haruvi

“Aku kesepian, Rav. Aku rindu momen itu, aku rindu kita.”

“Mungkin cerita kita sudah usai sampai di sini ya. Mungkin bagimu, hadirku yang sekilas itu sudah cukup mengobati lukamu.”

“Tapi, kenapa aku tidak merasakan hal yang sama, Rav? Mengapa Tuhan berlaku tak adil dengan kita? Ah, denganku lebih tepatnya.”

“Mengapa Tuhan membiarkan rasa itu bersemayam di hatiku, tapi tidak di hatimu, Rav?”

Langit biru dengan pemandangan laut menjadi saksi bisu keluh kesah seorang Seoho. Hembusan angin yang menerpa rambut coklat pria berparas tampan itu membelainya lembut seolah ia sedang berusaha menenangkan gusar hati Seoho.

Semburat oranye mulai terlihat di antara birunya langit namun Seoho masih belum juga beranjak dari tempatnya. Rasa hati masih enggan meninggalkan tempat penuh memori bersama Ravn, seseorang yang pernah menghangatkan hari-hari kelabunya.


5 years ago ...

Hembusan angin dingin yang lolos dari rapatnya jendela kamar apartemen Seoho membuat si pemilik lebih merapatkan tubuhnya ke seseorang di depannya.

Sudut bibir Ravn tertarik ke atas melihat kekasihnya itu mendusel manja di pelukannya. Ia kemudian menarik tubuh Seoho merapat dengan tubuhnya sembari menaikkan selimut untuk menutupi sempurna tubuh mereka.

Hari ini adalah hari ketujuh mereka sepakat untuk tinggal bersama. Setelah melewati sengketa Seoho-Ravn yang lumayan sengit, akhirnya perdebatan itu dimenangkan oleh Seoho yang memang keukeuh meminta Ravn untuk tinggal bersamanya. Bukan tanpa alasan, tetapi lelaki itu hanya tak tega melihat kekasihnya yang sudah penat karena kerjaan harus bertambah lelah karena harus pulang mengendarai mobil dengan jarak yang tidak dekat.

Ya, mereka adalah CEO dan Co-CEO perusahaan ONUS. Hubungan itulah yang mereka tunjukkan ke semua staff dan karyawan. Namun status itu akan otomatis berubah menjadi lover ketika mereka hanya berdua.

Sebuah rasa bernama cinta itu memang tak pernah mengenal siapa dan kenapa. Cinta memiliki cara unik untuk mengetuk hati siapa saja yang mengizinkannya. Seperti cara cinta mempertemukan hati dua insan tampan itu.

Atensi-atensi kecil yang diberikan satu sama lain ketika kelelahan. Kehadiran mereka ketika hanya tersisa penat di tubuh keduanya. Sebuah tepukan ringan di punggung untuk menguatkan yang tak jarang kini berubah menjadi belaian dan pelukan.

Semua rutinitas itu tanpa mereka sadari telah menjadi candu. Kini dua insan itu akan merasakan kekosongan, bahkan hanya karena netra mereka tak bertatap dalam satu jam.


Kata orang tak ada hubungan yang tak mencicipi pahitnya ujian. Mau tak mau setiap pasangan harus melewati fase menyebalkan itu. Hasil ujian tersebut akan menjadi penentu hubungan mereka. Lulus kah? Atau malah gagal? Semua itu tergantung bagaimana setiap pasangan menyikapinya. Sayangnya pilihan pertama bukanlah untuk Seoho dan Ravn.

Seorang sekretaris pribadi CEO di rekrut oleh perusahaan beberapa waktu lalu. Namanya Rina, gadis berparas cantik dengan tubuh proposional itu dalam sekejap menyita perhatian orang kantor, tak terkecuali Ravn. Rina adalah gadis yang cekatan, tak ada cela di semua tugasnya. Sikapnya yang ramah dan murah senyum berhasil mengambil hati semua orang.

