sweettynsaltt

“Bayangin kalo kita nikah nanti, gak usah repot-repot sewa WO soalnya kita bisa numbalin anak-anak hima.” Deva menjentikan jarinya, seperti seseorang yang baru mendapatkan ide cemerlang. “Rayyan sama Daffin cocok banget buat bagian cuci piring.”

Jrengg!!

Evan mengenjreng senar gitar yang berada dipangkuannya hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Kepalanya mengangguk menyetujui ucapan Deva barusan. “Setuju. Arghi sama Jave bagian ngatur parkiran sama nyuruh orang buat makan.”

Deva tergelak, ia menepuk paha Evan sekali. “Sandra bagian jaga prasmanan, nanti kalo ada yang ngambil makan kebanyakan dia yang marah-marah.”

“Elang sama Zhifa bagian penerima tamu sama bagiin souvenir.” Tambah Evan, ia memposisikan kembali jari-jarinya pada finger board.

“Terus Mada?”

“Dia suruh duduk aja di depan blower biar gak kepanasan, soalnya sponsorship.”

Deva terdiam selama beberapa detik sebelum akhirnya tawanya menguar, terpingkal-pingkal karena membayangkan jika Mada duduk seperti seorang bos besar, di depan kipas blower yang airnya sanggup membuat siapapun yang duduk di depannya mendadak mempunyai rambut lepek.

“Terus nanti buat hiburannya apa? Dangdutan?” Tanya Deva lagi.

Evan menggeleng. “Kita suruh aja anak Hima juga buat nunjukin debus. Rayyan kan bagian cuci piring, nanti dia yang atraksi makan beling.”

“Kelar nikahan kita dipanggil ke kantor polisi.” Deva kembali tergelak. “Nanti malem pertamanya main remi sama tahanan yang lain.”

Gantian Evan yang tertawa, sebelah tangannya terulur untuk mengusap kepala Deva sekilas. “Besok paginya kita disuruh buat bersihin rumput di lapangan lapas. Siangnya kita leha-leha di atas pohon sambil minum tejus soalnya males disuruh buat ikut kelas keterampilan.”

“Hahaha, Bego!” Deva kembali memukul paha Evan, “Aneh banget tapi kayaknya seru juga.”

Evan mendengus geli, ia tundukan kepalanya, lalu tak lama jarinya bergerak di atas senar, menyenandungkan chord dari lagu Apocalypse milik Cigarettes After Sex. Deva yang duduk tepat di hadapan Evan membenarkan posisi duduknya, arah pandangnya menatap jari-jari Evan selama beberapa saat sebelum beralih menatap wajah kekasihnya itu.

Evan tahu persis bagaimana membuat Deva jatuh cinta padanya. Pada setiap petikan senar, pada setiap lantunan bait, dan pada setiap lagu yang terus bertambah di dalam playlist kesayangan mereka.

You leapt from crumbling bridges Watching cityscapes turn to dust

Evan nyanyikan bait lirik pertama begitu pelan. Suaranya yang dalam namun begitu lembut menyentuh gendang telinga Deva. Senyum Deva terukir tipis, satu tangannya terulur untuk menyentuh lutut Evan.

Filming helicopters crashing in the ocean from way above Got the music in you, baby Tell me why Got the music in you, baby Tell me why

Kepalanya terangkat, Evan tatap kedua bola mata Deva yang kelopaknya mengerjap perlahan. Senyum tipisnya turut merekah, tatapannya begitu lembut.

You've been locked in here forever And you just cant say goodbye

Deva bisa melihat begitu jelas bagaimana pupil kecoklatan milik Evan melebar, menatap lekat ke arahnya dengan suaranya yang mengalun begitu hangat.

Ketua Hima itu jatuh begitu dalam padanya.

Kisses on the foreheads of the lovers Wrapped in your arms You've been hiding them in hollowed out pianos Left in the dark

Jari-jari Deva mengelus perlahan permukaan lutut Evan yang tidak terutupi oleh celana itu. Pelan-pelan sekali. Seirama dengan petikan senar gitar yang Evan lakukan.

Your lips, my lips Apocalypse

Dua bait lirik itu mereka nyanyikan secara bersamaan. Membuat senyum Evan merekah lebih lebar, sukses memunculkan rona kemerahan di wajah Deva.

“Kalo diliat sekilas, ngomongin hal kayak tadi tuh rasanya deket banget kalo udah ketemu orang yang tepat. Tapi kalo diliat lebih jelas lagi, perjalanan kita buat ke tahap itu masih jauuuhh banget.” Deva terkekeh, ia tundukan pandangannya menatap ke arah gitar. “Dulu, gua pernah ngomongin hal yang sama sama Kafin, walaupun kita cuman sahabatan. Rasanya kayak dejavu waktu ngomongin lagi sama lu.”

Petikan senar gitar diperlambat, Evan berikan waktu untuk Deva menyelesaikan ceritanya terlebih dahulu.

“Banyak angan-angan, tapi semuanya mati. Gua naruh harapan sama orang yang salah.” Intonasi suara Deva memelan. “Tapi yang lebih anehnya, gua gak bisa jahat sama Kafin kayak apa yang dia lakuin ke gua dulu. Tapi kadang, gua masih nyalahin diri gua sendiri karena jatuh cinta sama orang yang salah. Gua berusaha ngelupain itu, tapi gak bisa. Sakitnya masih ada.”

“Karena lu selalu ngeliat ribuan titik putih dibanding ngeliat satu titik hitam yang begitu mencolok, Deva. Lo selalu ngeliat ribuan kebaikan orang dibanding sama satu keburukannya.” Evan menyahut dengan suaranya yang begitu lembut. “And If you are trying to forget someone who was once a beautiful part of your life, the answer is —you don’t.”

Deva mengangkat wajahnya kembali, menatap Evan.

“Letting go of someone you thought would be in your life forever is difficult. Gua tau rasanya gimana. Gua pernah ngerasain itu juga.” Evan hentikan petikannya pada senar gitar. “Devara, I know it's hard but, forgive yourself for falling for the wrong people. Because they weren't the wrong people, you were meant to meet them, you were meant to fall for them, you were meant to experience them and learn from the lesson.”

“Evan.”

“Abiandra, sayang.” Evan tersenyum tipis. “Even with me, you will not find a love that is perfect, but you will find a love that shows you that it is okay to be the kind person who balances both hope and hurt within them. You do not have to regret the way you put your heart into the world.”

Ekspresi wajah Deva berubah, senyum di wajahnya memudar. Ia menatap Evan dalam diam selama beberapa saat, hingga Evan menaruh kembali gitarnya pada tempat semula, lalu duduk kembali tepat di hadapan Deva.

“And after all,” Evan meraih kedua tangan Deva, mengenggamnya hati-hati seperti menyentuh porselen rapuh. “After all experience you had in the past, you deserve to be someone's favorite thing. My thing. You deserve to be loved the way you love others. Always remember that you are worthy, and deserving of everything you want in life.”

Deva masih terdiam, tidak menyahut sama sekali ucapan Evan barusan. Namun ia tahu, dalam sorot mata Evan yang begitu teduh, he already find someone who know how to hold his love just as tightly as he hold.

“Kenapa jadi mellow gini sih.” Deva akhirnya terkekeh, tapi Evan tetap sunggingkan senyum hangatnya pada Deva seirama dengan ibu jarinya yang mengelus permukaan punggung tangan Deva. “Lu pasti abis baca bukunya Bianca Sparacino, ya?”

Evan seketika tertawa, ia meraih tubuh Deva, mengangkatnya, lalu mendudukannya di atas pangkuan. “Kan bukunya lo yang beliin waktu itu.”

“Lu aneh banget.” Komentar Deva, tapi ia tetap menyamankan posisinya di atas pangkuan Evan. “Anehhhh banget. Kadang gak jelas kayak makhluk planet antah berantah, tapi kadang bisa bener juga.”

Dengusan geli Evan berikan sebagai sahutan, ia mengecup pipi Deva sekilas. “Sama satu lagi, Dev.”

“Apa?”

“The things that hurt you may have left scars, but they did not destroy you. You survived, and there is a hope in that. The pain will grow up you so well and make your heart stronger than before.”

Deva menganggukan kepalanya, mengalungkan kedua tangannya di leher Evan dan menghirup wangi perpaduan antara almond, vanilla, dan myrrh yang begitu lembut. Evan membalasnya dengan mengusap belakang kepala Deva secara perlahan, memberikan satu ciuman di pelipisnya.

Ooh, oh When you're all alone I'll reach for you When you're feelin' low I'll be there too

Bait lirik terakhir dari lagu Apocalypse Evan senandukan sambil berbisik di telinga Deva. Membuat kelopak mata Deva terpejam, kepalanya bersandar pada pundak ketua hima itu.

“Lu pernah nonton film crazy rich asians gak?” Tanya Deva random.

Evan menganggukan kepalanya. “Pernah, waktu itu kan nontonnya sama lo.”

“Eh? Emang iya?” Deva menegakkan kepalanya kembali, lalu menatap kedua manik mata Evan. “Kapan? kok gua lupa.”

“Waktu awal filmnya keluar. Dasar pelupa.”

“Ck.” Deva berdecak sebal. “Tapi inget gak waktu scene nikahan? Yang pake konsep kolam gitu?”

“Inget.” Evan menganggukan kepalanya. “Kenapa emangnya?”

“Kalo misalkan kita nikah pake konsep kayak gitu, seru banget kali ya? Tapi acaranya nunggu musim hujan biar airnya bisa pake air banjir. Hemat budget.” Kekehan Deva mengalun.

Evan tergelak. “Dev, yang ada tamunya abis dateng ke acara kita pada kena kutu air.”

“Tenang, kan salep 88 masih produksi.” Sahut Deva dengan nada bangga.

Sebelah alis Evan naik. “Lo pernah kena kutu air ya?”

Plak!

“Ngaco! Engga pernah lah, gua tau soalnya Daffin pernah kena kutu air waktu abis makrab hima tahun lalu!” Protes Deva, wajahnya tidak menunjukan rasa bersalah sama sekali selepas menggeplak dada Evan.

Evan menaikan bahunya sekilas. “Padahal kalo lo yang kena kutu air juga gapapa, gua masih sayang kok.”

Deva melengos, ia kemudian turun dari pangkuan Evan. “Gua laper. Ayo makan.”

“Pecel lele samping gor?”

“Ayo!” Sahut Deva semangat, ia langsung bangkit dari posisi duduknya dan buru-buru mengambil hoodie miliknya yang tergantung di sisi pintu. “Gua lagi pengen kol gorengnya.”

Evan mendengus geli, melihat Deva yang begitu bersemangat ketika di tawari makanan. Ia bangkit, membenarkan letak celananya terlebih dahulu sebelum mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja belajar milik Deva.

Ia kemudian mendekat ke arah Deva, meraih kepala sekertaris hima itu untuk ia cium sekilas di bagian pelipis. “Nanti abis lulus, gua cari duit banyak-banyak.”

“Buat apa cari duit banyak-banyak?” Tanya Deva bingung.

“Soalnya, kalo di sini gak bakalan bisa.” Evan tersenyum mahfum. “Paling mentok nanti nikahan kita backgroundnya pegunungan Alpen.”

Deva terdiam sejenak, lalu ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Oh iya juga ya. Lupa.”

Riuh tepuk tangan menggema ketika api lilin yang menyala di atas kue padam. Nino tersenyum lebar, ikut menepukan kedua tangannya dan menatap Ezra serta Bunda yang tepat berada di sisi kanan dan sisi kirinya.

Tangan Nino kemudian bergerak, hendak meraih pisau kue guna memotong kue ulang tahun miliknya. Namun pergerakannya seketika terhenti ketika suara Harsa dengan cepat menyela.

“Jangan dipotong dulu, El! Foto dulu sama Bunda sama Kak Ezra!” Harsa dengan cepat menyalakan kamera miliknya yang menggantung di leher, tersenyum lebar ketika melihat Nino bergerak merangkul Sang Ibu dan Kakaknya itu. “Oke, siap ya! satu.. dua.. tiga!”

Blitz kamera menyala sekilas, mengabadikan moment tiga orang yang berdiri di belakang kue ulang tahun dengan senyum yang merekah. Setelahnya, Bunda bergerak mencium Nino dan mengucapkan selamat ulang tahun serta doa-doanya untuk si anak bungsu. Tepuk tangan kembali menggema.

Lalu ketika si sulung meraih pundak Nino dan memeluknya, Nino sunggingkan senyum tipis. Ia sandarkan kepalanya di bahu Ezra, membalas pelukan kakaknya itu. “Kak, makasih banyak ya. Gua gak mau kado apa-apa dari lu, yang penting lu selalu ada buat gua.” bisik Nino pelan.

Ezra tidak menyahut, tapi ia lebih eratkan lagi pelukannya dengan sebelah tangannya yang mengelus-elus punggung adiknya itu. Tahu jika dibalik senyum Nino yang sedari tadi merekah cerah, adiknya itu masih mengharapkan sosok sang Ayah untuk hadir di acara ulang tahunnya.

“Bang Niko! Ayo foto bareng dulu!” Nino berseru ketika matanya tak sengaja bertemu pandang dengan Niko yang berdiri di samping Harsa, tersenyum tipis ke arahnya. “Foto berempat, gantiin Ayah.”

Bunda dan Ezra kompak saling memandang satu sama lain ketika mendengar ucapan Nino barusan, namun beberapa detik kemudian Ezra lah yang terlebih dahulu memutus kontak matanya dengan sang Ibu. Kepalanya menoleh ke arah Niko, memberikan gestur agar Niko segera mendekat ke arah ketiganya.

“Barisannya dirapetin! Ya bagus! Bang Niko, kalo mau ngerangkul Kak Ezra dirangkul aja gapapa.” Kata Harsa memberikan arahan, membuat Niko yang tadinya urung merangkul pinggang Ezra, akhirnya mengulurkan tangan guna meraih pinggang sempit favoritnya itu. “Nah udah, siap-siap. Satu.. dua... tiga!”

Blitz kamera menyala sebanyak beberapa kali. Harsa tersenyum hangat ketika melihat kembali hasil potretnya, ia menolehkan kepalanya ketika salah satu teman dekat Nino yang diundang menyuruhnya untuk ikut gabung bersama keempatnya.

Satu foto terabadikan begitu indah. Bunda menjadi satu-satunya yang paling cantik disana, tersenyum hangat ke arah kamera dengan kedua tangannya yang merangkul Harsa serta Nino. Setelahnya, Bunda memundurkan diri, memberikan kesempatan untuk anak-anaknya berfoto dengan pasangan masing-masing.

Ezra melirik sekilas ke arah Bunda, hanya selama beberapa detik sebelum kembali tersenyum ke arah kamera.

Selanjutnya, acara dilanjut dengan sesi pemotongan kue. Nino berikan kue pertamanya tentu untuk Sang Ibu, memberikan kata-kata hangatnya karena tanpa Bunda, ia tidak mungkin ada di dunia ini. Kue kedua tentu saja ia berikan kepada Ezra, Nino ambil satu tarikan nafas panjang, menatap lurus ke arah mata Ezra yang serupa dengan matanya itu.

“Gua sebenernya gak tau mau ngomongnya gimana, tapi Kak, makasih banyak karena selalu ada buat gua. Makasih banyak karena selalu ngasih yang terbaik buat gua walaupun gua tau, gua belum sesempurna itu buat jadi Adik yang baik buat lu. Gua beruntung banget punya sosok Kakak yang selalu nopang gua waktu keluarga kita ada di titik terendah kemarin. Gua gak tau apakah tahun besok bisa ngerayain bareng sama lu, soalnya siapa tau lo sama Bang Niko mutusin buat tinggal di Jerman.” Nino tertawa, ia melirik sekilas ke arah Niko. “Kak, apapun itu, gua selalu berdoa yang terbaik buat lu. Buat kebahagiaan lu. Makasih karena di ulang tahun gua yang sekarang, lu masih ada buat gua.”

Kelopak mata Ezra mengedip cepat, begitu susah payah sunggingkan senyumnya ke arah Nino ketika air matanya berlomba ingin keluar. Kue yang berada di tangan Nino, Ezra raih. Kakinya melangkah mundur ketika Nino berganti memberikan kuenya pada Harsa dan Niko.

Ezra menunduk, menatap sepotong kue dengan rahangnya yang mengeras. Lalu sebuah tangan Ezra rasakan kembali merangkul pinggangnya, kepalanya menoleh, menatap Niko yang tersenyum teduh ke arahnya. “Nicholas.”

“Nangisnya sama gua aja nanti. Jangan di sini.” Elusan yang begitu lembut Niko berikan di pinggang Ezra. “Jangan sampe Nino ngeliat lo nangis. Jangan. Dia lagi ulang tahun sekarang. Ya, sayang?”

Kepala Ezra mengangguk, ia ambil satu tarikan nafas panjang dan dihembuskannya secara perlahan. Berusaha mengontrol rasa sedih dan rasa kecewa pada dirinya sendiri karena tidak bisa membawa Sang Ayah turut hadir di acara ulang tahun Adiknya itu.

“Kalo mau ngobrol sama Nino, nanti aja waktu acaranya udah kelar ya?” Seakan-akan mengerti kegundahan yang melanda Ezra, Niko kembali memberikan elusannya, berusaha menengkan emosi Ezra yang sedang tidak stabil. “Sekarang, nikmatin acaranya dulu. Jangan sedih, oke? Kalo Nino liat lo sedih, pasti dia juga ikutan sedih.”

Ezra kembali mengangguk, ia tersenyum tipis ke arah Niko. “Thanks, Nik.”

Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi games. Nino yang menjadi pusat di malam ulang tahunnya ini bergitu menikmati acaranya, tawanya menguar, begitu riuh suasana di halaman belakang rumahnya bersama dengan teman-temannya itu. Sejenak melupakan rasa sedihnya karena di hari spesialnya ini, Ayah tidak bisa ikut hadir untuk memeriahkan pestanya. Jangankan untuk hadir, bahkan memberikan pesan selamat ulang tahun pada Nino pun tidak.

Lalu saat waktu hampir memasuki tengah malam, riuh gelak tawa yang tadi menggema tanpa henti itu akhirnya mencapai penghujung. Nino berserta Harsa dan Ezra melambaikan tangan pada satu mobil terakhir yang berisi teman-teman Nino itu.

Nino baru saja akan melangkahkan kakinya masuk kembali ke dalam rumah sebelum tangan Ezra menahan pergerakannya. Ia menoleh, menatap Ezra dengan tatapan bingung. “Kenapa Kak?”

Ezra tidak langsung menyahut, membuat Harsa yang juga masih berada di sana akhirnya tersenyum tipis, berjalan masuk terlebih dahulu meninggalkan kedua kakak beradik itu.

“Ada yang mau gua kasih sama lu.” Ezra mengambil nafasnya berat. “Kado ulang tahun.”

“Hah? Apa?” Tanya Nino penasaran, “Lu beneran mau beliin gua motor baru ya, hehehe.”

“Dih.” Ezra menoyor kenapa Nino sekilas, lalu menarik pergelangan tangan Nino agar duduk dipinggiran anak tangga paling atas, tepat di ujung teras rumah. “Duduk dulu.”

Nino menuruti perkataan Kakaknya, ia mendudukan diri tepat di samping Ezra. Menatap penasaran ke arah Ezra yang kini sedang meraih sesuatu dari belakang kantung celananya. Lalu sebuah amplop kecil terulur ke arah Nino.

“Buka aja.” Titah Ezra ketika Nino sudah menggenggam amplop pemberiannya dengan wajah bingung. “Bukan apa-apa sih. Tapi gua harap, waktu lu ngeliat itu, lu inget kalo keluarga kita pernah utuh.”

Mendengar penuturan Ezra, Nino dengan cepat membuka amplop putih itu. Menarik selembar foto yang memuat figur keluarga yang tersenyum lebar ke arah kamera, dengan backround mata hari terbenam di pantai itu.

Nino tatap foto itu lamat-lamat. Kelopak matanya mengedip dengan cepat, memperhatikan figur dirinya saat masih berada di sekolah dasar dengan keluarganya itu.

