sweettynsaltt

Tw // violence , mention of psycho activity , blood , mention of revenge , mention of death


Plak!

Satu tamparan tepat mengenai sebelah pipi Deon dengan begitu kuat, wajahnya terhempas, hampir saja terhuyung jika ia tidak dengan cepat menahan tubuhnya sendiri. Kepalanya menoleh, menatap tajam sang Ayah yang ini juga menatapnya dengan tatapan marah.

“Tau apa kamu soal dendam?” Tanya sang Ayah sambil menunjuk wajah Deon dengan ujung rokoknya, “Kamu sama Ibu-mu itu gak ada bedanya, cuman dua cecunguk menyusahkan yang gak tau diuntung!”

Deon mengigit bibir bawahnya kuat, mati-matian menahan emosinya yang bergejolak. Ia menatap sudut ruangan dengan ujung matanya, Natha disana, terduduk dengan keadaan tidak sadarkan diri. Lalu matanya bergulir, menatap kembali sang Ayah.

“Saya tau apa? Anda bilang saya tau apa soal dendam?” Ia kemudian terkekeh remeh, “Saya mungkin emang gak tau apa-apa, tapi saya paham betul tentang penghianatan Tanjung, rencana busuk anda, hingga bagimana gadis yang dulu begitu anda puja-puja menjadi nyonya besar keluarga Dimitri.”

Satu tamparan kembali mengenai sebelah pipi Deon, lebih kuat dari sebelumnya, sukses membuat Deon jatuh tersungkur. Rasa sakitnya ia abaikan, ibu jarinya mengusap sedikit noda darah pada sudut bibir, Deon berdecih remeh, menatap sang Ayah yang kini makin tersulut itu.

“Saya sudah bawa Natha kemari, jadi tolong, lepaskan Ibu saya.”

Handoko yang kini hidup dengan nama Tama itu tertawa, suara beratnya memenuhi ruangan kumuh yang dingin dan pengap. “Kamu kira segampang itu, bocah?”

“Kamu tahu? wanita itu sudah sepantasnya mati.” Handoko menunduk, suaranya mengalun lirih. “Terkubur dengan tanah bersama Hadley.”

Wajah dihadapannya ganti Deon tampar, membuat Handoko semakin naik pitam dibuatnya. Ia meludah, mengenai tepat ke arah wajah Deon yang refleks memejamkan matanya.

“Saya begitu menyesali punya anak seperti kamu! Tidak berguna! Sama seperti Ratih!”

“Saya juga begitu menyesali kenapa bisa terlahir dari manusia bajingan seperti anda!”

Deon mengantupkan mulutnya rapat ketika moncong senjata api tepat mengarah ke dahinya dengan cepat, membuat Handoko tertawa remeh, menatap sebuah nyawa yang dahulu tak pernah ia harapkan kehadirannya itu.

“Tutup mulut sampahmu itu, bocah. Kamu dan Ibu-mu memang tidak ada bedanya.”

Handoko menegakkan kembali posisi tubuhnya, menjauhkan senjata apinya dari dahi Deon. Pandangannya kemudian mengarah pada dua orang yang berdiri tepat di sisi pintu, memberikan kode agar membawa Deon pergi dari sana.

Kepalanya menoleh dengan cepat begitu suara langkah kaki terdengar dari belakang, tepat sebelum Deon menghindar, kedua tangannya sudah lebih dahulu di tarik oleh dua laki-laki dengan perawakan besar itu.

“Taruh dia bersama dengan Ibunya yang sebentar lagi mati itu.”

“Lepasin gua, anjing!” Matanya mendelik marah, Deon meronta, mencoba melepaskan cekalan dua lengan yang begitu kuat menarik tubuhnya itu. “Lu dan dendam lu yang justru bakalan mati nanti! Ngebusuk di tanah, atau mungkin Harvey bakalan masukin lu ke kolam buaya punya keluarga Tanjung!”

Decihan pelan keluar dari lelaki setengah abad itu, matanya setia menatap remeh ke arah Deon. “Sebelum itu terjadi, kamu sama Ibu-mu yang lebih dulu pergi menyatu dengan tanah!”

Sakit hatinya mencekik Deon hingga nafasnya tersendat. Seharusnya sejak awal ia bawa Ibunya pergi jauh saat Handoko menemukan kembali dirinya dengan sang Ibu. Deon menggeram marah, menyadari jika lelaki tua di hadapannya yang enggan sekali ia sebut sebagai Ayah itu begitu manipulatif.

Ia kemudian lempar pandangannya ke sudut ruangan, menatap sendu ke arah Natha yang sama sekali belum sadarkan diri itu. Jantungnya seperti diremat kuat, benaknya lebih memilih untuk mati tepat di tangan Harvey dari pada di tangan lelaki bajingan yang kini malah tertawa dengan suaranya yang begitu menjengkelkan.

“Nath! Gua yakin Harvey pasti bakalan ke si-”

Bugh!

Hentakan balok kayu tepat mengenai tengkuk belakangnya, ucapan Deon terhenti seketika. Tubuhnya melemas, ia diseret keluar dari ruangan tanpa belas kasih, seperti sedang menyeret seonggok bangkai hewan yang mati di tengah jalan.

Begitu melihat Deon yang sudah menghilang di balik pintu ruangan, Handoko kemudian berbalik, pandangannya menatap ke arah sudut, lalu suara tawanya yang begitu dalam mengalun pelan.

Kakinya melangkah, suara ketukannya begitu terdengar oleh telinga. Tangannya meraih kantong, mengambil satu batang rokok lalu menyulutnya, asapnya kemudian menyatu dengan udara ruangan yang pengap dan lembab.

Handoko terbatuk, namun senyumnya tetap merekah menatap ke arah Natha, memperhatikannya dari bawah sampai atas. Lalu tangannya terulur, meraih rahang Natha dan menariknya ke atas.

“Sudah bagus keluargamu menjauhi Tanjung, tapi kenapa sekarang malah justru terikat dengan pernikahan? Dasar manusia bodoh.” Suaranya beratnya yang serak berbisik pelan. “Natha Dimitri, ah, wajahmu mirip sekali dengan Ibu-mu, anak manis. Bahkan kembaranmu saja tidak semirip ini.”

Ia kemudian melepas cengkramannya pada leher Natha, membuat kepala Natha kembali tertunduk lemas. Handoko hisap lagi rokoknya dengan ekspresi wajah yang berubah begitu datar, tangannya berpindah, menjambak rambut Natha kebelakang hingga wajah Natha menghadap tepat ke arahnya.

“Bocah tengik tadi bilang kalau Harvey akan kemari bukan? Bagus lah, kamu memang umpan pancingan yang paling mudah di tangkap, Natha.” Seringainya muncul di wajahnya yang keriput. “Begitu sukarela masuk ke kandang harimau.”

“Saya kira dengan matinya Hadley akan membuat keluargamu jera untuk berdekatan dengan Tanjung penghianat itu, nyatanya tidak ya? Hahaha.”

Rambut Natha dilepasnya, lalu tangannya yang berkerut itu mengusap lembut pipi Natha. “Kalau kamu bukan anak dari wanita yang sampai saat ini masih kupuja, mungkin nasibmu akan sama dengan Hadley, anak manis.”

Rokoknya ia selipkan di bibir, lalu sebelah tangannya yang lain kembali merogoh kantung celananya di bagian belakang, mengambil sebuah benda dengan lempengan pipih tajam lalu perlahan mengarahkannya ke wajah Natha, membelainya begitu pelan hingga garis kemerahan yang lama-lama menggelap itu menghiasi pipi Natha.

“Sangat amat disayangkan kanvas putih sepertimu tidak tersentuh olehku. Anggap saja itu bayaran yang setimpal karena masih berhubungan dengan penghianat itu.”

Pipi yang sering di usap lembut oleh Harvey itu kini terdapat dua garis dengan noda merah pekat, namun itu tetap tidak membuat Natha bangun dari ketidaksadarannya, efek obat bius yang disuntikan padanya saat di rumah Deon oleh salah satu anak buah Handoko cukup membuat Natha tidak sadarkan diri selama berjam-jam lamanya.

Benda dengan lempengan pipih tajam itu menjauh dari wajah Natha, masuk kembali ke dalam kantung celana. Handoko tersenyum puas, ia biarkan cairan merah pekat itu perlahan turun mengotori wajah Natha yang pucat.

Rokoknya kembali ia hisap, kini lebih kuat hingga ia terbatuk-batuk setelahnya. Handoko berbalik, berjalan pada sisi ruangan yang berhadapan dengan posisi Natha duduk, menuju sebuah single sofa usang yang warnanya sudah pudar itu.

Ia terduduk, punggungnya menyender pada punggung sofa dengan kedua tangan yang bertumpu di lengan sofa. Matanya tak lepas menatap lekat ke arah Natha, terdiam beberapa saat sebelum kekehannya kembali mengalun.

“Mau dengar dongeng yang indah, anak manis?” Tanyanya, namun tentu saja Natha tidak akan menjawab pertanyannya barusan. “Diam berarti iya.”

Handoko meniupkan asap rokoknya ke udara, kepalanya mendongak, menatap langit-langit ruangan yang sudah banyak noda serta bekas rembesan air hujan itu. Lalu sebuah kisah lama mengalir begitu lancar dari mulutnya.

Tentang bagaimana dendam dan rasa sakit hatinya akibat penghianatan Tanjung yang begitu membekas. Bercokol menjadi awan gelap yang melingkupi hidupnya selama bertahun-tahun lamanya. Membuat hatinya mati, tidak lagi memiliki belas kasih meskipun pada darah dagingnya sendiri.

“Kami dulu berteman begitu akrab, sama seperti Ayahmu dengan penghianat itu sekarang. Tapi itu dulu, sebelum akhirnya pertemanan itu musnah dengan begitu cepat, secepat Tanjung menyerahkan ide yang susah payah aku buat pada lawan kami dalam penelitian saat itu.”

Handoko membuang nafasnya berat, kepalanya menoleh kembali ke arah Natha. “Aku di cap sebagai seorang peniru, karirku hancur begitu saja, Natha. Bahkan saat itu Tanjung yang aku kira akan berada diposisiku, turut menyalahkanku dan mengatakan jika aku meniru ide lawan saat itu.”

“Dan kamu tahu apa yang lebih lucu? Semua orang percaya padanya. Padahal nyatanya ia lah yang menjual ideku pada lawan. Penelitianku selama berbulan-bulan berakhir sia-sia. Aku kalah karena tidak memiliki siapapun saat itu. Depresi berkepanjangan memilih menutup diri dan akhirnya menghilang.”

Handoko tersenyum kecut.

“Mimpiku mati, Natha. Beasiswa yang aku inginkan hancur lebur begitu saja, dan orangtuaku ikut kecewa dengan apa yang terjadi saat itu. Andaikan Tanjung tidak menjual ideku dan memilih untuk tetap mendukungku, mungkin sekarang nasib keluarganya tidak akan seperti saat ini.”

Lalu Handoko tiba-tiba tertawa kembali.

“Ada hal yang paling lucu yang harus kamu ketahui juga Natha, mungkin kamu akan bertanya-tanya siapa lawanku saat itu, bukan?” Ia menjeda ucapannya sejenak. “Dimitri. Orang yang memberikanmu namanya pada nama belakangmu lah yang menjadi lawanku saat itu.”

Suara gemuruh guntur terdengar samar, kilatnya menembus kaca yang sudah retak dan lumutan di sisi-sisinya. Handoko membuang rokok yang ia pegang, menginjaknya dengan sepatu usang miliknya penuh penekanan.

“Entah apa yang dijanjikan Ayahmu hingga Tanjung berkhianat padaku saat itu, Natha. Namun ketika melihat bagaimana Tanjung begitu mendambakan gadis yang menjadi partner penelitian Ayahmu saat itu, aku mengerti kenapa ia begitu gelap mata menyerahkan ideku pada tim mereka saat melihat bagaimana bahagianya mereka di hari pengumuman pemenang beasiswa.”

Handoko berdecih, meludah ke arah samping dengan punggungnya yang ia tegakkan kembali.

“Sejak itu dendam bercokol di dalam hidupku. Melihat bagaimana sabahat karibmu berkhianat dan kini menjalani hidup bahagia dan sukses, merupakan mimpi buruk yang begitu mendalam bagi orang-orang sepertiku. Terbunuhnya Hadley oleh salah satu anak buahku belum membuat hatiku membaik, Natha. Justru malah semakin menggelap saat tahu jika mereka menjodohkan anak mereka seperti apa yang mereka impikan saat itu.”

Pandangannya kemudian beralih, menatap ke arah luar jendela yang menampilkan gelapnya hutan.

“Tapi sebelum nama Handoko mati, aku bertemu dengan seorang gadis yang baru saja menjadi adik tingkatku. Begitu cantik, lugu, dan punya senyum yang sama persis dengan milikmu. Tapi lagi-lagi, mereka merebutnya kembali, Natha.” Ia ambil nafasnya sejenak. “Sejak saat itu, Handoko resmi mati, terkubur di bawah gundukan tanah basah hingga menumbuhkan nama baru.”

Ada jeda cukup lama sebelum ceritanya mengalir kembali.

“Tapi aku harus mengubur kembali nama itu demi dendamku terbalas. Sosok Tama yang menjadi Ayah dari sahabat karibmu juga turut pergi.” Sambungnya kemudian. “Dan orang-orang kini memanggilku dengan nama Aris. Nama yang bagus, bukan?”

Hening, tidak ada sahutan dari apapun yang menimpali cerita Handoko barusan. Kepala Natha masih tertunduk lemas, kedua tangannya yang diikat kebelakang tubuh menopangnya agar tidak jatuh terjembab ke depan.

“Tanjung harus merasakan sakit seperti apa yang aku rasakan, Natha. Walaupun dia sudah berulang kali meminta maaf, tapiaku tidak akan pernah memaafkannya. Jika aku tidak bisa menghancurkan karirnya, maka aku akan menghancurkan keluarganya selangkah demi selangkah.”

Handoko bangkit dari posisi duduknya, membenarkan letak celananya yang turun lalu kembali berjalan mendekat ke arah Natha, mengusap pipinya hingga cairan merah itu mengotori setengah wajah Natha.

“Maaf jika nanti kamu harus kehilangan suami tercintamu, anak manis.”


Gemuruh petir yang cukup kuat mampu membuat kelopak matanya terbuka perlahan. Pandangannya buram, menatap sekeliling dengan alisnya yang mengkerut, berusaha cepat meraih fokusnya kembali.

“Ibu!”

Deon langsung beranjak dari posisinya, namun ia seketika jatuh tersungkur ketika menyadari jika kedua kakinya diikat oleh sebuah rantai, ah, tidak hanya kakinya saja, kedua tangannya pun ikut terikat di belakang tubuh.

Sosok yang Deon pangil Ibu itu menoleh perlahan, senyumnya perlahan merekah tipis, tubuhnya begitu ringkih, lebih menyedihkan dari terakhir yang Deon lihat.

“Ibu.” Deon merintih, dadanya sesak luar biasa ketika mendapati Ibunya yang dijanjikan tidak akan kenapa-kenapa, justru kini terbaring seperti seorang pesakitan. Kedua kaki dan tangannya di rantai agar tidak bisa beranjak kemana-mana. “Bu, maaf. Deon minta maaf.”

“Shh, jangan minta maaf, jangan nangis, anakku. Deon udah ngelakuin yang terbaik, lihat, Ibu gak kenapa-kenapa, kan?”

Kepalanya menggeleng, Deon menunduk, jari-jari tangannya mengepal kuat. “Maaf, Bu. Maaf.”

“Ian,” Suara Ibunya mengalun dengan lembut. Memanggil nama kanak-kanaknya yang sudah lama sekali tidak Deon dengar. “Gapapa, Nak. Ibu tahu kamu ngelakuin itu karena terpaksa, percaya sama Ibu, Natha gak akan kenapa-kenapa, keluarga Tanjung pasti bisa nemuin kita sebentar lagi.”

Wajahnya terangkat, menatap sang Ibu dengan matanya yang memerah. “Ibu tau Natha disini?”

Ibu mengangguk sebagai jawaban. “Walaupun Ibu gak ngeliat kamu dateng sama Natha, tapi Ibu tau orang-orang Bapakmu pasti bawa dia juga kesini.”

Deon tertunduk kembali, mengingat ketika orang-orang suruhan sang Ayah tiba-tiba datang, menyeret keduanya masuk ke dalam mobil dan membawa mereka ke tempat yang sama dimana Hadley menghembuskan nafas terakhirnya. Padahal saat itu Deon tidak mengatakan jika Natha akan berkunjung ke rumah.

Benar jika selama ini Deon lah yang memberikan informasi terkait keberadaan Natha pada Ayahnya. Maka tidak heran jika Natha mengatakan padanya kemanapun ia pergi, akan ada seseorang yang mengikutinya, membuntuti Natha hingga ada waktu dimana keluarga Tanjung lengah.

Seperti saat ini.

Gumaman permintaan maaf mengalun terus menerus tanpa putus saat perjalanan, mata Deon selalu menatap ke arah Natha selama di mobil, memastikan temannya itu bisa memahami lingkupan rasa bersalah Deon walaupun dalam keadaan tidak sadarkan diri.

Namun semua itu tidak Deon lakukan tanpa alasan, entah bagaimana caranya sang Ayah bisa mengetahui keberadaan Ibunya yang sudah Deon susah payah sembunyikan, alibi pulang ke kampung halaman yang Deon katakan pada teman-temannya itu hanya omong kosong belaka.

Ayahnya tau jika Ibunya lah titik kelemahan Deon, maka dari itu saat sang Ayah bisa mengetahui keberadaan dan menyandra sang Ibu, Deon tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan Ayahnya.

Harvey terlalu susah diraih oleh sang Ayah, oleh sebab itu seseorang yang enggan sekali Deon panggil dengan sebutan 'Bapak' itu mengincar titik kelemahan Harvey.

Kini, lelaki tua itu sudah mendapatkan apa yang ia mau, namun seharusnya Deon lebih paham jika Ayahnya begitu manipulatif. Perjanjian yang mengatakan jika Deon bisa membawa Natha keluar dari pengawasan keluarga Tanjung, maka Deon akan mendapatkan Ibunya kembali itu hanya sebuah ucapan rayuan manis yang penuh kebohongan.

Deon menyesal, begitu menyesal kenapa ia sangat bodoh. Otaknya tidak bisa berpikir jernih saat Ayahnya mengirimkan foto sang Ibu yang tengah tertunduk lesu dengan moncong senjata api yang berada dipelipisnya. Mengatakan jika Deon harus sesegera mungkin membawa Natha pada sang Ayah.

Karena jika Natha sudah berada di tangan lelaki itu, bukan tidak mungkin keluarga Tanjung akan mencarinya, terutama Harvey yang kini menjadi target terakhir sang Ayah setelah kematian Hadley.

Tanjung harus hancur, sama seperti hancurnya hidup sang Ayah dulu.

Tapi bagaimanapun caranya, Deon harus keluar dari ruangan ini. Ia harus menebus rasa bersalahnya, Natha sudah begitu baik pada dirinya, seperti saudaranya sendiri. Jika pun nanti ia harus mati di tangan Harvey, itu lebih baik dari pada hidup dengan penuh rasa penyesalan.

“Bu, kalo nanti Deon pergi ninggalin Ibu sendiri, Ibu mau kan kalo Deon titipin ke Natha? Atau Ellio? Soalnya Deon gak punya siapa-siapa lagi selain mereka, Bu.”

Pertanyaan itu sontak membuat Ibu terhenyak, ia dengan susah payah bangun dari posisi tidurnya, menatap sang anak dengan pandangan bingung.

“Deon bilang apa, Nak? Siapa yang suruh Deon ngomong kayak gitu?”

Pertanyaan Ibunya tak Deon jawab, buku-buku jarinya semakin terkepal erat. Nafasnya tersendat, pikirannya tertuju pada Natha yang ia sendiri pun tak tahu bagaimana keadaannya sejak ia hilang kesadaran tadi.

“Deon lebih milih buat mati di tangan Harvey daripada di tangan bajingan itu, Bu.” Kepalanya terangkat, menatap Ibu dengan sendu. “Gara-gara kebodohan Deon, Natha harus balik lagi ke rumah yang bikin ingatannya hilang, rumah yang jadi saksi kejamnya bajingan itu dulu.”

Jika bertanya kenapa Handoko begitu tega mengurung Deon bersama dengan mantan istrinya itu, bukan tidak mungkin karena hanya mereka berdua yang mengetahui seluruh seluk beluk hidupnya. Mengetahui tentang semua rencananya untuk menghancurkan keluarga Tanjung.

Terlebih Deon begitu dekat dengan sang umpan, Handoko tidak bodoh jika anaknya itu akan melakukan pemberontakan saat sudah mendapatkan Ibunya kembali.

“Deon Byantara, anaknya Ibu, liat ke sini, sayang.”

Arah pandanganya teralih, Deon kembali menatap Ibu dengan sorot matanya yang begitu campur aduk. Emosinya berkumpul menjadi satu.

“Percaya sama Ibu, laki-laki tua itu yang justru nanti mati terbunuh karena dendamnya sendiri, Nak.”

Tidak ada sahutan, Deon terdiam dengan pandangannya yang kosong. Namun bola matanya seketika membulat saat mendapati sesuatu yang bisa ia gunakan untuk melepas gembok rantai pada kakinya, di dekat ranjang usang tempat Ibunya duduk itu.

“Bu, Ibu bisa am-”

Suara debuman yang cukup kuat dari arah luar membuat ucapan Deon terhenti seketika. Bulu kuduknya meremang, ia terdiam dengan pandangan yang mengarah ke pintu ruangan.

