23 Februari 2021
Mataku mengerjap ketika merasakan bau alkohol menelusup masuk lubang hidungku. Langit-langit biru masih setia menjadi pemandangan pertamaku setiap kali terbangun. Ah, aku masih di tempat yang sama. Di sebuah ruangan bercat putih yang sudah menjadi 'kamar'ku selama enam bulan terakhir ini.
Kuamati sekelilingku, dan lagi-lagi kutemukan dia. Sosok lelaki yang sama, yang menemaniku setiap harinya. Ia sedang tidur disamping ranjangku. Tangannya menggenggam tangan kananku yang terbebas dari selang infus.
Wajah tidur Hwanwoong masih menjadi salah satu hal favoritku. Entah sejak kapan mengamati wajah tidur lelakiku itu menjadi hobiku. Aku mengulurkan tangan lemahku, mengelus-elus pelan rambut hitamnya.
“Hwanwoong ... apakah. kamu tidak lelah menungguku seperti ini? Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dariku, Woong.”
“Can you just go, Woong-ah?”
Aku mengatakannya jujur dari lubuk hati terdalam. Lelaki itu berhak bahagia. Hwanwoong masih memiliki masa depan yang jauh lebih berharga dibandingku.
“Don't ever tell me that again, Sa. I hate that.”
“Woong ....”
Mataku bertemu dengan tatapan tajam pemilik manik hitam yang kini sedang perlahan berdiri mendekati samping ranjangku.
“Sudah bangun, Sayang? Ada yang sakit gak?”
Aku menggeleng singkat. Tangan Hwanwoong mengelus pelan rambutku. Ia merapikan beberapa helai rambut yang jatuh di wajahku. Hwanwoong mencondongkan badannya, mengecup singkat pucuk kepalaku.
“Jangan bilang kayak gitu lagi ya. Hwanwoong gak suka denger Hesa ngomong kayak itu.”
Sudut bibirku tertarik ke atas ketika lelaki itu menarik pelan tubuhku ke dalam rengkuhannya. Mata ini selalu memanas tiap kali Hwanwoong mengingatkanku tentang hal itu. Hatiku tak pernah tak terharu ketika ia menunjukkan ketulusan hatinya.
Kehadiran Hwanwoong dalam hidupku adalah hadiah terbaik yang Tuhan berikan padaku. Di balik semua ujian ini, Tuhan masih mengizinkanku bahagia. Mempertemukanku dengan Hwanwoong, malaikat jelmaan manusia.
Sore hari adalah jadwalku dan Hwanwoong berkencan dengan lembaran-lembaran buku. Biasanya kami akan tenggelam dengan dengan bacaan masing-masing. Diam tanpa kata, hanyut dalam dunia imajinasi. Namun pikiranku tiba-tiba terdistraksi ketika melihat lalu lalang perawat dari jendela kecil di pintu kamarku.
“Woong ....”
“Hm?”
“Kamu inget gak pertama kali kita ketemu?”
“Mm ... di sini, kan?”
“Iya. Aku udah pernah cerita ke kamu belum, sih?”
“Cerita yang mana? Kamu yang tiba-tiba bucin ke aku?”
“Ih yang diinget-inget itu mulu. Sebel.”
“Haha. Ya kan emang fakta.”
“Bodo. Gak jadi cerita.”
“Ya udah. Aku lanjut baca aja.”
“Yeo Hwanwoong! Kenapa kamu nyebelin banget sih?!”
“Ululu, gemesin banget sih kalo lagi kayak gini.”
“Ih, dikira aku guk-guk apa dikayak giniin.” Aku menyingkirkan tangan Hwanwoong yang baru saja mengelus-elus daguku.
“Jadi mau cerita gak, nih?”
“Gak jadi. Lupa mau cerita apa.” Segera kututup bukuku dan membalikkan badan membelakanginya.
“Yah, kok ayangie ngambek, sih.”
“Baby ....”
“Cinta ....” Aku tak bisa menahan senyumku saat Hwanwoong memanggilku manja seperti itu.