“Elnino, selamat ulang tahun. Maaf, gua gak bisa bawa ayah buat dateng malem ini.” Suara Ezra mengalun pelan. “Itu foto keluarga kita yang pertama di cetak sama Bunda, gua ambil diem-diem waktu itu. Semoga dengan adanya foto itu sama lu, lu selalu inget kalau keluarga kita pernah ada di masa bahagianya.”

“Kak.” Nino terkekeh, ibu jarinya mengelus potret keluarganya itu selama beberapa saat sebelum menolehkan kepalanya ke arah Ezra. “Gua gak tau lagi harus bilang makasih banyak ke lu berapa kali. Ini lebih dari semua yang gua harapin di ulang tahun gua kali ini.”

Keduanya terdiam selama beberapa saat. Nino masukan kembali selembar foto itu ke dalam amplop, ditaruhnya pada kantung kemeja miliknya. Arah pandangnya mengikuti kemana Ezra menatap, lurus ke arah sebuah pohon kecil yang berada di halaman rumah.

“Padahal tahun kemaren masih bisa ngerayain bareng, tapi kenapa tahun sekarang gak bisa ya, Kak?” Nino tertawa miris. “Andai waktu itu Ayah sama Bunda gak pergi ke Bali. Kayaknya keluarga kita masih utuh gak sih?”

“No.” Ezra menyahut sendu.

“Tapi gapapa, yang udah berlalu ya yaudah.” Senyum Nino merekah selama beberapa detik. “Kak, makasih banyak ya. Makasih buat selalu ada di samping gua ketika Ayah sama Bunda ketemu puber kedua mereka. Mungkin kalo gak ada lu... ya gua juga gak ada sih hahaha.”

Nino tertawa kecil, kepalanya menunduk, menatap batu-batu kecil yang tersusun diatas tangga. “Kemaren malem, gua kepikiran. Ayah sekarang udah sama keluarga barunya, Bunda juga mungkin bakalan nyusul sebentar lagi. Terus nanti lu juga bakalan sama Bang Niko. Gua sama siapa ya, Kak.”

Ezra menoleh, menatap Nino yang tertunduk di sampingnya. Begitu tersentak dengan ucapan Nino barusan.

“Mikir gua bakalan sendiri di rumah ini, gua gak tau harus gimana. Kalo bisa muter waktu, mungkin gua udah minta itu waktu tiup lilin tadi.” Nino membuang nafasnya berat. “Sekarang, yang gua punya cuman lu, Kak. Gua gak tau harus nyandar sama siapa lagi kalo bukan sama lu. Gua minta maaf ya kalo di umur gua yang sekarang, gua belum bisa jadi Adik yang sempurna buat lu. Gua masih banyak maunya, masih labil, masih sering ngerecokin lu kalo lagi berdua sama Bang Niko.”

“Kok lu ngomong gitu sih, No?” Tanya Ezra.

“Gatau, tiba-tiba ngerasa sedih aja kalo inget Ayah gak bisa dateng karena ya... gimana pun kita juga harus ngehargain keputusan Ayah kan? Senggaknya masih ada Bunda.” Nino terkekeh, tapi sorot matanya begitu sendu. “Puber kedua tuh ternyata serem juga ya, Kak. Gua gak nyangka kalau keluarga kita bakalan jadi kayak gini. Padahal gua berharap sampe gua mati nanti, keluarga kita ya ini. Gak ada namanya keluarga Ayah, keluarga Bunda.”

Tangan Ezra terulur, mengelus punggung Nino dengan perlahan. Air matanya menggenang di pelupuk, tidak tahu harus bagaimana menyahuti perkataan Nino, karena ia pun sama sakitnya, sama hancurnya ketika tahu jika Ayah dan Bunda memutuskan untuk berpisah.

“Gua kira orangtua yang egois itu cuman ada di film-film, ternyata gua ngalamin sendiri.” Nino menghela nafasnya kembali. “Kak, kalo nanti kita dikasih rezeki sama Tuhan buat punya anak. Semoga anak-anak kita gak ngalamin apa yang kita alamin ya, Kak. Cukup kita aja yang ngerasain sakitnya ditinggal Ayah Bunda punya keluarga lagi.”

Air mata yang berusaha Ezra tahan, akhirnya lolos. Kedua tangannya terulur, memeluk tubuh adiknya itu dari samping. “Maaf. Maaf gua gak bisa bawa Ayah ke sini.”

“Gausah minta maaf, Kak. Kalo dipikir-pikir emang guanya aja sih yang egois, hahaha. Udah tau Ayah punya keluarga baru tapi tetep pengen Ayah dateng ke sini.” Satu tangan Nino naik, mengelus lengan Ezra. “Kak, sekali lagi makasih banyak ya. Gua tau lu sama sakitnya, sama hancurnya kayak gua atau bahkan lebih. Tapi lu tetep masih mau mikirin kebahagiaan gua, masih mau ngasih pundak lu waktu gua masih belum rela kalau keluarga kita kayak gini. Kak, gua cuman punya lu seorang, jadi jangan pergi ya. Kalo lu mau marah sama gua, marah aja. Kalo lu mau pukul gua karena gua ngeselin, pukul aja. Asal jangan tinggalin gua sendiri.”

Bibir bawahnya Ezra gigit kuat, sesak memenuhi dadanya. Tanpa diminta pun, Ezra pasti akan selalu berada untuk Adiknya itu. Ia tidak mungkin meninggalkan Nino sendiri karena ia pun hanya punya Nino sebagai sandarannya sekarang, walaupun Niko juga berada di sampingnya.

“Gua sebenernya gak ngerti kenapa Ayah Bunda milih buat pisah dan hidup masing-masing sekarang. Mereka gak mikirin kita atau gimana sih, Kak?” Tanya Nino. “Tapi yaudah lah, udah terjadi juga. Mau gimana lagi kan. Lagian Bunda juga udah dateng ke acara gua malem ini, seenggaknya masih ada Bunda, hehehe.”

Nino bergerak membalas pelukan Ezra. “Sekarang kita berjuangnya cuman berdua doang. Semoga pundak kita kuat ya, Kak. Sekali lagi, makasih banyak udah jadi Kakak yang terbaik buat gua.”

Ezra menganggukan kepalanya, tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun ketika melihat Nino yang berusaha tegar dihadapannya itu. Rasanya lebih sakit dari pada melihat kedua orangtuanya berada di meja hijau saat itu. Rasanya lebih hancur ketika adiknya sendiri harus merasakan kasih sayang dan hangatnya keluarga lebih singkat dari dirinya.

“Kak, ini kado paling indah yang pernah gua dapetin seumur hidup gua. Makasih ya. Fotonya nanti bakalan gua bingkai dan gua pajang di kamar, biar kalo gua masuk ke kamar, gua masih bisa ngerasain utuhnya keluarga kita.”


Niko membuang nafasnya berat, kakinya kemudian berjalan mendekat ke arah Ezra yang masih terduduk di halaman belakang ketika waktu sudah melewati tengah malam. Termenung sendiri. Entah memikirkan apa.

“Ra.” Panggil Niko lembut, ia turut mendudukan dirinya dipinggiran kolam. “Ayo masuk, udah jam segini. Gak dingin emang?”

Ezra menggeleng. “Lu kalo mau tidur duluan, tidur aja. Gua masih mau di sini.”

Sebelah tangan Niko bergerak, menarik kepala Ezra agar bersandar di pundaknya. Lalu mengusap-usap helaian rambut Ezra dengan perlahan. “Gua temenin ya.”

Tak ada sahutan dari Ezra, tapi ia sandarkan penuh bobot tubuhnya pada Niko. Matanya menatap kilauan air kolam yang terpantul cahaya dari lampu teras belakang.

“Nicholas.”

“Iya, cantik.”

Ezra menghela nafasnya berat. “Gapapa. Manggil aja.”

Niko tersenyum tipis, sorot teduhnya menatap wajah Ezra dari samping. “I'm always here, Ra. Kalo berat, bagi ke gua ya? Jangan di topang sendiri. Manusia juga punya batasnya.”

“Gua sedih. Banget.” Tangan Ezra meraih sebelah tangan Niko, memaikan jari-jari kekasihnya itu. “Nino cuman minta hal kecil itu tapi gua gak bisa ngasih buat dia. Sekecil itu, Nik, buat kado ulang tahunnya. Tapi gua gak bisa bikin ke inginannya tercapai.”

“Sayang, dengerin gua. It's not your fault, lo udah berusaha kan biar Ayah dateng ke acara ulang tahunnya Nino? Dan emang beliau yang gak bisa dateng. Jadi gua rasa pun Nino bisa maklumin itu. Gapapa, kecewa pasti ada. Tapi jangan terus-terusan ngerasa kecewa dan bersalah, ya? Lo udah ngelakuin yang terbaik. Lo Kakak yang terbaik buat Nino. Ada atau enggaknya Ayah, toh Nino masih nikmatin acaranya kan?”

“Tapi sedih aja, Nik. Dia sampe bilang kalo tahun kemaren masih bisa ngerayain bareng kenapa sekarang engga? Sakit banget rasanya kayak... kenapa sih harus gini.” Suara Ezra bergetar, dan Niko menangkap jelas emosi yang sedang Ezra tahan. “Gua gak tau harus marah sama siapa, Niko. Mereka orangtua gua tapi mereka juga yang nyakitin gua, nyakitin Nino. Capek. Rasanya mau nyerah tapi gua gak bisa nyerah.”

Satu kecupan Niko berikan di kening Ezra. “Tuhan gak akan ngasih cobaan melebihi batas kemampuan hamba-Nya, Ezra. Lo udah bertahan sejauh ini buat diri lo sendiri, buat Nino, itu tandanya lo mampu. Lo hebat. Kalo lo capek, ada gua di sini. Lo bisa bagi semuanya sama gua, gua gak akan kemana-mana.”

Niko mungkin tak mengerti betul bagaimana perasaan Ezra sekarang, karena ia tidak berada di sepatu yang sama dengan yang Ezra pakai. Namun yang jelas, Niko tahu, jika Nino menggantungkan sandarannya pada Ezra, lalu pada siapa lagi Ezra sebagai anak sulung menggantungkan sandarannya?

“Nik,” Nafas Ezra terhela kembali. “Boleh gak gua egois? Boleh gak kalo gua egois minta lu buat selalu ada di samping gua? Jangan pergi. Jangan kemana-mana. Gua gak tau lagi harus bersandar sama siapa kalo bukan sama lu.”

Seulas senyuman hangat hadir di wajah Niko, ia kecup kembali kening Ezra lalu menggenggam jari-jari kekasihnya itu. “Boleh, Ra. Lo boleh egois. Gua akan selalu di sini, sama lo. Tapi sebagai gantinya, lo juga jangan pergi kemana-mana. Di sini, sama gua.”

Ezra mengangkat wajahnya, menatap manik mata Niko yang begitu teduh menatap ke arahnya. Senyuman tipisnya terukir, membuat Niko memberikan satu kecupan manis pada bibirnya.

Kalau dulu Ezra yang pertama kali mengulurkan tangan, maka kini sudah seharusnya Niko yang ganti mengulurkan tangannya.

“Waaaa!!”

Harvey refleks memejamkan matanya kembali, satu helaan nafas berat ia hembuskan, dengan penuh kehati-hatian, ia angkat tubuh gempal Malvin yang lagi-lagi menangis itu. “What's wrong, lil boy?”

Tangisan Malvin semakin nyaring terdengar di telinga, Harvey menepuk-nepuk pelan punggung sempit anaknya itu sambil mengayunkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Berusaha menenangkan Malvin yang hari ini lebih rewel dari biasanya.

Hari ini merupakan tugasnya untuk menjaga Malvin seharian. Tadinya Harvey hendak membawa Malvin serta pergi ke kantor, namun melihat betapa rewelnya Malvin saat Natha pergi terlebih dahulu karena harus bertemu beberapa client membuat Harvey mengurungkan niatnya itu. Bagaimana pun jika ia tetap memaksakan membawa Malvin ke kantor bukan tidak mungkin kalau anaknya itu akan menganggu pegawainya yang lain, dan tentu saja akan membuat Malvin semakin merasa tidak nyaman.

“Da... Da... Waaaa!!!” Malvin menjerit kembali. Bayi itu memberontak di pelukan Harvey, wajahnya memerah karena tangis. Tangannya yang gempal memukul-mukul bahu Harvey.

Harvey menghela nafasnya kembali, ia tetap menepuk-nepuk punggung Malvin sambil membawanya berjalan keluar dari kamar. Pening melanda kepalanya karena Malvin yang berulang kali menangis itu.

Semua perintah Natha sudah Harvey lakukan. Mulai dari mengecek popok, memberikan susu sesuai dengan jamnya, memberikannya cemilan, mengajak main, bahkan ia biarkan Malvin bermain sendiri bersama mainan-mainannya sesuai dengan instruksi Natha pun bayi lima bulan itu selalu berakhir dengan menangis. Namun ini bukan sekali dua kalinya, Malvin memang kerap kali menangis jika Harvey yang bertugas untuk menjaganya.

“Maunya apa, Malv?” Tanya Harvey frustasi. “Telfon Papa? Mau?”

Malvin kembali menjerit, bayi itu semakin memberontak dipelukan Harvey. Membuat Harvey akhirnya mendudukan dirinya di sofa ruang tengah, Malvin ia turunkan dari gendongannya, dan menaruh adonan kue kesayangan Natha itu di atas sofa dengan posisi berbaring.

Namun bukannya mereda, tangis Malvin malah semakin menjadi. Bayi lima bulan itu mulai terbatuk-batuk akibat tersedak ludahnya sendiri, Harvey mengangkatnya kembali, sebelah tangannya kemudian terulur untuk mengambil beberapa lembar tissue dari atas meja.

Dengan telaten, ia mengelap wajah Malvin yang basah akibat air mata dan ingusnya itu. Senyumnya mengembang sedih, sorot mata teduhnya menatap Malvin penuh pertanyaan. Tapi dari sekian banyaknya pertanyaan yang berkumpul di pikirannya, hanya ada satu kata yang begitu kuat menjadi pondasi semua pikiran-pikiran Harvey pada anaknya ini.

Kenapa?

Kenapa hanya bersamanya Malvin menangis, kenapa hanya bersamanya Malvin seakan-akan tidak ingin dirinya di sentuh satu inchi pun oleh Harvey, kenapa anaknya ini selalu terlihat tidak nyaman jika bersama dengan dirinya, dan kenapa-kenapa yang lainnya.

Harvey tentu merasa sedih. Iri terkadang melingkupi hatinya saat melihat Malvin yang selalu tertawa jika bersama dengan Natha.

“Da... Da... Da....”

Suara Malvin membuat Harvey kembali tersadar dari lamunannya, ia mengerjapkan kelopak matanya cepat begitu menyadari jika tangis Malvin sudah tak seheboh tadi. Bayi itu merengek, tangannya terulur berusaha menggapai wajah Harvey.

“Just tell Daddy what do you want, Malvin.” Tubuh gempal anaknya itu Harvey sandarkan kembali pada sisi dada, membuat kepala Malvin kembali menyender tepat di pundaknya. Harvey bangkit dari posisi duduk, kembali menimang-nimang Malvin agar tangis bayi gempalnya itu segera mereda.

Jam di dinding Harvey lirik dengan ujung matanya, masih sekitar setengah jam lagi Natha tiba di rumah. Tugas Harvey sekarang adalah bagaimana membuat Malvin tertidur sebelum Natha datang, karena ia tak ingin Natha yang sudah pulang dalam keadaan lelah itu malah semakin lelah jika harus mengurus Malvin sampai bayi itu tertidur.

Malvin merengek kembali, ia menggeliat tak nyaman digendongan Harvey. Hanya tinggal menghitung detik sebelum-

“Waaaa!!”

-Malvin menangis lagi.

Dibanding mengurus Natha yang begitu keras kepala, Harvey lebih dibuat pusing serta frustasi ketika mengurus Malvin. Ia tak tahu kenapa anaknya itu terlihat sangat anti dengannya, padahal di awal perjumpaan mereka, Malvin malah yang lebih menempel padanya. Namun seiring berjalannya waktu, bayi lima bulan itu justru menunjukan sikap jika ia mengajukan perang dinginnya dengan Harvey.

Harvey melangkahkan kakinya menuju teras belakang rumah, sebelah tangannya terulur guna menggeser pintu kaca yang menjadi penghubung ruangan dengan teras belakang. Angin malam berhembus pelan, udara dingin perbukitan menerpa keduanya. Harvey mengerjapkan kembali kelopak matanya dengan cepat, ia menatap Malvin yang tiba-tiba meredakan tangisnya itu.

Malvin menegakkan kepalanya dari bahu sang Ayah, satu tangannya bergerak menempel pada sisi wajah Harvey lalu mata mereka saling menatap selama beberapa detik. Alis bayi itu mengkerut, namun tak berselang lama sudut bibirnya merekah dan gelak tawanya menggema.

Dengusan geli Harvey keluarkan ketika mendapati Malvin yang kini bergerak semangat memberikan kode agar Harvey melangkah keluar. Satu kesimpulan Harvey dapatkan detik itu juga. Jadi sedari tadi anaknya ini menangis karena ingin keluar rumah dan menghidup udara segar? Harvey menggeleng tak percaya.

Pekikan semangat Malvin terdengar begitu menghangatkan hati ketika Harvey mendekat ke arah tanaman-tanaman bunga milik Natha yang di tanam di halaman belakang. Tangan bayi itu berusaha menggapai bunga matahari yang baru saja bermekaran tadi pagi.

Harvey lebih dekatkan lagi dirinya pada kumpulan tanaman bunga matahari itu, Malvin lagi-lagi terpekik girang. Bayinya itu hanya ingin menyentuh bunga matahari dan menghirup udara segar, tapi Harvey menyayangkan kenapa dirinya tidak bisa begitu memahami Malvin seperti apa yang Natha lakukan.

“Mau? Mau ini?” Tanya Harvey lembut. Malvin menjawabnya dengan gelak tawa tapi tangannya tetap berusaha meraih kepala bunga yang besarnya hampir sama dengan kepalanya itu. “You got it, boy.”

Masa bodoh dengan Natha yang nanti akan mengamuk jika mendapati bunga-bunga kesayangannya Harvey petik. Fokus utamanya kali ini adalah Malvin, jadi urusan Natha marah-marah nanti itu urusan belakangan.

“Da... Da... Da...” Wajah Malvin tersenyum lebar begitu Harvey memetikan dua tangkai bunga untuknya. Bayi lima bulan itu tertawa kembali, membuat senyum Harvey pun turut merekah melihat anaknya itu.

Kakinya kemudian melangkah mendekat ke arah gazebo kecil yang tepat berada di sisi kolam, mendudukan dirinya di sana dengan Malvin yang juga terduduk di pangkuannya. Harvey gunakan satu tangannya untuk mengecek bunga-bunga itu dulu apakah ada serangga atau hewan lainnya sebelum ia memberikannya pada Malvin.

Malvin tertawa senang ketika Harvey memberikan satu tangai bunga padanya, tangannya dengan cepat menyentuh bagian tengah bunga yang teksturnya bergeronjal itu, ia terpekik, kepalanya menoleh ke arah Harvey sekilas sebelum kembali fokus pada bunga dengan warna kuning mencolok itu.

Harvey membuang nafasnya lega, sorot teduhnya menatap Malvin yang kini asik memainkan kelopak bunga itu. Perasaan bersalah seketika bercokol di dalam hatinya. Ia belum bisa memahami Malvin sepenuhnya, ia belum bisa mengerti keinginan Malvin semudah Natha yang selalu mengerti apa kemauan anak mereka itu. Ia merasa begitu bersalah karena selalu mempertanyakan Malvin dengan kata 'kenapa' padahal dirinya sendiri pun tidak berusaha untuk memahami anaknya itu.

Harvey juga masih banyak kurangnya. Ia masih berusaha belajar menjadi orangtua yang baik untuk Malvin.

“Malv.” Malvin menghentikan pergerakannya ketika suara berat Harvey memanggil namanya, bayi itu menoleh dengan tangan gempalnya menggenggam erat kelopak bunga. Harvey tersenyum tipis. “Malvin, ini pertama kalinya Daddy jadi orangtua. Jadi maaf ya kalo Daddy masih banyak salahnya, masih banyak kurangnya buat mahamin apa dan gimana mau kamu. Tapi Daddy janji untuk selalu berusaha ngasih semua yang terbaik buat kamu.”

Seakan-akan mengerti ucapan Harvey barusan, tangan Malvin melepas genggamannya pada kelopak bunga, lalu bergerak untuk menyentuh wajah Harvey yang berada tepat di atasnya itu. Ia menepuk-nepuk pipi Harvey beberapa kali dengan alunan tawanya yang begitu menghangatkan hati.

Harvey bergerak merengkuh Malvin ke dalam pelukannya, dan bayi itu tidak memberontak sama sekali, justru malah menyandarkan kepalanya pada pundak Harvey. “Da... Da... Da...”

Senyum Harvey merekah kembali, ia berikan satu ciuman pada pipi anaknya. Namun begitu Harvey tak sengaja mengalihkan pandangannya ke arah pintu penghubung rumah dengan teras belakang, ia tersentak, mendapati Natha yang berdiri di sana. Terdiam menatap keduanya dengan ekspresi wajah menahan tangis.

“Malv, Papa pulang.” Bisik Harvey pelan.

Namun perkataan Harvey barusan tidak dihiraukan oleh Malvin, ia tetap menyandarkan kepalanya pada pundak Harvey. Bahkan ketika Natha berjalan mendekat ke arah keduanya sambil memanggil nama Malvin pun, bayi itu tidak bergeming sama sekali.

“Lo bikin gua mau nangis tau gak.” Protes Natha begitu sebelah tangan Harvey menarik pinggangnya untuk lebih dekat lagi. “Lo anjing banget.” Sambung Natha tanpa suara.

Harvey tergelak, ia mendongakan kepalanya lalu Natha dengan cepat merunduk, memberikan satu ciuman pada bibir Harvey sebelum bergerak hendak mencium Malvin.

“Mandi dulu, Nath. Baru nanti gua kasih Malvinnya.” Ucap Harvey sambil menahan pergerakan Natha.

Natha membuang nafasnya jengkel, jadi ia berganti mengelus punggung Malvin sambil menatap ke arah suaminya itu. Sorot pandangnya berubah teduh, sebelah tangannya yang satu lagi terulur untuk mengusap rahang tegas Harvey.

“Thank you so much for loving us, Harvey. As long as you could have. I know it wasn't easy.”

“Peek a boo!!”

Tawa renyah dari seorang bayi berusia lima bulan menggema, memenuhi penjuru kamar. Natha turut tertawa, ia kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan lalu membukannya kembali, tawa terdengar lagi. Mata bulat dari si kecil Malvin menyipit, mulutnya terbuka lebar dengan kaki dan tangannya yang bergerak aktif.

Kedua tangan Natha kemudian bergerak menggelitik kecil sisi tubuh gempal Malvin, bayi itu tertawa kembali, Natha tidak ada bosan-bosannya menggoda anaknya itu karena selain suara musik yang menggema di club malam, suara tawa Malvin benar-benar membuatnya candu.

“Duh rasanya pengen gua makan.” Celetuk Natha sambil memencet pelan tangan gemuk Malvin, senyumnya kembali merekah lebar ketika bola matanya bertatapan lurus dengan bola mata bayi itu. Natha kemudian merunduk, menciumi sisi wajah Malvin hingga anaknya itu tertawa kembali. “Malvin gendut banget kayak bola ubi.”

“Pa.... Pa.... Pa....” Gumaman Malvin terdengar di telinga, Natha tersenyum kembali, ia menciumi pipi Malvin sekali sebelum mengangkat tubuh gempal itu untuk ia gendong. “Pa.... Pa....”

“Apa sayang.” Sahut Natha, kakinya kemudian melangkah mendekat ke arah kasur, begitu perlahan menaruh Malvin di atas sana lalu ia duduk di sisinya. Telunjuknya terulur, menyentuh pipi kemerahan Malvin. “Udah makan, udah mandi, udah ganti pampers, sekarang tinggal bobo, yeayy!!”

Malvin tertawa kembali, mood bayi lima bulan itu sedang bagus hari ini, tidak seperti beberapa hari sebelumnya dimana Malvin menangis seharian karena Natha yang cukup sibuk mengerjakan beberapa pesanan bouquet. Bahkan saat Harvey dan Nasha berusaha membantu, Malvin malah menolak, ia hanya ingin bersama dengan Papa-nya itu, membuat pekerjaannya kemudian diambil alih oleh Nasha.

Harvey dan Natha memang memutuskan tidak menggunaan Suster/Nanny untuk mengasuh Malvin, anak pertama mereka harus mereka urus dengan kedua tangan mereka sendiri, perkembangan Malvin harus mereka lihat dengan kedua mata secara langsung. Maka dari itu, Harvey dan Natha membagi waktu mereka untuk mengurus Malvin.

Jika hari ini Malvin diurus seharian penuh oleh Natha, maka keesokan harinya gantian Harvey yang akan mengurus Malvin seharian penuh. Walaupun terkadang ia harus berada di toko bersama dengan Natha karena bayi lima bulan itu kerap kali rewel saat tidak menemukan Natha di dalam jangkauan matanya.

Bahkan terkadang, Malvin sama sekali tidak ingin di pegang olehnya, bayi yang baru berusia lima bulan itu malah sering menatap Harvey dengan tatapan marah saat Harvey sedang berbicara dengan Natha, dan Harvey paham betul jika sosok kecil penerus keluarga Tanjung itu sedang berusaha mengkudeta posisinya, dan mengambil seluruh perhatian Natha.

Natha yang saat itu mendengar cerita Harvey tentang sikap Malvin padanya hanya tertawa, dan malah berkata jika mungkin Malvin seperti itu karena Harvey masih begitu kaku mengurus seorang bayi, dan belum bisa sepenuhnya mengambil hati Malvin.

Jadi pada suatu malam, tepatnya semalam saat Natha meminta tolong Harvey untuk menjaga Malvin sebentar karena ia masih harus mengerjakan pesanan, Harvey menatap anaknya itu dengan tatapan lurus persis seperti apa yang Malvin lakukan padanya.

'From now, we're a rival, little guy.'

Tentu saja ucapan Harvey itu langsung dibalas tendangan kecil oleh kaki gemuk Malvin, tepat mengenai dadanya. Tapi setelahnya, Harvey malah tertawa, ia mengetahui jika anak ini begitu pintar dan tidak disangka malah mungkin mengerti ucapannya. Jadi bayi gempal itu ia angkat, dikelitikinya pinggang kecil Malvin, dibalas gigitan oleh anaknya itu tepat di daun telinga Harvey.

Lalu Natha yang baru saja membuka pintu kamar, berakhir tertawa hingga membungkuk melihat tingkah Harvey dan anaknya itu.

“Daddy pulang.”

Suara berat Harvey mengalun bersamaan dengan terbukanya pintu kamar, Natha langsung menoleh, sedangkan Malvin yang tadinya tersenyum lebar, tiba-tiba menampilkan ekspresi datar dengan dahinya yang mengkerut.

“Gua kira lo bakalan lembur.” Kata Natha sambil menatap Harvey yang berjalan mendekat ke arahnya itu.

Harvey menggeleng kecil, ia kemudian meraih dagu Natha hingga wajah Natha mendongkak ke arahnya, lalu tubuhnya merunduk, mencium bibir Natha singkat sebelum arah pandangnya beralih pada Malvin yang kini memperhatikannya. Ia baru saja ganti akan mencium Malvin namun Natha dengan cepat menahan pergerakannya.

“Mandi dulu. Jangan asal main cium anak gua.”

Harvey melirik Natha dari ujung matanya. “Anak gua, anak gua, anak kita.”

“Ck, mandi dulu, Vey. Jangan pegang Malvin soalnya lo masih kotor.” Kata Natha sambil mendorong tubuh Harvey menjauh dari Malvin. “Dan jangan minta mandiin, Malvin belum tidur.”

“Yaudah tunggu Malvin tidur.”

“Ya kalo gitu gua juga udah tidur lah.” Natha kemudian mendorong pundak Harvey menjauh. “Mandi sana! Gak usah mesum mulu otak lo.”

“Baby.”

“Mandi, Tanjung!” Bola mata Natha melotot menatap ke arah suaminya itu, tapi bukannya takut, Harvey justru terkekeh lalu mengusap kepalanya lembut. “Ck, jangan pegang-pegang!”

“Aaaa!”

Suara Malvin terdengar seperti menyentak mereka berdua, membuat Harvey dan Natha kompak menoleh ke arah bayi gempal itu, langsung mendapati dahi Malvin yang mengkerut serta sorot matanya yang terlihat sebal menatap ke arah mereka berdua.

“Tuh liat! Malvin aja kesel sama lo. Udah mandi sana, baru abis itu gabung sama kita.”

“Reminds me to shut your mouth with something later.” Sahut Harvey, ia kemudian mengecup sekali bibir Natha sebelum menegakan kembali posisi tubuhnya, pandangannya kembali bergulir menatap Malvin yang kini tersenyum penuh kemenangan itu. “I know it, Malv. Dont look at me like that, little guy.”

“He just like you.” Kata Natha sambil berbisik, matanya mendelik ke arah Harvey. “Mandi, Harvey!”

“Shut the fuck off.” Sahut Harvey tanpa suara.

“Fuck you.” Balas Natha sama-sama tanpa suara.

Setelahnya Harvey hanya mendengus geli, kembali mengingat peraturan yang mereka buat saat Malvin resmi menjadi anak mereka, baik Natha maupun Harvey dilarang melontarkan kata-kata kasar jika berada di depan Malvin, dan sebagai gantinya seperti tadi, Natha atau Harvey sering kali mengumpat pada satu sama lain tanpa suara.

Lelaki itu kemudian mendekat ke arah meja panjang yang berada di dalam kamar, melepas jam tangannya beserta dasi yang ia gunakan lalu menaruhnya di atas sana, menoleh sekilas ke arah Natha yang kini kembali melotot padanya, Harvey terkekeh, meraih dasinya kembali lalu ia gantung pada gantungan kayu yang berada di sudut kamar.

Setelahnya ia masuk ke dalam kamar mandi guna membersihkan tubuh selepas seharian bekerja, dan Natha kembali menaruh perhatiannya pada si kecil Malvin yang kini mengemut ibu jari kakinya itu.

“Malvin haus ya.” Kata Natha sambil menjauhkan kaki Malvin dari mulutnya itu. Ia dengan cepat meraih botol dot yang berada di meja nakas kecil samping kasur, menekan botolnya ke bawah lalu mengocoknya sebentar. “Shhh, jangan diemutin jempol kakinya, Malv.”

Natha menjauhkan kembali kaki Malvin yang hendak diraihnya lagi itu, kemudian dengan perlahan mendekatkan ujung dot pada mulut Malvin. Bayi itu langsung meresponnya dengan cepat, membuka mulutnya lalu memegang dotnya dengan kedua tangan.

Senyum tipis Natha merekah, ia mengusap lembut kepala Malvin yang kini sudah khusyu menyusu itu. Ia benarkan sedikit posisi berbaring bayi gembulnya, lalu ikut merebahkan diri tepat di samping Malvin dengan posisi menyamping, satu tangannya menopang kepala, satunya lagi masih setia memegangi botol dot anaknya itu.

Matanya memperhatikan wajah Malvin begitu seksama, dari dahi, alis, mata, hidung, bibirnya yang bergerak menyedot susu, dan berakhir pada dagu. Entah kebetulan seperti apa saat dirinya pertama kali menjumpai Malvin berkat bantuan Nasha itu, wajah bayi itu hampir mirip dengan wajahnya, ditambah mata bulat yang seperti salin-tempel dengan matanya itu.

“Malvin Tanjung.” Bisik Natha lirih. “Papa masih gak nyangka Malv kalo akhirnya bisa punya kamu, padahal kerjaan Papa tiap malem minggu masih sering pulang pagi buta dari club punya Daddy kamu.” Kekeh Natha diakhir kalimat. “Tapi Papa janji, pelan-pelan bisa ngerubah kelakuan Papa yang masih kayak remaja tanggung ini.”

Malvin mengulirkan bola matanya ke arah atas, menatap wajah Natha yang menunjukan ekspresi hangat. Satu tangannya kemudian menjauh dari sisi dot, terulur ke arah wajah Natha dan berusaha menyentuh wajah Papa-nya itu.

Natha langsung sedikit tundukan kepalanya agar tangan kecil itu bisa menyentuh wajahnya. Seketika, sudut bibir Malvin tertarik ke atas, bayi itu tersenyum kecil selama beberapa detik sebelum kembali menyedot susunya.

Rasa-rasanya, Natha belum pernah merasakan dadanya seperti akan meledak ketika ia melihat tingkah Malvin yang sering sekali menyentuh tepat sisi lembutnya di dalam sana. Rasanya begitu campur aduk, tumpah ruah menjadi satu perasaan yang tidak bisa Natha jelaskan dengan kata-kata.

“Nath.”

Natha berjengit kaget ketika suara Harvey menggema dari belakang tubuhnya, begitu juga dengan Malvin yang kini membulatkan bola matanya, turut terkejut dengan suara baritone Daddynya itu.

“Kebiasaan, anjing.” Kata Natha dengan menghilangkan suaranya di akhir kata. Membuat Harvey malah terkekeh lalu mendudukan dirinya tepat dibelakang tubuh Natha.

“Kaget, ya?” Tanya Harvey dengan ekspresi wajahnya yang meledek.

“Punya otak masih bisa dipake mikir, kan?” Sahut Natha sebal. “Jangan suka ngangetin gitu, kasian Malvin kalo ikut kaget, Vey.”

“Sorry, baby. Ah, I mean, babies.” Harvey kemudian menyentuh pundak Natha, ia merunduk, mengecup sekilas leher suami cantiknya lalu secara tidak sengaja tatapannya bersinggungan dengan tatapan Malvin yang menatap lurus ke arahnya.

Harvey menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Natha, kemudian senyum tipisnya mengembang, tidak melepas tatapannya dari Malvin yang dengan perlahan merubah ekspresi wajahnya itu. Dahinya mengkerut dengan jari-jarinya yang mengepal.

Satu detik, dua detik, hingga detik ke tujuh matanya masih saling bertatapan dengan Malvin, sebelum akhirnya-

“Waaaaaa!!!”

“HARVEYYYY!!!”

Kini gantian Harvey yang tersentak kaget, lengkingan tangis Malvin serta sentakan Natha langsung membuatnya refleks memundurkan posisi duduk. Ia langsung meringis saat Natha mencubit pahanya begitu kuat.

“Kenapa sih, Vey. Astaga. Anaknya lagi anteng-anteng nyusu malah dinangisin.”

“Nath?” Harvey speechless, “Gua gak ngapa-ngapain.”

Natha dengan sigap langsung menggendong Malvin yang menangis itu, menepuk-nepuk punggungnya guna menenangkan si bayi gembul.

“Jangan dikira gua gak ngeliat lo melototin Malvin ya, Vey.”

“Gua gak ada melototin Malvin, Natha. Cuman ngeliatin doang.”

Malvin menjerit kembali. “Waaaaaa!!!”

“Ya sama aja!” Sahut Natha sewot. “Gak bisa ya nunggu Malvin tidur dulu? Lo punya jatah lo sendiri kalo Malvin udah tidur, kenapa sih gak sabaran banget, heran.”

Natha mengomel dalam satu tarikan nafas. Ia dengan cepat beranjak dari atas kasur, menggoyangkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri seirama dengan tepukannya di punggung Malvin.

Sedangkan Harvey? Masih terdiam dengan ekspresi tidak percaya. Ia hanya menatap anaknya lalu tiba-tiba bayi itu menangis, dan Natha menuduhnya karena mengira jika ia memelototi anaknya sendiri.

Tidak masuk akal, sejak kapan juga ia segitu teganya pada bayi berusia lima bulan itu?

“Nath, tapi beneran gua gak melotoin Malvin, cuman ngeliatin.”

“Waaaaa!!”

“Shut up, Harvey!” Natha membalikan tubuhnya sekilas, menatap jengkel ke arah suaminya itu. “Jangan ngomong sampe Malvin tidur!”

Lalu Harvey benar-benar terdiam setelahnya, ia menatap Natha dan Malvin yang kini tangisnya pelahan mereda. Wajah bayi itu memerah, matanya berkaca-kaca dengan satu tangannya berada di pundak Natha, jari-jarinya yang gendut itu terkepal.

Tepukan halus serta senandungan kecil yang Natha berikan mampu membuat Malvin kembali tenang, bahkan mampu membuat kelopak mata Malvin perlahan-lahan sayup, menjemput kantuknya.

“Nath.” Harvey kembali memanggil, kali ini dengan bisikan pelan.

Natha tidak menyahut, ia sebenarnya mendengar jelas panggilan Harvey barusan tapi Natha memilih tidak peduli. Ia tetap kosisten menepuk punggung kecil Malvin sampai kedua kelopak mata anaknya itu tertutup.

Satu helaan nafas Harvey hembuskan, ia baru saja akan mengalihkan pandangannya sebelum menyadari jika satu jari Malvin yang terkepal itu perlahan terangkat. Kelopak matanya seketika mengerjap tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Jari tengah Malvin terangkat diantara kepalan jari-jarinya yang lain dengan sebelah sudut bibir bayi itu yang tertarik singkat, persis sekali dengan apa yang sering Natha lakukan ketika suami cantiknya itu kesal dengan dirinya.

Harvey mendesis begitu pelan. “Malvin Tanjung.”

Lampu kecil berbagai warna berpendar cantik, mengelilingi area lapangan sekolah yang cukup luas. Sebuah panggung berukuran sedang terletak di salah satu sisi lapangan, disebrangnya, terdapat belasan tenda stand berwarna putih dengan pernak pernik hiasan yang begitu ciamik.

Ezio memakirkan motornya di area parkir yang terletak di samping gedung sekolah, matanya mengedar, memperhatikan tempat yang sudah bertahun-tahun belum ia datangi lagi sejak acara kelulusannya itu. Tidak banyak yang berubah, masih sama seperti ingatan Ezio dulu.

Farel turun dari atas motor, ia mengangkat tiga box sedang jajanan pasar milik Ezio yang akan di jual pada stand bazar makanan itu.

“Gak banyak yang berubah ya.” Katanya sambil memperhatikan sekeliling. “Busett, bocah jaman sekarang udah pada bawa mobil semua ke sekolah, kalah kita, Ji.”

Kepala Ezio mengangguk, kemudian mengambil alih tiga box yang berada ditangan Farel. “Yah namanya juga udah beda jaman.”

“Iya ya, bingung gua orang-orang kok sekarang pada dapet duit tuh dari mana? Kok bisa kaya tajir melintir gitu.” Ucap Farel dengan ekspresi penasaran, kakinya melangkah seirama dengan langkah Ezio yang kini menuju area lapangan. “Sampe anak-anaknya udah pada bawa mobil.”

“Rezeki orang mah gak ada yang tau, Rel. Udah ah, lu kalo ngeliat ke atas terus gimana mau bersyukurnya?”

“Iya sih, hehehe.”

Farel menggaruk belakang kepalanya kikuk, kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan sekeliling kembali. Sedangkan Ezio, tetap memfokuskan pandangannya ke arah stand-stand yang sudah mulai ramai itu.

Mata Ezio dengan seksama memperhatikan, mencari keberadaan salah satu adik kelasnya yang sempat ia hubungi terkait bazar makanan itu, seorang gadis dengan cardigan coklat susu dan kulot putih.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan ekspresi bingung, matanya memincing, cukup sulit juga mencari satu orang ditengah ramainya kerumunan yang memenuhi area bazar itu.

“Kak Ezio!!! Di sini!!”

Seruan dengan nada tinggi dan suara cempreng itu membuat Ezio tersentak, ia menoleh ke arah kiri, menatap seorang gadis dengan cardigan coklat susu dan kulot putih tengah melambaikan tangan padanya.

“Rel gua kesi- Lah! Kemana Farel?” Ezio lagi-lagi memasang ekspresi bingung, “Astaga.”

Ezio membuang nafasnya berat, menatap Farel yang kini sudah berada di depan salah satu stand yang menjual aneka olahan jajanan yang di masak dengan cara di bakar itu. Farel menoleh, mengangkat dua tusuk sosis dengan cengirannya yang melebar.

“Bentar, Ji. Gua laper.”

Ezio hanya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, lalu ia menoleh kembali ke arah Karina yang sudah tersenyum lebar, kakinya melangkah mendekat, satu senyum tipisnya tersungging begitu ia sudah berada di depan adik kelasnya itu.

“Bener Kak Ezio, kan?” Tanya gadis itu.

“Bener.” Ezio menganggukan kepalanya tipis. “Karina, ya?”

Cengiran di wajah gadis itu tercipta, ia kemudian mengulurkan tangannya. “Iya kak. Karina Zunaira, 12 ipa 1, panitia bagian stand bazar, hobinya jajan, tahun ini doain ya kak biar bisa lolos snmptn.”

“Amin.”

Kekehan Ezio mengalun pelan, ia dekatkan terlebih dahulu box yang dibawanya ke arah dadanya, kemudian mengulurkan tangannya, menyambut tangan Karina.

“Arshaka Ezio, angkatan 14. Panggil aja Zio, atau Jio juga boleh.” Ucap Ezio. “By the way, ini ditaro di mana ya, Karina?”

Karina refleks menepuk dahinya, ia geser sedikit posisi berdirinya. “Aduh, sorry, sorry, Kak. Taro disini aja, ini standnya Kak Zio.”

Gadis itu kemudian mengambil alih satu box yang berada di tangan Ezio, membantunya menaruh box itu pada meja stand yang sudah disiapkan sebelumnya. Ezio tersenyum tipis, ia turut taruh box yang dibawanya di sebelah box yang baru saja Karina taruh itu.

“Thanks, Karina.” Ezio sunggingkan senyumnya kembali. “Ah iya, kalau boleh, mau sekalian nitip ini. Nanti minta tolong dikasih ke yang beli, bisa kan?”

Ezio merogoh kantong celananya, mengambil beberapa lembar kartu nama milik bisnis kecil-kecilan yang ia bangun bersama dengan Kakaknya itu. Lembaran kartu nama yang ditaruh pada kotak kecil terulur ke arah Karina, gadis cardigan coklat susu itu dengan senang hati menerimanya.

“Lucu banget designnya. Ini Kak Zio yang ngedesign sendiri?” Tanya Karina, bola matanya menatap bergantian pada kartu nama dan wajah Ezio.

Tengkuk belakangnya yang tidak gatal itu Ezio usap sekilas. “Iya, hehehe.”

“Bagus banget. Karina simpen satu boleh ya, Kak? Siapa tau nanti kalo Mama ngadain acara bisa pesen jajanannya sama Kak Zio.”

“Oh iya gapapa, simpen aja, Karina. Siapa tau nanti butuh bisa hubungin Kakak.”

Ezio diam-diam membuang nafasnya lega. Setidaknya ia tidak harus berinteraksi dengan banyak orang untuk mempromosikan bisnis kecilnya secara langsung. Ia bukannya tidak senang bersosialisasi, hanya saja terlalu banyak berbicara dengan banyak orang bisa membuat dirinya kehabisan seluruh energinya.

Orang yang baru mengenalnya mungkin akan menganggap Ezio pendiam, ia lebih suka berinteraksi dengan satu atau dua orang secara langsung. Teman-teman yang dimilikinya pun tidak banyak, sejak bangku sekolah hingga tamat kuliah, ia hanya memiliki beberapa teman dekat, walaupun tidak sedekat dirinya dengan Farel.

“Karina!”

Gadis itu menoleh ke arah sumber suara, senyumnya mengembang penuh. “Abang! Sini!”

Ezio menolehkan kepalanya, lalu ia rasakan dunia disekitarnya melambat.

Di sana, berdiri sosok yang Ezio doakan selama perjalanan tadi tidak menghadiri acara reuni. Dengan senyum yang masih sama manisnya, lesung pipinya yang timbul dikedua sisi wajah itu sukses membuat Ezio berakhir termenung.

Haris Samudra, kakak kelasnya semasa sekolah, sekaligus cinta pertamanya di usia 16 tahun.

Kelopak mata Ezio mengerjap cepat begitu menyadari jika Haris berjalan mendekat ke arah mereka berdua, ia menolehkan kembali arah pandangnya pada Karina yang masih tersenyum itu.

“Eh, anu itu, Karina, ini Kakak tinggal gapapa kan ya? Kayaknya temen-temen angkatan Kakak udah pada dateng, jadi mau silaturahmi dulu.”

Karina menolehkan kepalanya, alisnya mengeryit menatap bingung ke arah Ezio yang terlihat mendadak panik itu. Tapi kemudian ekspresi bingungnya berubah sepersekian detik, kepala gadis itu mengangguk hingga membuat rambutnya turut bergoyang.

“Eh yaudah Kak, gapapa. Nanti waktu acara selesai Kak Zio bisa temuin Karina lagi ya di sini, Karina gak kemana-mana kok.”

“Oke deh, makasih banyak ya, Karina.”

“Iya Kak, sama-sama.”

Setelah itu Ezio dengan secepat kilat pergi dari sana, berjalan menuju Farel yang masih berdiri di depan salah satu stand, menunggu sosis bakarnya matang.

Haris bukannya tidak menyadari tingkah salah satu alumni yang tadi berbincang dengan Adiknya itu, tapi ia tidak ambil pusing, langkahnya semakin ia bawa mendekat ke arah Karina.

“Siapa tadi?” Tanyanya.

“Oh itu,” Karina menolehkan kepalanya sekilas ke arah Ezio yang berada di stand lain itu. “Kak Zio, angkatan 14, dia nitipin dagangannya di stand, Bang. Karina yang bantu.”

Ervan yang tadinya bersikap acuh tak acuh itu, tiba-tiba tersentak. “Zio... Ezio? Arskaha Ezio? Anjir! Beda banget!”

“Loh, Bang Ervan kenal?” Tanya Karina bingung.

“Bung!” Ervan menoleh ke arah Haris yang terdiam, menepuk pundaknya kencang lalu tawanya kemudian mengalun. “14! Hahahaha. Heh, Kar, gimana kita gak kenal kalau-”

“Kecilin suara lo.” Haris refleks menutup mulut Ervan dengan telapak tangannya. “Polusi.”

Ervan berdecak, ia menyingkirkan telapak tangan Haris di depan mulutnya. Namun baru saja ia akan membuka suaranya kembali, Haris langsung meliriknya dengan tajam, membuat Ervan hanya memutar bola matanya malas.

Karina memandang bingung dua lelaki seperempat abad di hadapannya itu. Mengerti jika Sang Adik mungkin merasa aneh dengan sikapnya, Haris berhedem singkat.

“Kita kenal. Dulu pernah kena tatar Abang waktu mos.”

“Ooohhh, pantes langsung pergi. Takut sama Abang ya dia.” Karina hanya menganggukan kepalanya polos, tidak bertanya lebih lanjut karena ada panitia lain yang tiba-tiba datang menepuk pundaknya, ia berbincang singkat, kemudian menatap kembali ke arah Haris dan Ervan. “Bang, Karina tinggal dulu yak, dipanggil ketua acara soalnya.”

Haris mengangguk, tangannya terulur mengusap rambut adiknya itu. “Yaudah sana. Abang juga mau muter-muter nyari temen yang lain.”

Begitu Karina berlalu dari hadapan mereka berdua, Haris menoleh ke arah Ervan yang kini menggaruk sudut hidungnya dengan ekspresi nyeleneh.

“Awas lo keceplosan di depan Karina.”

“Jiahh.” Ervan tertawa. “Iye dah iya, ngikut aja kite mah.”

Haris tidak menanggapi ucapan sahabatnya itu, ia mendengus, melipat kedua tangannya di depan dada. Kepalanya kemudian menoleh sedikit ke arah Ezio berada, menatap punggung adik tingkatnya itu selama beberapa saat sebelum seulas senyum tipis hadir di wajahnya.


“Itu, di situ aja, Rel.”

“Ah di sana aja, Ji. Pojok banget di situ mah, kagak keliatan nanti.”

Ezio menggeleng kuat, ia melirik kembali kemana telunjuk Farel mengarah. “Kedeketan.”

“Deket apanya sih, Ji? Yaelah lagian dia juga gak bakalan engeh sama lu.” Sahut Farel sambil menarik sebelah tangan Ezio. “Udah di sana aja, kagak bakalan kenapa-kenapa ini, lagian kita jadi bisa gabung sama anak kelas yang lain. Kalo lu kayak gini malah keliatan obvious banget tau.”

Sudut bibir Ezio melengkung ke bawah, ia dengan pasrah melangkahkan kakinya mengikuti arah Farel menarik tangannya. Mereka berdua kemudian masuk dalam kerumunan teman-teman sekelas mereka dulu, saling bertukar kabar dan cerita.

Namun, Ezio diam-diam tetap sesekali memperhatikan dimana kakak kelasnya itu berada, ia curi-curi pandang, sudut bibirnya terangkat sedikit ketika ia menoleh dan mendapati Haris sedang bersenda-gurau dengan teman-temannya itu.

Acara sudah dimulai dari satu jam yang lalu, panggung kini tengah menampilkan live music dari pengisi acara. Dibanding dengan acara reuni sekolah, ini lebih terlihat seperti sebuah festival.

Mereka berkumpul di tengah lapangan, berkumpul dengan kelas masing-masing semasa sekolah ataupun berkumpul dengan teman-teman satu ekstrakurikuler. Galak tawa, pelukan hangat, serta pertanyaan-pertanyaan umum terlontar memenuhi perbincangan mereka.

“Pssttt eh, tadi kalo gua gak salah liat si Haris sama Ervan dateng ya?” Salah satu teman sekelas Ezio bertanya dengan wajah penasaran. Suaranya mengalun berbisik.

“Iya, itu tuh, disebelah sana.” Sahut salah satu teman Ezio yang lain. “Makin cakep ya si Haris, penasaran gua cewenya secantik apa.”

“Lah? Emang dia punya cewe?”

“Ah elah lu, gak mungkin yang cakep begitu kagak punya pawang. Dulu aja dia jadian sama si.. siapa sih yang anak ekskul padus yang cakep itu, lupa gua, diem-diem kan.”

“Ohhh si Farah ya? Ck, inget gua yang tiba-tiba mereka ketauan pelukan dibelakang lab kimia.”

“Abis itu gosipnya heboh satu sekolah.”

“Ya iyalah, gimana kagak heboh, udah cakep, baik, komdis lagi. Anak basket lagi. Behhhh berapa kill tuh.”

Ekspresi wajah Ezio mengeruh, ia mengambil satu langkah mundur. Farel yang menyadari itu mengulum bibirnya menahan tawa, ia malah mendekatkan dirinya pada dua teman sekelasnya itu.

“Eh, katanya sih emang udah punya cewe, orang sana.”

Salah satu gadis dengan blouse biru memasang ekspresi wajah terkejut. “Hah? Sumpah lu, Rel? Tau dari mana?”

“Nebak aja sih, soalnya katanya dia jarang pulang, nah biasanya kalo jarang pulang kayak gitu kan kalo gak karena kerjaan kan pasti udah ada yang mincut.”

Mendengar ucapan Farel, sorot mata Ezio berubah sebal menatap sahabatnya itu. Ia tidak mempercayai ucapan Farel barusan karena Ezio tahu jika Farel hanya ingin membuatnya panas.

“Bisa jadi!”

“Nanti kalo dia tiba-tiba nyebar undangan gak kaget sih gua.”

“Pstt, eh, eh, orangnya jalan ke sini.”

Ketiga orang itu kompak berhedem singkat ketika menyadari jika seseorang yang mereka bicarakan sedari tadi, berjalan mendekat ke arah mereka.

Gadis dengan blouse biru itu berbisik ke arah Farel. “Ngapain dia ke sini?”

Ezio yang sedari tadi terdiam dengan fokus pandangannya yang mengarah ke arah lain tiba-tiba terdiam, terpaku pada sosok Haris yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Sesaat, bola mata mereka bertemu pada satu garis pandang lurus, Ezio yang pertama kali mengalihkannya, ia kemudian menundukan kepalanya, berdehem singkat untuk menghilangkan perasaan gugupnya yang tiba-tiba menyerang itu.

Tangannya kemudian terulur, menarik belakang kemeja flannel milik Farel, membuat sahabatnya itu langsung menoleh ke arahnya.

“Kenapa, Ji?” Tanyanya polos.

Ezio mengumpat di dalam hati, ia angkat kembali kepalanya, mata mereka bertemu lagi, langkah Haris semakin mendekat, membuat Ezio tiba-tiba refleks menarik tangan Farel untuk menjauh.

“Anterin gua ke toilet! Kebelet!”

“Hah?!”

“Eh lah, lah, Ezio! Farel! Lu mau kemana?!”

Ezio menoleh ke arah dua teman sekelasnya dulu itu. “Toilet!” Sahutnya cepat.

Farel yang masih sedikit linglung akibat Ezio yang langsung menariknya menjauh dari teman-teman mereka itu mengeryit heran, ia menolehkan kepalanya berulang kali ke arah Ezio dan ke arah belakang.

“Ji! Eh! Dia kagak mau ke kita tau! Woy! Orang dia mau ke temennya! Liat tuh!”

Langkah Ezio mendadak terhenti, ia dengan cepat menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan mendapati Haris yang kini berbincang dengan salah satu temannya yang Ezio ingat, jika mereka berada di ekstrakulikuler yang sama saat sekolah itu.

Posisinya tepat di depan gerombolan anak-anak kelas Ezio yang masih berkumpul.

Lalu ia meringis, menatap Farel yang memutar bola matanya malas. “Yaudah tanggung, sekalian anter gua aja, hehehe.”

“Haduh, Jio, Jio, umur lo udah mau 23 juga masih aja kayak anak smp baru puber.”

“Berisik, komentar mulu lu kaya presenter bola!”


Acara sudah selesai dari setengah jam yang lalu, lapangan sekolah yang tadinya dipadati ratusan alumi itu perlahan merenggang, gelak tawa serta obrolan-obrolan ringan memudar, di gantikan dengan ucapan selamat tinggal serta lambaian tangan.

Ezio dan Farel melangkahkan kaki mereka santai menuju parkiran, mereka memang pulang sedikit lebih lambat karena harus menunggu panita bazar selesai membagikan pendapatan hasil berjualan tadi itu.

Selama acara reuni berlangsung, Ezio selalu memastikan jika dirinya berada di posisi yang aman dan jauh dari eksistensi Haris. Walaupun ia selalu mencuri-curi pandang ke arah kakak kelasnya itu sesekali.

“Eh gua baru tau ternyata yang bantuin dagangan lu tadi itu adeknya Haris.” Farel menoleh ke arah Ezio sekilas, lalu kembali memasukan sosis bakarnya ke mulut.

Ezio melirik singkat sahabatnya itu dari ujung mata. “Dia emang punya adek cewe, gua udah tau dari lama sih. Cuman baru tau aja kalo Karina itu ternyata adeknya, abis bedanya jauh banget.”

“Kaget gak?”

Pertanyaan Farel barusan sukses membuat langkah Ezio terhenti, ia menoleh dengan ekspresi bingung. “Kaget? Kaget apanya?”

Dagu Farel terangkat sekilas. “Pas tau kalo yang bantuin lu ternyata adiknya Haris.”

“Dikit.” Ezio terkekeh. “Selebihnya gua kagum sih, dia cantik banget, attitudenya juga bagus, periang juga anaknya.”

Pundak Ezio disenggol pelan, ekspresi wajah Farel berubah. “Jiahhh.. ini bakalan ganti kesemsem sama adeknya apa gimana?”

“Ya enggak lah, tolong bedain ya mana kagum mana suka.” Ezio memasang ekspresi sebal. “Lu tau sendiri gua move on dari kakaknya aja lama banget.”

“Iya sih, orang sampe sekarang aja lu belum move on. Ngomong doang mau move on, eh pas ngestalk dia balik lagi dah tuh begonya.”

“Heh!” Kepala Farel di dorong pelan oleh Ezio. “Gausah berisik!”

Farel tertawa, ia menghabiskan sosisnya yang tinggal setengah dengan satu suapan. Ia kemudian mengeryitkan alisnya, membuat Ezio yang melihat itu langsung menatapnya bingung.

“Kenapa lu?” Tanyanya.

“Gua mau pipis! Tunggu sebentar di sini!”

Farel langsung memutar balik badannya, ia berlari kecil masuk kembali ke area sekolah guna mencari toilet. Ezio membuang nafasnya melihat tingkah sahabatnya yang satu itu.

Ia kemudian melanjutkan langkahnya sendirian, menuju motornya yang terparkir beberapa meter di hadapannya itu. Sesekali membalas sapaan alumni-alumni lain yang kebetulan berpapasan dengannya.

Ezio taruh dua box kosong itu pada bagian depan motornya, satunya lagi ia taruh di atas jok motor, menunggu Farel kembali dari agenda kebeletnya itu. Tarikan nafas panjang ia ambil, tangannya meraih ponsel dan membuka galeri foto.

Senyum tipis Ezio terukir saat menggeser layar ponselnya, memperhatikan foto-foto yang diambilnya dan beberapa diambil oleh Farel itu. Lalu gerakan jarinya terhenti pada satu foto.

Di sana, Ezio tersenyum manis ke arah kamera dengan latar belakang panggung acara. Namun jika diteliti lebih jelas, ada sosok Haris yang ikut terpotret bersamanya.

“Kak Zio!”

Ezio tersentak kaget, ia hampir saja menjatuhkan ponsel yang berada digenggamannya, kepalanya menoleh, mendapati Karina yang sudah terkekeh geli itu. Dengan cepat Ezio mematikan ponselnya, lalu memasukannya kembali pada kantung celana.

“Nganggetin aja.” Sahut Ezio sambil membuang nafanya.

Cengiran Karina mengembang. “Hehehe. Maaf ya kak. Karina ke sini cuman mau ngasih tau sesuatu.”

“Hm?” Alis Ezio mengkerut bingung. “Ngasih tau apa? Duit yang dikasih ke Kakak kelebihan ya? Apa gimana?”

Karina menggeleng. “Bukan kok.”

“Terus apa?”

Sebelah tangan gadis itu kemudian meraih sebelah tangan Ezio, lalu dengan cepat menaruh sesuatu pada telapak tangan Ezio dan langsung menutupnya dengan jari-jari Ezio.

“Eh? Apa ini?” Tanya Ezio bingung.

Karina tepuk sekilas kepalan tangan Ezio. “Sesuatu buat Kakak. Kalo gitu Karina balik lagi ke dalem ya kak, masih harus rapat eval nih.”

“Oh, iya, iya. Makasih banyak ya, Karina.”

Senyum manis Karina tercipta, membuat Ezio turut membalas senyum gadis itu. Sorot matanya mengikuti kemana Karina pergi, hingga ia menghilang di balik tembok pembatas.

Lalu bola mata Ezio bergulir menatap kepalan tangannya sendiri, kemudian ia renggangkan jari-jarinya dan mendapati sebuah kertas yang terlipat begitu kecil di sana.

Dengan rasa penasaran, lipatan kertas itu kemudian Ezio buka perlahan, ia dekatkan sedikit ke arah wajahnya guna membaca tulisan yang tertera di sana.

Kalo masih punya nomor gua yang lama, hapus aja. Simpen yang ini. Siapa tau nanti butuh.

+62813428XXXX

H.

Ezio pulang dengan wajahnya yang memerah malu, membuat Farel berulang kali bertanya terkait sikapnya yang tiba-tiba berubah aneh itu.

Natha mendekatkan bibir gelas pada bibirnya, hendak membasahi kerongkongannya yang mendadak kering. Namun belum satu teguk cairan bening itu masuk, ia terbatuk, bola matanya membulat dan dengan cepat menaruh gelasnya di meja pantry saat mendengar suara mobil Harvey yang memasuki garasi.

Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri dengan panik dan linglung secara bersamaan, pipinya menggembung karena air, lalu ia dengan cepat berlari menuju lantai atas.

Pintu kamar dibukanya, lalu ditutup dengan sedikit bantingan. Natha bergegas naik ke atas kasur, masuk ke dalam selimut dan berpura-pura tidur. Berharap jika mungkin Harvey tidak akan menghukumnya kali ini karena cuitan isengnya itu.

Natha menunggu, semenit, dua menit, hingga pada menit ke lima, ia mendengar kenop pintu kamar bergerak, lalu tidak berselang lama aroma tubuh Harvey menyeruak, masuk ke dalam indera penciumannya.

Langkah Harvey yang begitu senyap membuat Natha tidak tahu di mana letak keberadaan Harvey. Ia menunggu kembali, namun Harvey seakan-akan tidak menunjukan eksistensinya sama sekali setelah pintu terbuka tadi.

Dengan perlahan, Natha membuka sebelah kelopak matanya, berniat mengintip.

“Nunggu apa, Nath?”

“Anjing!”

Natha terpekik kaget, ia reflek menampar wajah Harvey yang begitu dekat dengan wajahnya, kemudian ia meringis saat mendapati Harvey memejamkan matanya sambil menghela nafas.

Buru-buru Natha menangkup kedua sisi wajah Harvey menggunakan tangannya, ia meringis, menunjukan deretan giginya, lalu kemudian mengigit bibir bawahnya saat menyadari jika pipi Harvey perlahan berubah kemerahan.

“Sorry, refleks. Abis lo ngagetin gua sih!”

Harvey kemudian menatap bola mata bulat yang berada di bawahnya selama beberapa saat, lalu ia meraih kedua tangan Natha yang berada di sisi wajahnya, menurunkannya perlahan, lalu menggenggam dua pergelangan Natha hanya dengan satu tangannya.

Ia bawa naik kedua tangan Natha menuju atas kepalanya yang berada di bantal, lalu menahan tangan Natha disana. Sebelah kaki Harvey naik ke atas kasur, tubuhnya semakin merunduk, membuat Natha langsung menelan ludahnya gugup.

Harvey yang menyadari itu mendengus, sebelah tangannya kemudian bergerak menuju wajah Natha, menangkup sebelah wajahnya, lalu perlahan Ibu jarinya bergerak menyentuh bagian bawah bibir Natha, menariknya ke bawah.

“Don't bite your lip. I want to do that,” Bisikan Harvey mengalun rendah. “Doll.”

Kelopak mata Natha mengerjap cepat, ia tidak diberikan waktu untuk membalas ucapan Harvey barusan karena suaminya itu langsung merunduk, meraih bibirnya, menggantikan giginya yang tadi mengigit bibir itu.

Natha meleguh, bibir Harvey bergerak begitu tergesa, melumat bibir bawahnya tanpa memberikan ia waktu untuk membalas lumatan yang Harvey lakukan itu. Ia pejamkan kelopak matanya kembali karena tidak sanggup menatap sorot mata Harvey yang begitu dalam menatapnya.

Sebelah tangan Harvey yang berada wajahnya perlahan bergerak turun, menyentuh rahang, dan berakhir menangkup sisi lehernya. Hangat telapak tangan itu membuat Natha kembali meleguh, merasa geli ketika jari-jari Harvey bergerak mengelus permukaan kulitnya.

Setelah memberikan lumatan bergantian pada bibir bawah dan bibir atas Natha, Harvey menjauhkan wajahnya, membuat suara kecupan saat dua bibir itu terpisah menggema renyah.

Natha buka kembali kedua kelopak matanya, menatap Harvey yang kini tergesa membuka jas kantornya, lalu menggulung kedua lengan kemejanya hingga sebatas siku. Ia naik sepenuhnya ke atas kasur, berada tepat di atas tubuh Natha guna mengukungnya, kedua tangannya berada masing-masing di sisi kepala Natha.

“Say it again.”

“What?” Tanya Natha dengan raut wajah yang berubah bingung. “Say what?”

“Something that you posting on your private account,” Sebelah sudut bibir Harvey terangkat perlahan. “Say it again, right now, infront of my face.”

Natha meringis. “I'm just kidding.”

“Say it again, Natha.”

Kepala yang berada dibawahnya menggeleng tipis, Harvey mendengus, ia bawa wajahnya semakin merunduk, menyentuh ujung hidung bangir Natha. Sorot matanya tidak melepas kontak sama sekali dengan kedua mata suami cantiknya itu.

“Kenapa gak mau?” Tanyanya.

“I'm just kidding, Harvey.” Natha merengek, ia gigit kembali bibir bawahnya ketika ujung hidung Harvey bergerak menuju pipinya.

“Tau konsekuensinya, kan?”

Natha terdiam selama beberapa saat sebelum kepalanya mengangguk tipis. Ia taruh kedua tangannya pada pundak Harvey begitu hidung suaminya itu bergerak semakin turun.

Senyum tipis Harvey diam-diam tercipta, ia menyentuh inchi per inchi kulih Natha dengan ujung hidungnya, menggeseknya tepat diceruk leher Natha sesaat sebelum memberikan kecupan tipis disana.

“Lo wangi banget, Nath.”

Natha mendesis pelan. “Shhh, Harvey.”

“Yes, baby.”

Ciuman Harvey terpaku pada satu titik di bawah telinga Natha, mengecupnya selama berulang-ulang, kemudian memberikan satu titik merah pekat di sana.

“Vey,” Natha mendorong pundak Harvey, mencoba menjauhkan bibir suaminya itu dari ceruk lehernya. “Sebentar, gua mau ngomong.”

“Gua udah tau, Nasha juga bilang sama gua.”

'Shit.' Umpat Natha di dalam hati.

Harvey terkekeh, ia kemudian menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Natha, memberikan dua kecupan pada bibirnya. “Semua perlengkapannya gak ada yang kurang kan?”

“Enggak, gua udah cek kok.” Jawab Natha, “Tapi nanti kayaknya gua mau nambahin beberapa dekorasi.”

Kepala Harvey mengangguk. “Do what ever you wanna do, gua tau lo pasti ngasih yang terbaik.”

“Harus.” Natha tersenyum tipis, “This is my first time.”

“Our.” Koreksi Harvey. “Our first time.”

“Sorry, Mr. Tanjung. I mean, our first time.” Senyum Natha semakin mengembang, ia memperhatikan wajah Harvey yang berada di atasnya itu. “Gak kerasa ya.”

“Ya.” Harvey mengangguk tipis, satu tangannya bergerak menuju pelipis Natha, lalu mengusapnya kebelakang. “Sesuatu yang membahagiakan emang terkadang jalannya cepet banget, Nath.”

“Lo nyesel gak?”

“Nyesel kenapa?”

“Karena gua gak inget lo sama sekali sebagai temen kecil gua, waktu awal kita ketemu di basement, mana kayaknya waktu itu gua juga nge-fuck sama lo kan? Ditambah sikap gua di awal pernikahan kita.”

Harvey tertawa pelan. “Enggak. Gak nyesel sama sekali. Justru gua seneng.”

“Kenapa seneng?” Tanya Natha penasaran.

“Karena gua suka tantangan.” Pelipis Natha diusap kembali. “Lo, Natha Dimitri, manusia paling keras kepala yang pernah gua temuin, pembangkang, gak suka di atur, gampang emosian. Diri lo itu udah jadi satu tantangan terbaik buat gua, tantangan gimana gua harus naklukin kucing nakal kayak lo biar jadi penurut.”

Alis Natha mengkerut mendengar perkataan Harvey. “Lo nyamain gua sama kucing?”

“Bukannya emang selalu jadi kucing kalo lagi main?”

“Ck,” Natha berdecak sebal, Harvey memang paling mahir membuatnya skakmat. “Terserah lo deh.”

Harvey tertawa, ia mengecup dahi Natha sekali, lalu menatap kembali bola mata cantik itu. “So pretty as fuck.”

“Vey.”

“Hm.”

Sebelah tangan Natha beranjak naik, menyentuh rambut tebal Harvey. “Seandainya dulu kejadian itu gak terjadi, dan Hadley masih ada sama kita, kayaknya kita gak akan kayak gini ya?”

“Kata siapa?” Sahut Harvey cepat. “Kalau perjodohan kita sesuai dengan rencana awal, itu juga gak akan mungkin berhasil.”

“Why?”

“Karena dari dulu gua tertariknya sama lo.”

Natha terdiam dengan ekspresi wajah bingungnya, menunggu Harvey melanjutkan kembali ucapannya yang menggantung tadi.

“Mungkin dulu lo gak akan nyadar kalo gua lebih suka main berdua sama lo, dibanding kita main berempat. Gua suka ngeliat lo ketawa sama gua, cuman sama gua, gak ada Hadley ataupun Nasha.”

“Cih,” Natha terkekeh. “Posesifnya udah dari dulu ternyata.”

Harvey tersenyum simpul, arah pandangnya bergulir turun, menatap bibir Natha selama beberapa saat sebelum meraihnya kembali.

Bibirnya bergerak begitu lembut, halus menyentuh bibir Natha, berbeda dengan ciumannya di awal tadi. Sebelah tangannya yang berada di pelipis Natha turun, menggeser sedikit posisi selimut lalu mengangkat kaus yang dipakai Natha hingga sebatas bawah dada.

Nafas Natha berhembus berat ketika telapak tangan hangat itu menyentuh pinggangnya, mengelusnya perlahan hingga ia rasakan bulu kuduknya meremang. Harvey memang tahu betul bagaimana cara membuat dirinya tunduk, patuh pada kuasa dominan Harvey yang bisa membuatnya tercekik itu.

Kedua kaki Natha bergerak naik, ia taruh pada sisi pinggang Harvey guna mengapit tubuh suaminya itu lebih erat. Tangannya pun sama, bergerak merengkuh leher Harvey, memperdalam ciuman mereka.

Keduanya begitu larut, nafas semakin menderu dengan suara decakan pelan mulai terdengar. Kedua mata mereka terbuka, menatap begitu dalam pada satu sama lain.

Harvey jauhkan wajahnya ketika menyadari nafas Natha memendek, benang saliva memanjang dari bibirnya dan juga bibir Natha. Satu senyum tipis ia lukiskan begitu ia tempelkan dahinya dengan dahi Natha.

“Mine.” Bisik Harvey pelan.

Natha tersenyum tipis. “Yours.”

Belah bibir itu menyatu kembali, mengantarkan buncahan perasaan yang tidak bisa mereka jabarkan dengan kata-kata. Tumpah ruah menjadi satu.

Namun Natha tiba-tiba menjauhkan bibirnya, membuat Harvey menatap bingung ke arahnya. Namun tatapan bingung itu menjadi sebuah seringai tipis yang menghiasi wajah tampannya begitu Natha dekatkan bibirnya pada telinga Harvey.

Natha kembali berbisik, namun dengan intonasi yang jauh berbeda dari sebelumnya. Begitu sensual, siap menantang Harvey saat itu juga. Kedua tangannya pun turut melepas kancing-kancing kemeja yang dipakai Harvey dengan gerakan menggoda.

“Fuck me.”

“Say please.”

“Please, fuck me, Harvey Tanjung.”

Harvey mendengus, seringai tipis di wajahnya semakin terlihat. Ia tatap dalam-dalam bola mata Natha sebelum bergerak meraih bibir ranum itu kembali.

“Cry if you want to cry, baby.”

Harvey mencium punggung tangan Natha yang berada digenggamannya. Kepalanya menoleh sekilas, menatap Natha yang kini menundukan kepalanya dengan rahang yang mengeras.

Natha menggelengkan kepalanya, bibir bawahnya ia gigit kuat, matanya menatap layar ponsel yang berada di pangkuan, menampilkan roomchatnya dengan Deon itu. Berharap jika centang satu pada pojok kanan bubble chat itu berubah menjadi centang dua biru.

“Vey, bisa lebih cepet gak? Gapapa ditilang juga, nanti biar gua yang nebus.” Ucap Natha pelan. “Gua cuman pengen ngeliat Deon.”

“Wait, Nath. Sebentar lagi sampe. Deon gak akan kenapa-kenapa.” Sahut Harvey dengan suara lembutnya, gengaman tangannya pada tangan Natha ia pererat. “Kata lo dia kuat, kan? Dia pasti bertahan.”

Harvey tentu mengerti betul bagaimana perasaan Natha hanya dengan melihat ekspresi wajah suami cantiknya itu. Satu tarikan nafas dalam ia ambil, mengingat kembali suara bergetar Juna di ujung telfon saat menelfonnya tepat setelah Juna mengabari Natha.

Disatu titik lain, Harvey juga paham bagaimana sahabatnya itu mulai menaruh rasa pada salah satu sahabat Natha-nya.

Sein mobil dihidupkan, Harvey memutar stir mobilnya dengan sebelah tangan, membelokan laju mobil pada bagian lajur kiri begitu palang pintu keluar toll sudah terlihat.

Selama perjalanan, Natha hanya terdiam, pandangannya kosong, mencoba menghalau pikiran buruk yang langsung menyerangnya tiba-tiba. Belum ada satu jam ia mengantarkan Handoko pada ajalnya, dan ia sangat tidak ingin jika Handoko turut membawa serta Deon pergi.

Deon memang terkadang terlalu menyebalkan dimatanya, namun Deon juga yang selalu ada untuknya dalam situasi apapun, sama seperti Ellio. Mereka berdua menduduki posisi yang sama di hati Natha seperti keluarganya.

Sekelebat ingatan saat ia pertama kali bertemu dengan Deon masuk dalam pikirannya.

Saat itu baru selesai masa orientasi mahasiswa baru hari pertama, ia bersama dengan Ellio yang kebetulan satu kelompok denganya itu baru saja selesai meminta tanda tangan kakak tingkat, namun tiba-tiba Deon dari kelompok lain datang, menepuk pantatnya dan pantat Ellio begitu kencang.

'Muka lu berdua kayak bukan anak baik-baik, ayo kita temenan!'

Ia yang awalnya begitu risih dengan tingah Deon yang suka seenaknya itu, justru lama-lama malah semakin lengket. Mereka bertiga menempel seperti perangko, perbedaan jurusan tidak menghalangi mereka bertiga untuk tetap menghabiskan waktu bersama setelah kelas selesai.

Mereka bertiga merasakan naik turun bersama, tanpa saling meninggalkan. Jika salah satu bahu dari mereka turun, maka dua lagi akan berusaha membantu bahu itu naik kembali.

Karena seorang sahabat yang tulus tidak akan meninggalkan sahabatnya yang sedang jatuh tersungkur, justru ia lah yang akan mengulurkan tangannya pertama kali untuk membantu kita bangkit kembali.

Natha mengangkat kepalanya begitu mobil sudah memasuki area rumah sakit, jantungnya berdegup semakin cepat, genggaman tangan Harvey ia lepas, setelahnya melepas seatbelt yang ia gunakan.

Mobil belum sepenuhnya dalam keadaan terparkir, tapi Natha langsung membuka pintu mobil kurang dari satu detik Harvey membuka kuncinya. Begitu tergesa,

“Nath! Natha!”

Harvey berdecak, ia langsung memematikan mesin mobil, melepa seatbeltnya, dan dengan cepat keluar dari dalam mobil guna menyusul Natha yang sudah berlari terlebih dahulu itu.

Pertahanan Natha luruh detik itu juga, setetes air matanya mengalir. Kakinya melangkah begitu cepat, suara ketukan langkahnya menggema begitu nyaring, membuat semua orang yang berada di lorong rumah sakit langsung menolehkan kepala padanya.

Tapi persetan dengan itu semua, Natha tidak peduli. Ia berhenti tepat di depan lift, telunjuknya menekan tombol yang berada di dinding berulang kali, berharap pintu besi di hadapannya segera terbuka.

“Natha!”

Suara Harvey yang memanggil namanya Natha tidak ia hiraukan, Natha langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift begitu pintu besi itu terbuka.

Harvey membuang nafasnya gusar begitu ia terlambat untuk masuk ke dalam lift, beruntungnya ia ketika lift yang berada di sebelahnya terbuka setelah kurang dari dua menit Harvey menunggu.

Begitu tiba di lantai dimana Deon di rawat, Natha keluar dari dalam lift dengan tergesa. Satu tetes air matanya mengalir kembali, langsung Natha usap menggunakan punggung tangannya, bibirnya terkulum rapat, hatinya berteriak, memohon pada Tuhan agar masih memberikan Deon waktu agar tetap bersamanya.

Langkah tiba-tiba melambat begitu mendapati Eric, Juna, dan Ellio yang terduduk di kursi tunggu depan ruang rawat Deon. Mereka semua menunduk, namun Natha bisa dengan jelas melihat bahu Ellio bergetar dirangkulan Eric.

Satu pikiran buruk yang berusaha ia usir jauh-jauh kini datang kembali. Sorot matanya berubah kosong, ia melangkah tertatih ke arah tiga orang yang belum menyadari kehadirannya itu.

“Jangan bilang kalau-” Ucapan Natha mendadak terhenti, membuat mereka bertiga langsung mengangkat kepalanya kompak ke arah Natha. Arah pandang Natha tertuju pada Ellio. “El, jangan bilang-”

Ellio tiba-tiba bangkit dari posisi duduknya, langsung memeluk Natha begitu erat. Tangisnya lepas, meledak dipelukan Natha.

“Resusitasinya berhasil, Nath. Deon tetep bertahan sama kita di sini.” Senyum Ellio merekah disela air matanya yang menggenang. “Udah gua bilang kan, Deon gak akan ninggalin kita.”

Detik itu juga, Natha rasakan kedua kakinya tidak kuat lagi menopong bobot tubuh. Ia limbung, namun dengan cepat Ellio serta Harvey yang baru saja tiba langsung menahan tubuhnya.

“Natha!” Seru mereka kompak.

Natha jatuh terduduk, membuat Ellio pun jadi ikut bersimpuh di atas dinginnya lantai rumah sakit. Perasaannya meledak, begitu lega, Tuhan masih begitu baik untuk mengabulkan satu doanya.

“Deon anjing, udah gua bilang dia cuman ngeprank kita.” Kekeh Natha dengan air matanya yang mengalir, memeluk Ellio tak kalah eratnya. “Liat aja, gua tonjok beneran dia kalo udah bangun nanti.”

Harvey yang mendengar perkataan Natha tersenyum tipis, mengelus punggung Natha perlahan. Hatinya turut merasa lega, lalu arah pandangnya ia alihkan, menatap Juna yang juga menatapnya.

Ia bangkit, berjalan menuju Juna dan Eric yang kini bangun dari posisi duduknya. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum saling berpelukan singkat.

“Setelah ini, gua harap gak akan ada lagi kejadian kayak gini.” Ucap Juna pelan. “It's too enough.”

Eric menganggukan kepalanya. “Udah cukup kita kayak agen mafia, gua mau fokus jadi fotografer sambil makanin risolnya Ellio tiap sore.”

Harvey tertawa kecil, ia raih kembali dua pundak sahabatnya itu, memberikan satu pelukan hangat sekali lagi.

“Thanks. Gua berhutang budi banyak sama kalian berdua.”

“Gapapa, Vey. Asalkan kita dapet cipratan saham mah gapapa banget.”

Mereka bertiga tertawa, Harvey lepas rengkuhannya, kepalanya kemudian menoleh ke arah Natha. Satu senyum manis terlukis diwajahnya, hingga membuat lesung pipinya timbul.

Natha balas senyum Harvey, ia kemudian terkekeh kecil, menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tanpa suara, bibirnya bergerak pelan.

“I love you, Harvey Tanjung.”

Tw // violence , gun , murdering , death


Dua hari berlalu dari terakhir Natha bangun dengan ingatan kanak-kanaknya yang kembali itu. Ia dan Harvey sudah keluar dari rumah sakit, namun masih belum melakukan aktifitas apa-apa karena Harvey melarangnya melakukan ini itu.

Natha mengambil satu buah risol yang berada di atas meja, pemberian Ellio yang tadi siang datang berkunjung bersama dengan Eric. Sahabatnya itu berubah menjadi sangat berisik, tidak seperti Ellio-Ellio sebelumnya, bertanya ini itu, mengecek tubuh Natha berulang-ulang kali, memastikan jika temannya itu sudah dalam keadaan baik-baik saja.

Namun ditengah obrolannya bersama Ellio, Natha selalu teringat pada Deon yang masih berada di atas bangsalnya. Luka tembakan yang cukup dalam di bagian punggung membuat Deon betah tertidur hingga saat ini.

Natha hanya menjenguknya sekali, saat ia akan pulang dari rumah sakit kemarin. Mungkin setelah satu urusan lagi selesai, ia akan berkunjung kembali untuk menjenguk Deon, dan sekalian mengunjungi makam Hadley.

“Mulut lo belepotan mayo.”

Harvey tiba-tiba datang mengagetkannya, tangannya langsung mengelap mulut Natha dengan tissue. Natha terbatuk-batuk, tersedak potongan telur rebus yang berada di dalam risol, ia mendelik kesal ke arah Harvey yang kini sedang terkekeh sambil mengambilkannya minum itu.

Begitu Harvey sudah mengulurkan segelas air padanya, Natha dengan cepat merebut gelas tersebut lalu meneguk isinya hingga tandas.

“Gua hampir mati, sialan!”

“Gapapa, nanti gua ikut mati sama lo.”

“Ngaco nih orang.” Kata Natha sambil menaruh kembali gelas di atas meja. “Kepala lo kena berapa kali pukulan sih kemaren?”

Harvey memutar bola matanya ke atas, berpikir sejenak, lalu ia naikan bahunya sekilas. “Gak tau, gak ngitung, Nath. Gua terlalu fokus sama lo.”

“Cih.” Natha berdecih, ia kemudian melahap sisa risolnya dalam satu suapan, “Ayo, berangkat sekarang gak?”

Tangan Harvey terulur untuk mengacak-acak rambut Natha. “Ayo. Udah gak sabar ya?”

“Iya.”

Pundak Natha kemudian di rangkul oleh Harvey, ia mengelap mulut Natha terlebih dahulu dengan tissue kembali, setelahnya senyum tipisnya merekah. Natha turut membalas senyumnya barusan.

Kaki keduanya melangkah seirama menuju pintu rumah, Harvey lepas rangkulannya ketika Natha hendak mengunci pintu itu.

“Mobil gua yang bawa ya, Vey.” Ucap Natha begitu ia membalikan badannya, menatap Harvey. “Tangan lo masih sakit kan.”

“Nath.” Suara Harvey terdengar protes. “Gua aja.”

“Yaudah berangkat sendiri sana, gua bawa mobil yang satunya.”

Natha mendengus, ia mendelikan matanya ke arah Harvey yang hanya bisa membuang nafas berat. Kakinya kemudian melangkah lebih dahulu menuruni anak tangga di depan teras itu.

“Iya, iya, lo yang nyetir.” Ucap Harvey saat mendapati Natha menghentakan kakinya itu. “Keras kepala lo emang susah banget dilawan.”

“Nah gitu dong!” Sahut Natha sumrigah, ia kemudian mengadahkan tangannya ke arah Harvey. “Kuncinya.”

Kunci mobil terlempar, melayang ke arah Natha dan langsung di tangkap tepat olehnya itu. Cengirannya merekah, ia kemudian membuka pintu kemudi lalu mulai menyalakan mesin.

Rem tangan di tarik, kopling diinjak perlahan seirama dengan persneling yang diubah pada mode mundur itu. Natha menolehkan kepalanya ke arah belakang dengan kakinya yang perlahan menginjak pedal gas.

Ia terkekeh begitu mendapati Harvey yang memasang wajah masam berdiri di samping pagar, guna menutupnya kembali ketika mobil sudah keluar dari garasi.

Begitu mobil sudah berada di jalanan aspal depan rumah, dan Harvey sudah selesai menutup gerbang, Natha mengambil nafasnya dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Pintu penumpang terbuka, Harvey masuk ke dalam mobil dan langsung memasang seatbeltnya.

“Rileks, baby.” Katanya saat menyadari jika ekspresi wajah Natha terlihat sedikit tegang.

“Gausah bawel.” Natha melirik sinis ke arah Harvey. Ia menarik nafasnya kembali sebelum mulai menginjak pedal gas. “Abis ini temenin gua ke club.”

“No clubbing for a week.”

“Yaudah gua bisa sama Ellio kal-”

“Dimitri.”

Natha berdecak. “Fuck you.”

“I'll fuck you too then.” Sahut Harvey santai.

Mobil hitam itu mulai melaju, melebur bersama lalu lintas jalanan malam yang masih cukup padat. Natha membawa mobilnya dengan ekspresi merengut, namun yang sebenarnya terjadi di dalam dirinya adalah rasa gugup, sekaligus emosinya yang berusaha ia tekan agar tidak meledak.

Handoko yang ia kira sudah mati terkena tiga timah panas tembakannya itu, ternyata masih cukup kuat untuk bertahan hingga saat ini, walaupun dalam keadaan kritis. Anak buah keluarga Tanjung hanya ditugaskan untuk mengambil peluru di tubuh Handoko saja, urusan setelahnya diserahkan pada Harvey dan Natha.

Karena Tanjung masih terlalu shock dengan terungkapnya dalang masalah keluarganya itu. Masih tidak menyangka jika teman dekatnya yang sudah dianggap mati itu, masih hidup untuk membalaskan dendam padanya.

Letaknya tidak terlalu jauh, masih berada di pinggir kota, satu tempat dengan tempat dimana Harvey, teman-temannya, dan kedua Ayah mereka melakukan pertemuan malam itu.

Natha melajukan mobilnya sedikit lebih cepat, menembus lenggangnya jalan toll yang tidak terlalu padat seperti di jalan arteri tadi. Helaan nafas beratnya berulang kali terdengar.

Harvey menyadari itu, ia menoleh, menatap wajah Natha dari samping lalu sebelah tangannya terulur, menyentuh paha Natha lalu merematnya pelan.

“Calm down, baby. It will be easy.”

“Yeah, killing someone should be easy for you. Not me.”

Tawa Harvey menguar pelan, ia mengelus paha Natha sepanjang perjalanan, memberikan rasa tenang pada suami cantiknya yang begitu terlihat gugup.

Lima belas menit kemudian, mereka tiba di sebuah area gudang yang cukup besar, masih salah satu properti milik keluarga Tanjung yang yang hanya digunakan untuk menyimpan besi-besi tua. Pintu gerbang abu-abu itu terbuka bersamaan dengan mobil yang mulai mendekat.

Natha memelankan laju mobil begitu mereka tiba dipekarangan gudang yang mungkin bisa menampung belasan mobil itu. Helaan nafas beratnya kembali berhembus, pedal rem ditekan perlahan, lalu mobil berhenti tepat di depan pintu masuk gudang.

Mesin mobil kemudian dimatikan, tapi Natha sama sekali belum terlihat ingin beranjak dari posisinya. Pundaknya disentuh oleh Harvey, membuat Natha menoleh dengan sorot matanya yang gelisah.

“Just do it quickly.” Tutur Harvey.

Natha akhirnya mengangguk, ia melepas seatbeltnya lalu membuka pintu mobil, menatap lurus ke arah pintu gudang sebelum kembali mengambil nafas panjangnya.

“Nath.”

Harvey memberikan gestur agar Natha segera berjalan masuk ke dalam gudang, tapi Natha justru berjalan mendekat ke arahnya, meraih tangan Harvey untuk ia genggam.

“Pegangin gua, gua nervous.” Cicitnya pelan.

Dengusan geli Harvey keluarkan, ia kemudian mengenggam tangan Natha lebih erat, lalu membawa suami cantiknya itu masuk ke dalam gudang dengan penerangannya yang minim itu.

Mereka disambut beberapa anak buah keluarga Tanjung setelah pintu terbuka, salah satu dari mereka kemudian berjalan di depan Natha dan Harvey, mengarahkan mereka pada ruang kedap suara yang terletak di ruang bawah tanah.

Semakin dekat dengan lokasi, Harvey semakin bisa merasakan jika langkah Natha memberat, jari-jari yang berada terselip diantara jari-jarinya itu mendingin. Satu kecupan Harvey berikan di pelipis Natha.

“Kalo gak sanggup, gapapa lo tunggu di luar aja. Biar gua yang ngelakuin.”

Natha menggeleng. “Gua bisa.”

“Yakin?”

“Yakin.”

Begitu pintu ruang kedap suara itu terlihat, Harvey melepas genggamannya pada tangan Natha, ia persilahkan Natha masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan.

Jantungnya berdegup cepat, Natha mengambil nafasnya melalui mulut selama beberapa kali. Menoleh ke arah Harvey yang berada tepat dibelakangnya, lalu ia dapati suaminya itu mengangguk tipis.

“Just do it quickly, Natha. Quickly.” Bisik Natha pada dirinya sendiri.

Pintu di hadapanya perlahan terbuka, aroma pengap serta udara lembab menyeruak keluar dari dalam sana. Natha pejamkan kelopak matanya sesaat, lalu setelah itu ia mengambil langkah maju.

Tubuhnya seketika membeku di tempat saat matanya sudah mendapati Handoko yang duduk bersimpuh di dalam ruangan, kedua kaki dan tangannya terikat rantai, persis seperti apa yang pernah lelaki itu lakukan padanya dulu.

Ekspresi wajah Natha yang tadinya gugup, berubah dengan cepat. Sorot matanya menajam, menatap Handoko yang menundukan kepalanya dengan nafas yang terengah.

Kilas balik memori lamanya kembali berputar, Natha tahu jika ia melakukan ini, ia tidak ada bedanya dengan Handoko itu. Tapi yang dilakukan Handoko lebih kejam dari apa yang akan ia lakukan sekarang.

Lelaki tua itu membunuh Hadley, membuatnya lupa ingatan, dan membuat sahabat baiknya harus berada diantara hidup dan mati. Handoko pantas mendapatkannya.

Kakinya melangkah mendekat, suara ketukan langkahnya terdengar di ruangan yang begitu sunyi itu. Membuat Handoko yang berada di ambang batas sadarnya mengangkat kepalanya, bola matanya membulat ketika mendapati Natha yang berdiri beberapa meter dari tempatnya itu.

Mereka saling bertatapan, namun sorot yang menguar dari keduanya begitu berbeda.

“Natha, ampun, saya minta maaf, tolong jangan bunuh saya.”

Handoko memohon, ekspresi wajah lelaki tua itu begitu memelas, meminta belas kasihan pada Natha yang hanya terdiam dengan wajah datar.

“Saya tahu yang saya lakukan selama ini salah, saya minta maaf, tolong jangan bunuh saya.”

“Kenapa anda baru sadar sekarang, Pak Tua?” Tanya Natha dengan nada remeh.

Harvey diam-diam menyeringai dibelakang suami cantiknya itu. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatap bergantian ke arah Natha dan Handoko. Menunggu pertunjukan dimulai.

“Saya minta maaf, Natha. Saya minta maaf.”

Permohonan maaf itu bagaikan angin lalu, Natha terdiam dengan rahangnya yang perlahan menggeras, emosi yang ditahannya sedari tadi mulai menyeruak keluar.

“Saya menyesal,” Handoko terbatuk lemah. “Setidaknya, izinkan saya untuk meminta maaf terlebih dahulu pada Deon dan Ibunya.”

“Percuma.” Natha menyahut dengan cepat. “Percuma anda meminta maaf pada Deon karena dia tidak akan pernah menerima permintaan maaf anda.”

“Maksudnya?”

“Karena anak yang tidak anda harapkan keberadaannya itu, kini sedang berada diatara hidup dan matinya.”

Natha mendesis, semakin lama menatap wajah Handoko membuat emosinya semakin cepat terkumpul. Sebelah tangannya sudah bersiap-siap untuk bergerak.

“Maksudnya Deon se-”

Dor!

Timah panas melesat cepat secepat Natha meraih barette yang berada dibelakang punggungnya. Menembakannya tepat ke arah jantung Handoko hingga lelaki tua itu langsung kehilangan nyawanya detik itu juga.

Natha terdiam, menatap Handoko selama beberapa saat sebelum menurunkan tangannya kembali. Dendam keluarganya dan keluarga Tanjung terbalas, nyawa harus dibayar dengan nyawa.

Suara tepuk tangan mengalun pelan, membuat Natha menoleh ke arah belakang lalu mendapati Harvey yang menyeringai ke arahnya. Barette itu terlepas dari genggaman, Natha bergerak cepat untuk menghambur kepelukan suaminya itu.

Harvey dengan senang hari melebarkan tangannya, menyambut Natha dengan sebuah pelukan hangat. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengelus belakang kepala Natha.

Sorot matanya menatap datar Handoko yang kini sudah tidak bernyawa itu. Seringainya tercipta semakin jelas. Ia kemudian mendekatkan mulutnya pada telinga Natha, berbisik dengan suara beratnya yang dalam.

“Good job, Baby. Good job.”

Tw // mention of trauma , kidnapping activity , violence , panic attack , murdering


Harvey tersenyum kecil ke arah seorang perawat yang baru saja memeriksa kondisinya kembali sambil bergumam terima kasih. Sebenarnya, ia sudah merasa baik-baik saja, sebuah luka bekas sayatan pisau tidak ada apa-apanya untuk Harvey, namun Natha dengan keras menolak jika Harvey dilakukan rawat jalan.

Karena tidak ingin beradu argumen dengan Natha di kondisi yang baru saja mereka alami, Harvey turuti keinginan suami cantiknya itu. Sedangkan Natha hanya mendapatkan perawatan ringan, karena lukanya yang tidak terlalu parah.

Setelah perawat keluar dari ruangan, Harvey menolehkan kepalanya ke arah Natha yang masih tertidur di sofa panjang ruang inapnya. Tadinya Harvey sudah memaksa Natha agar tidur dalam satu bangsal yang sama, tapi Natha dan sikap keras kepalanya memang sudah sangat begitu lengket.

Melihat Natha yang menggeliat dan meleguh pelan, senyum di wajah Harvey melebar, ia kemudian turun dari atas bangsalnya sambil menarik tiang infusnya itu, berjalan mendekat ke arah Natha yang masih belum terusik dengan bias cahaya matahari di waktu yang sudah beranjak sore.

Harvey mendudukan dirinya tepat dibagian sofa yang masih tersisa sedikit, tangannya yang bebas dari infus itu terulur, mengelus lembut rambut Natha selama beberapa saat sebelum turun menyentuh plester di wajahnya.

“Sorry, I can't keep my promise.” Bisiknya pelan.

Natha yang merasakan ada sesuatu yang menyentuhnya mulai menggeliat kembali, ia ubah posisi tidurnya menjadi terlentang, alisnya mengkerut, kelopak matanya perlahan terbuka, nafasnya terhela ketika mendapati Harvey yang duduk tepat di samping dirinya itu.

“Kenapa? Mau makan? Mau ke kamar mandi?” Tanya Natha sambil mengumpulkan kesadarannya, ia gunakan sebelah tangan untuk mengucek matanya. “Mau dipanggilin suster?”

“No, baby.” Sahut Harvey dengan suara beratnya yang serak. “I just wanna see your face closely.”

Kelopak mata Natha mengerjap cepat, meraih fokus pandangannya. Ia kemudian bangkit dari posisi tidurnya, terduduk dengan raut wajah mengantuk serta rambutnya yang berantakan. Bola mata bulatnya menatap ke arah Harvey.

“Tangannya sakit gak? Perut? Dada? Ada yang sakit?” Tanya Natha lagi. “Apa mau muntah?”

“Engga, Nath. I'm fine, don't worry.” Harvey terkekeh geli. Ia meraih botol minum yang berada depat di meja depannya, membuka tutupnya lalu menyerahkannya pada Natha. “Minum dulu.”

Tangan Natha terulur, meraih botol yang diberikan Harvey lalu meneguk isinya sampai setengah botol. Harvey yang memperhatikannya mendengus geli, lalu meraih kembali botol yang diberikan Natha dan menutupnya lagi. Ia taruh botol itu kembali ke atas meja.

Pipi Natha yang bebas dari luka itu Harvey tangkup dengan telapak tangannya yang hangat, ibu jarinya mengusap perlahan permukaan kulit Natha, dengan matanya yang menatap lekat ke arah suami cantiknya itu.

Natha yang ditatap sedemikian rupa oleh Harvey hanya bisa membalas dengan ekspresi wajah bingung. “Kenapa?”

“Nothing.”

“Terus kenapa ngeliat gua kayak gitu?”

“It's wrong if I look to what's mine?”

Natha mengulum bibir bawahnya kikuk. “Ya enggak sih.”

Helaan nafas berat Harvey keluarkan, ia mengusap kembali pipi Natha dengan ibu jarinya. Tatapannya berubah sendu. “Nath.”

Mengerti kenapa tatapan Harvey seketika berubah dengan suaranya yang memanggil begitu pelan, Natha alihkan pandangannya, ia turut membuang nafasnya berat.

“This is my fault, right?”

“Who's gonna say it's your fault?”

“You.”

Hening seketika.

“No, baby.” Harvey menggeleng tipis. “But, sekarang lo ngerti kan kenapa gua ngelarang lo ini itu? Paham kenapa gua protektif sama lo? Apa harus ada kejadian kayak gini dulu baru lo bisa paham?”

Tidak ada sahutan, rentetan pertanyaan itu membuat Natha terdiam dengan pandangannya yang lurus menatap ke arah lain, asalkan jangan ke arah bola mata Harvey yang menatapnya begitu lekat.

Ditambah dengan nada suara Harvey yang mengalun tenang, Natha malah lebih takut jika Harvey seperti itu. Aura intimidasinya lebih kuat dan malah membuat Natha ciut seketika.

“Hei.” Pipi Natha diusap kembali. “Kalo ada orang lagi ngomong, diliat matanya, Natha. Gua udah sering bilang kayak gitu, kan?”

Natha menggeleng pelan, ia memundurkan posisi duduknya hingga tangan Harvey yang berada di wajahnya terlepas. Kepalanya menunduk, ia lipat kedua kakinya ke depan dada.

“This is my fault.” Ucapnya pelan. “Kalo setelah ini lo mau ngelepas gua, gapapa. Gua emang nyusahin, emang udah sepantesnya orang-orang gak usah deket-deket sama gua.”

“What the fuck are you saying?” Sahut Harvey dengan sedikit menaikan intonasi suaranya. “Jangan ngelantur, Natha. Why you saying like that?”

“Gatau.”

“Look at me.” Harvey meraih kembali wajah Natha, tangannya menangkup rahang tegas suami cantiknya, lalu menggeser sedikit kepala Natha hingga ia bisa menatap lurus lagi ke arah bola mata bulat itu. “Look at me, doll.”

Bola mata Natha bergerak, menatap kembali ke dalam sorot Harvey. “Maaf.”

Harvey menghela nafasnya. Otaknya masih berusaha menyusun kata-kata yang akan ia ucapkan pada Natha tanpa membuat emosi Natha naik.

“Paham sekarang?”

Tidak ada jawaban.

“Paham, Natha Dimitri?”

'Shit.' Natha mengumpat di dalam hati begitu Harvey memanggilnya dengan nama Dimitri. Kepalanya langsung mengangguk tipis. “Paham.”

“Goodboy.” Ibu jari Harvey bergerak, menyentuh bagian dagu Natha lalu menariknya ke bawah, membuat bibirnya terbuka sedikit. “There's something I want to tell you.”

“About?”

“Kejadian semalem.” Harvey bisa melihat dengan jelas pupil mata Natha yang membesar, “Dan semuanya.”

“Semuanya?” Ulang Natha dengan ekspresinya yang berubah bingung. “Maksudnya?”

“But promise me, listen it carefully, and let me finished the story first before you talk. Understand?”

Anggukan dari Natha memberikan satu senyum tipis di wajah Harvey, bibirnya diusap pelan oleh Ibu jari Harvey sesaat sebelum melihat suaminya itu mengambil nafas panjang.

Lalu sebuah cerita panjang keluar dari bibir Harvey. Tentang pertemuan awal mereka di basement club saat itu, pertemuan yang tidak pernah terencana, namun justru berkat pertemuan itu lah mereka bisa berada di titik ini.

Pertemuan yang membawa mereka pada perjodohan dua keluarga dengan masa lalu yang saling terhubung satu sama lain.

Setelahnya, Harvey dengan begitu hati-hati menjelaskan maksud dibalik perjodohan diantara mereka, dengan kata-kata yang mudah Natha cerna, berulang kali tangannya menyentuh punggung tangan Natha ketika suami cantiknya itu sudah terlihat hendak menyela ucapannya.

“Shh, wait a minute, baby. Nanti gua kasih waktu buat lo ngomong, buat sekarang, cukup dengerin baik-baik, oke?”

Ekspresi wajah protes Natha begitu terlihat, ingin sekali menyela ucapan Harvey, namun ia hanya bisa menekan emosinya saat menyadari jika tatapan mata Harvey begitu tajam menatapnya, walaupun tutur katanya begitu lembut saat berbicara.

Harvey tersenyum tipis saat ia bisa mengendalikan Natha sesuai dengan ekspetasinya. Ia turut menjelaskan jika ia pun baru tahu maksud perjodohan mereka ini selepas makan malam dengan keluarga Dimitri saat itu.

Lalu apa yang Harvey ceritakan pada Natha di lake house saat itu, ia ceritakan kembali. Namun kali ini dengan obyek yang jelas, tanpa embel-embel teman kecil, tanpa ada hal yang ditutup-tutupi lagi. Harvey berterus terang, sejelas-jelasnya.

Pada bagian ini, Natha merasakan otaknya berhenti sesaat. Jari-jari kakinya mendingin, rasa pening tiba-tiba menyerang kepalanya. Tapi ia tetap terdiam, bibirnya terkantup rapat, tidak terlihat ingin menyela atau menghentikan cerita yang mengalir dari mulut Harvey.

Natha tiba-tiba teringat kembali tentang telapak-telapak tangan di depan pintu salah satu kamar rumah danau itu, telapak-telapak tangan diteras depan rumah, foto kanak-kanak di pinggir danau, dan foto terakhir pada album foto, foto dimana terdapat empat orang kanak-kanak dengan yang dua lainnya ditutupi oleh stiker bunga daisy itu.

Bagaikan roll film yang bergerak mundur, ingatannya memutar balik memori lama, bergerak begitu cepat. Dari mulai kejadian semalam, datangnya orang-orang asing yang menyeretnya bersama Deon, pertengakarannya dengan Harvey di pagi itu, dan terus semakin bergerak mundur.

Hancurnya toko bunga miliknya, hari-hari hangatnya dengan Harvey di rumah tepi danau, malam panas yang paginya ia habiskan dengan memposting foto pertamanya dengan Harvey, kembali lagi pada pertengaran mereka saat Natha mendadak hilang seharian, robeknya croptop kesayangannya saat mengirimkan berkas untuk Harvey.

Kilasan balik memori itu perlahan membuat kepalanya terasa berat, rasa pening semakin lama semakin mencekiknya.

Ingatan itu seperti tidak mau berhenti, bergerak mundur lagi dan lagi. Makan siang pertamanya dengan Harvey, pertama kalinya ucapan sakral terlontar dari bibir suaminya saat selesai melakukan malam panas mereka, pagi yang dingin di kolam renang rumah, pertama kalinya Natha memberikan pinky sandwich pada Harvey, acara keluarga yang membuat mereka berakhir dengan beradu argumen kembali.

Ciuman tak terduga di mobil saat itu pun turut berputar ulang, terus mundur menampilkan hari-hari malamnya di club yang selalu berakhir dengan ciumannya dengan Harvey, saat ia terjebak dalam gelap dan suaminya itu datang dengan panik, ketika ia meminta tolong pada Harvey saat mobilnya mendadak mogok di toll.

Jar-jari Natha semakin mendingin, ingatannya terus berputar mundur seirama dengan cerita yang mengalir dari mulut Harvey. Indomie tengah malam, ciuman pertama mereka di antara riuhnya para tamu undangan dan sinar matahari sore, makan malam dua keluarga yang berakhir menyatukan mereka dalam sebuah ikatan pernikahan.

Kejadian di dalam basement pun terlintas dalam kilas balik memori. Terus bergerak mundur, masa-masa kuliahnya, pertemuan pertamannya dengan Deon dan Ellio, kehidupan remajanya di Jerman, dan sampailah ingatan Natha saat ia pertama kali membuka matanya setelah tidur panjangnya itu.

Namun roll film tidak berhenti disitu saja, ketika pandangan Natha mulai kabur, ia mengingat kembali apa yang terjadi padanya saat masa kanak-kanak.

Detik itu juga, Natha dapati ingatannya yang sudah terkubur dalam memori otaknya paling dalam, dan Harvey tidak menyadari itu sama sekali, ceritanya terus berlanjut, seakan-akan membantu Natha mengumpulkan potongan-potongan kisah lamanya.

Masa kanak-kanak yang selalu ia tanyakan pada Nasha itu akhirnya ia ingat lagi. Empat bocah kecil yang selalu naik sepeda dan menghabiskan waktu bersama di rumah tepi danau setelah pulang sekolah, bermain bersama, tertawa dengan begitu kencang, mengotori telapak tangan dengan cat agar bisa nemempelkannya pada dinding kayu, berenang di danau ketika cuaca sedang begitu terik.

Natha ingat semuanya, begitu detail, seakan-akan ia kembali lakukan perjalanannya di masa lalu.

Dan roll film bergerak lambat pada hari dimana Natha pergi bersama dengan Hadley sore itu, menuju kebun bunga untuk mencari kupu-kupu dan kumbang.

Suasana hatinya begitu riang, tertawa bersama dengan Hadley sambil mengayuh sepeda. Memarkirkan dua sepeda di bawah pohon jambu, tepat dimana Harvey juga menaruh sepedanya saat mereka menghabiskan waktu di kebun bunga.

Mereka tertawa, bercengkrama selayaknya kanak-kanak pada umumnya, berlomba-lomba siapa yang mendapatkan kupu-kupu paling banyak ia lah pemenangnya, tanpa menyadari ada empat orang yang mengintai mereka dibalik rimbunnya semak-semak yang menjulang tinggi.

Ketika Natha sedang memfokuskan pandangannya pada sebuah kupu-kupu berwarna kuning keemasan, seseorang langsung menutup wajahnya dengan sebuah kain, ia memberontak, berusaha melepaskan cekalan pada tangan dan kakinya.

Telinganya juga mendengar suara Hadley yang menjerit, namun suaranya tertahan seperti sedang disumpal oleh sesuatu. Setelahnya, Natha tidak sadarkan diri.

Di malam hari, ia tersadar, kelopak matanya mengerjap dan langsung memundurkan tubuhnya begitu ia dapati dirinya berada di sebuah ruangan, tidak ada cahaya apapun yang menjadi penerangannya. Hanya segaris cahaya dari celah pintu yang bisa Natha lihat.

Ia menolehkan kepalanya ketika mendengar suara tangis yang tertahan, disebelahnya, wajah Hadley sudah basah akibat air matanya yang mengalir, sorot ketakutan begitu menguar dari sulung keluarga Tanjung itu.

Kedua tangan mereka masing-masing terikat dengan sebuah tali, dengan kaki yang turut di rantai seperti hewan peliharaan. Natha dan Hadley habiskan malam mereka dengan menangis, memanggil kedua orang tua mereka, memanggil Nasha, memanggil Harvey hingga suara keduanya mulai melemah.

Selama berhari-hari lamanya, Natha dan Hadley dikurung di ruangan kumuh itu. Tidak pernah melihat cahaya matahari dari luar, mereka diberi makan selama dua hari sekali, jika ingin pergi buang air kecil dan besar pun ada seorang lelaki berbadan tinggi besar yang mengantar mereka.

Lelaki itu selalu menggunaka penutup wajah, tapi Natha ingat jika lelaki itu memiliki sebuah tatto berbentuk ular dipunggung tangannya.

Menyadari jika mereka kini dalam keadaan diculik oleh seseorang, Natha dan Hadley hanya bisa terus berdoa agar orangtua mereka cepat menemukan keberadaan mereka, karena sungguh, rasanya seperti berada di dalam neraka.

Perlakuan kasar pun tak luput mereka terima, semakin sering mereka menangis dan merintih, maka semakin banyak lebam-lebam biru yang bermunculan di tubuh mereka. Entah itu dari pukulan tangan ataupun dari pukulan benda tumpul. Mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi.

Lalu tiba lah hari dimana Natha dan Hadley dibawa keluar dari ruangan itu, masih dengan kaki tangan yang terikat, ditambah kepala mereka ditutupi oleh sebuah kantung hitam kotor yang baunya begitu menyengat.

Natha tidak tahu mereka dibawa kemana lagi setelah itu, tahu-tahu ia dan Hadley sudah berada di sebuah ruangan lagi, kali ini lebih besar dengan jendela yang mengadap langsung ke rimbunnya hutan.

Seorang lelaki masuk, perawakannya begitu kurus, ada tatto bunga besar di lengannya, berjalan mendekat ke arah mereka dengan rokok yang terselip di bibir.

Lelaki itu terus mengoceh tentang hal yang tidak bisa Natha dan Hadley pahami sama sekali saat itu. Penelitian, beasiswa, depresi, dan kematian. Kata-kata itu terus keluar dari bibir lelaki itu terus menerus.

Begitu nama Tanjung dan Dimitri disebut, keduanya sontak berpandangan. Belum ada beberapa saat mereka saling menatap, tahu-tahu Natha dan Hadley sudah diseret kembali oleh dua orang lelaki dengan perawakannya yang begitu menyeramkan.

Lelaki dengan tatto bunga red spider lily yang diketahui adalah Handoko itu hanya tertawa, melihat dua kanak-kanak itu diseret menuju pekarangan belakang rumah yang terdapat sebuah kolam cukup dalam. Mereka diberdirikan di sisi kolam, lalu tanpa aba-aba dua orang yang menyeret mereka itu mendorong tubuh mereka masuk ke dalam kolam.

Bulir-bulir keringat dingin mulai bermunculan di wajah Natha, jari-jarinya turut bergetar, wajahnya memang menghadap ke arah Harvey yang masih fokus bercerita itu, tapi tidak dengan isi kepalanya.

Natha ingat, setelah mereka berdua di ceburkan ke dalam kolam, rambut mereka di jambak oleh dua orang lelaki yang sama, dibawa naik lalu setelahnya pukulan bertubi-tubi datang menghajar tubuh Natha dan Hadley.

Mereka meraung, memohon maaf dengan tangis yang menyayat pilu. Tapi Handoko seperti manusia yang tidak punya hati sama sekali, tawanya semakin menggema, seperti sedang melihat pertunjukan sirkus.

Tapi kali ini, Natha lah yang dimasukan terlebih dahulu ke dalam air kembali. Nafasnya tercekat, dadanya sesak luar biasa. Natha meronta, menggerakan kedua kaki dan tangannya yang masih terikat, ketika kepalanya dipaksa masuk ke dalam air. Gelap. Matanya tidak bisa melihat secercah cahaya apapun dari dalam sana.

Samar-samar, telinganya mendengar suara Hadley yang memanggil namanya berulang kali. Menjerit, memohon ampun pada Handoko yang begitu bengis. Kelipak matanya Natha paksa untuk terbuka, perih melanda ketika air menyentuh retinanya.

'Jangan! Jangan, Natha!'

Suara Hadley terdengar begitu jelas, Natha tidak tahu apa yang akan dialaminya lagi setelah ini, namun ketika ia mendengar suara balok kayu menghantam sesuatu, suara Hadley berhenti.

Natha dibawa naik kembali, matanya terbelalak begitu mendapati Hadley yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Baru Natha akan membuka suaranya untuk beteriak, sesuatu menghantam belakang kepalanya cukup kuat.

Pandangan Natha perlahan-lahan menggelap, namun hal terakhir yang dilihatnya saat itu hanya wajah Handoko yang tersenyum penuh kemenangan, setelahnya ia jatuh dalam tidur panjangnya.

Harvey menoleh ke arah Natha begitu ia merasakan sesuatu yang tidak beres, karena Natha hanya terdiam dengan deru nafasnya yang semakin terdengar berat.

Wajah pucat Natha dan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya sukses membuat Harvey tersentak kaget, ditambah ekspresi kosong yang Natha tunjukan langsung membuat Harvey menyentuh kedua bahunya dan menggoyangkan tubuh Natha cukup kuat.

“Nath! Natha! Lo denger gua kan? Nath!”

Natha tidak merespon sama sekali, kepalanya terasa begitu berat, kelopak matanya mulai mengedip lambat dengan pandangannya yang menggelap.

Setelahnya, tubuh Natha melemas lunglai, dan Harvey berteriak kencang memanggil perawat.


Jam di dinding sudah menunjukan angka sembilan di jarum pendeknya, dan angka dualima di jarum panjangnya, namun Natha belum ada tanda-tanda membuka matanya kembali.

Kedua orangtuanya beserta Nasha setia menunggu di sisi bangsal, berharap cemas pada Natha yang sudah hampir tertidur selama empat jam lamanya itu.

“Natha bangun! Natha bangun!”

Nasha berseru heboh ketika mendapati bola mata Natha bergerak dibalik kelopaknya yang masih tertutup, mereka menunggu, sedetik, dua detik, lalu perlahan kelopak mata Natha terbuka.

Alisnya mengernyit ketika cahaya lampu masuk ke dalam retinanya, ia meleguh, pening di kepalanya membuat Natha merasakan seperti sedang ditusuk-tusuk oleh ratusan jarum.

Natha dapati kedua orangtuanya beserta Nasha yang memasang ekspresi cemas, tapi ia tidak mendapati Harvey disana. Begitu kilas roll film itu kembali melintas di kepalanya, Natha langsung terduduk, ekspresi wajahnya berubah panik.

“Natha, sayang, Natha.” Bunda berseru begitu mendapati Natha yang memasang sorot ketakutan itu. “Natha, ini Bunda, nak.”

“Harvey mana? Harvey dimana?” Ujar Natha sambil mencari keberadaan Harvey, “Harvey kemana!”

Nasha dengan cepat bangkit dari duduknya, berjalan keluar guna memangil Harvey yang sedang berbicara dengan Juna serta Eric itu.

“Vey! Natha bangun!”

Harvey dengan cepat menoleh, ia langsung melangkahkan kaki jenjangnya lebar-lebar, pintu ruangan dibuka, ia langsung mendekat ke arah Natha yang masih ditenangkan oleh Ayah dan Bundanya itu.

Kedua tangan Harvey terulur, menyentuh bahu Natha. “Nath, gua disini.”

Mendengar suara Harvey, Natha mengangkat wajahnya, racauannya berhenti. Begitu matanya menatap ke dalam bola mata Harvey, tangan Natha langsung terulur, merengkuh Harvey dan tangisnya meledak saat itu juga.

“Natha, tenang sayang. Tenang.” Ucap Harvey tepat disebelah telinga Natha. “Baby.”

Natha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Harvey, tubuhnya bergetar, jari-jarinya yang dingin menyentuh kulit tengkuk Harvey.

“Shhh, Nath, gua disini. Tenang ya.” Bujuk Harvey lembut.

Namun tangis Natha semakin terdengar meraung, membuat kedua orangtuanya serta Nasha turut bantu tenangkan Natha.

“Harvey, Harvey.” Natha memanggil suaminya itu di tengah-tengah isaknya. “Harvey, gua inget semuanya. Gua inget semuanya. Gua inget Hadley.”

Ucapan Natha yang terlontar dengan nada serak itu sukses membuat ketiga orang yang berada disana terdiam, termasuk Harvey yang kini mengeraskan rahangnya mendengar penuturan Natha.

Tw // violence , blood , gun , assault , kidnapping , threat


Lexus hitam itu berhenti tepat di sebuah rumah yang sudah tidak layak huni. Tumbuhan liar merambat di dinding-dindingnya, cat yang pudar dan mengelupas serta kondisinya yang begitu kotor, tidak membuat Harvey lupa akan rumah yang pernah menjadi salah satu bagian masa lalunya yang begitu menyedihkan.

Ia mengambil nafasnya panjang, menatap ke arah sekitar dengan seksama, memperhatikan rumput-rumput tinggi yang begitu rimbun mengelilingi rumah. Dibalik gelapnya malam, matanya bisa melihat dengan jeli orang-orang yang bersembunyi dibalik rumput-rumput itu, yang siap menyerang dirinya sewaktu-waktu ia lengah.

Sebuah barette cadangan sudah tersembunyi di balik jas kantornya, Harvey tidak memiliki waktu hanya untuk sekedar berganti pakaian, yang ada dipikirannya saat ini adalah bagaimana ia membawa Natha keluar dari tempat ini dengan cepat.

Matanya melirik ke arah jok penumpang, lalu tanpa membuang waktu Harvey raih lagi satu revolver yang sudah terisi penuh peluru itu. Pintu mobil ia buka, kemudian tertutup dengan sedikit bantingan.

Harvey bukannya tidak menyadari jika banyak mata yang saat ini sedang memperhatikannya, dari luar bahkan dalam bangunan. Maka dari itu ia berjalan dengan cepat menuju arah pintu rumah yang sudah lapuk di beberapa tempat itu. Gagang pintu diraihnya, namun alisnya berkerut saat menyadari jika pintu di hadapannya ini dalam keadaan terkunci.

Kakinya mengambil satu langkah mundur, tubuhnya berposisi menyamping dengan bahu kanan yang berada lebih condong ke depan, suara debuman menggema ketika Harvey mendobrak kuat pintu yang terbuat dari kayu jati itu.

Aroma debu bercampur dengan pengapnya ruangan menyeruak, gelapnya ruangan yang begitu berantakan serta banyaknya sarang laba-laba membuat Harvey mengeryitkan alisnya. Ia terdiam selama beberapa saat, mengambil nafasnya dalam sebelum kaki jenjangnya mulai melangkah masuk.

Berbekal cahaya kilat yang semakin giat menunjukan wujudnya itu, Harvey masuk lebih dalam ke dalam rumah. Tujuan utamanya saat ini adalah kamar tempat dimana Hadley dan Natha ditemukan dulu, karena mungkin di ruangan itu juga ia bisa menemukan Natha saat ini.

Keadaan yang sepi tidak semata-mata membuat Harvey merasa aman, justru keadaan yang seperti ini lah yang sangat diwaspadai, walaupun ia sudah tahu jika Handoko akan menyerangnya dari sisi sebelah mana. Senyumnya merekah remeh begitu menyadari jika Handoko benar-benar bodoh, dan tindak tanduknya sudah terbaca jelas oleh Harvey.

Langkah kakinya begitu senyap, hembusan nafasnya bahkan tidak terdengar oleh telinga di ruangan yang begitu sepi ini. Harvey benar-benar bergerak seperti seekor hyena, tenang, namun instingnya bekerja dengan kuat mengawasi sekitar.

Kemampuannya ini lah yang dulu pernah membuat sang Kakak dan Ibunya frustasi sendiri saat bermain dengannya ketika masih kanak-kanak. Ia akan menghilang, lalu tiba-tiba muncul dari tempat yang tidak terduga, dengan mengigit atau kadang mencubit sang Kakak dan Ibunya hingga terpekik kaget.

Begitu pintu ruangan yang enggan sekali Harvey tapaki itu terlihat, ia lambatkan jalannya, mata tajamnya melirik sekitar. Dengusannya keluar saat tahu jika dibalik tembok-tembok itu, juga sudah terdapat beberapa anak buah Handoko yang mengintainya.