Ibu menatap lekat ke arah Deon. “Sebentar lagi, Deon. Sebentar lagi.”

Ban mobil berdecit, Eric membuang nafasnya seperti baru saja meraih oksigen dari dasar lautan. Tangannya menggantung pada handgrip mobil, jantungnya berdetak di atas normal, ekspresi wajahnya sedikit takut ketika melihat Harvey berada diambang batas gilanya.

Ponsel abu-abu pipih itu terlempar ke atas dashboard, stir diputar begitu cepat, Harvey tidak memikirkan apapun lagi selain Natha. Begitu ia baca pesan dari Juna, tanpa pikir panjang ia putar kembali arah tujuan mobilnya, yang mulanya menuju tempat kediaman orangtua kandung Ellio, kini beralih pada kediaman sahabat dekat Natha itu.

Nafasnya menderu, berulang kali umpatannya keluar ketika kemungkinan-kemungkinan terburuk melintas di pikirannya. Stir mobil dipukul kemudian, Harvey tidak tahu lagi bagaimana cara meluapkan emosinya yang membuncah.

“Vey, tenang, Vey.”

“Shut the fuck off!” Harvey menyentak, menoleh sekilas ke arah Eric yang semakin menciut di tempat.

Eric mengulum bibirnya rapat, dalam sepanjang sejarahnya ia berteman dekat dengan Harvey, ini baru pertama kalinya Eric melihat sahabat baiknya itu berada pada situasi yang membuat siapapun yang melihatnya lebih memilih menjauh.

Pedal gas ditekan semakin dalam, mobil hitam itu melaju semakin cepat menembus lenggangnya jalanan di tengah malam. Jarum speedometer menyentuh angka seratus duapuluh ke atas, terus beranjak naik ketika Harvey tidak menginjak rem sama sekali.

Rapalan doa berulang kali Eric lantunkan di dalam hati, untuk keselamatannya, untuk keselamatan mereka berdua, serta untuk keselamatan Natha yang kini entah berada di mana itu. Namun sudah ada satu kemungkinan ketika Juna mengabari mereka agar segera pergi menuju rumah Deon, entah kemungkinan baik, atau kemungkinan buruk, Eric tidak tahu.

Mobil kemudian berbelok pada jalanan yang lebih sempit, banyaknya polisi tidur tidak di hiraukan, sebisa mungkin Harvey tiba lebih cepat. Ia tidak ingin terjadi apa-apa dengan setengah jiwanya itu, tidak boleh ada satu orang pun yang menyentuh Natha dengan tangan kotornya, meskipun jika itu Deon yang menjadi pelakunya.

Rem berdecit kembali, mobil berhenti tepat di sebuah rumah berwarna cream dengan mobil Juna yang sudah terparkir di halamannya terlebih dahulu. Jarak tempuh yang lumayan hanya Harvey habiskan selama beberapa menit saja, dan tanpa membuang waktu, Harvey keluar dari dalam mobil, pintu terbanting, membuat Eric yang masih mengambil nafasnya itu berjengit kaget.

Langkahnya begitu lebar dan cepat, masuk ke dalam rumah yang belum pernah sama sekali ia pijak ini.

“Dimana, Natha?” Tanya Harvey dengan suara lantangnya, membuat Juna yang sedang berdiri di depan buffet sambil memegang sebuah foto menoleh kaget. “Jun.”

“Look what I found.”

Harvey mendekat, meraih foto yang diberikan oleh Juna. Mata tajamnya meneliti dengan seksama figur dua orang yang duduk dalam satu kursi itu, foto Deon kecil dengan Ibunya. Lalu fokus Harvey beralih pada bagian foto yang terlipat, dengan cepat jarinya membuka lipatan itu lalu mendapati satu orang lagi yang berada di dalam foto.

Wajah yang persis dengan wajah yang pernah Harvey lihat pada foto lama milik sang Ayah, dengan tatto higanbana menutupi permukaan lengan. Lembar foto itu kemudian Harvey balik, ia dapati sebuah nama yang dinyatakan meninggal belasan tahun silam, tidak lama sebelum kasus yang menimpa keluarganya.

Handoko bersembunyi dibalik nama Tama selama ini, dan dibawahnya tercatat persis sebuah tanggal yang langsung bisa Harvey ingat jika itu merupakan tanggal dimana Hadley serta Natha hilang, lalu terbubuhi juga sebuah tanggal dimana pemakaman Hadley dilaksanakan.

Dalang dari kasus keluarganya saat ini, terungkap jelas.

Ia merasakan jika dirinya benar-benar bodoh, begitu bodoh karena hanya terpaku pada nama Aristama yang nyatanya benar menjadi pengecoh. Ucapan Natha saat di lake house terngiang kembali dikepalanya, Ellio yang sejak awal dicurigai tenyata tidak memiliki hubungan apa-apa dengan keluarganya.

Justru Deon lah, yang selama ini bersikap begitu manis yang membawa Natha pergi entah kemana.

Beruntungnya Harvey karena ia belum sempat melepaskan satu tembakan pada seseorang yang mungkin, jika Juna tidak mengabarinya, akan sudah tinggal nama dengan darah yang menggenang, dan ia akan tetap menuju pada sasaran yang salah.

Juna mengambil satu langkah mundur ketika melihat Harvey meremat kuat foto yang berada di dalam gengamannya. Otak pintarnya dengan cepat menemukan jawaban, merutuki kebodohannya sendiri karena dirinya juga tidak menyadari jika Deon, teman tidurnya selama beberapa waktu belakangan ini lah yang menjadi musuh dibalik selimut keluarga Tanjung.

“Argh!” Harvey berteriak marah, foto itu ia lempar ke sembarang arah. Nafasnya menderu, ia kemudian menatap Juna dengan tatapan yang begitu tajam. “Cari. Cari semua bukti yang bisa kita dapetin dari rumah ini secepat mungkin sekali kita punya waktu buat nyari Natha lagi.”

Lalu mereka bertiga bergerak cepat, menggeledah seisi rumah berharap mendapatkan bukti-bukti lebih mendalam tentang Handoko dan keluarganya. Harvey sempat terpaku ketika mendapati ponsel Natha yang berada di balik bantal sofa dalam keadaan mati.

Benda pipih dengan case berwarna ungu lucu itu kemudian ia raih, ia tatap lekat dengan gengaman yang mengerat. Emosinya tiba-tiba meluap kembali, sebisa mungkin Harvey tahan, namun pada nyatanya ia hanyalah manusia biasa yang takut akan kehilangan.

Natha, suami cantiknya itu pergi dalam keadaan yang tidak bisa ia ketahui keberadaan dan kondisinya seperti apa.

Satu tetes air mata lolos dari sudut matanya, alisnya mengkerut, ekspresi marah begitu tertera dalam wajahnya. Harvey kemudian bergerak kembali menggeledah seluruh isi rumah, membuat mereka bertiga tak khayal seperti seorang komplotan perampok.

Namun Deon bergerak begitu rapih, tidak ada berkas apapun yang tertinggal dirumah ini yang menjadi sebuah pentunjuk lebih. Hanya pada lembaran foto lah Harvey mengetahui jika Handoko masih bekerja untuk mencelakai anggota keluarganya.

Beberapa menit kemudian, mereka bertiga kembali berkumpul di ruang tengah dengan masing-masing membawa sebuah benda yang terlihat mencurigakan, dan mungkin bisa dijadikan petunjuk.

Eric membawa sebuah kertas sobekan dari sebuah kardus dengan satu huruf tertulis di atasnya, Juna dengan sebuah sketsa aneh bergambar sebuah ruangan dengan kolam di dalamnya, sedangkan Harvey dengan sebuah kaca kecil yang menunjukan sebuah huruf H pada permukaan kacanya, tertulis menggunakan tinta pulpen yang begitu samar.

Hanya dengan melihat sekilas petunjuk yang di bawa, Harvey langsung tahu kemana Deon membawa Natha pergi. Ingatannya begitu tajam dan jelas.

“That's it, TH23, ini nomor yang ada di lantai sudut ruangan tempat Hadley sama Natha ditemuin, salah satu petunjuk yang keluarga gua dapetin saat itu.” Lalu pandangannya beralih pada sketsa aneh yang digenggam Juna. “Dan ini, ruangan yang dimaksud. Kita pergi sekarang.”

Juna dan Eric berpandangan bingung. “Kemana?”

“Rumah kosong di pinggir hutan, jaraknya gak begitu jauh dari lake house.”

“Kalo gitu, bukan berarti mereka masih ada di jalan sekarang?” Tanya Eric kembali.

Kepala Eric tiba-tiba dipukul dari belakang oleh Juna. “Ya makanya Harvey ngajak kita pergi sekarang, stupid!”

Harvey membuang nafasnya gusar melihat tingkah dua sahabatnya itu, ia langsung putar balik badan, berjalan keluar dari dalam rumah terlebih dahulu dan disusul oleh Eric serta Juna dibelakangnya.

Eric buru-buru menyusul Harvey yang hendak membuka pintu kemudi. “Vey, gua aja yang nyetir biar lu bisa ngabarin keluarga lu. Tenang lu tau kan gua mantan pembalap liar.”

Decihan pelan Harvey keluarkan, tanpa berkomentar banyak, ia langsung berjalan ke arah pintu penumpang, membuat Eric diam-diam membuang nafasnya lega. Setidaknya ia tak akan membuat nyawanya sendiri dalam bahaya jika ia yang menyetir.

Evan membuang nafasnya gusar, ia langsung bangkit dari posisi duduknya setelah mendapati chat dari adik tingkatnya itu yang mengatakan jika Deva berulah kembali.

Kunci mobil diatas meja ia raih, ponselnya ia masukan ke dalam kantung celana, hoodie yang digantung di belakang pintu ia ambil. Setelahnya keluar dari dalam kosan dengan wajah masam, memikirkan tingkah Deva yang selalu saja membuatnya emosi dan khawatir dalam satu waktu.

“Ck, Devara.” Evan membuang nafasnya kembali, stir mobil diputar, pedal gas kemudian diinjak perlahan. Ia frustasi sendiri karena demi neptunus, ini tengah malam dan pacarnya itu malah berulah dengan masuk ke dalam got.

Keadaan jalan yang lenggang membuat Evan lebih cepat tiba di lokasi, mobilnya ia parkir terlebih dahulu di lapangan kecil samping kosan Deva. Matanya menatap gerombolan orang-orang yang berdiri di pinggir got tak jauh dari kosan, kemudian beralih pada motor Deva yang ikut tersangkut di pinggiran got.

Kakinya dengan cepat melangkah, lebih tepatnya sedikit berlari karena suara Hisyam yang terus memanggil Deva untuk naik terdengar di telinganya. Begitu ia datang, seluruh atensi beralih padanya, Evan berdecak kembali ketika melihat keadaan Deva sekarang.

“Evan.” Deva mendongkak dengan wajah lesu, badannya penuh dengan kotoran dari got yang berwarna hitam, wajahnya pun tak luput dari lumpur got yang baunya tidak mengenakan itu, sebelah tangannya masih menenteng plastik makanan yang juga berubah warna. “Nasi gorengnya nyebur, huaaaa!!”

Pening tiba-tiba menyerang kepala Evan, ia dibantu beberapa orang serta Hisyam untuk menaikan motor Deva yang masih tersangkut. Hisyam menatap takut-takut pada ketua himpunannya itu karena wajah Evan yang kelewat datar.

“Naik, Devara.”

Deva menggeleng, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan lalu malah berjongkok di dalam got. Isak tangisnya kemudian terdengar samar, membuat Evan berdecak kembali, sebelah tangannya tersampir di pinggang.

“Naik.”

“Malu!”

Kini gantian Hisyam yang meringis melihat ketua dan sekertarisnya itu. Ia kemudian mendekat ke arah Evan lalu berbisik pelan di telinganya. “Bang, ini kayaknya harus di bubarin dulu orang-orangnya, biar Bang Deva mau naik.”

Dengan begitu, kepala Evan mengangguk kecil. Ia kemudian menoleh ke arah beberapa bapak-bapak yang mungkin tak sengaja lewat dan melihat Deva yang terjun bebas ke dalam got, mengatakan jika ia bisa mengatasi Deva sendiri setelah ini.

Gerombolan bapak-bapak itu kemudian tergelak, salah satunya menepuk pundak Evan agar segera membawa Deva naik karena keadaan Deva yang begitu memprihatinkan. Begitu gerombolan bapak-bapak itu bubar, dan hanya tersisa Evan serta Hisyam yang berada di sana, Deva mengangkat kembali kepalanya, kelopak matanya mengerjap menatap sekeliling lalu ganti menatap Evan yang sudah berjongkok di pinggir got.

“Naik, Ay.” Evan mengulurkan tangannya, “Nasi gorengnya buang aja, nanti beli yang baru. Itu udah kotor.”

Deva menghapus air matanya dengan punggung tangan, yang mana membuat wajahnya semakin terlihat cemong. Evan diam-diam menahan tawanya.

Gengamannya pada plastik nasi goreng Deva lepas, ia kemudian meraih uluran tangan Evan. Wajahnya merengut ketika menyadari Evan sedang menahan tawa itu. “Jangan ketawa!”

Bibir bawahnya Evan kulum, disebelahnya Hisyam sudah memalingkan wajah dengan pipi yang mengembung, turut menahan tawa melihat tingkah sang kakak tingkat yang begitu ajaib itu. Namun Hisyam menoleh panik ketika Evan hampir saja ikut masuk ke dalam got karena Deva terpeleset saat mencoba naik.

“Bang!” Hisyam berseru panik, ia menahan tubuh Evan hingga sang empu jatuh terduduk, yang mana turut serta membawa Deva naik keluar dari dalam got.

Evan membuang nafasnya lega, ia menoleh ke arah Hisyam yang kini benar-benar melepas tawanya. Ia turut terkekeh, kemudian beralih menatap Deva yang juga terduduk di pinggir got, wajahnya siap menangis kembali karena ini benar-benar memalukan.

“Jangan ketawa bisa gak?” Pinta Deva dengan suara pelan. Menatap bergantian ke arah Evan dan Hisyam.

“Maaf Bang, Maaf.” Sahut Hisyam sambil berusaha menahan tawanya, “Ini motornya mau gua bantuin dorong ke kosan juga gak?” Tawarnya kemudian.

“Makasih, Syam. Gapapa nanti biar gua yang dorong.” Ucap Evan sambil bangkit dari posisinya, “Lo kalo mau pulang, pulang aja, udah malem juga. Makasih banyak udah ngasih tau kalo Deva nyebur got, mungkin kalo lo gak ngasih tau dia bakalan selamanya di dalem got.”

“Evan!!”

Hisyam tertawa kembali. “Yaelah selow, Bang. Biasanya kita juga jam segini masih sibuk rapat. Tapi beneran nih gak mau gua bantu dorong?”

Evan menggeleng, senyum tipisnya terukir, lalu menepuk pundak Hisyam dengan sebelah tangannya yang masih bersih. “Gapapa, gak usah. Thanks ya, Syam.”

“Hahahaha, yaudah kalo gitu gua balik ya, Bang.” Pandangan Hisyam beralih ke arah Deva. “Bang Dev, besok motornya dikasih roda tambahan aja biar gak kenapa-kenapa.”

“Lu kira sepeda!” Deva menyahut sebal. “Tapi makasih banyak ya, Syam.”

Hisyam kemudian mengangguk, ia berpamitan pada Evan dan Deva lalu berjalan mendekat ke arah motornya. Menoleh kembali ke arah dua sejoli itu sebelum tawanya mengalun kembali, lebih kencang dari sebelumnya. Membuat ia buru-buru memutar gas motornya sebelum kena semprot oleh sekertaris hima yang wajahnya kini murung kembali.

“Kenapa sih, Ay? Bisa-bisanya tengah malem gini malah nyebur ke got.”

“Ini salah lu!” Deva menyahut kesal, ia menatap tubuhnya sendiri dari ujung kaki hingga bagian dada. Meringis karena penampilannya benar-benar memalukan. “Kalo lu gak bilang kayak gitu, gua gak akan nyebur!”

“Bilang kayak gimana?” Tanya Evan, ia mendekat ke arah motor Deva, kemudian meraih dua sisi stangnya. “Ayo pulang, malu di liat orang.”

Deva berdecak, ia berjalan lebih dahulu dengan mulutnya yang menggerutu pelan. “Biling kiyik gimini, biling kiyik gimini, pikir aja sendiri!”

Evan yang masih bisa mendengar ucapan Deva dengan jelas itu hanya tergelak, ia kemudian mendorong motor Deva perlahan, mengikuti langkah Deva dari belakang. Menatap tubuh yang kini begitu kotor terbalut lumpur got yang berwarna hitam, kakinya melangkah begitu lucu, menghentak-hentak, persis seperti seorang anak kecil yang baru saja kena omel oleh sang Ibu.

“Kan bener.”

“Apanya yang bener?!”

“Devara Abiandra is the most- Dev! Apa sih! Jalan yang bener napa, Ay!” Ucapan Evan langsung berubah panik ketika Deva hampir saja jatuh akibat tersandung kakinya sendiri, alisnya menukik ketika mendapati Deva menoleh sambil terkekeh.

“Hehehehe.”

“Perhatiin jalannya! Meleng aja kerjaan.” Sahut Evan galak, membuat Deva membalikan badannya dengan wajah cemberut, bibirnya mencebik berulang kali.

Begitu tiba di kosan, Evan lebih dahulu memarkirkan motor Deva di depan kamar kostnya. Masuk ke dalam kosan Deva untuk mengambil shampo dan handuk, lalu setelah dua benda itu didapatnya, ia mendekat ke arah Deva yang kini berdiri di depan keran air samping gerbang kosan.

Evan taruh lebih dahulu handuk serta shampo yang dibawanya pada sebuah pot kecil yang tidak ada isinya. Kemudian selang kecil yang berada di sana ia ambil, memasangkannya pada keran lalu baru memutar keran hingga full.

Seseorang yang tinggal di kamar kosan paling dekat dengan keran membuka pintu, mengintip, lalu tawanya menguar ketika mendapati Deva yang penuh lumpur hitam itu.

“Lo kenapa lagi dah, Dev? Perasaan tadi pamit mau beli nasgor perempatan.” Ia tertawa, memandang Deva yang kini semakin merengut. “Van, Evan, pacar lo ada-ada aja dah.”

“Lu mending diem deh, Wir! Tidur sana, gausah berisik!”

“Galak banget lo, Dev. Tiati ntar Evan nyari yang lain, hahahaha.”

Wajah Deva semakin tertekuk, ia menendang pot bunga tak bersalah dengan kesal. Membuat Evan terkekeh lalu mengarahkan selangnya pada Deva.

“Jongkok, bersihin badannya dulu baru nanti mandi.” Titahnya.

Deva menurut, ia jongkok di depan keran dengan Evan yang bantu menyemprot bagian-bagian badannya yang terkena lumpur.

“Kaos sama celananya dilepas aja, langsung dibuang, nanti beli yang baru.”

Kepalanya mendongkak, menatap Evan dengan alis mengkerut. “Gak mau! ini baju kesayangan gua.”

“Emang mau nyucinya sendiri? Kalo dibawa ke laundry, emang tukang laundrynya mau nyuci baju bau kayak gitu?”

Deva langsung menciut. “Ya enggak sih.”

“Yaudah buang aja. Nanti beli yang baru.”

Dengan begitu, Deva melepas kaus yang dipakainya, membuat Evan refleks mengalihkan pandangannya, ia berhedem kikuk, lalu untuk mengurangi rasa canggungnya ia mengambil shampo dan menyerahkannya pada Deva.

“Nih, sampoan dulu di sini. Bersihin badannya sampe bersih, nanti mandi lagi di dalem.”

“Ck, megang selangnya yang bener dong!” Protes Deva ketika air yang mengucur dari selang mengarah tepat ke depan wajahnya. “Muka lu kenapa merah?” Tanya Deva polos.

“Merah apanya? Enggak. Cepetan jangan lama-lama nanti masuk angin.”

Evan kembali menyahut dengan nada galak, membuat Deva memandang bingung ke arah pacarnya itu. Tapi kemudian bahunya naik sekilas, ia lanjut melepas celananya, menyisakan sebuah boxer pendek yang hanya menutupi setengah paha.

Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Deva sibuk membersihkan tubuhnya, mengosok kaki serta tangannya yang terkena lumpur, tidak lupa mencuci muka dan rambutnya juga terkena lumpur bau itu. Sedangkan Evan sibuk mengalihkan pandangannya, enggan menatap Deva yang kini hanya memakai sebuah boxer pendek, mengekspos tubuh putihnya yang sukses membuat wajah Evan bertingkah kikuk.

Begitu Deva selesai, Evan menyerahkan handuk berwarna cream yang masih bersih itu pada Deva. “Buruan masuk, langsung mandi, biar ini gua yang beresin.”

“Oke.” Cengiran Deva melebar, ia memakai handuknya terlebih dahulu lalu dengan secepat kilat mencium pipi Evan, dan berlari menuju kamar kosannya.

Evan mendengus geli, ia bereskan kembali selang yang dipakainya, menggulungnya lalu menaruhnya pada pojokan ujung gerbang. Ia ambil sebuah sikat dengan gagang panjang, menyikat tempat bekas Deva membersihkan tubuhnya tadi.

Setelah selesai, ia mengambil plastik bekas yang berada di dalam pot, memasukan baju serta celana Deva ke dalam sana, kemudian membuangnya pada tong sampah besar yang berada di depan kosan.

