haruvi

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion.hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa nafsu pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean.” Xion beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”

“Do, nanti ajak Sena sama Rava juga ya.”

“Do, Sena sama Rava mana?”

“Yah, Do. Kok mereka gak jadi dateng sih?”

Entah sudah keberapa kali lelaki bernama Edo itu mendengkus kesal mendengar pacarnya, Mille menanyakan tentang kedua sahabatnya dalam jeda beberapa menit saja. Bukan suatu rahasia lagi ketika gadis bernama Mille itu selalu mengelu-elukan Sena dan Rava yang notabene adalah dua cowok populer di kampusnya. Dua cowok populer yang mana mereka juga menyandang sebagai sahabat Edo, kekasihnya.


Mille memang sempat dekat dengan ketiganya karena mereka pernah satu kelompok ketika acara camping tahunan yang diadakan kampus mereka tahun lalu. Satu momen yang membuat Mille menyandang predikat ‘cewek paling beruntung’ di kampusnya saat itu. Bagaimana tidak? Dia bisa sekelompok dengan tiga cowok yang selalu menjadi topik utama setiap hari di seantero kampusnya.

“Gila. Lucky banget lo, Mil. Pake pelet merek apa btw?” tanya Asya, sahabatnya.

“Hush. Ngawur ah, Sya. Jujur, malah gak nyaman gue sekelompok sama mereka,” ujar Mille menyampaikan keresahannya,

“Lhoh? Kenapa? Harusnya lo seneng dong bisa segrup sama tiga malaikat jelmaan manusia itu.”

“Sya, lo tuh pura-pura gak tau apa berlagak bego sih?”

“Iya. Emang gue bego kok. Gak usah diingetin lagi. Nyesek, Mil.” Tangan Asya mengusap hidungnya, berakting memelas.

“Ye, nih anak malah baper.”

“Gak, gak. Canda Mil. Emang kenapa sih? Beneran gak tau nih gue,” tanya Asya penasaran dengan sebab keresahan temannya itu.

“Sejak hari diumumin grup camping tuh. Perasaan gue gak nyaman. Tiap lewat lorong mesti kayak ada tatapan intimidasi gitu, Sya.”

“Halah Perasaan lo aja itu mah,” sangkal Asya mencoba menenangkan. Sebenarnya Asya tahu akan hal itu. Resiko jika berurusan dengan tiga cowok populer itu tak lain dan tak bukan adalah tatapan iri dari semua cewek di seantero kampus. Tapi kali ini ia tak mungkin mengiyakannya, itu hanya akan memperburuk suasana hati sahabatnya Mille.

“Iya kah? Ya semoga aja ya.”

Dan perkataan Asya pada kenyataanya tidak terbukti. Saat acara jerit malam ada yang sengaja menjahili Mille, ia terpisah dengan kelompoknya. Mille memang tidak memiliki phobia gelap. Tapi dia juga bukan gadis pemberani, Mille hanya berlagak ‘sok’ berani untuk mengusir rasa takutnya itu.

Kaki gadis itu sudah gemetar ketika ia melangkah seorang diri di tengah hutan. Namun kakinya benar-benar lemas ketika senter yang digunakannya sebagai satu-satunya penerangan tiba-tiba padam. Gadis itu hanya bisa meringkuk di tempat ia berdiri tadi, memeluk kedua lututnya di tengah hutan. Mille sudah pasrah jika sesuatu terjadi padanya, ia sudah sangat lelah dengan semua tekanan dan apa yang terjadi padanya hari ini.

“Hei!”Gadis itu terperanjat kaget ketika ia merasakan ada sesuatu yang menepuk pelan punggungnya. Ia masih tetap pada posisi meringkuknya. Mille benar-benar tak berani bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya.

“Mille! Ini gue, Edo.” Mendengar nama itu ia memberanikan diri mendongakkan kepalanya. Setelah memastikan dengan matanya sendiri bahwa lelaki di depannya itu memang temannya Edo, tanpa ia sadari ia sudah mengalungkan tangannya erat di leher lelaki itu.

Edo yang tak sempat kaget karena tindakan spontan Mille hanya bisa mengelus-elus pelan punggung gadis itu ketika ia merasakan tubuh Mille bergetar hebat karena ketakutan. Sisa perjalanan malam itu berakhir dengan Edo menggendong Mille di punggungnya. Gadis itu benar-benar tak kuat bahkan hanya untuk menegakkan kedua kakinya. Tak ada percakapan di antara keduanya selama perjalanan pulang menuju perkemahan. Namun ada sesuatu yang diam-diam menghangat dalam hati kedua insan itu.


Ya, ada sesuatu yang berbeda diantara keduanya setelah kejadian malam itu. Diam-diam mereka saling memperhatikan satu sama lain dari kejauhan. Sama-sama menunduk malu ketika kedua netra mereka bertemu. Dua insan itu sudah menebar benih rasa suka sejak malam itu. Namun sampai selang sebulan setelah momen itu, mereka masih saja memendam rasa itu untuk diri mereka sendiri. Tak berani mengungkapkan namun tetap membiarkannya bersemi setiap harinya.

Hingga suatu hari di salah satu sudut perpustakaan sekolahnya, Edo tiba-tiba menghampiri Mille yang sedang asyik dengan buku bacaaannya. Gadis itu benar-benar tenggalam dalam bukunya karena ia benar-benar tak menyadari kehadiran Edo, sampai lelaki itu menurunkan paksa buku yang menghalangi wajah Mille.

Gadis itu sedikit terlonjak setelah menyadari siapa yang ada di depannya saat ini. Lelaki di depannya itu menatap Mille tanpa ekspresi yang berarti. Setelahnya ia menyodorkan sebuah potongan kertas lalu mengisyaratkan Mille untuk membukanya. Mille meraih potongan kertas itu dan perlahan membukanya. Matanya terbelalak kaget melihat apa yang tertulis disana. Gadis itu sampai melepas kacamatanya dan memastikan bahwa ia tak salah baca. Mille mendongakkan kepala, menatap Edo dengan tatapan penuh tanya meminta kepastian. Lelaki tadi masih tak bersuara, ia hanya memajukan dagunya mengisyaratkan Mille untuk memberi jawaban pada apa yang tertulis di potongan kertas tadi.

“Will you be my girlfriend, Mille?”


Setelah drama confession di perpustakaan itu, Edo dan Mille resmi menjalani hubungan pacaran. Sebuah status yang disandang Mille, sebagai pacar resmi Edo itu bukan sesuatu yang benar-benar bisa dibilang menyenangkan. Tak jarang satu dua kali Mille mendapati surat ancaman tanpa nama di lokernya. Namun Mille yang terkenal dengan kecuekannya itu lebih sering menganggapnya angin lalu. Yang terpenting adalah dirinya dan Edo. Orang lain bukan urusannya.

Sena dan Rava, kedua sahabat Edo itu juga sangat berperan penting pada progress hubungan Edo – Mille yang bisa dibilang lempeng-lempeng saja. Bukan karena ketidakcocokan diantara keduanya, tapi karena dua insan itu sama-sama kurang pandai mengekspresikan apa yang ada dalam hati mereka. Dan kehadiran kedua sahabat Edo itu sangat membantu mereka. Mereka akan tiba-tiba nimbrung di tengah obrolan garing Edo – Mille. Tak jarang Sena dan Rava melemparkan godaan-godaan yang selalu sukses memunculkan semburat merah di pipi dua insan yang sedang kasmaran dalam diam itu.

Karena itulah ketika ia melihat Edo datang seorang diri menemuinya, Mille akan selalu menanyakan Sena dan Rava. Gadis itu selalu lebih ceria ketika mereka kumpul berempat. Bukan karena ia tak suka jika ia hanya berduaan dengan Edo. Namun ada sesuatu yang ia nantikan ketika Sena dan Rava hadir diantara mereka. ‘Ekspresi cemburu seorang Leedo’.

Entah sejak kapan gadis itu menjadikan memandang wajah cemburu Edo sebagai salah satu hal favoritnya. Mille sangat menikmati momen ketika Edo tiba-tiba memanyunkan bibirnya diam-diam karena melihatnya lebih akrab dengan kedua sahabatnya. Bukan karena Mille tak nyaman mengobrol lama dengan kekasihnya itu. Gadis itu hanya sedang melakukan observasi mendalam tentang siapa sebenarnya seorang Edo dan apapun tentangnya. Hanya untuk satu tujuan, ia akan perlahan menuntun Edo menuju penjara miliknya dan menguncinya disana. Sebuah penjara yang hanya Mille seorang yang memiliki kunci untuk membukanya.

“Do, nanti ajak Seoho sama Youngjo juga ya.”

“Do, Seoho sama Youngjo mana?”

“Yah, Do. Kok mereka gak jadi dateng sih?”

Entah sudah keberapa kali lelaki bernama Leedo itu mendengkus kesal mendengar pacarnya, Mille menanyakan tentang kedua sahabatnya dalam jeda beberapa menit saja. Bukan suatu rahasia lagi ketika gadis bernama Mille itu selalu mengelu-elukan Seoho dan Youngjo yang notabene adalah dua cowok populer di kampusnya. Dua cowok populer yang mana mereka juga menyandang sebagai sahabat Leedo, kekasihnya.


Mille memang sempat dekat dengan ketiganya karena mereka pernah satu kelompok ketika acara camping tahunan yang diadakan kampus mereka tahun lalu. Satu momen yang membuat Mille menyandang predikat ‘cewek paling beruntung’ di kampusnya saat itu. Bagaimana tidak? Dia bisa sekelompok dengan tiga cowok yang selalu menjadi topik utama setiap hari di seantero kampusnya.

“Gila. Lucky banget lo, Mil. Pake pelet merek apa btw?” tanya Asya, sahabatnya.

“Hush. Ngawur ah, Sya. Jujur, malah gak nyaman gue sekelompok sama mereka,” ujar Mille menyampaikan keresahannya,

“Lhoh? Kenapa? Harusnya lo seneng dong bisa segrup sama tiga malaikat jelmaan manusia itu.”

“Sya, lo tuh pura-pura gak tau apa berlagak bego sih?”

“Iya. Emang gue bego kok. Gak usah diingetin lagi. Nyesek, Mil.” Tangan Asya mengusap hidungnya, berakting memelas.

“Ye, nih anak malah baper.”

“Gak, gak. Canda Mil. Emang kenapa sih? Beneran gak tau nih gue,” tanya Asya penasaran dengan sebab keresahan temannya itu.

“Sejak hari diumumin grup camping tuh. Perasaan gue gak nyaman. Tiap lewat lorong mesti kayak ada tatapan intimidasi gitu, Sya.”

“Halah Perasaan lo aja itu mah,” sangkal Asya mencoba menenangkan. Sebenarnya Asya tahu akan hal itu. Resiko jika berurusan dengan tiga cowok populer itu tak lain dan tak bukan adalah tatapan iri dari semua cewek di seantero kampus. Tapi kali ini ia tak mungkin mengiyakannya, itu hanya akan memperburuk suasana hati sahabatnya Mille.

“Iya kah? Ya semoga aja ya.”

Dan perkataan Asya pada kenyataanya tidak terbukti. Saat acara jerit malam ada yang sengaja menjahili Mille, ia terpisah dengan kelompoknya. Mille memang tidak memiliki phobia gelap. Tapi dia juga bukan gadis pemberani, Mille hanya berlagak ‘sok’ berani untuk mengusir rasa takutnya itu.

Kaki gadis itu sudah gemetar ketika ia melangkah seorang diri di tengah hutan. Namun kakinya benar-benar lemas ketika senter yang digunakannya sebagai satu-satunya penerangan tiba-tiba padam. Gadis itu hanya bisa meringkuk di tempat ia berdiri tadi, memeluk kedua lututnya di tengah hutan. Mille sudah pasrah jika sesuatu terjadi padanya, ia sudah sangat lelah dengan semua tekanan dan apa yang terjadi padanya hari ini.

“Hei!”Gadis itu terperanjat kaget ketika ia merasakan ada sesuatu yang menepuk pelan punggungnya. Ia masih tetap pada posisi meringkuknya. Mille benar-benar tak berani bahkan hanya untuk mengangkat kepalanya.

“Mille! Ini gue, Leedo.” Mendengar nama itu ia memberanikan diri mendongakkan kepalanya. Setelah memastikan dengan matanya sendiri bahwa lelaki di depannya itu memang temannya Leedo, tanpa ia sadari ia sudah mengalungkan tangannya erat di leher lelaki itu.

Leedo yang tak sempat kaget karena tindakan spontan Mille hanya bisa mengelus-elus pelan punggung gadis itu ketika ia merasakan tubuh Mille bergetar hebat karena ketakutan. Sisa perjalanan malam itu berakhir dengan Leedo menggendong Mille di punggungnya. Gadis itu benar-benar tak kuat bahkan hanya untuk menegakkan kedua kakinya. Tak ada percakapan di antara keduanya selama perjalanan pulang menuju perkemahan. Namun ada sesuatu yang diam-diam menghangat dalam hati kedua insan itu.


