haruvi

/re·mi·ni·sen·si/ /réminisénsi/ (n.) 1 kenang-kenangan; 2 tindakan mengenang; pengenangan; 3 hal berpikir dan bercerita tentang pengalaman atau kejadian masa lampau

Inspired by Flower Song – Johnny Stimson

Cast credit belong to @eskalokal on twitter. Main cast(s) : Hyunjin as Haris, Seungmin as Mahesa, Vidi as OC

You're my little flower Blooming in the night Only for an hour The northern lights

Kehadiran seseorang dalam kehidupan manusia layaknya bunga-bunga liar yang mekar di tepi jalan. Kita hanya bisa menikmati keindahan mereka dalam kedipan mata di balik kaca. Tak ada kata selamanya, karena pada akhirnya kita harus terbiasa tanpa mereka. Jadikan kehadiran mereka sebagai bumbu kehidupan, yang tidak hanya bisa kamu kenang manisnya namun juga bisa kamu petik pelajaran dari asam dan pahitnya.


25 Maret 2021, 12.00 WIB

Lalu lalang kerumunan manusia di depan Haris tak berbanding lurus dengan suasana di hatinya. Birunya langit taman siang itu juga tak cocok menggambarkan isi hatinya saat ini. Hampa, hanya itu deskripsi kata yang tepat untuk lelaki bersurai hitam itu. Ia masih tak menyangka bahwa merindu akan begitu sangat menyiksa batinnya. Apalagi dia yang ia rindu takkan pernah lagi terjangkau oleh tangannya.

Jempol Haris yang beberapa menit lalu tak sengaja menekan foto profil gadis berhoodie ungu di aplikasi Whatsapp miliknya membuat suasana hati pria berparas tampan itu kembali biru.

Mau tak mau ia harus mengingat manis pahitnya momen mereka ketika jarinya lincah menyekrol chatroom milik mereka. Ya, chatroom itu adalah satu-satunya kenangan yang tak ingin Haris musnahkan.

Chatroom ini adalah bukti bahwa pernah ada kita diantara aku dan Vidi. Itulah alasan Haris masih mempertahankan chatroom itu agar tetap utuh. Dia rela untuk tidak menginstal ulang aplikasi hijau itu hanya karena ia tak ingin chatroom mereka hilang.


25 Maret 2021, 07.00 WIB

“Kan bisa lo screenshot, terus lo simpen, Ris,” gerutu Mahesa dengan tangannya yang masih sibuk berkutat dengan ponsel lemot milik Haris.

Lelaki berpipi tembam itu langsung meluncur ke rumah Haris, ketika karibnya itu tiba-tiba menelepon mengatakan bahwa saat ini ia seperti sedang merasa di ambang kehidupan dan kematian. Mahesa langsung menutup telepon dan bergegas menuju apartemen Haris.

Mendengkus kesal adalah hal pertama yang ia lakukan ketika ia melangkahkan kaki masuk ke apartemen Haris. Di kasur putih itu netranya menangkap sosok karibnya yang masih terlelap lengkap dengan bedcover yang masih menutupi seluruh tubuhnya. Tak tahunya Haris menghubungi Mahesa hanya karena ponselnya tiba-tiba ngehang dan ia takut setengah mati ponselnya akan mereset semua datanya.

“Enggak, Sa. Feelnya tuh tetep beda, ya. Lebih greget kalau kita lihat chatroomnya langsung,” respon Haris saat itu hanya ditanggapi decakan kecil dari Mahesa tanpa menoleh ke arah Haris.

“Lo mau sampai kapan sih, Ris?”

“Hm? Apanya?”

“Dih, pura-pura bloon lagi. Gue tahu, lo mesti paham apa yang gue maksud, Haris Januar.” Ada sedikit jeda ketika akhirnya Haris meresponnya.

“Haha iya lah. Lo udah bejibun kali tanya itu mulu, Sa.”

“Jangan bilang, jawaban lo hari ini masih sama kayak interogasi-interogasi gue sebelumnya.”

Haris terdiam lagi tak langsung merespon pertanyaan terakhir Mahesa. Dengan hanya melihat reaksi karib di sampingnya itu, hanya satu hal yang ada di pikiran Mahesa saat ini, Haris belum bisa move on sepenuhnya.

Tangan Mahesa menyodorkan ponsel yang sedari tadi ia utak-utik ke depan Haris. Sembari membereskan diri, ia bersiap beranjak dari tempat duduknya. Otaknya masih tak habis pikir, Haris sahabatnya itu sebenarnya multitalenta. Dia selalu menyabet peringkat satu di tiap semesternya. Tapi otak briliannya itu mendadak menjadi otak udang ketika itu sudah berurusan dengan satu nama, Vidi.

“Nih udah bener. Jangan lupa ongkosnya. Traktir gue buat makan siang nanti di kampus.”

“Siap, komandan! Lo emang bener-bener malaikat penyelamat gue, Sa. Tambah sayang deh, kalo lo baik terus gini,” ujar Haris bergerak ingin memeluk Mahesa tapi malah berujung penolakan dari si pemilik pipi tembam itu.

“Dih, ogah gue dipeluk sama orang yang hatinya masih punya orang lain.”

“Ye, bahas itu lagi,” ujar Haris sambil segera menjauhkan dirinya dari Mahesa.

“Udah setahun lebih, Ris. Harusnya lo udah bisa mulai berdamai dengan luka itu. Lo mau sampai kapan? Tiap inget Vidi lo bakal ngeblue seharian kayak gini. Tanpa Vidi pun hidup lo tetep bakal terus jalan, Bro.”

Ya, diam adalah respon yang selalu Haris berikan ketika Mahesa sudah memulai ceramahnya. Apalagi jika itu menyangkut Vidi, mantan kekasihnya. Haris tak akan menyangkal. Otaknya memang mengiyakan tapi hatinya berkata sebaliknya. Perdebatan dalam dirinya itulah yang membuat Haris selalu diam jika nama Vidi sudah keluar dari mulut Mahesa.

“Udah, gitu aja. Gak ngaruh juga gue ceramah panjang lebar kayak gini. Berasa nyeramahin patung tu gak, sih.” Ia tak bisa menyembunyikan raut kesalnya ketika mengatakan itu.

“Gue pamit. Sampai ketemu di kampus, Ris. Jangan lupa bawa uang lebih buat traktiran gue,” pamit Mahesa tanpa menunggu jawaban dari Haris.


Di sinilah Haris sekarang, ia memutuskan untuk menenangkan kembali pikirannya di sebuah taman kesukaannya. Setelah selesai dengan urusan kampus, ia langsung menuju kemari. Sebuah taman yang memiliki tempat khusus di hati Haris. Karena taman ini bukan hanya tempat dimana semesta mempertemukan dirinya dengan Vidi. Tapi, di sini pula lah, Tuhan memutuskan skenario perpisahan mereka terjadi.

Tak terasa waktu itu begitu cepat berlalu. Semua kilasan memori itu seperti baru saja terjadi kemarin. Jalaran rasa hangat di hati yang Haris rasakan tiap kali jemari tangannya dan Vidi bertautan. Rasa nyeri yang terasa di dada kirinya setelah ucapan selamat tinggal Vidi. Semua rasa itu seperti baru saja terjadi kemarin.


19 Maret 2020

Kisah romansa Haris dan Vidi sebenarnya masih akan baik-baik saja, jika tidak ada kehadiran pihak ketiga bernama ego di tengah-tengah mereka. Ketika keduanya lebih memilih bersama sang ego, maka perpisahan lah yang akan menjadi akhirnya.

Saat itu Haris yang masih pemula dalam urusan percintaan sedang merasakan keposesifan yang teramat akan Vidi. Entah dengan atau tanpa ia sadari dia sudah mengekang gadisnya, memonopoli jalan hidup Vidi. Sampai akhirnya Vidi mengajak Haris berbicara tentang ketidaknyamanannya karena hal itu.

Namun saat itu, Haris bersikeras dengan pendapatnya. Bahwa wajar jika seorang kekasih posesif terhadap apa yang memang itu seharusnya menjadi miliknya. Dia tidak mau disalahkan dengan alasan, semua ini adalah pertama baginya. Harusnya Vidi bisa paham dengan semua itu. Sampai pada titik dimana Vidi memberikan penalti, yang Haris sendiri bahkan tak diberi kesempatan untuk memilih kala itu.

“Ris, maaf. Kalau kamu memang masih keukeuh dengan sikap kamu yang seperti ini ... aku memutuskan untuk mundur,” ujar Vidi lirih. Ada nada sedih bercampur kecewa ketika gadis itu mengatakannya.

“Maaf ... tapi sebenarnya aku bukan tipe orang yang suka dikekang. Karena kulihat sekarang ini kamu bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk merubah sikapmu ini, Ris.” Suara Vidi hampir tersekat ketika ia ingin melanjutkan perkataannya.

“Jadi ... lebih baik aku yang pergi, Ris. Karena aku takkan mungkin bisa lebih kuat menahan semua ketidaknyamanan lebih dari hari ini. Selamat tinggal, Haris. Be happy ... always.”

Haris yang masih memproses kata-kata Vidi tak sempat menjawab perkataan gadis itu. Lalu ketika ia tersadar, netranya hanya bisa menangkap punggung gadisnya yang sudah hilang di balik pintu. Saat itu, ia bahkan tak memiliki energi untuk mengejar Vidi. Ia merasakan seketika seluruh syarafnya lemas, setelah ia benar-benar tersadar bahwa saat itu ia telah kehilangan pelita hatinya.


Bukan tanpa alasan mengapa Haris butuh waktu lebih lama untuk menyembuhkan dirinya. Semua yang berhubungan dengan Vidi adalah hal pertama bagi Haris. Vidi adalah perempuan pertama yang akhirnya bisa mencairkan hati pria dingin itu.

Bukan cantiknya wajah yang membuat Haris bisa bertekuk lutut pada tuan putrinya itu. Lelaki tampan itu terpikat dengan Vidi karena segala kesederhanaan yang ada dalam diri gadis itu. Tingkah-tingkah polosnya dan semua hal-hal kecil yang Vidi lakukan yang tanpa sengaja tertangkap oleh pasang mata Haris. Tuhan memang selalu mempunyai cara unik untuk menyatukan hati dua insan-Nya.

Tak selamanya yang menyandang gelar pertama itu selalu baik. Dalam hubungan percintaan ini, Haris tak jarang mengalami kebingungan dalam semua situasi yang baru pertama kali ia hadapi. Saat ia mulai hilang arah, Mahesa lah yang akan selalu menjadi tujuannya. Ia selalu mencari Mahesa untuk meminta pencerahan masalah percintaannya. Walaupun satu-satunya karib yang Haris punya itu memiliki prinsip untuk 'tidak pacaran sebelum menikah', tapi entah kenapa malah banyak teman kampus yang meminta saran masalah percintaan mereka padanya.