Begitu Evan masuk ke dalam kamar kost Deva, pacarnya itu sudah dalam keadaan bersih dan wangi, tidak seperti sebelumnya yang jorok dan bau akibat tercebur ke got itu.

“Gua keluar dulu sebentar.”

Pergerakan tangan Deva yang sedang mengusak rambut basahnya dengan handuk terhenti. “Mau kemana?”

“Beli nasi goreng yang baru.”

“Gak usah, gua ada mie. Makan mie aja.”

Evan berdecak, “Lo minggu ini udah berapa kali makan mie, Ay? Enggak, bentar gua beli nasi gorengnya dulu.”

“Satu langkah lu keluar kosan, jangan harap ketemu gua lagi.” Ancam Deva, wajahnya merengut, menatap Evan yang kini hanya bisa membuang nafasnya berat. Ekspresi wajahnya berubah secepat kilat. “Ya, ya, makan mie, ya?”

“Yaudah iya.” Pasrah Evan pada akhirnya. “Minggu depan gak ada makan mie tapi.”

“Iya bawel.” Deva merengut kembali. Ia tiba-tiba teringat pada motornya. “Eh kiki kayaknya spakbor depannya pecah deh.”

“Emang pecah.” Sahut Evan singkat, ia kemudian melepas hoodienya, menggantungnya pada gantungan dibelakang pintu, lalu menutup pintu kosan Deva terlebih dahulu. “Besok langsung dibawa ke bengkel aja.”

Deva membuang nafasnya lesu. “Hhhhh, jajan mulu si kiki.”

“Kalo lo lebih hati-hati bawa motornya, kiki gak akan jajan terus.” Evan mendudukan dirinya tepat di depan Deva, lalu mengambil alih handuk yang masih Deva pakai untuk mengeringkan rambutnya itu. “Kenapa sih, Dev? Gak nyerempet, gak nabrak, gak nyemplung, ada aja tingkahnya.”

Deva terdiam sejenak, ia kemudian menepuk paha Evan hingga suara tepukannya begitu renyah. “Salah lu! Pokoknya salah lu!”

“Salah gua gimana?”

“Ya salah lu ngapain ngomong kayak gitu!”

“Ngomong kayak gimana?”

“Yang di chat!” Deva menggerutu, alisnya menukik sebal. “Ngapain ngomong kayak gitu coba, bikin gua gak fokus tau!”

Evan tergelak. “Loh, yang gua bilang kan bener? Lo nanya kenapa people should date you ya karena itu.”

“Ih!” Decakan kesal Deva kembali terdengar. “Ya gua kan mintanya kaya yang shouldn't gitu, di list, ini malah pidato jelek!”

Tawa pelan Evan menguar, ia mengusak-usak kepala Deva dengan handuk begitu gemas. “Yaudah iya salah gua. Maaf deh kalo gitu.”

“Ck.” Deva berdecak kembali, tidak menyahuti ucapan Evan barusan. Ia terdiam, membiarkan Evan mengusak-usak rambutnya agar cepat kering.

Suasana kamar yang dingin serta keadaannya yang baru saja selesai keramas membuat kelopak mata Deva perlahan mengedip lambat, kantuknya sedikit demi sedikit menguasai, ia menguap, menutup kelopak matanya selagi Evan masih mengusak rambutnya itu.

“Tidur.”

“Hng?”

“Mau tidur aja? Gak jadi makan mie?”

Kelopak matanya terbuka kembali, usakan handuk pada kepalanya terhenti. Deva menatap Evan yang kini juga menatapnya dengan senyum tipis, lalu tubuhnya melemas, ia limbung dan dahinya bertumpu pada dada Evan.

“Ngantukkkk.” Rengeknya pelan. “Tapi mau makan mie juga.”

“Pilih, mau tidur apa makan mie.”

Deva terdiam selama beberapa saat, ia kemudian menggelengkan kepalanya. “Tidur aja deh.”

“Bangun, pindah.”

Tapi Deva masih terdiam, membuat Evan mendengus geli lalu menaruh handuk yang masih dipegangnya itu ke atas karpet. Ia menyentuh kedua pundak Deva dan mengangkat tubuh kekasihnya itu menjadi terduduk kembali.

Tangan yang tadi berada di pundak Deva kini berpindah, menekan dua sisi pipinya hingga mulutnya sedikit maju. “Kalo jalan itu, konsen. Jangan jatoh atau nabrak lagi, Ay, gua yang khawatir kalo lo kenapa-kenapa.”

“Ya tapi kan itu salah lu juga.” Sahut Deva merengut. “Haduhh mana besok malem rapat, nanti gua dicengin Hisyam pasti.”

Evan tertawa kecil. “Ya masuk base kampus sehari gapapa.”

Paha Evan dipukul kembali. “Heh! Liat aja kalo sampe masuk base!”

Pipi Deva semakin ditekan, membuat bibirnya semakin maju seperti mulut ikan. Senyum Evan mengembang tipis, dua mata itu saling bertatapan dalam diam. Keheningan menyergap, keduanya saling terpaku pada pikiran masing-masing. Hanya suara mesin pendingin ruangan serta sesekali suara knalpot motor bising yang lewat mengisi keheningan.

“Dev.” Evan memanggil dengan begitu pelan.

Deva tersenyum tipis, lalu kepalanya mengangguk.

Dengan begitu, perlahan keduanya memajukan wajah masing-masing, Evan turunkan sedikit posisi tangannya menjadi tepat berada di rahang Deva. Kelopak mata pelan-pelan terpejam seirama dengan jarang yang kian menipis.

Dua bibir itu bertemu dalam satu pagutan manis selama beberapa saat.

Lalu wajah mereka menjauh kembali, rona kemerahan menghiasi pipi masing-masing. Deva menunduk, lalu ia dengan cepat berbalik, naik ke atas kasur dengan posisi tengkurap, wajahnya tepat diatas bantal.

“Aaaaaaaa!!” Suara teriakannya teredam bantal.

Evan berhedem kikuk, bibirnya ia kulum dengan senyumannya yang merekah, lalu dengan cepat bangkit dari posisi duduknya. Menjemur handuk lembab bekas Deva terlebih dahulu sebelum ikut naik ke atas kasur.

“Yang.”

Deva tidak menyahut, tapi kakinya bergerak acak dengan tangan yang meremat sprai. Evan terkekeh kembali.

“Mulai besok lo gua ajarin bawa mobil aja ya, biar gak nyebur got lagi.”

Wajah Deva terangkat, ia menoleh, menatap Evan yang sudah membaringkan tubuhnya tepat di sampingnya itu.

“Iya gak nyebur got lagi, tapi nabrak pager rumah orang.”

Natha terduduk dengan wajah mengantuk, matanya menyipit ketika sinar matahari menembus melalui celah-celah gorden. Menoleh ke arah sisi kasur sebelah kanannya yang sudah kosong, lalu membuang nafasnya berat ketika mendengar suara gemercik dari dalam kamar mandi.

Setelah terduduk selama hampir lima menit lamanya, Natha mengubah posisinya, duduk menyamping pada sisi kasur yang menghadap langsung ke arah jendela kamar. Tubuhnya ia renggangkan terlebih dahulu, menguap dengan mulutnya yang terbuka lalu bangkit dari posisinya.

Gorden disibak, sinar masuk menyinari penjuru kamar. Pintu kaca balkon digeser agar udara pagi bisa masuk dan memberikan nuansa sejuk, setelah itu Natha duduk kembali di sisi kasur sambil menunggu Harvey keluar dari dalam kamar mandi.

Ia menguap kembali, kelopak matanya menutup dengan kepala yang menunduk. Kedua tangannya menopang di sisi tubuh, sebelah kakinya terangkat untuk menggaruk kaki yang sebelahnya lagi. Kesadarannya hampir saja memasuki alam mimpi sebelum sebuah tangan meraih dagunya untuk mendongkak, Natha rasakan sesuatu yang dingin menyentuh bibirnya.

Begitu ia buka kelopak matanya, Natha dapati wajah Harvey yang begitu dekat dengan wajahnya, tersenyum tipis. Tangannya kemudian mendorong wajah Harvey menjauh dengan ekspresi wajah merengut sebal, membuat Harvey terkekeh lalu ganti meraih tengkuk Natha dan mengecupi seluruh permukaan wajahnya.

“Good morning, doll.”

Bola mata Natha berputar malas, “Ck, awas! Mau pipis!”

Harvey mengeser posisi berdirinya, ia mengusak rambut Natha sekilas sebelum matanya mengikuti pergerakan Natha hingga menghilang dibalik pintu kamar mandi.

Tidak beberapa lama, pintu kamar mandi terbuka dengan sedikit bantingan. Wajah Natha yang masam dengan tangan yang bertolak pinggang berjalan mendekat ke arah Harvey yang kini sedang mengkancingkan kemeja hitam miliknya itu.

“Udah berapa kali gua bilang, Harvey? TUTUP PASTA GIGINYA KALO ABIS DI PAKE!”

Harvey menatap suami cantiknya dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Lo baru kali ini bilang?”

“Eh iya?” Ekspresi wajah Natha berubah begitu cepat. “Tapi sama aja! Tutup pasta giginya kalo abis dipake tuh!”

“Iya, sayang.”

Tubuhnya berbalik kembali, menatap pantulan dirinya dalam cermin panjang di sudut kamar Natha, dengan kekehannya yang mengalun pelan. Namun ujung matanya tetap memperhatikan Natha yang kini menggaruk pipinya kikuk dari dalam cermin.

Natha mendudukan kembali dirinya dipinggir kasur, kelopak matanya mengerjap menatap Harvey yang kini sedang membenarkan penampilannya itu, lalu tubuh suaminya berbalik, menggambil dasi dari dalam laci dan memberikannya pada Natha.

“Hah?” Natha bergumam bingung ketika Harvey menyerahkan dasi itu padanya. “Ngapain?”

“Ya menurut lo ngapain?” Tanya Harvey balik.

Decihan pelan Natha keluarkan, matanya menyipit dengan wajahnya yang kembali masam. Ia kemudian meraih dasi yang berada di tangan Harvey.

“Nunduk.” Titiahnya.

Tubuh Harvey sedikit merunduk, kedua tangannya bertumpu pada pinggir kasur tepat di sisi tubuh Natha. Dengan cepat Natha mengangkat kerah kemerja Harvey, mengalungkan dasi disana lalu tangannya bergerak membuat simpul dasi.

“Nath.”

“Masih pagi, gak usah bawel.” Sahut Natha judes.

Harvey tertawa kecil, ia kemudian mengecup bibir Natha hingga sang empu menatap ke arahnya dengan alis menukik.

“Bisa diem dulu gak sih? Masih dipakein dasi juga.”

“I wanna talk something.”

Sebelah alis Natha terangkat, ia menatap mata Harvey sekilas sebelum melanjutkan kegiatannya memasangkan dasi pada si bawel Tanjung itu.

“What?” Sahutnya acuh tak acuh.

Harvey membuang nafasnya pelan. “Gua udah nemu titik terang tentang orang yang ngikutin lo, yang kirim paket-paket, dan yang ngerusak toko.”

Pergerakan Natha terhenti, menatap kembali ke dalam bola mata suaminya itu. “Siapa?”

“Ada satu nama yang kemungkinan besar dia yang jadi dalangnya.” Sahut Harvey dengan nada serius, tangannya kemudian terangkat, terulur menyentuh tengkuk Natha. “Seseorang yang punya higanbana, sama kayak punya lo.”

Natha tiba-tiba dilanda kebingungan, ia dengan cepat menyelesaikan simpul dasi Harvey lalu menatap ke arah suaminya itu dengan ekspresi serius. “Maksudnya?”

“Selama ini, selain nama Amatsira atau Aristama yang selalu ada di paket-paket misterius itu, ternyata ada petunjuk lain yang didapetin kalo kita susun salah satu coretan asal di sisi dalam paket, dan setelah disusun, itu ngebentuk bunga red spider lily.”

Natha terdiam, ekspresi wajahnya semakin bingung dengan ucapan Harvey. “Gua gak paham.”

Harvey tegakan posisi tubuhnya, kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana. “Nath, kalo gua minta sesuatu sama lo buat sementara waktu, boleh?”

“Hah?” Natha membeo. “Minta apa?”

“Jauhin Deon sama Ellio buat sementara waktu.”

“The fuck?” Ekspresi wajah Natha berubah begitu cepat. “Maksud lo apa nyuruh gua buat jauhin Deon sama Ellio?”

“Karena gua takut kalo selama ini ternyata-”

“Lo gila.” Natha menyela dengan nada kesal. “Sementang waktu itu gua bilang Ellio punya nama Aristama di namanya dan sekarang lo nyuruh gua buat ngejauhin temen-temen gua? No. Itu gak akan pernah terjadi.”

Natha melengos, emosinya tiba-tiba naik mendengar perkataan Harvey barusan. Ia baru saja akan bangkit dari posisi duduknya sebelum Harvey menahan bahunya.

“Sit back down. Gua belum selesai ngomong.” Kata Harvey dengan nada suara serius. “Cuman buat sementara waktu, Nath.”

“Persetan! Mau sementara waktu, mau sampe kapan pun gua gak akan ngejauhin temen-temen gua!” Sahut Natha dengan suaranya yang naik satu oktaf. Menatap nyalang ke arah Harvey. “Gua tau siapa temen-temen gua, dan mereka semua gak ada hubungannya sama bisnis keluarga lo!”

“Gak ada yang tau. Banyak kemungkinan, Natha.”

“Kemungkinan? Kemungkinan kaya gimana gua tanya?”

Harvey merunduk kembali, mendekatkan wajahnya ke arah Natha. “Karena dia kemaren gak bisa nyentuh lo selama gua selalu ada di sisi lo, makanya dia pake cara lain buat nyari perhatian. Dengan apa? Dengan ngerusak toko lo selepas kita pulang dari lake house. Gua tanya sama lo, dari semua orang yang ada di sekitar lo, siapa yang lo kasih tau kalo lo mau ke sana?”

“Ke sana ke mana?”

“Lake house.”

“Itu bukan berarti lo bisa nuduh temen-temen gua, Harvey.” Natha mendesis marah, sorot matanya tajam menatap sang suami. “Gua udah bertahun-tahun sama mereka, gua udah tau mereka kayak gimana. Fuck off with that shit! Gua gak akan ngejauhin temen-temen gua karena hal konyol kayak gini.”

“Yang bilang ini hal konyol siapa, Dimitri?”

Natha bangkit dari posisinya, dagunya sedikit terangkat, telunjuknya mengarah tepat ke wajah Harvey. “Lo gak ada hak buat ngatur-ngatur gua!”

“Nurut sama gua demi keselamatan lo sendiri, susah ya, Nath?”

“Keselamatan-keselamatan anjing! Kalo gua gak nikah sama lo, gak akan gua kayak gini!”

“Watch your words, Dimitri!”

Gantian Harvey yang menaikan satu oktaf nada suaranya. Pagi yang tadinya hangat berubah menjadi menegang, masing-masing tetap bertahan pada argumen satu sama lain.

“Gua muak, Harvey! Dari pasang gps, kemana-mana harus ngomong sama lo, dan sekarang? Gua harus ngejauhin temen-temen gua karena gua gak sengaja bilang kalo Ellio punya nama Aristama? Jangan gila.”

“Emangnya lo tau siapa Ayah kandung, Ellio?”

Natha terdiam.

“Tau gak, Natha?” Harvey mengambil satu langkah maju, ekspresi wajahnya begitu datar menatap suami cantiknya itu. “Jawab.”

“Gua mungkin emang gak tau, tapi itu bukan jadi alasan lo nyuruh gua harus ngejauhin temen-temen gua!” Nada suaranya lebih naik beberapa oktaf, hampir berteriak. “Lo bener-bener keteraluan kali ini!”

Natha baru saja akan pergi, namun Harvey dengan cepat menahan kembali pergerakan Natha dengan mencengkram rahang suami cantiknya itu menggunakan sebelah tangan.

“Keteraluan? Gua keteraluan karena gua gak mau lo kenapa-kenapa.”

“Shut the fuck off!” Kali ini Natha berteriak marah tepat di depan wajah Harvey, menepis tangan Harvey yang mencengram rahangnya. “Gua muak, Harvey! Terserah, mau lo ngomong ini itu gak akan pernah gua dengerin lagi mulai sekarang! Lo gila!”

Rahang Harvey mengeras, mata tajamnya menatap nyalang Natha yang kini juga sama-sama menatap tajam ke arahnya.

“Kalo ternyata selama ini pelakunya bersembunyi di balik nama Ellio atau Deon, gimana?” Tanya Harvey, nada suaranya menantang sosok pemarah di hadapannya. “Gimana kalo mungkin salah satu dari mereka ternyata selama ini musuh dibalik selimut?”

Satu tamparan tepat mengenai pipi sebelah kiri Harvey, “Lo gak berhak nuduh temen-temen gua tanpa bukti alasan yang kuat!”

“Gak ada yang nyuruh lo buat main tangan, Natha!”

“Lo anjing! Kenapa gak lo aja yang mikir kalo selama ini temen-temen lo yang ternyata musuh di balik selimut? Hah?”

“Karena gua tau mereka.”

“Ya gua juga tau gimana Ellio, gimana Deon!” Nafas Natha menderu, masih sepagi ini tapi emosinya sudah dibuat memuncak oleh ucapan Harvey. “Jadi gak ada alasan buat lo ngelarang gua ngejauh dari temen-temen gua. Lo, bisnis lo, dan apapun yang berhubungan sama hal konyol ini are piece of shit!”

Rahang mengeras, gigi Natha bergemeletuk menahan emosi, ia tatap Harvey selama beberapa saat sebelum akhirnya berlalu dari hadapan suaminya itu dengan emosi yang memuncak. Kenop pintu kamar dibuka kasar, tertutup kembali dengan bantingan yang cukup kuat.

Harvey membuang nafasnya gusar, kalau begini caranya, ia tak punya jalan lain lagi.

Empat lelaki berkumpul pada satu meja yang sama. Tidak ada yang menunjukan ekspresi apapun selain wajah datar dengan kedua tangan yang menopang di masing-masing sisi tubuh.

Juna berdecak, menatap layar laptop dengan kening berkerut. Disebelahnya, Eric sibuk menatap lembaran foto yang tercecer di meja depannya itu. Sedangkan yang duanya lagi, terdiam, namun siapapun yang melihatnya pasti tahu jika dua lelaki setengah abad itu sedang berpikir keras.

Pintu terbuka, Harvey datang dengan membawa sebuah dus besar, langkahnya terdengar senyap, tahu-tahu box tersebuh sudah tertaruh di atas meja dan satu kursi kosong pun terisi.

“Gua rasa, ini emang ulah dari satu orang yang sama.” Juna menoleh, menatap Harvey yang berada di sebelahnya. “Gak mungkin enggak.”

“Kenapa kamu yakin begitu?”

Suara Tanjung mengalun begitu datar, membuat Juna langsung mengalihkan matanya pada lelaki setengah abad yang kini hembuskan asap rokok ke udara itu. Lalu matanya turut beralih, menatap ke arah Juna.

“Karena kalo gak dia, siapa lagi Om?” Tanya Juna balik. “Logikanya kayak gini, selama ini dia cuman berani ngikutin Natha ke tempat-tempat rame yang sekiranya rawan walaupun Natha sama Harvey. Tapi pas Natha pergi sama Harvey ke rumah itu, which is-”

“Pfttt anak jaksel banget gak tuh.” Celetuk Eric sambil berbisik, ia terkekeh, namun langsung berhedem singkat sambil membenarkan posisi duduknya ketika empat orang yang berada dalam satu meja dengannya itu langsung melirik tajam ke arahnya. “Oke lanjut.”

“Tapi pas Natha pergi sama Harvey, yang mana mungkin dia tau kalo sekitar wilayah itu udah dikasih penjagaan ketat, dan dia gak bisa masuk buat nerobos, jadi dia ngambil tindakan dengan cara ngerusak toko punya Natha.”

Hening menyambut sesaat, Dimitri lah yang pertama kali menganggukan kepalanya, setuju dengan ucapan Juna barusan.

“Karena dia gak bisa masuk ke wilayah inti, jadi dia nyari perhatian dengan cara ngerusak toko. Itu kan maksud kamu?” Tanya Dimitri.

Gantian Juna yang menganggukan kepalanya.

“Sebentar,” Eric menyela, “Gua bingung, berarti dia tau kemana Natha sama Harvey pergi?”

“Yang tau kita pergi kemana cuman keluarga, lo, Juna, dan temen-temen Natha.” Sahut Harvey. “Ellio punya nama Aristama dibelakang namanya.”

“Ayah tau itu, Harvey.” Dimitri kembali bersuara. “Tapi sejauh ini, seluk beluk keluarga Ellio tidak menunjukan kalau emang mungkin salah satu anggota keluarganya punya relasi dengan kita dulu.”

“Tapi apa Ayah tau tentang Ayah kandung Ellio?” Tanya Harvey, ia menoleh pada sang mertua.

“Maksudnya?”

“Ayah Ellio yang saat ini, bukan Ayah biologisnya.”

Dimitri terdiam, hening menyapa sesaat. Eric mengerjapkan kelopak matanya tak percaya dengan ucapan Harvey barusan.

“Ellio punya Ayah kandung yang cukup sulit dicari informasinya,” Harvey melirik ke arah Eric. “Mungkin seseorang tau sedikit informasi?”

“Fuck, gua aja gak tau kalo ternyata Bapak-bapak yang gua liat waktu itu ternyata bukan Ayah kandungnya Ellio!” Eric menghembuskan nafasnya gusar. “Gua kira itu emang Ayah biologisnya.”