“Honey ....” Kurasakan tubuh lelaki itu kini sudah naik ke ranjang. Tangannya memeluk pinggangku lalu semakin merapatkan tubuhnya padaku.
“Hwanwoong! Apa-apaan, sih?! Turun, gak?! Nanti kena marah perawat kalo mereka liat. Gak boleh tau kayak gini.”
“Tenang, nanti kalo ada perawat yang dateng bakal aku bilangin, 'jangan dilaporin ya, nanti kukasih nomerku'.”
“Dih, pede banget. Kayak ada perawat yang mau sama kamu aja.”
“Ada kok. Ini yang lagi kupeluk.”
Ah, sejenak aku lupa. Aku juga pernah menjadi perawat pada masa itu. Masa dimana aku masih menyandang gelar itu, masa dimana Tuhan mengatur pertemuan pertamaku dengan Hwanwoong.
26 Agustus 2019
Hari itu, aku baru saja masuk kerja setelah menikmati jatah libur singkatku. Kembalinya diriku disambut dengan penuhnya semua bangsal pasien VVIP. Padahal biasanya bangsal tempatku bekerja ini bisa dibilang sangat jarang terisi penuh. Sepertinya memang cuaca akhir-akhir ini sedang tak bersahabat atau mungkin karena faktor lain? Entahlah.
“Sa, pagi ini ada program rawat luka pasien kamar 8. Jangan lupa.” Kak Eva, partner jaga di shift pagi ini mengingatkan kembali jadwal program yang dioperkan petugas shift malam tadi.
“Oke, Kak. Aku kesana sekarang aja ya.”
“Oke, sip. Butuh bantuan?”
“Gak lah. Luka ringan, kan?”
“Yep! Tapi katanya suruh ati-ati, Sa.”
“Hah? Kenapa?”
“Senior-senior bilang, mereka pada grogi sama pasiennya.”
“Yaelah, kukira gegara pasiennya galak. Ternyata ....”
“Wah wah, Hesa emang beda dari yang lain. Pede banget lu.”
“Dih, apaan. Udah ah, Kak. Aku ke sana dulu. Keburu makin siang.”
“Oke. Good luck.”
Kak Eva melemparkan senyum tanpa artinya ke arahku. Membuatku semakin penasaran ada apa dengan pasien kamar 8.
Tok, tok, tok
“Saya perawat Hesa. Ada program rawat luka untuk pagi ini.”
Aku mengintip ke dalam dari celah pintu karena tak kunjung ada jawaban dari dalam. Sepertinya tak ada yang menunggui pasien ini, karena tak kulihat siapapun di sekitarnya.
“Permisi. Saya ijin masuk.”
Kuputuskan masuk ke dalam membawa serta set perawatan luka yang sudah kusiapkan tadi.
Sedetik kemudian, tubuhku mematung ketika netra ini menangkap sosok lelaki di bed pasien yang masih damai dalam tidurnya.
Pantas saja para senior dibuat grogi, paras pasien satu ini ternyata memiliki level di atas rata-rata. Aku pun takkan menyangkal hal itu. Jantung ini sudah bak genderang perang ketika posisiku berada di samping ranjangnya. Tapi bagaimana pun caranya aku harus bersikap biasa saja. Berusaha menormalkan semua reaksi dalam sekejap. Aku harus profesional, tegasku pada diriku sendiri.
“Ehem. Permisi.”
Sebisa mungkin aku mencoba membangunkan lelaki itu tanpa mengagetkan. Sebenarnya bisa saja aku tak membangunkannya. Tapi ketika sedang mengamati wajah tampan itu, sekilas aku melihat ada rembesan di perban lukanya. Mau tak mau aku harus menggantinya saat ini juga. Dengan penuhnya bangsal hari ini, aku tak yakin nanti pun bisa melakukannya. Jadi lebih baik aku menahan grogiku disini sekarang, daripada nantinya kelabakan gara-gara program pasien yang tubrukan.