Ya, ada sesuatu yang berbeda diantara keduanya setelah kejadian malam itu. Diam-diam mereka saling memperhatikan satu sama lain dari kejauhan. Sama-sama menunduk malu ketika kedua netra mereka bertemu. Dua insan itu sudah menebar benih rasa suka sejak malam itu. Namun sampai selang sebulan setelah momen itu, mereka masih saja memendam rasa itu untuk diri mereka sendiri. Tak berani mengungkapkan namun tetap membiarkannya bersemi setiap harinya.

Hingga suatu hari di salah satu sudut perpustakaan sekolahnya,Leedo tiba-tiba menghampiri Mille yang sedang asyik dengan buku bacaaannya. Gadis itu benar-benar tenggalam dalam bukunya karena ia benar-benar tak menyadari kehadiran Leedo, sampai lelaki itu menurunkan paksa buku yang menghalangi wajah Mille.

Gadis itu sedikit terlonjak setelah menyadari siapa yang ada di depannya saat ini. Lelaki di depannya itu menatap Mille tanpa ekspresi yang berarti. Setelahnya ia menyodorkan sebuah potongan kertas lalu mengisyaratkan Mille untuk membukanya. Mille meraih potongan kertas itu dan perlahan membukanya. Matanya terbelalak kaget melihat apa yang tertulis disana. Gadis itu sampai melepas kacamatanya dan memastikan bahwa ia tak salah baca. Mille mendongakkan kepala, menatap Leedo dengan tatapan penuh tanya meminta kepastian. Lelaki tadi masih tak bersuara, ia hanya memajukan dagunya mengisyaratkan Mille untuk memberi jawaban pada apa yang tertulis di potongan kertas tadi.

“Will you be my girlfriend, Mille?”


Setelah drama confession di perpustakaan itu, Leedo dan Mille resmi menjalani hubungan pacaran. Sebuah status yang disandang Mille, sebagai pacar resmi Leedo itu bukan sesuatu yang benar-benar bisa dibilang menyenangkan. Tak jarang satu dua kali Mille mendapati surat ancaman tanpa nama di lokernya. Namun Mille yang terkenal dengan kecuekannya itu lebih sering menganggapnya angin lalu. Yang terpenting adalah dirinya dan Leedo. Orang lain bukan urusannya.

Seoho dan Youngjo, kedua sahabat Leedo itu juga sangat berperan penting pada progress hubungan Leedo – Mille yang bisa dibilang lempeng-lempeng saja. Bukan karena ketidakcocokan diantara keduanya, tapi karena dua insan itu sama-sama kurang pandai mengekspresikan apa yang ada dalam hati mereka. Dan kehadiran kedua sahabat Leedo itu sangat membantu mereka. Mereka akan tiba-tiba nimbrung di tengah obrolan garing Leedo – Mille. Tak jarang Seoho dan Youngjo melemparkan godaan -godaan yang selalu sukses memunculkan semburat merah di pipi dua insan yang sedang kasmaran dalam diam itu.

Karena itulah ketika ia melihat Leedo datang seorang diri menemuinya, Mille akan selalu menanyakan Seoho dan Youngjo. Gadis itu selalu lebih ceria ketika mereka kumpul berempat. Bukan karena ia tak suka jika ia hanya berduaan dengan Leedo. Namun ada sesuatu yang ia nantikan ketika Seoho dan Youngjo hadir diantara mereka. ‘Ekspresi cemburu seorang Leedo’.

Entah sejak kapan gadis itu menjadikan memandang wajah cemburu Leedo sebagai salah satu hal favoritnya. Mille sangat menikmati momen ketika Leedo tiba-tiba memanyunkan bibirnya diam-diam karena melihatnya lebih akrab dengan kedua sahabatnya. Bukan karena Mille tak nyaman mengobrol lama dengan kekasihnya itu. Gadis itu hanya sedang melakukan observasi mendalam tentang siapa sebenarnya seorang Leedo dan apapun tentangnya. Hanya untuk satu tujuan, ia akan perlahan menuntun Leedo menuju penjara miliknya dan menguncinya disana. Sebuah penjara yang hanya Mille seorang yang memiliki kunci untuk membukanya.

Ini tentang hubungan yang mereka sebut Long Distance Relationship Dimana pesan darimu menjadi hal termanis yang kuterima Dimana jarak menjadi kesedihan terdalam untukku Dan bertemu denganmu secepatnya adalah harapan yang kuucapkan setiap paginya – Gaby-

Sudah hampir tiga tahun Gaby dan Mike menjalani hubungan jarak jauh alias long distance relationship. Dan di tahun ketiga ini menjadi ujian terberat bagi mereka. Mike yang memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Australia biasanya akan pulang ke Indonesia paling tidak sekali dalam setahun. Lelaki manis itu selalu menyempatkan waktu barang seminggu hanya untuk menemui Gaby, kekasihnya. Bahkan keluarganya sendiri tak jarang malah menjadi prioritas keduanya.

Tahun ini seperti menjadi puncak masalah hubungan mereka. Hubungan jarak jauh selalu menjadi satu hal yang Gaby tentang. Bahkan ketika Mike mengatakannya pertama kali, bahwa ia memutuskan untuk kuliah di Australia, Gaby langsung mendeklarasikan perang dingin dengan Mike.

Dalam waktu seminggu kedua insan itu tak melakukan kontak, tak berkirim pesan, tak bertukar kabar. Mereka berdua berlagak sok sibuk melupakan bahwa hubungan mereka sedang tak baik-baik saja saat itu. Hingga akhirnya Gaby yang memang biasanya tak betah berlama-lama mendiamkan seseorang terlebih lagi itu pasangannya, segera mengambil tindakan terlebih dulu.

Sorry... aku terlalu egois,” ujar Gaby lirih saat akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu di apartemen Gaby. “Sepertinya waktu itu aku terlalu syok dan tak bisa berpikir jernih.” Gadis itu mengatakannya dengan wajah murung dan kepala yang menuduk belum berani menatap lelaki di depannya itu.

Sudut bibir Mike tertarik keatas mendengar penuturan kekasihnya itu. Dia memang sengaja memberikan waktu untuk Gaby. Bukan, lebih tepatnya untuk mereka. Karena Mike sendiri sebenarnya juga berperang dengan dirinya sendiri. Berbagai pertanyaan ia ajukan pada dirinya sendiri selama perang dingin itu.

Apakah aku terlalu ambisius? Apakah aku terlalu memaksakan kehendakku ini? Tapi itu adalah impianku. Haruskah aku merelakannya? Dan Gaby... Ah gadis kesayanganku itu. Dapatkah aku menahan rindu untuk tak bertemu dengannya? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang Mike sendiri bahkan tak tahu bagaimana harus menjawabnya.

Lelaki itu mendekat ke arah Gaby. Tangannya merengkuh pundak gadis itu, menarik tubuh Gaby kedalam pelukannya.

You and me got a whole a lot of history. By. So, don’t let it go, okay?” ucap Mike saat itu berusaha meyakinkan Gaby dan dirinya.

I promise you. We can live forever, By.” Janji Mike saat itu yang akhirnya benar-benar mengikis semua keraguan dalam diri Gaby.


         Tak ada yang tak setuju bahwa hubungan jarak jauh itu adalah hubungan yang sulit dilakukan. Bahkan bagi Mike – Gaby yang sering mendapat julukan pasangan paling adem ayem. Tapi sebenarnya bukan begitu. Mereka berdua sering kali mengalami salah paham. 

         Bahkan pernah suatu hari ketika Mike lupa memberi sapaan rutin pagi untuk Gaby. Yang menyebabkan gadis itu ngambek selama dua hari tanpa mau mendengar penjelasan dari Mike.              Waktu itu Gaby nekat melakukan video call. Salah satu hal yang tak pernah ia lakukan selama hidupnya. Entah kenapa, perempuan kutu buku itu lebih memilih berkirim pesan daripada melakukan video call. Tapi kala itu ia benar-benar sudah tak tahan dengan segala prasangkanya. Mike tak berkabar hampir tiga hari, sejak ia memutuskan untuk mengacuhkannya terlebih dahulu. Siapa yang tak akan menaruh curiga?

     Trrrrrt… Trrrrrt… Trrrrrt 

    Getaran kecil dari ponsel Mike memaksa mata sayunya untuk kembali terbuka. Setelah selama tiga hari ini ia tak tidur karena harus menyelesaikan semua deadline dari bosnya, akhirnya hari ini dia bisa mengistirahatkan netranya. Ya, Mike juga seorang part-timer di Australia. Terlalu bosan jika kuliah saja, tuturnya pada Gaby dulu. 

     Namun lelaki itu tak mengira, jika di akhir tahun ini ternyata peraturan di tempat kerjanya juga berubah menjadi lumayan ketat. Ada banyak order dari para customer yang menginginkan pesanan. one-day-service alias harus jadi di hari yang sama. 

     Dengan malas ia mengusap layar ponselnya tanpa melihat siapa yang meneleponnya. 

    ”Yes, Sir?” sahut lelaki itu masih tanpa membuka matanya. Merasa tak mendengar jawaban dari ujung sana, Mike memaksa kelopak matanya untuk terbuka. Seketika kedua matanya terbuka lebar ketika terpampang di layar ponselnya, wajah perempuan yang rasanya sudah lama sekali tak bersua dengannya. 

     ”By? Maaf, kukira si bos,” ujar Mike sambil mengucek kedua matanya agar lebih terjaga, sekaligus untuk meyakinkan bahwa semua ini nyata. Pasalnya Gaby selalu menolak ajakannya untuk melakukan video call dengan alasan ia belum pede. Dan Mike hanya bisa mengiyakan, menghormati keputusan kekasihnya itu. 

     ”Eh ini Baby-Gaby kan?” Kembali Mike bertanya meyankinkan. Karen tak kunjung ada jawaban dari seberang sana.

      ”Mike…” Akhirnya Gaby mampu bersuara, walaupun ada getaran pada nadanya karena ia menahan tangisnya. Mata Gaby sudah berkaca-kaca semenjak Mike menjawab video callnya. Pasalnya tampilan lelaki itu seperti bukan Mike yang Gaby kenal. Ia masih berada di bawah selimut dengan wajah lusuh kengkap dengan kantung mata hitam di bawah kelopak matanya. Benar-benar bukan seperti Mike yang selalu menemani hari-harinya. 

     ”Kamu kenapa?” tanya Gaby setelahnya. Rasa curiga, amarah yang ingin ia lampiaskan seketika sirna setelah melihat kondisi Mike saat itu. 

     ”Ah iya. Maaf, By. Aku baru inget gak ngabarin kamu tiga hari terakhir ini.” Mike mengusap kasar wajahnya. Kesadarannya masih belum sepenuhnya terkumpul. 

     ”Ada apa, Mike? Semua pesan cuma kamu baca. Telepon pun selalu kamu alihkan. Bahkan sehari kemarin, aku bener-bener gak bisa ngejangkau kamu.” Walaupun gadis itu sudah tak lagi marah. Namun ia tetap harus mendapat penjelasan tentang semuanya.

      ”Maaf, By. Aku lembur tiga hari terakhir ini. Aku gak bisa pegang HP lama-lama. Dan kemarin akhirnya aku mutusin buat gak bawa ponselku ke tempat kerja. Maaf, By,” jelas Mike pada akhirnya. Gadis itu hanya diam mendengarkan penjelasannya. Ia akhirnya bisa maklum dengan semua kejadian tiga hari terakhir ini.

     ”Kamu kucel banget, Mike. Kamu gak apa-apa, kan?” Bohong jika Gaby tak khawatir. Penampilan lelakinya itu benar-benar baru pertama kali ia saksikan selama ia berhubungan dengan Mike. Lelaki itu selalu tampil tampan dengan semua pakaian modisnya. 

    ”Hehe gak keren banget ya aku kayak gini,”sahut lelaki itu masih mencoba bergurau di tengah kondisi lemahnya.

     ”Bukan gitu ih. Kamu gak sakit, kan?“ 

     ”Cuma agak meriang aja kok, By. Bukan masalah besar. Paling dibuat tidur nanti ilang,” jelas lelaki itu singkat.      Mata Gaby berkaca-kaca mendengarnya. Ia tenggelam dalam lautan prasangka ketika lelakinya itu sedang berjuang sendiri disana. Satu bulir air mata lolos dari netranya. Namun segera gadis itu segera mengusapnya. Tak ingin  menambah buruk kondisi hati lelakinya. Tapi terlambat, Mike sudah terlanjur melihat gadis itu menitikkan air mata di depannya. 

      ”Eh? Gaby kenapa? Are you alright, my dear? Kok nangis?” Hati Gaby bertambah sesak mendengar perkataan Mike saat itu. Lelaki itu masih saja bisa memberikan perhatiannya di saat dirinya lebih butuh perhatian untuk saat ini. 