“Padahal lo sering tidur sama Ellio.” Sahut Juna sambil berbisik.

“Jadi temen tidur bukan berarti kamu bisa tau atau kamu peduli sama seluk beluk keluarga teman tidurmu itu, Juna.” Tanjung menyahut, “Apa kamu juga tau tentang seluk beluk keluarga Deon?”

Juna dibuat terdiam seketika. Eric berhedem untuk menghilangkan tawanya yang ingin sekali menguar.

“Tapi kalo emang mau cari informasi tentang Ayah kandung Ellio, kita gak boleh fokus cuman sama satu titik.” Harvey menggulung kemeja yang dipakainya hingga sebatas siku. “Karena bisa jadi, nama Aristama atau Amatsira itu cuman sebuah pengalihan, persis sama apa yang Juna bilang.”

“Lo bilang dimana?” Tanya Eric sambil menyenggol lengan Juna.

Juna melirik ke arah Eric. “Di chat.”

“Terlebih nama Aristama atau Amatsira juga bukan hanya satu di dunia ini.” Sambung Dimitri. “Kita tetap cari informasi tentang orang itu, tapi kita juga gak boleh lengah.”

“Untuk saat ini, coba kamu bilang ke Natha buat gak kontakan dulu sama teman-temannya.” Tanjung melirik ke arah anak semata wayangnya itu. “Buat sementara waktu.”

Dimitri terkekeh mendengar penuturan sahabat lamanya itu. “Natha pasti gak akan mau, kita semua tau tabiat dia kayak apa. Terlebih Ellio dan Deon itu sahabat deketnya.”

“Emangnya gak ada pentunjuk lain ya selain nama itu?” Tanya Eric penasaran.

Box besar yang berada di meja di geser mendekat ke arah Eric oleh Harvey. “Lo bisa liat sendiri di dalem box itu isinya semua paket-paket yang keluarga kita dapet dari awal, gak ada satu pun petunjuk selain nama itu.”

Eric meraih box besar yang berada di hadapannya, mengangkatnya, lalu menaruhnya ke bawah. Ia kemudian turun dari kursinya, berjongkok, lalu mulai membuka box besar itu, berhadap mendapatkan petunjuk selain nama-nama itu.

“Hasil cctv gimana?” Tanya Dimitri, “Sebelum kejadian?”

Kursinya Juna majukan, ia mengutak-atik kembali laptop yang berada di hadapannya. “Bersih Om, gak ada hal mencurigakan sama sekali dari satu minggu sebelum kejadian. Kemungkinan orang ini juga tau kalo toko di pasang cctv makanya dia ngesabotase cctvnya.”

“Orang ini, bisa jadi masih dalam satu lingkup sama kita. Cuman karena permainannya yang bener-bener bersih, sampai kita tidak kepikiran kalo dia yang mungkin selama ini jadi dalangnya.”

Tanjung mengetuk ujung rokoknya pada asbak, lalu ia hisap lagi batangan nikotin itu dan menghembuskan asapnya ke udara. Setelahnya, tangan yang memegang rokok mendekat ke arah Harvey yang masih terdiam, memberikan isyarat agar anaknya itu mengambil rokok miliknya.

Harvey berdecih pelan, ia raih batang rokok yang disodorkan sang Ayah, lalu gantian menghisap batang nikotin itu. Ia majukan posisi duduknya, sebelah tangannya bertumpu pada meja, sebelahnya lagi terangkat dengan rokok yang terselip diantara dua jarinya,

“Tapi siapa?” Dimitri bertanya bingung.

“Entah dia sendiri, ataupun keturunannya, Dim.” Kepala Tanjung menoleh pada sahabat karibnya itu. “Banyak kemungkinan.”

Dimitri berdecak, ia sandarkan punggungnya pada punggung kursi. Mengingat-ingat kembali tentang orang-orang yang pernah berlalu lalang dalam hidupnya.

Lalu tiba-tiba, Eric terpekik dengan umpatan, ia sontak berdiri, memandang ke arah susunan potongan kardus yang baru saja ia temui sebuah petunjuk baru.

“Oh shit!” Gantian Juna yang mengumpat, ia turut berdiri dari posisinya. Membuat Harvey bangkit, mendekat ke arah dua temannya yang masih terlihat tidak percaya dengan apa yang di dapati oleh Eric itu.

Ternyata, dibalik kiriman paket-paket dengan box kosong bertuliskan nama Amatsira, terdapat sebuah logo yang harus di susun pada setiap sisi bagian dalam paket paling sudut, yang mana jika disatukan, membentuk sebuah sketsa kelopak bunga.

“Higanbana.” Ucap Harvey pelan.

Juna serta Eric kompak menoleh. “Lo tau?”

“Natha punya tattonya ditengkuk belakang.”

Tanjung serta Dimitri saling menatap, berpandangan dengan raut wajah bingung. Menerka-nerka kembali maksud dari lambang bunga kematian yang ternyata berada di balik paket-paket yang selama ini dikirimkan.

Kepala Harvey kemudian menoleh ke belakang, menatap dua orangtua yang juga menatapnya. Seringainya tercipta tipis.

“Aku tau siapa teman kalian yang sama-sama punya tatto higanbana.”

“Siapa?”

“Handoko.”

“Handoko?” Ulang Dimitri, ia menatap ke arah Tanjung sekilas lalu kembali menatap ke arah sang menantu. “Tapi Handoko sudah mati, Harvey.”

Harvey menyeringai tipis begitu temukan satu titik terang dalam pencarian mereka selama ini. “Tapi kematiannya masih jadi misteri sampai sekarang, iya kan, Pa?”

Tidak ada sahutan, Tanjung terduduk dengan fokusnya yang mendadak hilang. Tidak mungkin Handoko, tidak mungkin jika sahabat karib lamanya itu lah dalang dari kasus yang menimpa keluarganya selama ini.

“Han.” Suaranya bergumam tipis. “Tapi gak mungkin dia.”

“Banyak kemungkinan.” Ucap Harvey mengulangi kata-kata yang sempat diucapkan oleh sang Ayah tadi. “Entah dia yang benar-benar mati atau, memang sengaja memalsukan kematiannya, gak ada yang tau, Pa.”

Hening, ruangan mendadak senyap dengan atmosternya yang mendingin. Juna serta Eric saling berpandangan, lalu menaikan bahunya sekilas, tidak mengerti dengan Handoko yang di maksud Harvey barusan.

Harvey membuang puntung rokoknya, menginjaknya dengan ujung sepatu hingga baranya padam. Ia kemudian menghembuskan asap terakhir rokoknya ke udara, lalu memasukan tangannya pada masing-masing kantung celana.

“Kalau memang benar adanya hubungan antara Handoko, Aristama,” Ujung mata Harvey melirik ke arah Eric yang tiba-tiba terkesiap, “Dan kasus yang menimpa keluarga kita, bukannya Papa bilang kalau nyawa harus dibayar dengan nyawa?”

Nada suaranya mengalun begitu tenang, namun sukses membuat Eric serta Juna saling melirik dengan wajah tegang. Harvey menatap sang Ayah yang kini masih terdiam dengan ekspresi shock.

“Gak ada pengampunan buat seseorang yang udah bikin Hadley pergi.”

Setelah itu, Harvey berjalan menjauh, keluar dari ruangan meninggalkan empat orang dengan ekspresi wajah semakin menegang.

Tapi satu kesimpulan di dapat, bahwa ada kemukinan seseorang di sekitar Natha tidak dalam kondisi aman sekarang.

Harvey membuang nafasnya gusar, pedal gas ditekan agak dalam, membuat kecepatan mobil semakin bertambah. Satu tangannya berada di stir, dan satunya lagi memegang ponsel yang berada disisi wajahnya.

“Ck, Natha.” Ia berdecak entah untuk keberapa kalinya. “C'mon, baby.”

Sambungan telfon terputus tanpa sahutan. Harvey tekan ulang kembali nomor ponsel Natha yang tak kunjung menjawab panggilannya itu, berharap di ujung telfon sana Natha menjawab panggilannya.

“Shit.” Umpatannya terdengar penuh penekanan, Harvey lempar ponselnya pada jok penumpang disamping.

Harvey seharusnya sedang menghadiri rapat bersama jajaran direksi dan komisaris perusahaan sekarang, namun ketika Natha memberitahunya jika toko milik suami cantiknya itu tidak dalam keadaan baik-baik saja, ia langsung putar balik. Meninggalkan ruang rapat sambil mengucapkan permohonan maaf berkali-kali.

Sebenarnya, tidak membutuhkan waktu lama untuknya tiba di toko bunga milik Natha, namun keadaan jalanan arteri yang biasa di lewati dalam kategori merah, jadi Harvey harus memutar lebih jauh melewati toll agar ia segera sampai.

Kepalanya menoleh dengan cepat ketika ponselnya berdering, ada nama Nasha disana. Ia langsung menggeser tombol hijau ke arah kanan dan menyalakan speaker ponsel.

'Harvey! Cepetan!'

Suara Nasha terdengar gusar di ujung sana.

“Gua lagi di jalan, Natha kemana?”

'Ngurung diri diruangannya, Vey. Cepetan sedikit bisa gak? Gua bener-bener khawatir soalnya lu tau sendiri Natha kalo marah kayak gimana.'

“Sebentar lagi gua sampe, pastiin Natha gak ngelakuin hal-hal bodoh.”

'Please cepetan, Vey.'

Sambungan telfon terputus, Harvey berdecak kembali. Rahangnya mengeras, sorot matanya berkilat emosi, bukan tidak mungkin ini adalah ulah dari satu orang yang sama dengan yang meneror keluarganya akhir-akhir ini.

Stir dibelokan ke kiri, mobil masuk ke arah exit toll dimana toko Natha berada tidak jauh dari sana. Harvey memukul stir mobilnya ketika masuk ke jalan arteri yang cukup padat merayap. Ia kembali mendesah gusar, mencoba mengontrol emosinya yang juga ingin meledak.

Butuh waktu hampir sepuluh menit untuk Harvey tempuh sejak keluar toll dan tiba di toko milik Natha itu. Mobilnya ia parkir sembarang, walaupun masih bersebelahan dengan mobil Nasha dan mobil Natha yang kini sama persis dengan mobilnya itu.

Rem tangan ditarik, mesih dimatikan. Harvey ambil ponselnya terlebih dahulu sebelum dengan tergesa turun dari mobil, ia disambut ekspresi sedih dari seluruh pegawai toko yang kini bahu membahu membereskan kekacauan yang ada.

Bunga-bunga berserakan, kelopaknya tercerai-berai dengan tangkai-tangkainya yang patah. Kaca etalase lemari penyimpan bunga pun tak luput dari tangan jahat pelaku, ada yang hanya retak dibeberapa sisi, namun ada juga yang sampai pecah. Bahkan floral foam, kertas-kertas untuk bucket, serta kartu ucapan pun berada di lantai dalam keadaan berantakan.

Namun anehnya, bucket-bucket spesial seperti bucket uang hanya dibiarkan berserakan, tidak berkurang satu pun lembaran alat tukar itu, dan bisa dipastikan jika hancurnya toko kali ini bukan ulah dari seorang perampok.

Harvey dengan cepat berjalan ke arah tangga menuju lantai dua bangunan, suara ketukan langkahnya terdengar nyaring, dan ia dapati wajah gelisah Nasha bersama satu karyawan yang turut berada disana.

“Harvey!”

Panggilan Nasha barusan tidak ia hiraukan, Harvey mengeser posisi berdiri Nasha yang berada tepat di depan pintu ruangan Natha, dan langsung mengambil dua langkah mundur, lalu setelahnya pintu di dobrak, sebuah vas bunga plastik hampir saja mengenai kepalanya jika ia tidak dengan cepat menghindar.

“Natha!”

Harvey menyentak, ia menatap tajam ke arah Natha yang kini terduduk di lantai sambil melipat ke dua kakinya di depan dada, dengan kepalanya yang menunduk, bersembunyi diantara lipatan. Pintu kemudian terbanting kembali, membuat Nasha serta satu karyawan yang masih setia berdiri disana seketika tersentak kaget.

“Mba, itu Mas Natha-”

Nasha langsung menoleh dengan senyum getir. “Udah gapapa, udah ada Harvey. Kita turun ke bawah, bantu yang lain beres-beres.”

Mereka berdua kemudian berbalik, berjalan turun ke lantai bawah walaupun rasa khawatir masih mengerogoti pikiran Nasha.

Kembali pada Harvey yang kini sudah berjongkok di depan Natha, tangannya terulur, hendak menyentuh pundak suami cantiknya itu namun Natha langsung menepisnya dengan cepat. Samar-samar, Harvey bisa mendengar deru suara nafas Natha yang menggebu.

“Nath, hei, sayang.” Nada suaranya Harvey buat selembut mungkin, tapi Natha malah kembali menepis tangannya yang kini hendak menyentuh tangan Natha itu. “Nath, ayolah jangan kayak gini.”

Kepala Natha tiba-tiba terangkat, matanya basah, ia tatap Harvey dengan sorot tajamnya. “Kayak gimana, hah? Gua harus kayak gimana, Harvey!”

Suaranya menyentak dengan nada tinggi, mata bulatnya melebar, Natha tepis kembali tangan Harvey yang hendak menyentuhnya. “Gua harus ketawa gitu ngeliat toko gua yang ancur lebur? Ngeliat pesenan-pesenan pelanggan gua yang udah siap pick up rusak? Gua harus gimana, Harvey!”

Kelopak mata Harvey terpejam sesaat ketika Natha kembali menyentaknya. Ia tahan pergerakan tangan Natha yang hendak mengambil benda disekitarnya untuk di lempar, pergelangan tangan itu Harvey genggam erat, sorot matanya menajam.

“Stop buat ngelempar barang kalo lo lagi marah, Natha!”

Mendapati Harvey yang menyentaknya balik dengan nada tinggi, tidak membuat emosi Natha mereda, justru ia langsung mendorong tubuh Harvey hingga suaminya itu jatuh terduduk.

“Shit! Nath!”

Kali ini, tangan Natha dengan cepat meraih sebuah gelas yang berada di atas meja, ia sudah siap melemparkan gelas itu namun Harvey dengan cepat merengkuh tubuhnya, membuat Natha hanya bisa berteriak melepas amarahnya. Gelas yang berada ditangannya langsung direbut, Harvey taruh kembali ke atas meja.

Natha menangis, tubuhnya bergetar di dalam dekapan Harvey. “Kalo kayak gini gua harus marah sama siapa, Vey? Gua harus marah sama siapa?”

Suaranya mengalun begitu pelan, Harvey yang mendengarnya refleks mengeraskan rahangnya kembali. Ia eratkan dekapannya, menyembunyikan Natha di balik jas yang dipakainya.

“Gua harus marah sama siapa kalo kayak gini, Harvey?” Tanya Natha kembali. Suaranya serak. “Jawab, Vey.”

Namun Harvey urung menjawab, tapi telapak tangannya mengelus belakang kepala Natha lembut. Bibirnya mengecup pelipis Natha berulang kali, mencoba memberikan ketenangan pada emosi Natha yang meledak.

Ia rasakan kemeja yang dipakainya mengerat di bagian pinggang belakang ketika jari-jari Natha mencengramnya erat. Sorot mata Harvey berkilat, ekspresi wajahnya begitu datar, berusaha coba tahan emosinya sendiri yang turut naik.

Harvey bawa Natha untuk mendekat ke arah kursi saat mulai merasakan Natha mulai menopang bobot tubuhnya padanya. Begitu Harvey sudah mendudukan dirinya, ia angkat tubuh Natha agar duduk diatas pangkuannya dengan posisi menyamping, membiarkan Natha melepas emosinya yang mulai surut itu.

“Biaya kerugiannya, nanti gua yang ganti. Sekalian gua cari tempat baru buat toko lo.”

Kepala yang berada di pundak Harvey itu menggeleng tipis. Nafasnya masih tersengal, rambutnya kemudian diusap kembali oleh Harvey.

“Gua gak butuh itu. Gua cuman butuh orang yang udah ngancurin toko gua.” Sahut Natha penuh penekanan, ia kemudian menjauhkan kepalanya dari pundak Harvey. “Gua cuman butuh orang itu, bisa?”

Harvey terdiam, matanya menatap dalam ke arah bola mata basah itu. Ia hapus jejak-jejak air mata yang masih membekas di pipi Natha.

“Sure, you'll get what you want, baby. As soon as possible.”

Keheningan melanda selama beberapa saat, mata saling menatap dalam pada satu sama lain sebelum Natha yang lebih dahulu memutus kontaknya.

“I'm tired.” Natha menghela nafasnya berat, kepalanya ia sandarkan kembali pada pundak Harvey. “Really.”

Tidak ada sahutan, Harvey hanya mengelus pinggang Natha serta belakang kepalanya kembali.


“Disabotase.”

Nasha membuang nafasnya gusar, kepalanya mendongkak, menatap ke arah Harvey yang berdiri di sampingnya dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Mata tajam Harvey menatap layar komputer yang menampilkan video cctv toko, yang mana setelah dibantu cek oleh Nasha, cctv tersebut sudah disabotase terlebih dahulu sehingga hanya menghasilkan video hitam sebelum kejadian berlangsung.

“Kirim ke gua filenya. Dari seminggu sebelum kejadian.”

Kepala gadis itu kemudian mengangguk, kemudian mengutak-atik komputer yang berada di ruangan Natha, mengirimkan file-file cctv toko yang mungkin dapat membantu menemukan pelaku.

Harvey kemudian keluar dari ruangan, berjalan cepat menuju lantai bawah guna menyusul Natha yang kini sedang memberikan instruksi pada para pegawainya terkait musibah yang terjadi.

“Yang sekiranya masih bisa dikerjain hari ini, minta tolong dikerjain ya, buat bunga sama bahan yang lain gua udah kontak temen gua sesama florist, nanti Mas Bayu boleh langsung di pick up aja ya ke tempatnya. Soal komplain pelanggan nanti biar gua yang urus langsung.”

Natha sunggingkan senyum tipisnya, membuat para pegawainya mengangguk lalu kembali membereskan sisa-sisa kekacauan yang ada. Beruntung masih ada beberapa stock bunga di gudang belakang yang tidak tersentuh sama sekali, namun walaupun begitu, Natha masih kekurangan beberapa bunga serta bahan-bahan bucket yang sudah terlebih dahulu di pesan oleh para pelanggannya itu.

Harvey kemudian mendekat ke arah Natha yang kini menundukan kepalanya, mengusap wajah dengan kedua tangannya gusar. “Nath.”

“Hm.” Sahut Natha singkat.

Tangan Natha kemudian di tarik Harvey untuk mendekat, matanya sedikit bergulir ke atas karena Harvey yang lebih tinggi darinya beberapa senti itu.

“Kalo emang gak bisa dicover semua, biar gua yang ganti rugi ke pelanggan.” Perkataan Harvey langsung dibalas gelengan oleh Natha, “Gua gak nerima bantahan, Natha.”

“Yaudah.” Natha menjawab pasrah, tidak ingin berdebat lebih jauh dengan Harvey. “Lo kalo mau balik ke kantor balik aja, gua bisa nanganin semuanya. Makasih udah repot-repot kesini.”

Jari-jari Natha diremat pelan oleh telapak tangan Harvey, “Baby.”

“Kalo mau ngomong, nanti aja di rumah, oke? Banyak yang harus gua kerjain sekarang. Gua lagi gak mau debat soal apapun.”

Harvey tersenyum mahfum. “Gua tinggal, gapapa?”

“It's okay.” Natha balas tersenyum tipis.

Gengamannya pada jari-jari Natha terlepas, Harvey tarik kepala suami cantiknya itu lalu memberikan sebuah kecupan di dahi. “Kabarin gua kalo ada apa-apa, oke, Dimitri?”

“Bukannya Tanjung?”

Senyumnya mengembang kembali. “Ya, kabarin gua kalo ada apa-apa, oke, Natha Tanjung?”

Natha kemudian mengangguk, ia kembali tersenyum sekilas ketika Harvey mengusak rambutnya. Lalu matanya memperhatikan Harvey yang kini berjalan keluar dari toko, masuk ke dalam mobil sampai mobil hitam itu pergi dari sana.

Ia ambruk, jatuh terduduk sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kepala Natha pening luar biasa, beberapa pegawai yang melihatnya langsung mendekat ke arah Natha dengan raut wajah khawatir.

“Mas, Mas Natha.” Pundaknya di tepuk. “Eh ambilin minyak kayu putih, Din, tolong.”

Salah satu pegawainya yang tadi menepuk pundak langsung berteriak heboh memanggil Nasha. “Mba, Mba Nasha!”

Nasha menyahut dengan teriakan, suara langkah kakinya terdengar hingga lantai bawah. Gadis dengan kaus abu-abu itu langsung membulatkan matanya melihat Natha yang terduduk sambil disangga tubuhnya oleh salah satu pegawai.

“Nath,” Tangannya langsung menjauhkan tangan Natha yang menutupi wajah, mata saudara kembarnya itu terpejam dengan wajah pias. “Nath, denger gua kan? Din! Dina! Minyak kayu putih cepet.”

Pegawai yang dipanggil Dina itu kemudian mendekat dengan tergesa, menyerahkan botol kecil minyak kayu putih yang dipegangnya pada Nasha. Tutup botol terbuka, Nasha langsung meneteskan minyak tersebut pada jarinya terlebih dahulu sebelum mengoleskannya pada pelipis serta leher Natha.