Setelah beberapa detik, kulihat kelopak matanya terbuka perlahan. Menampakkan manik hitam nan indah yang sukses membuat wanita 24 tahun ini hampir saja jantungan.
“Ada apa?” ujarnya setelah sepertinya dia sadar penuh dan menyadari keberadaanku.
“O-oh. Sebelumnya saya minta maaf karena nyelonong masuk. Tapi, anda ada program rawat luka pagi ini.”
“Oh, oke.”
“Benar dengan Sdr. Hwanwoong ya?”
“Iya.”
“Baik. Saya mulai rawat lukanya ya.”
“Silakan.”
First impression ku ambyar setelah kaget mendapat respon singkat dan dingin itu. Entah mungkin karena faktor sakit atau memang sifatnya seperti itu.
Aku mendekatkan alat-alat perawatan ke ranjang. Hwanwoong, kuinstruksikan untuk mengganti posisi tidurnya menjadi setengah duduk. Letak lukanya ada di atas pelipis kiri. Akan sulit bagiku untuk menjangkaunya dengan posisi tidur biasanya.
Ketika aku mulai melepas perban itu, kurasakan tatapan menyelidik Hwanwoong. Ah, aku makin tak heran jika para senior itu grogi.
“Mm ... maaf. Kamu bisa tutup mata dulu?”
“Kenapa?”
Gue grogi woi. Itu jawaban sebenarnya, tapi tak mungkin kan aku mengatakannya keras-keras.
“Takutnya nanti ada benda yang masuk pas perawatan.”
“Oh, ya ya.”
Syukurlah dia langsung menurut. Aku kembali melakukan aktivitasku. Sebenarnya lukanya bukan luka yang parah. Hanya luka robek yang mendapat sepuluh jahitan. Dari riwayat pasien yang kubaca, dia mengalami tabrakan tunggal. Kondisinya tidak terlalu parah. Selain luka robek itu, selebihnya hanya ada lecet-lecet ringan saja di beberapa bagian tubuhnya.
“Oke, sudah selesai,” ucapku setelah memasang plester terakhir. Segera kubereskan alat-alatku dan berpamitan dengannya.
“Saya permisi dulu.”
“Ya, terima kasih.”
Tepat setelah menutup pintu kamar 8, aku seperti mendapatkan pasokan oksigenku kembali. Jujur, beberapa kali aku menahan napas ketika melakukan tindakan rawat luka tadi. Wajahku dengan wajah Hwanwoong hanya berjarak tak lebih dari sepuluh sentimeter. Satu-satunya momen tergrogi dalam hidupku akhirnya terlewati. Wah, pasien satu ini benar-benar bahaya untuk kesehatan jantung.
Lucu rasanya ketika mengingat perjalanan romansaku dengan Hwanwoong. Siapa sangka lelaki yang awalnya kukira dingin itu akan meminta kontakku dengan alasan dia butuh bantuan merawat lukanya setelah pulang dari rumah sakit. Benar-benar tak pernah terlintas di benakku, lelaki tampan itu akan memilihku melakukan hal itu.
Aku mengunjungi apartemenya dua kali dalam seminggu untuk mengecek kondisi luka dan tentu kondisi pemilik lukanya. Ya, lelaki itu tinggal di sebuah apartemen mewah. Tak ada orang lain di sana selain dia. Ia memilih untuk tinggal terpisah dari keluarganya agar bisa memberikan 100% fokusnya untuk perusahaan, katanya.
Hwanwoong ternyata teman ngobrol yang asyik. Aura dingin yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya tak pernah lagi kurasakan setelah mengenalnya lebih jauh. Hubunganku dengan Hwanwoong masih tetap berlanjut, bahkan ketika lelaki itu sudah pulih total dari sakitnya. Dia bilang baru kali ini menemukan seseorang yang nyaman ia ajak ngobrol lama.
“Aku ... boleh temenan sama kamu, kan?“
That what he said. Well, siapa yang akan menolak? Bukan karena parasnya. Walaupun tak bisa kupungkiri, paras Hwanwoong adalah salah satu faktor yang membuatku betah berlama-lama dengannya. Tapi, itu adalah satu dari sekian banyak alasan mengapa aku ingin berada di sampingnya. Hwanwoong dan semua tentangnya, terlalu indah untuk dilepaskan begitu saja.