    ”Enggak apa-apa. Aku cuma ngerasa bersalah karena mikir macem-macem ke kamu. Maaf.” Mike tersungging mendengarnya

   ”It's okay, By. Lagian aku malah bersyukur karena ini.“ 

     ”Lhoh kok malah disyukurin. Hampir aja aku kepikiran buat nyerah gara-gara ini lho, Beb,” ujar Gaby keheranan.

     ”Cuma kepikiran aja kan? Nyatanya kan gak kejadian, By.”

    ”Yaa… Tapi kan g─” 

     ”Aku tuh bersyukur, karena akhirnya aku bisa liat wajah bidadariku lagi. Setelah hampir dua tahun cuma bisa liatin foto yang gak bisa gerak,” ucap Mike memotong kalimat Gaby yang belum rampung. 

       Gadis itu tersenyum simpul. Ia sendiri tak menyangka akhirnya memiliki keberanian itu. 

     ”Mikey, cepet sehat lagi ya. Banyakin minum air putih anget. Tidur yang cukup. Makan yang banyak. Kalo belum mendingan juga, minum obat kalo perlu. Pokoknya Mikey haram buat sakit disana,” cerocos Gaby tanpa jeda.

     ”Iya, iya. Siap laksanakan, tuan putriku.” Dan sisa hari itu mereka habiskan dengan video call non stop sampai mereka tertidur. 


Menjalin hubungan dengan seseorang bisa dibilang merupakan sebuah tantangan. Dan tantangan itu akan menjadi semakin berat dengan adanya terciptanya jarak di antara mereka. Tak jarang banyak pasangan yang memutuskan untuk tak melanjutkan tipe hubungan ini karena berbagai alasan. Perbedaan waktu, jadwal kegiatan yang selalu tak bisa pas satu sama lain, atau bahkan hanya karena perbedaan mood keduanya. 

    Saat itu mereka akan merasa ada sebuah tembok penghalang yang menyebabkan mereka merasa semakin jauh, merasa semakin sulit untuk berkomunikasi. Tak melihat berapa lama hubungan mereka terjalin dan seberapa kuat mereka berkomitmen. Sesuatu bernama jarak itu akan selalu bisa mematahkan itu semua. 

‘The Perfect Prince’ adalah satu-satunya gelar yang cocok untuknya. Theo, anak Kepala Sekolah SKAZA yang selalu menempati ranking satu paralel di setiap ujian semesternya. Siswa teladan dengan paras yang bisa dibilang sempurna. Hampir tak ada cela yang bisa ditemukan dari seorang Theo kecuali satu hal, sikap dinginnya.

Tak ada yang bisa mendekati lelaki itu. Sebagai Ketua OSIS di SKAZA semua titah Theo adalah mutlak. Siapapun yang berani menentangnya akan dipastikan dia tak akan hidup tenang keesokan harinya. Bukan karena ancaman, bullying atau sejenisnya. Namun mereka yang berani menjawab titah Theo akan tersiksa hanya dengan tatapan intimidasinya. Perasaan tidak aman dan tidak nyaman sepanjang jam sekolah yang akan mereka dapatkan ketika satu kata saja keluar dari mulut mereka ketika menentang Theo.


Buk!

Seorang gadis bersurai hitam tersungkur dengan semua buku-buku berserakan di depannya. Dalam diam dia memunguti buku-buku itu dan segera berdiri. Ia memandang sekilas orang yang ditabraknya tadi.

Sorry,” Aii, murid pindahan yang baru dua hari ini pindah ke SKAZA itu segera sedikit membungkuk dan segera melanjutkan perjalanannya menuju kelasnya.

Terdengar bisik-bisik dari beberapa pasang mata yang menyaksikan adegan tubrukan itu.

“Beuh... Sapa tuh cewek? Berani bener jawab si Theo.”

“Gila. Ada yang berani jawab Theo cuy!”

“Wah... Bakal jadi apa tuh cewek abis ini. Gak yakin gue si Theo bakal ngelepas dia gitu aja.”

“Gue kalo jadi tuh cewek udah mati berdiri kayaknya. Gimana bisa gue idup tenang abis nabrak si pangeran es.”

Theo masih bisa mendengar semua bisikan itu walaupun ia sudah dari tadi melanjutkan langkahnya setelah menabrak gadis tadi.

Damn! Bisa diem gak sih?! Berisik banget, gerutunya dalam hati.

Theo bisa mendengar semuanya, bahkan jika mereka tak mengatakannya. Bahkan tak jarang Theo salah menerka yang mana suara asli mereka dan mana suara hati mereka. Dua suara dengan sumber dan bentuk yang berbeda itu menjadi sama kerasnya di telinga Theo. Karena hal itulah seorang Theo lebih sering diam. Lelaki itu tak ingin seorangpun mengetahui keanehan yang ia miliki.

Ya, seorang Theodore yang dikenal dengan semua kesempurnaannya ternyata memiliki satu rahasia yang ia pendam sendiri. Pendengarannya memiliki sensitifitas lebih. Ia bisa mendengar suara hati dan pikiran siapa saja yang tubuhnya lewati.

Suatu hal yang bahkan ia sendiri tak bisa menyebutnya sebuah kelebihan, Theo lebih sering menganggapnya kutukan. Karena ia tak pernah bisa hidup tenang karena itu. Tak hanya satu dua kali lelaki itu mencoba mengakhiri hidupnya karena tak tahan dengan semua suara yang saling bertabrakan di kepalanya.

Namun, entah kenapa usahanya selalu digagalkan oleh sebuah suara perempuan yang selalu ia dengar entah darimana asalnya, ‘Kamu gak sendiri, Theo. Don't do that’.

Tunggu, suara itu...

Tiba-tiba Theo teringat sesuatu. Lelaki itu membalikkan badannya cepat, mengedarkan netranya ke segala penjuru mencari sosok yang menabraknya tadi. Tapi tak ditemukannya sosok perempuan itu.

Suara itu, ya suara perempuan tadi. Aku tak asing dengan suara itu. Mungkinkah? terkanya dalam hati.


Setelah hari itu, Theo selalu mencuri pandang gadis yang akhir-akhir ini ia ketahui bernama Aii. Sepertinya waktu sedang berpihak padanya. Theo sekelas dengan gadis itu, jadi ia tak kesusahan memperhatikan Aii secara diam-diam.

Aneh. Aku sama sekali gak bisa denger suara hati dia. Apa mungkin dia juga sama kayak aku? batin Theo yang sekarang ini sedang mengekori gadis itu ke perpustakaan dan duduk beberapa meja dari tempat Aii membaca bukunya.

Ini aku kenapa sih? Kayak bukan Theo tau gak sih. Sejak kapan seorang Theo kepo sama orang lain gini? Tapi Aii tuh... Aku yakin dia tuh beda.

Aii yang sejak tadi merasakan ada yang mengawasinya segera menurunkan bukunya. Ia menatap lurus ke depan dan saat itulah tatapan mereka bertemu.

Finally, we meet. Nice to meet you, Theo. Bibir gadis itu tak bergerak. Namun, Theo mendengar jelas suara gadis itu.

Sudut bibir Aii tertarik ke atas ketika ia melihat ekspresi kaget seorang Theo.


Semenjak kejadian di perpustakaan itu Theo mengetahui satu hal yang masih saja sulit untuk ia percaya. Aii memiliki kemampuan yang sama. Dan kenyataan itu masih belum bisa ia terima sepenuhnya. Dengan Aii tahu akan hal itu, lelaki itu tak lagi sendiri menyimpan. Di satu sisi Theo merasa bersyukur karena ia tak sendirian menjadi manusia ‘aneh’. Tapi di sisi lain, ia masih belum percaya sepenuhnya pada Aii.

Lelaki itu masih merasa was-was bahwa Aii akan membeberkan semuanya pada anak-anak SKAZA. Walaupun kemungkinan itu hampir nol persen terjadi. Entah mengapa Theo merasa rahasia itu akan aman di tangan Aii. Masih tetap pada pendiriannya, Aii beda dengan gadis kebanyakan. Dan anggapan itu masih sama sampai sekarang.

Bosen banget, gila! Theo menatap keluar jendela. Pelajaran matematika selalu menjadi pelajaran yang sangat membosankan baginya. Dia masih saja terheran dengan mereka yang mengagung-agungkan pelajaran satu itu. Kata mereka Matematika adalah pelajaran yang mengasyikkan.

Bullshit! Apa yang mengasyikkan dari memandang deretan angka yang tak pernah berubah. Inti dari semuanya adalah permainan sepuluh angka

Bisa-bisanya mereka betah mengutak-atik sepuluh angka itu. Dasar dungu! lanjut Theo membatin.

Bukan aku pastinya. Theo terperanjat mendengar ada suara yang menggema dipikirannya. Matanya awas memandang sekelilingnya. Dan netra hitamnya itu berhenti pada sosok Aii yang sedang tersenyum tanpa arti ke arahnya.

Lelaki itu masih belum terbiasa dengan semua ini. Ya, sekarang ini dua insan itu bisa melakukan komunikasi tanpa suara. Mereka bisa melakukan telepati.

Shit!

Hush. Gak usah misuh, gak baik.

Theo memandang gadis itu dengan tatapan kesal. Ia masih sangat belum terbiasa dengan semua hal baru ini. Tidak untuk Aii, sepertinya dia sudah cukup mahir mengontrol kemampuannya itu. Dua insan itu belum banyak bercengkerama setelah kejadian terakhir kemarin di perpustakaan.


Saat itu setelah Theo menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahkan ia sampai menguceknya beberapa kali hanya untuk memastikan bibir gadis itu tak bergerak. Barulah setelah Aii berkomunikasi dengannya untuk kedua kalinya di perpustakaan itu, ia yakin sepenuhnya.

Aku sama denganmu, Theo.

Lalu setelah itu mereka belum pernah mengobrol lagi. Entah Theo yang masih belum bisa kenyataan yang ada, atau memang dia masih syok dengan semua itu dan butuh waktu untuk menerimanya.


Sore itu mereka berdua sepakat untuk bertemu.

Kita ketemu disana, ujar Aii ketika tatapan mereka bertemu.

Jika Theo bisa mendengar semua suara orang yang dilewati tubuhnya, dengan Aii kemampuan itu menjadi sedikit berbeda. Lelaki itu hanya bisa mendengar suara batin dan pikirannya ketika ia menatap manik matanya.

Disana? Dimana yang kau maksud? Theo menyahut dengan mengerutkan keningnya, tak begitu menangkap maksud Aii.

Tempat kamu biasa melakukan ‘percobaan’.

Deg!

Pikiran Theo langsung terbayang suatu tempat. Tempat yang luas tanpa ada atap yang menghalanginya. Hanya suasana langit yang bisa kau lihat dari sana. Rooftop sekolahnya. Satu-satunya tempat tujuan ketika ia sudah tak tahan dengan semuanya. Tempat yang selalu ia tuju ketika ia akan melakukan 'percobaan'.

Ternyata dia masih mengingatnya, batin Theo dalam hati.

Siapa yang takkan ingat, jika kamu selalu kesana setiap minggunya. Di hari yang sama, di waktu yang sama. Jawaban Aii menggema dalam pikirannya. Kembali lelaki itu menghembuskan napas kasar. Sejenak ia lupa, sekarang ini semua isi pikiran dan batinnya tak hanya miliknya seorang.


Suasana sore kala itu sepertinya sengaja memanjakan dua insan muda itu. Langit sore dan semilir angin sepoi-sepoi momen yang sangat pas untuk bercengkerama. Mereka duduk lesehan di lantai rooftop. Belum ada satupun yang memulai percakapan sore itu. Theo melirik gadis di sampingnya, masih menunggu yang mengajaknya kesini untuk membuka suara.

“Ehem....” Tak sabar dengan keheningan yang baru berjalan beberapa menit itu, laki-laki itu berdeham dalam rangka memberi kode pada Aii.

Gadis bersurai hitam yang sedang terpejam menikmati buaian angin itu membuka kelopak matanya. Lalu menoleh memandang ke arah Theo.

“Sabar, Theo. Aku sedang memenej moodku. Karena pembicaraan ini tak akan ringan.” Kembali Theo tak bisa berkata-kata. Ia masih belum paham bagaimana cara berpikir gadis itu. Akhirnya ia kembali menyandarkan tubuhnya pada tembok di belakangnya, memutuskan untuk menunggu.

“Kamu tahu, Theo?” ucap Aii akhirnya memecah keheningan di antara mereka.

“Apa?”

“Aku sudah lama memperhatikanmu. Dan alasan aku pindah ke SKAZA salah satunya adalah untuk berterima kasih langsung padamu.”

“Ha? Maksudnya?”

Gadis itu mengganti posisinya menghadap ke arah Theo.

