haruvi

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


Kriing ... kriing... Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga.”

“Kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan seberani ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


*Kriing ... kriing... Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga.”

“Kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan seberani ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”


Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


*Kriing ... kriing... Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga.”

“Kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan seberani ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


*Kriing ... kriing... Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

Zuu ... Youngjo kangen.

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya?

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga.”

“Kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan seberani ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya.

Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambut ikalnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakan uneg-unegnya. Ia pasti sudah mati-matian menahan ego sejak lama. Dan bendungan kesabaran Azumi akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo bertanya detail permasalahannya, ia sudah tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham akan apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Azumi hanya sudah lelah dengan semuanya. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Di sudut kota lain, seorang gadis berhoodie meringkuk di balkon apartemennya. Tatapan Azumi kosong, isi pikiran dan hatinya saling bertubrukan.

Aku ... sudah melakukan hal yang benar, kan?

Bagaimana jika Youngjo malah benar-benar pergi?

Tapi ... hubungan ini racun. Aku tak mau mati sendiri karenanya.

Ah, memang tak seharusnya aku setuju dengan kesepakatan itu dari awal.

Ya, ada kesepakatan di antara keduanya yang sudah tercipta sejak mereka memutuskan untuk menjalin kasih. Kesepakatan untuk 'tidak menuntut selalu ada'.

Pekerjaan Youngjo yang mengharuskannya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatasi karena pekerjaan Youngjo sebagai seorang produser musik.

Di masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa maklum. Bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan agenda 'kencan sebulan sekali' mereka. Yang mana dalam satu hari itu akan mereka habiskan bersama tanpa mengizinkan siapapun mengganggu. Satu hari itu sepenuhnya milik mereka.

Azumi nyaman dengan semua itu. Entah kenapa hatinya tak ingin melirik ke lain hati dan tetap bertahan di hubungan yang minim atensi itu. Gadis itu mengira hatinya akan kuat. Tapi ternyata tidak, ia masih seorang wanita yang ingin dibanjiri perhatian. Hatinya selalu ingin menuntut lebih, lalu sedetik kemudian ia ingat kesepakatan yang sudah mereka setujui.

Selama ini semua tuntutan itu ia pendam dalam hati. Namun, di tahun kelima ini hatinya sudah terlalu rapuh untuk menampungnya. Azumi merasakan sebuah kejenuhan yang setiap harinya semakin menjadi.

Youngjo yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Kencan rutin mereka masih sama, tapi setiap kali bertemu Azumi tak pernah merasakan kehadiran lelakinya. Hasrat untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak bisa sepenuhnya tersalurkan.

Mereka memang bertemu, raga mereka berada di tempat yang sama. Namun, gadis itu bisa merasakan hati dan pikiran Youngjo sedang tidak bersamanya. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan Azumi di sampingnya. Tak jarang Youngjo menerima telepon klien dalam durasi yang lama, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Youngjo semakin menggila.

Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini perlahan berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Youngjo. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela.

Lelaki membersamai di masa-masa tersulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun, di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkan hubungan ini. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka. Sebuah jeda waktu untuk introspeksi diri. Bukan hanya Youngjo, tapi juga dirinya.


*Kriing ... kriing... *Kriing

Suara telepon di pagi hari memecah keheningan apartemen Azumi. Memaksa gadis itu turun dari ranjang dsb melangkah malas mengangkatnya.

“Halo.”

Halo, Zuu. Ini Mama.

“Oh, Ma. Tumben nelpon Zuu pagi-pagi gini? Biasanya juga malem nelponnya.”

Mm ... Mama gak sabar aja mau ngabarin ini ke kamu, Nak.

“Wah, ada kabar bagus ya kayaknya?”

Iya, Zuu. Ngomong-ngomong minggu ini kamu bisa pulang, kan?

“Eh? Tiba-tiba minta Zuu pulang? Tumben banget sih, Ma.”

Hehe. Kamu inget Hwanwoong? Anak temen Mama yang pernah Mama ceritain ke kamu?

“Iya, inget Ma. Yang lagi kerja di luar negeri itu, kan?”

Yep, betul. Dan dia udah mutusin buat menetap di sini, Zuu.

“Waah. Keputusan yang bagus.”

Iya, kan. Makanya mumpung dia udah mantep menetap di sini, Mama sekalian atur pertemuan kamu sama dia. Kamu mau, ya.

Deg!

Azumi seketika terdiam mendengar kalimat terakhir dari mamanya. Hatinya nyeri mengingat hubungan lima tahunnya dengan Youngjo sama sekali belum diketahui oleh keluarga mereka.

Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Youngjo masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Youngjo untuk dikenalkan ke keluarganya, dan sudah berkali-kali pula lelaki itu menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang, yang bahkan untuk kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Zuu?

“O-oh, iya Ma?”

Kok diem? Gimana?

“Mm ... Oke. Zuu pulang minggu ini ya, Ma.”

Oke, sip. Sampai ketemu di rumah ya, Sayang.”

Azumi menaruh gagang telepon itu lesu. Ingin rasanya ia memprotes Tuhan tentang skenarioNya ini. Tapi apalah daya, dia hanyalah aktor yang memerankan perannya. Pergulatan batin dan pikirannya kembali terjadi.

Tak apakah aku melakukan ini?