Akhir-akhir jni ada yang mengatakan, 'hanya kesempurnaan Rina yang bisa bersanding dengan kesempurnaan Ravn'. Dan dari situlah terdengar desas-desus tentang hubungan mereka. Melihat dua muda-mudi itu berdiskusi dalam jarak dekat bak melihat dua orang kekasih sedang bercengkerama. Tak ada yang tak menyetujui hubungan mereka berdua. Para staff memberikan dukungan penuh, bahkan tak jarang dari mereka terang-terang menanyakan pada Rina 'kapan tanggal nikahnya'. Sebuah pertanyaan yang selalu sukses membuat wajah manis gadis itu bersemu merah. Orang kantor makin gencar melancarkan aksi 'jodoh-jodohan' mereka, bahkan saat kedua korban perjodohan itu belum kunjung memberikan konfirmasi.

Hampir semua staff menunggu diresmikannya hubungan Ravn-Rina. Hampir semua staff memberikan restu dan dukungannuya. Ya, hampir. Karena di tengah panasnya isu itu, diam-diam ada hati yang semakin panas mendengar semua celotehan setiap harinya.

Firasat Seoho sudah tak nyaman sejak diumumkan akan ada sekretaris baru unyuj perusahaannya. Dan sekarang semua firasatnya terbukti nyata. Sejak Rina menjadi sekretaris pribadi Ravn, intensitas interaksi Ravn-Seoho by

! [image] (https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fpbs.twimg.com%2Fmedia%2FEMDnL09XkAA1sOI.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Ftwitter.com%2Fbseojo%2Fstatus%2F1207218913391628288&tbnid=SG4eBA_efqMmFM&vet=1&docid=lWsptkFkJG3Y1M&w=675&h=1200&source=sh%2Fx%2Fim)

“Aku kesepian, Rav. Aku rindu momen itu, aku rindu kita.”

“Mungkin cerita kita sudah usai sampai di sini ya. Mungkin bagimu, hadirku yang sekilas itu sudah cukup mengobati lukamu.”

“Tapi, kenapa aku tidak merasakan hal yang sama, Rav? Mengapa Tuhan berlaku tak adil dengan kita? Ah, denganku lebih tepatnya.”

“Mengapa Tuhan membiarkan rasa itu bersemayam di hatiku, tapi tidak di hatimu, Rav?”

Langit biru dengan pemandangan laut menjadi saksi bisu keluh kesah seorang Seoho. Hembusan angin yang menerpa rambut coklat pria berparas tampan itu membelainya lembut seolah ia sedang berusaha menenangkan gusar hati Seoho.

Semburat oranye mulai terlihat di antara birunya langit namun Seoho masih belum juga beranjak dari tempatnya. Rasa hati masih enggan meninggalkan tempat penuh memori bersama Ravn, seseorang yang pernah menghangatkan hari-hari kelabunya.


5 years ago ...

Hembusan angin dingin yang lolos dari rapatnya jendela kamar apartemen Seoho membuat si pemilik lebih merapatkan tubuhnya ke seseorang di depannya.

Sudut bibir Ravn tertarik ke atas melihat kekasihnya itu mendusel manja di pelukannya. Ia kemudian menarik tubuh Seoho merapat dengan tubuhnya sembari menaikkan selimut untuk menutupi sempurna tubuh mereka.

Hari ini adalah hari ketujuh mereka sepakat untuk tinggal bersama. Setelah melewati sengketa Seoho-Ravn yang lumayan sengit, akhirnya perdebatan itu dimenangkan oleh Seoho yang memang keukeuh meminta Ravn untuk tinggal bersamanya. Bukan tanpa alasan, tetapi lelaki itu hanya tak tega melihat kekasihnya yang sudah penat karena kerjaan harus bertambah lelah karena harus pulang mengendarai mobil dengan jarak yang tidak dekat.

Ya, mereka adalah CEO dan Co-CEO perusahaan ONUS. Hubungan itulah yang mereka tunjukkan ke semua staff dan karyawan. Namun status itu akan otomatis berubah menjadi lover ketika mereka hanya berdua.

Sebuah rasa bernama cinta itu memang tak pernah mengenal siapa dan kenapa. Cinta memiliki cara unik untuk mengetuk hati siapa saja yang mengizinkannya. Seperti cara cinta mempertemukan hati dua insan tampan itu.

Atensi-atensi kecil yang diberikan satu sama lain ketika kelelahan. Kehadiran mereka ketika hanya tersisa penat di tubuh keduanya. Sebuah tepukan ringan di punggung untuk menguatkan yang tak jarang kini berubah menjadi belaian dan pelukan.