“Aku juga sudah beberapa kali ingin melakukan ‘percobaan’ itu. Tak jauh beda dengan caramu. Tapi lebih elegan, karena aku ingin mengakhirinya di tempat favoritku. Kamarku sendiri.” Theo masih diam menyimak penjelasan Aii.

“Ketika pertama kali aku memiliki niatan itu, di saat itu pula aku melihatmu. Di atas sini.”

“Dengan tatapan hopelessmu, dan semua keluh kesah yang selalu sama. Tentang bagaimana kamu tak tahan dengan kemampuan yang kamu miliki ini.”

“Di saat itulah aku sadar, bahwa aku tidak sendiri. Aku ingin berterima kasih atas dua hal padamu, Theo. Terima kasih, karena telah menyadarkanku bahwa aku bukan satu-satunya yang menderita karena kemampuan ini. Dan terima kasih, karena kamu mau mendengarkanku di saat-saat itu. Atleast i know that i can do something good with this weird ability, right?”

Penjelasan panjang lebar gadis itu ditutup dengan senyum manis yang ditujukan tepat di depan wajah Theo. Beberapa saat lelaki itu kesusahan mengendalikan degup jantungnya yang semakin cepat karena melihat wajah manis Aii.

“Ehem... “ Theo berdeham berharap agar suaranya normal, tak terdengar nervous di telinga Aii.

“Gak sepenuhnya karena aku juga, Aii. Itu karena memang kamu yang sebenarnya gadis yang kuat mental. Masih jarang cewek yang gak gampang mewek dan tahan banting kayak kamu ini.” Theo menjawabnya to-the-point.

Ia bukan tipe lelaki yang biasa memberikan pujian manis untuk siapa saja. Walaupun jauh dalam hatinya ia sangat bersyukur dapat bertemu dengan Aii. Tapi semua rasa itu tak bisa sepenuhnya terungkapkan karena Theo adalah pribadi yang bisa dibilang kurang pandai mengekspresikan perasaannya ke semua orang, yang tak jarang membuat orang lain salah paham dengannya.

Gadis itu tersenyum mendengar penjelasan balasan Theo. Ia jarang mendapat pujian seperti itu bahkan dari orang terdekatnya. Ia kembali ke posisi semula, menyandarkan punggungnya ke tembok dan memejamkan matanya.

Sisa sore itu mereka habiskan bersama tanpa kata diantara keduanya. Ketika langit senja perlahan berubah menjadi kehitaman, di saat itulah kedua penikmat senja itu memutuskan untuk pulang. Membawa serta hati yang lebih lega dan diri yang lebih menerima. Dan satu hal yang pasti, mereka tak lagi sendiri.

rem·i·nisce /ˌreməˈnis/ [ thinking back on things that happened in the past ]

”... but please never let your memory of me dissapear, Ho.”

“... remember me while thinking that i always love you no matter what.” Wanita itu tersenyum manis setelah mengatakannya.

“... promise me, Honey.” Lalu perlahan tubuhnya menghilang bersama cahaya yang mengantarkannya pada Seoho tadi.

Lelaki itu membuka netranya. Mengambil beberapa helai tisu di samping tidurnya untuk mengusap jejak air mata yang sudah tumpah ketika ia masih dibuai bunga mimpi tadi. Seoho mengubah posisinya, duduk bersandar dengan masih di atas ranjangnya. Matanya kosong menerawang sembarang tiap sudut kamarnya. Membawanya pada kenyataan bahwa ia sekarang sudah sendiri. Tak ada lagi bidadari cantiknya yang selalu menemani tidurnya. Tak ada lagi malaikatnya yang selalu menyambut paginya dengan kecupan singkat di dahinnya.

Sepinya kamar itu seperti menjadi tamparan keras bagi Seoho. Memaksanya untuk kembali bangun, bahwa dia sudah saatnya ia harus menerima semuanya.

“It’s been ten years already, Darling. Yet it feels like only yesterday you left me alone here, Kei.”

Ya, sudah sepuluh tahun sejak kecelakaan naas itu merenggut nyawa belahan jiwanya, Keira. Dan setelahnya malam-malam Seoho selalu ditemani dengan kedatangan Keira dalam mimpinya. Seolah wanita itu tak ingin membiarkan Seoho merasa sendiri.


“Good Morning, my-baby-Ho.” Tak ada jawaban dari Seoho. Lelaki itu malah makin merapatkan selimutnya. Dinginnya udara musim dingin ini memang selalu sukses membuat semua orang malas untuk memulai aktivitasnya. Tak terkecuali Seoho.

“Ih, kok gak bangun sih. Gitu ya, tambah manja nih sekarang kalo jadi suami,” gerutu Keira.

“Liat aja, abis ini mesti bangun.” Wanita bersurai coklat itu kembali mendekat ke posisi Seoho yang masih dibawah selimut. Perlahan disibaknya selimut putih yang menutupi kepala Seoho. Jemarinya memainkan rambut yang menutupi dahi Seoho. Ia menyingkirkan pelan helai-helai rambut yang menghalangi akses dahi Seoho dan...

Cup!

Keira mengecup singkat dahi suaminya itu. Yang akhirnya menghasilkan pergerakan kecil dari si empu dahi.

See? Cara ini memang belum pernah gagal hihi, batinnya dalam hati.

“Hoamm... baby ... lagi dong. Yang disini belum,” ucap Seoho manja sambil menunjuk bibirnya.

“Gak mau. Jatah bangun pagi tuh cuma dahi yaa, Ho. Ayok ah bangun. Sarapannya udah mateng dari tadi. Keburu dingin,” sahut Keira sambil menggaet lengan Seoho, menariknya menuju meja makan. Lelaki itu mengekor dengan langkah gontai, masih berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya.

Selesai mencuci singkat mukanya ia segera bergabung dengan Keira di meja makan. Tiba-tiba lelaki itu diam, matanya menatap intens wanita berambut pendek di depannya.*

“A-apa sih, Ho?” ujar Keira tersipu. Pipinya selalu saja terasa panas ketika pujaan hatinya memberi tatapan intens seperti sekarang ini. Kepalanya menunduk, tak berani menatap Seoho. Keira terlalu malu.

“Cieee malu yaa... malu yaa....” Hasrat Seoho untuk menggoda istrinya itu semakin menjadi ketika ia melihat dari pipi sampai telinga Keira sudah semerah tomat.

“Ih apaan, sih. Sengaja banget godain pagi-pagi,” ucap wanita itu sambil menggembungkan pipinya sebal.

“Ululu... Gemes banget sihh. Keira gemes punya Seoho aja yaa,” goda Seoho sambil mencubit pipi Keira gemas.

“Aw sakit tauk. Udah ah ayo makan. Seneng banget godain anak orang.”

“Cuma mau ngetes tingkat kebucinan kamu aja, Beb. Ternyata masih sama ya hihi”

“Dasar! Seoho Gaje. Makan, gih.” Keira menyudahi momen godaan Seoho pagi itu dengan menyuapkan sesendok nasi ke mulut Seoho. Dua insan itu melanjutkan kegiatan sarapan mereka dengan diselingi obrolan ringan tentang rencana aktivitas mereka masing-masing.

Semua titik di rumah ini tak ada yang tak menyimpan memori tentang Keira. Dan entah kenapa Seoho memutuskan untuk tetap mempertahankannya dan menempatinya. Tawaran para kerabatnya untuk menjual rumah itu pun tak pernah ia indahkan.

Rumah ini satu-satunya kenangan Kei yang ingin kujaga. Selalu begitu jawabnya ketika semua kerabat kembali membujuknya.


Hari ini tepat sepuluh tahun ketika ia kehilangan pelita hatinya untuk selamanya. Kecelakaan naas yang merenggut nyawa Kei, yang sampai sekarang ini masih ia yakini semua itu adalah salahnya.

Jika saja pertengkaran itu tak pernah terjadi. Jika saja ia mengesampingkan semua egonya. Mungkin Keira masih berdiri di samping Seoho sekarang ini. Ah, pertengkaran itu...

“Kamu mikir gak sih, Kei?! Bisa-bisanya kamu pergi ke rumah Mama tanpa sepengetahuanku!” Seoho membentak Keira yang baru saja pulang dari kediaman Mama Seoho.

“Kalo aku bilang ke kamu, apa kamu bakal ngijinin, Ho? Gak kan? Kita harus ngelurusin semua ini sebelum semuanya terlambat!”jawab Keira tak kalah kerasnya.

“Iya! Emang aku gak bakal ngijinin. Tapi minimal aku bisa nemenin kamu kesana, Kei!”

“Percuma, Ho. Kalo kamu ikut malah semuanya bakal makin runyam. Karena kamu gak bisa nyelesaiin pake kepala dingin!” Napas Keira beradu ketika ia mengatakannya. Hatinya yang sudah dongkol karena makian Mama Seoho menjadi semakin sesak rasanya ditambah dengan omelan suaminya itu.

“Aku cuma gak mau kamu sakit hati lagi gara-gara bentakan Mama, Kei.” Kini suara Seoho mulai melunak setelah ia melihat perubahan air muka Keira yang makin pucat.

“I’m sorry, Keira,” ujar Seoho sembari mendekatkan tubuhnya merengkuh bahu Istrinya itu. Ia mengelus pelan punggung Keira mencoba menenangkannya.

“Makasih, Sayang. Udah mau ngomong ke Mama makilin kita.” Hati Keira luluh mendengar perkataan itu. Tangannya kemudian terulur melingkari perut Seoho. Membalas pelukan suaminya dengan tak kalah erat.


Bukan, bukan pertengkaran itu sebenarnya akar permasalahannya. Hubungan merekalah yang memang sudah salah langkah dari awal. Pernikahan yang hanya disepakati oleh satu pihak. Karena keluarga Seoho hanya menginginkan pasangan dengan kasta dan martabat yang sama. Bukan pendamping hidup dari desa seperti Keira.

Ancaman dicabutnya semua fasilitas keluarga Seoho tak sedikitpun menyurutkan niatnya menikahi pujaan hatinya. Lelaki itu rela merintis kehidupan barunya dari titik terendah. Asalkan ia bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan belahan jiwanya, Keira.

Sampai saat itu, saat Seoho mendapat kabar bahwa Keira mengalami tabrak lari ketika akan mengantarkan bekal makanan ke tempat kerjanya. Keira dinyatakan koma, karena terjadi perdarahan hebat di otak karena benturan dengan mobil penabrak.

Saat itu, Seoho merasa dunianya hancur. Kakinya seketika lemas mendengar kabar tersebut. Lelaki itu bergegas menuju rumah sakit tempat Keira dirawat.

Sesampainya di lorong ruangan, ia melihat ibu mertua dan adik iparnya terduduk lesu di kursi tunggu.

“Ibu...” panggilnya Pelan. Ibu mertuanya mendongak dan langsung menghambur memeluk Seoho. Terdengar isakan dari wanita tua itu. Seoho hanya mengelus pelan pundaknya berharap agar dapat membuat beliau sedikit tenang.

Setelah semuanya agak terkendali, Tasya, adik iparnya menjelaskan semuanya. Tentang kronologi tabrak lari, tentang kondisi Keira yang hanya memiliki kemungkinan bangun yang sangat kecil, tentang kemungkinan terburuk dari semuanya yang bisa terjadi kapan saja.

Seoho mengatakan pada dirinya ia harus kuat. Ia tak boleh lemah, karena ada dua insan yang saat ini butuh sokongan kekuatan darinya. Seoho harus kuat.

Ketika jam besuk dibuka, Seoho diijinkan masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Keira yang biasanya ceria dengan senyum sumringahnya tergeletak lemah dengan semua kabel dan alat bantu yang menempel di tubuhnya.

Sakit hati ini menyaksikan kondisi pujaan hatinya itu. Ia melangkah mendekat ke sisi ranjang Keira. Tangannya meraih pelan tangan mungil Keira dan menggenggamnya. Hatinya terlalu sakit melihat semua pemandangan di depan matanya ini. Perkataan dari Dokter tadi juga makin menambah luka di hatinya.

“Alat bantu itu satu-satunya yang bisa membuat Keira bertahan. Kemungkinan untuk pulih sangat minim. Cedera otak yang dialami Keira hampir 70%. Status Keira sekarang sudah vegetatif. Untuk semua keputusan dikembalikan lagi kepada pihak keluarga baiknya bagaimana.”

Seoho terdiam, tangannya masih menggenggam erat tangan Keira. Mengelus-elus pelan tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Lebih tepatnya ia tak kuat untuk berkata-kata. Lelaki itu mencium kening Keira lama. Lalu ia beralih ke pipi Keira. Satu bulir air mata lolos saat ia melakukannya. Seoho mengusapnya cepat. Ciumannya beralih ke tangan Keira.

“Maaf, Sayang. Maaf. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Aku belum bisa jagain kamu.” Seoho menunduk lemas ketika ia merasakan elusan di pundaknya. Ia menengok ke belakang. Ibu dan adik iparnya menyusul masuk.

