⚜
Tw // violence , mention of psycho activity , blood , mention of revenge , mention of death
Plak!
Satu tamparan tepat mengenai sebelah pipi Deon dengan begitu kuat, wajahnya terhempas, hampir saja terhuyung jika ia tidak dengan cepat menahan tubuhnya sendiri. Kepalanya menoleh, menatap tajam sang Ayah yang ini juga menatapnya dengan tatapan marah.
“Tau apa kamu soal dendam?” Tanya sang Ayah sambil menunjuk wajah Deon dengan ujung rokoknya, “Kamu sama Ibu-mu itu gak ada bedanya, cuman dua cecunguk menyusahkan yang gak tau diuntung!”
Deon mengigit bibir bawahnya kuat, mati-matian menahan emosinya yang bergejolak. Ia menatap sudut ruangan dengan ujung matanya, Natha disana, terduduk dengan keadaan tidak sadarkan diri. Lalu matanya bergulir, menatap kembali sang Ayah.
“Saya tau apa? Anda bilang saya tau apa soal dendam?” Ia kemudian terkekeh remeh, “Saya mungkin emang gak tau apa-apa, tapi saya paham betul tentang penghianatan Tanjung, rencana busuk anda, hingga bagimana gadis yang dulu begitu anda puja-puja menjadi nyonya besar keluarga Dimitri.”
Satu tamparan kembali mengenai sebelah pipi Deon, lebih kuat dari sebelumnya, sukses membuat Deon jatuh tersungkur. Rasa sakitnya ia abaikan, ibu jarinya mengusap sedikit noda darah pada sudut bibir, Deon berdecih remeh, menatap sang Ayah yang kini makin tersulut itu.
“Saya sudah bawa Natha kemari, jadi tolong, lepaskan Ibu saya.”
Handoko yang kini hidup dengan nama Tama itu tertawa, suara beratnya memenuhi ruangan kumuh yang dingin dan pengap. “Kamu kira segampang itu, bocah?”
“Kamu tahu? wanita itu sudah sepantasnya mati.” Handoko menunduk, suaranya mengalun lirih. “Terkubur dengan tanah bersama Hadley.”
Wajah dihadapannya ganti Deon tampar, membuat Handoko semakin naik pitam dibuatnya. Ia meludah, mengenai tepat ke arah wajah Deon yang refleks memejamkan matanya.
“Saya begitu menyesali punya anak seperti kamu! Tidak berguna! Sama seperti Ratih!”
“Saya juga begitu menyesali kenapa bisa terlahir dari manusia bajingan seperti anda!”
Deon mengantupkan mulutnya rapat ketika moncong senjata api tepat mengarah ke dahinya dengan cepat, membuat Handoko tertawa remeh, menatap sebuah nyawa yang dahulu tak pernah ia harapkan kehadirannya itu.
“Tutup mulut sampahmu itu, bocah. Kamu dan Ibu-mu memang tidak ada bedanya.”
Handoko menegakkan kembali posisi tubuhnya, menjauhkan senjata apinya dari dahi Deon. Pandangannya kemudian mengarah pada dua orang yang berdiri tepat di sisi pintu, memberikan kode agar membawa Deon pergi dari sana.
Kepalanya menoleh dengan cepat begitu suara langkah kaki terdengar dari belakang, tepat sebelum Deon menghindar, kedua tangannya sudah lebih dahulu di tarik oleh dua laki-laki dengan perawakan besar itu.
“Taruh dia bersama dengan Ibunya yang sebentar lagi mati itu.”
“Lepasin gua, anjing!” Matanya mendelik marah, Deon meronta, mencoba melepaskan cekalan dua lengan yang begitu kuat menarik tubuhnya itu. “Lu dan dendam lu yang justru bakalan mati nanti! Ngebusuk di tanah, atau mungkin Harvey bakalan masukin lu ke kolam buaya punya keluarga Tanjung!”
Decihan pelan keluar dari lelaki setengah abad itu, matanya setia menatap remeh ke arah Deon. “Sebelum itu terjadi, kamu sama Ibu-mu yang lebih dulu pergi menyatu dengan tanah!”
Sakit hatinya mencekik Deon hingga nafasnya tersendat. Seharusnya sejak awal ia bawa Ibunya pergi jauh saat Handoko menemukan kembali dirinya dengan sang Ibu. Deon menggeram marah, menyadari jika lelaki tua di hadapannya yang enggan sekali ia sebut sebagai Ayah itu begitu manipulatif.
