haruvi

Hands are silent, voices numb. Trying to scream out my lung. It makes this harder. And the tears stream down my face.

”... But please, never erase the memories of us, Ho.

“... Please do remember me, while thinking that i always love you no matter what.” Wanitaku itu tersenyum manis setelah mengatakannya.

“... Promise me, Honey. Promise me, that you'll always be happy without me.” Lalu perlahan tubuh Jena menghilang bersama cahaya yang mengantarkannya padaku tadi.

Kubuka netraku perlahan dan tersadar bahwa semua itu hanya bunga tidur yang setia menemaniku sepuluh tahun ini. Kuambil beberapa helai tisu disamping ranjangku. Mimpi itu selalu sukses meninggalkan jejak air mata yang sudah tumpah ketika aku masih terbuai indahnya bunga tidur tadi.

Aku bangun dari posisi tidurku. Dadaku tiba-tiba terasa sesak, mengingat fakta bahwa Jena, belahan jiwaku takkan mungkin kembali lagi. Bersandar di atas ranjang ini, tatapanku kembali kosong. Menerawang setiap sudut kamar ini kembali menamparku pada satu hal yang benar-benar tak sudi kuakui, bahwa kini aku benar-benar sendiri.

Tak ada lagi pelukan hangat Jena yang selalu menemani tidurku. Tak ada lagi senyum cantik yang akan menyambutku ketika netra ini terbuka setelah terbuai alam mimpi. Takkan ada lagi kecupan singkat yang selalu menjadi andalan Jena untuk membangunkanku.

“Ah, ternyata aku masih merindukanmu, Je. Bahkan di tahun kesepuluh aku kehilanganmu. Semua itu seperti baru saja terjadi kemarin, Je.”

Aku tak menyukai nuansa sepi kamar ini. Karena mau tak mau otak ini akan selalu mengingat masa-masa itu. Masa dimana rumah ini menjadi tempat terhangat bagiku untuk pulang. Rumah yang selalu menjadi alasan bagiku untuk cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan kantorku. Ah, kenangan itu ...


Good-mor-ning-My-Baby-Hoo.”

Telingaku menangkap suara manja Jena. Tapi dinginnya pagi itu malah membuatku lebih merapatkan selimutku. Udara musim dingin masih saja menjadi musuh bebuyutanku. Begitu pula dengan hangatnya selimut yang masih setia menjadi teman terbaikku.

“Iih, kok gak bangun sih. Oh gitu ya sekarang. Tambah manja kalo udah jadi suami.”

Aku tersenyum di balik selimut, membayangkan lucunya wajah menggerutu Jena lengkap dengan pipi menggembungnya.

“Liat aja, abis ini mesti bangun.”

Kurasakan ranjang ini bergoyang, seiring dengan mendekatnya tubuh Jena ke posisi tubuhku. Perlahan kurasakan ia menyibak selimut yang menutupi kepalaku. Jemarinya bermain-main dengan helai-helai surai yang menutupi dahiku. Ia singkirkan satu persatu helai rambut yang menghalangi akses dahiku dan ...

Cup!

Kecupan singkat yang selalu kunanti itu akhirnya mendarat tepat di tengah keningku. Aku hanya berpura-pura masih malas untuk bangun demi mendapat satu kecupan itu. Prinsip yang kuterapkan adalah Seoho tidak akan bangun sebelum mendapat kecupan Jena.

“Hoamm ... Baby Je ... lagi dong. Yang disini belum,” ucapku tak kalah manja sambil meletakkan telunjukku ke bibir.

“Gak mau, ya. Jatah bangun pagi tuh cuma dahi, Lee Seoho. Ayo bangun, ah. Sarapannya udah mateng dari tadi. Kalo kelamaan keburu dingin.”

Jena menggaet tanganku dan menarik tubuhku yang belum sadar sepenuhnya. Langkahku gontai mengekorinya, aku mengucek mata berusaha untuk mengumpulkan seluruh nyawaku.

Segera ku bergabung dengan wanitaku setelah mencuci muka singkat karena tak ingin membuat Jena menunggu lebih lama. Dan ketika momen berhadapan seperti ini, rasa untuk menjahili istriku ini semakin menjadi.

*Kini giliranku yang memberikan tatapan intens pada wanita bersurai hitam di depanku ini. Dan seperti dugaan, Jena akan selalu salah tingkah ketika aku melakukan ini.

“A-apaan sih, Ho?

See. Pipi Jena sekarang sudah merona seperti tomat. Mudah sekali membuat wanitaku ini tersipu. Kepala Jena yang menunduk membuatku tambah ingin menggodanya.

“Cieee malu yaa ... malu yaa ....”

Sekarang kulihat warna merah itu sudah sampai telinganya. Jena pasti sangat malu sekarang ini.

“Ih ngapain sih. Sengaja banget godain pagi-pagi.”

Pipinya kembali menggembung, satu kebiasaan Jena ketika ia merasa kesal.

“Ululu ... gemesin banget sih. Jena gemes punya Seoho aja yaa.”

Aku tak bisa menahan untuk tak mencubit pipi gembungnya itu. She's adorably cute.

“Aw! Sakit tauk, Ho. Udah ah ayo makan. Seneng banget godain anak orang.”

“Cuma mau ngetes tingkat kebucinan kamu aja, Babe. Ternyata masih sama ya hihi”

“Dasar! Seoho gaje. Buru makan, gih.”

Mau tak mau kusudahi acara menggodaku pagi ini. Karena Jena sudah menyuapkan sesendok nasi ke mulutku yang sukses menghentikan celotehanku.

Namun diamnya kami tak berlangsung lama. Obrolan di meja makan selalu menjadi favoritku. Bercerita tentang rencana kegiatan, keluhan kerjaan sampai gunjingan tetangga selalu menjadi topik yang tak bosannya dibahas.


Semua titik di rumah ini tak ada yang tak menyimpan kenangan tentang Jena. Satu-satunya alasan kuatku untuk tetap mempertahankan rumah ini. Puluhan kali aku mendapat tawaran untuk menjual rumah ini dan puluhan kali kutegaskan pada mereka, aku takkan pernah menjual satu-satunya kenangan milik Jena.

If we could only have this life For one more day If we could only turn back time

'Ketika kita kehilangan seseorang yang kita cintai, kita harus belajar untuk tidak hidup tanpa mereka, tetapi untuk hidup dengan cinta yang mereka tinggalkan.'

Hatiku merasa tertohok membaca potongan quote dari halaman buku yang sedang kubaca tadi. Jadi, selama ini aku salah langkah? Keputusanku untuk berusaha menjalani hidup tanpa Jena ... itu kah yang menyebabkan diriku masih tertahan di titik ini? Karena hal itu kah aku selalu mendapatkan mimpi yang sama tentang wanitaku ? Apakah selama sepuluh tahun ini aku salah menangkap pesan mimpi darimu, Je?

Dini hari tadi aku kembali terbangun karena kedatanganmu. Kamu yang selalu hadir dalam mimpiku mengenakan gaun putih tulang itu. Gaun cantik untuk pengantin yang cantik. Ya, itu adalah gaun yang kamu kenakan saat pesta pernikahan kita.

Pesta sederhana yang hanya dihadiri keluarga sepihak. Sebuah pernikahan yang tak mendapat restu dari keluargaku. Namun, di hari pernikahan yang jauh dari kata sempurna itu, entah kenapa hati ini merasa sangat bahagia. Hanya dengan melihat senyuman yang terukir sempurna di wajah cantikmu, Jena. Aku merasa lengkap. Di hari itu, aku menjadi pria paling beruntung sedunia karena akhirnya aku bisa memilikimu seutuhnya.

Kukira dengan melepas semuanya, keluarga, harta warisan dan semua fasilitas mewah itu lalu hidup dengan satu-satunya orang yang kusayangi adalah pilihan yang paling tepat. Namun, ternyata itu hanya ekspetasi belaka.

Hampir setiap hari hidupku tak tenang setelah hari pesta pernikahan itu. Aku dan Jena mendapatkan teror dari keluargaku sendiri. Aksi teror yang tak lain dan tak bukan dikirimkan untuk mencelakai Jena, istriku. Namun, semua itu tak mungkin kuutarakan padanya. Cukup aku saja yang menderita. Aku tak ingin kembali merusak senyum bahagia Jena yang kini selalu menghiasi setiap hari kita.

Beruntung, aku masih punya orang terpercayaku di penjara berkedok rumah itu. Lee Keonhee, satu-satunya kaki tangan yang memihak padaku. Dari dialah semua rencana aksi teror itu bisa kugagalkan.