Semua rutinitas itu tanpa mereka sadari telah menjadi candu. Kini dua insan itu akan merasakan kekosongan, bahkan hanya karena netra mereka tak bertatap dalam satu jam.


Kata orang tak ada hubungan yang tak mencicipi pahitnya ujian. Mau tak mau setiap pasangan harus melewati fase menyebalkan itu. Hasil ujian tersebut akan menjadi penentu hubungan mereka. Lulus kah? Atau malah gagal? Semua itu tergantung bagaimana setiap pasangan menyikapinya. Sayangnya pilihan pertama bukanlah untuk Seoho dan Ravn.

Seorang sekretaris pribadi CEO di rekrut oleh perusahaan beberapa waktu lalu. Namanya Rina, gadis berparas cantik dengan tubuh proposional itu dalam sekejap menyita perhatian orang kantor, tak terkecuali Ravn. Rina adalah gadis yang cekatan, tak ada cela di semua tugasnya. Sikapnya yang ramah dan murah senyum berhasil mengambil hati semua orang.

Akhir-akhir jni ada yang mengatakan, 'hanya kesempurnaan Rina yang bisa bersanding dengan kesempurnaan Ravn'. Dan dari situlah terdengar desas-desus tentang hubungan mereka. Melihat dua muda-mudi itu berdiskusi dalam jarak dekat bak melihat dua orang kekasih sedang bercengkerama. Tak ada yang tak menyetujui hubungan mereka berdua. Para staff memberikan dukungan penuh, bahkan tak jarang dari mereka terang-terang menanyakan pada Rina 'kapan tanggal nikahnya'. Sebuah pertanyaan yang selalu sukses membuat wajah manis gadis itu bersemu merah. Orang kantor makin gencar melancarkan aksi 'jodoh-jodohan' mereka, bahkan saat kedua korban perjodohan itu belum kunjung memberikan konfirmasi.

Hampir semua staff menunggu diresmikannya hubungan Ravn-Rina. Hampir semua staff memberikan restu dan dukungannuya. Ya, hampir. Karena di tengah panasnya isu itu, diam-diam ada hati yang semakin panas mendengar semua celotehan setiap harinya.

Firasat Seoho sudah tak nyaman sejak diumumkan akan ada sekretaris baru unyuj perusahaannya. Dan sekarang semua firasatnya terbukti nyata. Sejak Rina menjadi sekretaris pribadi Ravn, intensitas interaksi Ravn-Seoho by

! [image] (https://pin.it/4UV0jJr)

Keonhee melihat gerakan kecil dari gadis bersurai hitam yang kini sedang mengistirahatkan kepala di atas lengannya. Gadis itu tampak gusar, garis kerutan dahi terbentuk jelas di wajah tidurnya. Detik selanjutnya, kelopak mata Dea terbuka perlahan menampakkan manik hitam kecoklatan nan indah miliknya.

Having a bad dream, Sweetheart?” Suara lembut Keonhee menyambut bangunnya Sang Putri Tidur. Gadis itu menjawab dengan deheman singkat.

Hi, Hee. Udah lama?”

“Udah dari semalam. Rencananya mau ajak kamu jalan-jalan under the moon. Tapi pas aku sampai sini, tuan putrinya udah tidur,” ujar Keonhee dengan memberikan sedikit penekanan nada kecewa di dalamnya.

“Haha, maaf. Kamu tahu sendiri, kan? Gimana kerasnya Madam Hani kalo udah ngajar bab aristrokat. Mesti capek banget gini kalo abis ngikutin kelas beliau tuh, Hee,” lapor Dea manja sembari mengerucutkan bibirnya.

“Iya, aku tahu. Makanya aku ke sini, I'll be your arm pillow when you're resting, Baby.” Sudut bibir Dea otomatis tertarik ke atas mendengarnya. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Keonhee. Setelah setedik sebelumnya ia menyempatkan menatap manik hitam lelaki itu dan berkata dalam diam ...

You know me so well, Hee. Thank you.”