Ia kemudian lempar pandangannya ke sudut ruangan, menatap sendu ke arah Natha yang sama sekali belum sadarkan diri itu. Jantungnya seperti diremat kuat, benaknya lebih memilih untuk mati tepat di tangan Harvey dari pada di tangan lelaki bajingan yang kini malah tertawa dengan suaranya yang begitu menjengkelkan.
“Nath! Gua yakin Harvey pasti bakalan ke si-”
Bugh!
Hentakan balok kayu tepat mengenai tengkuk belakangnya, ucapan Deon terhenti seketika. Tubuhnya melemas, ia diseret keluar dari ruangan tanpa belas kasih, seperti sedang menyeret seonggok bangkai hewan yang mati di tengah jalan.
Begitu melihat Deon yang sudah menghilang di balik pintu ruangan, Handoko kemudian berbalik, pandangannya menatap ke arah sudut, lalu suara tawanya yang begitu dalam mengalun pelan.
Kakinya melangkah, suara ketukannya begitu terdengar oleh telinga. Tangannya meraih kantong, mengambil satu batang rokok lalu menyulutnya, asapnya kemudian menyatu dengan udara ruangan yang pengap dan lembab.
Handoko terbatuk, namun senyumnya tetap merekah menatap ke arah Natha, memperhatikannya dari bawah sampai atas. Lalu tangannya terulur, meraih rahang Natha dan menariknya ke atas.
“Sudah bagus keluargamu menjauhi Tanjung, tapi kenapa sekarang malah justru terikat dengan pernikahan? Dasar manusia bodoh.” Suaranya beratnya yang serak berbisik pelan. “Natha Dimitri, ah, wajahmu mirip sekali dengan Ibu-mu, anak manis. Bahkan kembaranmu saja tidak semirip ini.”
Ia kemudian melepas cengkramannya pada leher Natha, membuat kepala Natha kembali tertunduk lemas. Handoko hisap lagi rokoknya dengan ekspresi wajah yang berubah begitu datar, tangannya berpindah, menjambak rambut Natha kebelakang hingga wajah Natha menghadap tepat ke arahnya.
“Bocah tengik tadi bilang kalau Harvey akan kemari bukan? Bagus lah, kamu memang umpan pancingan yang paling mudah di tangkap, Natha.” Seringainya muncul di wajahnya yang keriput. “Begitu sukarela masuk ke kandang harimau.”
“Saya kira dengan matinya Hadley akan membuat keluargamu jera untuk berdekatan dengan Tanjung penghianat itu, nyatanya tidak ya? Hahaha.”
Rambut Natha dilepasnya, lalu tangannya yang berkerut itu mengusap lembut pipi Natha. “Kalau kamu bukan anak dari wanita yang sampai saat ini masih kupuja, mungkin nasibmu akan sama dengan Hadley, anak manis.”
Rokoknya ia selipkan di bibir, lalu sebelah tangannya yang lain kembali merogoh kantung celananya di bagian belakang, mengambil sebuah benda dengan lempengan pipih tajam lalu perlahan mengarahkannya ke wajah Natha, membelainya begitu pelan hingga garis kemerahan yang lama-lama menggelap itu menghiasi pipi Natha.
“Sangat amat disayangkan kanvas putih sepertimu tidak tersentuh olehku. Anggap saja itu bayaran yang setimpal karena masih berhubungan dengan penghianat itu.”
Pipi yang sering di usap lembut oleh Harvey itu kini terdapat dua garis dengan noda merah pekat, namun itu tetap tidak membuat Natha bangun dari ketidaksadarannya, efek obat bius yang disuntikan padanya saat di rumah Deon oleh salah satu anak buah Handoko cukup membuat Natha tidak sadarkan diri selama berjam-jam lamanya.
Benda dengan lempengan pipih tajam itu menjauh dari wajah Natha, masuk kembali ke dalam kantung celana. Handoko tersenyum puas, ia biarkan cairan merah pekat itu perlahan turun mengotori wajah Natha yang pucat.
Rokoknya kembali ia hisap, kini lebih kuat hingga ia terbatuk-batuk setelahnya. Handoko berbalik, berjalan pada sisi ruangan yang berhadapan dengan posisi Natha duduk, menuju sebuah single sofa usang yang warnanya sudah pudar itu.
Ia terduduk, punggungnya menyender pada punggung sofa dengan kedua tangan yang bertumpu di lengan sofa. Matanya tak lepas menatap lekat ke arah Natha, terdiam beberapa saat sebelum kekehannya kembali mengalun.
