Reminisensi
/re·mi·ni·sen·si/ /réminisénsi/ (n.) 1 kenang-kenangan; 2 tindakan mengenang; pengenangan; 3 hal berpikir dan bercerita tentang pengalaman atau kejadian masa lampau
Inspired by Flower Song – Johnny Stimson
Cast credit belong to @eskalokal on twitter. Main cast(s) : Hyunjin as Haris, Seungmin as Mahesa, Vidi as OC
You're my little flower Blooming in the night Only for an hour The northern lights
Kehadiran seseorang dalam kehidupan manusia layaknya bunga-bunga liar yang mekar di tepi jalan. Kita hanya bisa menikmati keindahan mereka dalam kedipan mata di balik kaca. Tak ada kata selamanya, karena pada akhirnya kita harus terbiasa tanpa mereka. Jadikan kehadiran mereka sebagai bumbu kehidupan, yang tidak hanya bisa kamu kenang manisnya namun juga bisa kamu petik pelajaran dari asam dan pahitnya.
25 Maret 2021, 12.00 WIB
Lalu lalang kerumunan manusia di depan Haris tak berbanding lurus dengan suasana di hatinya. Birunya langit taman siang itu juga tak cocok menggambarkan isi hatinya saat ini. Hampa, hanya itu deskripsi kata yang tepat untuk lelaki bersurai hitam itu. Ia masih tak menyangka bahwa merindu akan begitu sangat menyiksa batinnya. Apalagi dia yang ia rindu takkan pernah lagi terjangkau oleh tangannya.
Jempol Haris yang beberapa menit lalu tak sengaja menekan foto profil gadis berhoodie ungu di aplikasi Whatsapp miliknya membuat suasana hati pria berparas tampan itu kembali biru.
Mau tak mau ia harus mengingat manis pahitnya momen mereka ketika jarinya lincah menyekrol chatroom milik mereka. Ya, chatroom itu adalah satu-satunya kenangan yang tak ingin Haris musnahkan.
Chatroom ini adalah bukti bahwa pernah ada kita diantara aku dan Vidi. Itulah alasan Haris masih mempertahankan chatroom itu agar tetap utuh. Dia rela untuk tidak menginstal ulang aplikasi hijau itu hanya karena ia tak ingin chatroom mereka hilang.
25 Maret 2021, 07.00 WIB
“Kan bisa lo screenshot, terus lo simpen, Ris,” gerutu Mahesa dengan tangannya yang masih sibuk berkutat dengan ponsel lemot milik Haris.
Lelaki berpipi tembam itu langsung meluncur ke rumah Haris, ketika karibnya itu tiba-tiba menelepon mengatakan bahwa saat ini ia seperti sedang merasa di ambang kehidupan dan kematian. Mahesa langsung menutup telepon dan bergegas menuju apartemen Haris.
Mendengkus kesal adalah hal pertama yang ia lakukan ketika ia melangkahkan kaki masuk ke apartemen Haris. Di kasur putih itu netranya menangkap sosok karibnya yang masih terlelap lengkap dengan bedcover yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Tak tahunya Haris menghubungi Mahesa hanya karena ponselnya tiba-tiba ngehang dan ia takut setengah mati ponselnya akan mereset semua datanya.
“Enggak, Sa. Feelnya tuh tetep beda, ya. Lebih greget kalau kita lihat chatroomnya langsung,” respon Haris saat itu hanya ditanggapi decakan kecil dari Mahesa tanpa menoleh ke arah Haris.
“Lo mau sampai kapan sih, Ris?”
“Hm? Apanya?”
“Dih, pura-pura bloon lagi. Gue tahu, lo mesti paham apa yang gue maksud, Haris Januar.” Ada sedikit jeda ketika akhirnya Haris meresponnya.
“Haha iya lah. Lo udah bejibun kali tanya itu mulu, Sa.”
“Jangan bilang, jawaban lo hari ini masih sama kayak interogasi-interogasi gue sebelumnya.”
Haris terdiam lagi tak langsung merespon pertanyaan terakhir Mahesa. Dengan hanya melihat reaksi karib di sampingnya itu, hanya satu hal yang ada di pikiran Mahesa saat ini, Haris belum bisa move on sepenuhnya.
Tangan Mahesa menyodorkan ponsel yang sedari tadi ia utak-utik ke depan Haris. Sembari membereskan diri, ia bersiap beranjak dari tempat duduknya. Otaknya masih tak habis pikir, Haris sahabatnya itu sebenarnya multitalenta. Dia selalu menyabet peringkat satu di tiap semesternya. Tapi otak briliannya itu mendadak menjadi otak udang ketika itu sudah berurusan dengan satu nama, Vidi.