Bagaimana dengan Youngjo? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku menemui dengan lelaki lain?

Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Youngjo pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.


Di tempat lain, Youngjo tak melepas pandangannya pada layar ponselnya barang sedetik. Pikirannya kosong, namun dalam hatinya ia sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Belum genap 24 jam mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Youngjo, udah makan belum?

**Zuu ... Youngjo kangen. **

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Youngjo selalu berkirim pesan dengan Azumi.

Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, Zuu, begitu ucapnya saat Zuu sempat protes karena merasa lelakinya itu terlalu posesif. Tak jarang Youngjo mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan Sang kekasih setiap harinya. Youngjo harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya.

Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Youngjo akan menyanggah ketika ada yang mengatainya seperti itu.

Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun, di waktu break mereka ini, Youngjo kembali berpikir ulang.

*Apakah caraku memang salah? Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? *

Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini.

Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura nyaman dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung ditemani temaram lampu studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini.

Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini. Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku harus ke Bandung dan aku gak dibolehin ke pergi sendiri.

Azumi *Temani aku ke Bandung, Jo. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu. *

Lama lelaki itu lama memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Youngjo Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput :)

Jawaban yang singkat memang, tapi jawaban itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Youngjo segera mengabari bosnya. Meminta *urgent cuti * untuk satu minggu ke depan. Entah kenapa hatinya begitu yakin untuk melakukan semua ini. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini, Youngjo merasa ini adalah langkah yang paling tepat untuknya ... dan juga Azumi.


Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Youngjo siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya mereka memutuskan untuk kembali bertemu.

Dua insan itu sedang tenggelam dalam pikiran masing-masing, ketika tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Youngjo. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Youngjo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menyantap pesanan mereka.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk di sana, karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Mereka menikmati makanan tanpa suara. Diam-diam Azumi mencuri pandang ke arah Youngjo yang masih lahap menyantap makanannya. Ia berdehem singkat, berusaha menjernihkan suaranya agar tak terdengar nervous. Gadis itu menarik napas panjang untuk memantapkan hatinya mengatakan hal ini pada Youngjo.

It’s now or never, Zuu, yakinnya dalam hati.

“Jo….”

“Hm…?” sahut Youngjo sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tahu enggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan Azumi dengan nada heran.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Jo.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu yang dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Youngjo kali ini benar-benar menghentikan aktivitas makannya.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya.

“Kamu sebenarnya mau ngomong apa sih, Zuu?” Youngjo yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu menjadi tak sabaran.

Sorry, Jo. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” tanya Youngjo bingung.

“Kita tetap ke Bandung. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung, Jo.”

“Oh, iya ya. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam untuk kesekian kalinya. . Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Youngjo. Bagi seorang Azumi ini adalah tindakan ternekat yang dilakukan olehnya semasa hidupnya.

Just ... tell me, girl,” ujar Youngjo semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Jo,” ujar Azumi to-the-point.

Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank. Ia tiba-tiba merasa kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Ha? Kamu ngomong apa, Zuu?”

“Aku mau ngajak kamu ketemu Papa sama Mama, Jo.”

What? Seriously?

“Maaf, Jo. Aku gak kepikiran cara lain selain ini.”

“Iya, tapi kan ... Seenggaknya kamu gak usah bohong, Zuu. Biar aku bisa siap-siap juga.”

“Kamu tahu sendiri, kan. Sikon kita kemarin lagi gak memungkinkan.”

Youngjo diam. Lelaki itu masih terlalu syok sampai ia tak sanggup mendebat Azumi. Hatinya campur aduk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Ia masih tak menyangka wanitanya yang ia kenal sangat kalem akan melakukan tindakan seberani ini.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Hembusan angin malam itu membuat siapapun yang diterpanya akan segera mencari kehangatan. Namun, pria bersurai hitam itu masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda untuk beranjak dari tempatnya. Ia masih setia mengistirahatkan dagunya di dinding batas dermaga. Matanya memandang tanpa makna satu dua kapal yang masih lalu lalang. Berbeda dengan suasana malam yang kian senyap, isi pikiran lelaki itu seperti tak mau diam. Otaknya masih mencoba mencerna apa yang terjadi sore tadi.

Youngjo mengembuskan napas berat entah untuk keberapa kali. Lelaki itu kembali mengacak kasar rambutnya. Penampilan Youngjo yang selalu tak luput dari kata perfect sudah tak bisa lagi menggambarkan dirinya saat ini. Hanya tersisa wajah frustasi yang kini terpampang jelas di paras tampan itu.

Kata-kata Azumi sore tadi masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu sepertinya. hanya menunggu waktu yang tepat. Ia pasti sudah mati-matian menahan egonya sejak lama. Dan bendungan kesabarannya itu akhirnya jebol sore tadi.

Tanpa Youngjo tanya detail permasalahannya, sebenarnya ia tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham apa masalah yang mereka hadapi selama ini.

Hubungan lima tahun mereka, tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, satu fakta yang kini dihadapi dua insan yang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Sudah menjadi santapan rutin mereka selama lima tahun ini.