Sampai hari naas itu tiba. Hari dimana Keonhee ditugaskan pergi ke sebuah daerah perkampungan yang susah sinyal, sehingga ia tak bisa dengan mudah melapor padaku. Dan di hari itu pula, aku dan Jena terlibat pertengkaran hebat. Istriku akhirnya mengetahui tentang semua teror itu dan berujung ia menyalahkanku. Aku yang tidak terima dengan semua tudingan itu langsung pergi di tengah panasnya perdebatanku dengan Jena, tanpa menyentuh sedikitpun menu sarapan yang sudah tertata rapi di meja pagi itu.

Entah kenapa hati ini merasa gundah sejak aku melangkahkan kali keluar pintu rumahku. Rasa hati ini sangat berat meninggalkan Jena kala itu. Namun, aku segera menepis itu semua.

Kutenggelamkan diriku dengan mengerjakan tumpukan tugas yang sudah dikejar deadline. Ketika di kantor aku menuntut diriku harus profesional. Aku hanya akan membuka ponsel saat jam istirahat atau ketika jam kantor berakhir. Hari itu aku sengaja tak mengambil jam istirahatku, karena besok adalah deadline untuk proposal proyekku.

Saat jam kantor selesai, aku segera membuka ponselku. Deru jantungku seketika berpacu ketika melihat pesan terakhir dari Jena jam sepuluh pagi tadi.

Jena Seoho, Jena minta maaf buat kejadian tadi pagi. Sekarang aku nyusul kamu ya. Mau anterin bekal kesukaan Seoho :)

Dan sekitar setengah jam setelahnya, kulihat ada tujuh belas missed call dari Mami, dan delapan missed call dari nomor tak dikenal.

Kurasakan sekujur tubuhku mendadak dingin. Dengan langkah tergesa hampir berlari aku menuju alamat rumah sakit yang diinstruksikan Mami. Dalam perjalanan aku berusaha menyingkirkan pikiran-pikiran liar dan semua praduga di kepalaku . Untuk saat ini yang terpenting adalah aku harus tahu kondisi Jena secepatnya.

Seampainya di IGD, dari kejauhan bisa kulihat kondisi Mami dan adik iparku yang bisa dibilang benar-benar kacau.

“Mi ....” Aku menyentuh pelan pundak Mami yang masih terduduk lemas di samping bed Jena. Beliau langsung memelukku erat sambil memanggil nama Jena yang terdengar semakin perih ketika Mami mengucapkannya berulang-ulang. Sesil, adik iparku pun hanya bisa meletakkan kepala di pinggiran bed sambil menggenggam tangan Jena yang bebas dari selang infus. Aku tahu Sesil menangis dalam diam, mataku menangkap bahunya bergetar lemah. Ah, baru kali ini aku melihat mereka sekacau ini.

Belum sempat otakku mencerna apa yang terjadi dengan Jena-ku, aku mendengar suara berat dari belakang punggungku.

“Mohon maaf, Pak. Kalau boleh tahu. Apa hubungan Anda dengan Ibu Jena?”

“Saya suaminya, Dok.”

“Ah, baik. Bisa ikut saya sebentar, Pak. Ada beberapa hal yang harus kami diskusikan. Karena kondisi Ibu dan Adik Ibu Jena sepertinya masih belum cukup kondusif untuk ditanyai.”

“Baik, Dok. Sebentar.”

“Kami tunggu di meja pelayanan ya, Pak. Diusahakan secepatnya.” Aku mengangguk singkat sebelum dokter itu membalikkan badannya. Posisiku masih memeluk Mami ketika menjawab dokter tadi. Baru setelahnya perlahan kucoba mengurai pelukan eratnya.

“Mi, Seoho ketemu Pak Dokter dulu, ya,” kataku sepelan mungkin mencoba memahamkan. Akhirnya pelukan Mami bisa terurai, beliau mengangguk lemah sebelum aku bergegas menemui dokter tadi.

Semesta tak mengizinkanku barang sedetik pun untuk panik. Aku langsung disibukkan semua administrasi dan penandatanganan surat persetujuan untuk pemasangan alat penunjang pada Jena. Selesai dengan semua peradministrasian, Jena langsung dipindah ke ruangan intensif. Yang mana di sana tak boleh sembarangan orang masuk kapanpun. Lagi, semesta masih tak membolehkanku menatap bidadariku.

Esok harinya, aku tetap harus masuk kerja. Aku masih berkutat dengan semua lembaran-lembaran kertas ketika. mendapat notifikasi panggilan masuk dari Mami.

“Nak, Jena sadar dan dia tadi manggil nama kamu.”

Mendengar hal itu, aku langsung mendelegasikan tugasku pada partner kerjaku dan bergegas meluncur ke rumah sakit.

Sesampainya di lorong ruangan, kulihat Mami sudah terduduk lemas di sana. Aku mendekat dan mengelus pelan pundak wanita tua itu.

“Mi ....” Mendengar suaraku, Mami menoleh dan langsung memelukku. Kukira akan ada kabar baik ketika Mami meneleponku tadi. Tapi yang kudengar adalah ... Mami memohon padaku sebuah permintaan yang paling mustahil kulakukan.

“Seoho, Jangan ditahan ya Jena-nya. Mami sama Sesil udah ikhlas. Kamu juga, ya, Nak.”

Mataku seketika mendelik dan melepaskan paksa pelukan Mami.

“Apa-apaan permintaan itu, Mi?! Gak! Cantiknya aku gak kenapa-napa. Jena bisa sembuh, Mi!”

Ya, aku masih saja menolak kenyataan yang sebenarnya Tuhan sudah jelas memperlihatkan jawabannya.

Dan detik setelahnya, aku merasakan panas di kepalaku karena pukulan tangan Mami. Begitulah cara yang biasa beliau lakukan untuk menegurku. Tanpa ada kata yang terucap dan hanya dengan melihat sorot mata Mami, aku tahu. Aku tahu, Mami tak tega melihat anaknya tersiksa. Mami tak tega melihat buah hatinya harus bertahan hidup dengan berbagai macam selang menempel di tubuhnya. Setelah menangkap pesan dari mata wanita itu akhirnya aku masuk ke ruangan Jena.

Entah kenapa aku tiba-tiba merasakan sebuah ketakutan luar biasa. Ketika melihat cantikku terbaring tak berdaya dengan selang terpasang di sana-sini bak sebuah robot.

She once told me that she's afraid of death. Dan saat itu pula langsung terlintas gambaran ketakutan Jena ketika kemarin dia menjadi korban tabrak lari. Ah, my girl, i'm sorry i couldn't protect you.

Aku sudah berdiri di samping bed Jena, ketika kulihat Mami dan Sesil menyusul masuk ke dalam ruangan.

“Sepertinya sudah saatnya ya, Sayang.”

Aku memaksakan tersenyum saat mengatakannya. Lalu setelah itu kucium khidmat kening Jena, pipinya lalu terakhir kucium tangannya, lama. Kudekatkan tubuhku untuk membisikkan salam perpisahan untuk malaikatku.

“Jena, aku enggak apa-apa sendiri. Aku bisa. Kamu kalau mau pulang duluan, enggak apa-apa, kok.”

Hanya beberapa rangkaian kata. Namun, untuk mengatakannya aku berkali-kali menelan ludah. Karena tenggorokanku serasa tercekat di tiap kata yang terucap. Bahkan kukira aku takkan sanggup menyelesaikannya.

Tak berselang beberapa lama setelah aku menyampaikan pesan terakhirku pada Jena. Aku mendengar suara yang amat sangat kubenci di dunia ini. Sebuah beep panjang dari bed side monitor, diikuti suara histeris Mami dan Sesil. Aku ? Entah kenapa air mataku tak ada yang keluar saat itu. Aku hanya merasa ... kosong, tanpa ada sedikitpun gelombang emosi yang kurasakan.

Yang kurasakan hanyalah kehampaan. Benar-benar tak ada emosi yang muncul dalam hati ini. Bahkan ketika aku selesai mengurus perihal surat kematian, pemakaman dan lain-lainnya. Tak ada setetes pun cairan bening yang berminat keluar di hari kematian Jena.

Namun, di hari ketiga kepergian belahan jiwaku, buliran bening itu malah tak berhenti mengalir membasahi pipi. Ketika aku tak sadar memanggil nama Jena untuk memasangkan dasiku, di saat itu pula aku tersadar, Jena-ku kini sudah tiada. Di hari ketiga kepergiannya aku baru merasakan kehancuran itu. Aku merasa hilang arah karena satu-satunya pelita hidupku kini telah padam.