Pria itu tersenyum mendengar suara yang bergema di kepalanya. Ia mengelus pelan surai gadis di pelukannya, berharap Dea merasa nyaman dengan perlakuan itu. Langit masih gelap. Sang surya pun masih enggan memamerkan cahaya hangatnya. Tapi itu hal yang bagus untuk mereka, karena berarti dua makhluk itu masih punya sisa waktu lebih untuk bersama.


The 7th day, Lee Keonhee on mission

“Ah, sepertinya gadis itu menangis lagi,” ujar Keonhee, ketika ia melihat gadis di balik jendela itu mengusap sudut matanya diam-diam.

Keonhee adalah vampire yang ditugaskan kerajaannya mengawasi salah satu rival bangsa mereka di dunia manusia.

Tapi di tengah ia menjalankan tugasnya itu, ada sosok perempuan yang menarik perhatiannya. Dea, putri dari kerajaan aristrokat yang dikenal dengan kesempurnaannya. Namun siapa sangka, di balik gelar perfect princess yang disandangnya itu ia menyimpan sebuah luka.

Keonhee yang memiliki kemampuan membaca pikiran lewat tatapan mata, berkali-kali memergoki suara gadis itu yang memohon untuk menghentikan semuanya barang sejenak. Semua aturan yang mengekangnya, semua pelajaran yang tak kunjung habis walaupun sudah ia pelajari setiap hari. Namun Dea tentu saja tidak bisa menyuarakan itu keras-keras. Gadis itu hanya bisa meneriakkan berontaknya dalam hati. Tuntutan dari keluarga dan masa depan rakyatnya mendorong Dea untuk tetap bertahan dengan semua hal yang sebenarnya sudah lama membuatnya muak.

Kegigihan dan ketegaran gadis aristrokat itu sukses menarik perhatian Keonhee. Entah sejak kapan timbul rasa dalam hati Keonhee untuk melindungi dan menjaga gadis itu. Satu hal yang lelaki itu tahu betul bahwa 'dia seharusnya tidak boleh melakukannya' . Namun, dorongan dalam dirinya terlalu kuat. Keonhee melanggar perjanjian misi yang diberikan oleh kerajaan, demi menuruti apa kata hatinya.

V”Aku juga ingin sekali-sekali bersikap egois. Hanya kali ini.”


Sebuah gulungan kertas dan setangkai bunga mawar sudah berada dalam genggamannya. Kini Keonhee hanya harus menunggu di tempat ia biasanya memantau. Menunggu waktu yang tepat untuk meletakkan dua benda itu di balkon kamar Dea.

Malam ini adalah malam ke tujuh ia melakukan hal serupa. Menuliskan beberapa patah kata untuk menyemangati gadisnya. Gadisnya? Ah iya, sepertinya Keonhee memang memiliki rasa lebih untuk Dea.

Sebenarnya dia tidak cukup percaya diri ketika pertama melakukan hal semacam itu. Keonhee bukan tipe lelaki yang bisa dengan mudahnya mengeluarkan kalimat-kalimat manis. Tapi setelah melihat senyuman yang merekah di wajah Dea ketika ia pertama kali menemukan kejutan di balkon kamarnya, Keonhee bertekad untuk tetap melakukannya.


Day 1 I love your smile – LKH

Day 2 It's okay, if you rely on me – LKH

Day 3 No matter what you think, i'll give you hug when you're having difficult day – LKH

Day 4 You don't have to worry. When you're sad, i'll whispers song to your ears – LKH

Day 5 You don't have to say anything, because i'll always understand your feeling – LKH

Day 6 I want to caress your back, play with your eyes, skin and lips with my arms – LKH

Day 7 I want to meet you. Lemme? – LKH

Terkadang lelaki jangkung itu masih heran, mengapa ia bisa merangkai kalimat-kalimat romantis seperti itu. Mengapa kata demi kata seperti otomatis tertuang hanya dengan membayangkan senyum Dea. Lalu setelah beberapa hari terlewat akhirnya Keonhee menyadari, ia mencintai Dea.

Dan di hari ketujuh ini Keonhee lebih memberanikan diri, karena hasrat untuk menyentuh gadisnya itu semakin tak tertahan dari hari ke hari. Dia sudah benar-benar masa bodoh dengan perihal musuh bebuyutan manusia-vampir. Pria itu hanya ingin sekali-sekali menuruti apa yang diperintahkan hatinya.