“Mau dengar dongeng yang indah, anak manis?” Tanyanya, namun tentu saja Natha tidak akan menjawab pertanyannya barusan. “Diam berarti iya.”
Handoko meniupkan asap rokoknya ke udara, kepalanya mendongak, menatap langit-langit ruangan yang sudah banyak noda serta bekas rembesan air hujan itu. Lalu sebuah kisah lama mengalir begitu lancar dari mulutnya.
Tentang bagaimana dendam dan rasa sakit hatinya akibat penghianatan Tanjung yang begitu membekas. Bercokol menjadi awan gelap yang melingkupi hidupnya selama bertahun-tahun lamanya. Membuat hatinya mati, tidak lagi memiliki belas kasih meskipun pada darah dagingnya sendiri.
“Kami dulu berteman begitu akrab, sama seperti Ayahmu dengan penghianat itu sekarang. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya pertemanan itu musnah dengan begitu cepat, secepat Tanjung menyerahkan ide yang susah payah aku buat pada lawan kami dalam penelitian saat itu.”
Handoko membuang nafasnya berat, kepalanya menoleh kembali ke arah Natha. “Aku di cap sebagai seorang peniru, karirku hancur begitu saja, Natha. Bahkan saat itu Tanjung yang aku kira akan berada diposisiku, turut menyalahkanku dan mengatakan jika aku meniru ide lawan saat itu.”
“Dan kamu tahu apa yang lebih lucu? Semua orang percaya padanya. Padahal nyatanya ia lah yang menjual ideku pada lawan. Penelitianku selama berbulan-bulan berakhir sia-sia. Aku kalah karena tidak memiliki siapapun saat itu. Depresi berkepanjangan memilih menutup diri dan akhirnya menghilang.”
Handoko tersenyum kecut.
“Mimpiku mati, Natha. Beasiswa yang aku inginkan hancur lebur begitu saja, dan orangtuaku ikut kecewa dengan apa yang terjadi saat itu. Andaikan Tanjung tidak menjual ideku dan memilih untuk tetap mendukungku, mungkin sekarang nasib keluarganya tidak akan seperti saat ini.”
Lalu Handoko tiba-tiba tertawa kembali.
“Ada hal yang paling lucu yang harus kamu ketahui juga Natha, mungkin kamu akan bertanya-tanya siapa lawanku saat itu, bukan?” Ia menjeda ucapannya sejenak. “Dimitri. Orang yang memberikanmu namanya pada nama belakangmu lah yang menjadi lawanku saat itu.”
Suara gemuruh guntur terdengar samar, kilatnya menembus kaca yang sudah retak dan lumutan di sisi-sisinya. Handoko membuang rokok yang ia pegang, menginjaknya dengan sepatu usang miliknya penuh penekanan.
“Entah apa yang dijanjikan Ayahmu hingga Tanjung berkhianat padaku saat itu, Natha. Namun ketika melihat bagaimana Tanjung begitu mendambakan gadis yang menjadi partner penelitian Ayahmu saat itu, aku mengerti kenapa ia begitu gelap mata menyerahkan ideku pada tim mereka saat melihat bagaimana bahagianya mereka di hari pengumuman pemenang beasiswa.”
Handoko berdecih, meludah ke arah samping dengan punggungnya yang ia tegakkan kembali.
“Sejak itu dendam bercokol di dalam hidupku. Melihat bagaimana sabahat karibmu berkhianat dan kini menjalani hidup bahagia dan sukses, merupakan mimpi buruk yang begitu mendalam bagi orang-orang sepertiku. Terbunuhnya Hadley oleh salah satu anak buahku belum membuat hatiku membaik, Natha. Justru malah semakin menggelap saat tahu jika mereka menjodohkan anak mereka seperti apa yang mereka impikan saat itu.”
Pandangannya kemudian beralih, menatap ke arah luar jendela yang menampilkan gelapnya hutan.
“Tapi sebelum nama Handoko mati, aku bertemu dengan seorang gadis yang baru saja menjadi adik tingkatku. Begitu cantik, lugu, dan punya senyum yang sama persis dengan milikmu. Tapi lagi-lagi, mereka merebutnya kembali, Natha.” Ia ambil nafasnya sejenak. “Sejak saat itu, Handoko resmi mati, terkubur di bawah gundukan tanah basah hingga menumbuhkan nama baru.”
Ada jeda cukup lama sebelum ceritanya mengalir kembali.
“Tapi aku harus mengubur kembali nama itu demi dendamku terbalas. Sosok Tama yang menjadi Ayah dari sahabat karibmu juga turut pergi.” Sambungnya kemudian. “Dan orang-orang kini memanggilku dengan nama Aris. Nama yang bagus, bukan?”
Hening, tidak ada sahutan dari apapun yang menimpali cerita Handoko barusan. Kepala Natha masih tertunduk lemas, kedua tangannya yang diikat kebelakang tubuh menopangnya agar tidak jatuh terjembab ke depan.
“Tanjung harus merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan, Natha. Walaupun dia sudah berulang kali meminta maaf, tapiaku tidak akan pernah memaafkannya. Jika aku tidak bisa menghancurkan karirnya, maka aku akan menghancurkan keluarganya selangkah demi selangkah.”
Handoko bangkit dari posisi duduknya, membenarkan letak celananya yang turun lalu kembali berjalan mendekat ke arah Natha, mengusap pipinya hingga cairan merah itu mengotori setengah wajah Natha.
“Maaf jika nanti kamu harus kehilangan suami tercintamu, anak manis.”
Gemuruh petir yang cukup kuat mampu membuat kelopak matanya terbuka perlahan. Pandangannya buram, menatap sekeliling dengan alisnya yang mengkerut, berusaha cepat meraih fokusnya kembali.
“Ibu!”
Deon langsung beranjak dari posisinya, namun ia seketika jatuh tersungkur ketika menyadari jika kedua kakinya diikat oleh sebuah rantai, ah, tidak hanya kakinya saja, kedua tangannya pun ikut terikat di belakang tubuh.
Sosok yang Deon pangil Ibu itu menoleh perlahan, senyumnya perlahan merekah tipis, tubuhnya begitu ringkih, lebih menyedihkan dari terakhir yang Deon lihat.
“Ibu.” Deon merintih, dadanya sesak luar biasa ketika mendapati Ibunya yang dijanjikan tidak akan kenapa-kenapa, justru kini terbaring seperti seorang pesakitan. Kedua kaki dan tangannya di rantai agar tidak bisa beranjak kemana-mana. “Bu, maaf. Deon minta maaf.”
“Shh, jangan minta maaf, jangan nangis, anakku. Deon udah ngelakuin yang terbaik, lihat, Ibu gak kenapa-kenapa, kan?”
Kepalanya menggeleng, Deon menunduk, jari-jari tangannya mengepal kuat. “Maaf, Bu. Maaf.”
“Ian,” Suara Ibunya mengalun dengan lembut. Memanggil nama kanak-kanaknya yang sudah lama sekali tidak Deon dengar. “Gapapa, Nak. Ibu tahu kamu ngelakuin itu karena terpaksa, percaya sama Ibu, Natha gak akan kenapa-kenapa, keluarga Tanjung pasti bisa nemuin kita sebentar lagi.”
Wajahnya terangkat, menatap sang Ibu dengan matanya yang memerah. “Ibu tau Natha disini?”
Ibu mengangguk sebagai jawaban. “Walaupun Ibu gak ngeliat kamu dateng sama Natha, tapi Ibu tau orang-orang Bapakmu pasti bawa dia juga kesini.”
Deon tertunduk kembali, mengingat ketika orang-orang suruhan sang Ayah tiba-tiba datang, menyeret keduanya masuk ke dalam mobil dan membawa mereka ke tempat yang sama dimana Hadley menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal saat itu Deon tidak mengatakan jika Natha akan berkunjung ke rumah.
Benar jika selama ini Deon lah yang memberikan informasi terkait keberadaan Natha pada Ayahnya. Maka tidak heran jika Natha mengatakan padanya kemanapun ia pergi, akan ada seseorang yang mengikutinya, membuntuti Natha hingga ada waktu dimana keluarga Tanjung lengah.
Seperti saat ini.
Gumaman permintaan maaf mengalun terus menerus tanpa putus saat perjalanan, mata Deon selalu menatap ke arah Natha selama di mobil, memastikan temannya itu bisa memahami lingkupan rasa bersalah Deon walaupun dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Namun semua itu tidak Deon lakukan tanpa alasan, entah bagaimana caranya sang Ayah bisa mengetahui keberadaan Ibunya yang sudah Deon susah payah sembunyikan, alibi pulang ke kampung halaman yang Deon katakan pada teman-temannya itu hanya omong kosong belaka.