⋆t⋆b⋆c⋆

Denting jam dini hari masih menemani Raven di studio musiknya. Lembar-lembar kertas berisi coretan bait-bait indah berserakan di sekeliling tubuhnya. Mata cantik Raven kini sedang tak sedap dipandang. Lingkaran hitam menghiasi bagian bawah netranya. Meluapkan semua emosi karena kehilangan ia yang berharga dalam hidupnya membuatnya bak zombie dalam semalam. Bahkan sampai pagi ini, hatinya masih saja merasakan nyeri ketika tersadar memori-memori yang terputar itu takkan pernah lagi ia rasakan.


Sebuah pertemanan yang terjalin di antara dua lelaki itu sering membuat orang yang melihatnya iri, bahkan ada yang sampai geli karena kedekatan mereka. Bukan teman, tapi mungkin saudara adalah status yang pas untuk mereka. Raven, anak tunggal yang selalu ingin merasakan memiliki seorang adik. Bertemu dengan Siyon, yang selalu haus akan kasih sayang karena keluarga yang terlalu sibuk dengan uang tak pernah memberikan itu padanya.

“Bang, makasih ya.”

“Hah? Gak salah denger? Kesambet apa nih Siyon tiba-tiba bilang gini?”

“Enggak boleh? Ya udah, enggak jadi.”

“Yaelah sensi amat, Dek. Boleh boleh, boleh banget malah. Cuma kaget aja Siyon tiba-tiba ngomong yang manis-manis gitu.”

“Jadi selama ini aku gak manis gitu?”

“Enggak, ya ampun. Adikku satu-satunya ini kapan sih enggak manis. Manis terus kok malah.”

“Hmm.”

“Jadi? Ada apa nih tiba-tiba bilang makasih ke Bang Raven?”

“Enggak tahu pastinya. Tapi pengen aja bilang gitu.”

“Kamu diajarin siapa sih, Yon? Bisa sweet gini.”

“Kursus sama Koni. Biar bisa bales pas Bang Raven bisa sweet ke aku.”

“Ululu, gemesin banget sih, Dek. Bilang aja ke Abang. Nanti biar kita praktekin langsung. Malah bisa makin uwu tuh hehe.”

“Enggak. Gak surprise nanti jadinya.”

“Iya deh iya. Terserah kamu aja mau gimananya. Aku terima jadinya aja, gitu ya.”

“He em.”

Interaksi keduanya tak pernah putus. Tak ada satu waktu pun Raven tak memanjakan Siyon. Namun di balik semua itu, sebenarnya Raven memiliki tujuan lain. Rasa sayang berlebihnya pada Siyon itu bukan tanpa alasan. Lelaki itu tahu ada luka dalam diri Siyon. Sebuah luka yang ditorehkan tak lain dan tak bukan oleh keluarganya sendiri. Raven ingin menyembuhkannya, ia ingin Siyon merasakan kehidupan yang selayaknya ia rasakan di umurnya sekarang ini.

Kini Siyon sangat bergantung dengan keberadaan Raven. Eksistensi Raven sebagai seorang abang benar-benar sangat ia jaga. Tak jarang lelaki muda itu menjadi posesif akan Raven. Ia akan uring-uringan jika sehari saja Raven tak berkabar. Tanpa Siyon sadari, kehadiran Raven menjadi candu. Harinya akan terasa kelam jika satu hari saja ia tak mencicipi kasih sayang dari abangnya itu.

Raven masih setia pada target yang ingin ia capai dalam hubungannya dengan Siyon. Bukan untuk lebih dispesialkan, karena ia tahu Siyon pasti sudah menganggapnya spesial. Tapi target Raven adalah tentang menyembuhkan Siyon yang 'sakit'.

Ya, lelaki muda itu sakit. Namun, ia tak pernah menyadarinya. Hal itulah yang semakin meyakinkan Raven untuk mengambil tindakan. Bukan sesuatu yang ia lakukan blak-blakan, tapi ia melakukannya sehalus mungkin. Sebisa mungkin ia berusaha agar Siyon tak menyadarinya. Raven ingin Siyon belajar mandiri, ia ingin adiknya itu selalu bisa melihat positifnya dunia. Dan tujuan akhirnya adalah agar Siyon bisa kuat berdiri di atas kakinya sendiri tanpa sokongan darinya.

Namun siapa sangka, keputusannya itu kini malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ketika perlahan Siyon mulai lepas darinya, di saat itulah rasa posesif timbul dalam dirinya. Ia merasakan gejolak di hati, ketika melihat Siyon akhirnya bisa akrab dengan Koni, teman sebayanya. Raven merasa cemburu ketika Siyon selalu tersenyum melihat layar ponsel ketika ia ada di sekitarnya. Pria itu tak rela melihat Siyon membagi kasih untuk orang lain selain dirinya.

Di saat-saat seperti itu, Raven tak banyak bicara. Ia diam, menyimpan semua kegusaran hatinya itu sendiri. Raven tahu, Siyon sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik. Ia tahu sang adik sedang berusaha untuk berubah. Raven diam, karena dia tak ingin mengganggu proses Siyon yang kini sudah mulai bangkit. Sebentar lagi Raven akan mencapai tujuannya, tapi kenapa kini ia malah merasakan ngilu di hati setiap kali mengingatnya.

“Lo gak mau ngomong ke Siyon soal ini, Bro?”

“Enggak, Do. Kalo gue ngomongin ini, itu cuma bakal ngehambat Siyon.”

“Tapi lo sakit, Rav.”

Perkataan Doya, teman kerjanya itu hanya ditanggapi diam oleh Raven.

“Jawab gue, Rav. Hati lo sakit kan liat Siyon sekarang kayak gini ke lo?”

Ada jeda sebentar sebelum Raven kembali berucap.

“Jujur, iya. Gue sakit, karena gue tahu gue gak sepenting itu buat Siyon.”

Gosh. Lo bisa nyimpulin gitu dari mana sih? Siyon bilang gitu ke lo? Enggak kan? Jangan asal nyimpulin lo, Bro.”

“Gue gak asal nyimpulin, Do. Dari sikap Siyon ke gue yang sekarang udah berubah drastis. Kurang bukti apa kalo emang eksistensi gue sekarang gak penting lagi buat Siyon.”

“Plis. Itu cuma asumsi lo, Raven. Gak ada bukti kuat kalo Siyon gak bilang langsung ke lo.”

“Biasanya lo gak segoblok ini, Rav. Baru kali ini gue tahu sayang sama orang bisa bikin orang jenius jadi goblok.”

Raven kembali diam, ia tak menyangkal karena ia hanya bisa membenarkan semua itu dalam hati. Seketika ia menjadi idiot yang hanya bisa diam mengalah dan pasrah akan semuanya.

t.b.c

Denting jam dini hari masih menemani Raven di studio musiknya. Lembar-lembar kertas berisi coretan bait-bait indah berserakan di sekeliling tubuhnya. Mata cantik Raven kini sedang tak sedap dipandang. Lingkaran hitam menghiasi bagian bawah netranya. Meluapkan semua emosi karena kehilangan ia yang berharga dalam hidupnya membuatnya bak zombie dalam semalam. Bahkan sampai pagi ini, hatinya masih saja merasakan nyeri ketika tersadar memori-memori yang terputar itu takkan pernah lagi ia rasakan.


Sebuah pertemanan yang terjalin di antara dua lelaki itu sering membuat orang yang melihatnya iri, bahkan ada yang sampai geli karena kedekatan mereka. Bukan teman, tapi mungkin saudara adalah status yang pas untuk mereka. Raven, anak tunggal yang selalu ingin merasakan memiliki seorang adik. Bertemu dengan Siyon, yang selalu haus akan kasih sayang karena keluarga yang terlalu sibuk dengan uang tak pernah memberikan itu padanya.

“Bang, makasih ya.”

“Hah? Gak salah denger? Kesambet apa nih Siyon tiba-tiba bilang gini?”

“Enggak boleh? Ya udah, enggak jadi.”

“Yaelah sensi amat, Dek. Boleh boleh, boleh banget malah. Cuma kaget aja Siyon tiba-tiba ngomong yang manis-manis gitu.”

“Jadi selama ini aku gak manis gitu?”

“Enggak, ya ampun. Adikku satu-satunya ini kapan sih enggak manis. Manis terus kok malah.”