Jantung Keonhee suda h ramai bak genderang perang, ketika melihat pintu balkon kamar Dea perlahan terbuka. Di sana terpampang gadis muda yang masih lengkap dengan gaun hijau yang masih menempel pada tubuhnya. Sejak ia mendapat kejutan dari 'entah siapa dia', Dea selalu bersemangat untuk segera kembali ke kamarnya setelah pelajaran terakhir usai. Kejutan-kejutan kecil yang selalu berhasil menghangatkan hatinya. Tulisan-tulisan itulah yang akhir-akhir ini menjadi alasan ia bertahan di kerajaannya yang tak kenal ampun itu.

Dea melangkah perlahan menuju gulungan coklat dan setangkai mawar, yang seperti dugaannya sudah tertata cantik di balkon menunggu untuk dia baca. Tangannya perlahan membuka gulungan itu. Namun, raut muka sumringah yang tadi terpampang jelas di muka Dea seketika tergantikan dengan ekspresi kaget dan tak percaya setelah ia membaca isi pesan dalam gulungan coklat itu.

Jujur, jauh dalam hati Dea ia juga sangat ingin bertemu dengan pengirim kejutan misterius itu. Tapi di sisi lain, hatinya masih ragu karena semua hal buruk yang mungkin bisa terjadi setelahnya. Dea masih bergelut dengan pikirannya, ketika di sudut lain sana ada seseorang yang sudah kehilangan separuh kepercayaan dirinya karena melihat perubahan ekspresi Dea tadi.

Keonhee sudah membalikkan badan, bersiap untuk pergi dan meninggalkan separuh hatinya disana. Namun, ketika ia benar-benar akan beranjak pergi dari sana terdengar teriakan dari Dea yang membuat Keonhee mengurungkan niatnya. Lelaki tampan itu seketika mengembangkan senyum kemenangan ketika telinganya menangkap Dea yang menjawab ...

I'll let you!! Please lemme come into your arms too.

Terlihat gerakan kecil dari gadis bersurai hitam yang kini sedang mengistirahatkan kepalanya di atas lengan Keonhee. Gadis itu tampak gusar, terlihat dari kerutan dahi yang terbentuk jelas di wajah tidurnya. Detik selanjutnya, kelopak matanya terbuka perlahan menampakkan manik hitam kecoklatan nan indah milik dara manis itu.

Having a bad dream, Sweetheart?” Suara lembut Keonhee menyambut bangunnya Sang Putri Tidur. Dea menjawabnya dengan deheman singkat.

Hi, Hee. Udah lama?”

“Udah dari semalam. Rencananya mau ajak kamu jalan-jalan under the moon. Tapi pas aku sampai tuan putrinya udah tidur,” ujar Keonhee dengan memberikan sedikit penekanan nada kecewa di dalamnya.

“Haha, maaf. Kamu tahu sendiri, kan? Gimana kerasnya Madam Hani kalo udah ngajar adab aristrokat. Mesti capek banget gini kalo abis ngikutin kelas beliau tuh, Hee,” lapor Dea sembari mengerucutkan bibirnya.

“Iya, aku tahu. Makanya aku ke sini, I'll be your arm pillow when you're resting, baby.” Sudut bibir Dea otomatis tertarik ke atas mendengarnya. Ia makin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Keonhee. Setelah setedik sebelumnya ia menyempatkan menatap manik hitam lelaki itu.

You know me so well. , Hee. Thank you.”

Pria itu tersenyum mendengarnya. Ia mengelus pelan surai gadis di pelukannya, berharap Dea merasa nyaman dengan perlakuan itu. Langit masih gelap. Sang surya pun masih enggan memamerkan cahaya hangatnya. Tapi itu hal yang bagus untuk mereka, karena berarti dua makhluk itu masih punya sisa waktu lebih untuk bersama.


“Ah, sepertinya gadis itu menangis lagi,” ujar Keonhee, ketika ia melihat gadis di balik kaca itu mengusap sudut matanya diam-diam.