25 Maret 2021, 16.00 WIB

Semburat warna oranye sudah mulai menghiasi langit biru kota itu. Namun Haris masih betah duduk berlama-lama di bangku taman yang menjadi teman satu-satunya sedari tadi. Ia mendongakkan kepalanya, dan kembali kata-kata Mahesa pagi tadi terngiang-ngiang di telinganya.

Ah, ternyata sudah satu tahun ya, monolognya dalam hati.

Kilasan-kilasan memori tentang kehadiran Mahesa di titik terendah kehidupannya. Semua ceramah yang tak jengah ia berikan pada Haris. Tiba-tiba semua itu kembali terputar dalam otak Haris bak potongan sebuah film.


“Gue bukan tipe orang yang suka sayang-sayangan sama luka, Ris. Tiap ada luka dateng gue mesti bilang ke dia gini 'dear luka, lo boleh nyakitin gue hari ini. Tapi besok kesempatan lo udah habis. Lo kudu pergi, karena gue mau jalan lagi.” Hari itu adalah seminggu sebelum genap satu tahun sejak putusnya hubungan Haris-Vidi. Lelaki itu kembali merasa galau ketika ia tak sengaja melihat postingan lama mereka. Mereka selalu berakhir bercengkerama di apartemen Haris. Satu-satunya tempat favorit mereka ketika dua lelaki itu ingin bertukar pikiran.

Haris masih tertegun mendengar perkataan Mahesa saat itu. Bukan sekali dua kali dia terheran dengan semua kalimat yang keluar dari mulut Mahesa. Entah kenapa semua perkataan karibnya itu tak pernah sekalipun ia berani menyangkal. Karena semua yang diucapkan Mahesa adalah sebuah kebenaran yang berlogika.

Kembali terjadi pergulatan sengit batin dan pikiran dalam diri Mahesa. Namun kali ini, Haris benar-benar ingin membenarkan perkatan sahabat rasa saudaranya itu. Ia harus bisa bangkit. Ibarat sebuah cerita, chapter berjudul Vidi sudah selesai dan kini dia harus membuka chapter baru untuk melanjutkan ceritanya.

Ada waktu dimana Mahesa merasa sudah hamppir putus asa memberikan saran pada Haris dan berakhir dengan ia mengeluarkan semua yang mengganjal di hatinya saat itu dalam satu waktu.

“Kalo kejadian lo sama Vidi dianalogikan sobekan kertas dari sebuah buku, lo kudu paham mana yang kudu dapet fokus lo. Sobekannya? atau bukunya? Kalo gue sih bakal fokus ke bukunya. Ngapain fokus ke kertas yang udah sobek, gak utuh.” Mahesa menarik napas panjang sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya.

“Ini sekalian gue rampungin aja ya ceramahnya. Udah gedeg banget soalnya liat muka lo lusuh mulu kayak gitu, Ris. Gue gak bilang kalo lo gak boleh sedih, lo gak boleh down, tapi gue cuma gak mau kalo lo kelamaan ngerasainnya, Bro.”

“Satu tahun tuh udah cukup, Ris. Time to turn the page! Start the new chapter. Lo berhak dapetin yang lebih baik, Vidi juga berhak buat dapetin yang lebih baik. Jadi buat sekarang ... jalani apa yang udah ada di depan lo. Gak gampang emang buat gak nengok ke belakang. Tapi gue yakin, seorang Haris Januar pasti bisa ngelakuin itu.”

Haris membuka mata setelah otaknya selesai mengulang memori-memori itu. Ia tersenyum lega, karena saat ini ia seperti merasa sudah terbangun dari tidur panjangnya.

Langit senja kini sudah mengeluarkan selimut malamnya. Saat itulah tangannya merogoh saku mengeluarkan ponsel miliknya. Jemarinya lincah mencari sebuah kontak bernama 'Mahesa'. Tanpa babibu, segera ia menekan tombol telepon untuk menghubungi karibnya itu.

“Sa ... makasih udah mau jadi seseorang yang selalu ada buat gue. Maaf juga, karena gue belum bisa jadi temen yang bisa ngebales semua kebaikan lo selama ini.”

“Hah? Lo kesambet apa dah tiba-tiba sok ngomong manis gini ke gue, Ris.

“Gue baru aja selesai mencerna semua khutbah lo selama setahun belakangan ini, Sa. Nanti malem gue tunggu lo di apartemen. Gue bakal butuh lo di sana buat nguatin gue. Gue ... udah ikhlas ngelepas Vidi, Sa.” Seketika terpampang senyum lega yang terukir di wajah lelaki di seberang sana, walaupun saat itu Haris tak melihatnya.

Oke. I'll be there, my Bro.”

Setelah menutup telepon mereka, Haris kembali memantapkan hatinya. Dengan mengingat semua hal yang telah Mahesa lakukan untuknya. Semua khutbah yang tak bosannya Mahesa berikan padanya. Kenapa ia baru saja tersadar bahwa Tuhan sebenarnya telah mengirimkan sebuah hadiah padanya bernama Mahesa.

Ah, cinta itu memang buta. Hanya karena Haris kehilangan satu cintanya, ia bahkan tak menyadari ada kasih sayang yang dengan suka rela orang lain berikan padanya sepanjang waktu. Andai Tuhan memberikan kesempatan untuk bertemu dengan Mahesa di kehidupan selanjutnya, ia akan meminta Tuhan untuk mempertemukan mereka sebagai saudara dalam ikatan darah.


25 Maret 2021, 20.00 WIB

Setelah setahun mengalami semua perdebatan sengit dalam diri Haris, malam itu akhirnya ia mantap memutuskan menghubungi Vidi untuk terakhir kalinya. Lalu di akhir percakapan mereka, akhirnya Haris bisa dengan benar-benar lega mengucapkan balik kalimat perpisahan itu, benar-benar tanpa ada beban di dalamnya.

Vidi ... all I want is for you to be happy. Always.

Kini Haris bisa dengan lega mengatakan bahwa dia bersyukur dengan semua yang sudah terjadi di kehidupannya. Semua itu ada masanya. Ada masa yang dahulu sempat dekat dan akhirnya menjauh. Ada yang dulu sempat spesial dan sekarang menjadi biasa saja. Ya, semua itu sudah ada masanya sendiri-sendiri.

Bukan Haris ingin melupakan Vidi. Bukan, dia takkan mungkin lupa walaupun dia sebenarnya ia ingin, bukan? Memori itu akan selalu tersimpan di suatu tempat dalam otaknya. Kenangan-kenangan itu bisa saja muncul kembali ke permukaan. Namun Haris tak ingin menyesalinya. Ia takkan menyangkal fakta bahwa Vidi pernah menjadi bagian terbaik dalam hidupnya. Kini dia bisa mengatakan bahwa masa bersama Vidi adalah masa paling indah dalam hidupnya. dan ia sama sekali tak akan menyesalinya.

Terima kasih, Tuhan ... karena sudah menciptakan skenario indah dalam satu chapter kehidupanku.

Setelah merapalkan rasa syukurnya itu Haris menoleh ke arah sosok lelaki yang sedari tadi setia menungguinya. Netra mereka saling bertatap, lalu sedetik kemudian terpampang sebuah senyum di wajah keduanya.

Good job, my bro,” ujar Mahesa sambil menepuk-nepuk punggung Haris bangga.

“Gue gak akan bisa ngelewatin ini semua tanpa lo, Sa. Makasih, ya.”

Tak ada jawaban dari Mahesa. Malam itu entah karena rintikan hujan yang membuat nuansa menjadi sendu atau memang hati kedua lelaki itu yang sedang melembut. Mungkin perpaduan dua faktor itu yang membuat malam itu malah menjadi malam yang hangat bagi mereka berdua.

e.n.d

You’re my everything I want to protect you in your days and your nights

Segala sesuatu itu sebenarnya indah, dan Tuhan menciptakan semua keindahan itu untuk hamba-Nya. Tapi tak jarang manusia malah membuat keindahan itu menjadi derita, dengan selalu menuntut kepada-Nya apa yang kita tak punya. Malam minggu ini, aku tak lagi sendiri. Setelah setahun lebih lamanya aku mencoba mandiri berdamai dengan luka di hati ini, sebulan yang lalu ada dia yang menawarkan tangan untuk membantu menyembuhkan diri ini.

Namanya Hwanwoong, salah satu mahasiswa teladan di kampusku. Namanya sering kali dielu-elukan oleh para dosen karena sumbangan prestasi yang ia sabet dalam satu periode semester.

Skenario Tuhan itu lucu. Sampai sekarang aku masih saja terheran-heran, kenapa nerd sepertiku dipertemukan dengan para lelaki yang selalu menjadi magnet bagi semua wanita. Tak ada yang tak mengenal nama Hwanwoong di kampusku.

The Dancing Machine adalah julukan yang disandangnya. Ya, prestasi yang kumaksud tadi adalah prestasi non-akademik. Tapi hal itu tak menyurutkan minat para dosen untuk mengelu-elukannya. Hwanwoong takkan pernah menjadi topik yang membosankan dalam setiap pertemuan, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa.

Sudut bibirku kembali tertarik ke atas mengamati tingkah Hwanwoong yang saat ini lebih seperti anak kecil yang sedang kumat tantrumnya. Siapa sangka Hwanwoong yang terkenal ambisius ini akan ngambek hanya karena boba di Bubble Tea kesukaannya terlalu keras. Ia masih saja mengaduk-aduk minuman itu tanpa meminumnya. Tentu saja lengkap dengan mulut manyunnya.

Lama-kelamaan aku tak tega melihatnya seperti itu. Akhirnya kutawarkan padanya, “mau pesen lagi, Woong?”

“Hm? Enggak. Enggak usah, Ru. Nanti mesti sama aja.”

“Beneran? Kali aja tadi mas-masnya salah masukin boba, Woong,” kataku berusaha meyakinkan.

“Ih, mana ada. Udah, enggak usah. Ini bakal jadi terakhir kali aku beli bubble tea di sini, ya, Ru.” See? Bahkan masalah minuman saja dia masih bisa perfeksionis. Aku yang sudah paham dengan sifatnya itu hanya akan berakhir diam mengiyakan. Karena aku tahu, berdebat dengannya hanya akan mempersulit diriku.

Jangan berpikir ada kata pacaran di antara kita. Bukan, bukan itu status yang mengikatku dengan Hwanwoong. Friend with benefit adalah julukan yang paling tepat untuk kita. Sesama teman harus saling membantu, bukan? Ya, itulah yang sedang kami lakukan. Saling membantu menyembuhkan torehan luka dari mereka, orang-orang yang ditakdirkan bukan untuk kita.

Hwanwoong adalah tipikal lelaki yang sangat memikirkan perasaan orang lain. Dia tahu aku pernah dekat dengan Youngjo, dan sempat terusik dengan kepopulerannya. Pria itu tahu betul bagaimana eksistensi dirinya di kampus. Hwanwoong paham bagaimana ia akan menjadi magnet bagi para wanita ketika ia bebas berkeliaran.