“Hmm.”

“Jadi? Ada apa nih tiba-tiba bilang makasih ke Bang Raven?”

“Enggak tahu pastinya. Tapi pengen aja bilang gitu.”

“Kamu diajarin siapa sih, Yon? Bisa sweet gini.”

“Kursus sama Koni. Biar bisa bales pas Bang Raven bisa sweet ke aku.”

“Ululu, gemesin banget sih, Dek. Bilang aja ke Abang. Nanti biar kita praktekin langsung. Malah bisa makin uwu tuh hehe.”

“Enggak. Gak surprise nanti jadinya.”

“Iya deh iya. Terserah kamu aja mau gimananya. Aku terima jadinya aja, gitu ya.”

“He em.”

Interaksi keduanya tak pernah putus. Tak ada satu waktu pun Raven tak memanjakan Siyon. Namun di balik semua itu, sebenarnya Raven memiliki tujuan lain. Rasa sayang berlebihnya pada Siyon itu bukan tanpa alasan. Lelaki itu tahu ada luka dalam diri Siyon. Sebuah luka yang ditorehkan tak lain dan tak bukan oleh keluarganya sendiri. Raven ingin menyembuhkannya, ia ingin Siyom merasakan kehidupan yang selayaknya ia rasakan di umurnya sekarang ini.

Kini Siyon sangat bergantung dengan keberadaan Raven. Eksistensi Raven sebagai seorang abang benar-benar sangat ia jaga. Tak jarang lelaki muda itu menjadi posesif akan Raven. Ia akan uring-uringan jika sehari saja Raven tak berkabar. Tanpa Siyon sadari, kehadiran Raven menjadi candu. Harinya akan terasa kelam jika satu hari saja ia tak mencicipi kasih sayang dari abangnya itu.

Raven masih setia pada target yang ingin ia capai dalam hubungannya dengan Siyon. Bukan untuk lebih dispesialkan, karena ia tahu Siyon pasti sudah menganggapnya spesial. Tapi target Raven adalah tentang menyembuhkan Siyon yang 'sakit'.

Ya, lelaki muda itu sakit. Namun, ia tak pernah menyadarinya. Hal itulah yang semakin meyakinkan Raven untuk mengambil tindakan. Bukan sesuatu yang ia lakukan blak-blakan, tapi ia melakukannya sehalus mungkin. Sebisa mungkin ia berusaha agar Siyon tak menyadarinya. Raven ingin Siyon belajar mandiri, ia ingin adiknya itu selalu bisa melihat positifnya dunia. Dan tujuan akhirnya adalah agar Siyon bisa kuat berdiri di atas kakinya sendiri tanpa sokongan darinya.

Namun siapa sangka, keputusannya itu kini malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ketika perlahan Siyon mulai lepas darinya, di saat itulah rasa posesif timbul dalam dirinya. Ia merasakan gejolak di hati, ketika melihat Siyon akhirnya bisa akrab dengan Koni, teman sebayanya. Raven merasa cemburu ketika Siyon selalu tersenyum melihat layar ponsel ketika ia ada di sekitarnya. Pria itu tak rela melihat Siyon membagi kasih untuk orang lain selain dirinya.

Di saat-saat seperti itu, Raven tak banyak bicara. Ia diam, menyimpan semua kegusaran hatinya itu sendiri. Raven tahu, Siyon sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik. Ia tahu sang adik sedang berusaha untuk berubah. Raven diam, karena dia tak ingin mengganggu proses Siyon yang kini sudah mulai bangkit. Sebentar lagi Raven akan mencapai tujuannya, tapi kenapa kini ia malah merasakan ngilu di hati setiap kali mengingatnya.

“Lo gak mau ngomong ke Siyon soal ini, Bro?”

“Enggak, Do. Kalo gue ngomongin ini, itu cuma bakal ngehambat Siyon.”

“Tapi lo sakit, Rav.”

Perkataan Doya, teman kerjanya itu hanya ditanggapi diam oleh Raven.

“Jawab gue, Rav. Hati lo sakit kan liat Siyon sekarang kayak gini ke lo?”

Ada jeda sebentar sebelum Raven kembali berucap.

“Jujur, iya. Gue sakit, karena gue tahu gue gak sepenting itu buat Siyon.”

Gosh. Lo bisa nyimpulin gitu dari mana sih? Siyon bilang gitu ke lo? Enggak kan? Jangan asal nyimpulin lo, Bro.”

“Gue gak asal nyimpulin, Do. Dari sikap Siyon ke gue yang sekarang udah berubah drastis. Kurang bukti apa kalo emang eksistensi gue sekarang gak penting lagi buat Siyon.”

“Plis. Itu cuma asumsi lo, Raven. Gak ada bukti kuat kalo Siyon gak bilang langsung ke lo.”

“Biasanya lo gak segoblok ini, Rav. Baru kali ini gue tahu sayang sama orang bisa bikin orang jenius jadi goblok.”

Raven kembali diam, ia tak menyangkal karena ia hanya bisa membenarkan semua itu dalam hati. Seketika ia menjadi idiot yang hanya bisa diam mengalah dan pasrah akan semuanya.

t.b.c

Denting jam dini hari masih menemani Raven di studio musiknya. Lembar-lembar kertas berisi coretan bait-bait indah berserakan di sekeliling tubuhnya. Mata cantik Raven kini sedang tak sedap dipandang. Lingkaran hitam menghiasi bagian bawah netranya. Meluapkan semua emosi karena kehilangan ia yang berharga dalam hidupnya membuatnya bak zombie dalam semalam. Bahkan sampai pagi ini, hatinya masih saja merasakan nyeri ketika tersadar memori-memori yang terputar itu takkan pernah lagi ia rasakan.


Sebuah pertemanan yang terjalin di antara dua lelaki itu sering membuat orang yang melihatnya iri, bahkan ada yang sampai geli karena kedekatan mereka. Bukan teman, tapi mungkin saudara adalah status yang pas untuk mereka. Raven, anak tunggal yang selalu ingin merasakan memiliki seorang adik. Bertemu dengan Siyon, yang selalu haus akan kasih sayang karena keluarga yang terlalu sibuk dengan uang tak pernah memberikan itu padanya.

“Bang, makasih ya.”

“Hah? Gak salah denger? Kesambet apa nih Siyon tiba-tiba bilang gini?”

“Enggak boleh? Ya udah, enggak jadi.”

“Yaelah sensi amat, Dek. Boleh boleh, boleh banget malah. Cuma kaget aja Siyon tiba-tiba ngomong yang manis-manis gitu.”

“Jadi selama ini aku gak manis gitu?”

“Enggak, ya ampun. Adikku satu-satunya ini kapan sih enggak manis. Manis terus kok malah.”

“Hmm.”

“Jadi? Ada apa nih tiba-tiba bilang makasih ke Bang Raven?”

“Enggak tahu pastinya. Tapi pengen aja bilang gitu.”

“Kamu diajarin siapa sih, Yon? Bisa sweet gini.”

“Kursus sama Koni. Biar bisa bales pas Bang Raven bisa sweet ke aku.”

“Ululu, gemesin banget sih, Dek. Bilang aja ke Abang. Nanti biar kita praktekin langsung. Malah bisa makin uwu tuh hehe.”

“Enggak. Gak surprise nanti jadinya.”

“Iya deh iya. Terserah kamu aja mau gimananya. Aku terima jadinya aja, gitu ya.”

“He em.”

Interaksi keduanya tak pernah putus. Tak ada satu waktu pun Raven tak memanjakan Siyon. Namun di balik semua itu, sebenarnya Raven memiliki tujuan lain. Rasa sayang berlebihnya pada Siyon itu bukan tanpa alasan. Lelaki itu tahu ada luka dalam diri Siyon. Sebuah luka yang ditorehkan tak lain dan tak bukan oleh keluarganya sendiri. Raven ingin menyembuhkannya, ia ingin Siyom merasakan kehidupan yang selayaknya ia rasakan di umurnya sekarang ini.

Kini Siyon sangat bergantung dengan keberadaan Raven. Eksistensi Raven sebagai seorang abang benar-benar sangat ia jaga. Tak jarang lelaki muda itu menjadi posesif akan Raven. Ia akan uring-uringan jika sehari saja Raven tak berkabar. Tanpa Siyon sadari, kehadiran Raven menjadi candu. Harinya akan terasa kelam jika satu hari saja ia tak mencicipi kasih sayang dari abangnya itu.