Keonhee, seorang vampire yang ditugaskan mengawasi kerajaan ribal

Terlihat gerakan kecil dari gadis bersurai hitam yang kini sedang mengistirahatkan kepalanya di atas lengan Keonhee. Gadis itu tampak gusar, terlihat dari kerutan dahi yang terbentuk jelas di wajah tidurnya. Detik selanjutnya, kelopak matanya terbuka perlahan menampakkan manik hitam kecoklatan nan indah milik dara manis itu.

Having a bad dream, Sweetheart?” Suara lembut Keonhee menyambut bangunnya Sang Putri Tidur. Dea menjawabnya dengan deheman singkat.

Hi, Hee. Udah lama?”

“Udah dari semalam. Rencananya mau ajak kamu jalan-jalan under the moon, tapi pas aku sampai tuan putrinya udah tidur,” ujar Keonhee dengan memberikan sedikit penekanan nada kecewa di dalamnya.

“Haha, maaf. Kamu tahu sendiri, kan? Gimana kerasnya Madam Hani kalo udah ngajar adab aristrokat. Mesti capek banget gini kalo abis ngikutin kelas beliau tuh, Hee,” lapor Dea sembari mengerucutkan bibirnya.

“Iya, aku tahu. Makanya aku ke sini, I'll be your arm pillow when you're resting, baby.” Sudut bibir Dea otomatis tertarik ke atas mendengarnya. Ia makin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Keonhee. Setelah setedik sebelumnya ia menyempatkan menatap manik hitam lelaki itu.

You know me so well. , Hee. Thank you.”

Pria itu tersenyum mendengarnya. Ia mengelus pelan surai gadis di pelukannya, berharap Dea merasa nyaman dengan perlakuan itu. Langit masih gelap. Sang surya pun masih enggan memamerkan cahaya hangatnya. Tapi itu hal yang bagus untuk mereka, karena berarti dua makhluk itu masih punya sisa waktu lebih untuk bersama.


“Ah, sepertinya gadis itu menangis lagi,” ujar Keonhee, ketika ia melihat gadis di balik kaca itu mengusap sudut matanya diam-diam.

Keonhee, seorang vampire yang ditugaskan mengawasi kerajaan ribal

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa emosi pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee. Titik.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean,” ujar Xion sambil beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Keonhee menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini udah kayak hantu, tau gak sih?”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung menoleh mengikuti sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin bersemangat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya itu ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang lama tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan.

Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah lama ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa emosi pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee. Titik.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean,” ujar Xion sambil beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa emosi pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee. Titik.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean.” Xion beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa nafsu pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean.” Xion beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”

Netra Jean masih memandangi benda bundar mungil yang kini sudah tersemat cantik di jari manisnya. Sudut bibir gadis itu tertarik ke atas mengingat kejadian tempo hari. Sebuah momen yang mungkin takkan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Jemarinya menyentuh pelan benda bundar itu, mengelusnya bak mengelus sebuah kaca yang bisa pecah kapan saja. 


“Keonhee! Jelaskan apa maksud semua ini!” Jean berteriak sambil mengacungkan layar ponsel yang di sana sudah terpampang foto kekasihnya dengan cewek asing. Keonhee yang sedang bersama Xion terperanjat kaget mendapat perlakuan. Xion yang ada di sampingnya pun tak kalah kagetnya. Baru pertama kali ini, ia mendapati kekasih Keonhee itu menaikkan volume bicara dari biasanya. 

    Lagi PMS ya, si Jean? batin Xion. 

Keonhee segera mengambil ponsel yang ada di tangan Jean. Ia masih ingat betul beberapa menit lalu memposting foto bersama gadis yang tak lain adalah partner di tempat kerja paruh waktunya. Dia harus mau berfoto dengan gadis itu sebagai ganti tukar shift di hari wisudanya

Bukan itu saja, tapi ia juga meminta partnernya itu menggantikannya satu hari lagi untuk persiapan kejutan Jean di hari Valentine. Tapi tak mungkin Keonhee mengatakan itu pada Jean. Dan sekarang kekasihnya itu malah salah paham padanya.

    “Jean … itu tidak seperti yang kamu kira, Sayang,” ujar Keonhee berusaha mengatakannya setenang mungkin.

