⚜
Tw // violence , blood , gun , assault , kidnapping , threat
Lexus hitam itu berhenti tepat di sebuah rumah yang sudah tidak layak huni. Tumbuhan liar merambat di dinding-dindingnya, cat yang pudar dan mengelupas serta kondisinya yang begitu kotor, tidak membuat Harvey lupa akan rumah yang pernah menjadi salah satu bagian masa lalunya yang begitu menyedihkan.
Ia mengambil nafasnya panjang, menatap ke arah sekitar dengan seksama, memperhatikan rumput-rumput tinggi yang begitu rimbun mengelilingi rumah. Dibalik gelapnya malam, matanya bisa melihat dengan jeli orang-orang yang bersembunyi dibalik rumput-rumput itu, yang siap menyerang dirinya sewaktu-waktu ia lengah.
Sebuah barette cadangan sudah tersembunyi di balik jas kantornya, Harvey tidak memiliki waktu hanya untuk sekedar berganti pakaian, yang ada dipikirannya saat ini adalah bagaimana ia membawa Natha keluar dari tempat ini dengan cepat.
Matanya melirik ke arah jok penumpang, lalu tanpa membuang waktu Harvey raih lagi satu revolver yang sudah terisi penuh peluru itu. Pintu mobil ia buka, kemudian tertutup dengan sedikit bantingan.
Harvey bukannya tidak menyadari jika banyak mata yang saat ini sedang memperhatikannya, dari luar bahkan dalam bangunan. Maka dari itu ia berjalan dengan cepat menuju arah pintu rumah yang sudah lapuk di beberapa tempat itu. Gagang pintu diraihnya, namun alisnya berkerut saat menyadari jika pintu di hadapannya ini dalam keadaan terkunci.
Kakinya mengambil satu langkah mundur, tubuhnya berposisi menyamping dengan bahu kanan yang berada lebih condong ke depan, suara debuman menggema ketika Harvey mendobrak kuat pintu yang terbuat dari kayu jati itu.
Aroma debu bercampur dengan pengapnya ruangan menyeruak, gelapnya ruangan yang begitu berantakan serta banyaknya sarang laba-laba membuat Harvey mengeryitkan alisnya. Ia terdiam selama beberapa saat, mengambil nafasnya dalam sebelum kaki jenjangnya mulai melangkah masuk.
Berbekal cahaya kilat yang semakin giat menunjukan wujudnya itu, Harvey masuk lebih dalam ke dalam rumah. Tujuan utamanya saat ini adalah kamar tempat dimana Hadley dan Natha ditemukan dulu, karena mungkin di ruangan itu juga ia bisa menemukan Natha saat ini.
Keadaan yang sepi tidak semata-mata membuat Harvey merasa aman, justru keadaan yang seperti ini lah yang sangat diwaspadai, walaupun ia sudah tahu jika Handoko akan menyerangnya dari sisi sebelah mana. Senyumnya merekah remeh begitu menyadari jika Handoko benar-benar bodoh, dan tindak tanduknya sudah terbaca jelas oleh Harvey.
Langkah kakinya begitu senyap, hembusan nafasnya bahkan tidak terdengar oleh telinga di ruangan yang begitu sepi ini. Harvey benar-benar bergerak seperti seekor hyena, tenang, namun instingnya bekerja dengan kuat mengawasi sekitar.
Kemampuannya ini lah yang dulu pernah membuat sang Kakak dan Ibunya frustasi sendiri saat bermain dengannya ketika masih kanak-kanak. Ia akan menghilang, lalu tiba-tiba muncul dari tempat yang tidak terduga, dengan mengigit atau kadang mencubit sang Kakak dan Ibunya hingga terpekik kaget.
Begitu pintu ruangan yang enggan sekali Harvey tapaki itu terlihat, ia lambatkan jalannya, mata tajamnya melirik sekitar. Dengusannya keluar saat tahu jika dibalik tembok-tembok itu, juga sudah terdapat beberapa anak buah Handoko yang mengintainya.
Tangannya kemudian terulur, meraih gagang pintu lalu suara deritannya yang begitu nyaring menggema saat Harvey mendorong pintu itu terbuka. Di tengah redupnya lampu ruangan, bola matanya seketika membulat, mendapati Natha yang terduduk di salah satu kursi besi yang sudah berkarat.
“Nath!”
Harvey melangkah cepat menuju posisi dimana Natha berada, begitu sudah berada tepat di hadapan Natha, Harvey bersimpuh, tangannya terulur untuk mengangkat dagu Natha yang masih belum sadarkan diri itu.
“Fuck!” Desisannya mengalun penuh penekanan, mendapati jika pipi Natha terdapat dua goresan panjang dengan darah yang mengering. Amarahnya naik, ia kemudian menepuk-nepuk sebelah pipi Natha yang masih bersih itu. “Nath, bangun! Natha!”
Raut wajahnya begitu khawatir, ia tepuk kembali pipi Natha namun suami cantiknya itu masih belum memberikan respon. Harvey berdecak, ia ganti memeriksa seluruh tubuh Natha, menyadari jika kedua tangan dan kaki Natha terikat pada besi-besi kursi.
Tangannya dengan cepat beralih ia selipkan terlebih dahulu revolvernya diantara lipatan paha dan dadanya. Namun, saat kedua tangannya bergerak melepas ikatan tali pada kaki Natha, pergerakannya seketika terhenti saat mendengar suara langkah kaki yang bergitu pelan mendekat dari arah belakang.
Harvey tegakan kembali punggungnya begitu merasakan sebuah benda mengenai belakang kepalanya, suara kekehan dengan suara serak mengalun kemudian.
“Selamat datang, Tanjung.”
Handoko berdiri tepat dibelakang Harvey, tangannya mengarahkan moncong pistolnya tepat di belakang kepala Harvey. Ibu jarinya berada dipelatuk, siap menekannya.
Tapi Harvey tetap terdiam begitu tenang, arah pandangnya turun kembali, menatap kaki Natha lalu tangannya bergerak lagi untuk melepas ikatan yang melilit kaki Natha.
Sebelah alis Handoko terangkat, mengeryit saat mendapati Harvey begitu tenang, tidak terusik sama sekali oleh ancamannya. Ia kemudian berdecih, menekan pistolnya kuat hingga kepala Harvey sedikit maju.
“Lepaskan saja, dan akan kupastikan juga kepalamu akan lepas setelahnya.”
Mendengar itu, Harvey mendengus remeh, ia tetap buka ikatan pada kaki Natha. Handoko meremang, ia semakin menekan ujung pistolnya di kepala Harvey, seirama dengan ibu jarinya yang juga menekan pelatuk senjata api itu dengan perlahan.
Begitu ikatan kaki Natha terlepas dan pelatuk semakin ditekan, Harvey dengan cepat membalik tubuhnya, mengarahkan tangan Handoko ke arah lain dan timah panas itu terlontar menuju atap ruangan, mengakibatkan plafonnya yang sudah rapuh jatuh berserakan.
Ia kemudian menghempaskan lengan Handoko hingga pistol yang dipegangnya jatuh, terlempar ke belakang.
Seringai Harvey tercipta, tangannya yang memegang revolver terulur, mengarah tepat pada dahi Handoko yang kini terkejut dengan gerakan Harvey yang begitu cepat.
“Senang anda menyambutku, Handoko.” Suara Harvey mengalun pelan, namun penekanannya pada setiap kata begitu dalam. “I thought you've been eaten by worms like you did it to your name. Tapi ternyata tidak ya.”
Handoko naik pitam dibuatnya, melihat sorot mata Harvey yang tidak memiliki rasa takut sama sekali, dengan senyuman remeh yang terlukis begitu jelas diwajahnya.
Namun ketika Handoko menjentikan dua jarinya, pintu menjeblak terbuka, menampilkan beberapa preman yang Harvey yakini bahwa mereka lah anak buah Handoko. Ia mendengus begitu melihat salah satu preman dengan tatto ular yang berada di punggung tangannya, tatto yang sama dengan seseorang yang membuntuti Natha dihari-hari lalu.
Mereka baru saja akan menyerang Harvey sebelum suara Harvey kembali mengalun, begitu datar dan dingin.
“Maju selangkah, gua pastiin kepala boss kesayangan kalian akan meledak detik ini juga.” Ancamnya, membuat para preman itu langsung berdiri di tempat dengan nafas mereka yang menggebu. “Bukan kah begitu, Aris?”
Mendengar Harvey memanggil nama 'baru'nya itu, Handoko menggeram, merasa begitu rendah saat Harvey meludah sesaat setelah menyebut namanya itu.
“Ah, sebelum permainan berlangsung, bolehkah aku mengapresiasi dirimu terlebih dulu?” Tanya Harvey, “Mengapresiasi betapa rapihnya permainan anda selama bertahun-tahun lamanya, membuat kami terkecoh dengan amatsira sialan yang membuat kami tidak menyadari bahwa anda lah pelakukanya selama ini.”
Handoko terkekeh, “Bukan kah bagus? Melihat kalian begitu bodoh selama bertahun-tahun menjadi kesenanganku sendiri, Harvey Tanjung.”
“Oh ya?”
“Kematian Hadley belum ada apa-apanya bagiku.” Mendengar nama kakaknya terucap, gengaman tangan Harvey pada revolver mengerat. “Belum sebanding dengan rasa sakit hati dan depresiku yang sudah Ayahmu perbuat!”
“Kalau memang Ayahku yang membuatmu sakit hati dan depresi, kenapa harus kami, anak-anaknya yang menanggung akibatnya? Bukankah lebih mudah jika membalaskan dendammu langsung pada Tanjung?”
Perkataan Harvey barusan dibalas kerutan pada dahi Handoko.
“Apa karena Tanjung begitu susah diraih makanya anda menargetkan anak-anaknya sebagai ajang balas dendam? Membuat keluarganya hancur, itu kah tujuanmu?” Harvey mendekatkan wajahnya, seringainya kembali tercipta. “Jika seperti itu, bukankah anda menyadari jika diri anda masih jauh di bawah Tanjung, hm?”
Handoko merasa terhina detik itu juga, ucapan Harvey menampar telak dirinya. Ia kembali menggeram, membuat anak buahnya langsung bergerak maju.
Namun lagi-lagi Harvey menghentikan pergerakan mereka dengan lirikan tajam. “Gua gak main-main sama ucapan gua tadi, maju selangkah lagi, kalian semua bakalan ikut mati.”
“Hahahaha, benarkah begitu, Tanjung?” Tanya Handoko remeh. “Lihat kebelakang, apakah kamu bisa melakukan kata-kata yang barusan kamu ucapkan?”
Kepala Harvey bergerak cepat menoleh kebelakang, seketika bola matanya membulat begitu menyadari jika salah satu anak buah Handoko sudah berdiri tepat di belakang Natha, sebuah pisau berada tepat di leher Natha yang kini mendongkak itu.
“Bagaimana, Harvey?” Suara Handoko mengalun begitu menjengkelkan. “Ah, anak itu manis sekali. Sengaja tidak aku nasibkan sama seperti Hadley karena wajahnya begitu mirip dengan pujaan hatiku.”
Harvey menoleh kembali ke arah Handoko, dan detik itu juga revolver yang berada di tangannya terlempar, berhenti tepat di bawah kaki Natha. Tubuhnya seketika jatuh tersungkur saat Handoko menendang perutnya menggunakan lutut dengan kuat.
Tapi tendangan Handoko barusan belum ada apa-apanya, Harvey langsung bangkit dari posisinya, dan gerombolan preman itu langsung menghajarnya dari berbagai sisi.
Satu lawan lima merupakan jumlah yang sangat tidak seimbang.
Namun Harvey dapat menaklukkannya, kaki dan tangannya bergerak lincah, menendang, menonjok, bahkan memelintir tangan salah satu anak buah Handoko hingga terdengar bunyi 'krek' yang begitu menyakitkan.
Dulu, saat sekolah menengah atas ia selalu protes kenapa Ibunya selalu memaksa Harvey mengikuti kelas bela diri khusus, tapi saat ini Harvey tahu jika kemampuan itu akan digunakannya di kemudian waktu. Seperti saat ini.
Kaki jenjangnya melayang ke udara, mengenai tepat sisi kepala salah satu preman dan langsung membuatnya jatuh tersungkur menghantam lantai kotor.
Menyadari jika Harvey cukup susah ditaklukkan, Handoko memanggil tiga orang anak buahnya lagi untuk turut serta menghajar Harvey yang kini mulai terlihat kewalahan.
Handoko tertawa puas ketika Harvey berulang kali terkena pukulan dari anak-anak buahnya. Jumlah yang semakin tidak seimbang membuat Harvey kesulitan untuk membalas tindakan mereka, ia berulang kali kehilangan keseimbangan dan hampir saja terjatuh.
Tanpa Harvey sadari, salah satu anak buah Handoko yang tadi menodongkan pisaunya ke arah leher Natha kini ikut bergabung. Mengganti posisi temannya yang satu per satu tumbang.
Jika Harvey lengah satu detik saja, pisau tajam itu bisa dengan mudah menusuk dadanya. Tapi mungkin di dalam lelap ketidaksadarannya, ada doa Natha yang langsung naik menembus langit, membuat pisau itu berakhir menggores lengan Harvey hingga membuat jas serta kemejanya robek seketika.
Darah segar seketika turun, menetes membasahi kain dan tangan Harvey. Ia meringis, menghajar habis-habisan anak buah Handoko yang memegang pisau, menjadikan pisau itu berpindah tangan dan dengan cepat, Harvey tancapkan pisau itu tepat diperut preman itu.
Pisau yang menacap Harvey cabut kembali, ia gunakan benda tajam itu untuk menjadi tameng, melumpuhkan satu per satu anak buah Handoko yang sebagian sudah terkapar tidak berdaya.
Handoko yang sedari tadi tersenyum senang, kini mulai merasa cemas. Ia ambil langkah mundur, meraih pistolnya kembali, berancang-ancang jika Harvey bisa melumpuhkan semua anak buahnya dan balik melawan ke arah dirinya.
Ia benar-benar tidak menyangka jika Harvey memang sangat susah diraih, bahkan saat Harvey berada di wilayahnya. Tidak seperti sang Kakak yang dengan mudah ia renggut nyawanya itu.
Tinggal tiga orang anak buahnya lagi yang masih berusaha membuat Harvey tumbang, satu pukulan kencang mengenai bagian perut Harvey, ia terbatuk, membuat darah keluar mengotori sudut bibirnya. Dengan cepat ia melawan, memberikan dua tusukan ke arah anak buah Handoko yang memukulnya tadi, membuat ia kini hanya berhadapan dengan dua orang saja.
Tanpa Harvey sadari, salah satu anak buah Handoko bangkit dari ketidakberdayaannya, mengambil sebuah balok kayu dengan susah payah.
Ditengah perkelahian, diam-diam Natha mulai meraih kesadarannya kembali, alisnya mengernyit begitu aroma yang menyengat menyeruak masuk indera penciumannya. Kepalanya pening luar biasa, merasakan sakit di sekujur tubuhnya dan perih melingkupi berpergelangan tangannya.
Begitu kelopak matanya terbuka, Natha dibuat shock seketika, mendapati Harvey yang kini masih berusaha melawan dua anak buah Handoko itu.
Bibirnya kelu, nafasnya tiba-tiba mendadak seperti tercekik, Natha kehilangan fokusnya yang baru saja ia raih itu, dan saat Harvey membanting satu orang preman dengan pisau yang menancap di dada sebelah kanannya, Natha tersadar, ia menoleh kebelakang dan mendapati kedua tangannya terikat dengan kuat.
Tanpa suara, ia berusaha melepas ikatan tangannya. Beruntungnya Natha karena Handoko hanya fokus pada Harvey yang kini sedang melawan satu orang lagi itu.
Ekspresi wajahnya berubah panik saat salah satu anak buah Handoko bangkit, mengenggam balok kayu dan berjalan tepat di belakang Harvey dengan langkah yang terseok-seok. Natha berusaha dengan cepat melepas tali yang melilit pergelangan tangannya itu.
Harvey yang tidak menyadari jika ada serangan dari belakang tubuhnya itu, tetap fokus menghajar satu orang yang begitu susah ia buat tumbang. Energinya hampir terkuras habis, nafasnya mulai terengah, ditambah banyaknya darah yang keluar akibat luka sayatan pisau yang tadi diterimanya itu.
Satu pukulan pada bawah dagu preman itu membuatnya tumbang seketika, Harvey tersenyum puas, ia mengangkat kepalanya, mengusap sudut bibirnya dengan punggung tangan dan menatap ke arah Handoko yang berada dihadapannya.
“Anda kira anda bisa-”
Bugh!
Balok kayu mengenai tepat punggung Harvey, membuatnya seketika jatuh tersungkur. Handoko bertepuk tangan, tawanya yang begitu menyebalkan memenuhi penjuru ruangan, merasa jika kemenangan sudah didapatkannya. Ia kemudian berjalan mendekat ke arah Harvey yang kini bersimpuh dengan posisi telungkup itu.
“Bisa apa? Hm? Bisa apa, Harvey Tanjung? Ayo lanjutkan ucapanmu anak tampan.”
Harvey tidak membalas ucapan Handoko barusan, ia terbatuk, membuat darah kembali mengotori bibirnya. Lalu kepalanya ditarik mendongkak saat Handoko menjambak rambutnya ke atas.
“Setelah ini, seluruh dendamku akan terbalas.”
Ujung pistolnya mengarah tepat ke arah dahi Harvey yang sudah tidak berdaya, ia kehilangan seluruh energinya, tidak bisa melawan perlakuan Handoko yang sudah bersiap menekan pelatuk.
“Katakan selamat tinggal pada suamimu yang manis itu.”
Dor! Dor! Dor!
Harvey memejamkan matanya begitu suara timah panas terlontar menggema, ia terdiam, sedetik, dua detik, ia tidak merasakan apapun pada dahinya, justru ia malah mendengar suara tubuh terjatuh dan ringisan kesakitan yang begitu memilukan.
“Dont you dare to touch what's mine.”
Natha berdiri tegap dengan tangannya yang terulur, mengarahkan revolver tepat pada Handoko yang justru kini tumbang. Rahangnya mengeras, jari-jarinya bergetar, matanya memerah menahan air matanya agar tidak turun.
Kelopak mata Harvey mengerjap tak percaya, menatap Natha yang kini juga menatapnya. “Nath.”
Natha terdiam, lalu ia tiba-tiba ambruk, jatuh terduduk dengan pandangan kosong, air mata yang sedari di tahannya itu perlahan turun membasahi pipi. Revolver yang berada di genggaman tangannya terlepas, wajahnya yang sudah pucat semain terlihat pias.
“Natha, hei.” Harvey merangkak mendekat, terbatuk ketika merasakan dadanya sesak, alisnya mengeryit saat rasa sakit melingkupi seluruh tubuhnya.
Dengan susah payah, Harvey mendekati Natha yang masih terdiam. Tubuh bergetar itu kemudian langsung direngkuhnya dalam sebuah dekapan erat, dagunya Harvey tumpu pada pundak Natha.
Tangis Natha meledak detik itu juga, tangannya dengan cepat membalas rengkuhan Harvey, menjadikan tangisnya sebagai satu-satunya suara yang melingkupi ruangan pengap ini.
Harvey tersenyum lemah, ia angkat sedikit kepalanya lalu memberikan sebuah ciuman di pelipis Natha begitu lama. Bernafas lega ketika Natha sudah berada kembali dalam jangkauannya.
“Shhh, dont cry, baby. I'm here.”
Natha tersedak tangisnya sendiri, ia terbatuk, menarik nafasnya dengan begitu susah saat rasa sesak menekan dadanya.
“Maaf, maaf, maaf. Gua minta maaf.” Ketakutan serta penyesalannya berkumpul, menekan Natha hingga ia tidak bisa mengucapkan apapun lagi selain permintaan maaf itu. “I'm really sorry, Harvey.”
Kepala Harvey mengangguk, ia usap punggung Natha perlahan sebelum kedua tangannya mendorong tubuh Natha kebelakang, melepas pelukan mereka.
Dua pasang manik mata beradu, wajah basah Natha membuat Harvey tersenyum tipis, lalu sebelah tangannya terulur, mengusap pipi Natha guna menghapus air matanya.
Namun ketika menyadari jika ia menggunakan tangan yang salah, Harvey tiba-tiba tersentak pelan. “Maaf, pipi lo jadi kotor.”
Natha awalnya dilanda kebingungan, tapi saat matanya melirik tangan Harvey yang bersimbah darah, ia menggelengkan kepalanya, menatap dalam ke arah bola mata Harvey sebelum sebelah tangannya terangkat, menangkup punggung tangan Harvey yang berada di wajahnya itu.
“Maaf. Maaf, Harvey.”
Kelopak mata Natha terpejam, kepalanya mendunduk dan tangisnya meledak kembali. Seharusnya ia mengesampingkan egonya, seharusnya ia menuruti ucapan Harvey, seharusnya ia tidak pergi ke rumah Deon, dan seharusnya ia percaya dengan ucapan Harvey ketika di lake house saat itu.
Semua orang memakai topeng, dan kita tidak mengetahui bagaimana orang itu dibalik topengnya.
Tubuh itu Harvey rengkuh kembali, memeluknya erat seperti tidak ada hari esok. Keduanya terlarut dalam satu sama lain, tidak menyadari jika Handoko yang masih memiliki setengah kesadarannya itu menatap ke arah mereka berdua dengan tatapan marah.
Lelaki tua itu meringis, merasakan timah panas yang menembus bahu serta pahanya itu. Bersusah payah meraih pistolnya kembali dengan sebelah tangan, kesempatannya tinggal satu, saat ini juga.
Begitu pistolnya berhasil di raih, Handoko mengangkat tangannya, mengarahkan tepat senjata api itu pada belakang kepala Harvey.
“Natha! Harvey!”
Dor!
Waktu tiba-tiba melambat, peluru itu terlontar, menembus kulit hingga darah terciprat dari bagian yang terkena.
Harvey dan Natha sontak melepas pelukan mereka, menoleh ke arah Deon yang sudah berdiri tepat dibelakang Harvey. Senyum guru taman kanak-kanak itu merekah tipis, ekspresi wajahnya begitu hangat menatap ke arah Natha.
“Maafin gua ya, Nath. Maaf. Gua titip Ibu gua, ya.”
Setelahnya, tubuh Deon ambruk dengan darah segar yang merembes membasahi kaus yang dipakainya pada bagian belakang. Handoko membulatkan matanya, menatap tubuh anak semata wayangnya yang kini tumbang di depan matanya sendiri.
Rahang Natha mengeras, ekspresi wajahnya dengan cepat berubah penuh amarah, ia raih revolver yang berada tepat di sampingnya lalu ia bangkit, menembakan satu peluru pada Handoko tepat di bagian bahu kanan.
Detik itu juga, Handoko kehilangan kesadarannya.
Pandangan Natha beralih, menatap Deon yang kini tergeletak tepat di depan kakinya. Bibir dalamnya ia gigit kuat, ia ambruk kembali, tangannya terulur mengguncang bahu sahabatnya itu.
“Bangun, jing! Bangun!” Katanya sambil tetap mengguncangkan bahu Deon, “Deon, anjing! Bangun lo tolol! Lo masih punya kasur dirumah! Jangan tidur disini bangsat!”
Tapi Deon tidak memberikan respon apapun, membuat Natha mengepalkan buku-buku jarinya hingga memutih.
“Argh!”
Natha berteriak, air matanya turun kembali, kepalanya menunduk dengan bahunya yang bergetar.
Teriakannya barusan memunculkan sosok Juna serta Eric yang dalam keadaan berantakan, baju mereka compang-camping terselimuti lumpur dan tanah yang entah mereka dapat dari mana itu. Wajah mereka pun tak luput dari memar, bahkan mereka mendapati darah yang mulai mengering di masing-masing sudut bibir.
Juna yang masih berdiri diambang pintu kehilangan fokusnya saat menatap Deon yang kausnya bersimbah darah itu. Satu kemungkinan terburuk masuk, melingkupi pikirannya.
“Deon!”