“Gua suruh Harvey balik lagi ya,” Nasha dengan tergesa mengambil ponselnya yang berada di kantong cardigan yang ia pakai, namun sebelum ponsel teraih, tangan Natha lebih dulu menahan pergerakannya, kepala saudara kembarnya itu menggeleng. “Nath.”

“Jangan, jangan suruh Harvey balik lagi.” Ucap Natha lemah, kelopak matanya terbuka perlahan. “Dia pasti sibuk, gapapa, gua cuman pusing sedikit.”

“Enggak, gua tetep telfon Harvey.”

“Gua marah kalo lo nelfon dia.”

“Nath,” Nasha memasang ekspresi tidak habis pikirnya. “Ayolah, jangan batu.”

Natha tetap menolak, ia ambil nafasnya panjang. Pening dikepalanya semakin menjadi, kunang-kunang di pengelihatannya semakin banyak. Seorang pegawai yang menopang tubuhnya langsung memasang wajah heboh, bibirnya bergerak tanpa suara.

“Pingsan, pingsan.” Katanya sambil melirik ke arah Natha. “Sumpah mau pingsan!”

Nasha berdecak gusar, ia oleskan lagi minyak kayu putih pada pelipis Natha. “Nath, masih denger gua kan?”

Anggukan tipis diberikan sebagai jawaban, namun setelahnya, Natha benar-benar ambruk. Hilang kesadaran.

“Mas Natha!” / “Natha!”

Gantian pegawai yang menopang tubuh Natha yang berdecak. “Gua bilang juga apa.”

Kepalanya menoleh, menatap pada sinar lampu taman yang menerangi seseorang yang sedari tadi ditunggunya. Senyum terukir begitu tipis, ketukan sepatu pada paving block terdengar hingga telinga, ritmenya masih sama, masih begitu ia hapal.

Sean berikan senyum tipisnya, kemudian mendudukan diri tepat di sebelah Alvin dengan jarak yang cukup ditempati oleh satu orang lagi pada kursi panjang taman. Keduanya terdiam, menatap lurus pada pancuran air di depan.

Angin berhembus, mengoyangkan dedaunan dan anak rambut secara bersamaan. Satu nafas berat diambil, hati begitu berat, menyesakan dada masing-masing tanpa disadari.

“Hai.” Alvin menyapa lebih dulu, kepalanya menoleh, menatap Sean yang duduk di sampingnya. “You look so nice.”

“Thanks.” Sean sunggingkan senyum tipisnya kembali, ia terdiam beberapa saat, lalu turut menolehkan wajahnya pada Alvin yang menatapnya. “You too.”

Ini merupakan moment paling canggung setelah setahun lamanya, di tempat ini, di kursi yang sama yang mereka duduki sekarang, bukti mati tentang ucapan selamat datang pada enam tahun lalu, dan selamat tinggal pada satu tahun lalu.

Dan mungkin, akan benar-benar menjadi bukti mati selamat tinggal untuk waktu yang tidak pernah bisa ditentukan kembali.

“So, kamu berangkat besok?” Tanya Alvin, nadanya begitu tenang, begitu menyatu dengan heningnya malam.

Sean mengangguk tipis. “Ya, besok.”

Besok. Bahkan Alvin tidak ingin hari itu datang, namun pada nyatanya, ia memang harus melepaskan Sean pergi.

“Berapa lama?”

Pandangan teralih, Sean menatap kembali pada riak air pancuran. “Gak tau, mungkin lama? Aku udah kepikiran buat cari kerja disana juga setelah selesai study, kalau memungkinkan, ya netap disana juga.”

“Lama banget berarti ya.”

“Iya.” Bibir terkulum, Sean kembali mengangguk tipis. “Bye the way, aku kira kamu bakalan ngajak Naura juga.”

Alvin menggeleng, “Aku gak bisa ajak Naura buat saat ini.”

“Kenapa?”

Kepalanya menoleh, Alvin tatap seseorang yang masih menempati posisi teratas di hatinya itu, si pemilik luka berbentuk mawar yang begitu cantik di sudut mata.

“Sea, aku gak bisa.”

“Kamu pasti bisa.” Sean menyahut cepat, tangannya terulur, menyentuh punggung tangan Alvin yang berada di pinggiran kursi. “Bisa, Vin. Kamu tinggal lupain aku, cuman itu caranya.”

Alvin menggeleng tipis, menatap dalam ke arah bola mata yang berkilauan terkena terpaan lampu-lampu taman. “Aku gak bisa lupain kamu.”

Senyum kecut tercipta, Sean tarik kembali tangannya, membuat Alvin menundukan pandangannya sekilas lalu kembali menatap mantan kekasihnya itu.

“Naura cantik, dia baik, pinter, penyayang, dan dia juga sayang kamu, Alvin.”

“Perfect don't mean that it's working.” Alvin buang nafasnya berat. “I know that she's so perfect, dia selalu ada buat aku, but I still wish that is was you.”

“Kamu jahat.”

“Aku tau.” Gantian senyum kecut Alvin yang tercipta. “Tapi aku gak bisa, Sea. Aku gak bisa. Gak bisa buat ganti posisi Naura buat jadi posisi kamu. Sea, gak bisa ya kita berjuang buat lawan dunia sekali lagi?”

“Gak bisa, Alvin. Mustahil.” Sean menggeleng. “Dari kecil, kita selalu diajarin buat hormat sama orangtua kan? Bukan buat menentang mereka?”

Posisi duduknya berubah, menyerong ke arah Sean, tangan yang hari-hari lalu selalu ia genggam hangat itu kembali digenggamnya.

“Sea, sekali lagi. Setelah itu, kalo emang kita gak berhasil, aku, aku bakalan nyerah.”

Mata itu penuh pengharapan, menatap dalam ke arahnya. Sean mati-matian menahan tangis, mengingat kembali masa dimana hari-hari mereka diisi canda tawa, diisi oleh memori-memori manis yang diharapkan akan terus terulang hingga akhir nanti.

Namun nyatanya kisah memang masih tetap berjalan, tapi bagian mereka, sudah resmi berakhir.

Lima tahun berhenti pada awal ke enam, dipaksaan berhenti pada kenyataan yang memang harus mereka hadapi. Pada restu pelancar jalan setiap mereka melangkah, pada manusia-manusia yang turut membawa mereka hadir merasakan cinta dan kasih sayang di dunia.

“Maaf.”

Nada suaranya mengalun begitu pelan, pelan sekali. Sampai Alvin tidak bisa mendengarnya karena bercampur padu pada desiran angin malam.

“Sean, Naura gak bisa jadi kamu.”

“Mungkin kalo Naura tau ini, dia pasti bakalan sedih, sedih banget. Sama kaya aku waktu harus ngelepas kamu secara tiba-tiba.”

Sean taruh telapak tangannya diatas punggung tangan Alvin yang menangkup sebelah tangannya itu. “Aku gak mau kamu bikin Naura sedih, Alvin. Jangan. Jangan sampe kamu bikin gadis sebaik Naura harus sedih.”

Alvin terdiam, masih mengharapkan secercah harapan pada sosok yang begitu luar biasa di hadapannya ini. Sean punya makna begitu banyak dihidupnya, punya begitu banyak harapan-harapannya, yang namun pada akhirnya, harus terkubur dalam-dalam di bagian mimpi hidupnya.

Karena seberapa keras pun Alvin mencoba, kenangannya bersama Sean tidak akan pernah bisa ia lupakan, lalu ketika ia mengulangnya kembali bersama Naura, sosok Sean tidak pernah hilang dalam ingatannya.

“Sea, kamu mau tau kenapa aku gak bisa natap mata Naura kalau aku lagi ngomong sama dia?”

“Kenapa?”

“Karena aku selalu liat kamu. Aku selalu nemuin sekilas tentang kita di mata dia. Aku gak bisa, Sea. Aku gak bisa ngehilangin bayang-bayang kamu sekuat apapun Naura coba.”

Senyum Sean mengembang begitu tipis, tipis sekali, sampai mungkin Alvin tidak akan sadar jika ia tersenyum.

“Parents know what's better for their children life. Mungkin sekarang kamu belum bisa karena aku masih ada disini, tapi mungkin nanti, kamu pasti bisa.”

“Aku udah coba, Sea. Tapi,” Alvin menggeleng. “Kamu gak bisa disini aja? Jangan pergi, aku harus berdiri kayak gimana lagi kalo penyangga aku aja harus hilang?”

“Kamu harus cari penyangga lain. Yang lebih baik, yang lebih kuat buat nopang kamu di hari-hari selanjutnya, ya? Bisa gak kamu janji itu sama aku?”

Rahangnya mengeras, Alvin meremat tangan Sean yang berada digenggamannya. Mengisyaratkan agar Sean tetap disampingnya, bersamanya.

“Kamu sayang aku, kan?”

Alvin mengangguk.

“Kalo gitu, kamu pasti bisa ngabulin permintaan aku yang tadi, kan?”

Alvin menggeleng.

“Harus bisa, Alvin. Harus. Hidup kamu gak melulu berotasi sama aku, rotasi kamu udah beda sekarang. Bisa ya? Aku juga mau ngeliat kamu bahagia, Alvin.”

“Emangnya kamu juga bahagia?”

Pertanyaan itu sukses membungkam Sean pada setiap kalimat yang akan ia lontarkan, tersangkut pada ujung lidah ketika Alvin bertanya apakah dirinya juga bahagia atau tidak.

Tapi Sean harus ambil langkah pasti agar Alvin bisa melepaskannya.

“Besok, aku pergi ke belahan dunia yang lain. Jauh dari kamu, dan aku gak tau kapan aku pulang, Alvin. Jadi tolong, cari bahagia kamu juga, ya?”

“Aku bisa nunggu kamu sampe kamu pulang. Kita bisa bahagia bareng-bareng, Sean.”

“Alvin, banyak keinginan yang gak semuanya bisa kita dapetin, dari situ, kita bisa belajar caranya mengikhlaskan, bisa belajar caranya siap kalau keinginan kita gak bisa ke wujud.” Sean tersenyum sedih. “Vin, cerita kita udah selesai tahun lalu, tanpa sequel, tanpa titik koma. Jadi aku mohon, aku mohon sama kamu, lepasin aku, ya? Kasian Naura, kasian orangtua kamu.”

“Segitu salahnya ya kita di mata dunia?”

Sean mengangguk.

“Dari awal, kisah kita emang udah salah, Alvin.”

Keduanya terdiam, menatap begitu dalam mungkin untuk yang terakhir kalinya. Waktu tinggal sebentar lagi, tidak cukup untuk mereka mengutarakan seluruh isi hati.

Jadi Alvin tarik kepala Sean mendekat, mencium bibirnya begitu lama, begitu dalam. Ia taruh seluruh harapan dan rasanya disana, seluruh kasih sayangnya pada sosok yang berada di masa-masa terbaik hidupnya.

Pertahan Sean luruh, air matanya mengalir dari sudut mata. Ia rengkuh Alvin untuk terakhir kalinya dengan erat, pada sandarannya ketika ia berada di titik terendah hidupnya, pada seseorang yang nanti, tidak akan bisa menjadi miliknya kembali.

Malam menjadi saksi mereka berdua untuk mengucapkan rasa kasih sayang terakhir kalinya dengan begitu syahdu. Pada rengkuhan terhangat didinginnya hembusan angin, pada setiap kenangan-kenangan yang kini hanya bisa mereka ingat ketika merindukannya.

Tubuh Sean didekap begitu erat, Alvin topang kepalanya pada pundak Sean, tangannya mengelus halus bagian belakang kepala Sean dengan lembut.

“Now, I have to remember you longer than I have known you.”

Sean mengangguk dengan senyum dan isakannya secara bersamaan.

“Alvin, make the rest of your life happy even if I am no longer be the reason. I wish nothing but the best, to both of us we have the right to be happy even without each other.”

“Sean, you always gonna life forever in me.”

Nafasnya tercekat, dadanya sesak luar biasa. Natha meronta, menggerakan kedua kaki dan tangannya ketika kepalanya dipaksa masuk ke dalam air. Gelap. Matanya tidak bisa melihat secercah cahaya pun dari dalam sini.

Samar-samar telinganya mendengar, seseorang memanggil namanya berulang kali. Menjerit, memohon ampun entah pada siapa. Kelopak matanya ia paksa untuk terbuka, perih melanda ketika air menyentuh retinanya.

Jangan! Jangan, Natha!

Natha seketika terbangun, ia terduduk dengan nafasnya yang terputus-putus. Dadanya sesak, ia mencengkram selimut yang dipakainya. Kelopak matanya mengerjap cepat mencari kesadaran.

Harvey pun refleks terbangun, menatap dengan raut panik ke arah Natha yang terduduk dengan nafasnya yang tak beraturan. “Nath? Hei, kenapa sayang?”

Kepalanya menggeleng cepat, ia usap wajahnya dengan kedua tangan. Masih enggan membuka mulutnya karena mimpi tadi seakan begitu nyata.

“Sebentar, gua ambilin minum dulu.” Harvey bergerak cepat, turun dari kasur lalu mengambil air minum yang berada di dapur. Setelah gelas berisi air minum sudah didapatnya, Harvey dengan tergesa kembali menuju kamar, duduk tepat di sebelah Natha lalu menyerahkan gelas yang dibawanya. “Ini minum dulu.”

Natha menggeleng, sorot matanya masih mentap kosong ke arah selimut. Ia dirundung kebingungan ketika mimpi yang dialaminya tadi seakan-akan ia pernah mengalaminya sendiri. Ini pertama kalinya dalam seumur hidup, Natha merasakan mimpi yang begitu nyata.

“Nath.” Harvey menatapnya dengan sorot khawatir, gelas ia taruh terlebih dahulu dibawah kasur karena kamar ini hanya memiliki satu meja panjang di samping jendela. “Are you okay?”

Anggukan tipis Natha berikan sebagai jawaban. “Gua gapapa.”

Harvey beralih sebentar, mengambil ponselnya untuk mengecek jam berapakah saat ini. Begitu angka tiga dan angka empatpuluh lima terpampang dilayar, ia hembuskan nafasnya berat.

“Tidur lagi aja ayo, masih jam empat kurang.” Tangan Harvey menyibak rambut Natha yang menutupi dahi. “It's okay, Natha. Itu cuman mimpi buruk.”

“Tapi nyata banget rasanya, Vey.” Wajahnya menoleh, menatap Harvey yang juga menatapnya. “Gua kayak lagi di tenggelemin, gelap, gak bisa ngeliat apa-apa. Terus ada yang teriak, suaranya suara cewe nyebut nama gua.”

Pergerakan tangan Harvey yang menyibak rambut Natha langsung terhenti. Bola mata bulat itu ia tatap dalam-dalam, terdiam beberapa saat sebelum senyum tipisnya merekah.

“Itu cuman mimpi, udah ayo tidur lagi.”

Natha kemudian merebahkan kembali tubuhnya ke atas kasur, selimut Harvey tarik hingga sebatas pundak. Ia rengkuh Natha kembali dalam dekapannya, menjadikan sebelah tangannya bantalan kepala Natha, lalu sebelahnya lagi ia gunakan untuk mengelus rambut Natha perlahan.

Ia sendiri bisa merasakan jantung Natha yang masih berdegup cepat. Nafas beratnya berhembus kembali, Harvey pejamkan matanya, merengkuh Natha semakin erat. Butuh beberapa saat hingga Harvey bisa rasakan degup jantung Natha kembali dalam ritme normal, hembusan nafanya teratur, menandakan jika Natha sudah masuk kembali ke alam bawah sadarnya.

Namun hingga matahari mulai terlihat sinar oranyenya di ufuk timur, Harvey tetap terjaga, ia tidak tertidur kembali. Kepalanya terasa penuh, bukannya tidak sadar jika mimpi yang Natha alami tadi mungkin merupakan bayang-bayang yang terpendam pada memori paling dasar.

Harvey berharap banyak, tapi jika Natha memang tidak bisa mengingat potongan-potongannya, ia tidak akan memaksakan.

Burung-burung kecil mulai berkicau, kabut di atas danau terlihat begitu cantik dengan terpaan sinar matahari pagi. Udaranya masih begitu dingin, namun kupu-kupu mulai terbang kesana kemari, meloncat dari pucuk bunga ke pucuk bunga lainnya.

Natha meleguh, ia meregangkan tubuhnya yang masih berada di pelukan Harvey. Kelopak matanya perlahan terbuka, langsung tersorot sinar matahari yang mengintip dari celah-celah gorden.

Lalu ia rasakan satu sentuhan pada dahinya, bola matanya bergulir ke atas, menatap Harvey yang tersenyum tipis ke arahnya. Natha mendengus geli, ia ubah posisinya menjadi terlentang, matanya kemudian menatap ke arah langit-langit kamar.

“Rasanya.” Suara Natha mengalun serak khas bangun tidur. “This is the best morning I've ever had.”

“And you're the best sunshine I've ever seen in the morning.”

“Masih pagi, tolol.” Natha terkekeh, menjauhkan wajah Harvey yang berada dekat darinya. “So, kita mau ngapain hari ini?” Tanyanya.

“Maunya ngapain?”

“Morning sex?”

Harvey tergelak, “Nath, serius?”

Cengirannya Natha tunjukan. “Bercanda.”

Rambut yang menutupi dahi Natha disibak kembali, Harvey tersenyum tipis. “Mau langsung mandi apa sarapan dulu?”

“Sarapan dulu deh, eh tapi aduh, kayaknya gua mau pipis dulu.”

Natha dengan cepat bergegas turun dari atas kasur, hampir terjatuh ketika kakinya tersangkut selimut, membuat tawa Harvey menguar melihat Natha yang begitu lucu.

Kasur dirapihkan terlebih dahulu, gorden disibak terbuka hingga sinar matahari langsung masuk menerangi ruangan. Jendela terbuka setelahnya, udara pagi yang begitu menangkan menyeruak, satu nafas panjang diraih Harvey.

Begitu ia keluar dari kamar, ia dapati Natha berdiri di depan pintu kamar mandi. Jari-jarinya mengepal, bibirnya bergetar karena dingin.

“Su-sumpah, airnya, sshhh, gua gak mau mandi.” Natha berjalan melewati Harvey, ia peluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangan, kakinya melangkah menuju ruang tengah dan mendudukan dirinya di atas sofa. “Fuck, dingin banget sialan, berasa lagi naik ke puncak Everest.”

“Emangnya udah pernah nyoba kesana?” Tanya Harvey sambil memasang ekspresi meledek, ditangannya sudah ada selimut, ia sampirkan terlebih dahulu kain tebal itu pada tubuh Natha. Baru setelahnya ia membuka jendela ruang tengah, lalu berganti membuka pintu yang menghubungan ruangan pada teras belakang.

“Perumpamaan, tau perumpamaan kan?” Ucap Natha sebal. “Jangan mancing emosi gua pagi-pagi deh.”

Harvey hanya mendengus geli, ia kemudian berjalan ke arah dapur, menyeduh kopi dan mengambil beberapa roti yang mereka beli ketika diperjalanan kemarin. Natha menoleh begitu semerbak aroma kopi tercium olehnya, Harvey muncul kembali, membawa secangkir kopi dan beberapa bungkus roti.

“Lo mau kopi juga atau susu?”

“Susu aja ya mas, satu, jangan manis-manis soalnya saya udah manis.” Kata Natha dengan ekspresi songong, dagunya terangkat, menatap ke arah Harvey yang tertawa kecil. “Eh, eh jangan ketawa, siapa suruh ketawa? Cepet bikinin pesenan saya, atau kamu saya pecat.”

“Siap yang mulia.” Harvey membungkuk, senyumnya merekah semakin lebar, lalu tangannya bergerak mengusak rambut Natha gemas. “Nanti bayarannya pake ciuman boleh tidak, yang mulia?”

“Kamu banyak mau ya, cepat bikinin pesanan saya dulu.”

Keduanya kemudian tertawa, pipi Natha di kecup sekilas. Harvey kembali ke dapur untuk membuatka susu.

Satu bungkus roti Natha raih, membukanya cepat lalu mengigit roti dengan kedua kakinya yang naik ke atas sofa. Pandangannya mengarah ke arah danau, cantik sekali, seperti berada di negeri dongeng.

Harvey kembali dengan segelas susu hangat, ia taruh gelasnya di atas meja, tepat di samping kopinya yang masih mengepul. Lalu kedua tangannya menggeser posisi duduk Natha, agar dia bisa duduk dibelakang suami cantiknya itu.

Mata Natha melirik gelas susu hangat, ia kemudian menolehkan kepalanya kebelakang, menatap Harvey. “Thanks.”

Mereka isi acara sarapan dengan keheningan, menikmati damainya pagi di tengah rimbunan pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Riuh suara bebek-bebek milik warga sekitar yang mulai berenang memasuki danau membuat suasana pagi menjadi begitu asri.

Menit-menit berlalu, tiga bungkus kosong roti sudah berada di atas meja, kopi dan susu sudah berada di garis pertengahan gelas. Natha mengelap mulutnya dengan punggung tangan, membuat Harvey dengan cepat mengambil tissue, mengelap kembali mulut Natha baru punggung tangannya yang kotor.

“Mau keliling gak?” Tawar Harvey.

Natha mengangguk antusias. “Mau!”

Keduanya beranjak dari atas sofa, karena udara masih terasa begitu dingin, Harvey ambil satu cardigan tebal yang sudah Natha persiapkan sebelumnya, memakaikannya pada Natha lalu baru menarik tangannya keluar rumah dengan senyum merekah.