Lelaki itu masih.berusaha menormalkan kekagetannya. Pasalnya selama ia menjalin hubungan dengan Jean, gadis itu tak pernah sekalipun membentaknya. Jika ia marah ia selama ini lebih memilih diam, dan sekarang … melihat Jean seperti ini benar-benar di luar dugaannya.

    “Jean … sini dengerin aku dulu.” Keonhee menarik perlahan pergelangan tangan gadisnya itu. Tapi Jean hanya diam tak mengikuti tarikan itu.

    “Buru, jelasin! Sekarang!” ucapnya ketus. Jean benar-benar memasang muka tanpa ampun yang membuat Keonhee tiba-tiba kehilangan semua nyalinya untuk sekedar berbicara. Xion menyenggol keras lengan sahabat di sampingnya yang tak kunjung bersuara.

    “Oh-uhm … itu anu, Jean …”

    “Haha, gak bisa jelasin cepet, kan. Akuin aja kalo kamu selingkuh, Hee. I hate you!” Jean melenggang pergi meninggalkan dua pria yang masih terdiam mencoba mencerna semuanya. Xion.yang tersadar lebih dulu langsung memukul lengan Keonhee.

    “Bro!! Lo gak kejar Jean?”

    “H-hah?”

    “Elah, buruan sadar, bego!! Kejar tuh cewek lo!” 

    “Percuma, Bro. Filingku dia gak bakal denger semua omongan siapapun saat ini.”

    “Eh. Lo kenapa jadi hopeless gini sih, Keon?”

    “Ya tadi lo liat sendiri kan, Yon. Gue yakin lo juga sama kagetnya kayak gue, liat Jean bisa berubah beringas gitu.”

    “Iya, sih.”

    “Sekarang lo pikir dah, mana bisa orang nerima penjelasan orang lain kalo dia lagi sepanas itu.” Giliran Xion yang diam, dia memang membenarkan semua perkataan Keonhee. Tapi di sisi lain ia merasa ini bukan hal yang tepat.


    Ya, firasat Xion saat itu tidak salah. Hari ini, tepat satu minggu setelah kejadian labrakan Jean itu, dan esok hari adalah hari H wisuda Keonhee. Setelah kejadian hari itu, malamnya Jean memblokir semua kontak Keonhee. Lelaki itu kelabakan bukan main mengetahui apa yang gadisnya lakukan. Benar-benar bukan sikap yang biasanya diperlihatkan Jean padanya. 

Ketika mereka di kampus pun, Jean selalu menghindarinya. Kun menyesali keputusannya untuk tidak menuruti Xion menyusul Jean waktu itu. Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Pria itu hanya bisa pasrah, semua persiapan  kejutan untuk Jean kini terasa sia-sia. 

Xion.hanya bisa menghembuskan napas kasar melihat drama dua insan muda itu. Dua hari yang lalu, akhirnya Xion mengunjungi apartemen Jean. Mau tak mau dia harus menjadi mediator keduanya. 

Sebagai sohib karib, jujur ia tak tega melihat Keonhee uring-uringan tak jelas setiap hari. Pria yang ia kenal tak pernah mengeluh dan selalu terkenal cool dengan semua pembawaan tenangnya, selama seminggu ini ia berubah 180 derajat. 

Keonhee menjadi oversensitive, selalu menelepon Xion setiap hari dengan pembicaraan yang sama, 'bagaimana nasib hubungannya dengan Jean'. Awalnya Xion bisa tahan dengan semua itu, tapi ternyata ia tak punya stok kesabaran lebih di hari kelima Keonhee bertingkah seperti itu. 


“Jujur, gue capek sendiri liat kalian berdua kayak gini,” ujar Xion saat ia sudah duduk berhadapan dengan Jean di ruang tengah apartemen kekasih Keonhee itu. 

“Lo sebenernya udah tahu, kan. Cerita di balik foto itu, Jean?“ 

“Iya … gue tahu,” jawab gadis itu lirih. 

“Terus kenapa? Kenapa lo enggak bilang ke Keonhee dan malah bikin drama yang cuma nyusahin kalian sendiri?” Suara Xion meninggi. Kekesalannya menghadapi sikap kekanakan dua teman terdekatnya tampaknya sudah sampai ubun-ubun. 