Raven masih setia pada target yang ingin ia capai dalam hubungannya dengan Siyon. Bukan untuk lebih dispesialkan, karena ia tahu Siyon pasti sudah menganggapnya spesial. Tapi target Raven adalah tentang menyembuhkan Siyon yang 'sakit'.

Ya, lelaki muda itu sakit. Namun, ia tak pernah menyadarinya. Hal itulah yang semakin meyakinkan Raven untuk mengambil tindakan. Bukan sesuatu yang ia lakukan blak-blakan, tapi ia melakukannya sehalus mungkin. Sebisa mungkin ia berusaha agar Siyon tak menyadarinya. Raven ingin Siyon belajar mandiri, ia ingin adiknya itu selalu bisa melihat positifnya dunia. Dan tujuan akhirnya adalah agar Siyon bisa kuat berdiri di atas kakinya sendiri tanpa sokongan darinya.

Namun siapa sangka, keputusannya itu kini malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Ketika perlahan Siyon mulai lepas darinya, di saat itulah rasa posesif timbul dalam dirinya. Ia merasakan gejolak di hati, ketika melihat Siyon akhirnya bisa akrab dengan Koni, teman sebayanya. Raven merasa cemburu ketika Siyon selalu tersenyum melihat layar ponsel ketika ia ada di sekitarnya. Pria itu tak rela melihat Siyon membagi kasih untuk orang lain selain dirinya.

Di saat-saat seperti itu, Raven tak banyak bicara. Ia diam, menyimpan semua kegusaran hatinya itu sendiri. Raven tahu, Siyon sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik. Ia tahu sang adik sedang berusaha untuk berubah. Raven diam, karena dia tak ingin mengganggu proses Siyon yang kini sudah mulai bangkit. Sebentar lagi Raven akan mencapai tujuannya, tapi kenapa kini ia malah merasakan ngilu di hati setiap kali mengingatnya.

“Lo gak mau ngomong ke Siyon soal ini, Bro?”

“Enggak, Do. Kalo gue ngomongin ini, itu cuma bakal ngehambat Siyon.”

“Tapi lo sakit, Rav.”

Perkataan Doya, teman kerjanya itu hanya ditanggapi diam oleh Raven.

“Jawab gue, Rav. Hati lo sakit kan liat Siyon sekarang kayak gini ke lo?”

Ada jeda sebentar sebelum Raven kembali berucap.

“Jujur, iya. Gue sakit, karena gue tahu gue gak sepenting itu buat Siyon.”

Gosh. Lo bisa nyimpulin gitu dari mana sih? Siyon bilang gitu ke lo? Enggak kan? Jangan asal nyimpulin lo, Bro.”

“Gue gak asal nyimpulin, Do. Dari sikap Siyon ke gue yang sekarang udah berubah drastis. Kurang bukti apa kalo emang eksistensi gue sekarang gak penting lagi buat Siyon.”

“Plis. Itu cuma asumsi lo, Raven. Gak ada bukti kuat kalo Siyon gak bilang langsung ke lo.”

“Biasanya lo gak segoblok ini, Rav. Baru kali ini gue tahu sayang sama orang bisa bikin orang jenius jadi goblok.”

Raven kembali diam, ia tak menyangkal karena ia hanya bisa membenarkan semua itu dalam hati. Seketika ia menjadi idiot yang hanya bisa diam mengalah dan pasrah akan semuanya.

Kriiing! Kriiing! Kriiing!

Aku membuka malas mataku. Menengok jam dinding kamar. Jam setengah dua belas malam, siapa yang menelepon rumah menjelang tengah malam begini.

Kriiing! Kriiing! Kriiing!

Kulangkahkan kaki menuju ruang tengah untuk segera mematikan bunyi telepon rumah yang memekakkan telinga itu.

“Halo?” sapaku pada entah siapa di seberang sana. Tak ada jawaban, pun suara yang terdengar dari si penelepon.

“Halo, siapa ya?” tanyaku ulang. Berharap ada sahutan setelah kusapa ulang.

“Hiks…. ” Kali ini kutajamkan pendengaranku. Aku yakin mendengar isakan di ujung telepon sana. Diam yang kulakukan saat itu. Memang aku sengaja tak merespon, sampai aku menangkap suara yang tak asing untuk telingaku.

“Nung….” Suaranya terdengar sangat lemah. Ya, itu suara gadis kesayanganku.

“Mona?”

“Aku butuh kamu, Nung hiks… Maaf... tapi bisa gak kamu kesini sekarang? Tolong cegah aku, Nung,” ujar gadis itu lirih. Saking lirihnya sampai aku hampir tak menangkap apa yang ia ucapkan.

Wait. Aku kesitu sekarang. Jangan pegang apa-apa kecuali guling,” ucapku padanya setenang mungkin. Walaupun sebenarnya diri ini sudah panik setengah mati mendengar permintaan tolongnya itu. Tanpa perlu dia menjelaskan lebih lanjut, aku tahu apa yang dia maksud. Cutting. Selalu itu pelarian terakhir yang dia lakukan untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan.

“Abis ini aku telpon pake hape. Sebelum aku sampe sana, jangan dimatiin sambungan teleponnya ya, Mona.” Segera aku mematikan mode DND yang memang biasa ku aktifkan ketika tidur. Dan benar saja, ponselku banjir notifikasi dari Mona. Gadis itu sudah mencoba menghubungi sejak satu jam yang lalu.

Aku semakin panik, segera kutelepon nomor Mona. Terdengar nada sambung beberapa saat.

Tuuut… Tuuut…

“Halo?” Kuhembuskan napas lega setelah mendengar suara itu.

“Mona, kita ngobrol sampe aku sampe apartemenmu ya. Oh ya, gulingnya?” tanyaku lagi memastikan keadaan.

“Iya, ini udah aku peluk kok gulingnya.”

Be a good girl. Wait for me,” kataku cepat sambil melajukan mobilku cepat menuju apartemen gadisku.

Bukan pertama kalinya Mona seperti itu. Setiap kali dirinya merasa tak kuat menahan sakit hatinya, cutting selalu menjadi jalan keluarnya. Kuinjak pedal gas mempercepat laju mobil agar segera sampai tempat gadisku.

Setelah sepuluh menit perjalanan, akhirnya aku sampai di depan pintu apartemen Mona. Segera kumasukkan kode kunci yang sudah lama ia bagikan padaku. Ya, apartemen ini sudah seperti rumah kedua bagiku. Tempat paling sering kusinggahi setelah rumahku.

Ceklek!

Kulangkahkan kakiku masuk ke ruangan apartemen. Gelap, tak ada pencahayaan sedikitpun. Tanganku meraba-raba mencari sakelar untuk menerangi ruang tengah. Kosong, dia tak ada disana.

Kamar menjadi tujuanku selanjutnya. Kudorong pintu kamar perlahan dan benar saja, kulihat sosoknya meringkuk memeluk guling di bawah sofa. Tangannya mengepal erat pada guling yang sedang dipeluknya. Menandakan ia benar-benar menahan sesuatu dalam hatinya.

Aku mendekat perlahan, merendahkan tubuhku agar sejajar dengannya. Kuelus pelan pundaknya yang sedikit gemetar itu. Gadis itu mendongakkan kepalanya menyadari kehadiranku.

Kulihat matanya sembab, karena mungkin lama menangis. Tapi tak kulihat lagi bulir yang mengalir dari kedua kelopak matanya. Mona masih tetap cantik walau di tengah keadaan paling kacaunya seperti sekarang ini.

Ia melihatku sedetik dengan sorot mata putus asanya. Dan setelahnya ia menubruk dan memelukku. Mendusel manja layaknya anak kecil yang ingin dilindungi. Tangisnya kembali pecah, tubuhnya kali ini benar-benar berguncang.

It's okay… It's okay,” ujarku sambil mengelus-elus punggungnya mencoba menenangkan. Aku tak akan bertanya lebih jauh.

Membiarkan Mona meluapkan segala emosi dan selalu berada di sampingnya seperti sekarang ini adalah cara paling tepat menghadapi gadis labil ini.

Terkadang ia hanya butuh seseorang hadir untuknya. Sekedar menemaninya tanpa bertukar kata. Itu yang pernah Mona katakan padaku. Ya seperti sekarang ini.

Tangisnya mulai reda. Perlahan ia melonggarkan pelukannya dan kembali ke posisi duduknya tadi. Mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Mengatur napas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Aku tahu dia sedang menyiapkan dirinya untuk membeberkan semuanya padaku.