Hubunganku dengan Hwanwoong menjadi semakin intim ketika kami ternyata menemukan titik kenyamanan dalam diri satu sama lain. Tepat sebulan setelah pertemuan pertamaku dengan Hwanwoong, lelaki itu meminta upgrading posisinya dalam hidupku.
“Sa ... boleh gak aku jadi lebih dari teman buat kamu?”
Satu pertanyaan yang bahkan tanpa penjelasan lainnya aku bisa paham kemana arahnya. Satu pertanyaan yang tanpa pikir panjang kujawab dengan anggukan. Karena aku yang sudah lama memendam rasa itu lebih dulu, akhirnya mendapat tepukan balasan.
Kukira dengan berubahnya status dari teman menjadi pacar takkan ada perubahan yang signifikan. Tapi aku salah. Semenjak kita resmi menjalin kasih, Hwanwoong menjadi lelaki yang super super romantis. Perhatian yang biasanya hanya sekadar bertanya kabar berubah menjadi sebuah kunjungan. Hampir setiap hari lelakiku itu tak pernah absen mengunjungiku, dimanapun aku berada. Ternyata dia tipe lelaki yang tak bisa lama menahan rindu.
Mustahil jika ada hubungan tanpa ada duri di dalamnya. Namun duri dalam hubunganku dan Hwanwoong bukan duri yang berasal dari manusia yang sengaja menaruhnya. Bukan itu. Duri hubungan kita adalah duri abadi yang sebenarnya sudah ada di sana, bahkan sebelum hubungan ini dimulai. Duri dari Tuhan yang tak mungkin lagi bisa dihilangkan.
Aku divonis mengidap penyakit Leukemia Mieloid Kronik¹ (LMK). Sebuah penyakit darah yang mengharuskan pengidapnya mengonsumsi obat seumur hidupnya. Profesi perawat ternyata tak membuatku peka dengan kondisi tubuhku sendiri.
Aku terlalu terlambat mengetahui penyakit itu. Kukira ketika tubuhku berkali-kali drop, jatuh sakit dalam jeda waktu singkat, itu semua hanya karena faktor kelelahan kerja. Tapi ternyata tidak, masalah kesehatanku jauh lebih serius.
Bohong jika aku tak merasa down ketika mengetahui satu fakta menyakitkan itu. Bahkan aku sempat meminta cuti satu minggu kepada Kepala Ruangan karena aku tak bisa fokus bekerja.
Hwanwoong? Aku sengaja tak memberitahunya. Hati ini butuh waktu untuk memberitahukan hal ini padanya. Terlalu menyesakkan memberitahu orang terkasihmu, bahwa kemungkinan waktu kita bersamanya takkan lama lagi.
Sampai suatu pagi, ketika ia menemukan aku tak sadarkan diri di lantai ruang tengah. Aku sendiri tak yakin kenapa aku bisa pingsan saat itu. Dan ketika tersadar aku sudah di tempat yang sangat familiar. Ruangan rumah sakit. Dari situlah, aku terpaksa jujur pada Hwanwoong. Aku paling tak tahan melihat wajah khawatir lelaki itu.
Ya, sejak hari itu sampai pagi ini aku diharuskan opname di rumah sakit. Hwanwoong yang mengurus semuanya, dari memilihkan pelayanan VVIP sampai biaya rumah sakit. Berkali-kali aku memaksa agar aku membayar sendiri biayanya. Dan berkali-kali juga lelaki itu akan marah ketika aku melakukan itu. Hingga akhirnya aku pasrah mengalah saja.
Terkadang aku tak habis pikir dengan sikap Hwanwoong. Hari pertama aku menginap di rumah sakit, di hari yang sama dia membawa serta semua perlengkapan sehari-harinya. Set baju entah untuk berapa hari, peralatan mandi, sampai perlengkapan kerjanya ia bawa serta.