Berbeda dengan Youngjo yang dengan mudah yang memperlihatkan kedekatannya denganku, Hwanwoong melakukan kebalikannya. Dia tak pernah memperlihatkan kedekatan kami di muka publik. Ketika tak sengaja berpapasan di kampus, aku dan Hwanwoong hanya akan melakukan kontak sebatas bertukar tatap. Tak pernah sekalipun kita bertemu dengan sengaja di kampus. Dia selalu membuat janji di tempat yang jauh dari kampus, rumahku, terkadang juga kita bertemu di apartemennya.

“Aku enggak mau jadi Youngjo kedua. Bukan luka, peran yang ingin kuperankan dalam skenario hidupmu. Biarkan aku memerankan plester di skenariomu, Ru.”

Aku tersenyum ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibir Hwanwoong. Seketika aku bisa merasakan kembali rasanya dihargai, rasanya disayang, rasanya dianggap sebagai orang penting, setelah sebelumnya aku merasa dibuang bak sampah.

Hwanwoong tahu kisahku dengan Youngjo. Entah kenapa aku bisa senyaman itu menceritakan semua detailnya pada lelaki itu. Tak hanya diriku, dia juga menceritakan kisah asmaranya yang ternyata penuh luka. Kita sama, dua insan yang sampai saat ini masih mencoba berdamai dengan lukanya. Walaupun saat itu aku tak bisa serta merta mempercayainya. Namun entah kenapa hatiku akhirnya luluh ketika kulihat ada sebuah ketulusan di kedua manik hitamnya.


Siang itu kami berada di bangku taman. Kampus sedang ada acara dies natalis, dan semua kegiatan kuliah diberhentikan selama acara berlangsung. Disini lah aku dan Hwanwoong, memilih menikmati semilir angin menjauh dari hiruk pikuk kumpulan manusia.

Dalam syahdunya siang itu, Hwanwoong tiba-tiba memberikan tawaran itu padaku.

“Ru ....”

“Hm?”

Can i ask you something?

“Tumben pake acara izin-izin segala. Just go ahead.”

“Aku tahu kita baru kenalan sebulan yang lalu. Tapi entah kenapa aku selalu nyaman ketika berada di dekatmu. Aku ... pengen jadi lebih dari sekadar temen buat kamu, Ru.”

Aku tak bisa merespon langsung saat itu. Otakku masih mencerna tiap kalimat yang tadi terucap dari mulut Hwanwoong.

You mean ....”

Yes, a boyfriend. I wanna be your boyfriend in a romantic way for you. Can i? “

Saat itu, hatiku benar-benar belum siap menerima orang lain selain Youngjo. Tempat itu belum benar-benar kosong. Aku tak mau jika nantinya kehadiran Hwanwoong hanya akan menjadi pelampiasanku saja. Aku tak ingin menjadi orang yang menorehkan luka. Rasa sakit itu ... aku tak ingin ada orang lain yang kembali merasakannya karena diriku.

“Maaf Woong, tapi sepertinya kamu sudah tahu jawabannya.”

Aku menangkap raut kecewa di wajah Hwanwoong. Ya, aku yakin lelaki itu sudah tahu jawabannya. Karena berkali-kali kukatakan padanya bahwa bayang-bayang sosok Youngjo masih akan selalu ada.

“Ru ... aku tahu kamu sakit. Kita sakit karena luka yang sama. Tapi sembuh sendiri itu bakal lama, Ru. Maaf, tapi aku tak ingin merasakan sakit itu lagi. Menemukanmu yang basah kuyup di tengah hujan sore itu, sudah cukup membuat luka lamaku kembali terbuka, Ru.”

Ya, momen pertemuanku dengan Hwanwoong bisa dibilang sangat dramatis. Sebuah adegan yang benar-benar-benar membuatku malu setengah mati ketika mengingatnya.


Setelah kejadian putusnya hubunganku dengan Youngjo di kafe saat itu. Aku nekat menerobos derasnya hujan. Namun di sebuah taman bermain langkahku terhenti. Sesak hati ini benar-benar tak tertahan. Lalu, aku memutuskan duduk berjongkok di dekat perosotan untuk bersembunyi. Mengeluarkan semua stok air mata yang ada, membiarkan hujan menghapus jejaknya.

Aku tak peduli dengan tubuhku yang sudah basah kuyup, yang kupikirkan saat itu adalah bagaimana duri dalam hati ini hilang. Rasa sakit dari tancapan duri itu sangat menyiksa. Saking kesalnya aku memukul-mukul dada kiriku berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi nihil, rasa sakit itu masih tetap sama.

Saat itu aku benar-benar tak peduli dengan sekitarku. Sampai aku tersadarkan karena merasa ada yang menyampirkan jaket di punggungku. Aku menoleh ke belakang dan terlihat ada sosok yang berdiri di belakangku dengan payung menaunginya. Pandanganku masih kabur dan tak bisa menangkap jelas siapa sosok itu. Sampai akhirnya dia memanggil namaku, dan di saat itulah aku tahu dia adalah Hwanwoong.

Satu momen yang sangat ingin kuhapus dari ingatanku dan Hwanwoong. Momen yang sangat memalukan ketika lelaki itu menyaksikan kondisi terkacauku. Sebuah momen yang sangat amat tidak menyenangkan untuk diingat.


Beginilah hubunganku dan Hwanwoong sekarang. 'Hubungan tanpa status' kalau kata orang kebanyakan. Tak sedikit pasang mata yang menyimpulkan bahwa kita adalah sepasang kekasih, ketika mereka memergoki kebersamaan kita. Ya, karena memang seperti itu adanya. Kita berdua sudah terlalu nyaman dengan satu sama lain. Skinship di antara kita memang sudah layaknya sepasang kekasih.

Itulah yang terlihat dari luar, anggapan dari orang lain yang tak tahu bagaimana isi hati. Karena pada kenyataannya hati kita, khususnya hatiku masih belum sepenuhnya siap menerima kehadiran sosok lain. Mungkin aku dan Hwanwoong hanya akan menunggu waktu, sembari berusaha menyembuhkan luka hati masing-masing. Untuk saat ini ... just let it flow. Let God lead our way. Karena kita selalu percaya, Tuhan sudah menyiapkan skenario terbaik-Nya untuk hamba-Nya.

You’re my everything I want to protect you in your days and your nights

Segala sesuatu itu sebenarnya indah, dan Tuhan menciptakan semua keindahan itu untuk kita. Tapi tak jarang manusia malah membuat keindahan itu menjadi derita, dengan selalu menuntut kepadaNya apa yang kita tak punya. Malam minggu ini, aku tak lagi sendiri. Setelah setahun lebih lamanya aku mencoba mandiri berdamai dengan luka di hati ini, sebulan yang lalu ada dia yang menawarkan tangan untuk membantu menyembuhkan diri ini.

Namanya Hwanwoong, salah satu mahasiswa teladan di kampusku. Namanya sering kali dielu-elukan oleh para dosen karena sumbangan prestasi yang ia sabet dalam satu periode semester.

Skenario Tuhan itu lucu. Sampai sekarang aku masih saja terheran-heran, kenapa nerd sepertiku dipertemukan dengan para lelaki yang selalu menjadi magnet bagi semua wanita. Tak ada yang tak mengenal nama Hwanwoong di kampusku.

The Dancing Machine adalah julukan yang disandangnya. Ya, prestasi yang kumaksud tadi adalah prestasi non-akademik. Tapi hal itu tak menyurutkan minat para dosen untuk mengelu-elukannya. Hwanwoong takkan pernah menjadi topik yang membosankan dalam setiap pertemuan, baik dari kalangan dosen maupun mahasiswa.

Sudut bibirku kembali tertarik ke atas mengamati tingkah Hwanwoong yang saat ini lebih seperti anak kecil yang sedang kumat tantrumnya. Siapa sangka Hwanwoong yang terkenal ambisius ini akan ngambek hanya karena boba di minuman Bubble Teanya terlalu keras. Ia masih mengaduk-aduk minuman itu lengkap dengan mulut manyunnya.

Lama-kelamaan aku tak tega melihatnya seperti itu. Akhirnya kutawarkan padanya, “mau pesen lagi, Woong?”

“Hm? Enggak. Enggak usah, Ru. Nanti mesti sama aja.”

“Beneran? Kali aja tadi mas-masnya salah masukin boba, Woong,” kataku berusaha meyakinkan.

“Ih, mana ada. Udah, enggak usah. Ini bakal jadi terakhir kali aku beli bubble tea di sini, ya, Ru.” *See? Bahkan masalah minuman saja dia masih bisa perfeksionis. Aku yang sudah paham dengan sifatnya itu hanya akan berakhir diam mengiyakan. Karena aku tahu, berdebat dengannya hanya akan mempersulit diriku.

Jangan berpikir ada kata pacaran di antara kita. Bukan, bukan itu status yang mengikatku dengan Hwanwoong. Friend with benefit adalah status yang paling tepat untuk kami. Sesama teman harus saling membantu, bukan? Ya, itulah yang sedang kami lakukan. Saling membantu menyembuhkan torehan luka dari mereka, seseorang yang ditakdirkan bukan untuk kita.

Hwanwoong adalah tipikal lelaki yang sangat memikirkan perasaan orang lain. Dia tahu aku pernah dekat dengan Youngjo, dan sempat terusik dengan kepopulerannya. Pria itu tahu betul bagaimana ia akan menjadi seperti magnet bagi para wanita ketika ia berkeliaran.

Berbeda dengan Youngjo yang dengan mudah yang memperlihatkan kedekatannya denganku, Hwanwoong melakukan kebalikannya. Dia tak pernah memperlihatkan kedekatan kita di muka publik. Ketika kita tak sengaja berpapasan di kampus, aku dan Hwanwoong hanya akan melakukan kontak sebatas bertukar tatap. Tak pernah sekalipun kita bertemu dengan sengaja di kampus. Dia selalu membuat janji di tempat yang jauh dari kampus, rumahku, terkadang juga kita bertemu di apartemennya.

“Aku enggak mau jadi Youngjo kedua. Bukan luka, peran yang ingin kuperankan dalam skenario hidupmu. Biarkan aku memerankan plester di skenariomu, Ru.”

Aku tersenyum ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibir Hwanwoong. Seketika aku bisa merasakan kembali rasanya dihargai, rasanya disayang, rasanya dianggap sebagai orang penting, setelah sebelumnya aku merasa dibuang bak sampah.

Hwanwoong tahu kisahku dengan Youngjo. Entah kenapa aku bisa nyaman menceritakan semua detailnya pada lelaki itu. Tak hanya diriku, dia juga menceritakan kisah asmaranya yang ternyata penuh luka. Kita sama, sampai saat ini masih mencoba berdamai dengan luka. Walaupun saat itu aku tak bisa serta merta mempercayainya. Namun entah kenapa hatiku akhirnya luluh karena melihat sebuah ketulusan di kedua manik hitamnya.