“Nak Ho, jangan ditahan ya Keiranya. Ibu sama Tasya udah ikhlas. Kamu juga harus bisa ya, Nak.” Seoho memandang kedua sosok di sampingnya. Mata mereka masih sembab. Soho tahu semua ini tak mudah untuk mereka. Tapi Ibu dan Tasya semakin tak tega jika harus melihat Keira menghabiskan sisa hidupnya dengan semua alat dan kabel yang terpasang di tubuhnya itu.

“Ikhlasin Kak Kei ya, Kak.” Adik kecil itu juga ikut menimpali.

Pandangan Seoho bergantian ke Ibu lalu ke Tasya seolah meminta kemantapan untuk hatinya memutuskan. Ibu mengangguk seolah memberi keyakinan pada Seoho bahwa ini adalah yang terbaik untuk Keira.

Kembali lelaki itu menatap bidadari cantiknya. Ia mencondongkan tubuhnya untuk membisikkan sesuatu pada Keira.

“Aku gak apa-apa sendiri, Kei. Aku yakin aku bisa. Kamu gak apa-apa kok kalo mau pulang duluan, Sayang.”

Dan setelah itu...

Tiiiiiiiiiit....

Suara beep panjang terdengar dari monitor di samping ranjang Keira disusul suara histeris dari Ibu dan Tasya. Seoho terdiam, pandangan lelaki itu kosong begitupun dengan hatinya. Ia hanya bisa menurut ketika para perawat menuntunnya keluar ruangan. Ia hanya diam ketika Ibu memeluknya. Dilihatnya Tasya terduduk lemas di lantai lorong rumah sakit. Saat itulah dunia Seoho benar-benar hancur tak berbentuk, dunianya gelap. Pelita hati satu-satunya kini telah padam. Tak ada lagi yang dapat menyinari hatinya. He lost his way.

rem·i·nisce /ˌreməˈnis/ [ thinking back on things that happened in the past ]

”... but please never let your memory of me dissapear, Ho.”

“... remember me while thinking that i always love you no matter what.” Wanita itu tersenyum manis setelah mengatakannya.

“... promise me, Honey.” Lalu perlahan tubuhnya menghilang bersama cahaya yang mengantarkannya pada Seoho tadi.

Lelaki itu membuka netranya. Mengambil beberapa helai tisu di samping tidurnya untuk mengusap jejak air mata yang sudah tumpah ketika ia masih dibuai bunga mimpi tadi. Seoho mengubah posisinya, duduk bersandar dengan masih di atas ranjangnya. Matanya kosong menerawang sembarang tiap sudut kamarnya. Membawanya pada kenyataan bahwa ia sekarang sudah sendiri. Tak ada lagi bidadari cantiknya yang selalu menemani tidurnya. Tak ada lagi malaikatnya yang selalu menyambut paginya dengan kecupan singkat di dahinnya.

Sepinya kamar itu seperti menjadi tamparan keras bagi Seoho. Memaksanya untuk kembali bangun, bahwa dia sudah saatnya ia harus menerima semuanya.

“It’s been ten years already, Darling. Yet it feels like only yesterday you left me alone here, Kei.”

Ya, sudah sepuluh tahun sejak kecelakaan naas itu merenggut nyawa belahan jiwanya, Keira. Dan setelahnya malam-malam Seoho selalu ditemani dengan kedatangan Keira dalam mimpinya. Seolah wanita itu tak ingin membiarkan Seoho merasa sendiri.


“Good Morning, my-baby-Ho.” Tak ada jawaban dari Seoho. Lelaki itu malah makin merapatkan selimutnya. Dinginnya udara musim dingin ini memang selalu sukses membuat semua orang malas untuk memulai aktivitasnya. Tak terkecuali Seoho.

“Ih, kok gak bangun sih. Gitu ya, tambah manja nih sekarang kalo jadi suami,” gerutu Keira.

“Liat aja, abis ini mesti bangun.” Wanita bersurai coklat itu kembali mendekat ke posisi Seoho yang masih dibawah selimut. Perlahan disibaknya selimut putih yang menutupi kepala Seoho. Jemarinya memainkan rambut yang menutupi dahi Seoho. Ia menyingkirkan pelan helai-helai rambut yang menghalangi akses dahi Seoho dan...

Cup!

Keira mengecup singkat dahi suaminya itu. Yang akhirnya menghasilkan pergerakan kecil dari si empu dahi.

See? Cara ini memang belum pernah gagal hihi, batinnya dalam hati.

“Hoamm... baby ... lagi dong. Yang disini belum,” ucap Seoho manja sambil menunjuk bibirnya.*

“Gak mau. Jatah bangun pagi tuh cuma dahi yaa, Ho. Ayok ah bangun. Sarapannya udah mateng dari tadi. Keburu dingin,” sahut Keira sambil menggaet lengan Seoho, menariknya menuju meja makan. Lelaki itu mengekor dengan langkah gontai, masih berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya.

Selesai mencuci singkat mukanya ia segera bergabung dengan Keira di meja makan. Tiba-tiba lelaki itu diam, matanya menatap intens wanita berambut pendek di depannya.*

“A-apa sih, Ho?” ujar Keira tersipu. Pipinya selalu saja terasa panas ketika pujaan hatinya memberi tatapan intens seperti sekarang ini. Kepalanya menunduk, tak berani menatap Seoho. Keira terlalu malu.

“Cieee malu yaa... malu yaa....” Hasrat Seoho untuk menggoda istrinya itu semakin menjadi ketika ia melihat dari pipi sampai telinga Keira sudah semerah tomat.

“Ih apaan, sih. Sengaja banget godain pagi-pagi,” ucap wanita itu sambil menggembungkan pipinya sebal.

“Ululu... Gemes banget sihh. Keira gemes punya Seoho aja yaa,” goda Seoho sambil mencubit pipi Keira gemas.

“Aw sakit tauk. Udah ah ayo makan. Seneng banget godain anak orang.”

“Cuma mau ngetes tingkat kebucinan kamu aja, Beb. Ternyata masih sama ya hihi”

“Dasar! Seoho Gaje. Makan, gih.” Keira menyudahi momen godaan Seoho pagi itu dengan menyuapkan sesendok nasi ke mulut Seoho. Dua insan itu melanjutkan kegiatan sarapan mereka dengan diselingi obrolan ringan tentang rencana aktivitas mereka masing-masing.

Semua titik di rumah ini tak ada yang tak menyimpan memori tentang Keira. Dan entah kenapa Seoho memutuskan untuk tetap mempertahankannya dan menempatinya. Tawaran para kerabatnya untuk menjual rumah itu pun tak pernah ia indahkan.

Rumah ini satu-satunya kenangan Kei yang ingin kujaga. Selalu begitu jawabnya ketika semua kerabat kembali membujuknya.


Hari ini tepat sepuluh tahun ketika ia kehilangan pelita hatinya untuk selamanya. Kecelakaan naas yang merenggut nyawa Kei, yang sampai sekarang ini masih ia yakini semua itu adalah salahnya.

Jika saja pertengkaran itu tak pernah terjadi. Jika saja ia mengesampingkan semua egonya. Mungkin Keira masih berdiri di samping Seoho sekarang ini. Ah, pertengkaran itu...

“Kamu mikir gak sih, Kei?! Bisa-bisanya kamu pergi ke rumah Mama tanpa sepengetahuanku!” Seoho membentak Keira yang baru saja pulang dari kediaman Mama Seoho.

“Kalo aku bilang ke kamu, apa kamu bakal ngijinin, Ho? Gak kan? Kita harus ngelurusin semua ini sebelum semuanya terlambat!”jawab Keira tak kalah kerasnya.

“Iya! Emang aku gak bakal ngijinin. Tapi minimal aku bisa nemenin kamu kesana, Kei!”

“Percuma, Ho. Kalo kamu ikut malah semuanya bakal makin runyam. Karena kamu gak bisa nyelesaiin pake kepala dingin!” Napas Keira beradu ketika ia mengatakannya. Hatinya yang sudah dongkol karena makian Mama Seoho menjadi semakin sesak rasanya ditambah dengan omelan suaminya itu.

“Aku cuma gak mau kamu sakit hati lagi gara-gara bentakan Mama, Kei.” Kini suara Seoho mulai melunak setelah ia melihat perubahan air muka Keira yang makin pucat.

“I’m sorry, Keira,” ujar Seoho sembari mendekatkan tubuhnya merengkuh bahu Istrinya itu. Ia mengelus pelan punggung Keira mencoba menenangkannya.

“Makasih, Sayang. Udah mau ngomong ke Mama makilin kita.” Hati Keira luluh mendengar perkataan itu. Tangannya kemudian terulur melingkari perut Seoho. Membalas pelukan suaminya dengan tak kalah erat.


Bukan, bukan pertengkaran itu sebenarnya akar permasalahannya. Hubungan merekalah yang memang sudah salah langkah dari awal. Pernikahan yang hanya disepakati oleh satu pihak. Karena keluarga Seoho hanya menginginkan pasangan dengan kasta dan martabat yang sama. Bukan pendamping hidup dari desa seperti Keira.

Ancaman dicabutnya semua fasilitas keluarga Seoho tak sedikitpun menyurutkan niatnya menikahi pujaan hatinya. Lelaki itu rela merintis kehidupan barunya dari titik terendah. Asalkan ia bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan belahan jiwanya, Keira.

Sampai saat itu, saat Seoho mendapat kabar bahwa Keira mengalami tabrak lari ketika akan mengantarkan bekal makanan ke tempat kerjanya. Keira dinyatakan koma, karena terjadi perdarahan hebat di otak karena benturan dengan mobil penabrak.

Saat itu, Seoho merasa dunianya hancur. Kakinya seketika lemas mendengar kabar tersebut. Lelaki itu bergegas menuju rumah sakit tempat Keira dirawat.

Sesampainya di lorong ruangan, ia melihat ibu mertua dan adik iparnya terduduk lesu di kursi tunggu.

“Ibu...” panggilnya Pelan. Ibu mertuanya mendongak dan langsung menghambur memeluk Seoho. Terdengar isakan dari wanita tua itu. Seoho hanya mengelus pelan pundaknya berharap agar dapat membuat beliau sedikit tenang.

Setelah semuanya agak terkendali, Tasya, adik iparnya menjelaskan semuanya. Tentang kronologi tabrak lari, tentang kondisi Keira yang hanya memiliki kemungkinan bangun yang sangat kecil, tentang kemungkinan terburuk dari semuanya yang bisa terjadi kapan saja.

Seoho mengatakan pada dirinya ia harus kuat. Ia tak boleh lemah, karena ada dua insan yang saat ini butuh sokongan kekuatan darinya. Seoho harus kuat.

Ketika jam besuk dibuka, Seoho diijinkan masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Keira yang biasanya ceria dengan senyum sumringahnya tergeletak lemah dengan semua kabel dan alat bantu yang menempel di tubuhnya.

Sakit hati ini menyaksikan kondisi pujaan hatinya itu. Ia melangkah mendekat ke sisi ranjang Keira. Tangannya meraih pelan tangan mungil Keira dan menggenggamnya. Hatinya terlalu sakit melihat semua pemandangan di depan matanya ini. Perkataan dari Dokter tadi juga makin menambah luka di hatinya.

“Alat bantu itu satu-satunya yang bisa membuat Keira bertahan. Kemungkinan untuk pulih sangat minim. Cedera otak yang dialami Keira hampir 70%. Status Keira sekarang sudah vegetatif. Untuk semua keputusan dikembalikan lagi kepada pihak keluarga baiknya bagaimana.”

Seoho terdiam, tangannya masih menggenggam erat tangan Keira. Mengelus-elus pelan tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Lebih tepatnya ia tak kuat untuk berkata-kata. Lelaki itu mencium kening Keira lama. Lalu ia beralih ke pipi Keira. Satu bulir air mata lolos saat ia melakukannya. Seoho mengusapnya cepat. Ciumannya beralih ke tangan Keira.

“Maaf, Sayang. Maaf. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Aku belum bisa jagain kamu.” Seoho menunduk lemas ketika ia merasakan elusan di pundaknya. Ia menengok ke belakang. Ibu dan adik iparnya menyusul masuk.

“Nak Ho, jangan ditahan ya Keiranya. Ibu sama Tasya udah ikhlas. Kamu juga harus bisa ya, Nak.” Seoho memandang kedua sosok di sampingnya. Mata mereka masih sembab. Soho tahu semua ini tak mudah untuk mereka. Tapi Ibu dan Tasya semakin tak tega jika harus melihat Keira menghabiskan sisa hidupnya dengan semua alat dan kabel yang terpasang di tubuhnya itu.

“Ikhlasin Kak Kei ya, Kak.” Adik kecil itu juga ikut menimpali.

Pandangan Seoho bergantian ke Ibu lalu ke Tasya seolah meminta kemantapan untuk hatinya memutuskan. Ibu mengangguk seolah memberi keyakinan pada Seoho bahwa ini adalah yang terbaik untuk Keira.