“Aku gak mau sedetik pun pisah sama kamu, Sa.”
Itu jawaban ketika kutanya alasannya melakukan semua itu. Aku hanya bisa diam, berdebat dengan Hwanwoong ketika dia sudah keukeuh akan sesuatu hanyalah hal yang sia-sia.
*22 Februari 2020
“Hesa, saya enggak harus menjelaskan semuanya, kan? Dengan profesimu, saya yakin kamu tahu apa artinya ini.”
Aku tersenyum mendengar Dokter yang memeriksaku memperlihatkan hasil cek darah terakhirku. Dokter Jean adalah salah satu dokter favorit di tempat kerjaku. Aku pun sangat respect pada
beliau. Melihat responku, dokter cantik itu beranjak daru kursinya. Dia merengkuhku dalam pelukannya, mengelus-elus punggungku, hingga kudengar sebuah isakan halus darinya.
“Eh? Dok ...?”
“You're such a good people, Hesa. Why God ....”
“Ey, saya bukan siapa-siapa, Dok. Dokter Jean jauh lebih baik dari saya, lho.”
Perih dan terenyuh kurasakan bersamaan saat mendengar isakan halus dari dokter kesukaaanku ini. Setahuku beliau tak pernah benar-benar menunjukkan emosinya di depan orang lain. Aku menepuk-nepuk punggung Dokter Jean berharap agar bisa menenangkan, walaupun diri ini sebenarnya tak kalah sedih.
Aku tak punya banyak waktu lagi, Hwanwoong.
Hwanwoong sedang pergi ke perusahaannya setelah sekitar seminggu ia memasrahkan semua pekerjaannya pada Kim Leedo, Co-CEOnya. Ia hanya mengecek dan memastikan semuanya dikerjakan dengan benar. Gelar CEO yang disandangnya menjadikan lelaki itu bisa dengan leluasa memantau online dari mana saja.
“Tunggu aku bentar ya, By. Aku bakal cepet, kok.“
Pamitnya tadi padaku, saat itu aku mengembangkan tanganku meminta sebuah pelukan padanya. Ia tersenyum melihat tingkah manjaku itu. Ah, senyum itu mungkin senyuman terakhir yang akan kulihat.
Aku memeluk lelakiku erat, berat sekali hati ini melepas pelukannya.
“Udah ya. Aku janji bakal cepet, By. Nanti kita lanjutin baca lagi. Di taman, oke?”
Kuurai perlahan pelukanku, lalu tersenyum membalas perkataan Hwanwoong. Suaraku sudah tak bisa keluar karena rasa sesak di hati. Hwanwoong kemudian mengecup singkat pucuk kepalaku sebelum akhirnya ia melangkah menuju pintu kamar.
“Tunggu aku, Sa,” teriaknya kembali ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar.
Netraku tak lepas dari pintu itu, memastikan Hwanwoong benar-benar sudah pergi. Setelah yakin ia tak lagi kembali, aku membiarkan bendungan cairan bening yang sedari tadi kutahan jebol. Terisak hebat dalam hening.
Ketika kemudian aku merasakan tubuh ini kian lemas, dengan sisa energi yang kupunya segera kuambil ponsel di laci meja.
Aku tersenyum ketika berhasil menuliskan beberapa kata di notes untuk Hwanwoongku. Sedetik kemudian kurasakan pandanganku mulai kabur. It's time, heh. Kelopak mataku semakin berat, dan semakin berat hingga akhirnya kubiarkan ia terpejam.
TO MY ANGEL, HWANWOONG ...
Words I couldn’t tell you till the very end
They’re right in the middle of this endless goodbye
I’m cherishing our memories
But I keep hearing the sound of an angel who lost its wings
Underneath the milky way is where I can rest soon
I hope we can leave behind the worries and pain
NB :
¹ Leukemia Mieloid Kronik (LMK) adalah
salah satu keganasan hematologi yang ditandai
dengan peningkatan dan pertumbuhan yang
tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum
tulang.