“Nih udah bener. Jangan lupa ongkosnya. Traktir gue buat makan siang nanti di kampus.”
“Siap, komandan! Lo emang bener-bener malaikat penyelamat gue, Sa. Tambah sayang deh, kalo lo baik terus gini,” ujar Haris bergerak ingin memeluk Mahesa tapi malah berujung penolakan dari si pemilik pipi tembam itu.
“Dih, ogah gue dipeluk sama orang yang hatinya masih punya orang lain.”
“Ye, bahas itu lagi,” ujar Haris sambil segera menjauhkan dirinya dari Mahesa.
“Udah setahun lebih, Ris. Harusnya lo udah bisa mulai berdamai dengan luka itu. Lo mau sampai kapan? Tiap inget Vidi lo bakal ngeblue seharian kayak gini. Tanpa Vidi pun hidup lo tetep bakal terus jalan, Bro.”
Ya, diam adalah respon yang selalu Haris berikan ketika Mahesa sudah memulai ceramahnya. Apalagi jika itu menyangkut Vidi, mantan kekasihnya. Haris tak akan menyangkal. Otaknya memang mengiyakan tapi hatinya berkata sebaliknya. Perdebatan dalam dirinya itulah yang membuat Haris selalu diam jika nama Vidi sudah keluar dari mulut Mahesa.
“Udah, gitu aja. Gak ngaruh juga gue ceramah panjang lebar kayak gini. Berasa nyeramahin patung tu gak, sih.” Ia tak bisa menyembunyikan raut kesalnya ketika mengatakan itu.
“Gue pamit. Sampai ketemu di kampus, Ris. Jangan lupa bawa uang lebih buat traktiran gue,” pamit Mahesa tanpa menunggu jawaban dari Haris.
Di sinilah Haris sekarang, ia memutuskan untuk menenangkan kembali pikirannya di sebuah taman kesukaannya. Setelah selesai dengan urusan kampus, ia langsung menuju kemari. Sebuah taman yang memiliki tempat khusus di hati Haris. Karena taman ini bukan hanya tempat dimana semesta mempertemukan dirinya dengan Vidi. Tapi, di sini pula lah, Tuhan memutuskan skenario perpisahan mereka terjadi.
Tak terasa waktu itu begitu cepat berlalu. Semua kilasan memori itu seperti baru saja terjadi kemarin. Jalaran rasa hangat di hati yang Haris rasakan tiap kali jemari tangannya dan Vidi bertautan. Rasa nyeri yang terasa di dada kirinya setelah ucapan selamat tinggal Vidi. Semua rasa itu seperti baru saja terjadi kemarin.
19 Maret 2020
Kisah romansa Haris dan Vidi sebenarnya masih akan baik-baik saja, jika tidak ada kehadiran pihak ketiga bernama ego di tengah-tengah mereka. Ketika keduanya lebih memilih bersama sang ego, maka perpisahan lah yang akan menjadi akhirnya.
Saat itu Haris yang masih pemula dalam urusan percintaan sedang merasakan keposesifan yang teramat akan Vidi. Entah dengan atau tanpa ia sadari dia sudah mengekang gadisnya, memonopoli jalan hidup Vidi. Sampai akhirnya Vidi mengajak Haris berbicara tentang ketidaknyamanannya karena hal itu.
Namun saat itu, Haris bersikeras dengan pendapatnya. Bahwa wajar jika seorang kekasih posesif terhadap apa yang memang itu seharusnya menjadi miliknya. Dia tidak mau disalahkan dengan alasan, semua ini adalah pertama baginya. Harusnya Vidi bisa paham dengan semua itu. Sampai pada titik dimana Vidi memberikan penalti, yang Haris sendiri bahkan tak diberi kesempatan untuk memilih kala itu.
“Ris, maaf. Kalau kamu memang masih keukeuh dengan sikap kamu yang seperti ini ... aku memutuskan untuk mundur,” ujar Vidi lirih. Ada nada sedih bercampur kecewa ketika gadis itu mengatakannya.
“Maaf ... tapi sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka dikekang. Karena kulihat sekarang ini kamu bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk merubah sikapmu ini, Ris.” Suara Vidi hampir tersekat ketika ia ingin melanjutkan perkataannya.
“Jadi ... lebih baik aku yang pergi, Ris. Karena aku takkan mungkin bisa lebih kuat menahan semua ketidaknyamanan lebih dari hari ini. Selamat tinggal, Haris. Be happy ... always.”