So…?” pancingku setelah melihat Mona sudah lumayan stabil. Hening, aku masih menunggunya. Kulihat dia mengambil napas panjang sebelum akhirnya mantap berkata.

“Dia bohong lagi, Nung.”

Ah bukan ini yang aku harapkan. Kumohon bukan topik ini lagi. Aku tahu kemana arah percakapan ini jika Mona sudah menyebut 'dia'.

Shit! Gelanyar rasa nyeri yang kurasakan ketika melihat gadis ini menangis semakin bertambah nyeri setelah tahu penyebabnya menangis.

“Dia gak datang lagi hari ini. Padahal aku dah nunggu di restoran itu.” Gadis bersurai hitam itu mengambil jeda dan menghembuskan napas kasar sebelum melanjutkan perkataannya. “Sampai-sampai pelayannya nyuruh aku pergi karena restorannya udah mau tutup.”

What the h—-.” Hampir saja aku mengumpat di depan gadis itu. Entah sudah berapa kali lelaki itu bertindak semaunya seperti ini. Ingin sekali kuhabisi dalam sekali waktu jika aku melihat wajahnya. Aku mencoba menenangkan detak jantungku sebelum menanggapinya.

“Alasan apa yang dia kasih ke kamu kali ini hah?” tanyaku berusaha setenang mungkin.

“Katanya… Ada urusan pribadi yang gak bisa ditinggalin.”

“Dan dia baru ngabarin kamu setelah restorannya tutup?!” Intonasiku sedikit naik ketika mengatakannya.

“Dia kerja, Nung. Kamu tahu kan Manajernya gak ngebolehin bawa ponsel selama kerja,” jawabnya polos.

“Terus kamu percaya gitu aja, Mona? Kamu tuh udah bukan prioritasnya. Sadar!” Tak bosan-bosannya aku kembali meyakinkannya tentang hal ini walaupun aku sendiri sudah tahu jawabannya.

He's a good guy, Nung. Aku percaya sama dia.”

See? Selalu dan selalu seperti itu jawaban Mona tentang masalah ini. She is blinded by love. This dumb girl always found his reasons as genuine one.

Aku akan selalu berakhir diam, karena apapun yang kukatakkan tentang ini takkan pernah ia indahkan. Gadis itu akan mengulangi kesalahan yang sama dan kembali terluka karena sebab yang sama.

Suasana kembali hening. Aku masih berusaha menormalkan reaksi tubuhku. Marah, kesal, sayang, kasihan, semuanya bercampur menjadi satu. Mona? Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, aku pun tak paham.

“Nung...?” Tiba-tiba gadis itu menggelayut manja menggandeng lenganku.

“Hmm.” Jujur, aku masih malas menanggapinya saat ini.

“Ngantuk,” ujarnya pelan sambil menyandarkan kepalanya pada pundakku. Kulihat sekilas wajah lelahnya. Ya wajar, ini sudah jam satu dini hari dan gadis itu belum tidur karena sedari tadi menangisi ketidak beruntungannya hari ini.

“Ya udah, cuci muka terus tidur,” jawabku sok cuek.

“Nung....” Ah, aku paling lemah kalo Mona mulai manja seperti ini.

“Apa?” Masih bersikap sok jutek untuk jaga imageku.

“Anungku marah ya?” Gosh! Kenapa panggilan itu harus keluar dari bibir Mona di saat seperti ini?! Sangat tidak tepat.

“Gak,” jawabku singkat.

“Ya udah kalo gitu. Ayo tidur, Nung.”

“Hah??”

“Temenin aku tidur malem ini, Nung. Aku gak tahu aku bakal bisa gak ngapa-ngapain kalo aku ditinggal sendiri.” Gadis itu berkata dengan gampangnya seolah kita masih anak SD yang polos tidak tahu apa-apa. Like... Hey girl, seriously?

Aku masih terdiam belum menanggapi apa-apa. Otak ini masih meloading ajakannya tadi. Bohong kalau aku tak berpikiran macam-macam. Pasalnya aku tak pernah berani menginap sendiri disini sejak Mona memutuskan menyewa apartemen pribadi.

Tiba-tiba aku merasakan tanganku digeret paksa ke tempat tidur. Tubuhku terbanting pelan di kasur, disusul Mona yang sudah menempati posisinya di sampingku. Ia segera menarik selimut untuk menutup tubuh kita berdua. Aku yang masih syok dengan semua itu mendadak mati suri karena merasakan kecupan singkat di pipi. Gadis itu menatap singkat diriku yang masih diam terpaku karena ulahnya.

“Selamat malam, Anungku,” Mona merapatkan selimut dan langsung memejamkan matanya. Meninggalkan aku yang masih heran, tak habis pikir dengan semua perubahan tingkahnya tadi.

Mataku masih terjaga tak mau terpejam. Tanganku memegang bekas kecupan Mona di pipiku tadi. Seketika aku merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhku.

Bagaimana aku bisa tidur setelah mendapat semua perlakuan itu? Tell me how, Mona. Apa maksud semua itu? Bolehkah aku mengharap lebih? Inikah saatnya aku mengakhiri perjalanan one-sided loveku ini?

I still love her, stands for her, respect her, but i guess i don't make her feel loved.

My love for her will never fade.

E.N.D

23 Februari 2021 Mataku mengerjap ketika merasakan bau alkohol menelusup masuk lubang hidungku. Langit-langit biru masih setia menjadi pemandangan pertamaku setiap kali terbangun. Ah, aku masih di tempat yang sama. Di sebuah ruangan bercat putih yang sudah menjadi 'kamar'ku selama enam bulan terakhir ini.

Kuamati sekelilingku, dan lagi-lagi kutemukan dia. Sosok lelaki yang sama, yang menemaniku setiap harinya. Ia sedang tidur disamping ranjangku. Tangannya menggenggam tangan kananku yang terbebas dari selang infus.

Wajah tidur Hwanwoong masih menjadi salah satu hal favoritku. Entah sejak kapan mengamati wajah tidur lelakiku itu menjadi hobiku. Aku mengulurkan tangan lemahku, mengelus-elus pelan rambut hitamnya.

“Hwanwoong ... apakah. kamu tidak lelah menungguku seperti ini? Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik dariku, Woong.”

Can you just go, Woong-ah?”

Aku mengatakannya jujur dari lubuk hati terdalam. Lelaki itu berhak bahagia. Hwanwoong masih memiliki masa depan yang jauh lebih berharga dibandingku.

Don't ever tell me that again, Sa. I hate that.”

“Woong ....”

Mataku bertemu dengan tatapan tajam pemilik manik hitam yang kini sedang perlahan berdiri mendekati samping ranjangku.

“Sudah bangun, Sayang? Ada yang sakit gak?”

Aku menggeleng singkat. Tangan Hwanwoong mengelus pelan rambutku. Ia merapikan beberapa helai rambut yang jatuh di wajahku. Hwanwoong mencondongkan badannya, mengecup singkat pucuk kepalaku.

“Jangan bilang kayak gitu lagi ya. Hwanwoong gak suka denger Hesa ngomong kayak itu.”

Sudut bibirku tertarik ke atas ketika lelaki itu menarik pelan tubuhku ke dalam rengkuhannya. Mata ini selalu memanas tiap kali Hwanwoong mengingatkanku tentang hal itu. Hatiku tak pernah tak terharu ketika ia menunjukkan ketulusan hatinya.

Kehadiran Hwanwoong dalam hidupku adalah hadiah terbaik yang Tuhan berikan padaku. Di balik semua ujian ini, Tuhan masih mengizinkanku bahagia. Mempertemukanku dengan Hwanwoong, malaikat jelmaan manusia.


Sore hari adalah jadwalku dan Hwanwoong berkencan dengan lembaran-lembaran buku. Biasanya kami akan tenggelam dengan dengan bacaan masing-masing. Diam tanpa kata, hanyut dalam dunia imajinasi. Namun pikiranku tiba-tiba terdistraksi ketika melihat lalu lalang perawat dari jendela kecil di pintu kamarku.

“Woong ....”

“Hm?”

“Kamu inget gak pertama kali kita ketemu?”

“Mm ... di sini, kan?”

“Iya. Aku udah pernah cerita ke kamu belum, sih?”

“Cerita yang mana? Kamu yang tiba-tiba bucin ke aku?”

“Ih yang diinget-inget itu mulu. Sebel.”

“Haha. Ya kan emang fakta.”

“Bodo. Gak jadi cerita.”

“Ya udah. Aku lanjut baca aja.”

“Yeo Hwanwoong! Kenapa kamu nyebelin banget sih?!”