Ia sudah lelah dengan semua ini. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Kesepakatan di antara keduanya sudah tercipta sejak mereka memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentang pekerjaan Sam yang menuntutnya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatas karena pekerjaan Sam sebagai seorang produser. Di masa-masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa paham, bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan pertemuan rutin dengan Sam yang hanya setiap sebulan sekali. Namun, di tahun kelima hubungan mereka ini, ia semakin jenuh dengan semuanya. Sam, yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Pertemuan rutin mereka masih sama, hanya sebulan sekali. Tapi setiap kali ia bertemu dengan Sam, ia tak pernah merasakan kehadirannya. Keinginannya untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak tersalurkan. Mereka memang bertemu, badan mereka berada di tempat yang sama. Namun Azumi merasa hati dan pikiran Sam tidak ada di sana. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan wanita di seberang mejanya. Tak jarang Sam lama menerima telepon, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Sam semakin menggila. Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Sam. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela. Lelaki yang bersamanya di masa-masa sulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkannya. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka, untuk introspeksi diri. Bukan hanya Sam, tapi juga dirinya. Baru sehari setelah mereka memutuskan untuk memberi waktu satu sama lain, ketika Azumi mendapat telepon dari mamanya. “Zuu, kamu minggu ini pulang ya,” “Eh? Tumben Mama minta Zuu pulang. Ada apa?” “Mama mau ngenalin Zuu ke anak temen Mama. Pulang ya, Nak.” DEG! Azumi terdiam saat mendengar hal itu. Ia seperti tertampar ketika mengingat hubungan lima tahunnya dengan Sam belum diketahui pihak keluarga mereka. “Zuu?” “Uh-oh, iya Ma.” “Gimana?” “Mm, oke Zuu pulang minggu ini, Ma.” “Oke. Sampai ketemu di rumah ya, Nak.” “Sip, Ma.”

Percakapan di telepon dengan mamanya kemarin masih terngiang dalam benak Azumi. Terjadilah adu opini antara pikiran dan hatinya.

Tak apakah aku melakukan ini? Bagaimana dengan Sam? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku akan blind date dengan orang lain? Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Sam pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.

Azumi kembali merasakan nyeri di hatinya ketika mengingat hal itu. Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Sam masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Sam untuk dikenalkan ke keluarganya, dan Sam juga sudah berkali-kali menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang yang bahkan bagi kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Di tempat lain, Sam sedang menatap layar ponselnya. Pikirannya kosong, namun hatinya sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Baru sehari mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Sam, udah makan belum?

Zuu ... aku kangen

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Sam selalu berkirim pesan dengan Azumi. Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, begitu pikirnya. Tak jarang lelaki itu mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan sang gadis setiap harinya. Sam harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya. Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Sam akan menyanggahnya ketika ada yang mengatainya seperti itu. Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun di waktu break mereka ini, Sam kembali berpikir ulang.

Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini. Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura baik-baik saja dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung di studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini. Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini.

Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku gak dibolehin ke Bandung sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Sam. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Sam Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput.

Jawaban yang singkat memang, tapi itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Segera lelaki itu mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk seminggu ke depan. Entah kenapa hatinya mantap untuk melakukan ini semua. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini Sam merasa ini adalah jalan yang paling tepat untuknya dan Azumi.

Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Sam siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya kembali bertemu.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Sam. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Sam sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menikmati makanan yang mereka pesan.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Dua insan itu menikmati makanan mereka dalam diam, sampai Azumi mulai memecah keheningan di antara mereka. Setelah sebelumnya ragu-ragu,akhirnya wanita itu memantapkan tekad.

It’s now or never, Azumi, yakinnya dalam hati.

“Sam….”

“Hm…?” gumam Sam sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tau nggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan keheranan.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Sam.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Sam bertambah heran dengan pertanyaan Zuu.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya itu.

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya, Zuu?” Sam yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu jadi tak sabaran.

“Sorry. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang, Sam.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” “Kita tetap ke Bandung, Sam. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung.”

“Iya juga. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam. Hatinya kembali ragu untuk mengatakannya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Sam. Hal ternekat yang dilakukan oleh seorang Azumi.

“Just ... tell me, girl,” ucap Sam semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Sam,” ujar Azumi to-the-point.

Mendengar hal itu Sam langsung menghentikan aktivitas makannya. Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank, masih kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu tuh enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Youngjo mengembuskan napas kasar entah untuk keberapa kalinya. Kata-kata Azumi kemarin sore masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Gadis itu menahan egonya sejak lama, dan kemarin sore adalah puncak kesabarannya.

Lelaki itu tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham apa masalah mereka selama ini. Hubungan lima tahun itu tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, hal itu juga berlaku pada dua insan yang kini tak lagi muda.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Seperti sekarang ini, kemarin sore adalah deklarasi ke sekian kalinya dari Azumi. Ia sudah lelah dengan semua ini. Sangat lelah. Ia mendamba kepastian. Ia menginginkan sebuah ketegasan untuk mereka. Mau dibawa kemana hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun sepertinya tak pernah Youngjo tunggu.