Siang itu kami berada di bangku taman. Kampus sedang ada acara dies natalis, dan semua kegiatan kuliah diberhentikan selama acara berlangsung. Disini lah kami, memilih menikmati semilir angin menjauh dari hiruk pikuk kumpulan manusia.

Dalam syahdunya siang itu, Hwanwoong tiba-tiba memberikan tawaran itu padaku.

“Ru ....”

“Hm?”

Can i ask you something?

“Tumben pake acara izin-izin segala. Just go ahead.”

“Aku tahu kita baru kenalan sebulan yang lalu. Tapi entah kenapa aku selalu nyaman ketika berada di dekatmu. Aku ... pengen jadi lebih dari sekadar temen buat kamu, Ru.”

Aku tak bisa merespon langsung saat itu. Otakku masih mencerna tiap kalimat yang tadi terucap dari mulut Hwanwoong.

You mean ....”

Yes, a boyfriend. I wanna be your boyfriend in a romantic way for you. Can i? “

Saat itu, hatiku benar-benar belum siap menerima orang lain selain Youngjo. Tempat itu belum benar-benar kosong. Aku tak mau jika nantinya kehadiran Hwanwoong hanya akan menjadi pelampiasanku saja. Aku tak ingin menjadi orang yang menorehkan luka. Rasa sakit itu ... aku tak ingin ada orang lain yang kembali merasakannya karena diriku.

“Maaf Woong, tapi sepertinya kamu sudah tahu jawabannya.”

Aku menangkap raut kecewa di wajah Hwanwoong. Ya, aku yakin lelaki itu sudah tahu jawabannya. Karena berkali-kali kukatakan padanya bahwa bayang-bayang sosok Youngjo masih akan selalu ada.

“Ru ... aku tahu kamu sakit. Kita sakit karena luka yang sama. Tapi sembuh sendiri itu bakal lama, Ru. Maaf, tapi aku tak ingin merasakan sakit itu lagi. Menemukanmu yang basah kuyup di tengah hujan sore itu, sudah cukup membuat luka lamaku kembali terbuka, Ru.”

Ya, momen pertemuanku dengan Hwanwoong bisa dibilang sangat dramatis. Sebuah adegan yang benar-benar-benar membuatku malu setengah mati ketika mengingatnya.


Setelah kejadian putusnya hubunganku dengan Youngjo di kafe saat itu. Aku nekat menerobos derasnya hujan. Namun di sebuah taman bermain langkahku terhenti. Sesak hati ini benar-benar tak tertahan. Lalu aku memutuskan duduk berjongkok di dekat perosotan untuk bersembunyi. Mengeluarkan semua stok air mata yang ada, membiarkan hujan menghapus jejaknya.

Aku tak peduli dengan tubuhku yang sudah basah kuyup, yang kupikirkan saat itu adalah bagaimana duri dalam hati ini hilang. Rasa sakit dari tancapan duri itu sangat menyiksa. Saking kesalnya aku memukul-mukul dada kiriku berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Tapi nihil, rasa sakit itu masih tetap sama.

Saat itu aku benar-benar tak peduli dengan sekitarku. Sampai aku tersadar karena merasakan ada sampiran jaket di punggungku. Aku menoleh ke belakang dan terlihat ada sosok yang berdiri di belakangku dengan payung menaunginya. Pandanganku masih blur dan tak bisa menangkap siapa sosok itu. Sampai akhirnya dia memanggil namaku, di saat itulah aku tahu dia adalah Hwanwoong.

Satu momen yang sangat ingin kuhapus dari ingatanku dan Hwanwoong. Momen yang sangat memalukan ketika lelaki itu menyaksikan kondisi kacauku. Sebuah momen yang sangat amat tidak menyenangkan untuk diingat.


Beginilah hubunganku dan Hwanwoong sekarang. 'Hubungan tanpa status' kalau kata orang kebanyakan. Tak sedikit pasang mata yang memergoki kami bersama akan menganggap kami sepasang kekasih. Ya, karena memang seperti itu adanya. Kami berdua sudah terlalu nyaman dengan satu sama lain. Skinship yang kami lakukan memang sudah layaknya sepasang kekasih.

Itulah yang terlihat dari luar, anggapan dari orang lain yang tak tahu bagaimana isi hati. Karena pada kenyataannya hati kami khususnya hatiku masih belum sepenuhnya siap menerima kehadiran sosok lain. Mungkin kami hanya akan menunggu waktu, sembari berusaha menyembuhkan hati masing-masing. Untuk saat ini, just let it flow. Let God lead our way. Karena kami selalu percaya, Tuhan sudah menyiapkan skenario terbaikNya untuk kami.

You are a miracle to me, I wish you could see it Spreading all over me, a gift called you You're my night and day Waiting for you in this street, drawing you again

Sebuah potongan lirik lagu yang sukses membuat cairan bening ini keluar lagi dari tempat persembunyiannya. Lagu My Everything yang dinyanyikan salah satu boy group Korea itu menjadi satu lagu spesial bagi kami. Ah, sepertinya ‘kami’ bukan julukan yang tepat untukku dan dia sekarang. Ya memang pernah ada ‘kami’ di masa lalu. ‘Kami’ yang mungkin takkan pernah terulang lagi di masa kini atau mungkin sampai kapanpun.

Sudah hampir satu tahun, dan gadis culun berkacamata ini masih saja belum bisa melupakan sosoknya. Kukira semua ini akan mudah, karena kenanganku dengannya hanya dalam hitungan bulan. Namun ternyata aku salah, bukan lamanya waktu yang kita habiskan bersama yang membuat seseorang menjadi spesial. Tapi bagaimana kita membuat waktu yang singkat itu menjadi waktu spesial nan berharga.


Namaku Ruka, gadis yang terhitung sudah setahun ini merasa gagal move on. Aku memang bukan gadis yang suka dengan hal percintaan. Bahkan bisa dibilang aku sama sekali tidak tertarik dengan hal bernama cinta itu. Sampai ia datang, dan meruntuhkan semua ekspetasiku tentang cinta. Namanya Kim Youngjo, ketua tim basket di kampusku. Lelaki rupawan yang menjadi pujaan gadis seantero kampus. Termasuk aku. Ya, aku takkan menyangkal jika aku memang memiliki ketertarikan padanya.

Siapa yang tak akan menaruh hati pada lelaki yang bisa dibilang hampir sempurna itu. Youngjo tak hanya menjadi idaman para gadis, tapi ia juga menjadi mahasiswa kebanggaan para dosen. Menjadi top one di setiap semester, memenangkan olimpiade bergengsi dan selalu menyabet juara di setiap pertandingan basket. Ah, tak jarang aku berpikir bahwa dia adalah manusia jelmaan malaikat.

Semua ketertarikan itu mungkin sama bagi setiap gadis yang memujanya. Aku pun tak ingin berharap lebih. Apalah aku yang hanya kutu buku penunggu perpustakaan kampus. Daripada bersaing dengan para goddesses kampus, aku lebih memilih berkencan dengan barisan bait-bait kata karya penulis favoritku. Hingga hari itu, ketika tak ada angin tak ada hujan Youngjo tiba-tiba menyapaku.

“Eh, kamu baca series itu juga?”

“Oh-em, iya.” Aku menjawab gagap setelah mengetahui siapa yang menanyakan itu padaku. Sejak tadi memang aku merasakan ada tatapan yang mengawasiku. Tak kusangka yang menatapku dari tadi adalah pangeran kampus.

“Udah baca sampai buku ke berapa?”

“Mmm baru buku ketiga,sih.”

“Wah, keren. Aku buku kedua aja belum kelar baca.”

Buku series yang kami bahas adalah series Supernova karya Dee Lestari. Aku memang mengagumi penulis tanah air itu sejak lama. Tak ada karya Dee yang belum kubaca. Walaupun hanya mengandalkan pinjaman buku di perpustakaan atau pinjaman teman karena faktor ekonomi tentunya. Karya Dee akan selalu menjadi top list asupan bacaanku sehari-hari.

“Nama kamu Ruka, kan.”

Hah? Sejak kapan dia tahu namaku, aku membatin.

“Iya, aku Ruka.”

“Salam kenal, ya. Aku Youngjo.”

Iya, aku tahu. Siapa juga yang tidak mengenal seorang Youngjo di kampus ini, kembali aku bermonolog dalam hati.

“Aku sebenarnya sering memperhatikanmu selalu duduk di spot yang sama. Dengan buku menutupi setengah wajahmu itu, seolah mengisyaratkan semua orang untuk tak mengganggumu.”

“A-ah, maaf.”

No no, bukan gitu maksud aku. To be honest, i like it ....”

“Hm?” Segera aku meminta kejelasan kalimatnya itu agar aku tak salah menyimpulkan.

“Oh, maksudku aku suka liat orang yang ... mmm enjoying themselves to the fullest? Dan aku lihat itu di kamu. Tiap kali sebuah buku sudah ada di tanganmu, kamu bener-bener seperti tenggelam di dalamnya. Kamu seolah berada di duniamu sendiri. I like those expressions of yours.”

“O-oh, thanks.” Aku menjawab singkat sekadar untuk menutupi kekagetanku tentang semua itu. Diri ini masih saja menolak percaya bahwa seorang Youngjo ternyata diam-diam memperhatikanku dari kejauhan.

Sejak pertemuan pertama kita di perpustakaan itu, aku dan Youngjo menjadi sering bertemu. Entah untuk membahas buku kesukaan kita, entah membicarakan hal lain selain itu. Yang ternyata aku dengannya memiliki lumayan banyak kesamaan dan karena itulah kami bisa nyaman berlama-lama mengobrol kapanpun dimanapun.

Aku tahu, banyak pasang mata yang mengawasi. Kukira itu memang resiko jika kita dekat dengan sosok terkenal seperti Youngjo. Tapi aku hanya menghiraukannya. Masa bodoh dengan mereka, aku hanya ingin melakukan hal yang kusukai tanpa ada tekanan dari siapapun. Toh Youngjo juga tak mempermasalahkannya. Ia tak pernah mengatakan keberatan berteman denganku, dan aku pun akan melakukan hal yang sama. I’ll enjoy our time to the fullest.

Banyak hal yang kudapat semenjak berteman dengan Youngjo. Aku yang memang memiliki kepribadian yang introvert sedikit demi sedikit menjadi lebih terbuka. Kehadiran Youngjo membuatku semakin percaya diri untuk mencintai diriku apa adanya. Aku semakin leluasa mengekspresikan perasaanku, walaupun untuk saat ini aku hanya bisa melakukannya di depan Youngjo. Tapi bagiku, semua itu adalah peningkatan pesat bagi gadis culun sepertiku.

Bohong jika perasaan bahwa aku memiliki tempat spesial di hati Youngjo itu tak pernah ada. Berkali-kali aku merasakannya, dan berulang kali pula aku menyangkalnya. Aku hanya terbawa perasaan. Selalu kuyakinkan begitu ketika aku kembali merasakan rasa itu. Namun, ternyata manajemen hatiku tak sekuat yang kukira. Aku tak tahan dengan semua duga dan prasangka yang selama ini pasti hanya kualami sendiri. Hingga suatu hari, aku memberanikan diri menanyakannya langsung pada Youngjo.

Sore itu kami sedang berada di sebuah kafe dekat kampus, berlindung dari guyuran hujan yang sejak siang tadi tak kunjung reda. Kami bercengkerama seperti biasa sampai semua topik yang bisa dibahas tak lagi tersisa. Hanya suara bincang-bincang dari pengunjung lain dan suara gemericik air hujan di luar kafe yang terdengar saat itu. Ah, ada juga alunan lagu balad Korea yang kutahu judulnya dari Youngjo adalah My Everything. Setidaknya alunan musik itu bisa mengurangi sedikit rasa gugupku. Aku mengambil napas panjang sebelum mengeluarkan suaraku.

“Ehem, Jo.”

“Iya, Ru?”

“Aku ... mau tanya sesuatu.” Sedikit ragu untuk menanyakan hal ini. Tapi aku harus memperjelasnya.

“Ya udah, tanya aja. Kayak sama siapa aja, Ru.”

“Maaf, tapi ada satu hal yang selama ini mengusik hati aku, Jo.”

“Hey, wassup girl? Tumben kamu mau ngomongin masalah hati gini. Ada apa, Ru? Bilang aja.”

Kali ini aku menelan ludah sebelum benar-benar mengatakannya.

“Kamu ... anggap aku apa, Jo? Kita ini ... sebenarnya apa?”

Hening. Tak ada jawaban langsung dari pria itu. Aku pun tak berani mendongakkan kepalaku. Pandanganku saat ini hanya tertuju pada cangkir kopi yang sudah tak berisi di atas meja. Keheningan itu tak sebanding dengan deru hati yang sedari tadi tak berniat menghentikan tabuhan genderangnya. Aku benar-benar gelisah menanti jawabannya.

“Kamu ... temen aku, Ru.” Akhirnya suara Youngjo memecah keheningan di antara kita. Tapi kini giliran hatiku yang mendadak sunyi. Bukan itu yang ingin kudengar dari mulutnya. Bukan itu, Jo, protesku dalam hati.

Tanpa kusadari sudah ada bulir cairan bening yang lolos dari mataku. Secepat kilat aku menghapusnya, tapi terlambat. Youngjo sudah melihatnya, karena setelahnya ia langsung bertanya ....

“Ru? Are you okay?”

Kukuatkan hatiku sebelum akhirnya kutegakkan kepalaku. Netra kami bertemu dan kulihat ada rasa iba dalam tatapan Youngjo saat itu. Ah c’mon, i hate it. Don’t gimme that look, Kim Youngjo, aku kembali memprotesnya dalam hati.

Nope. Kamu tahu aku enggak baik-baik aja, Jo.” Dia diam. Aku tahu dia paham kemana arah pembicaraanku ini dan aku benar-benar tak menyukai itu.

Sorry, Ru.” See. Dia bahkan sudah menolakku tanpa aku memberi tahu isi hatiku terlebih dulu padanya.

“Aku juga minta maaf, Jo. Maaf, karena sepertinya aku tak bisa melanjutkan hubungan kita ini. Aku tak yakin hatiku akan bisa lebih kuat lagi setelah ini. Maaf, Jo.”

Sore itu, aku meninggalkan Youngjo di kafe itu sendirian. Memaksakan diriku menerobos derasnya guyuran hujan. Karena setelah aku mengatakan kalimat itu, air mata ini sudah tak bisa lagi dibendung. Kubiarkan hujan menemani tangisku saat itu. Ya, hujan lah yang menjadi saksi kandasnya hubunganku dengan dia. Kim Youngjo, satu-satunya orang spesial yang bersemayam di hatiku.

In my life, being with you was The most regretful But the happiest moment

Cinta itu bukan melulu soal bahagia. Sebuah kisah cinta sama halnya seperti setangkai mawar berduri. Ia tak hanya memiliki keindahan, namun juga ada duri menyertainya. Berani mencintai seseorang itu berarti kita berani terluka oleh durinya. Jangan sekali-kali mengaku berani mencintai orang lain, jika dirimu sendiri saja masih kau abaikan. Ya, begitulah. Sejatinya mereka para pecinta adalah sosok pemberani sebenarnya.

Tapi, Raven bukanlah salah satu dari pria yang menyandang julukan itu. Lelaki berparas tampan itu gagal. Modal tampang yang di atas rata-rata pun tak menjamin engkau akan menjadi pemberani sejati dalam percintaan. Apa gunanya paras tampan jika tidak diiringi tekad kuat mempertahankan cinta. Raven adalah salah satu dari sekian banyak pejuang cinta yang memilih mundur tak melanjutkan pertarungan cintanya.


“Sesil!” Teriakan lantang dari seorang lelaki bersurai hitam itu menggema di sepanjang lorong.

“Sshh!” gadis bernama Sesilia itu langsung meletakkan telunjuknya di bibir Raven, “enggak usah teriak-teriak bisa enggak, sih, Rav?” omelnya pada Raven yang hanya dibalas cengengesan dari empu senyum menawan itu. Ia menggaet tangan Raven menuju ruang kelasnya.

“Ada apa nih sekarang?”

“Yah, masa lupa sih. Kita kan ada janji date sehabis pulang sekolah ini.”

“Ah, iya ... maaf, Rav. Kayaknya buat hari ini aku gak bisa. OSIS masih sibuk buat persiapan MOS besok. Enggak enak kalo aku pulang duluan.”

“Oh, gitu.” Terdengar jawaban lesu dari Raven. Melihat raut kecewanya, Sesilia kembali dirundung rasa bersalah. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, setelah sebelumnya ia memantapkan hati untuk melakukan sesuatu yang tergolong nekat menurutnya.

Cup!

Sebuah kecupan singkat sukses mendarat di pipi Raven. Mendapat kejutan singkat itu Raven hanya bisa diam. Speechless, tak merespon. Sesilia merasakan pipinya memanas setelah melakukan hal nekat itu.

“Mm ... itu ganti buat gagalnya kencan kita hari ini. Aku janji minggu depan bakal kuluangin waktu buat kita kencan.” Tak ada respon dari Raven. Pria muda itu masih terlalu syok dengan kejadian tadi. Melihat kekasihnya tak berekspresi. Sesilia segera berujar cepat,

Bye, Rav. Aku nyusul anak-anak OSIS dulu ya.” Gadis itu segera melenggang pergi meninggalkan Raven yang masih bengong.

Sepeninggal Sesilia, tangan Raven mengelus pelan bekas kecupan gadisnya tadi. Matanya mengerjap-ngerjap meyakinkan kalau kejadian tadi adalah nyata bukan mimpi.

Since when my girl became so brave, batinnya. Pasalnya selama ini selalu dirinya yang mengambil langkah terlebih dahulu. Sampai pada titik Raven meragukan perasaan Sesilia padanya. Apakah hanya dirinya yang merasakan perasaan berdebar ketika mereka bersama? Apakah hanya jantungnya yang berpacu cepat ketika jemari mereka bertautan? Apakah hanya dirinya yang mengalami semua rasa spesial itu? Bagi Raven semua itu adalah pertama baginya. Sesilia adalah cinta pertamanya. Sesilia adalah gadis yang mampu membuatnya bertekuk lutut, ia rela melakukan segala hal demi pujaan hatinya itu. Ya, hanya Sesilia tak ada yang lain.

Rasa sayang Raven pada Sesilia seringkali membuat iri siapapun yang melihatnya. Cara Raven memperlakukan Sesilia bak permaisuri selalu membuat panas hati para jomblowati di sekolahnya. Bagaimana tidak? Pria muda itu benar-benar sudah menjadi budak cinta yang mungkin akan rela tersakiti hanya demi menyenangkan hati sang permaisuri. Sesilia bagaikan bola kaca bagi Raven yang bahkan untuk menyentuhnya pun ia harus sangat berhati-hati.

Tapi perlakuan Raven sepertinya tak mendapat balasan seimbang dari Sesilia. Begitulah kata mereka yang gemar mengamati interaksi keduanya. Sesilia terkenal dengan sebutan The Ice Queen. Gadis berpawakan dingin yang sangat jarang menampakkan senyumnya. Ia dikenal dengan gadis judes yang tak gemar berinteraksi dengan sekitarnya. Wajahnya yang sangat jarang menampakkan variasi ekspresi menjadikannya mendapat semua prasangka itu.

Namun, sebenarnya dibalik semua dugaan yang ditujukan padanya Sesilia adalah orang yang hangat dan ramah. Gadis itu memang hanya akan merespon seperlunya jika kau tanya sesuatu. Tapi jika kamu menginginkan orang untuk menjadi pendengarmu, Sesilia akan menjadi top recommended.

Gadis bersurai coklat itu bisa menjadi sekedar pendengar yang baik, atau jika kamu ingin dia bisa menjadi pemberi solusi yang baik pula. Tapi, tidak semua orang mengetahui hal ini. Dan Raven menganggap dirinya adalah salah satu orang yang paling beruntung karena ia mengetahui sebuah fakta yang menurutnya sangat menarik.

Tapi Raven dan Sesilia hanyalah dua insan muda yang dilanda asmara. Belum banyak asam pahit kehidupan yang mereka rasakan. Ego masih menjadi satu hal yang sangat mereka agung-agungkan. Sebuah hubungan di masa belia memang tak mengharuskan ada kata ‘selamanya’ di dalamnya. Begitu pun dengan hubungan Raven-Sesilia.

“Aku capek, Sil,” ucap Raven di suatu senja. Saat itu mereka sedang berada di sebuah kafe langganan mereka.

“Kenapa?” respon gadis itu sekenanya.

“Emang kamu gak capek sama hubungan kita ini, Sil?”

“Kenapa harus capek?” Lelaki itu mengusap kasar rambutnya.

“Aku capek ngertiin kamu terus, Sil! Aku capek ...,” Raven mengambil jeda untuk mengatur intonasinya yang sempat meninggi karena emosi, “karena selama ini, aku ngerasa cuma aku yang bahagia dengan hubungan ini. Cuma aku yang berusaha buat mempertahankan hubungan ini.”

Hening. Seolah kafe itu paham akan situasi mereka, obrolan-obrolan pengunjung kafe lainnya seolah teredam dinding di sekitarnya. Suara barista yang sedang meracik pesanan customer menjadi satu-satunya suara yang menemani mereka.

“Terus mau kamu gimana, Rav?” Akhirnya suara lirih Sesilia memecah keheningan di antara mereka.

“Putus,” satu kata yang terucap dari bibirnya itu sebenarnya sangat berat untuk Raven ucapan, “kupikir hanya itu jalan terbaik buat hubungan kita ini, Sil.”

