Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.
“Ehem, Keonhee?”
“Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama.
Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.
Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.
Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …
“Will you marry me, Jean?”