Jean hanya diam tak menanggapi, karena sebenarnya dia sendiri belum menemukan jawaban yang tepat. Mengapa dirinya memutuskan semua itu. 

“Ngomong, Jean!”

“Gue gak tahu, Xion. Gue rasa gue cuma kebawa nafsu pas itu, dan tanpa sadar malah keterusan.”

Sh-t. Simpel banget ya jawaban lo. Gak tahu lo bentukan si Keonhee udah kayak orang gila gara-gara kelakuan childish lo, Jean.” Jean hanya bisa tertunduk mendengar bentakan Xion saat itu.

“Udah, ya. Gue gak mau tahu. Pokoknya besok gue kudu liat muka lo di hari wisudanya, Keonhee.”

“Kalo lo masih sayang sama dia, jangan biarin dia gila sejak dini, Jean.” Xion beranjak dari sofa. Ia berjalan keluar ke arah pintu apartemen dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah mengutarakan semua uneg-unegnya. 


Mahasiswa-mahasiswi bertoga dengan senyum sumringahnya menghiasi taman kampus  siang itu. Tawa terdengar dari segala penjuru. Namun semua keramaian itu tak bisa meramaikan hati Keonhee yang kini masih sendu. Pria itu masih mengedarkan pandangan ke semua arah, mencari sosok yang sangat ia harapkan bisa hadir di salah satu momen terbaik hidupnya. Kembali Kun menghela napas kasar karena ia tak menemukan apa yang ia cari. 

“Jangan lupain eksistensi gue, Keon. Keberadaan gue di samping lo ini kayak gak dianggep, tau gak sih.”

Sorry, Bro….” Keonhee tetap saja tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya. Xion menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu bermaksud menguatkan. Perihal Xion ke apartemen Jean, ia memang sengaja tak mengatakannya pada Keonhee. 

Ah, kayaknya sia-sia aja usaha gue memelas di depan Jean kemarin.

Baru ketika Xion.selesai membatin, ia mendengar teriakan suara wanita yang sangat familiar di telinganya.

“Keonhee!”

Mata Keonhee seketika melebar dan langsung mengikuti ke arah sumber suara. Manik hitamnya menangkap sosok wanita dengan casual dress yang kini sedang melambai ke arahnya.

Tanpa aba-aba kakinya langsung melangkah ke tempat Jean berdiri. Langkah kaki yang awalnya lemah, menjadi semakin cepat dan semakin cepat. Secepat keinginannya untuk menghapus jarak di antara mereka. 

    Ketika jarak mereka hanya berkisar satu meter, dalam hitungan detik tangan Keonhee sudah merengkuh tubuh gadis di depannya ke dalam pelukannya. Ia memeluk erat Jean, lama. Pelukan yang seolah-olah tak ingin ia lepaskan barang sebentar.

    “K-Keonhee, aku gak bisa napas.”

Perkataan Jean itu sukses memotong momen romantis mereka. Mendengar hal itu Keonhee segera melonggarkan pelukannya. 

“A-ah, sorry ….”

Kini tangan Keonhee bergerak turun mencari tangan gadisnya untuk ia genggam. Manik hitam pria itu masih setia memandang tautan jari mereka.

    “Ehem, Keonhee?”

    “Hm?” Baru ketika Jean bersuara, ia menegakkan kepalanya. Dan saat itulah, netra kedua insan itu kembali bertemu setelah sekian lama. 

Ada kerinduan tersimpan di dalamnya. Ada kebahagiaan tertahan yang belum sepenuhnya tersalurkan. Ada juga rasa kecewa yang sudah hampir hilang.

    Mereka saling bertatap dalam diam, membiarkan semua perasaan itu membuncah lewat tatapan. Sebuah senyum simpul terbentuk di wajah Jean. Senyuman manis yang semakin memantapkan hati Keonhee. Hanya dengan melihat senyuman itu ia sepenuhnya yakin untuk mengeluarkan kotak beludru merah yang sudah ia siapkan di saku jasnya.

    Lalu di detik setelahnya, pria jangkung itu sudah menekuk salah satu lututnya di depan Jean. Ia meraih tangan kiri Jean dan mengucapkan sebuah kalimat sakral …

    “Will you marry me, Jean?”