Kembali lelaki itu menatap bidadari cantiknya. Ia mencondongkan tubuhnya untuk membisikkan sesuatu pada Keira.

“Aku gak apa-apa sendiri, Kei. Aku yakin aku bisa. Kamu gak apa-apa kok kalo mau pulang duluan, Sayang.”

Dan setelah itu...

Tiiiiiiiiiit....

Suara beep panjang terdengar dari monitor di samping ranjang Keira disusul suara histeris dari Ibu dan Tasya. Seoho terdiam, pandangan lelaki itu kosong begitupun dengan hatinya. Ia hanya bisa menurut ketika para perawat menuntunnya keluar ruangan. Ia hanya diam ketika Ibu memeluknya. Dilihatnya Tasya terduduk lemas di lantai lorong rumah sakit. Saat itulah dunia Seoho benar-benar hancur tak berbentuk, dunianya gelap. Pelita hati satu-satunya kini telah padam. Tak ada lagi yang dapat menyinari hatinya. He lost his way.

rem·i·nisce /ˌreməˈnis/ [ thinking back on things that happened in the past ]

”... but please never let your memory of me dissapear, Ho.”

“... remember me while thinking that i always love you no matter what.” Wanita itu tersenyum manis setelah mengatakannya.

“... promise me, Honey.” Lalu perlahan tubuhnya menghilang bersama cahaya yang mengantarkannya pada Seoho tadi.

Lelaki itu membuka netranya. Mengambil beberapa helai tisu di samping tidurnya untuk mengusap jejak air mata yang sudah tumpah ketika ia masih dibuai bunga mimpi tadi. Seoho mengubah posisinya, duduk bersandar dengan masih di atas ranjangnya. Matanya kosong menerawang sembarang tiap sudut kamarnya. Membawanya pada kenyataan bahwa ia sekarang sudah sendiri. Tak ada lagi bidadari cantiknya yang selalu menemani tidurnya. Tak ada lagi malaikatnya yang selalu menyambut paginya dengan kecupan singkat di dahinnya.

Sepinya kamar itu seperti menjadi tamparan keras bagi Seoho. Memaksanya untuk kembali bangun, bahwa dia sudah saatnya ia harus menerima semuanya.

“It’s been ten years already, Darling. Yet it feels like only yesterday you left me alone here, Kei.”

Ya, sudah sepuluh tahun sejak kecelakaan naas itu merenggut nyawa belahan jiwanya, Keira. Dan setelahnya malam-malam Seoho selalu ditemani dengan kedatangan Keira dalam mimpinya. Seolah wanita itu tak ingin membiarkan Seoho merasa sendiri.


“Good Morning, my-baby-Ho.” Tak ada jawaban dari Seoho. Lelaki itu malah makin merapatkan selimutnya. Dinginnya udara musim dingin ini memang selalu sukses membuat semua orang malas untuk memulai aktivitasnya. Tak terkecuali Seoho.

“Ih, kok gak bangun sih. Gitu ya, tambah manja nih sekarang kalo jadi suami,” gerutu Keira.

“Liat aja, abis ini mesti bangun.” Wanita bersurai coklat itu kembali mendekat ke posisi Seoho yang masih dibawah selimut. Perlahan disibaknya selimut putih yang menutupi kepala Seoho. Jemarinya memainkan rambut yang menutupi dahi Seoho. Ia menyingkirkan pelan helai-helai rambut yang menghalangi akses dahi Seoho dan...

Cup!

Keira mengecup singkat dahi suaminya itu. Yang akhirnya menghasilkan pergerakan kecil dari si empu dahi.

See? Cara ini memang belum pernah gagal hihi, batinnya dalam hati.

“Hoamm... baby ... lagi dong. Yang disini belum,” ucap Seoho manja sambil menunjuk bibirnya.*

“Gak mau. Jatah bangun pagi tuh cuma dahi yaa, Ho. Ayok ah bangun. Sarapannya udah mateng dari tadi. Keburu dingin,” sahut Keira sambil menggaet lengan Seoho, menariknya menuju meja makan. Lelaki itu mengekor dengan langkah gontai, masih berusaha mengumpulkan seluruh kesadarannya.

Selesai mencuci singkat mukanya ia segera bergabung dengan Keira di meja makan. Tiba-tiba lelaki itu diam, matanya menatap intens wanita berambut pendek di depannya.*

“A-apa sih, Ho?” ujar Keira tersipu. Pipinya selalu saja terasa panas ketika pujaan hatinya memberi tatapan intens seperti sekarang ini. Kepalanya menunduk, tak berani menatap Seoho. Keira terlalu malu.

“Cieee malu yaa... malu yaa....” Hasrat Seoho untuk menggoda istrinya itu semakin menjadi ketika ia melihat dari pipi sampai telinga Keira sudah semerah tomat.

“Ih apaan, sih. Sengaja banget godain pagi-pagi,” ucap wanita itu sambil menggembungkan pipinya sebal.

“Ululu... Gemes banget sihh. Keira gemes punya Seoho aja yaa,” goda Seoho sambil mencubit pipi Keira gemas.

“Aw sakit tauk. Udah ah ayo makan. Seneng banget godain anak orang.”

“Cuma mau ngetes tingkat kebucinan kamu aja, Beb. Ternyata masih sama ya hihi”

“Dasar! Seoho Gaje. Makan, gih.” Keira menyudahi momen godaan Seoho pagi itu dengan menyuapkan sesendok nasi ke mulut Seoho. Dua insan itu melanjutkan kegiatan sarapan mereka dengan diselingi obrolan ringan tentang rencana aktivitas mereka masing-masing.

Semua titik di rumah ini tak ada yang tak menyimpan memori tentang Keira. Dan entah kenapa Seoho memutuskan untuk tetap mempertahankannya dan menempatinya. Tawaran para kerabatnya untuk menjual rumah itu pun tak pernah ia indahkan.

Rumah ini satu-satunya kenangan Kei yang ingin kujaga. Selalu begitu jawabnya ketika semua kerabat kembali membujuknya.


Hari ini tepat sepuluh tahun ketika ia kehilangan pelita hatinya untuk selamanya. Kecelakaan naas yang merenggut nyawa Kei, yang sampai sekarang ini masih ia yakini semua itu adalah salahnya.

Jika saja pertengkaran itu tak pernah terjadi. Jika saja ia mengesampingkan semua egonya. Mungkin Keira masih berdiri di samping Seoho sekarang ini. Ah, pertengkaran itu...

“Kamu mikir gak sih, Kei?! Bisa-bisanya kamu pergi ke rumah Mama tanpa sepengetahuanku!” Seoho membentak Keira yang baru saja pulang dari kediaman Mama Seoho.

“Kalo aku bilang ke kamu, apa kamu bakal ngijinin, Ho? Gak kan? Kita harus ngelurusin semua ini sebelum semuanya terlambat!”jawab Keira tak kalah kerasnya.

“Iya! Emang aku gak bakal ngijinin. Tapi minimal aku bisa nemenin kamu kesana, Kei!”

“Percuma, Ho. Kalo kamu ikut malah semuanya bakal makin runyam. Karena kamu gak bisa nyelesaiin pake kepala dingin!” Napas Keira beradu ketika ia mengatakannya. Hatinya yang sudah dongkol karena makian Mama Seoho menjadi semakin sesak rasanya ditambah dengan omelan suaminya itu.

“Aku cuma gak mau kamu sakit hati lagi gara-gara bentakan Mama, Kei.” Kini suara Seoho mulai melunak setelah ia melihat perubahan air muka Keira yang makin pucat.

“I’m sorry, Keira,” ujar Seoho sembari mendekatkan tubuhnya merengkuh bahu Istrinya itu. Ia mengelus pelan punggung Keira mencoba menenangkannya.

“Makasih, Sayang. Udah mau ngomong ke Mama makilin kita.” Hati Keira luluh mendengar perkataan itu. Tangannya kemudian terulur melingkari perut Seoho. Membalas pelukan suaminya dengan tak kalah erat.


Bukan, bukan pertengkaran itu sebenarnya akar permasalahannya. Hubungan merekalah yang memang sudah salah langkah dari awal. Pernikahan yang hanya disepakati oleh satu pihak. Karena keluarga Seoho hanya menginginkan pasangan dengan kasta dan martabat yang sama. Bukan pendamping hidup dari desa seperti Keira.

Ancaman dicabutnya semua fasilitas keluarga Seoho tak sedikitpun menyurutkan niatnya menikahi pujaan hatinya. Lelaki itu rela merintis kehidupan barunya dari titik terendah. Asalkan ia bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan belahan jiwanya, Keira.

Sampai saat itu, saat Seoho mendapat kabar bahwa Keira mengalami tabrak lari ketika akan mengantarkan bekal makanan ke tempat kerjanya. Keira dinyatakan koma, karena terjadi perdarahan hebat di otak karena benturan dengan mobil penabrak.

Saat itu, Seoho merasa dunianya hancur. Kakinya seketika lemas mendengar kabar tersebut. Lelaki itu bergegas menuju rumah sakit tempat Keira dirawat.

Sesampainya di lorong ruangan, ia melihat ibu mertua dan adik iparnya terduduk lesu di kursi tunggu.

“Ibu...” panggilnya Pelan. Ibu mertuanya mendongak dan langsung menghambur memeluk Seoho. Terdengar isakan dari wanita tua itu. Seoho hanya mengelus pelan pundaknya berharap agar dapat membuat beliau sedikit tenang.

Setelah semuanya agak terkendali, Tasya, adik iparnya menjelaskan semuanya. Tentang kronologi tabrak lari, tentang kondisi Keira yang hanya memiliki kemungkinan bangun yang sangat kecil, tentang kemungkinan terburuk dari semuanya yang bisa terjadi kapan saja.

Seoho mengatakan pada dirinya ia harus kuat. Ia tak boleh lemah, karena ada dua insan yang saat ini butuh sokongan kekuatan darinya. Seoho harus kuat.

Ketika jam besuk dibuka, Seoho diijinkan masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya Keira yang biasanya ceria dengan senyum sumringahnya tergeletak lemah dengan semua kabel dan alat bantu yang menempel di tubuhnya.

Sakit hati ini menyaksikan kondisi pujaan hatinya itu. Ia melangkah mendekat ke sisi ranjang Keira. Tangannya meraih pelan tangan mungil Keira dan menggenggamnya. Hatinya terlalu sakit melihat semua pemandangan di depan matanya ini. Perkataan dari Dokter tadi juga makin menambah luka di hatinya.

“Alat bantu itu satu-satunya yang bisa membuat Keira bertahan. Kemungkinan untuk pulih sangat minim. Cedera otak yang dialami Keira hampir 70%. Status Keira sekarang sudah vegetatif. Untuk semua keputusan dikembalikan lagi kepada pihak keluarga baiknya bagaimana.”

Seoho terdiam, tangannya masih menggenggam erat tangan Keira. Mengelus-elus pelan tanpa sepatah katapun terucap dari bibirnya. Lebih tepatnya ia tak kuat untuk berkata-kata. Lelaki itu mencium kening Keira lama. Lalu ia beralih ke pipi Keira. Satu bulir air mata lolos saat ia melakukannya. Seoho mengusapnya cepat. Ciumannya beralih ke tangan Keira.

“Maaf, Sayang. Maaf. Aku belum bisa jadi suami yang baik buat kamu. Aku belum bisa jagain kamu.” Seoho menunduk lemas ketika ia merasakan elusan di pundaknya. Ia menengok ke belakang. Ibu dan adik iparnya menyusul masuk.

“Nak Ho, jangan ditahan ya Keiranya. Ibu sama Tasya udah ikhlas. Kamu juga harus bisa ya, Nak.” Seoho memandang kedua sosok di sampingnya. Mata mereka masih sembab. Soho tahu semua ini tak mudah untuk mereka. Tapi Ibu dan Tasya semakin tak tega jika harus melihat Keira menghabiskan sisa hidupnya dengan semua alat dan kabel yang terpasang di tubuhnya itu.

“Ikhlasin Kak Kei ya, Kak.” Adik kecil itu juga ikut menimpali.

Pandangan Seoho bergantian ke Ibu lalu ke Tasya seolah meminta kemantapan untuk hatinya memutuskan. Ibu mengangguk seolah memberi keyakinan pada Seoho bahwa ini adalah yang terbaik untuk Keira.

Kembali lelaki itu menatap bidadari cantiknya. Ia mencondongkan tubuhnya untuk membisikkan sesuatu pada Keira.

“Aku gak apa-apa sendiri, Kei. Aku yakin aku bisa. Kamu gak apa-apa kok kalo mau pulang duluan, Sayang.”

Dan setelah itu...

Tiiiiiiiiiit....