Haris yang masih memproses kata-kata Vidi tak sempat menjawab perkataan gadis itu. Lalu ketika ia tersadar, netranya hanya bisa menangkap punggung gadisnya yang sudah hilang di balik pintu. Saat itu, ia bahkan tak memiliki energi untuk mengejar Vidi. Ia merasakan seketika seluruh syarafnya lemas, setelah ia benar-benar tersadar bahwa saat itu ia telah kehilangan pelita hatinya.
Bukan tanpa alasan mengapa Haris butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan dirinya. Semua yang berhubungan dengan Vidi adalah hal pertama bagi Haris. Vidi adalah perempuan pertama yang akhirnya bisa mencairkan hati pria dingin itu.
Bukan cantiknya wajah yang membuat Haris bisa bertekuk lutut pada tuan putrinya itu. Lelaki tampan itu terpikat dengan Vidi karena segala kesederhanaan yang ada dalam diri gadis itu. Tingkah-tingkah polosnya dan semua hal-hal kecil yang Vidi lakukan yang tanpa sengaja tertangkap oleh pasang mata Haris. Tuhan memang selalu mempunyai cara unik untuk menyatukan hati dua insan-Nya.
Tak selamanya yang menyandang gelar pertama itu selalu baik. Dalam hubungan percintaan ini, Haris tak jarang mengalami kebingungan dalam semua situasi yang baru pertama kali ia hadapi. Saat ia mulai hilang arah, Mahesa lah yang akan selalu menjadi tujuannya. Ia selalu mencari Mahesa untuk meminta pencerahan masalah percintaannya. Walaupun satu-satunya karib yang Haris punya itu memiliki prinsip untuk 'tidak pacaran sebelum menikah', tapi entah kenapa malah banyak teman kampus yang meminta saran masalah percintaan mereka padanya.
25 Maret 2021, 16.00 WIB
Semburat warna oranye sudah mulai menghiasi langit biru kota itu. Namun Haris masih betah duduk berlama-lama di bangku taman yang menjadi teman satu-satunya sedari tadi. Ia mendongakkan kepalanya, dan kembali kata-kata Mahesa pagi tadi terngiang-ngiang di telinganya.
Ah, ternyata sudah satu tahun ya, monolognya dalam hati.
Kilasan-kilasan memori tentang kehadiran Mahesa di titik terendah kehidupannya. Semua ceramah yang tak jengah ia berikan pada Haris. Tiba-tiba semua itu kembali terputar dalam otak Haris bak potongan sebuah film.
“Gue bukan tipe orang yang suka sayang-sayangan sama luka, Ris. Tiap ada luka dateng gue mesti bilang ke dia gini 'dear luka, lo boleh nyakitin gue hari ini. Tapi besok kesempatan lo udah habis. Lo kudu pergi, karena gue mau jalan lagi.” Hari itu adalah seminggu sebelum genap satu tahun sejak putusnya hubungan Haris-Vidi. Lelaki itu kembali merasa galau ketika ia tak sengaja melihat postingan lama mereka. Mereka selalu berakhir bercengkerama di apartemen Haris. Satu-satunya tempat favorit mereka ketika dua lelaki itu ingin bertukar pikiran.
Haris masih tertegun mendengar perkataan Mahesa saat itu. Bukan sekali dua kali dia terheran dengan semua kalimat yang keluar dari mulut Mahesa. Entah kenapa semua perkataan karibnya itu tak pernah sekalipun ia berani menyangkal. Karena semua yang diucapkan Mahesa adalah sebuah kebenaran yang berlogika.
Kembali terjadi pergulatan sengit batin dan pikiran dalam diri Mahesa. Namun kali ini, Haris benar-benar ingin membenarkan perkatan sahabat rasa saudaranya itu. Ia harus bisa bangkit. Ibarat sebuah cerita, chapter berjudul Vidi sudah selesai dan kini dia harus membuka chapter baru untuk melanjutkan ceritanya.
Ada waktu dimana Mahesa merasa sudah hamppir putus asa memberikan saran pada Haris dan berakhir dengan ia mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya saat itu dalam satu waktu.
“Kalo kejadian lo sama Vidi dianalogikan sobekan kertas dari sebuah buku, lo kudu paham mana yang kudu dapet fokus lo. Sobekannya? atau bukunya? Kalo gue sih bakal fokus ke bukunya. Ngapain fokus ke kertas yang udah sobek, gak utuh.” Mahesa menarik napas panjang sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya.
“Ini sekalian gue rampungin aja ya ceramahnya. Udah gedeg banget soalnya liat muka lo lusuh mulu kayak gitu, Ris. Gue gak bilang kalo lo gak boleh sedih, lo gak boleh down, tapi gue cuma gak mau kalo lo kelamaan ngerasainnya, Bro.”