Kesepakatan di antara keduanya sudah tercipta sejak mereka memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentang pekerjaan Sam yang menuntutnya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatas karena pekerjaan Sam sebagai seorang produser. Di masa-masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa paham, bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan pertemuan rutin dengan Sam yang hanya setiap sebulan sekali. Namun, di tahun kelima hubungan mereka ini, ia semakin jenuh dengan semuanya. Sam, yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Pertemuan rutin mereka masih sama, hanya sebulan sekali. Tapi setiap kali ia bertemu dengan Sam, ia tak pernah merasakan kehadirannya. Keinginannya untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak tersalurkan. Mereka memang bertemu, badan mereka berada di tempat yang sama. Namun Azumi merasa hati dan pikiran Sam tidak ada di sana. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan wanita di seberang mejanya. Tak jarang Sam lama menerima telepon, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Sam semakin menggila. Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Sam. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela. Lelaki yang bersamanya di masa-masa sulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkannya. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka, untuk introspeksi diri. Bukan hanya Sam, tapi juga dirinya. Baru sehari setelah mereka memutuskan untuk memberi waktu satu sama lain, ketika Azumi mendapat telepon dari mamanya. “Zuu, kamu minggu ini pulang ya,” “Eh? Tumben Mama minta Zuu pulang. Ada apa?” “Mama mau ngenalin Zuu ke anak temen Mama. Pulang ya, Nak.” DEG! Azumi terdiam saat mendengar hal itu. Ia seperti tertampar ketika mengingat hubungan lima tahunnya dengan Sam belum diketahui pihak keluarga mereka. “Zuu?” “Uh-oh, iya Ma.” “Gimana?” “Mm, oke Zuu pulang minggu ini, Ma.” “Oke. Sampai ketemu di rumah ya, Nak.” “Sip, Ma.”

Percakapan di telepon dengan mamanya kemarin masih terngiang dalam benak Azumi. Terjadilah adu opini antara pikiran dan hatinya.

Tak apakah aku melakukan ini? Bagaimana dengan Sam? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku akan blind date dengan orang lain? Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Sam pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.

Azumi kembali merasakan nyeri di hatinya ketika mengingat hal itu. Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Sam masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Sam untuk dikenalkan ke keluarganya, dan Sam juga sudah berkali-kali menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang yang bahkan bagi kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Di tempat lain, Sam sedang menatap layar ponselnya. Pikirannya kosong, namun hatinya sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Baru sehari mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Sam, udah makan belum?

Zuu ... aku kangen

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Sam selalu berkirim pesan dengan Azumi. Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, begitu pikirnya. Tak jarang lelaki itu mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan sang gadis setiap harinya. Sam harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya. Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Sam akan menyanggahnya ketika ada yang mengatainya seperti itu. Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun di waktu break mereka ini, Sam kembali berpikir ulang.

Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini. Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura baik-baik saja dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung di studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini. Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini.

Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku gak dibolehin ke Bandung sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Sam. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Sam Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput.

Jawaban yang singkat memang, tapi itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Segera lelaki itu mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk seminggu ke depan. Entah kenapa hatinya mantap untuk melakukan ini semua. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini Sam merasa ini adalah jalan yang paling tepat untuknya dan Azumi.

Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Sam siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya kembali bertemu.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Sam. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Sam sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menikmati makanan yang mereka pesan.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Dua insan itu menikmati makanan mereka dalam diam, sampai Azumi mulai memecah keheningan di antara mereka. Setelah sebelumnya ragu-ragu,akhirnya wanita itu memantapkan tekad.

It’s now or never, Azumi, yakinnya dalam hati.

“Sam….”

“Hm…?” gumam Sam sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tau nggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan keheranan.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Sam.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Sam bertambah heran dengan pertanyaan Zuu.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya itu.

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya, Zuu?” Sam yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu jadi tak sabaran.

“Sorry. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang, Sam.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” “Kita tetap ke Bandung, Sam. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung.”

“Iya juga. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam. Hatinya kembali ragu untuk mengatakannya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Sam. Hal ternekat yang dilakukan oleh seorang Azumi.

“Just ... tell me, girl,” ucap Sam semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Sam,” ujar Azumi to-the-point.

Mendengar hal itu Sam langsung menghentikan aktivitas makannya. Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank, masih kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, sih, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Youngjo mengembuskan napas kasar entah untuk keberapa kalinya. Kata-kata Azumi kemarin sore masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Nampaknya gadis itu sudah lama menahan egonya, dan kemarin sore lah puncak kesabarannya.

Youngjo tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham apa masalah mereka selama ini. Lima tahun hubungan itu tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, hal itu juga berlaku pada dua insan yang sekarang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Seperti sekarang ini, kemarin sore adalah deklarasi ke sekian kalinya dari Azumi. Gadis itu sudah lelah dengan semua ini. Sangat lelah. Ia ingin sebuah kepastian. Ia hanya ingin sebuah ketegasan untuk hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun tidak Youngjo ditunggu.

Mungkin ... kita memang sudah salah sedari awal, Jo.