“Ululu, gemesin banget sih kalo lagi kayak gini.”

“Ih, dikira aku guk-guk apa dikayak giniin.” Aku menyingkirkan tangan Hwanwoong yang baru saja mengelus-elus daguku.

“Jadi mau cerita gak, nih?”

“Gak jadi. Lupa mau cerita apa.” Segera kututup bukuku dan membalikkan badan membelakanginya.

“Yah, kok ayangie ngambek, sih.”

“Baby ....”

“Cinta ....” Aku tak bisa menahan senyumku saat Hwanwoong memanggilku manja seperti itu.

“Honey ....” Kurasakan tubuh lelaki itu kini sudah naik ke ranjang. Tangannya memeluk pinggangku lalu semakin merapatkan tubuhnya padaku.

“Hwanwoong! Apa-apaan, sih?! Turun, gak?! Nanti kena marah perawat kalo mereka liat. Gak boleh tau kayak gini.”

“Tenang, nanti kalo ada perawat yang dateng bakal aku bilangin, 'jangan dilaporin ya, nanti kukasih nomerku'.”

“Dih, pede banget. Kayak ada perawat yang mau sama kamu aja.”

“Ada kok. Ini yang lagi kupeluk.”

Ah, sejenak aku lupa. Aku juga pernah menjadi perawat pada masa itu. Masa dimana aku masih menyandang gelar itu, masa dimana Tuhan mengatur pertemuan pertamaku dengan Hwanwoong.


26 Agustus 2019

Hari itu, aku baru saja masuk kerja setelah menikmati jatah libur singkatku. Kembalinya diriku disambut dengan penuhnya semua bangsal pasien VVIP. Padahal biasanya bangsal tempatku bekerja ini bisa dibilang sangat jarang terisi penuh. Sepertinya memang cuaca akhir-akhir ini sedang tak bersahabat atau mungkin karena faktor lain? Entahlah.

“Sa, pagi ini ada program rawat luka pasien kamar 8. Jangan lupa.” Kak Eva, partner jaga di shift pagi ini mengingatkan kembali jadwal program yang dioperkan petugas shift malam tadi.

“Oke, Kak. Aku kesana sekarang aja ya.”

“Oke, sip. Butuh bantuan?”

“Gak lah. Luka ringan, kan?”

“Yep! Tapi katanya suruh ati-ati, Sa.”

“Hah? Kenapa?”

“Senior-senior bilang, mereka pada grogi sama pasiennya.”

“Yaelah, kukira gegara pasiennya galak. Ternyata ....”

“Wah wah, Hesa emang beda dari yang lain. Pede banget lu.”

“Dih, apaan. Udah ah, Kak. Aku ke sana dulu. Keburu makin siang.”

“Oke. Good luck.”

Kak Eva melemparkan senyum tanpa artinya ke arahku. Membuatku semakin penasaran ada apa dengan pasien kamar 8.

Tok, tok, tok

“Saya perawat Hesa. Ada program rawat luka untuk pagi ini.”

Aku mengintip ke dalam dari celah pintu karena tak kunjung ada jawaban dari dalam. Sepertinya tak ada yang menunggui pasien ini, karena tak kulihat siapapun di sekitarnya.

“Permisi. Saya ijin masuk.”

Kuputuskan masuk ke dalam membawa serta set perawatan luka yang sudah kusiapkan tadi.

Sedetik kemudian, tubuhku mematung ketika netra ini menangkap sosok lelaki di bed pasien yang masih damai dalam tidurnya.

Pantas saja para senior dibuat grogi, paras pasien satu ini ternyata memiliki level di atas rata-rata. Aku pun takkan menyangkal hal itu. Jantung ini sudah bak genderang perang ketika posisiku berada di samping ranjangnya. Tapi bagaimana pun caranya aku harus bersikap biasa saja. Berusaha menormalkan semua reaksi dalam sekejap. Aku harus profesional, tegasku pada diriku sendiri.

“Ehem. Permisi.”

Sebisa mungkin aku mencoba membangunkan lelaki itu tanpa mengagetkan. Sebenarnya bisa saja aku tak membangunkannya. Tapi ketika sedang mengamati wajah tampan itu, sekilas aku melihat ada rembesan di perban lukanya. Mau tak mau aku harus menggantinya saat ini juga. Dengan penuhnya bangsal hari ini, aku tak yakin nanti pun bisa melakukannya. Jadi lebih baik aku menahan grogiku disini sekarang, daripada nantinya kelabakan gara-gara program pasien yang tubrukan.

Setelah beberapa detik, kulihat kelopak matanya terbuka perlahan. Menampakkan manik hitam nan indah yang sukses membuat wanita 24 tahun ini hampir saja jantungan.

“Ada apa?” ujarnya setelah sepertinya dia sadar penuh dan menyadari keberadaanku.

“O-oh. Sebelumnya saya minta maaf karena nyelonong masuk. Tapi, anda ada program rawat luka pagi ini.”

“Oh, oke.”

“Benar dengan Sdr. Hwanwoong ya?”

“Iya.”

“Baik. Saya mulai rawat lukanya ya.”

“Silakan.”

First impression ku ambyar setelah kaget mendapat respon singkat dan dingin itu. Entah mungkin karena faktor sakit atau memang sifatnya seperti itu.

Aku mendekatkan alat-alat perawatan ke ranjang. Hwanwoong, kuinstruksikan untuk mengganti posisi tidurnya menjadi setengah duduk. Letak lukanya ada di atas pelipis kiri. Akan sulit bagiku untuk menjangkaunya dengan posisi tidur biasanya.

Ketika aku mulai melepas perban itu, kurasakan tatapan menyelidik Hwanwoong. Ah, aku makin tak heran jika para senior itu grogi.

“Mm ... maaf. Kamu bisa tutup mata dulu?”

“Kenapa?”

Gue grogi woi. Itu jawaban sebenarnya, tapi tak mungkin kan aku mengatakannya keras-keras.

“Takutnya nanti ada benda yang masuk pas perawatan.”

“Oh, ya ya.”

Syukurlah dia langsung menurut. Aku kembali melakukan aktivitasku. Sebenarnya lukanya bukan luka yang parah. Hanya luka robek yang mendapat sepuluh jahitan. Dari riwayat pasien yang kubaca, dia mengalami tabrakan tunggal. Kondisinya tidak terlalu parah. Selain luka robek itu, selebihnya hanya ada lecet-lecet ringan saja di beberapa bagian tubuhnya.

“Oke, sudah selesai,” ucapku setelah memasang plester terakhir. Segera kubereskan alat-alatku dan berpamitan dengannya.

“Saya permisi dulu.”

“Ya, terima kasih.”

Tepat setelah menutup pintu kamar 8, aku seperti mendapatkan pasokan oksigenku kembali. Jujur, beberapa kali aku menahan napas ketika melakukan tindakan rawat luka tadi. Wajahku dengan wajah Hwanwoong hanya berjarak tak lebih dari sepuluh sentimeter. Satu-satunya momen tergrogi dalam hidupku akhirnya terlewati. Wah, pasien satu ini benar-benar bahaya untuk kesehatan jantung.


Lucu rasanya ketika mengingat perjalanan romansaku dengan Hwanwoong. Siapa sangka lelaki yang awalnya kukira dingin itu akan meminta kontakku dengan alasan dia butuh bantuan merawat lukanya setelah pulang dari rumah sakit. Benar-benar tak pernah terlintas di benakku, lelaki tampan itu akan memilihku melakukan hal itu.

Aku mengunjungi apartemenya dua kali dalam seminggu untuk mengecek kondisi luka dan tentu kondisi pemilik lukanya. Ya, lelaki itu tinggal di sebuah apartemen mewah. Tak ada orang lain di sana selain dia. Ia memilih untuk tinggal terpisah dari keluarganya agar bisa memberikan 100% fokusnya untuk perusahaan, katanya.

Hwanwoong ternyata teman ngobrol yang asyik. Aura dingin yang kurasakan saat pertama kali bertemu dengannya tak pernah lagi kurasakan setelah mengenalnya lebih jauh. Hubunganku dengan Hwanwoong masih tetap berlanjut, bahkan ketika lelaki itu sudah pulih total dari sakitnya. Dia bilang baru kali ini menemukan seseorang yang nyaman ia ajak ngobrol lama.

Aku ... boleh temenan sama kamu, kan?