Ada nyeri di hati ketika gadis berpipi tembam itu akhirnya mendengar satu kata keramat yang sangat ia benci. Dan kini, telinganya harus mendengar kata keramat itu terucap dari orang terkasihnya. Suaranya tersekat di tenggorokan. Matanya seketika memanas. Namun sekuat tenaga Sesilia menahan cairan bening itu tetap pada tempatnya. Ia mengambil napas panjang, berharap dengan melakukannya jalan suaranya akan kembali normal.

“Ehem,” Sesilia berdeham berusaha menjernihkan suaranya. Berusaha mengatur agar suaranya tetap terdengar senormal mungkin, “kalau itu mau kamu ... Let’s do it then.”

Deg!

Kini Raven yang merasa ada batu menghantam tepat di dada kirinya. Ia tak menyangka gadisnya akan mengiyakan keputusan itu dengan mudahnya. Lelaki itu menatap meja di depannya, netranya kini benar-benar tak berani memandang gadis yang sebentar lagi akan menyandang status ‘mantan’ itu.

I think it’s time to say goodbye, Rav. Makasih buat semua memori manisnya dan maaf ... karena aku belum bisa cewek yang kamu harapkan. Aku pamit,” Sesilia beranjak dari kursi tempatnya duduk, “ah yeah. Please be happy, Rav,” ujar gadis itu berusaha tersenyum saat mengatakannya. Walaupun ia tahu Raven tak melihatnya. Ia hanya tak ingin mengakhiri pertemuan terakhirnya ini dengan tangis. Seiring menghilangnya punggung Sesilia di balik pintu kafe, di saat yang sama semua memori kebersamaan mereka kembali terputar bak sebuah rekaman video di kepalanya.

It’s really the end, huh. I am ... do the right thing, right? Someone ... Please tell me. Please ... tell me, ronta Raven dalam hati. Lelaki itu membenamkan muka ke lengan yang ia tekuk di atas meja.

Setelah satu kata itu terucap, setelah ia melepas genggaman gadisnya, setelah ia melihat gadisnya itu kini menghilang. Semua rasa amarah dan kecewa itu seketika hilang berganti sesal teramat dalam. Namun semua itu sudah terlambat, bukan? Luka yang tak diinginkan itu sudah terlanjur tergores di hati keduanya. Sebuah luka yang akan tetap meninggalkan bekas, walaupun goresan itu sudah sembuh sempurna.

Raven dan Sesilia adalah korban dari satu nama yang sering diagungkan manusia, cinta. Memilih putus hubungan bagi keduanya bak memilih antara hidup dan mati. Bagi mereka, kehadiran satu sama lain dalam cerita keduanya tak hanya sebuah penyesalan semata namun juga kenangan terindah untuk keduanya.

Sosok Raven akan selalu hidup dalam hati Sesilia, begitu pun Raven untuk Sesilia. Jika mereka bisa memilih, mungkin mereka akan meminta kepada Tuhan untuk tidak dipertemukan. Jika saja pertemuan itu tidak ada, mungkin mereka tak akan merasakan luka itu, bukan? Karena kini, seberapa besar usaha keduanya berusaha untuk mengembalikan hubungan itu, semuanya takkan lagi sama. Ibarat sebuah bola kaca yang sudah pecah, mereka takkan bisa kembali seperti semula.

e.n.d

How are you Do i think I can't forget you like this

Semilir angin senja masih setia menemani kesenduan Raven. Netra lelaki itu masih tak lepas dari layar ponselnya. Memandangi sebuah pesan berisi rangkaian kata darinya untuk orang spesial. Sebuah pesan yang hanya akan teronggok disana dan mungkin takkan terbalas sampai kapanpun. Sebuah pesan terakhir yang mengakhiri semuanya.

Raven ... Then, it's a goodbye i guess :') ... Thanks for our sweet memories. Be happy always, Siyon :)


Doya menggenggam erat ponselnya setelah membaca pesan yang Raven kirim padanya. Sebuah pesan yang Raven kirimkan pada Siyon sebelum mereka benar-benar berpisah. Setelah sebulan lamanya karibnya itu melancarkan perang dingin dengan Siyon, hari ini adalah puncak kegeraman Doya menyaksikan tingkah mereka berdua. Entah siapa yang bersikap kekanak-kanakan, ia tak bisa menghakimi begitu saja. Doya tak bisa menuntut apapun, karena bagaimana pun dia bisa paham posisi anak itu. Siyon bukan anak muda pada umumnya. Tuntutan lingkungan dan keluarga menjadikannya tak seperti anak muda kebanyakan.

Siyon masih 'sakit', ia belum sepenuhnya sembuh. Dan karena hal itu pula, sifat tak terduganya kembali muncul. Sifat Siyon yang sulit ditebak menjadikan masalah mereka semakin sulit untuk diurai. Ada waktu dimana sisi misterius Siyon itu muncul begitu saja. Dan sepertinya sisi lain itu kini muncul di waktu yang sangat tidak tepat.

Sampai sekarang lelaki dingin itu masih bingung bagaimana memberikan solusi untuk keduanya. Saat ini, ia hanya ingin menghadirkan dirinya untuk Raven ketika ia butuh sandaran. Ia akan membiarkan sahabatnya itu belajar berdamai dengan luka dan rasa sakitnya. Memberikan Raven dan Siyon waktu untuk mengenal diri mereka sendiri sepertinya adalah hal yang sekarang ini paling tepat dilakukan.

Seperti malam ini, ketika ia tiba-tiba mendapat telepon dari Raven. Yang berujung ia tak mendengar apa-apa melainkan isakan tertahan di seberang sana. Tanpa komando dari siapapun, Doya langsung meluncurkan mobilnya menembus kabut malam itu.

Ketika ia melangkah masuk ke apartemen Raven, matanya hanya menangkap kegelapan. Tak ada nyala lampu di dalamnya. Semuanya hitam. Doya berjalan perlahan sambil meraba saklar untuk menyalakan lampu-lampu tiap ruangan. Tak ada tujuan lain selain kamar Raven. Dan benar saja, disana terlihat sosok lelaki yang sedang meringkuk di pojokan sofa. Tak ada suara dari lelaki itu, namun bahunya bergetar tanda ia memang sedang menangis.

“Rav ....”

Doya memegang pelan bahu Raven untuk menunjukkan kehadirannya. Lelaki berparas tampan itu biasanya akan selalu memperhatikan penampilannya. Namun tidak untuk saat ini. Doya bahkan hampir tak mengenali sosok di depannya ini sebagai sahabatnya.

Orang gila. Hanya itu yang terlintas di otak Doya ketika melihat kondisi Raven. Tapi ia segera menepis pikiran itu, ketika ia mendengar suara lirih Raven. Yang entah kenapa ketika telinganya menangkap suara itu, hatinya menjadi semakin teriris.

“Do ....”

Mendengar panggilan itu, Doya segera menarik sosok lemah Raven kedalam pelukannya. Hatinya sakit melihat Raven selemah ini.

“Gak apa-apa, Rav. Nangis aja sepuasnya. Keluarin semua yang bikin lo sakit. Gue bakal selalu disini, Rav,” ujar Doya sambil menepuk-nepuk pelan punggung Raven. Berharap dengan melakukannya dapat menenangkan karibnya itu.

Dan untuk hari-hari selanjutnya, Doya masih melakukan hal yang sama. Ia tak ingin memaksa Raven menggunakan caranya. Walaupun ia tahu Raven sebenarnya bisa melakukan apapun yang ia yakini. Namun untuk kali ini, sepertinya lelaki itu butuh tambahan waktu.

Selamat membaik, wahai sahabat. I'll always by your side no matter what happened.

Adalah sebuah mantera yang selalu dirapal Doya setiap waktu. Karena ia percaya tak ada badai yang tak berlalu. Kini Raven hanya sedang menghadapi satu ujian, dan ia yakin seorang Raven pasti bisa sukses melewatinya. Lalu setelah ujian kelulusan itu, ia yakin Raven akan semakin bersinar. Sebuah tempaan kehidupan akan membuat sebuah permata semakin mengkilap, bukan? ⋆⋆⋆

I wrote it line by line, erased it, I'm confused Thinking about whether or not to send it all night

Siyon, Abang kangen ....

Tap tap tap!

Adek kesayangan Bang Raven ... Abang minta maaf :(.

Tap tap tap!

Sorry. But, i wish you were here, Yon.

Tap tap tap!

Lelaki berparas tampan itu masih setia memegangi ponsel pintarnya. Mengetikkan deretan kata-kata pada chat room lalu kemudian menghapusnya lagi. Hal itu ia lakukan berulang kali. Hatinya kini sangat merindukan orang tersayangnya. Namun, waktu tak mengizinkan dirinya untuk bebas mengekspresikan rasa itu lagi. Sudah hampir sebulan dia dan Siyon tak melakukan kontak satu sama lain. Sebuah jarak yang semakin dalam tercipta di antara keduanya karena ketidakterbukaan.


“Bang Rav.”

“Hm?” Raven menoleh antusias ke arah Siyon di sampingnya.

“Liat ini, deh. Bonekanya lucu banget, kan,” ujar Siyon sambil memamerkan layar ponselnya ke depan Raven.

“Wah, iya. Lucu banget bonekanya. Siyon mau beli?”

“Enggak, lah,” jawab Siyon cepat.

“Loh, kok enggak. Kenapa? Bakal Abang beliin lho kalo Siyon mau itu.”

“Enggak usah, Bang. Itu punya Koni, kok. Nanti Siyon kan bisa pinjem dia besok pas aku main kesana.”

Ah, nama itu lagi,batin Raven.

Hati Raven selalu mencelos ketika Siyon menyebut nama Koni. Api cemburu itu kembali membara, ketika sebelumnya sempat padam saat ia menghabiskan momen manisnya dengan Siyon.

Ada satu waktu dimana Raven menjadi sangat jengah mendengar nama itu. Ketika Siyon dengan wajah sumringahnya menceritakan kegiatan weekendnya dengan Koni. Malam Minggu yang biasanya ia habiskan dengan melakukan video call dengan Siyon, saat itu bahkan tak ada satupun notifikasi masuk dari sang adek.

Sejak saat itulah, Raven seperti membangun tembok dalam hatinya. Karena ia semakin merasa tempatnya di hati Siyon kini sudah bergeser. Atau mungkin, Raven memang tak pernah memiliki tempat itu sejak awal ia masuk dalam hidup Siyon.

Tak adanya respon dari Siyon tentang perubahan sikapnya, membuat dadanya bertambah sesak. Ia semakin merasa, selama ini ia salah mengartikan semua perlakuan Siyon padanya. Raven hanya terbawa perasaan, yang kemudian membuatnya terjebak dalam sebuah definisi kata 'spesial'.

Namun tidak untuk Doya, sahabat karib Raven. Lelaki itu memang kelihatan dingin dari luar, tapi hatinya sangat peka dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Termasuk suasana hati Raven dan hubungannya dengan Siyon.