Kesepakatan di antara keduanya sudah tercipta sejak mereka memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentang pekerjaan Sam yang menuntutnya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatas karena pekerjaan Sam sebagai seorang produser. Di masa-masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa paham, bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan pertemuan rutin dengan Sam yang hanya setiap sebulan sekali. Namun, di tahun kelima hubungan mereka ini, ia semakin jenuh dengan semuanya. Sam, yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Pertemuan rutin mereka masih sama, hanya sebulan sekali. Tapi setiap kali ia bertemu dengan Sam, ia tak pernah merasakan kehadirannya. Keinginannya untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak tersalurkan. Mereka memang bertemu, badan mereka berada di tempat yang sama. Namun Azumi merasa hati dan pikiran Sam tidak ada di sana. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan wanita di seberang mejanya. Tak jarang Sam lama menerima telepon, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Sam semakin menggila. Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Sam. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela. Lelaki yang bersamanya di masa-masa sulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkannya. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka, untuk introspeksi diri. Bukan hanya Sam, tapi juga dirinya. Baru sehari setelah mereka memutuskan untuk memberi waktu satu sama lain, ketika Azumi mendapat telepon dari mamanya. “Zuu, kamu minggu ini pulang ya,” “Eh? Tumben Mama minta Zuu pulang. Ada apa?” “Mama mau ngenalin Zuu ke anak temen Mama. Pulang ya, Nak.” DEG! Azumi terdiam saat mendengar hal itu. Ia seperti tertampar ketika mengingat hubungan lima tahunnya dengan Sam belum diketahui pihak keluarga mereka. “Zuu?” “Uh-oh, iya Ma.” “Gimana?” “Mm, oke Zuu pulang minggu ini, Ma.” “Oke. Sampai ketemu di rumah ya, Nak.” “Sip, Ma.”

Percakapan di telepon dengan mamanya kemarin masih terngiang dalam benak Azumi. Terjadilah adu opini antara pikiran dan hatinya.

Tak apakah aku melakukan ini? Bagaimana dengan Sam? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku akan blind date dengan orang lain? Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Sam pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.

Azumi kembali merasakan nyeri di hatinya ketika mengingat hal itu. Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Sam masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Sam untuk dikenalkan ke keluarganya, dan Sam juga sudah berkali-kali menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang yang bahkan bagi kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Di tempat lain, Sam sedang menatap layar ponselnya. Pikirannya kosong, namun hatinya sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Baru sehari mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Sam, udah makan belum?

Zuu ... aku kangen

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Sam selalu berkirim pesan dengan Azumi. Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, begitu pikirnya. Tak jarang lelaki itu mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan sang gadis setiap harinya. Sam harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya. Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Sam akan menyanggahnya ketika ada yang mengatainya seperti itu. Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun di waktu break mereka ini, Sam kembali berpikir ulang.

Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini. Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura baik-baik saja dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung di studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini. Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini.

Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku gak dibolehin ke Bandung sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Sam. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Sam Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput.

Jawaban yang singkat memang, tapi itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Segera lelaki itu mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk seminggu ke depan. Entah kenapa hatinya mantap untuk melakukan ini semua. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini Sam merasa ini adalah jalan yang paling tepat untuknya dan Azumi.

Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Sam siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya kembali bertemu.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Sam. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Sam sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menikmati makanan yang mereka pesan.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Dua insan itu menikmati makanan mereka dalam diam, sampai Azumi mulai memecah keheningan di antara mereka. Setelah sebelumnya ragu-ragu,akhirnya wanita itu memantapkan tekad.

It’s now or never, Azumi, yakinnya dalam hati.

“Sam….”

“Hm…?” gumam Sam sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tau nggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan keheranan.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Sam.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Sam bertambah heran dengan pertanyaan Zuu.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya itu.

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya, Zuu?” Sam yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu jadi tak sabaran.

“Sorry. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang, Sam.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” “Kita tetap ke Bandung, Sam. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung.”

“Iya juga. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam. Hatinya kembali ragu untuk mengatakannya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Sam. Hal ternekat yang dilakukan oleh seorang Azumi.

“Just ... tell me, girl,” ucap Sam semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Sam,” ujar Azumi to-the-point.

Mendengar hal itu Sam langsung menghentikan aktivitas makannya. Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank, masih kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Jo?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, sih, Jo.”

“I think ... we really need a break.”

Youngjo mengembuskan napas kasar entah untuk keberapa kalinya. Kata-kata Azumi kemarin sore masih melekat kuat dalam benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Nampaknya gadis itu sudah lama menahan egonya, dan kemarin sore lah puncak kesabarannya.

Youngjo tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Lelaki itu sangat paham apa masalah mereka selama ini. Lima tahun hubungan itu tak bisa membuat Youngjo serta merta menutup mata. Lima tahun yang sebenarnya hanyalah sebuah angka. Lamanya suatu hubungan takkan pernah bisa menjamin kuatnya suatu ikatan, bukan? Ya, hal itu juga berlaku pada dua insan yang sekarang tak lagi muda itu.

Keretakan hubungan mereka yang dipicu keributan-keributan kecil. Cekcok masalah sepele yang selalu berakhir dengan perang dingin. Seperti sekarang ini, kemarin sore adalah deklarasi ke sekian kalinya dari Azumi. Gadis itu sudah lelah dengan semua ini. Sangat lelah. Ia ingin sebuah kepastian. Ia hanya ingin sebuah ketegasan untuk hubungan mereka ke depannya. Satu hal yang sangat ia tunggu, namun tidak Youngjo ditunggu.

Mungkin ... kita memang sudah salah sedari awal, Jo.