That what he said. Well, siapa yang akan menolak? Bukan karena parasnya. Walaupun tak bisa kupungkiri, paras Hwanwoong adalah salah satu faktor yang membuatku betah berlama-lama dengannya. Tapi, itu adalah satu dari sekian banyak alasan mengapa aku ingin berada di sampingnya. Hwanwoong dan semua tentangnya, terlalu indah untuk dilepaskan begitu saja.

Hubunganku dengan Hwanwoong menjadi semakin intim ketika kami ternyata menemukan titik kenyamanan dalam diri satu sama lain. Tepat sebulan setelah pertemuan pertamaku dengan Hwanwoong, lelaki itu meminta upgrading posisinya dalam hidupku.

Sa ... boleh gak aku jadi lebih dari teman buat kamu?”

Satu pertanyaan yang bahkan tanpa penjelasan lainnya aku bisa paham kemana arahnya. Satu pertanyaan yang tanpa pikir panjang kujawab dengan anggukan. Karena aku yang sudah lama memendam rasa itu lebih dulu, akhirnya mendapat tepukan balasan.

Kukira dengan berubahnya status dari teman menjadi pacar takkan ada perubahan yang signifikan. Tapi aku salah. Semenjak kita resmi menjalin kasih, Hwanwoong menjadi lelaki yang super super romantis. Perhatian yang biasanya hanya sekadar bertanya kabar berubah menjadi sebuah kunjungan. Hampir setiap hari lelakiku itu tak pernah absen mengunjungiku, dimanapun aku berada. Ternyata dia tipe lelaki yang tak bisa lama menahan rindu.


Mustahil jika ada hubungan tanpa ada duri di dalamnya. Namun duri dalam hubunganku dan Hwanwoong bukan duri yang berasal dari manusia yang sengaja menaruhnya. Bukan itu. Duri hubungan kita adalah duri abadi yang sebenarnya sudah ada di sana, bahkan sebelum hubungan ini dimulai. Duri dari Tuhan yang tak mungkin lagi bisa dihilangkan.

Aku divonis mengidap penyakit Leukemia Mieloid Kronik¹ (LMK). Sebuah penyakit darah yang mengharuskan pengidapnya mengonsumsi obat seumur hidupnya. Profesi perawat ternyata tak membuatku peka dengan kondisi tubuhku sendiri.

Aku terlalu terlambat mengetahui penyakit itu. Kukira ketika tubuhku berkali-kali drop, jatuh sakit dalam jeda waktu singkat, itu semua hanya karena faktor kelelahan kerja. Tapi ternyata tidak, masalah kesehatanku jauh lebih serius.

Bohong jika aku tak merasa down ketika mengetahui satu fakta menyakitkan itu. Bahkan aku sempat meminta cuti satu minggu kepada Kepala Ruangan karena aku tak bisa fokus bekerja.

Hwanwoong? Aku sengaja tak memberitahunya. Hati ini butuh waktu untuk memberitahukan hal ini padanya. Terlalu menyesakkan memberitahu orang terkasihmu, bahwa kemungkinan waktu kita bersamanya takkan lama lagi.

Sampai suatu pagi, ketika ia menemukan aku tak sadarkan diri di lantai ruang tengah. Aku sendiri tak yakin kenapa aku bisa pingsan saat itu. Dan ketika tersadar aku sudah di tempat yang sangat familiar. Ruangan rumah sakit. Dari situlah, aku terpaksa jujur pada Hwanwoong. Aku paling tak tahan melihat wajah khawatir lelaki itu.

Ya, sejak hari itu sampai pagi ini aku diharuskan opname di rumah sakit. Hwanwoong yang mengurus semuanya, dari memilihkan pelayanan VVIP sampai biaya rumah sakit. Berkali-kali aku memaksa agar aku membayar sendiri biayanya. Dan berkali-kali juga lelaki itu akan marah ketika aku melakukan itu. Hingga akhirnya aku pasrah mengalah saja.

Terkadang aku tak habis pikir dengan sikap Hwanwoong. Hari pertama aku menginap di rumah sakit, di hari yang sama dia membawa serta semua perlengkapan sehari-harinya. Set baju entah untuk berapa hari, peralatan mandi, sampai perlengkapan kerjanya ia bawa serta.

“Aku gak mau sedetik pun pisah sama kamu, Sa.”

Itu jawaban ketika kutanya alasannya melakukan semua itu. Aku hanya bisa diam, berdebat dengan Hwanwoong ketika dia sudah keukeuh akan sesuatu hanyalah hal yang sia-sia.


*22 Februari 2020

“Hesa, saya enggak harus menjelaskan semuanya, kan? Dengan profesimu, saya yakin kamu tahu apa artinya ini.”

Aku tersenyum mendengar Dokter yang memeriksaku memperlihatkan hasil cek darah terakhirku. Dokter Jean adalah salah satu dokter favorit di tempat kerjaku. Aku pun sangat respect pada beliau. Melihat responku, dokter cantik itu beranjak daru kursinya. Dia merengkuhku dalam pelukannya, mengelus-elus punggungku, hingga kudengar sebuah isakan halus darinya.

“Eh? Dok ...?”

You're such a good people, Hesa. Why God ....”

“Ey, saya bukan siapa-siapa, Dok. Dokter Jean jauh lebih baik dari saya, lho.”

Perih dan terenyuh kurasakan bersamaan saat mendengar isakan halus dari dokter kesukaaanku ini. Setahuku beliau tak pernah benar-benar menunjukkan emosinya di depan orang lain. Aku menepuk-nepuk punggung Dokter Jean berharap agar bisa menenangkan, walaupun diri ini sebenarnya tak kalah sedih.

Aku tak punya banyak waktu lagi, Hwanwoong.


Hwanwoong sedang pergi ke perusahaannya setelah sekitar seminggu ia memasrahkan semua pekerjaannya pada Kim Leedo, Co-CEOnya. Ia hanya mengecek dan memastikan semuanya dikerjakan dengan benar. Gelar CEO yang disandangnya menjadikan lelaki itu bisa dengan leluasa memantau online dari mana saja.

Tunggu aku bentar ya, By. Aku bakal cepet, kok.

Pamitnya tadi padaku, saat itu aku mengembangkan tanganku meminta sebuah pelukan padanya. Ia tersenyum melihat tingkah manjaku itu. Ah, senyum itu mungkin senyuman terakhir yang akan kulihat.

Aku memeluk lelakiku erat, berat sekali hati ini melepas pelukannya.

“Udah ya. Aku janji bakal cepet, By. Nanti kita lanjutin baca lagi. Di taman, oke?”

Kuurai perlahan pelukanku, lalu tersenyum membalas perkataan Hwanwoong. Suaraku sudah tak bisa keluar karena rasa sesak di hati. Hwanwoong kemudian mengecup singkat pucuk kepalaku sebelum akhirnya ia melangkah menuju pintu kamar.

“Tunggu aku, Sa,” teriaknya kembali ketika ia sudah sampai di depan pintu kamar.

Netraku tak lepas dari pintu itu, memastikan Hwanwoong benar-benar sudah pergi. Setelah yakin ia tak lagi kembali, aku membiarkan bendungan cairan bening yang sedari tadi kutahan jebol. Terisak hebat dalam hening.

Ketika kemudian aku merasakan tubuh ini kian lemas, dengan sisa energi yang kupunya segera kuambil ponsel di laci meja.

Aku tersenyum ketika berhasil menuliskan beberapa kata di notes untuk Hwanwoongku. Sedetik kemudian kurasakan pandanganku mulai kabur. It's time, heh. Kelopak mataku semakin berat, dan semakin berat hingga akhirnya kubiarkan ia terpejam.

TO MY ANGEL, HWANWOONG ...

Words I couldn’t tell you till the very end They’re right in the middle of this endless goodbye

I’m cherishing our memories But I keep hearing the sound of an angel who lost its wings

Underneath the milky way is where I can rest soon I hope we can leave behind the worries and pain

NB : ¹ Leukemia Mieloid Kronik (LMK) adalah salah satu keganasan hematologi yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


Kriing ... kriing... kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga. Kenapa tiba-tiba?”

“Maaf, Jo. Sebenarnya ada alasan untuk itu. Tapi selain itu, kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan senekat ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


Kriing ... kriing... kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga. Kenapa tiba-tiba?”

“Maaf, Jo. Sebenarnya ada alasan untuk itu. Tapi selain itu, kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan senekat ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


Kriing ... kriing... Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga. Kenapa tiba-tiba?”

“Maaf, Jo. Sebenarnya ada alasan untuk itu. Tapi selain itu, kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan senekat ini.