Kepala mendongkak, berputar ke segala penjuru, menikmati keindahan alam yang begitu menenangkan. Natha refleks terpekik ketika mendapati bunga-bunga mawar serta daisy bermekaran, ia lepaskan genggaman tangan Harvey, bergerak cepat mendekat ke arah bunga-bunga namun begitu menyadari ponselnya tertinggal di dalam kamar, ia bergegas, terburu-buru mengambil ponsel untuk memotret bunga-bunga itu.

Harvey memperhatikannya dengan dengusan pelan, senyum tipisnya mengembang kembali. Melihat sisi lain Natha yang baru ia temuinya saat ini, bagaimana lelaki cantik itu berulang kali terpekik gemas ketika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Nath.”

Natha menoleh, “Ya?”

“Mau ke kebun bunga Mama, gak?”

“Boleh.” Kepalanya mengangguk, “Jauh gak tapi?”

“Bentar, kayaknya ada sepeda deh dipinggir.”

Lelaki dengan lesung pipi manis itu berjalan menuju sisi rumah, perkiraannya benar, ada sebuah sepeda disana, mungkin sering di pakai Kang Ujang karena masih begitu terawat dan bersih. Harvey ambil sepeda tersebut, menaikinya dan mengayuh pelan ke arah Natha.

“Sepeda siapa tuh?” Tanya Natha lagi, ia mendekat. “Gak ada lagi? Terus gua naik apa?”

Harvey menepuk besi bagian tengah sepeda, “Naik disini.”

“Kuat gak?”

“Kuat kok, tenang aja.”

Ragu-ragu, Natha angkat pantatnya untuk terduduk di besi tengah sepeda, ia duduk dengan posisi menyamping, membuat kedua tangan Harvey merengkuh tubuhnya.

“Siap?” Tanya Harvey, Natha mengangguk sebagai jawaban.

Pedal sepeda bagian kanan terangkat, lalu kaki Harvey menekannya ke bawah. Sepeda oleng dalam kayuhan pertama, stangnya berbelok ke kanan dan ke kiri dengan cepat, membuat pekikan heboh Natha menguar, ia cengkram besi di bagian stang dengan wajah panik.

Tawa Harvey menguar kembali, ia memutar-mutarkan sepeda terlebih dahulu di pekarangan depan, begitu keseimbangan sudah diraih sepenuhnya, barulah Harvey mengarahkan sepeda ke arah jalan setapak yang tertuju pada kebun bunga.

Rasa takut Natha akan sepeda yang terjatuh sirna sudah, angin pagi terhempas, menerpa wajahnya begitu lembut. Punggung belakangnya tepat mengenai dada Harvey, membuat mereka seperti pasangan yang sedang di mabuk asmara.

Harvey mengayuh sepedanya dengan kecepatan lambat, menikmati satu moment yang baru pertama kali terjadi sejak hari pernikahannya dengan Natha. Ini lebih membahagiakan dari pada ikut turun ke dance floor saat Natha begitu liar menggerakan tubuhnya di atas sana.

Burung-burung yang bertengger di dahan terendah terbang ketika sepeda coklat itu lewat, hewan-hewan yang bersembunyi di balik semak-semak turut meloncat kaget. Senyum di wajah merekah begitu lebar, kayuhan dikuatkan ketika melewati beberapa ranting pohon yang berukuran sedang menghadang di jalan.

“Harvey.” Natha mendongkak, menatap wajah Harvey dari bawah.

“Ya?”

“Makasih ya udah bawa gua ke sini.”

Harvey menunduk sekilas, ia kemudian mengecup pucuk kepala Natha lalu kepalanya mengangguk tipis.

People fall in love in mysterious way

Satu penggal bait lirik lagu dari penyanyi Ed Sheeran terlintas di pikiran Natha, arah pandangnya menunduk, menatap pada tangan kanannya dan juga tangan Harvey yang terposisi bersebelahan. Cincin pernikahan mereka masih terpasang begitu apik di jari manis.

Ia teringat kembali pada selembar kertas yang terselip ditangannya saat hari pernikahan, ketika senyum Ellio begitu tulus mengarah padanya, menepuk pundaknya sebelum keduanya tersenyum ke arah kamera.

Natha tidak tahu Ellio mendapatkan kata-kata yang awalnya membuat ia hanya mendengus geli, kini malah ia rasakan sendiri itu dari mana. Mungkin internet, mungkin pada lembaran buku, entah.

Diselembar kertas itu tertulis, begitu rapih.

'Nath, kadang beberapa orang jatuh cinta bukan karena hati, bukan karena raga, tapi karena waktu yang dilalui bersama'

Kata-kata yang sebelumnya tidak akan pernah Natha percayai itu, justru kini membuatnya menjilat ludahnya sendiri. Natha mendengus geli, kepalanya menggeleng kecil, lalu arah pandangnya ia kembalikan pada pemandangan sekeliling.

Kayuhan sepeda lebih dipelankan lagi, hamparan bunga-bunga berbagai warna sudah berada di depan mata. Rem tangan ditarik, sepeda berhenti dengan kaki Harvey yang langsung turun ke bawah, menyangga.

“Sumpah, ini bagus banget!”

Natha terpekik antusias, ia langsung turun dari sepeda, kakinya melangkah cepat mendekati bunga-bunga berbagai warna dan jenis yang sedang bermekaran itu. Melupakan Harvey yang tadi hampir saja terjatuh ketika Natha buru-buru turun dari atas sepeda.

Standar diturunkan, sepeda terparkir di bawah pohon jambu air yang bunganya baru saja mulai ingin bermekaran itu. Harvey masukan kedua tangannya ke kantung celana, lagi-lagi tersenyum begitu melihat Natha yang begitu bersemangat, meloncat-loncat kecil saat mendapat potret yang begitu cantik dari kamera ponselnya.

Ingatannya kembali berputar pada belasan tahun silam, peris ketika ia mengajak Natha kecil menaiki sepeda menuju kebun bunga milik Ibunya ini. Ekspresi yang sama, antusias yang sama, serta senyum merekah yang masih sama cantiknya.

Natha mungkin tak mengingatnya, tapi Harvey menyimpan ingatan-ingatannya begitu apik.

Jika tujuan awalnya membuat Natha mengingat masa kecilnya, maka kini berbalik, Harvey justru yang mengingat masa-masa kanak-kanaknya sebelum peristiwa itu terjadi.

Lalu dalam bayangannya, berputar seperti roll film. Empat kanak-kanak yang tertawa, mengelilingi kebun bunga. Harvey ingat dengan jelas senyuman cantik sang Kakak, menarik tangannya, menyusul langkah si kembar Dimitri yang sudah berlari.

Mereka tertawa begitu Natha tersandung akar pohon yang menonjol dari bawah tanah, bajunya kotor terkena bagian tanah yang basah. Lalu dengan cepat bangkit kembali, mengejar Nasha yang meledek ke arahnya.

Kanak-kanak itu begitu bahagia pada masanya, tawanya selalu menguar di sore hari ketika selesai dengan tugas-tugas sekolah. Sepeda mereka terparkir di tempat yang sama dimana Harvey memakirkan sepedanya.

Dan saat Harvey mengedipkan kelopak matanya, bayangan itu tiba-tiba hilang, digantikan punggung Natha yang kini berjongkok di depan bunga-bunga sambil memperhatikan sesuatu.

Harvey tersenyum kecut, hembusan nafas beratnya terhela. Masa-masa itu sudah lewat, ia tidak bisa mengulangnya kembali.

“Harvey! Oy! Aih malah bengong, Harvey!”

Natha setengah berteriak, menyentak Harvey yang kehilangan fokusnya itu. Ia menggerakan tangannya menyuruh Harvey mendekat, berniat menunjukan sesuatu yang ditemuinya.

“Kenapa, Nath?” Tanya Harvey begitu ia sudah berdiri di sisi Natha, kemudian berjongkok, arah matanya mengikuti kemana Natha menunjuk. Seekor ulat gemuk berwarna hijau yang tengah memakan ujung daun. “Gendut, kayak lo.”

Natha melirik sinis, “Tolong ya, jangan rusak mood gua.”

“Bercanda.” Rambut Natha diusak sekilas. “Lo kan seksi.”

Bola mata Natha berputar malas, ia arahkan lagi kamera ponselnya pada ulat gendut itu, memotretnya beberapa kali lalu memasukan ponselnya kembali pada kantong cardigan.

Ide jahil di kepala Harvey terlintas, tangannya dengan cepat meraih ulat gendut itu lalu mengarahkannya pada wajah Natha.

Natha refleks terjungkal, ia terduduk di atas tanah sambil berusaha menghindari ulat yang berada di tangan Harvey itu. Umpatannya terdengar panik, tapi Harvey masih saja iseng padanya.

Ia kemudian bangkit, berlari menjauh dari Harvey yang kini menyusulnya dengan ulat gendut di tangannya itu, mengejar-ngejar Natha yang sibuk menghindar.

Lalu seperti de javu, Natha terjatuh, tersandung akar pohon yang menonjol dari bawah tanah. Baju tidurnya kotor akibat tanah basah, ia menoleh kesal ke arah Harvey yang tertawa, dan tanpa sepengetahuan suaminya itu, Natha ambil segenggam tanah basah itu lalu melemparknya ke arah Harvey, tepat mengenai baju bagian perut.

Tawa Harvey seketika terhenti, ia menatap bergantian pada Natha dan noda tanah yang berada di bajunya. Ekspresi wajahnya berubah datar, ulat yang berada di tangannya ia taruh lagi ke daun tanaman, barulah setelahnya ia mendekat ke arah Natha yang kini tertawa.

“Dimitri.”

Gantian tawa Natha yang terhenti, matanya mengerjap cepat lalu ia lemparkan tanah basah itu pada Harvey lagi. Tawanya menguar kembali, ia bangkit dari posisinya, dengan cepat berlari menghindari Harvey mengejar-ngejarnya kembali.

Mereka berputar, mengelilingi kebun bunga. Sekali, dua kali kehilangan keseimbangan saat kaki tersandung akar pohon maupun batu. Kupu-kupu serta kumbang-kumbang kecil berterbangan ketika Harvey dan Natha melewati mereka.

Dengan susah payah Harvey meraih tangan Natha, lelaki cantik itu berlari begitu gesit, seperti belut licin menghindari dirinya. Namun ketika tangan Natha sudah diraihnya, Harvey dengan cepat menarik Natha masuk ke dalam rengkuhannya, tawa menguar, ia menggelitiki Natha hingga nafasnya tersengal.

Saat tawa mereda dan mata saling berpandangan begitu dalam, Harvey berikan satu ciuman manis di bibir Natha, ditengah bunga-bunga yang bermekaran, dibelaian angin pagi yang begitu menenangkan.

Sinar matahari tersorot tepat ke arah keduanya, membuat mereka seperti seorang laga bintang yang tengah berada di panggung pementasan. Lagi-lagi senyum merekah, Natha bergerak mengecup bibir Harvey sekilas lalu kembali memeperkan tangan kotornya pada kaus yang di pakai suaminya itu.

Mereka berlarian kembali, persis seperti kanak-kanak yang dulu menghabiskan waktunya hingga matahari terbenam disini.

Ketika sorot cahaya sang surya perlahan meninggi, Harvey mengajak Natha kembali ke rumah tepi danau, menaiki sepeda kembali dengan celotehan Natha tentang wawasannya terhadap bunga-bunga. Satu jenis bunga namun berbeda warna saja memilki makna yang juga berbeda. Harvey mendengarkannya dengan seksama.

Begitu ia menaruh kembali sepeda di sisi rumah, Natha mengikutinya, lalu telunjuk suami cantiknya itu mengarah pada dua kaleng cat kecil yang tersimpan di bawah papan. Harvey mengambilnya, lalu menyerahkannya pada Natha dengan alis mengeryit bingung.

“Buat apa, Nath?”

Natha tidak menjawab, tapi cengirannya merekah lebar, lalu ia menarik tangan Harvey untuk mengikutinya sampai di teras depan.

Senyum simpul Harvey tercipta begitu Natha berhenti tepat di depan empat jejak tangan yang berada di dinding kayu itu, paham dengan maksud Natha meminta kaleng cat tadi. Harvey kemudian menyuruh Natha menunggu sebetar, ia cari kuas cat yang mungkin tersimpan di dalam rumah, lalu ketika sudah ia dapatkan dua kuas bersih, ia serahkan salah satunya pada Natha.

Penutup kaleng cat dibuka dengan susah payah, bernafas lega saat penutupnya sudah terbuka. Natha mencelupkan kuasnya ke dalam cairan cet berwarna pink, lalu mengoleskannya pada telapak tangan sebelah kiri.

Harvey mengikuti apa yang Natha lakukan, ia mengoleskan telapak tangan kanannya dengan cairan cat berwarna putih. Setelah telapak tangannya terutup sempurna dengan cat, ia menoleh ke arah Natha yang juga menatapnya.

“Mau disebelah mana?” Tanya Harvey.

“Di atas yang kecil-kecil.”

Lalu telapak tangan mereka menempel pada dinding, berposisi tepat diatas empat telapak tangan yang sudah ada sebelumnya.

Natha tersenyum begitu tipis, menatap tangannya dan juga tangan Harvey. Terdiam beberapa saat sebelum ia tersentak dengan satu tangan yang ikut menempel di dinding, kepalanya menoleh, ia dapati wajah Nasha yang tersenyum lebar ke arahnya.

Mata Natha mengerjap, ia menolehkan kepalanya ke sisi lain, tepat disebelah tangan Harvey, ada satu tangan juga yang ikut terulur. Jantungnya mendadak berdegup, seseorang berdiri di samping Harvey namun Natha tidak bisa melihat wajahnya.

Dengan perlahan, kepala seseorang yang berada di sebelah Harvey bergerak maju, pandangan Natha mendadak buram, lalu ia dapati seorang gadis berkepang dua tersenyum ke arahnya.

Natha tiba-tiba tersentak, bergerak mundur lalu jatuh terduduk. Ia kehilangan fokusnya.

“Nath! Hei!” Harvey berseru panik, ia menepuk pipi Natha hingga sang empu tersentak kembali masuk ke dalam kesadarannya. “Nath!”

Kelopak matanya mengerjap cepat, Natha menatap linglung ke arah Harvey yang menunjukan ekspresi khawatir. Bola matanya bergulir, menatap telapak tangannya lalu menatap ke arah dinding, ia dapati hanya ada dua telapak tangan diatas telapak-telapak kecil.

“Nath, denger gua kan?” Harvey kembali berseru, membuat Natha menoleh ke arahnya.

Kepala Natha mengangguk patah-patah, “Denger, denger. Sorry tadi gua, gua,”

“Shhh, udah, udah.” Harvey menyela cepat, ia kemudian bantu Natha untuk bangkit dari posisinya. “Sekarang mandi yuk? Apa mau dilap aja? Baju lo kotor soalnya, keringetan juga.”

“Gua mau mandi aja deh.”

Dengan begitu, Harvey membawa masuk Natha ke dalam rumah. Meninggalkan kaleng cat yang masih terbuka tutupnya.

Sorot matanya masih menatap khawatir ke arah Natha walaupun suami cantiknya itu mengatakan jika dirinya tidak apa-apa. Tapi Harvey yakin, sesuatu pasti sempat terjadi di dalam pikiran Natha saat mereka menempelkan tangan ke dinding rumah.

Selesai mandi, dan mereka sudah dalam keadaan lebih segar, Harvey mengajak Natha untuk berkunjung ke rumah Kang Ujang. Sepeda coklat di sisi rumah diambil kembali, berboncengan melewati jalanan setapak dan pohon-pohon pinus.

Mereka bergegas pulang saat matahari mulai bergerak condong ke ufuk barat.

TW // Mention of murdering, kidnapping, and gun.


Keluarga Tanjung menyebutnya, the lake house.

Sebuah rumah di tepi danau kecil, dikelilingi rimbunan pohon pinus yang meneduhkan, serta tanaman bunga berbagai jenis ikut mengelilingi di sisi-sisi rumah. Bangunannya disusun oleh kayu-kayu kokoh kualitas terbaik dengan jendela-jendela besar menghiasi setiap sudut, dan sebuah ayunan kecil tepat berada di teras depan.

Terasa begitu hangat dengan ukurannya yang tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Coretan-coretan khas anak-anak turut menghiasi dinding rumah, jejak telapak tangan kecil pun masih membekas tak termakan waktu.

Angin berhembus dingin, roda-roda mobil berputar menyentuh jalanan setapak yang masih basah terkena air hujan. Kabut bergulung tipis, suasana tenang menyambut ketika Natha menurunkan jendela mobil, menghidup udara segar dengan bau khas tanah basah yang bercampur dengan pepohonan.

Setelah menempuh perjalanan hampir selama empat jam lamanya, melewati jalan beraspal hingga berakhir melewati jalanan perkampungan yang masih tersusun oleh bebatuan kecil, mereka akhirnya tiba di tempat yang menjadi tujuan mereka.

Tepat berada di punggung bukit, membuat suasana masih begitu asri. Jauh dari hiruk pikuk ibu kota yang semerawut. Rumah yang pernah menjadi saksi hangatnya masa kanak-kanak Harvey itu perlahan mulai terlihat, lampu-lampunya kemudian menyala, seakan-akan menyambut kedatangan mereka berdua.

Pedal gas dilepas, rem diinjak, mobil kemudian berhenti tepat di depan teras rumah. Seorang lelaki tua berdiri samping tangga, tersenyum ke arah mereka, menyambut kehadiran salah satu anggota keluarga Tanjung yang sudah lama sekali tidak berkunjung.

Harvey menoleh ke arah Natha yang masih memandang takjub pemandangan di sekeliling, pundak suami cantiknya itu ia tepuk, mengisyaratkan Natha agar segera turun.

Tubuh yang pegal diregangkan, Natha tarik satu nafas panjangnya, lalu senyum tipis mengembang. Bola matanya berbinar lucu ketika mendapati mawar-mawar berbagai warna serta cantiknya daisy yang turut memanjakan mata.

“Nath, sini.” Harvey menggerakan tangannya memberi instruksi agar Natha mendekat, senyumnya merekah semakin lebar ketika Natha sudah berada tepat di sampingnya. “Kenalin, ini Kang Ujang. Beliau yang ngerawat rumah ini buat keluarga Tanjung, udah dari jaman gua kecil.”

Tangan Natha terulur, matanya menyipit ketika pipinya tertarik ke atas. “Natha Dimitri, Kang.”

Kang Ujang seketika tertegun, senyum di wajahnya tiba-tiba menghilang. Kelopak matanya mengerjap cepat, ia menoleh bergantiam ke arah Harvey dan Natha dengan raut tak percaya, membuat Natha mengeryit heran lalu melirik ke arah Harvey.

“Ahh, iya, Natha.” Ekspresi wajah Kang Ujang berubah kembali, ia menjabat tangan Natha dengan senyumnya yang kembali merekah. “Ujang bin Jajang, tapi biasa dipanggil Kang Ujang.”

Jabatan tangan kemudian terlepas, Natha menoleh kembali ke arah Harvey begitu juga dengan Kang Ujang. Paham dengan situasi yang ada, Harvey kemudian menepuk pundak Natha.

“Langsung istirahat aja ke dalem, Nath. Biar barang-barang nanti gua yang turunin.”

Alis Natha mengeryit, giliran ia yang menatap bergantian ke arah Harvey dan Kang Ujang. Tapi kepalanya kemudian mengangguk patah-patah, agak bingung juga dengan atmosfer yang terjadi.

“Oh iya, mangga. Langsung istirahat aja, rumah udah Akang beresin kok tenang, semuanya bersih, kinclong, tanpa noda.” Sahut Kang Ujang sambil terkekeh. Ia kembali tersenyum ramah ke arah Natha. “Nanti kalo butuh apa-apa tinggal panggil aja, siap 24 jam kayak spbu di perempatan depan. Cuman kalo lagi boker, hampura, itu mah tugas negara yang gak bisa diganggu, hehehe.”

Natha tertawa kecil, kepalanya kemudian menoleh ke kanan dan ke kiri, satu tarikan nafas panjang diambil. Kakinya kemudian melangkah mendekat ke arah rumah, memperhatikan setiap detail bangunan yang sama sekali tidak termakan waktu ini.

Derit kayu terdengar ketika kakinya menapaki tangga kecil yang berada di teras depan, menoleh kembali ke arah Harvey yang memberikan kode agar Natha masuk ke dalam. Ia tatap kembali Kang Ujang yang masih tersenyum lebar ke arahnya, Natha berbalik, bahunya naik sekilas, lalu melanjutkan langkahnya menuju ke dalam rumah.

Aroma khas kayu bercampur dengan aroma manis yang hampir mirip dengan aroma sandalwood menyambut Natha ketika ia sudah berada di dalam ruangan. Ornamen-oramen tua serta hiasan gantung yang cukup antik menghiasi dinding, ada beberapa foto juga yang terpajang, yang mana Natha tahu jika itu adalah foto-foto milik keluarga Tanjung.

Hal pertama yang Natha lihat adalah kamar tidur. Rumah ini dilengkapi dua kamar tidur yang berukuran sedang, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, serta sebuah teras yang lebih lebar dari teras depan di bagian belakang.

Natha susuri terlebih dahulu lorong kecil yang memisahkan dua kamar tidur itu, diujungnya, terdapat sebuah kamar mandi dengan ukuran kecil. Kepalanya melongo ke arah salah satu kamar yang pintunya terbuka, dengan dipan yang mengarah langsung ke area danau.

Kakinya melangkah masuk, bola matanya mengedar menelusuri sudut-sudut kamar. Tidak terlalu banyak barang, hanya sebuah meja panjang, kasur, serta lemari. Natha mendekat ke arah jendela besar dengan balkon yang terhubung ke teras belakang, melihat ke arah sekeliling lalu ia dudukan dirinya di ujung kasur.