Kesepakatan di antara keduanya sudah tercipta sejak mereka memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentang pekerjaan Sam yang menuntutnya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatas karena pekerjaan Sam sebagai seorang produser. Di masa-masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa paham, bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan pertemuan rutin dengan Sam yang hanya setiap sebulan sekali. Namun, di tahun kelima hubungan mereka ini, ia semakin jenuh dengan semuanya. Sam, yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Pertemuan rutin mereka masih sama, hanya sebulan sekali. Tapi setiap kali ia bertemu dengan Sam, ia tak pernah merasakan kehadirannya. Keinginannya untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak tersalurkan. Mereka memang bertemu, badan mereka berada di tempat yang sama. Namun Azumi merasa hati dan pikiran Sam tidak ada di sana. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan wanita di seberang mejanya. Tak jarang Sam lama menerima telepon, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Sam semakin menggila. Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Sam. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela. Lelaki yang bersamanya di masa-masa sulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkannya. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka, untuk introspeksi diri. Bukan hanya Sam, tapi juga dirinya. Baru sehari setelah mereka memutuskan untuk memberi waktu satu sama lain, ketika Azumi mendapat telepon dari mamanya. “Zuu, kamu minggu ini pulang ya,” “Eh? Tumben Mama minta Zuu pulang. Ada apa?” “Mama mau ngenalin Zuu ke anak temen Mama. Pulang ya, Nak.” DEG! Azumi terdiam saat mendengar hal itu. Ia seperti tertampar ketika mengingat hubungan lima tahunnya dengan Sam belum diketahui pihak keluarga mereka. “Zuu?” “Uh-oh, iya Ma.” “Gimana?” “Mm, oke Zuu pulang minggu ini, Ma.” “Oke. Sampai ketemu di rumah ya, Nak.” “Sip, Ma.”

Percakapan di telepon dengan mamanya kemarin masih terngiang dalam benak Azumi. Terjadilah adu opini antara pikiran dan hatinya.

Tak apakah aku melakukan ini? Bagaimana dengan Sam? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku akan blind date dengan orang lain? Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Sam pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.

Azumi kembali merasakan nyeri di hatinya ketika mengingat hal itu. Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Sam masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Sam untuk dikenalkan ke keluarganya, dan Sam juga sudah berkali-kali menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang yang bahkan bagi kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Di tempat lain, Sam sedang menatap layar ponselnya. Pikirannya kosong, namun hatinya sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Baru sehari mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Sam, udah makan belum?

Zuu ... aku kangen

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Sam selalu berkirim pesan dengan Azumi. Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, begitu pikirnya. Tak jarang lelaki itu mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan sang gadis setiap harinya. Sam harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya. Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Sam akan menyanggahnya ketika ada yang mengatainya seperti itu. Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun di waktu break mereka ini, Sam kembali berpikir ulang.

Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini. Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura baik-baik saja dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung di studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini. Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini.

Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku gak dibolehin ke Bandung sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Sam. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Sam Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput.

Jawaban yang singkat memang, tapi itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Segera lelaki itu mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk seminggu ke depan. Entah kenapa hatinya mantap untuk melakukan ini semua. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini Sam merasa ini adalah jalan yang paling tepat untuknya dan Azumi.

Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Sam siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya kembali bertemu.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Sam. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Sam sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menikmati makanan yang mereka pesan.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Dua insan itu menikmati makanan mereka dalam diam, sampai Azumi mulai memecah keheningan di antara mereka. Setelah sebelumnya ragu-ragu,akhirnya wanita itu memantapkan tekad.

It’s now or never, Azumi, yakinnya dalam hati.

“Sam….”

“Hm…?” gumam Sam sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tau nggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan keheranan.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Sam.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Sam bertambah heran dengan pertanyaan Zuu.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya itu.

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya, Zuu?” Sam yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu jadi tak sabaran.

“Sorry. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang, Sam.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” “Kita tetap ke Bandung, Sam. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung.”

“Iya juga. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam. Hatinya kembali ragu untuk mengatakannya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Sam. Hal ternekat yang dilakukan oleh seorang Azumi.

“Just ... tell me, girl,” ucap Sam semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Sam,” ujar Azumi to-the-point.

Mendengar hal itu Sam langsung menghentikan aktivitas makannya. Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank, masih kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.

“Sebenarnya kamu anggap aku ini apa sih, Rav?”

“Kamu emang ada di depan aku, tapi di saat yang sama aku ngerasa kamu enggak ada.”

“Aku ... cuma capek, Rav.”

“I think ... we need a break.”

Ravn mengembuskan napas kasar entah untuk keberapa kalinya. Kata-kata Azumi kemarin sore masih melekat kuat di benaknya. Kekasihnya itu meminta break secara tiba-tiba. Ah, bukan tiba-tiba. Nampaknya gadis itu sudah lama menahan egonya, dan kemarin sore adalah puncak kesabarannya.