“Satu tahun tuh udah cukup, Ris. Time to turn the page! Start the new chapter. Lo berhak dapetin yang lebih baik, Vidi juga berhak buat dapetin yang lebih baik. Jadi buat sekarang ... jalani apa yang udah ada di depan lo. Gak gampang emang buat gak nengok ke belakang. Tapi gue yakin, seorang Haris Januar pasti bisa ngelakuin itu.”
Haris membuka mata setelah otaknya selesai mengulang memori-memori itu. Ia tersenyum lega, karena saat ini ia seperti merasa sudah terbangun dari tidur panjangnya.
Langit senja kini sudah mengeluarkan selimut malamnya. Saat itulah tangannya merogoh saku mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya lincah mencari sebuah kontak bernama 'Mahesa'. Tanpa babibu, segera ia menekan tombol telepon untuk menghubungi karibnya itu.
“Sa ... makasih udah mau jadi seseorang yang selalu ada buat gue. Maaf juga, karena gue belum bisa jadi temen yang bisa ngebales semua kebaikan lo selama ini.”
“Hah? Lo kesambet apa dah tiba-tiba sok ngomong manis gini ke gue, Ris.“
“Gue baru aja selesai mencerna semua khutbah lo selama setahun belakangan ini, Sa. Nanti malem gue tunggu lo di apartemen. Gue bakal butuh lo di sana buat nguatin gue. Gue ... udah ikhlas ngelepas Vidi, Sa.” Seketika terpampang senyum lega yang terukir di wajah lelaki di seberang sana, walaupun saat itu Haris tak melihatnya.
“Oke. I'll be there, my Bro.”
Setelah menutup telepon mereka, Haris kembali memantapkan hatinya. Dengan mengingat semua hal yang telah Mahesa lakukan untuknya. Semua khutbah yang tak bosannya Mahesa berikan padanya. Kenapa ia baru saja tersadar bahwa Tuhan sebenarnya telah mengirimkan sebuah hadiah padanya bernama Mahesa.
Ah, cinta itu memang buta. Hanya karena Haris kehilangan satu cintanya, ia bahkan tak menyadari ada kasih sayang yang dengan suka rela orang lain berikan padanya sepanjang waktu. Andai Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan Mahesa di kehidupan selanjutnya, ia akan meminta Tuhan untuk mempertemukan mereka sebagai saudara dalam ikatan darah.
25 Maret 2021, 20.00 WIB
Setelah setahun mengalami semua perdebatan sengit dalam diri Haris, malam itu akhirnya ia mantap memutuskan menghubungi Vidi untuk terakhir kalinya. Lalu di akhir percakapan mereka, akhirnya Haris bisa dengan benar-benar lega mengucapkan balik kalimat perpisahan itu, benar-benar tanpa ada beban di dalamnya.
Vidi ... all I want is for you to be happy. Always.
Kini Haris bisa dengan lega mengatakan bahwa dia bersyukur dengan semua yang sudah terjadi di kehidupannya. Semua itu ada masanya. Ada masa yang dahulu sempat dekat dan akhirnya menjauh. Ada yang dulu sempat spesial dan sekarang menjadi biasa saja. Ya, semua itu sudah ada masanya sendiri-sendiri.
Bukan Haris ingin melupakan Vidi. Bukan, dia takkan mungkin lupa walaupun dia sebenarnya ia ingin, bukan? Memori itu akan selalu tersimpan di suatu tempat dalam otaknya. Kenangan-kenangan itu bisa saja muncul kembali ke permukaan. Namun Haris tak ingin menyesalinya. Ia takkan menyangkal fakta bahwa Vidi pernah menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Kini dia bisa mengatakan bahwa masa bersama Vidi adalah masa paling indah dalam hidupnya. dan ia sama sekali tak akan menyesalinya.
Terima kasih, Tuhan ... karena sudah menciptakan skenario indah dalam satu chapter kehidupanku.
Setelah merapalkan rasa syukurnya itu Haris menoleh ke arah sosok lelaki yang sedari tadi setia menungguinya. Netra mereka saling bertatap, lalu sedetik kemudian terpampang sebuah senyum di wajah keduanya.
“Good job, my bro,” ujar Mahesa sambil menepuk-nepuk punggung Haris bangga.
“Gue gak akan bisa ngelewatin ini semua tanpa lo, Sa. Makasih, ya.”
Tak ada jawaban dari Mahesa. Malam itu entah karena rintikan hujan yang membuat nuansa menjadi sendu atau memang hati kedua lelaki itu yang sedang melembut. Mungkin perpaduan dua faktor itu yang membuat malam itu malah menjadi malam yang hangat bagi mereka berdua.
e.n.d