“Enak juga tempatnya.” Kepalanya mendongkak, menatap langit-langit kamar. “Cocok banget buat nyari ketenangan kalo lagi ruwet.”

Natha terdiam beberapa saat sebelum kembali bangkit, ia berjalan keluar dari kamar, namun langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Alisnya mengernyit, menatap pintu coklat di depannya yang terdapat empat jejak tangan anak-anak berbagai warna. Penasaran, Natha mendekat, gagang pintu diraihnya, namun pergerakannya tertahan ketika menyadari jika pintu kamar di hadapannya ini dalam keadaan terkunci.

Jejak tangan itu Natha tatap kembali, mungkin dari empat anak yang berbeda karena ukurannya yang tidak sama. Tidak mau ambil pusing, Natha kemudian beralih mengecek ke arah kamar mandi, standar, seperti kamar mandi di rumah-rumah pada umumnya.

Tujuannya kini beralih, menuju ruang tengah termpatnya pertama kali menginjakan kaki, yang mana menjadi pembatas antara area tidur dengan area dapur, sebelah kirinya langsung menuju ke arah teras depan, sedangkan sebelah kanannya menuju ke arah teras belakang.

Dinding dipenuhi dengan hiasan berbagai bentuk dan ukuran, sertifikat-sertifikat penghargaan yang dibingkai, dan foto-foto milik keluarga Tanjung. Tanpa Natha sadari, kakinya melangkah mendekat ke arah foto-foto yang tersusun rapih di dinding.

Matanya menelisik, memperhatikan setiap potret, lalu secara refleks tangannya terulur, menyentuh salah satu bingkai yang terdapat foto Harvey ketika masih kecil. Wajahnya tidak banyak berubah, hanya Harvey yang sekarang mungkin terlihat sedikit menyebalkan, yang paling menonjol adalah lesung pipinya terlihat begitu manis sedari dulu.

Bola matanya bergulir, memperhatikan potret yang lain. Kebanyakan didominasi oleh Harvey pada masa kanak-kanaknya, entah itu Harvey yang sedang menangis, cemberut, ataupun tertawa lepas menghadap ke kamera. Natha kemudian terkekeh ketika mendapati salah satu foto Harvey, mungkin saat masa sekolah, dengan rambutnya yang terpotong model emo.

Ia susuri lagi foto-foto itu, lalu fokusnya terhenti pada salah satu foto dengan bingkai coklat, Natha ambil satu langkahnya lebih dekat. Matanya menatap dengan seksama, sebuah foto dengan siluet empat orang anak yang duduk di ujung jembatan yang menjorok ke arah danau. Wajah mereka tidak terlihat karena membelakangi kamera, namun Natha tahu jika diantara empat anak itu salah satunya adalah Harvey.

Natha termenung, menatap lekat-lekat ke arah potret tersebut dengan alisnya yang mengkerut. Telinganya secara tiba-tiba bisa samar-samar mendengar suara gelak tawa anak-anak, lalu potret itu seakan-akan berubah seperti sebuah video pendek, mempertontonkan bagaimana anak-anak itu saling bercanda pada satu sama lain.

Lalu, saat seorang anak perempuan berkepang dua menoleh ke arah belakang, lamunan Natha buyar. Kelopak matanya mengerjap cepat, kakinya refleks mengambil satu langkah mundur. Ia gunakan kedua tangannya untuk mengucek mata, lalu kembali menatap potret yang tiba-tiba tidak terasa asing itu.

Fokusnya kemudian beralih pada sudut bingkai, tertulis sebuah huruf dengan inisial 'HHNN' disana. Ia terdiam kembali, begitu lama tanpa menyadari jika Harvey berjalan mendekat ke arahnya.

Pundaknya di tepuk. “Nath.”

“Anjing!” Natha terlonjak kaget, ia langsung menoleh ke arah Harvey yang kini malah terkikik itu. “Lo bisa gak sih gausah ngagetin gua.”

“Sorry.” Kata Harvey dengan tawanya yang mereda. “Ngeliatin apa?”

“Enggak, gak ngeliatin apa-apa.” Kepalanya menggeleng cepat. Natha kemudian menoleh ke arah teras depan dan tidak mendapati Kang Ujang disana. “Kang Ujang kemana?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.

“Pulang, nanti malem kesini lagi buat nganter makanan.” Harvey kemudian menoleh sekilas ke arah teras belakang lalu menatap Natha kembali. “Mau liat ke belakang gak?”

Arah pandang Natha berubah, kepalanya kemudian mengangguk. “Boleh.”

Natha kemudian mengekori Harvey dari belakang, pintu terbuka, angin dingin berhembus masuk ke dalam ruangan. Natha lipat kedua tangannya di depan dada, begitu sudah berada di teras belakang, ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri kembali, memperhatikan keadaan di sekeliling rumah.

“Rumahnya masih di urus banget ya.”

“Iya, kan Kang Ujang yang ngurus.” Kepala Harvey mengadah, memperhatikan deretan pohon-pohon pinus dan awan mendung yang tidak terlalu pekat. “Di sebelah sana, ada kebun bunga. Gak keliatan soalnya ketutup sama rumput, kalo mau, besok pagi gua ajak lo kesana buat jalan-jalan.”

“Kebun bunga punya siapa?” Tanya Natha.

Harvey menoleh ke arah Natha yang sudah berada tepat di sampingnya. “Masih punya keluarga Tanjung. Dulu Mama yang suka nanem bunga disana, cuman semenjak Mama mulai sibuk, jadi yang ngurus juga Kang Ujang. Kita udah lama banget gak kesini.”

“Oh ya?”

“Iya. Mungkin terakhir tiga atau empat tahun lalu? I dont know, pokoknya sebelum gua berangkat ke Amerika buat lanjut study S2. Itu pun cuman sebentar.”

Natha mengangguk tipis. “Lama juga ya.”

“Ya begitu lah.” Harvey kemudian meraih tangan Natha, membuat Natha langsung memandang bingung ke arahnya. “Mau liat cermin ajaib gak?”

“Hah? Cermin ajaib?” Natha membeo, membuat Harvey kembali terkekeh lalu menarik tangan Natha agar mengikuti langkahnya menyusuri jembatan. “Cermin ajaib apa dah?”

“Udah liat aja nanti.”

Mereka berdua berjalan ke arah ujung jembatan, yang mana Natha tau jika foto empat anak-anak itu diambil di tempat yang ia pijak saat ini.

Harvey kemudian memberikan instruksi dengan menunjuk ke arah bawah, alis Natha mengeryit kembali, ia kemudian sedikit memajukan langkahnya pada sisi jembatan lalu menatap ke arah pantulan air.

“Mana? Gak ada cermin ajaibnya.” Ucap Natha sambil memperhatikan ke arah air. “Bohong ya lo.”

“Itu namanya cermin ajaib.” Sahut Harvey sambil ikut menatap pantulannya di atas air. “Perhatiin baik-baik.”

Mata Natha kemudian menyipit, lebih memperhatikan ke arah air lalu perlahan ia bisa melihat banyaknya ikan-ikan kecil yang berada disana.

“Eh! Ada ikannya!” Telunjuknya menunjuk ke arah air. “Cupang bukan sih? Kayak cupang.”

Harvey mengangguk. “Iya, cupang itu. Disebut cermin ajaib karena kalo kita ngeliat pantulan di atas air, nanti kelama-lamaan kita juga bisa ngeliat apa yang ada di dalem air.”

“Kayaknya bagus deh kalo gua melihara cupang di rumah.” Gandengan tangannya Natha lepas, ia kemudian merunduk, berjongkok di sisi jembatan. “Banyak banget! Fix ini kayaknya kalo gua bisnisin bisa laku.”

Gelak tawa Harvey menggema, ia ikut menjongkokan dirinya di samping Natha, menatap ikan-ikan yang masih berenang dengan cantik itu. “Sayangnya gak boleh diambil, nanti penghuninya marah.”

“Eh,” Natha langsung menoleh cepat ke arah Harvey dengan matanya yang melotot. “Seriusan?”

“Hahaha, bercanda.”

Pundak Harvey di dorong oleh Natha, hingga suaminya itu terduduk di atas papan jembatan. “Gak lucu!”

Rambut Natha kemudian di usak pelan, Harvey tarik belakang kaos yang Natha pakai hingga Natha ikut terduduk disebelahnya. Kepalanya kemudian bergerak perlahan dari kiri ke kanan, menatap pemandangan yang tersaji.

“Tempatnya bagus gak, Nath?” Tanya Harvey pelan.

Natha mengangguk. “Bagus, masih asri banget. Apalagi banyak bunga-bunga juga yang tumbuh subur disini.”

“Lo suka banget sama bunga, ya?”

“Ya gitu.” Natha terkekeh kecil, kepalanya mendongkak dengan kedua tangannya yang menopang tubuh. “Mereka cantik, makanya gua suka. Apalagi pas ngeliat mawar sama daisy di pekarangan depan, rasanya pengen gua peluk.”

“Di kebun punya Mama juga banyak mawar. Kalo besok cuacanya bagus, gua ajak lo jalan-jalan kesana.”

“Ya kan tadi lo udah bilang.” Natha memutar bola matanya malas. “Hahh, lo tau gak sih, Vey, rasanya ngeliat alam kayak gini tuh seakan-akan bikin lo lupa sama segala kerumitan hidup.”

Angin dingin gunung kembali berhembus, mengerakan anak-anak rambut yang menutupi dahi. Natha memejamkan matanya, menarik nafas panjangnya kembali lalu membuangnya dengan perlahan.

“Lo kayaknya waktu kecil suka banget kesini ya.” Sambung Natha. “Banyak foto lo yang diambil disini.”

“Setengah masa kanak-kanak gua disini, Nath.” Perkataan Harvey terjeda sejenak. “Dulu, gua sering banget kesini buat main, pokoknya seminggu bisa dua kali sampe tiga kali kesini. Gak tau kenapa tempat ini emang bener-bener bikin nyaman.”

“Gila, apa gak capek pulang perginya?”

Harvey menggeleng. “Dulu rumah gua di deket sini sebelum pindah, Nath. Kadang kalo gua lagi bandel, gua naik sepeda buat kesini.”

“Sama temen-temen lo yang ada di foto itu ya?” Tanya Natha kembali.

Kepala Harvey refleks menoleh, menatap ke arah Natha yang juga menatapnya. “Foto yang mana?”

“Yang ada empat bocah lagi duduk di pinggir sini.”

Dahi Harvey mengeryit, ia menatap Natha sambil menerka-nerka foto mana yang suami cantiknya itu maksud. Lalu ketika ia sudah mengingatnya, Harvey mendengus geli, ia alihkan kembali tatapannya ke arah danau.

“Duanya itu emang temen gua.” Helaan nafas berat terbuang. “Tapi yang satu, bukan.”

“Yang mana?”

“Yang rambutnya di kuncir dua.”

Rasa penasaran Natha semakin menjadi. “Emangnya itu siapa?”

Ada keheningan cukup lama diantara mereka berdua, Natha masih menatap penasaran ke arah Harvey yang terdiam. Begitu bola mata Harvey melirik ke arahnya, Natha refleks mengedipkan kelopak matanya cepat.

“Itu Kakak gua, Nath.”

“Hah?!” Suara Natha menggema cukup kencang, membuat beberapa burung yang bertengger di dahan terdekat seketika terbang. “Kakak lo? Lo punya kakak? Bukannya lo anak tunggal?”

“Sekarang, dulu enggak.” Harvey tersenyum tipis. “Gua punya Kakak cewe, Natha. Dia cantik, rambutnya selalu di kepang dua, mirip banget sama Mama. Kalo lo bertanya-tanya dia kemana, dia udah ke tempat paling indah. Makanya sekarang gua sendiri.”

Tidak ada sahutan dari Natha, membuat keheningan diantara mereka tercipta kembali.

“Dia pergi waktu gua umur duabelas, udah belasan tahun lalu. Namanya Hadley, Hadley Tanjung.”

“Hadley Tanjung.” Ulang Natha sambil berbisik.

Harvey menoleh kembali ke arah Natha. “Rumah ini sebenernya di dedikasikan buat dia, Nath. Kalo lo tadi sempet mau ngebuka kamar yang ke tutup tapi ternyata gak bisa, itu karena isinya barang-barang Kakak gua, dan kuncinya Mama yang pegang. Makanya kamar itu gak pernah kebuka. Bahkan jendelanya pun di kunci mati biar gak ada yang nyoba masuk.”

“Terus yang duanya lagi, siapa?”

“Temen-temen gua, bokap mereka dulu deket banget sama Papa, banget, temen satu kuliahannya Papa. Makanya gua sering ajak mereka kesini. Sebelum akhirnya gua pindah, dah mereka pun juga mutusin buat pindah.”

“Jadi lo gak tau kabar temen-temen lo itu?”

Senyuman tipis Harvey berikan sebagai jawaban, ia menatap lurus ke dalam bola mata Natha yang bulat. Harvey kemudian menggeleng, helaan nafas kembali terlepas. Natha yang paham dengan respon yang Harvey berikan, buru-buru merubah topik pembicaraan.

“Lo dulu emangnya suka main apa disini?” Tanya Natha kembali. “Sampe kayaknya betah banget.”

“Banyak. Dulu di depan teras depan ada pohon jambu lumayan besar, gua sering manjat ke sana. Kadang juga muter-muter area sini sambil kejar-kejaran naik sepeda, atau kalo cuaca lagi panas banget kita nyebur ke danau.”

“Seru banget.” Suara Natha mengalun iri.

“Kalo masa kanak-kanak lo, gimana?”

Masa kanak-kanak

Natha seketika terdiam, ekspresi wajahnya berubah. Ia membuang pandangannya ke arah papan jembatan. “Masa kanak-kanak ya?” Ulangnya pelan.

Sel-sel otaknya bergerak cepat, mengumpulkan memori lama yang sudah tidak pernah terlintas kembali di pikiran Natha. Masa kanak-kanaknya seperti apa? Natha tidak tahu, hanya sebuah bayangan gelap yang selalu hadir ketika ia berusaha mengingat kembali.

“Gua gak tau.” Sahutnya pelan, hampir berbisik. “Gua gak inget apa-apa.”

“Maksudnya?”

“Gua gak tau apa-apa tentang masa kanak-kanak gua, Harvey.” Ia membuang nafasnya berat. “Yang gua inget sampe sekarang, cuman suasana rumah sakit. Gak ada yang namanya main sepeda, manjat pohon, atau nyebur ke danau.”

Posisinya Harvey geser agar lebih mendekat ke arah Natha. Ia lipat kedua kakinya, lalu sebelah tangannya bergerak menyentuh punggung tangan Natha.

“Bunda bilang, gua sakit. Memori gua ilang, atau bisa dibilang gua amnesia. Ditambah gua koma selama beberapa bulan.” Natha tersenyum kecut. “Gua gak inget apa-apa tentang masa kanak-kanak gua, yang gua inget cuman waktu itu gua bangun, di salah satu rumah sakit di Jerman. Gua gak tau kenapa gua bisa kesana, gak tau gua sakit apa, Bunda cuman bilang kalo gua sakit parah dan gua harus dibawa berobat kesana.”

“Bener-bener gak inget?”

Natha menggeleng. “Enggak sama sekali. Semuanya kayak gua ngebuka lembaran yang bener-bener baru, yang gua inget ya cuman masa-masa remaja gua waktu di Jerman, sampe akhirnya balik lagi kesini waktu gua mau masuk kuliah.”

Natha rasakan punggung tangannya di usap pelan oleh Harvey. “Gua sampe sekarang juga masih suka bertanya-tanya tentang masa kecil gua, Vey. Tapi Nasha selalu bilang kita main kayak anak-anak pada umumnya. Ya jadi gua selalu beranggapan kalo masa kanak-kanak gua menyenangkan sama kayak yang lain.”

“Gua yakin, masa kanak-kanak lo juga gak kalah serunya.” Harvey tersenyum tipis. “Sebagian anak-anak, dunia mereka cuman diisi sama kebahagiaan. Mungkin karena saking banyaknya moment bahagia, sampe mereka gak bisa inget satu per satu.”

“Mungkin.”

Hening kembali. Baik Harvey maupun Natha tidak ada yang membuka suaranya selama beberapa saat.

Lalu helaan nafas terdengar berat.

“Hadley pergi karena dibunuh, Nath.”

Bola mata Natha seketika membulat, kelopaknya mengerjap cepat dengan tubuhnya yang tiba-tiba meremang. Menatap Harvey dengan raut wajah tidak percaya.

“Dibunuh?” Ulang Natha gagap. Terlalu terkejut dengan pernyataan Harvey barusan. “M-maksudnya?”

“Waktu itu, bisnis Papa lagi melejit-melejitnya, tawaran kerja sama di sana-sini. Mungkin ada orang yang gak suka sama kesuksesan Papa, jadi dia ambil Hadley buat jadi peringatan.”

Natha tidak sanggup menyahut.

“Waktu itu, Hadley pergi sama satu temen gua yang ada di foto buat main ke kebun Mama. Tapi mungkin mereka ngelangkah terlalu jauh, dan gak adanya pengawasan dari siapapun ngebuat mereka diculik. Hampir dua minggu lamanya Hadley ngilang, keluarga gua udah ngerahin segala cara biar mereka berdua ketemu dalam keadaan selamat, tapi mungkin emang udah takdirnya Hadley pergi dengan cara itu.”

Harvey lempar jauh pandangannya kembali ke arah riaknya air danau akibat angin yang berhembus.

“Tempatnya gak jauh dari sini, mungkin sekitar dua sampai tiga kilometer lebih naik ke atas lagi. Ada rumah kecil yang lama gak diurus, tepat di sisi hutan, dan mereka berdua ditemuin di sana setelah hampir dua minggu menghilang. Kita semua gak bakalan nyangka kalo mereka bakalan ditemuin di tempat itu, bahkan polisi pun bingung karena tempat itu udah pernah di cek tapi waktu mereka dateng kesana, masih belum ada apa-apa. Mungkin saat itu Hadley lagi di bawa ke tempat lain.”

Harvey menarik satu napas panjang.

“Hadley udah dalam keadaan gak bernyawa karena benturan hebat di kepala, sedangkan temen gua yang ikut sama Hadley, kritis. Mereka basah kuyup, kemungkinan karena di ceburin ke kolam yang ada di belakang rumah itu, baru setelahnya di siksa.”

“Terus pelakunya?”

“Pelakunya ketemu, udah di jatuhi hukuman mati karena kasus pembunuhan.” Harvey melirik ke arah Natha sekilas. “Tapi dalangnya, sampe sekarang masih terus dicari tau.”

Jari-jari Natha tiba-tiba bergetar, nafasnya mendadak tercekat. Ia menelan ludahnya berat, “Sampe sekarang?”

“Iya,” Kepala Harvey mengangguk. “Itu alesan gua kenapa gua protective banget sama lo, Nath. Gps itu bukan semata-mata karena gua posesif, bukan, itu karena gua gak mau ngerasain kehilangan buat kedua kalinya. Gua takut orang itu balik buat ngancurin keluarga Tanjung.”

Natha kira ia sudah tau segala seluk beluk keluarga Tanjung, tapi nyatanya ia salah, masih banyak hal yang belum ia ketahui sepenuhnya.

“Selepas pemakaman Hadley, kita sekeluarga mutusin buat pindah ke tempat yang lebih jauh. Sampe akhirnya Papa mutusin buat tinggal di rumah yang sekarang.”

“Terus temen lo itu?”

“Keluarga mereka pun mutusin buat pindah, buat nyari pengobatan lebih modern biar anaknya bisa selamat. Sejak itu keluarga gua putus kontak, gak ada kabar lagi selama bertahun-tahun lamanya. Sampe akhirnya gua denger kabar kalo temen gua itu sembuh, tapi keluarga gua sama keluarga dia mutusin buat jaga jarak karena takut terulang kejadian yang sama.”

“Gua.. baru tau ada orang sejahat itu.”

“Banyak orang jahat, Natha. Tapi lo gak bisa ngeliat mereka satu persatu karena mereka pake topeng.”

“Berarti sampe sekarang, dalang pembunuhan itu masih bisa bernafas bebas?”

“Bisa dibilang begitu.” Nafas berat kembali terbuang. “Dulu, keluarga gua terlalu sepele buat mahamin kode-kode yang dikirimin sama pembunuh itu, Nath. Mereka selalu ngirimin paket kosong ke rumah, kita nganggep itu mungkin cuman orang iseng. Tapi setelah Hadley pergi, ada satu paket dateng, isinya ngirim foto-foto selama mereka berdua di siksa dan kata-kata peringatan. Di box itu, selalu tertera nama Amatsira.”

“Amatsira?”

“Nama yang sama di paket yang dua kali di kirim ke lo atas nama gua.”

“Hah?”

Natha seketika kehilangan fokusnya.

“Gua kayak ini karena gua takut, Nath. Gua gak mau ada hal buruk terjadi sama lo karena nikah sama gua, gua gak mau. Ditambah sama orang misterius yang ngikutin lo akhir-akhir ini, gua yakin kalo sedikit aja keluarga Tanjung lengah, bukan gak mungkin lo yang bakalan kena imbasnya.”

Tangan Harvey kemudian bergerak menuju belakang tubuhnya, meraih benda yang terikat di belakang pinggangnya. Sebuah beretta tertaruh di pangkuan Natha.

“Pegang itu, buat jaga-jaga.”

“Harvey, Harvey.” Natha menatap pangkuannya serta wajah Harvey berulang kali. “Gila, sumpah, Harvey lo gila. Vey, ini, anjing, ini beneran?”

“Tes aja kalo gak percaya.”

“Demi Tuhan, gua lemes, bangsat, singkirin dulu, Harvey, astaga.”

Natha benar-benar tergagap, kepalanya mendadak pening melihat sebuah senjata aktif berada di pangkuannya. Harvey terkekeh kecil, ia malah mengusak rambut Natha kembali.

“It's okay, doll.”

“It's okay, it's okay, kepala lo kotak! Harvey seriusan ini ya Tuhan, singkirin dulu.”

Melihat Natha yang bergetar, Harvey kemudian meraih kembali beretta itu lalu menyelipkannya lagi di belakang tubuh. Natha membuang nafasnya gusar, jantungnya masih berdegup kencang.

“Astaga, sorry, sorry.” Harvey kemudian merangkul pundak Natha yang bergetar, ia berikan satu kecupan di pelipis Natha. Agak tergelak juga karena Natha yang biasanya seperti macan itu tiba-tiba mendadak ketakutan karena sebuah beretta. “Iya, iya, gak akan gua keluarin lagi.”

“Lo anjing banget sumpah.”

“Maaf.”

Nafas Natha menderu, ia melirik jengkel ke arah Harvey yang kini malah tersenyum itu. Ia gunakan sikunya untuk menyikut Harvey.

“Nath.”

“Gausah manggil-manggil.”

Harvey kembali tergelak, ia berikan satu kecupan lagi di pelipis Natha yang masih memasang ekspresi jengkel ke arahnya itu.

Keduanya kembali terdiam, Harvey taruh tangannya kembali di atas pundak Natha. Helaan nafas keduanya keluar bersamaan, kepala mendongkak, menatap gulungan awan yang semakin menghitam, tanda-tanda hujan akan turun kembali.

“Tapi, Harvey,”

“Apa?”

“Orang itu, apa selalu ngirimin paket yang sama setiap waktunya setelah kepergian Hadley?”

Harvey menggeleng. “Enggak. Terakhir dia ngirimin bukti-bukti foto itu, sampe akhirnya paket itu dateng lagi waktu gua udah sama lo.”

“Berarti..”

“I promised, you'll be safe, Natha.” Harvey menyela cepat. “Gak ada yang boleh nyentuh punya gua. Punya Harvey Tanjung.”

Jika dalam topik pembicaraan ringan, mungkin pipi Natha akan merona merah mendengar ucapan Harvey barusan. Namun kali ini malah pikirannya yang mendadak berkecamuk mendengar semua ucapan yang Harvey katakan.

“Gua udah ngimpulin beberapa petunjuk buat tau siapa dalangnya. Tapi petunjuk-petunjuk itu masih terlalu abu-abu, cuman nama Amatsira yang jadi pondasi awal kasus ini bisa terpecahkan.”

“Amatsira.” Natha bergumam ulang, ia tiba-tiba merasa tidak asing dengan nama itu. “Amatsira kalo dibalik jadi, Aristama?”

Kepala Harvey dengan cepat menoleh, menatap Natha yang juga menatapnya dengan wajah bingung. “Aristama?”

“Siapa dari semua relasi Papa yang namanya Aristama? Atau ada Aristama-nya?” Tanya Natha.

Kening Harvey mengernyit, dari semua orang-orang terdekat dengan keluarganya, tidak ada yang memiliki nama Aristama. Nama itu begitu asing.

“Papa gak punya satu pun temen atau relasi yang namanya Amatsira maupun Aristama.” Sahut Harvey dengan nada datar. “Gua udah cek semua temen-temen Papa, bahkan temen-temen dari Bokap temen gua yang ikut di culik waktu itu, gak ada yang punya nama itu.”

“Tapi bisa jadi, dalang dari kasus keluarga lo kuncinya di nama itu.”

Natha menunggu, ia menatap lurus ke arah wajah Harvey yang kini berubah begitu datar. Rahangnya mengeras, lalu hembusan nafasnya kembali terhela gusar.

“Mungkin iya.”

Arah pandang teralih kembali. Natha mengeryit, setelah menyebut nama tadi, ada satu perasaan yang mengganjal di dalam pikirannya. Namanya tidak begitu asing untuk Natha, seperti ia pernah mengetahui nama itu sebelumnya.

Mereka terdiam selama beberapa menit, sibuk dengan isi kepala yang mendadak penuh dan ramai. Harvey lepas rangkulannya dari bahu Natha, lalu menyentuh punggung tangan Natha kembali.

“Yuk masuk, udah mau ujan. Gua tau lo capek, mending istirahat dulu aja.”

Harvey bangkit dari posisi duduknya, ia membenarkan pakaiannya sekilas, kepalanya menunduk menatap Natha yang masih terdiam di tempat. Tapi satu hal yang pasti, Harvey tidak mungkin menceritakan hal yang sebenarnya pada Natha untuk saat ini.

“Nath? Ayo.”

Alis Natha semakin mengeryit, tidak menghiraukan ajakan Harvey barusan.

“Natha?”

“Sebentar,” Natha menahan pergerakan tangan Harvey yang menarik sebelah tangannya, ia mendongkak, menatap ke arah Harvey lekat-lekat. “Gua kenal seseorang yang punya nama Aristama.”

“Siapa?”

“Ellio,” Nada suara Natha terdengar pelan. “Ellio Aristama.”

Harvey seketika terdiam, keheningan kembali menyergap, tapi Natha langsung menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil.

“Tapi gak mungkin Ellio lah, kebetulan aja gua inget nama dia ada Aristama-nya makanya langsung inget ke dia.” Natha bangkit, ia menepuk belakang celananya yang sedikit kotor. “Jadi mustahil juga ada hubungannya sama Ellio, perkara nama sama doang. Banyak orang yang punya nama Aristama, kan?”

Harvey masih terdiam, membuat Natha langsung berdecak lalu menarik tangan Harvey untuk masuk ke dalam rumah kembali.

“Udah ayo masuk, gua capek mau rebahan.”

Tangannya ia biarkan di tarik oleh Natha, matanya memandang lekat ke arah kepala bagian belakang suami cantiknya itu dengan pikiran yang berkecamuk.


Hari menjelang malam, angin berhembus semakin kencang, membuat kain-kain gorden berkibar mengikuti hembusan angin.

Harvey termenung, termanggu pada pikirannya sendiri yang berkelana entah kemana. Matanya memandang lurus ke arah depan, tepat ke arah danau yang gelap. Sebelah tangannya ia sampirkan di pundak Natha yang masih tertidur pulas.

Sebuah pikiran terlintas di kepala Harvey.

Bagaimana jika Natha tau kalau teman yang Harvey maksud tadi adalah, dirinya?

Kepalanya menoleh, nafasnya terhela. Harvey merunduk untuk mencium pucuk kepala Natha sekilas. Ia tarik selimut hingga menutupi sampai leher Natha, karena udara benar-benar sudah sangat dingin tanpa adanya tambahan dari pendingin ruangan.

Dulu, jauh sebelum hari dimana Harvey kembali bertemu dengan Natha secara tak sengaja di parkiran basement, mereka adalah anak-anak yang menempelkan jejak-jejak tangan di dinding rumah danau ini.

Perjodohan serta pernikahan diantara mereka bukan karena semata-mata hanya sebuah kebetulan belaka tentang orientasi mereka yang sama. Bukan. Tanjung serta Dimitri sudah merencanakan ini sejak awal, namun dengan pasangan yang berbeda.

Harvey dengan Nasha, sedangkan Natha dengan Hadley.

Persahabatan antara Tanjung dan Dimitri sudah dimulai sejak jaman bangku kuliah. Mereka membangun mimpi bersama, tumbuh bersama sampai akhirnya memiliki keluarga masing-masing. Hubungan mereka semakin mengerat, anak-anak mereka pun turut tumbuh bermain bersama seperti orangtuanya.

Namun setelah insiden itu terjadi, dua keluarga itu memutuskan untuk menjaga jarak hingga bertahun-tahun lamanya. Sampai dimana hari Tanjung mengingat kembali sahabat lamanya yang sudah tidak pernah ia temui lagi, Dimitri serta Tanjung setuju untuk tetap melanjutkan perjodohan yang sudah mereka harapkan sedari dulu.

Walaupun dengan hasil yang berbeda.

Pernikahan Harvey dan Natha juga menjadi salah satu dasar awal pencarian dalang pembunuhan itu kembali. Tanjung serta Dimitri bersepakat untuk memancing sosok itu muncul kembali kepermukaan, dan mereka berhasil melakukannya. Paket-paket kosong seperti dahulu yang hanya berisi sebuah nama itu menjadi buktinya, setelah Harvey dan Natha dinyatakan sah sebagai pasangan.

Kasus penculikan itu, alasannya masih sangat abu-abu sampai sekarang. Entah mungkin karena bisnis, ataupun dendam pribadi.

Tapi Tanjung serta Dimitri belum menemukan pasti siapa dalang dari rencana itu, bahkan aparat-aparat pun sudah bertahun-tahun tidak mendapatkan hasil yang pasti. Membuat Tanjung serta Dimitri memilih untuk mencari tahu sendiri siapa sosok yang telah membunuh Hadley dan melukai Natha.

Harvey menolehkan kepalanya kembali ketika mendapati Natha yang menggeliat, mulutnya menguap lalu menyamankan posisi tidurnya dengan semakin merapat ke arah Harvey.

Ia kira perjodohan ini hanyalah perjodohan biasa pada umumnya, namun selepas makan malam bersama keluarga Dimitri saat itu, baru lah Harvey tahu jika ini merupakan salah satu rencana dua keluarga untuk bisa membalaskan dendamnya pada si pelaku.

Dan Harvey langsung ikut turun tangan, ia tidak mungkin bisa membiarkan hanya Papa dan Ayah Natha yang bekerja sendirian selama ini. Ia juga kehilangan sosok Kakak perempuannya, dendamnya masih bercokol di hati paling dalam.

Lalu, jika ditanya kenapa Harvey membawa Natha kemari, bukan tidak mungkin jika Harvey ingin memancing ingatan Natha tentang masa kanak-kanaknya dulu. Walaupun Natha divonis lupa ingatan, tapi ia yakin, jika memori yang sudah lama terpendam di ingatan Natha bisa muncul kembali saat Harvey membawanya ke sini.

Besar harapan Harvey jika Natha bisa mengingat kembali wajah dalang kasus yang menimpa keluarga mereka dulu.

“Ugh, hnggg, ac-nya matiin dong. Dingin.”

Natha menggeliat, bergumam setengah sadar sambil menarik selimutnya hingga menutupi wajah.

Harvey terkekeh, “Ac apanya, Nath? Disini gak pake ac.”

“Oh? gak pake ac ya, hngg, yaudah anginnya matiin.”

Gelak tawanya menguar, lesung pipi tercipta begitu manis. Harvey buka selimut yang menutupi wajah Natha, membuat Natha mengerutkan alisnya terganggu. Bibirnya mengerucut ketika Harvey tekan kedua sisi pipinya, lalu memberikan beberapa kecupan di bibir Natha.

“Ah! Jangan ganggu!” Natha mendorong wajah Harvey menjauh, ia menyingkirkan tangan suaminya dari wajahnya lalu menutup kembali wajahnya dengan selimut. “Gua ngantuk, kalo mau iseng besok pagi aja.”

“Wake up, baby. Lo belum mandi, belum makan.”

Selimut kembali tersibak, Natha menatap ke arah Harvey dengan matanya yang menyipit. “Mandiin.”

Sebelah alis Harvey naik mendengar ucapan Natha, “Yaudah ayo.”

“Eh!” Kelopak mata Natha terbuka sepenuhnya ketika Harvey langsung mengangkat tubuhnya agar terduduk, kesal, Natha tekan dahi Harvey dengan telunjuknya. “Gausah macem-macem.”

Harvey memejamkan matanya ketika kepalanya terdorong kebelakang, ia kemudian menatap Natha dengan tatapan datar.

“Lo emang bener-bener harus gua masukin di kelas manner sama attitude, Nath.”

“Nye, nye, nye.” Sahut Natha sambil meledek, ia kemudian merebahkan kembali tubuhnya, kelopak matanya terpejam. “Setengah jam lagi tolong bangunin gua.”

Dengan cepat, Harvey menyibak selimut yang menutupi keduanya lalu kembali mengangkat Natha dari atas kasur, menggendongnya seperti sedang memikul karung beras. Natha memberontak, ia memukul-mukul pundak Harvey dengan kakinya yang bergerak acak, berusaha turun dari gendongan suaminya itu.

“Harvey turunin gua gak!”

“Enggak.”

Natha kemudian mengigit pundak Harvey kuat. Membuat Harvey terpekik lalu langsung menurunkan Natha dari gendongannya.

“Sakit, Nath.” Kata Harvey sambil menurunkan sedikit kerah kaosnya, memperhatikan jejak gigi Natha yang berada di sana. “Lo emang bener-bener nakal.”

Natha tertawa, ia kemudian memeletkan lidahnya lalu menepuk pantatnya, meledek Harvey. “Sukurin!”

Mata Harvey menatap tajam ke arah Natha, tapi Natha malah semakin meledek ke arahnya. Mereka berdua berakhir dengan gelak tawa dan berlari saling mengejar mengelilingi ruang tengah.

Angin berhembus dingin, Natha merapatkan selimut tipisnya sampai menutupi seluruh kaki. Matanya fokus menatap layar ponsel, terkekeh pelan begitu melihat postingan-postingan lucu. Dipangkuannya terdapat satu cup ice cream berukuran sedang sebagai teman menonton.

“Nath.”

Natha menoleh, menatap ke arah Harvey yang kini berjalan kearahnya, gumaman singkat ia berikan sebagai jawaban. Kepalanya sedikit mendongkak begitu Harvey sudah berada tepat di depannya.

“Ngapain senyam-senyum gitu?” Tanya Harvey lalu mendudukan dirinya di sebelah Natha. Kepalanya sedikit maju untuk mengintip ke arah layar ponsel Natha. “Kayaknya seru banget.”

Wajah Harvey didorong menjauh. “Jangan deket-deket.”

“Kenapa?”

“Ya gapapa.” Sahut Natha dengan nada cuek, ia menggeser posisinya lebih ke kanan, lalu sedikit menghadapkan badannya ke arah Harvey agar suaminya itu tidak melihat layar ponselnya kembali. “Katanya tadi mau nyuci mobil.”

“Dibawa ke car wash aja nanti.” Jawab Harvey cepat, melirik sekilas ke arah pangkuan Natha. “Abisin itu, keburu cair.”

Arah pandang Natha berpindah, menatap cup ice cream yang masih setia berada di pangkuannya. Sendok kecil diraih, sensasi dingin memenuhi penjuru mulutnya, ia kemudian menyendokan kembali ice cream miliknya lalu mengarahkannya tepat di depan mulut Harvey.

“Aaa.”

Harvey tersenyum tipis, ia kemudian melahap ice cream yang diberikan Natha. “Dingin, Nath.”

“Ya namanya juga ice cream.” Natha menaikan bahunya sekilas, lalu kembali menyendokan ice cream untuk ia makan.

Harvey menyandarkan punggungnya pada punggung sofa, ia menatap layar televisi yang masih menyala, menampilkan adegan film dengan genre romance-comedy itu. Ia kemudian menoleh ke arah Natha kembali, mendapati jika suami cantiknya itu sedang terkekeh kecil menatap layar ponselnya.

Tangannya kemudian terulur, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ibu jari Harvey menyentuh pinggiran bibir Natha. Mengelap mulut Natha yang sedikit belepotan akibat ice cream, dan tanpa Natha duga, Harvey malah mengemut ibu jarinya yang ia gunakan untuk mengelap sisa ice cream di mulut suami cantiknya itu.

“Eh!” Natha terpekik kaget, “Jorok.”

“You such a kid.” Harvey terkekeh, ia kemudian mengambil tissue dari meja lalu mengelap bibir Natha sampai bersih. “Udah jangan dimakan lagi, cuacanya lagi gak baik buat makan ice cream.”

“Gak, mau gua abisin. Tadi katanya disuruh abisin.”

“Iya, sayang, iya.”

Kepala Harvey menggeleng kecil. Ia kemudian mengusak rambut Natha sekilas, mengeser posisi duduknya agar semakin merapat ke arah Natha. Membenarkan posisi duduk suami cantiknya itu seperti semula.

Perang dingin berakhir sejak tadi malam, seperti biasa, insiden perobekan croptop menjadi awal mula mereka berbaikan seperti saat ini. Sejak keluar dari kamar di club milik Harvey, mereka berdua terlihat seperti pasangan pengantin baru pada umumnya, walaupun terkadang sifat menyebalkan Natha masih saja muncul.

Tangan Harvey menyusup ke arah belakang tubuh Natha, merangkul pinggangnya tanpa membuat Natha terusik sama sekali. Si Cantik itu masih saja fokus menatap layar ponselnya yang kini sedang menampilkan sebuah video komedi.

“Nath.”

“Hm.”

“Rules 4 bulan itu, masih mau lo jalanin?”

Pertanyaan Harvey sukses membuat atensi Natha berpindah, ia menatap ke arah suaminya itu. Alisnya sedikit mengkerut. “Kenapa?”

“Nothing, just ask.”

Lalu tiba-tiba kepala Harvey didorong ke arah kiri. “Tolol! Males ah gua.”

Harvey terkekeh, ia kemudian mengecup pipi Natha beberapa kali. “Kidding, Babe.”

Hujan diluar semakin deras, langit yang seharusnya dihiasi matahari dan gumpalan awan-awan cantik kini tertutupi layungan awan hitam. Arah pandang Harvey berpindah, menatap pergelangan tangan Natha yang masih memerah.

Ia lepaskan rangkulannya dan tangan itu diraihnya, membuat Natha kembali menoleh dengan wajah bingung. Namun begitu Harvey memberikan dua kecupan di pergelangan tangannya, Natha hanya bisa berhedem canggung, wajahnya tiba-tiba terasa panas.

“Ngapain dicium coba.”

“Biar ngurangin rasa sakitnya.”

“Orang gak sakit. Lebay lo.”

Harvey tertawa kecil, ia kemudian meraih ponsel Natha lalu menaruhnya pada sebelah tangan Natha yang lain agar tangan yang baru saja diciumnya itu bisa ia genggam.

“Seriously, you are more pretty cute when you are nice.” Pujinya, membuat Natha hanya bisa memutar bola matanya malas. “But, nevermind. You always being pretty all the time.”

“Even though I slap you face right now?”

“I'll slap you back then,” Harvey mendekatkan bibirnya ke arah kuping Natha. “Just like I did it last night.”

Natha mendengus. Ia taruh ponselnya di atas pangkuan lalu berganti mengambil sendok dan menyuapkan ice creamnya kembali. “Gak jelas.”

Gelak tawa Harvey menggema pelan, ia mengelus permukaan punggung tangan Natha dengan ibu jarinya, lalu kembali menatap ke arah layar televisi.

“Nath.”

“Bawel lo manggil mulu.” Sahut Natha jutek, ia menunduk menatap ice creamnya yang sudah tinggal setengah. “Manggil gua sekali lagi bayar sepuluh juta.”

“Natha, Natha, Natha, Natha, Natha.”

Tangan Natha kemudian mengadah. “Mana sini, lima puluh juta.”

Harvey kembali tergelak, sebelah tangannya yang bebas kemudian mengambil ponsel pada kantung celana pendeknya, mengutak atiknya sebentar lalu terdengar suara notifikasi dari arah ponsel Natha.

“Udah.” Katanya singkat, ponselnya kemudian ia taruh di atas meja. “Cek coba.”

Buru-buru Natha mengambil ponselnya kembali, matanya melotot begitu mendapati notifikasi bukti penerimaan sejumlah uang yang lebih dari ia sebutkan tadi. Natha menoleh, menatap Harvey dengan kelopak matanya yang mengedip lambat.

“Sinting!” Ia mendorong pundak Harvey yang terkekeh. “Gua bercanda doang, anjir!”

“Yaudah gapapa, buat jajan.” Rambut halus Natha diusak kembali. “Lusa, kosongin jadwal lo dua hari.”

Natha membeo, wajahnya terlihat linglung akibat ucapan Harvey. “Hah? dua hari? Mau kemana?”

“The lake house.”

“The lake house?” Ulang Natha. “Tempat apa itu?”

Harvey tersenyum, ia alihkan pandangannya ke arah depan. “Rumah punya keluarga Tanjung. Jaraknya mungkin empat jam dari sini, pemandanganya bagus, lo pasti suka.”

“Empat jam?!” Natha melongo, “Gila, jauh banget!”

“Mau, kan?” Tanya Harvey, “Nanti minta tolong Nasha aja buat ngurus toko selama dua hari. Pesenan gak terlalu banyak kan minggu ini?”

“Ya enggak sih, tapi gila aja empat jam? Itu di daerah pedaleman apa gimana?” Tanya Natha bingung.

“Bisa dibilang begitu,” Harvey menoleh, menatap ke arah bola mata Natha yang mengerjap lucu. “Lama karena harus ngelewatin jalan-jalan perkampungan.”

Kontak mata dilepas, Natha mengaduk-aduk ice cream yang berada dipangkuannya. “Tapi buat apa?”

“Buat apa, apanya?”

“Kesana.”

Harvey tidak langsung menjawab, ia raih tangan Natha yang masih berada di genggamannya lalu ia ciumi punggung tangan Natha. Membuat Natha semakin menatap bingung ke arah Harvey.

“Nanti lo juga tau.”