“Lo yakin dengan keputusan lo ini, Bro?” Saat itu mereka sedang berada di kafe langganan mereka. Bercengkerama setelah berjubel dengan kertas-kertas berisikan untaian lirik untuk persiapan lagu debut artis agensi mereka.

“Hm? Apa, Do?” sahut Raven yang belum menangkap pertanyaan tiba-tiba Doya.

“Lo sama Siyon.”

“Oh, itu.”

“Jadi, gimana?”

“Apanya?”

“Yaelah, lo kenapa sekarang mesti jadi lemot gini sih tiap mulai bahas Siyon.”

“Haha, gue juga gak tahu, Do.”

“Hati lo bilang gimana, Rav?”

“Gak tahu. Gue bener-bener gak denger apa-apa dari dalam sana.”

Doya menghembuskan napas kasar menghadapi sikap Raven saat ini.

“Gue cuma bisa ngarep. Semoga lo gak nyesel dengan keputusan lo ini,” ujar Doya meyakinkan, “inget Rav. Lo yang bilang sendiri kalo Siyon 'sakit'. Harusnya lo yang paling paham kenapa dia bisa bersikap kayak gitu.”

Raven terdiam, sebelum akhirnya ia menanggapi perkataan Doya.

Thanks, Do. Gue tau dan gue udah berusaha buat paham, tapi ...,” lelaki itu mengambil jeda sebelum ia melanjutkan, “ternyata hati gue gak sekuat itu. Lo liat sendiri gimana tersiksanya gue, gimana sakitnya gue nyimpen semua ini sendiri, Do.”

“Ya, makanya─.”

“Jangan bilang ke gue, buat ngomongin masalah ini ke Siyon, Do. Siyon yang sekarang udah bisa cuek dan gue bersyukur dia bisa kayak gitu.”

“Iya, gue paham. Lo bersyukur karena selama ini Siyon selalu stres gara-gara terlalu mikirin orang lain. Tapi rasa syukur lo sekarang ini gak diiringi rasa seneng, Rav.”

Entah sudah berapa kali Raven selalu dibuat tak berkutik dengan omongan Doya yang selalu saja tepat sasaran.

“Haha. Lo gak salah, sih. Lo udah paham itu, Do. Harusnya lo tahu, kenapa gue gak mau cerita ke Siyon.”

“Karena dia juga bakal bodo amat dengan itu.”

Raven tersenyum kecut mendengar jawaban singkat Doya yang sukses membuat dadanya kembali sesak. Ya, Siyon yang sekarang hanya akan berfokus pada dirinya saja. Sikap bodoh amatnya itu ia terapkan untuk semua. Tak terkecuali Raven yang ia sendiri merasa kehadirannya tak memiliki arti lebih dalam hidup Siyon. Lelaki itu merasa tak cukup berharga untuk sekedar dianggap dalam hidup adik tersayangnya.

t.b.c

I wrote it line by line, erased it, I'm confused Thinking about whether or not to send it all night

“Siyon, Abang kangen ....”

“Adeknya Bang Raven, Abang minta maaf, ya.”

“I wish you were here, Yon.”

Tap tap tap

Lelaki berparas tampan itu masih setia memegangi ponsel pintarnya. Mengetikkan deretan kata-kata pada chat room lalu kemudian menghapusnya lagi. Hal itu ia lakukan berulang kali. Hatinya kini sangat merindukan orang tersayangnya. Namun, waktu tak mengizinkan dirinya untuk bebas mengekspresikan rasa itu lagi. Sudah hampir sebulan dia dan Siyon tak melakukan kontak satu sama lain. Semua itu bermula dari satu masalah itu. Ketidakterbukaan.


“Bang Rav.”

“Hm?”

“Liat ini, deh. Bonekanya lucu banget.”

“Wah, iya. Lucu banget bonekanya. Siyon mau beli?”

“Enggak, lah.”

“Loh, kenapa? Bakal Abang beliin lho kalo Siyon mau itu.”

“Enggak usah, Bang. Itu punya Koni, kok. Nanti Siyon kan bisa pinjem aja sama dia.”

Ah, nama itu lagi.

Hati Raven selalu mencelos ketika Siyon menyebut nama Koni. Api cemburu itu kembali membara, ketika sebelumnya sempat padam karena momen manisnya dengan Siyon.

As I feel myself fall Make a joke of it all

Entah sudah kali keberapa aku berdiri di ujung bangunan ini. Netraku menatap ke bawah sana, tanah itu seolah melambai-lambai menuntut tanganku untuk menggapainya. Kaki ini sudah mulai bergerak maju menuruti undangan sang tanah ketika kudengar suara teriakan lelaki itu.

“Lee Seoho! Apa yang otakmu pikirkan?!”

Selalu dan selalu, lelaki itu menggagalkan niatku mengakhiri hidupku. Lee Keonhee, entah bagaimana lelaki itu selalu muncul di saat-saat seperti ini. Dan untuk kesekian kalinya rencanaku bertemu dengan Jena-ku kembali batal.

Keonhee akan segera menarik tanganku,membanting tubuhku ke bawah. Di saat seperti itu dia seperti melupakan statusnya sebagai ajudan. Aku yang mendapatkan perlakuan itu hanya akan diam, pasrah. Karena saat itu bisa di pastikan otakku kosong, tak ada pikiran lain selain menyusul Jena.

“Tolol! Sudah berapa kali kubilang jangan melakukan tindakan bodoh seperti ini. Kamu hanya akan memperburuk keadaan, Ho!”

Lelaki itu membentak tepat di depan wajahku. Aku masih tidak merespon. Aku hanya lelah dengan semua siksaan kerinduan ini. Sebuah kerinduan yang takkan pernah padam. Batinku meronta menjalani kehidupan berhiaskan rasa kosong ini. Berkali-kali aku mencoba bangkit, namun selalu berakhir di titik ini. Titik dimana aku ingin segera menyusul bidadariku dan bersatu di dunianya.

“Hei, goblok! Gue tahu apa yang ada di pikiran lo sekarang ini. Otak cerdas lo jangan dibiarin tumpul gini, Ho. Gak mungkin lo bisa bersatu sama Jena kalo lo mati pake cara ini. Mikir!”

Keonhee masih di atasku, matanya masih menatapku jengah. Cengkeraman kuat tangannya di kerahku juga masih tak ia lepas. Aku masih terdiam. Cara Keonhee memanggilku dengan sebutan lo menunjukkan bahwa dia sudah benar-benar kesal dan hilang respek padaku.

“Bangun, Bos! Tunjukkin ke mereka kalo Lee Seoho bukan orang yang lemah. Tunjukkin ke Jena, kalo Lee Seoho bisa jaga janjinya. Inget-inget perkataan terakhir kamu ke Jena, Ho. Tunjukkin kalo kamu bener-bener bisa hidup dengan baik tanpa dia.”

Kembali aku tertohok dengan semua perkataan Keonhe. Jarang sekali atau telingaku sepertinya tak pernah mendengar hal diluar logis keluar dari mulutnya. Keonhee menarik tanganku dan mengubah posisi kami menjadi duduk berhadapan.

“Udah sadar?”

“Hm.”

“Tepatin janji kamu, Ho. Ini bakal jadi yang terakhir kamu kayak gini. Kukira setelah semua rencana matang kita semalam, kamu gak bakal kayak gini lagi.”

“Maaf, Keon.”

“Aku bakal selalu ada di samping kamu, Ho. Masih ada Mami, masih ada Sesil yang bakal terus support kamu. Jangan kecewain mereka, Ho. Cukup Jena yang jadi keluarga kamu. Jangan biarin ada korban lain.”

“ Oke.”

Di senja itu, aku kembali tertampar oleh sebuah fakta. Bahwa sebuah kehidupan harus tetap berjalan tanpa mereka yang tersayang. Ya, aku harus kuat demi diriku sendiri dan demi mereka. Masih ada mereka yang mengharapkan kehadiranku. Masih ada mereka yang membutuhkan perlindunganku.


Setelah hari percobaanku bunuh diriku itu, aku dan Keonhee segera melancarkan rencana kami. Mengambil kembali semua hak milikku. Ya, aku melaporkan semua aksi kejahatan keluargaku sendiri. Bukan tanpa pikir panjang, aku tahu betul apa resiko semua dibalik semua tindakanku ini.

Persaingan bisnis yang sedang memanas saat itu, akan menjadi celah para rival untuk menjatuhkan keluargaku. Namun di satu sisi malah itu akan menguntungkanku. Karena mau tak mau mereka akan kembali memberikan hakku sebagai penerus perusahaan. Posisiku sebagai anak tunggal akan menjadikanku satu-satunya harapan mereka di tengah keributan ini.

Tak sulit menjalankan semua rencana itu. Dengan semua dokumen yang Keonhee simpan sejak hari pertama peneroran dimulai menjadi bukti terkuat untuk menjatuhkan mereka di pengadilan. Walaupun mereka sudah menyewa pengacara dan segala akal bulusnya. Keonhee pun tak kalah pintar menggunakan semua taktik jenius untuk menggagalkannya. Merupakan sebuah keberuntungan besar memiliki Keonhee sebagai kaki tanganku dan selalu loyal memihakku.

Hanya dalam beberapa minggu, aku kembali bisa merasakan semua hak milikku. Semua rencana kami berjalan mulus tanpa aral. Hatiku sangat puas melihat Mama memohon-mohon padaku agar aku kembali pada mereka untuk menyelamatkan perusahaan.

Senyum kemenangan tergambar jelas di wajahku ketika mereka mau tak mau setuju dengan semua syarat yang kuberikan. Bukan syarat yang sulit sebenarnya. Aku hanya meminta mereka takkan pernah lagi mengekangku dengan aturan apapun dan membiarkanku mengatur perusahaan tanpa campur tangan dari keluarga.

Dan di sini lah aku sekarang, menyesap kopi di kursi CEO yang tak pernah kusangka akan kududuki lagi. Ah, tahun ini sudah hampir sebelas tahun. Sebelas tahun tanpa kehadiranmu, Jena. Entah, akan sampai kapan aku menjalani semua ini sendiri. Hati ini seperti tak ingin terbuka lagi untuk orang lain selain dirimu. Mungkin aku akan begini, selamanya? Aku pun tak tahu.

Kini aku hanya bisa merasakan kenyamanan serupa ketika berada di samping Mami, Sesil dan juga Keonhee. Ah iya, Lee Keonhee. Lelaki itu sudah tidak lagi menjadi ajudanku. Ia sudah resmi menjadi Co-CEO perusahaan dan juga 'saudara'ku. Walaupun berulang kali ia menolak posisi itu. Tapi dengan mengeluarkan ancamanku untuk tak lagi bertemu dengannya akhirnya berhasil membuatnya menyerah.

Ya, semuanya kembali seperti semula sebelum Jena hadir di kehidupanku. Namun, kehampaan itu sepertinya takkan pernah hilang. Takkan ada yang bisa menggantikan posisi Jena dalam hidupku. Ada banyak mereka yang sayang padaku. Jujur, aku pun merasakan semua kehangatan, kasih sayang yang mereka berikan. Entah itu dari kolega perusahaan ataupun dari kerabat-kerabat Jena.

Keluargaku? Tak mungkin aku bisa merasakan lagi kasih sayang itu dari mereka. Bahkan sekarang ini aku tak lagi memikirkan nasib Mama dan siapapun itu dalam keluargaku. Bohong jika aku mengatakan aku bisa memaafkan mereka. Setelah sebelas tahun berlalu pun, aku masih bisa merasakan dendam dan amarah dalam hatiku. Walaupun berkali-kali Mami, Sesil dan Keonhee mengingatkan agar aku tak melakukan hal yang sia-sia itu. Tapi apa daya,luka hati ini sudah terlalu dalam dan menganga lebar. Mungkin, ya mungkin, akan ada waktu aku akan memaafkan kesalahan mereka. Namun aku sendiri tak yakin kapan hal itu akan terjadi.

Untuk saat ini, aku cukup puas dengan semuanya. Membahagiakan diriku dan mereka yang selalu ada di sisiku menjadi tujuan utamaku sekarang. Jena dan semua kenangannya akan selalu terpatri dalam memori begitupun luka itu. Aku kembali mengingat potongan quote yang kutemukan dulu.

Ketika kita kehilangan seseorang yang kita cintai, kita harus belajar untuk tidak hidup tanpa mereka, tetapi untuk hidup dengan cinta yang mereka tinggalkan

Ya, aku akan terus hidup, Jena. Dengan semua cara mencintai yang selama ini kamu ajarkan padaku.

e.n.d

You know I'll be your life, your voice, your reason to be My love, my heart is breathing for this

”... But please, never erase the memories of us, Ho.

“... Please do remember me, while thinking that i always love you no matter what.” Wanitaku itu tersenyum manis setelah mengatakannya.

“... Promise me, Honey. Promise me, that you'll always be happy without me.” Lalu perlahan tubuh Jena menghilang bersama cahaya yang mengantarkannya padaku tadi.

Kubuka netraku perlahan dan tersadar bahwa semua itu hanya bunga tidur yang setia menemaniku sepuluh tahun ini. Kuambil beberapa helai tisu disamping ranjangku. Mimpi itu selalu sukses meninggalkan jejak air mata yang sudah tumpah ketika aku masih terbuai indahnya bunga tidur tadi.

Aku bangun dari posisi tidurku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, mengingat fakta bahwa Jena, belahan jiwaku takkan mungkin kembali lagi. Bersandar di atas ranjang ini, tatapanku kembali kosong. Menerawang setiap sudut kamar ini kembali menamparku pada satu hal yang benar-benar tak sudi kuakui, bahwa kini aku benar-benar sendiri.

Tak ada lagi pelukan hangat Jena yang selalu menemani tidurku. Tak ada lagi senyum cantik yang akan menyambutku ketika netra ini terbuka setelah terbuai alam mimpi. Takkan ada lagi kecupan singkat yang selalu menjadi andalan Jena untuk membangunkanku.

“Ah, ternyata aku masih merindukanmu, Je. Bahkan di tahun kesepuluh aku kehilanganmu. Semua itu seperti baru saja terjadi kemarin, Je.”

Aku tak menyukai nuansa sepi kamar ini. Karena mau tak mau otak ini akan selalu mengingat masa-masa itu. Masa dimana rumah ini menjadi tempat terhangat bagiku untuk pulang. Rumah yang selalu menjadi alasan bagiku untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan kantorku. Ah, kenangan itu ...


Good-mor-ning-My-Baby-Hoo.”

Telingaku menangkap suara manja Jena. Tapi dinginnya pagi itu malah membuatku lebih merapatkan selimutku. Udara musim dingin masih saja menjadi musuh bebuyutanku. Begitu pula dengan hangatnya selimut yang masih setia menjadi teman terbaikku.

“Iih, kok gak bangun sih. Oh gitu ya sekarang. Tambah manja kalo udah jadi suami.”

Aku tersenyum di balik selimut, membayangkan lucunya wajah menggerutu Jena lengkap dengan pipi menggembungnya.

“Liat aja, abis ini mesti bangun.”

Kurasakan ranjang ini bergoyang, seiring dengan mendekatnya tubuh Jena ke posisi tubuhku. Perlahan kurasakan ia menyibak selimut yang menutupi kepalaku. Jemarinya bermain-main dengan helai-helai surai yang menutupi dahiku. Ia singkirkan satu persatu helai rambut yang menghalangi akses dahiku dan ...

Cup!

Kecupan singkat yang selalu kunanti itu akhirnya mendarat tepat di tengah keningku. Aku hanya berpura-pura masih malas untuk bangun demi mendapat satu kecupan itu. Prinsip yang kuterapkan adalah Seoho tidak akan bangun sebelum mendapat kecupan Jena.

“Hoamm ... Baby Je ... lagi dong. Yang disini belum,” ucapku tak kalah manja sambil meletakkan telunjukku ke bibir.

“Gak mau, ya. Jatah bangun pagi tuh cuma dahi, Lee Seoho. Ayo bangun, ah. Sarapannya udah mateng dari tadi. Kalo kelamaan keburu dingin.”

Jena menggaet tanganku dan menarik tubuhku yang belum sadar sepenuhnya. Langkahku gontai mengekorinya, aku mengucek mata berusaha untuk mengumpulkan seluruh nyawaku.

Segera ku bergabung dengan wanitaku setelah mencuci muka singkat karena tak ingin membuat Jena menunggu lebih lama. Dan ketika momen berhadapan seperti ini, rasa untuk menjahili istriku ini semakin menjadi.

Kini giliranku yang memberikan tatapan intens pada wanita bersurai hitam di depanku ini. Dan seperti dugaan, Jena akan selalu salah tingkah ketika aku melakukan ini.

“A-apaan sih, Ho?

See. Pipi Jena sekarang sudah merona seperti tomat. Mudah sekali membuat wanitaku ini tersipu. Kepala Jena yang menunduk membuatku tambah ingin menggodanya.

“Cieee malu yaa ... malu yaa ....”

Sekarang kulihat warna merah itu sudah sampai telinganya. Jena pasti sangat malu sekarang ini.

“Ih ngapain sih. Sengaja banget godain pagi-pagi.”

Pipinya kembali menggembung, satu kebiasaan Jena ketika ia merasa kesal.

“Ululu ... gemesin banget sih. Jena gemes punya Seoho aja yaa.”

Aku tak bisa menahan untuk tak mencubit pipi gembungnya itu. She's adorably cute.

“Aw! Sakit tauk, Ho. Udah ah ayo makan. Seneng banget godain anak orang.”

“Cuma mau ngetes tingkat kebucinan kamu aja, Babe. Ternyata masih sama ya hihi”

“Dasar! Seoho gaje. Buru makan, gih.”

Mau tak mau kusudahi acara menggodaku pagi ini. Karena Jena sudah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku yang sukses menghentikan celotehanku.

Namun diamnya kami tak berlangsung lama. Obrolan di meja makan selalu menjadi favoritku. Bercerita tentang rencana kegiatan, keluhan kerjaan sampai gunjingan tetangga selalu menjadi topik yang tak bosannya kami bahas.


Semua titik di rumah ini tak ada yang tak menyimpan kenangan tentang Jena. Satu-satunya alasan kuatku untuk tetap mempertahankan rumah ini. Puluhan kali aku mendapat tawaran untuk menjual rumah ini dan puluhan kali juga kutegaskan pada mereka, aku takkan pernah menjual satu-satunya kenangan milik Jena.

Suka dan duka dalam rumah ini akan selalu abadi dalam memoriku. Meninggalkan rumah ini pun bahkan tak pernah terpikirkan dalam benakku. Tak ada gading yang tak retak, begitu pun dalam sebuah hubungan. Ada waktu di mana aku dan Jena berselisih pendapat. Sebabnya ? Apalagi kalau bukan keluargaku.


“Kamu mikir gak sih, Je?! Bisa-bisanya kamu pergi ke rumah Mama tanpa sepengetahuanku!”

Malam itu untuk pertama kali aku membentak Jena. Ia baru saja pulang dari kediaman Mama. Mencoba memahamkan Mama tentang hubungan kita. Untuk kesekian kalinya Jena masih bersikeras mendapat restu dari keluargaku, setidaknya Mama. Tapi bagiku itu semua itu hanyalah usaha yang sia-sia.

“Kalo aku bilang ke kamu, apa kamu bakal ngijinin, Ho? Gak, kan? Kita harus ngelurusin semua ini sebelum semuanya terlambat!”

Aku kaget mendapat respon yang tak kalah kerasnya dari Jena. Wanitaku itu bukan tipikal orang temperamen. Sangat jarang atau bahkan bisa dibilang aku tak pernah melihatnya menaikkan intonasinya ketika bersamaku.

“Iya! Emang aku gak bakal ngijinin. Tapi minimal aku bisa nemenin kamu kesana, Je!”

Entah apa yang merasukiku saat itu, aku semakin tak mau kalah menjawab Jena.

“Percuma, Lee Seoho! Kalo kamu ikut malah semuanya bakal makin runyam. Karena kamu gak bisa nyelesaiin pake kepala dingin!”

Aku bisa melihat napas Jena beradu ketika mengatakannya. Tak bisa kupungkiri, bertemu dengan Mama pasti membuat hatinya dongkol setengah mati.

“Aku cuma gak mau kamu sakit hati lagi gara-gara bentakan Mama, Je.”

Kucoba untuk melunakkan suaraku ketika kusadari air muka Jena kian pucat.

“I’m sorry, Jena.”

Tak kuat melihat matanya yang semakin berkaca-kaca, segera kudekatkan tubuhku dan merengkuh pundak wanita beraniku. Aku tak mungkin membiarkan bahu Jena bergetar lagi karena menahan tangis. Cukup satu kali itu saja. Aku tak ingin lagi menyaksikan wanitaku menangis karena suatu hal yang berhubungan denganku. Aku takkan mungkin kuat lagi menyaksikan Jena menahan tangis karena ulah keluargaku. Satu waktu itu sudah lebih dari cukup menorehkan luka di hati bidadariku.

“Makasih, Sayang. Udah mau ngomong ke Mama. Aku tahu itu demi kebaikan kita. Aku bakal coba buat kontrol emosiku. Jadi besok jangan diem-diem aja ya kesananya. Ajak aku juga.”

Kuelus pelan punggung Jena berharap dia lebih tenang dan mau paham dengan kondisi kita.

“Oke, Babe.”

Sudut bibirku tertarik ke atas mendengar jawaban singkat itu. Kueratkan pelukanku padanya dan perlahan kurasakan tangan Jena juga melingkari perutku. Membalas pelukanku dengan tak kalah eratnya.

.t.b c.