Suara beep panjang terdengar dari monitor di samping ranjang Keira disusul suara histeris dari Ibu dan Tasya. Seoho terdiam, pandangan lelaki itu kosong begitupun dengan hatinya. Ia hanya bisa menurut ketika para perawat menuntunnya keluar ruangan. Ia hanya diam ketika Ibu memeluknya. Dilihatnya Tasya terduduk lemas di lantai lorong rumah sakit. Saat itulah dunia Seoho benar-benar hancur tak berbentuk, dunianya gelap. Pelita hati satu-satunya kini telah padam. Tak ada lagi yang dapat menyinari hatinya. He lost his way.

“Kamu yakin kita baik-baik aja, Jo?” Luna gadis bersurai coklat itu bertanya pada lelaki tampan di seberang mejanya.

I told ya, we are fine. Emang kenapa sih, Na?” tukas Jonathan asal. Tak ada sahutan dari gadis itu. Ia hanya diam menyesap latte pesanannya tadi.

Tak ada gunanya aku mendebatnya lagi, batinnya dalam hati. Entah mengapa jauh dalam lubuk hati Luna ia merasa hubungannya dengan Jonathan sudah tidak baik-baik saja. Dan semua ini butuh diperbaiki. Namun tiap kali ia membawa topik itu ke permukaan, Jonathan selalu ingin menenggelamkannya kembali. Lebih tepatnya ia merasa Jonathan tak berminat membahasnya.

Pertemuan di senja hari itu berakhir tanpa hasil, lagi. Sesampainya di apartemen, gadis itu segera membersihkan diri dan berganti baju kasualnya. Memakai kembali kaca matanya lalu bersiap duduk di depan meja kerjanya. Luna adalah seorang editor di sebuah percetakan dekat apartemennya. Kebijakan dari instansi tempat Luna bekerja adalah tugas yang ia kerjakan bisa disambi dari rumah.

Itu suatu kelonggaran yang saya berikan pada staff, begitu kata bosnya di awal mereka masuk kerja. Namun bagi gadis itu adalah kebalikannya. Dengan adanya kebijakan itu berarti Luna harus bekerja tanpa kenal waktu. Seperti sekarang ini, ia harus segera mengecek surel tentang progress kerjaannya.

Salah satu sebab kenapa dia dengan Jonathan, kekasihnya jarang bertemu. Mereka berdua sama-sama sibuk dengan kerjaan mereka. Ia dengan kesibukan editing di apartemennya dan Jonathan yang workaholic di studionya.

Luna bahkan sempat merasa bahwa hubungan mereka ini sudah tidak layak disebut dengan pacaran. Bahkan makin kesini mereka makin jarang memberi kabar. Dan anehnya tak ada yang protes tentang semua itu. Baik Luna maupun Jonathan seperti baik-baik saja dan nyaman dengan semuanya. Sampai suatu hari Jenna, teman dekat Luna bertamu ke apartemennya.

“Lun, lo gak pernah foto bareng sama Jo?” tanya Jenna setelah ia selesai berkeliling apartemen Luna.

“Mm, belum pernah sih kayaknya. Kenapa?” Luna menjawab sekenanya.

“Seriusan belum pernah?!”

“Biasa aja ih responnya, Jen. Ya emang belum pernah, soalnya kita jarang ketemu juga kan,” jawab Luna dengan santainya.

“Huft. Lun, Lun... Kalian tuh sebenernya pacaran gak sih?”

“Ya pacaran, Je. Lo sendiri kan yang ngecomblangin kita. Masa lupa?”

“Ye bukan gitu. Tapi gue liat kalian tuh pacaran tapi gak kayak orang pacaran tau gak sih. Tau gini nyesel gue jadi mak comblang kalian.”

“Maksud lo?”

“Ehem, gini. Normalnya orang pacaran tuh ada momen-momen uwu-nya. Minimal ada foto bareng lah, buat bukti kalo kalian tuh ada ikatan. Lha ini, kalian punya apa buat ngebuktiin kalo kalian pacaran hah?” Tak ada jawaban dari Luna. Seketika gadis itu berpikir dan hanya bisa membenarkan perkataan Jenna.

“Diem kan. Sekarang gue tanya lagi. Lo tuh sebenernya sayang gak sih sama Jo? Apa lo cuma mau sama Jo gegara gak enak sama gue?”

“G-gak, gak gitu Jen. Gue beneran suka kok sama Jo. Gue sayang sama dia, Jen.”

“Perkataan lo tuh sama aja hoax, Lun. Kalo lo gak ada bukti. Plis jangan bikin gue ngerasa bersalah gini udah bikin kalian pacaran kalo ujung-ujungnya gini.”

“Jen....”

“Gue cuma mau sahabat gue seneng. Udah, itu aja. Sekarang lo harus jujur sama diri lo sendiri. Lo beneran sayang gak sama Jo? Lo mau hubungan lo sama Jo yang kayak gimana. Minimal dua hal itu kudu jelas, Lun.”

Setelah Jenna pulang, sisa hari itu Luna habiskan untuk merenung.

Are we... really okay, Jo? Monolognya dalam hati.

Sejak hari itu, gadis itu selalu mengingat-ingat momen apa saja yang sudah ia lalui dengan pria yang ia sebut kekasihnya itu. Dan memang tak banyak momen bersama Jonathan yang ia ingat. Mungkin hanya gombalan ringan yang sering Jonathan lempar dalam chatting whatsapp mereka. Selebihnya, bahkan mereka kencan pun masih bisa dihitung jari sejak hubungan mereka yang terjalin hampir dua tahun ini.

Beberapa kali Luna mengajak Jonathan untuk bertemu. Namun tak jarang juga penolakan karena kesibukan yang Luna dapatkan. Dan di pengujung tahun ini semakin parah. Mereka berdua sama-sama sibuk dan bahkan tak sempat berkabar satu sama lain.

Mereka yang sudah terbiasa dengan semua itu merasa itu sudah menjadi hal biasa. Sampai akhirnya Luna tak tahan dengan semua ke-tidak apa-apa-an itu yang membuatnya kali ini benar-benar memaksa Jonathan untuk meluangkan satu hari saja untuknya. Pintanya akhirnya dikabulkan. Lelakinya itu mendapatkan ijin dua hari cuti. Luna berencana memperjelas semuanya dalam dua hari itu. Ia harus memastikan perasaannya dan perasaan Jonathan. Gadis itu tak ingin jika hubungan ini hanya sebatas nama. Semuanya harus jelas, tekadnya.

Pertemuan pertama sore tadi masih nihil. Namun Luna masih keukeuh, ia harus segera mendapatkan jawaban yang ia mau. Gadis itu meraih ponsel dan mengetikkan sesuatu didalamnya.

Luna Jo, besok bisa ke apartemenku?

Jonathan Ada apa?

Luna Mm... Mau ngomong sesuatu. Tadi kelupaan belum ngomong.

Jonathan Oke. Jam berapa?

Luna Jam 8 bisa?

Jonathan Got it.

Gadis itu menutup ponselnya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Luna sudah merebahkan tubuhnya di kasur, tapi pikirannya masih melayang-melayang membayangkan apa yang akan terjadi pada hubungannya dengan Jonathan.

Praying for the best while preparing the worst, Lun”, ucapnya meyakinkan dirinya sendiri. Kelopak matanya mulai terkatup mengantarkan Luna menuju alam mimpinya. Dengan harapan esok hari akan menyambutnya dengan awal yang lebih baik.

Ting tong!

Bunyi bel pintu apartemen membuat Luna yang sedang bersiap di depan kaca riasnya terlonjak. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Jam delapan tepat.

As expected from Jonathan. Selalu on time, batinnya. Ia melangkah menuju pintu. Entah kenapa hatinya semakin nervous ketika tangannya sudah memegang kenop pintu.

Ceklek!

Terpampang disana Jonathan dengan baju kasualnya sedang tersenyum memamerkan sebuah tas kresek putih di depan muka Luna.

Your favorite bread, Babe,” katanya.

“Makasih,” sahut Luna sembari tersenyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan di hatinya. Tangannya mengambil alih bungkusan itu dari tangan Jonathan dan mengisyaratkannya untuk masuk.

Luna dan Jonathan duduk berhadapan di sofa ruang tamu.

“Udah lama banget kayaknya gak kesini. Gak banyak yang berubah ya.” Mata Jonathan mengamati sekeliling apartemen kekasihnya itu. Lalu mendudukkan dirinya di sofa.

“Iya, udah lama banget. Hampir setahun kayaknya dari terakhir kamu kesini, Jo,” ujar Luna sambil membawa nampan berisi dua gelas es jeruk.

“Iyakah? Selama itu?”

“Yep, udah selama itu.” Ada nada kecewa saat Luna mengatakannya. Sepertinya hanya ia yang sibuk mengingat dan mengharapkan kedatangan Jonathan di apartemennya.

So...?”

“Huh?”

“Lah malah ngelamun nih anak. Katanya mau ngomong sesuatu kan.” Lelaki bernetra hitam itu menatap intens gadisnya. Yang mana membuat lidah Luna semakin kelu untuk mengucapkan barang sepatah kata saja. Gadis itu menelan ludah dan mengumpulkan semua keberaniannya. Mencoba menata hatinya yang sedari tadi sudah ramai bak genderang perang.

“Jo....”

“Hm?”

“Kamu... sebenernya masih sayang gak sih sama aku, Jo?” Luna mengatakannya sangat lirih tanpa berani menegakkan kepalanya. Tapi ia yakin Jonathan pasti mendengarnya. Karena ada jeda hening setelah pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.

“Luna....” Gadis itu masih tak berani mendongakkan kepalanya.

Hey, my girl. Look at me.” Tangan Jonathan memegang dagu gadisnya. Mengarahkan pandangan Luna agar menatapnya. Lelaki itu kaget ketika melihat genangan air di matanya yang siap tumpah kapan saja.

Hey baby! Are you okay?”ujar Jonathan sambil mendekat menuju tempat gadisnya. Ia merengkuh Luna dalam pelukannya. Lelaki itu masih belum mendapatkan jawaban dari Luna. Gadis itu makin terisak ketika ia mendapati Jonathan mengelus-elus punggungnya.

“Sshh...Sshh. Baby-nya Jonathan kenapa hm?”

Baby-nya Jonathan' sudah lama sekali telinga Luna tidak mendengar panggilan sayang khusus dari kekasihnya itu. Hati Luna terenyuh. Tiba-tiba tangannya terulur hendak merangkul leher Jonathan. Lelaki itu merubah posisinya agar mereka lebih nyaman. Ia ingin membiarkan gadisnya tenang. Jonathan membiarkan Luna mendusel di ceruk lehernya.

Actually, i really miss you Luna. I miss us.” Jonathan mengatakannya sembari mengecup ujung rambut Luna. Gadis itu sedikit terperanjat dengan perubahan sikap drastis Jonathan. Pipinya memanas ketika ia merasakan Jonathan mulai menciumi rambutnya.

I miss your smell too, my girl. Can i stay the night?” Perkataan Jonathan itu sukses membuat Luna melupakan semua kalimat yang sudah sejak semalam ia siapkan. Gadis itu masih bertekad untuk memperjelas hubungan mereka. Walaupun entah kapan waktu itu tiba, tapi setidaknya ada satu hal yang ia yakini sudah jelas, perasaannya pada Jonathan. She’s still head over heels in love with his man.

Aya

Nan, kutunggu di gerbang depan kayak biasa ya. Buru. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat :)

Jinan

Roger that, My Queen!

Pipi Aya seketika memanas hanya karena balasan singkat dari Jinan. Gadis itu langsung mengipas-kipaskan tangannya berharap wajah merahnya segera padam. Tak lucu jika Jinan memergokinya wajahnya memerah, lagi. Sudah terlalu sering lelaki itu menggodanya dan mungkin sekarang sudah menjadi salah satu hobi favorit Jinan. Menggoda satu-satunya gadisnya. Masih sibuk dengan menenangkan degup jantungnya, tiba-tiba Aya merasakan seseorang menggaet cepat lengannya.

“Eh—” Gadis itu tak menyelesaikan kalimatnya ketika melihat siapa yang menggaetnya.

“Lepas, Nan. Jangan disini,” ujar Aya lirih sembari berusaha melepas tangan Jinan yang masih setia bertengger di lengannya.

“Kenapa, sih? Kamu malu jalan sampingan sama aku?” tanyanya sambil menggembungkan pipinya. Bertingkah layaknya anak kecil yang ngambek.

Ah c’mon, Boy. Should you do this to me? I’m weak with cute things, yet you do that in front of my face. Monolog Aya dalam hati.

“B-bukan gitu, ih! You know exactly the reason, my genius Kim Jinhwan. Jangan berlagak bego gitu, deh.”

“Hei, Hon.Kamu bilang aku jenius, terus satu milidetik setelahnya kamu ngatain aku bego. Jadi yang bener yang mana?” Aya terdiam mendapat pertanyaan itu.

Aku yang bego kayaknya, batin gadis itu dalam hati. Tak mungkin ia mengatakannya keras-keras. Ia belum siap menerima godaan lain dari pacar imutnya itu.

“Tau, ah. Buru lepas dulu. Gandengan lagi nanti kalau dah agak jauhan dari gerbang kampus,”

“Iya deh iya, Tuan Putri. Sana jalan duluan, ntar aku nyusul,” ujar Jinan mengakhiri perdebatan ringan itu.

Aya perlahan mulai melangkah menjauh. Alasan gadis itu tak mau memperlihatkan kedekatan mereka tak lain dan tak bukan karena mereka merahasiakannya. Ya, hubungan ini hanya mereka yang tahu. Kesepakatan yang mereka ambil karena status yang disandang oleh Kim Jinhwan. The Most Popular Guy in Campus.

Terlalu beresiko jika banyak orang yang tau, Nan, kata Aya suatu hari.

Yang hanya ditanggapi dengusan kesal dari Jinan kala itu. Padahal lelaki itu fine-fine saja dengan semua itu, bahkan dia bisa dibilang ia yang seringkali ngebet mengekspos hubungannya dengan Aya.

Biar aku bisa leluasa ngeklaim kalo kamu tuh cuma milik aku, Ay.

Salah satu alasan yang kapan hari pernah Jinan kemukakan padanya. Dan tentunya sukses membuat Aya diam tak berkutik dengan pipi panasnya. Namun alasan itu tak juga bisa mengalahkan kekhawatirannya. Aya takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada lelakinya itu. Bahkan untuk membayangkan kekasihnya ini tersakiti barang sedikit pun ia tak sanggup.

Hubungan Aya – Jinan adalah hubungan romansa remaja pada umumnya. Teman jadi cinta. Mereka yang hanya tetangga sebelah pada awalnya, masuk ke sekolah yang sama dan tumbuh-tumbuhlah benih-benih cinta.

Mengutip perkataan dari Dave Matthews Band,

Lelaki dan perempuan bisa jadi sahabat. Tetapi di satu titik, mereka akan jatuh cinta pada satu sama lain. Mungkin sementara, mungkin di waktu yang tidak tepat, mungkin terlambat, atau mungkin selamanya.

Dan berakhirlah mereka di hubungan seperti sekarang ini.

Terhitung sudah dua tahun sejak mereka mensahkan hubungan mereka. Satu momen ter-akwkard bagi mereka. Ketika akhirnya Jinan berani mengutarakan perasaannya lebih dulu.


Waktu itu mereka masih duduk di bangku SMA, tepat sehari setelah pengumuman ujian akhir dan kini mereka tinggal menunggu pelaksanaan wisuda. Jinan malam itu diundang ke rumah Aya untuk syukuran kecil-kecilan.

Dan setelah makan malam mereka memutuskan untuk jalan-jalan santai ke taman dekat perumahan. Malam itu malam minggu, jadi suasana masih lumayan ramai. Banyak terlihat pasangan dari pemuda-pemudi sampai kakek-nenek disana. Berkunjung ke taman di malam minggu memang selalu menawarkan dua pilihan, antara memanjakan mata atau mungkin bikin mata tambah sepet karena status jomblo yang melihat.

Mereka sedang duduk di ayunan taman ketika tiba-tiba Jinan menggenggam tangan kiri Aya dan kemudian ia masukkan ke saku jaketnya. Gadis bersurai hitam itu sontak kaget dan langsung akan menarik tangannya. Tapi genggaman tangan Jinan kian erat. Ia menatap Jinan heran. Sorot matanya meminta penjelasan.

“Bentar aja, Ay. Biarin kayak gini dulu. Aku mau ngomong sesuatu. Biarin aku dapet kekuatan dari pegang tangan kamu,” ujar Jinan kala itu. Aya akhirnya membiarkan teman lelakinya itu menggenggam tangannya.

Hening. Tak ada obrolan di antara keduanya. Pandangan mereka lurus kedepan. Masih berpura-pura menikmati pemandangan taman Sabtu malam yang perlahan mulai sepi. Mereka masih tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Namun keheningan itu hanya tampak dari luarnya saja. Hangat dari genggaman tangan keduanya perlahan merambat ke jantung mereka. Yang menyebabkan degup jantung kedua insan itu semakin tak beraturan.

“Ehem….” Terdengar dehaman dari lelaki berhoodie di sebelah Aya.

“Aya…”

“Hm?”

“Aku mau jujur sama kamu.” Aya masih mencoba menerka-nerka apa pengakuan Jinan. Pasalnya selama ini tak ada yang ia tak tahu dari teman kecilnya ini.

“Something happened, Nan?”

“Eh? No...No. Bukan begitu.”

“Lalu ? Apa sih yang pengen kamu akuin? Kamu sekarang gitu ya. Sejak kapan kita main rahasia-rahasiaan gini hm?

“I told ya, it’s not like that, Aya,” ujar Jinan pelan berusaha memahamkan.

“Just tell me, then,” sahut gadis itu tak sabaran.

“Gak segampang itu, Ay buat ngomongin ini.”

“Ya udah, kalo gitu kita pulang aja. Omongin besok kalo kamu dah siap aja. Ayo pulang, Nan. Dah malem.”

Gadis itu bersiap beranjak dari posisinya. Melepas paksa genggaman tangan Jinan. Jujur ia setengah merajuk saat itu. Karena ia saja baru mengetahui bahwa teman terdekatnya merahasiakan sesuatu darinya.

Aya baru akan melangkahkan kaki setelah ia membalikkan badannya, ketika ia merasakan tubuhnya ditarik kedalam pelukan Jinan.

“N-nan?” Tubuh Aya membeku mendapat perlakuan itu Ia bahkan tak sanggup menoleh ke arah Jinan. Itu pertama kalinya Jinan memeluknya. Tapi gadis itu bahkan tak ada niatan untuk menepisnya. Entah kenapa ia malah merasa nyaman dalam pelukan itu.

Kembali hanya ada hening diantara mereka. Semilir angin malam menambah suasana kala itu kian dingin. Tapi semua itu tak berpengaruh untuk hati kedua anak manusia itu. Ayq bisa merasakan degup jantung Jinan di punggungnya. Yang ia sendiri yakin tak jauh beda dengan jantungnya yang kini sudah bak genderang perang.

Tiba – tiba ia merasakan ada hembusan hangat di telinga kanannya. Jinan membisikkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak pernah membayangkan kalimat itu terucap dari bibir teman kecilnya itu.

“Aya, i love you. Please be mine.”

And that’s how their new page begin.


Ya siapa sangka mereka memiliki perasaan lebih untuk keduanya. Dari yang biasanya hanya memendam kebaperan mereka masing-masing, kini mereka bisa dengan leluasa mengekspresikan perasaannya. Ah bukan di sembarang tempat tentunya, hanya pada saat mereka berdua saja.

Aya selalu khawatir kehadirannya akan berpengaruh pada popularitas Jinan. Siapa dia jika disandingkan dengan seorang Kim Jinhwan. Ia hanya seorang nerd, gadis cupu berkaca mata, si kutu buku. Panggilan-panggilan kolega kampus untuknya itu hanya akan menyusahkan Jinan kedepannya. Selalu itu yang ada dipikiran Aya.

“Tada!” Gadis itu berdiri di depan sebuah cafe lucu tapi estetik. Sebuah cafe langka yang ingin ia pamerkan pertama kali pada kekasihnya.

As expected from my darling. You know me best, Babe” ucap Jinan sambil mengacungkan kedua jempolnya dan mendapat balasan senyum manis Aya.

Ugh, my babe is too sweet, lelaki itu diam membatin.

“Ayo, buru! Aku udah pesen spot favorit kamu.” Geretan tangan Aya segera menyadarkan Jinan dari lamunannya. Ia segera mengikuti langkah Aya masuk ke dalam cafe.

Gadis itu ternyata sudah memilihkan spot di pinggir jendela. Karena mereka takkan pernah kehabisan topik obrolan. Mereka bisa lebih berlama-lama sembari membicarakan apa saja yang terlihat di luar jendela, papar Jinan suatu hari. Dan kini spot itu sepertinya sudah menjadi spot favorit mereka.

Tak ada sepuluh menit mereka menunggu, waitress sudah mengantarkan pesanan mereka. Jinan dengan milktea-nya, Aya dengan greentea dan strawberry shortcake-nya.

“Beneran gak mau icip?” tanya Aya ketika ia memasukkan suapan pertama kue itu ke mulutnya.

“Gak. Masih kenyang. Tadi abis ditraktir sepuasnya sama Abin di kantin,” ujar Jinan sambil menikmati milktea-nya.

“Yakin? Enak banget lho ini, Nan. Jarang-jarang aku nemu strawberry shortcake yang gak eneg gini,” cerocos Aya sambil masih mengunyah.

“Aku kalo makan apapun trus sambil liat kamu gak ada eneg-enegnya kok, Ay. Malah adanya ketagihan pengen liatin terus.”

“Uhuk… uhuk.” Aya tersedak mendengar serangan dadakan dari Jinan. Walaupun ia tak jarang mendengar pujian nonstop dari mulut lelaki itu tapi tetap saja tubuhnya bereaksi sama.

“Eh, pelan-pelan dong makannya. Gak bakal kurebut juga, Ay,” ujar Jinan sambil menyodorkan minuman Aya.

“Ih, sok-sokan bego ya. Kayak gak tahu aja aku kesedak kayak gini gara-gara siapa,” timpal Aya kesal.

“Hehe, lagian udah dua tahun masih tetep gitu aja reaksinya kalo digombalin. Kukira kan kamu bakal kebal, Ay.”

“Kebal apaan. Emangnya virus? Main kebal-kebalan gitu.” Aya tak habis pikir kenapa lelaki di seberangnya itu sangat senang melihatnya salah tingkah seperti sekarang ini.

Tangan Aya mengambil tissue untuk membersihkan mulutnya dari sisa cake tadi. Tiba-tiba tangan Jinan memegangnya. Gadis itu kembali terheran-heran. Dahinya mengkerut melihat tingkah lelaki di depannya itu.

Kesambet apa sih nih anak satu, batinnya.

“Biar aku aja, Ay,” ujar Jinan sambil menatap intens matanya.

“Hah? Mmb— ” Kalimat Aya tertahan karena tanpa aba-aba Jinan sudah menyapukan tisu ke mulutnya.

“Nah, gitu kan tambah cantik.” Jinan sengaja mengusapkan tisunya lumayan keras. Tak hanya sisa cake yang hilang dari bibir Aya, tapi juga lipstiknya.

“Apaan sih, Nan?” Gadis itu kembali tersipu. Hari itu ia memang sengaja memoles lipstik yang warnanya lumayan mencolok. Dalam rangka menguji kepekaan kekasihnya itu. Tak disangka Jinan akan menyadarinya secepat itu.

“Kamu tuh udah cantik natural, apa adanya. Gak usah pake make up tebel-tebel gitu. Nanti aku malah gak bisa bedain kamu sama badut yang disana itu, Hon,” godanya sambil menunjuk ke luar jendela. Dimana ada maskot badut yang sedang membagikan balon gratis.

“Iya iya, bawel. Ini pertama kali juga nyobain lipstik menor gini, sayang kan kalo gak dicoba,” elak Aya asal-asalan.

“Ini pertama dan terakhir ya. Aku pokoknya gak mau liat kamu pake make up tebel. Nanti kalo banyak yang kepincut, akunya yang berabe,”

“Ih jangan ngadi-ngadi. Mana ada yang kepincut sama cewek cupu macem aku.”

“Lha ini nyatanya ada. Yang lagi duduk di depanmu.” Aya diam tak menanggapi. Sampai sekarang pun rasanya masih mustahil ia bisa berpacaran dengan Jinan.

“Aneh emang kamu tuh. Kenapa juga mau sama aku yang gak ada apa-apanya ini.”

Ya, tak ada satu detikpun Aya tak memikirkan hal itu. Bersanding dengan seorang Jinan pernah menjadi hal yang ia pikir takkan pernah terjadi di dunia ini.

“Eh, eh mulutnya ya Sekali lagi aku denger kamu bilang gitu, aku bakal kasih kamu kiss di tempat lho, Ay.”

“Hush! Ngawur!”

I won’t let these little things slipped out from your mouth ever again, Aya,” ujar Jinan sambil menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya.

I’m in love with you, just the way you are, I love Aya and all these little things.”

Even if you love yourself, i know you’ll never love yourself as much as i love you.

But still, i want you to.” Tangan Jinan masih mengelus pelan punggung tangan Aya seolah mencoba kembali meyakinkan gadis itu bahwa ia berhak menjadi diri sendiri dan berhak untuk dicintai.

Hati Aya terenyuh, matanya tiba-tiba menghangat. Tapi ia tak membiarkan airnya jatuh. Hanya senyum yang terkembang di wajah manisnya. Dalam hati ia tak henti-hentinya merapalkan kalimat syukurnya.

Tuhan, terima kasih telah mengirimkan salah satu malaikat-Mu padaku.

E.N D