Tangannya kemudian terulur, meraih gagang pintu lalu suara deritannya yang begitu nyaring menggema saat Harvey mendorong pintu itu terbuka. Di tengah redupnya lampu ruangan, bola matanya seketika membulat, mendapati Natha yang terduduk di salah satu kursi besi yang sudah berkarat.

“Nath!”

Harvey melangkah cepat menuju posisi dimana Natha berada, begitu sudah berada tepat di hadapan Natha, Harvey bersimpuh, tangannya terulur untuk mengangkat dagu Natha yang masih belum sadarkan diri itu.

“Fuck!” Desisannya mengalun penuh penekanan, mendapati jika pipi Natha terdapat dua goresan panjang dengan darah yang mengering. Amarahnya naik, ia kemudian menepuk-nepuk sebelah pipi Natha yang masih bersih itu. “Nath, bangun! Natha!”

Raut wajahnya begitu khawatir, ia tepuk kembali pipi Natha namun suami cantiknya itu masih belum memberikan respon. Harvey berdecak, ia ganti memeriksa seluruh tubuh Natha, menyadari jika kedua tangan dan kaki Natha terikat pada besi-besi kursi.

Tangannya dengan cepat beralih ia selipkan terlebih dahulu revolvernya diantara lipatan paha dan dadanya. Namun, saat kedua tangannya bergerak melepas ikatan tali pada kaki Natha, pergerakannya seketika terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang bergitu pelan mendekat dari arah belakang.

Harvey tegakan kembali punggungnya begitu merasakan sebuah benda mengenai belakang kepalanya, suara kekehan dengan suara serak mengalun kemudian.

“Selamat datang, Tanjung.”

Handoko berdiri tepat dibelakang Harvey, tangannya mengarahkan moncong pistolnya tepat di belakang kepala Harvey. Ibu jarinya berada dipelatuk, siap menekannya.

Tapi Harvey tetap terdiam begitu tenang, arah pandangnya turun kembali, menatap kaki Natha lalu tangannya bergerak lagi untuk melepas ikatan yang melilit kaki Natha.

Sebelah alis Handoko terangkat, mengeryit saat mendapati Harvey begitu tenang, tidak terusik sama sekali oleh ancamannya. Ia kemudian berdecih, menekan pistolnya kuat hingga kepala Harvey sedikit maju.

“Lepaskan saja, dan akan kupastikan juga kepalamu akan lepas setelahnya.”

Mendengar itu, Harvey mendengus remeh, ia tetap buka ikatan pada kaki Natha. Handoko meremang, ia semakin menekan ujung pistolnya di kepala Harvey, seirama dengan ibu jarinya yang juga menekan pelatuk senjata api itu dengan perlahan.

Begitu ikatan kaki Natha terlepas dan pelatuk semakin ditekan, Harvey dengan cepat membalik tubuhnya, mengarahkan tangan Handoko ke arah lain dan timah panas itu terlontar menuju atap ruangan, mengakibatkan plafonnya yang sudah rapuh jatuh berserakan.

Ia kemudian menghempaskan lengan Handoko hingga pistol yang dipegangnya jatuh, terlempar ke belakang.

Seringai Harvey tercipta, tangannya yang memegang revolver terulur, mengarah tepat pada dahi Handoko yang kini terkejut dengan gerakan Harvey yang begitu cepat.

“Senang anda menyambutku, Handoko.” Suara Harvey mengalun pelan, namun penekanannya pada setiap kata begitu dalam. “I thought you've been eaten by worms like you did it to your name. Tapi ternyata tidak ya.”

Handoko naik pitam dibuatnya, melihat sorot mata Harvey yang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dengan senyuman remeh yang terlukis begitu jelas diwajahnya.

Namun ketika Handoko menjentikan dua jarinya, pintu menjeblak terbuka, menampilkan beberapa preman yang Harvey yakini bahwa mereka lah anak buah Handoko. Ia mendengus begitu melihat salah satu preman dengan tatto ular yang berada di punggung tangannya, tatto yang sama dengan seseorang yang membuntuti Natha dihari-hari lalu.

Mereka baru saja akan menyerang Harvey sebelum suara Harvey kembali mengalun, begitu datar dan dingin.

“Maju selangkah, gua pastiin kepala boss kesayangan kalian akan meledak detik ini juga.” Ancamnya, membuat para preman itu langsung berdiri di tempat dengan nafas mereka yang menggebu. “Bukan kah begitu, Aris?”

Mendengar Harvey memanggil nama 'baru'nya itu, Handoko menggeram, merasa begitu rendah saat Harvey meludah sesaat setelah menyebut namanya itu.

“Ah, sebelum permainan berlangsung, bolehkah aku mengapresiasi dirimu terlebih dulu?” Tanya Harvey, “Mengapresiasi betapa rapihnya permainan anda selama bertahun-tahun lamanya, membuat kami terkecoh dengan amatsira sialan yang membuat kami tidak menyadari bahwa anda lah pelakukanya selama ini.”

Handoko terkekeh, “Bukan kah bagus? Melihat kalian begitu bodoh selama bertahun-tahun menjadi kesenanganku sendiri, Harvey Tanjung.”

“Oh ya?”

“Kematian Hadley belum ada apa-apanya bagiku.” Mendengar nama kakaknya terucap, gengaman tangan Harvey pada revolver mengerat. “Belum sebanding dengan rasa sakit hati dan depresiku yang sudah Ayahmu perbuat!”

“Kalau memang Ayahku yang membuatmu sakit hati dan depresi, kenapa harus kami, anak-anaknya yang menanggung akibatnya? Bukankah lebih mudah jika membalaskan dendammu langsung pada Tanjung?”

Perkataan Harvey barusan dibalas kerutan pada dahi Handoko.

“Apa karena Tanjung begitu susah diraih makanya anda menargetkan anak-anaknya sebagai ajang balas dendam? Membuat keluarganya hancur, itu kah tujuanmu?” Harvey mendekatkan wajahnya, seringainya kembali tercipta. “Jika seperti itu, bukankah anda menyadari jika diri anda masih jauh di bawah Tanjung, hm?”

Handoko merasa terhina detik itu juga, ucapan Harvey menampar telak dirinya. Ia kembali menggeram, membuat anak buahnya langsung bergerak maju.

Namun lagi-lagi Harvey menghentikan pergerakan mereka dengan lirikan tajam. “Gua gak main-main sama ucapan gua tadi, maju selangkah lagi, kalian semua bakalan ikut mati.”

“Hahahaha, benarkah begitu, Tanjung?” Tanya Handoko remeh. “Lihat kebelakang, apakah kamu bisa melakukan kata-kata yang barusan kamu ucapkan?”

Kepala Harvey bergerak cepat menoleh kebelakang, seketika bola matanya membulat begitu menyadari jika salah satu anak buah Handoko sudah berdiri tepat di belakang Natha, sebuah pisau berada tepat di leher Natha yang kini mendongkak itu.

“Bagaimana, Harvey?” Suara Handoko mengalun begitu menjengkelkan. “Ah, anak itu manis sekali. Sengaja tidak aku nasibkan sama seperti Hadley karena wajahnya begitu mirip dengan pujaan hatiku.”

Harvey menoleh kembali ke arah Handoko, dan detik itu juga revolver yang berada di tangannya terlempar, berhenti tepat di bawah kaki Natha. Tubuhnya seketika jatuh tersungkur saat Handoko menendang perutnya menggunakan lutut dengan kuat.

Tapi tendangan Handoko barusan belum ada apa-apanya, Harvey langsung bangkit dari posisinya, dan gerombolan preman itu langsung menghajarnya dari berbagai sisi.

Satu lawan lima merupakan jumlah yang sangat tidak seimbang.

Namun Harvey dapat menaklukkannya, kaki dan tangannya bergerak lincah, menendang, menonjok, bahkan memelintir tangan salah satu anak buah Handoko hingga terdengar bunyi 'krek' yang begitu menyakitkan.

Dulu, saat sekolah menengah atas ia selalu protes kenapa Ibunya selalu memaksa Harvey mengikuti kelas bela diri khusus, tapi saat ini Harvey tahu jika kemampuan itu akan digunakannya di kemudian waktu. Seperti saat ini.

Kaki jenjangnya melayang ke udara, mengenai tepat sisi kepala salah satu preman dan langsung membuatnya jatuh tersungkur menghantam lantai kotor.

Menyadari jika Harvey cukup susah ditaklukkan, Handoko memanggil tiga orang anak buahnya lagi untuk turut serta menghajar Harvey yang kini mulai terlihat kewalahan.

Handoko tertawa puas ketika Harvey berulang kali terkena pukulan dari anak-anak buahnya. Jumlah yang semakin tidak seimbang membuat Harvey kesulitan untuk membalas tindakan mereka, ia berulang kali kehilangan keseimbangan dan hampir saja terjatuh.

Tanpa Harvey sadari, salah satu anak buah Handoko yang tadi menodongkan pisaunya ke arah leher Natha kini ikut bergabung. Mengganti posisi temannya yang satu per satu tumbang.

Jika Harvey lengah satu detik saja, pisau tajam itu bisa dengan mudah menusuk dadanya. Tapi mungkin di dalam lelap ketidaksadarannya, ada doa Natha yang langsung naik menembus langit, membuat pisau itu berakhir menggores lengan Harvey hingga membuat jas serta kemejanya robek seketika.

Darah segar seketika turun, menetes membasahi kain dan tangan Harvey. Ia meringis, menghajar habis-habisan anak buah Handoko yang memegang pisau, menjadikan pisau itu berpindah tangan dan dengan cepat, Harvey tancapkan pisau itu tepat diperut preman itu.

Pisau yang menacap Harvey cabut kembali, ia gunakan benda tajam itu untuk menjadi tameng, melumpuhkan satu per satu anak buah Handoko yang sebagian sudah terkapar tidak berdaya.

Handoko yang sedari tadi tersenyum senang, kini mulai merasa cemas. Ia ambil langkah mundur, meraih pistolnya kembali, berancang-ancang jika Harvey bisa melumpuhkan semua anak buahnya dan balik melawan ke arah dirinya.

Ia benar-benar tidak menyangka jika Harvey memang sangat susah diraih, bahkan saat Harvey berada di wilayahnya. Tidak seperti sang Kakak yang dengan mudah ia renggut nyawanya itu.

Tinggal tiga orang anak buahnya lagi yang masih berusaha membuat Harvey tumbang, satu pukulan kencang mengenai bagian perut Harvey, ia terbatuk, membuat darah keluar mengotori sudut bibirnya. Dengan cepat ia melawan, memberikan dua tusukan ke arah anak buah Handoko yang memukulnya tadi, membuat ia kini hanya berhadapan dengan dua orang saja.

Tanpa Harvey sadari, salah satu anak buah Handoko bangkit dari ketidakberdayaannya, mengambil sebuah balok kayu dengan susah payah.

Ditengah perkelahian, diam-diam Natha mulai meraih kesadarannya kembali, alisnya mengernyit begitu aroma yang menyengat menyeruak masuk indera penciumannya. Kepalanya pening luar biasa, merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan perih melingkupi berpergelangan tangannya.

Begitu kelopak matanya terbuka, Natha dibuat shock seketika, mendapati Harvey yang kini masih berusaha melawan dua anak buah Handoko itu.

Bibirnya kelu, nafasnya tiba-tiba mendadak seperti tercekik, Natha kehilangan fokusnya yang baru saja ia raih itu, dan saat Harvey membanting satu orang preman dengan pisau yang menancap di dada sebelah kanannya, Natha tersadar, ia menoleh kebelakang dan mendapati kedua tangannya terikat dengan kuat.

Tanpa suara, ia berusaha melepas ikatan tangannya. Beruntungnya Natha karena Handoko hanya fokus pada Harvey yang kini sedang melawan satu orang lagi itu.

Ekspresi wajahnya berubah panik saat salah satu anak buah Handoko bangkit, mengenggam balok kayu dan berjalan tepat di belakang Harvey dengan langkah yang terseok-seok. Natha berusaha dengan cepat melepas tali yang melilit pergelangan tangannya itu.

Harvey yang tidak menyadari jika ada serangan dari belakang tubuhnya itu, tetap fokus menghajar satu orang yang begitu susah ia buat tumbang. Energinya hampir terkuras habis, nafasnya mulai terengah, ditambah banyaknya darah yang keluar akibat luka sayatan pisau yang tadi diterimanya itu.

Satu pukulan pada bawah dagu preman itu membuatnya tumbang seketika, Harvey tersenyum puas, ia mengangkat kepalanya, mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan dan menatap ke arah Handoko yang berada dihadapannya.

“Anda kira anda bisa-”

Bugh!

Balok kayu mengenai tepat punggung Harvey, membuatnya seketika jatuh tersungkur. Handoko bertepuk tangan, tawanya yang begitu menyebalkan memenuhi penjuru ruangan, merasa jika kemenangan sudah didapatkannya. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Harvey yang kini bersimpuh dengan posisi telungkup itu.

“Bisa apa? Hm? Bisa apa, Harvey Tanjung? Ayo lanjutkan ucapanmu anak tampan.”

Harvey tidak membalas ucapan Handoko barusan, ia terbatuk, membuat darah kembali mengotori bibirnya. Lalu kepalanya ditarik mendongkak saat Handoko menjambak rambutnya ke atas.

“Setelah ini, seluruh dendamku akan terbalas.”

Ujung pistolnya mengarah tepat ke arah dahi Harvey yang sudah tidak berdaya, ia kehilangan seluruh energinya, tidak bisa melawan perlakuan Handoko yang sudah bersiap menekan pelatuk.

“Katakan selamat tinggal pada suamimu yang manis itu.”

Dor! Dor! Dor!

Harvey memejamkan matanya begitu suara timah panas terlontar menggema, ia terdiam, sedetik, dua detik, ia tidak merasakan apapun pada dahinya, justru ia malah mendengar suara tubuh terjatuh dan ringisan kesakitan yang begitu memilukan.

“Dont you dare to touch what's mine.”

Natha berdiri tegap dengan tangannya yang terulur, mengarahkan revolver tepat pada Handoko yang justru kini tumbang. Rahangnya mengeras, jari-jarinya bergetar, matanya memerah menahan air matanya agar tidak turun.

Kelopak mata Harvey mengerjap tak percaya, menatap Natha yang kini juga menatapnya. “Nath.”

Natha terdiam, lalu ia tiba-tiba ambruk, jatuh terduduk dengan pandangan kosong, air mata yang sedari di tahannya itu perlahan turun membasahi pipi. Revolver yang berada di genggaman tangannya terlepas, wajahnya yang sudah pucat semain terlihat pias.

“Natha, hei.” Harvey merangkak mendekat, terbatuk ketika merasakan dadanya sesak, alisnya mengeryit saat rasa sakit melingkupi seluruh tubuhnya.

Dengan susah payah, Harvey mendekati Natha yang masih terdiam. Tubuh bergetar itu kemudian langsung direngkuhnya dalam sebuah dekapan erat, dagunya Harvey tumpu pada pundak Natha.

Tangis Natha meledak detik itu juga, tangannya dengan cepat membalas rengkuhan Harvey, menjadikan tangisnya sebagai satu-satunya suara yang melingkupi ruangan pengap ini.

Harvey tersenyum lemah, ia angkat sedikit kepalanya lalu memberikan sebuah ciuman di pelipis Natha begitu lama. Bernafas lega ketika Natha sudah berada kembali dalam jangkauannya.

“Shhh, dont cry, baby. I'm here.”

Natha tersedak tangisnya sendiri, ia terbatuk, menarik nafasnya dengan begitu susah saat rasa sesak menekan dadanya.

“Maaf, maaf, maaf. Gua minta maaf.” Ketakutan serta penyesalannya berkumpul, menekan Natha hingga ia tidak bisa mengucapkan apapun lagi selain permintaan maaf itu. “I'm really sorry, Harvey.”

Kepala Harvey mengangguk, ia usap punggung Natha perlahan sebelum kedua tangannya mendorong tubuh Natha kebelakang, melepas pelukan mereka.

Dua pasang manik mata beradu, wajah basah Natha membuat Harvey tersenyum tipis, lalu sebelah tangannya terulur, mengusap pipi Natha guna menghapus air matanya.

Namun ketika menyadari jika ia menggunakan tangan yang salah, Harvey tiba-tiba tersentak pelan. “Maaf, pipi lo jadi kotor.”

Natha awalnya dilanda kebingungan, tapi saat matanya melirik tangan Harvey yang bersimbah darah, ia menggelengkan kepalanya, menatap dalam ke arah bola mata Harvey sebelum sebelah tangannya terangkat, menangkup punggung tangan Harvey yang berada di wajahnya itu.

“Maaf. Maaf, Harvey.”

Kelopak mata Natha terpejam, kepalanya mendunduk dan tangisnya meledak kembali. Seharusnya ia mengesampingkan egonya, seharusnya ia menuruti ucapan Harvey, seharusnya ia tidak pergi ke rumah Deon, dan seharusnya ia percaya dengan ucapan Harvey ketika di lake house saat itu.

Semua orang memakai topeng, dan kita tidak mengetahui bagaimana orang itu dibalik topengnya.

Tubuh itu Harvey rengkuh kembali, memeluknya erat seperti tidak ada hari esok. Keduanya terlarut dalam satu sama lain, tidak menyadari jika Handoko yang masih memiliki setengah kesadarannya itu menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan marah.

Lelaki tua itu meringis, merasakan timah panas yang menembus bahu serta pahanya itu. Bersusah payah meraih pistolnya kembali dengan sebelah tangan, kesempatannya tinggal satu, saat ini juga.

Begitu pistolnya berhasil di raih, Handoko mengangkat tangannya, mengarahkan tepat senjata api itu pada belakang kepala Harvey.

“Natha! Harvey!”

Dor!

Waktu tiba-tiba melambat, peluru itu terlontar, menembus kulit hingga darah terciprat dari bagian yang terkena.

Harvey dan Natha sontak melepas pelukan mereka, menoleh ke arah Deon yang sudah berdiri tepat dibelakang Harvey. Senyum guru taman kanak-kanak itu merekah tipis, ekspresi wajahnya begitu hangat menatap ke arah Natha.

“Maafin gua ya, Nath. Maaf. Gua titip Ibu gua, ya.”

Setelahnya, tubuh Deon ambruk dengan darah segar yang merembes membasahi kaus yang dipakainya pada bagian belakang. Handoko membulatkan matanya, menatap tubuh anak semata wayangnya yang kini tumbang di depan matanya sendiri.

Rahang Natha mengeras, ekspresi wajahnya dengan cepat berubah penuh amarah, ia raih revolver yang berada tepat di sampingnya lalu ia bangkit, menembakan satu peluru pada Handoko tepat di bagian bahu kanan.

Detik itu juga, Handoko kehilangan kesadarannya.

Pandangan Natha beralih, menatap Deon yang kini tergeletak tepat di depan kakinya. Bibir dalamnya ia gigit kuat, ia ambruk kembali, tangannya terulur mengguncang bahu sahabatnya itu.

“Bangun, jing! Bangun!” Katanya sambil tetap mengguncangkan bahu Deon, “Deon, anjing! Bangun lo tolol! Lo masih punya kasur dirumah! Jangan tidur disini bangsat!”

Tapi Deon tidak memberikan respon apapun, membuat Natha mengepalkan buku-buku jarinya hingga memutih.

“Argh!”

Natha berteriak, air matanya turun kembali, kepalanya menunduk dengan bahunya yang bergetar.

Teriakannya barusan memunculkan sosok Juna serta Eric yang dalam keadaan berantakan, baju mereka compang-camping terselimuti lumpur dan tanah yang entah mereka dapat dari mana itu. Wajah mereka pun tak luput dari memar, bahkan mereka mendapati darah yang mulai mengering di masing-masing sudut bibir.

Juna yang masih berdiri diambang pintu kehilangan fokusnya saat menatap Deon yang kausnya bersimbah darah itu. Satu kemungkinan terburuk masuk, melingkupi pikirannya.

“Deon!”