Ia tahu betul alasan di balik Azumi mengatakan semua itu. Hubungan mereka memang sudah berumur lima tahun. Lima tahun yang bisa dibilang tak pernah mulus. Karena ada saja hal yang membawa mereka ke sebuah perdebatan kecil yang berujung menjadi perang dingin. Kesepakatan di antara keduanya sudah tercipta sejak mereka memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Tentang pekerjaan Sam yang menuntutnya berada hampir 24/7 di studionya membuat mereka tak seperti pasangan-pasangan kebanyakan. Waktu mereka untuk bertemu terbatas karena pekerjaan Sam sebagai seorang produser. Di masa-masa awal hubungan mereka, Azumi masih bisa paham, bahkan wanita itu sudah terbiasa dengan pertemuan rutin dengan Sam yang hanya setiap sebulan sekali. Namun, di tahun kelima hubungan mereka ini, ia semakin jenuh dengan semuanya. Sam, yang memang terkenal workaholic semakin jarang berkomunikasi dengannya. Pertemuan rutin mereka masih sama, hanya sebulan sekali. Tapi setiap kali ia bertemu dengan Sam, ia tak pernah merasakan kehadirannya. Keinginannya untuk meluapkan rasa rindu yang tertahan selama sebulan itu seperti tak tersalurkan. Mereka memang bertemu, badan mereka berada di tempat yang sama. Namun Azumi merasa hati dan pikiran Sam tidak ada di sana. Ketika mereka bertemu, lelaki itu lebih sering menatap layar ponselnya daripada mengobrol dengan wanita di seberang mejanya. Tak jarang Sam lama menerima telepon, seakan Azumi sedang tidak menunggunya. The workaholic Sam semakin menggila. Azumi hanya lelah, ia merasakan hubungan ini berubah menjadi toxic relationship. Bohong, jika ia tak berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Sam. Entah sudah berapa kali ia memikirkan hal itu. Tapi hatinya masih tak rela. Lelaki yang bersamanya di masa-masa sulitnya itu sudah mengambil hampir seluruh ruang hati Azumi. Terlalu berat untuk mengambil keputusan itu. Namun di satu sisi ia terlalu lelah untuk melanjutkannya. Saat itulah, terlintas di pikirannya untuk mengambil jeda di antara mereka, untuk introspeksi diri. Bukan hanya Sam, tapi juga dirinya. Baru sehari setelah mereka memutuskan untuk memberi waktu satu sama lain, ketika Azumi mendapat telepon dari mamanya. “Zuu, kamu minggu ini pulang ya,” “Eh? Tumben Mama minta Zuu pulang. Ada apa?” “Mama mau ngenalin Zuu ke anak temen Mama. Pulang ya, Nak.” DEG! Azumi terdiam saat mendengar hal itu. Ia seperti tertampar ketika mengingat hubungan lima tahunnya dengan Sam belum diketahui pihak keluarga mereka. “Zuu?” “Uh-oh, iya Ma.” “Gimana?” “Mm, oke Zuu pulang minggu ini, Ma.” “Oke. Sampai ketemu di rumah ya, Nak.” “Sip, Ma.”

Percakapan di telepon dengan mamanya kemarin masih terngiang dalam benak Azumi. Terjadilah adu opini antara pikiran dan hatinya.

Tak apakah aku melakukan ini? Bagaimana dengan Sam? Apakah dia takkan marah jika ia tahu aku akan blind date dengan orang lain? Ah, mungkin saja dia tetap masa bodoh. Sam pasti masih sibuk dengan musik dan studionya.

Azumi kembali merasakan nyeri di hatinya ketika mengingat hal itu. Ya, belum ada satu pun anggota keluarga mereka yang mengetahui hubungan ini. Bukannya ia tak mau mengeksposnya, tapi karena Sam masih belum siap untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Sudah berkali-kali ia membujuk Sam untuk dikenalkan ke keluarganya, dan Sam juga sudah berkali-kali menolak. Alasannya? Apalagi kalau bukan waktu senggang yang bahkan bagi kekasihnya sendiri sangat sulit untuk ia luangkan.

Di tempat lain, Sam sedang menatap layar ponselnya. Pikirannya kosong, namun hatinya sedang berharap ada notifikasi muncul dari wanitanya. Tapi, nihil. Baru sehari mereka memutuskan untuk break dan sekarang ia di sini dengan semua pikiran yang saling beradu dalam kepalanya. Berkali-kali jemarinya mengetikkan sesuatu di kolom pesan untuk Azumi.

Pagi, Hon. Kamu lagi apa?

Zuu-nya Sam, udah makan belum?

Zuu ... aku kangen

Ketikan itu hanyalah menjadi sebuah ketikan tak terkirim yang berakhir dalam ponsel. Entah karena lelaki itu masih berusaha menjaga image-nya atau karena memang ia belum berani merusuhi kembali wanitanya itu.

Padahal selama ini, pesan-pesan darinya tak pernah putus. Dari pagi sampai menjelang tidur, Sam selalu berkirim pesan dengan Azumi. Sebagai ganti karena kita jarang ketemu, begitu pikirnya. Tak jarang lelaki itu mengharuskan Azumi untuk mengirim foto kegiatan sang gadis setiap harinya. Sam harus tahu Azumi sedang di mana, apa yang dikerjakan, dan dengan siapa dia melakukan kegiatannya. Posesif? Nope! Dengan secepat kilat Sam akan menyanggahnya ketika ada yang mengatainya seperti itu. Ya, memang aku pencemburu. Tapi aku bukan posesif. Aku hanya takut kehilangan Azumi. Selalu begitu jawabnya.

Namun di waktu break mereka ini, Sam kembali berpikir ulang.