Ayahnya tau jika Ibunya lah titik kelemahan Deon, maka dari itu saat sang Ayah bisa mengetahui keberadaan dan menyandra sang Ibu, Deon tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Ayahnya.
Harvey terlalu susah diraih oleh sang Ayah, oleh sebab itu seseorang yang enggan sekali Deon panggil dengan sebutan 'Bapak' itu mengincar titik kelemahan Harvey.
Kini, lelaki tua itu sudah mendapatkan apa yang ia mau, namun seharusnya Deon lebih paham jika Ayahnya begitu manipulatif. Perjanjian yang mengatakan jika Deon bisa membawa Natha keluar dari pengawasan keluarga Tanjung, maka Deon akan mendapatkan Ibunya kembali itu hanya sebuah ucapan rayuan manis yang penuh kebohongan.
Deon menyesal, begitu menyesal kenapa ia sangat bodoh. Otaknya tidak bisa berpikir jernih saat Ayahnya mengirimkan foto sang Ibu yang tengah tertunduk lesu dengan moncong senjata api yang berada dipelipisnya. Mengatakan jika Deon harus sesegera mungkin membawa Natha pada sang Ayah.
Karena jika Natha sudah berada di tangan lelaki itu, bukan tidak mungkin keluarga Tanjung akan mencarinya, terutama Harvey yang kini menjadi target terakhir sang Ayah setelah kematian Hadley.
Tanjung harus hancur, sama seperti hancurnya hidup sang Ayah dulu.
Tapi bagaimanapun caranya, Deon harus keluar dari ruangan ini. Ia harus menebus rasa bersalahnya, Natha sudah begitu baik pada dirinya, seperti saudaranya sendiri. Jika pun nanti ia harus mati di tangan Harvey, itu lebih baik dari pada hidup dengan penuh rasa penyesalan.
“Bu, kalo nanti Deon pergi ninggalin Ibu sendiri, Ibu mau kan kalo Deon titipin ke Natha? Atau Ellio? Soalnya Deon gak punya siapa-siapa lagi selain mereka, Bu.”
Pertanyaan itu sontak membuat Ibu terhenyak, ia dengan susah payah bangun dari posisi tidurnya, menatap sang anak dengan pandangan bingung.
“Deon bilang apa, Nak? Siapa yang suruh Deon ngomong kayak gitu?”
Pertanyaan Ibunya tak Deon jawab, buku-buku jarinya semakin terkepal erat. Nafasnya tersendat, pikirannya tertuju pada Natha yang ia sendiri pun tak tahu bagaimana keadaannya sejak ia hilang kesadaran tadi.
“Deon lebih milih buat mati di tangan Harvey daripada di tangan bajingan itu, Bu.” Kepalanya terangkat, menatap Ibu dengan sendu. “Gara-gara kebodohan Deon, Natha harus balik lagi ke rumah yang bikin ingatannya hilang, rumah yang jadi saksi kejamnya bajingan itu dulu.”
Jika bertanya kenapa Handoko begitu tega mengurung Deon bersama dengan mantan istrinya itu, bukan tidak mungkin karena hanya mereka berdua yang mengetahui seluruh seluk beluk hidupnya. Mengetahui tentang semua rencananya untuk menghancurkan keluarga Tanjung.
Terlebih Deon begitu dekat dengan sang umpan, Handoko tidak bodoh jika anaknya itu akan melakukan pemberontakan saat sudah mendapatkan Ibunya kembali.
“Deon Byantara, anaknya Ibu, liat ke sini, sayang.”
Arah pandanganya teralih, Deon kembali menatap Ibu dengan sorot matanya yang begitu campur aduk. Emosinya berkumpul menjadi satu.
“Percaya sama Ibu, laki-laki tua itu yang justru nanti mati terbunuh karena dendamnya sendiri, Nak.”
Tidak ada sahutan, Deon terdiam dengan pandangannya yang kosong. Namun bola matanya seketika membulat saat mendapati sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melepas gembok rantai pada kakinya, di dekat ranjang usang tempat Ibunya duduk itu.
“Bu, Ibu bisa am-”
Suara debuman yang cukup kuat dari arah luar membuat ucapan Deon terhenti seketika. Bulu kuduknya meremang, ia terdiam dengan pandangan yang mengarah ke pintu ruangan.
Ibu menatap lekat ke arah Deon. “Sebentar lagi, Deon. Sebentar lagi.”