Sepertinya caraku bukan cara yang tepat ya? Azumi sepertinya tak nyaman dengan cara ini. Tapi bukankah dia enjoy saja selama ini? Atau ... dia hanya pura-pura baik-baik saja dengan semua perlakuanku?

Kembali lelaki itu merenung di studio. Mencoba mengingat perjalanan hubungannya dengan Azumi hingga mereka sampai di tahap ini. Ah, bahkan keluarga mereka belum tahu tentang hubungan ini.

Apakah itu salah satu sebabnya?

Ting!

Lamunannya seketika buyar ketika ia mendengar notifikasi dari ponsel. Matanya membulat ketika ia melihat siapa yang mengirimkan pesan hampir tengah malam begini.

Azumi Maaf, aku tarik kata-kataku buat break dulu. Aku gak dibolehin ke Bandung sendiri.

Azumi Temani aku ke Bandung, Sam. Mau ambil beberapa barang yang tertinggal di apartemenku dulu.

Lama lelaki itu memandangi layar ponselnya, sebelum akhirnya ia mengetikkan beberapa kata untuk menjawab.

Sam Oke. Kabari aja jam berapa. Nanti aku jemput.

Jawaban yang singkat memang, tapi itu menjadi balasan paling cepat selama ia berkirim pesan dengan Azumi. Segera lelaki itu mengabari bosnya. Meminta urgent cuti untuk seminggu ke depan. Entah kenapa hatinya mantap untuk melakukan ini semua. Satu hal yang biasanya sangat berat untuk ia lakukan, meninggalkan studionya. Namun saat ini Sam merasa ini adalah jalan yang paling tepat untuknya dan Azumi.

Suara gesekan roda kereta api dengan relnya setia menemani perjalanan Azumi dan Sam siang itu. Mata Azumi tertuju pada pemandangan yang terbingkai oleh jendela kereta. Tak ada percakapan berarti di antara keduanya. Dua insan itu duduk berdampingan dalam diam. Awkward. Ya, siapa yang tak merasa canggung ketika dua hari sebelumnya, salah satu dari mereka mendeklarasikan perang dingin, dan dua hari setelahnya kembali bertemu.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba Azumi merasakan ada yang menarik ujung bajunya. Ia yang sedang menopang dagu dengan tangan lainnya langsung menoleh ke arah lelaki yang duduk di sampingnya.

“Kenapa?” terlontar pertanyaan pertama dari mulut Azumi selama perjalanan itu.

“Aku lapar, Zuu,” ujar Sam. Dia tak sempat sarapan tadi pagi karena tak ingin terlambat menjemput tuan putrinya. Entah kenapa lelaki itu menjadi lebih sering memikirkan perasaan Azumi setelah break singkat mereka kemarin.

“Mm ... ke gerbong restoran?”

“Oke,” sahut Sam sambil beranjak dari tempat duduknya.

Keduanya menyusuri lorong untuk mencapai gerbong restoran. Setelah memesan dan mendapatkan makanan, mereka segera mencari tempat duduk agar segera dapat menikmati makanan yang mereka pesan.

Tak butuh waktu lama mendapatkan tempat duduk karena saat itu tak banyak penumpang yang menggunakan gerbong restoran. Dua insan itu menikmati makanan mereka dalam diam, sampai Azumi mulai memecah keheningan di antara mereka. Setelah sebelumnya ragu-ragu,akhirnya wanita itu memantapkan tekad.

It’s now or never, Azumi, yakinnya dalam hati.

“Sam….”

“Hm…?” gumam Sam sambil tetap mengunyah makanannya.

“Kamu ... sebenarnya tau nggak sih kita mau ke mana?”

“Maksudnya? Kamu bilang mau ke Bandung kan kemarin,” lelaki itu menanggapi perkataan keheranan.

“Iya, ke Bandung. Maksud aku lokasi tepatnya, Sam.”

“Kan kemarin udah bilang mau ke apartemenmu dulu buat ambil barang-barang kamu yang ketinggalan, Zuu. Masak kamu lupa, sih?” Sam bertambah heran dengan pertanyaan Zuu.

Azumi menggigit bibir bawahnya, ia kembali ragu untuk mengatakan hal ini pada pria di depannya itu.

“Kamu mau ngomong apa sih sebenarnya, Zuu?” Sam yang menangkap gelagat aneh dari wanitanya itu jadi tak sabaran.

“Sorry. Tapi aku bohong pas aku bilang mau ke apartemen buat ambil barang-barang, Sam.”

“Maksud kamu? Kita gak ke Bandung?” “Kita tetap ke Bandung, Sam. Ini kan kita lagi naik kereta jurusan Bandung.”

“Iya juga. Terus kita mau ke mana kalo gak ke apartemen kamu?”

Azumi kembali terdiam. Hatinya kembali ragu untuk mengatakannya. Deru jantungnya berpacu cepat hanya untuk memberitahukan hal itu pada Sam. Hal ternekat yang dilakukan oleh seorang Azumi.

“Just ... tell me, girl,” ucap Sam semakin tidak sabar.

“Kita ... mau ke rumah orang tuaku, Sam,” ujar Azumi to-the-point.

Mendengar hal itu Sam langsung menghentikan aktivitas makannya. Sekarang giliran lelaki itu yang membisu. Pikirannya seketika blank, masih kesulitan mencerna kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu.