hiirei

ariino

[#ariino, stalker!daiki au; sedikit terinspirasi dari serial you, ditulis dari pov kedua] [untuk #Inoo31stbirthday]

Sudah lama kau mencarinya.

Kau menemukannya pada suatu sore, ketika tak sengaja melewati kawasan apartemenmu yang baru. Dia berada di dalam sebuah kedai kopi, pandangan fokus pada mejanya, lembaran kertas berserakan. Segelas teh dan satu piring kue duduk di kursi tepat di sampingnya, gelas setengah kosong dan kue setengah habis.

Sempat kau merasa detikmu berhenti sesaat, langkahmu terhenti, terdengar gerutu dari orang di belakangmu namun kau tidak peduli. Tatapanmu tertuju pada dia, di dalam sana, dan kepalamu memikirkan cara untuk mendapatkannya.

Kau memutuskan untuk masuk ke kedai yang sama, duduk beberapa meja darinya. Kau cukup suka dengan tempat ini, tidak terlalu padat, suasananya nyaman, sesuai dengan seleramu. Dalam hati, kau sudah merasa adanya kecocokan antara dirimu dengannya.

Menilai dari gayanya, serta lembaran yang berserakan, kau menyimpulkan dia mahasiswa arsitektur. Mungkin dari universitas dekat sini, sama sepertimu. Sayangnya, kau belum pernah melihat dia sebelumnya, padahal kau cukup aktif dengan kegiatan kampus. Jejaring temanmu cukup luas, kau sedikit heran tidak pernah bertemu dengannya.

“Kau ingin menambah tehmu?” Salah satu barista yang melayanimu sebelumnya berjalan mendekat padanya, memberikan senyuman yang menandakan keakraban.

Dia menoleh, lalu melirik gelasnya yang sudah kosong. Tanpa membuka mulutnya, dia hanya mengangguk, lalu mengembalikan atensinya pada kertas di hadapannya.

Barista itu tampak tidak keberatan dengan kebisuan dia, justru terlihat sudah paham bahwa tidak seharusnya mengganggu si dia. Kau menatap mereka sambil merekam semua dalam kepalamu, melirik sekali lagi pada nama yang tertera di pin barista itu, Hikaru.

Lama-kelamaan, kedai itu mulai kehilangan pelanggan. Kedai ini hanya buka sampai pukul sepuluh, buka kembali esok pagi pada pukul sepuluh juga. Dia tidak terlihat seperti akan pergi, namun kau tidak ingin terlihat menunggunya, jadi kau memutuskan untuk menunggu di luar, mengambil sepedamu yang kau taruh beberapa blok dari sana.

Sambil menunggu, kau membuka ponselmu, mencari informasi terkait barista itu. Tak sampai beberapa menit, kau menemukan akun jejaring sosialnya. Untungnya, Hikaru cukup aktif di sosial media, beberapa kali juga mengunggah kegiatannya bersama lelaki itu.

Kau mendapatkan namanya dari salah satu unggahan Hikaru; Inoo Kei. Hikaru memanggilnya Inoo-chan, namun kau memilih untuk menyebutnya Kei dalam hatimu.

Berbeda dari Hikaru yang cukup aktif, Kei tidak banyak memberikan unggahan. Jarang juga online pada beberapa jejaring karena unggahannya terakhir berasal dari tiga atau dua tahun lalu. Tidak banyak info yang kau dapatkan dari akunnya dibanding dari akun Hikaru. Untuk sementara, kau akan sering-sering mengecek akun si barista itu untuk mengetahui sesuatu tentangnya. Mungkin jika kau mendapatkan akun teman dekatnya yang lain, kau akan menandainya juga.

Setelah mengecek beberapa unggahan, kau sedikit-banyak tahu tentangnya. Kedai itu milik Hikaru sendiri dengan seorang temannya yang lain, Yuto. Inoo mengenal keduanya dekat, lebih kenal dengan Hikaru karena mereka teman masa kecil. Kau belum terlalu mengecek latar belakang Yuto dan kau menjadikan itu tugasmu nanti ketika kembali ke rumah.

Kau segera memasukkan ponselmu ke dalam saku ketika melihat dia keluar dari pintu kedai, melihatnya melambaikan tangan pada Hikaru dan mengatakan sampai jumpa besok. Suaranya terdengar lelah namun puas, mungkin pekerjaannya sudah selesai selama kau menunggu di luar. Kau suka mendengar suaranya, terdengar berbeda dan unik untukmu.

Dia tidak menggunakan kendaraan apapun, tidak juga memanggil taksi yang lewat. Kau menyimpulkan tempat tinggalnya tidak jauh dari sana. Masuk akal juga, karena waktu sudah cukup larut dan dia sering mampir ke tempat itu, pasti selain karena tempat itu milik Hikaru juga karena kedai itu dekat.

Perlahan, kau mengikutinya, memberikan jarak yang cukup jauh sehingga kau tidak dicurigai namun kau tetap dapat melihatnya. Kau memperhatikan gaya jalannya, tidak terburu-buru namun juga tidak terlalu lambat. Sesekali dia menoleh ke kanan dan kiri, melihat toko yang sedang ditutup atau kendaraan yang sedang lewat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaketnya, sesekali dia gerakkan sesuai temponya berjalan.

Dia masuk ke dalam suatu gedung apartemen, membuatmu juga ikut menghentikan laju sepedamu. Letaknya tak jauh dari kedai, mungkin hanya sekitar 400 meter. Kau tidak terlalu pandai menghitung jarak dengan tepat, namun kira-kira seperti itu. Gedung itu hanya bertingkat tujuh, kau mengingat-ingat bentuk dan lokasi sekitarnya.

Menyadari senyum hadir di wajahmu, kau kembali mengayuhkan sepeda ke arah yang berbeda. Gedung tingkat tujuh tentu memiliki banyak penghuni namun kau yakin akan menemukan tempat yang dihuni lelaki itu dengan mudah.

Kau juga yakin kau akan bertemu dengannya kembali esok hari.

[#ariino, au; barista!daiki + idol!inoo—sharing apartment au] [untuk #Inoo31stbirthday]

Bukannya Inoo tidak suka tinggal sendiri, namun rasanya janggal tidak memiliki siapapun di rumah.

Keluarganya memang bukan keluarga besar, hanya terdiri atas dia, adiknya, ibu, dan ayah. Bukan juga keluarga yang banyak menghabiskan waktu bersama—justru Inoo lebih sering mendapati dirinya sendirian di rumah. Namun tetap saja, dia merasa aneh jika harus hidup sendirian, tidak ada presensi orang lain yang dapat dia tunggu atau menunggunya.

Sayangnya, pekerjaannya juga tidak membebaskan dia untuk tinggal dengan siapa saja. Ada keamanan dan imej yang harus dia jaga, tidak bisa sembarang tinggal bersama orang yang tidak dia kenal. Namun semua temannya menolak untuk menemani dia; Yabu tidak tertarik untuk menangani adanya potensial bertemu stalker yang menguntit Inoo, Takaki hanya mau tinggal di dekat pantai, Yuto sudah tinggal bersama pacarnya, dan Hikaru terlalu punya banyak aturan untuk dia yang ingin bebas. Opsi lain adalah Chinen, temannya dari agensi yang sama pula, namun tentu takut mengundang rumor yang tidak-tidak.

Pada saat itulah dia bertemu Arioka Daiki, teman dekat Chinen yang kebetulan mencari apartemen untuk ditempati bersama. Lelaki itu baru akan pindah dari rumah orang tuanya—sama seperti Inoo. Ketika bertemu, Inoo dan Daiki cepat akrab. Mereka punya selera humor yang sedikit mirip, walau sesekali Daiki sempat mengerutkan keningnya, lelaki itu tetap menerima candaan yang dilontarkan Inoo.

Jadilah mereka membuat semacam “kontrak”, perjanjian terkait tinggal bersama. Tidak boleh ada yang pindah tiba-tiba dalam kurun waktu dua tahun; jika sudah melewati waktu, bisa dirundingkan kembali apakah kontrak akan diperpanjang atau tidak. Sisanya hanya peraturan yang disepakati bersama, seperti jadwal membersihkan rumah, jadwal memasak, batasan yang dapat mereka masuki, siapa yang mendapat ruang mana, dan lain-lainnya.

Apartemen yang mereka tempati cukup besar, terdiri atas tiga kamar tidur beserta kamar mandi di dalamnya, satu ruang utama untuk sofa dan televisi, dapur kecil, dan beranda luar untuk melihat pemandangan.

Semua berjalan baik-baik saja sampai hari pertama mereka tinggal bersama.

Inoo memang bukan tipe orang yang bangun pagi. Dia tidur sesukanya, bangun pun jika otaknya memutuskan untuk menyadarkan diri saja. Namun dia juga bukan tipe orang yang tetap tertidur walau ada bom meledak. Alarm yang berbunyi tiga kali cukup membuatnya tersadar, mencoba mengingat di mana dia berada, dan menggerutu ketika sadar bahwa benda yang berbunyi itu bukan miliknya.

Tanpa pikir panjang, Inoo menggeret kedua kakinya untuk bergerak menuju sumber suara. Tangannya menggedor pintu kamar teman barunya yang ternyata tidak sadar-sadar juga. Memutar kenop pintu, kedua matanya jatuh pada sosok temannya yang masih terlelap, nyaman di balik selimut yang menutupi badannya.

“Dai-chan,” Inoo memanggilnya dengan panggilan yang Chinen gunakan, “bangun, hei, bangun!”

Tangannya sudah mengguncang-guncang Daiki, sedikit membuatnya terkagum karena lelaki itu tidak membuka matanya sama sekali. Agak cemas, Inoo memastikan lelaki itu masih bernapas dengan mendekatkan tangannya ke arah hidung Daiki—ah, masih bernapas, syukurnya.

“Dai-chan!” Inoo sedikit berteriak di kuping lelaki itu, kini hanya suaranya yang berusaha membangunkannya. Alarm yang dipasang di meja dekat tempat tidur sudah Inoo matikan, telinganya sakit sendiri mendengar suara tinggi yang dihasilkan benda itu.

Baru ketika sepuluh menit kemudian, dengan beberapa guncangan, upaya menarik selimut, serta rencana mendorong Daiki jatuh dari tempat tidur ketika lelaki itu akhirnya terbangun. Kedua matanya menatap Inoo polos, tidak sadar kelakuannya hampir membuat Inoo kehabisan tenaga.

Tinggal bersama Daiki ternyata menjadi salah satu tantangan dalam hidup Inoo.

Bukan hanya persoalan bangun pagi dan alarm yang membuatnya gila saja, namun hal-hal lain yang akhirnya menampakkan diri sebagai masalah. Misalnya Daiki yang sedikit cerewet mengenai tempat yang berantakan—omelannya tidak mampu menyaingi Hikaru namun tetap saja membuat Inoo jengkel. Atau Inoo yang merasa aneh karena Daiki pasti akan menyeduh kopi di pagi hari—Inoo bukannya tidak suka kopi, hanya lebih memilih teh sebagai minumannya ... atau bir.

Walau banyak persoalan yang membuat dia dan Daiki masing-masing sebal, ada juga hal yang dapat mereka sepakati bersama.

Misalnya tetangga lantai bawah yang berbicara terlalu keras dengan suara nasal. Pernah suatu malam mereka berdua mengikuti gaya bicara itu dan tertawa semalaman. Atau iseng mencoba resep yang Daiki temukan dari tempatnya bekerja, hanya untuk mendapati kegagalan dan memakan mie seduh untuk kesekian kali.

Atau ketika mereka harus berbelanja, Inoo tentu harus memakai masker dan topi untuk menutupi wajahnya, namun Daiki merasa hal itu tidak adil dan dia ikut memakai hal yang sama. Mereka sempat dicurigai ketika hendak masuk ke toko, penjaga tempat merasa mereka seperti dua lelaki yang ingin merampas.

“Kalau merampas hati Anda, boleh?” Daiki iseng bertanya, membuat penjaga itu sedikit keheranan. Inoo dan Daiki selalu tertawa ketika mengingat hal tersebut, terlebih ketika keduanya kembali dari toko dengan nomor ponsel si penjaga toko.

Tinggal bersama orang lain membuat Inoo lebih nyaman, walau harus menghadapi beberapa kelakuan Daiki yang membuatnya harus bersabar beberapa kali. Namun semua akan terbayar ketika mereka tertawa bersama di akhir hari.

[#ariino, au: knight!daiki + shapeshifter!inoo] [untuk #Inoo31stbirthday]

Satu hal yang Daiki tidak suka adalah seorang shapeshifter.

Dalam konteks umum, dia mengakui kekuatan seorang shape shifter pantas diberi penghargaan. Tidak mudah mengganti wujud dalam waktu singkat, terlebih jika pergantian sangat drastis. Misalnya dari manusia menjadi binatang kecil seperti tikus atau kucing. Mempertahankan wujud juga menjadi suatu tantangan, sebab tidak sembarang orang dapat bertahan lama.

Daiki tidak terlahir dari golongan penyihir. Hanya berasal dari keluarga biasa yang mengabdi pada kerajaan. Walau begitu, dia sempat belajar sedikit, sesekali memperhatikan Hikaru, teman penyihirnya, memperlihatkan tipuan sihir pada Sabtu malam. Chinen, teman lainnya yang belajar sihir sejak Daiki pertama mengenalnya, juga suka memberinya beberapa informasi mengenai sihir.

Oleh karena itu, dia tidak bodoh-bodoh amat untuk tahu bahwa kucing di hadapannya ini bukanlah kucing sebenarnya.

Belum lama ini, Daiki mendapat promosi dan diberikan pos jaga di gerbang belakang istana. Bukan posisi terbaik, sebab dia juga masih muda dan baru, namun sesekali dia bisa beristirahat sebentar jika tidak ada agenda penting.

Kucing itu datang menghampirinya setiap pagi, lalu berubah menjadi anjing di siang hari, dan kembali menjadi kucing ketika malam. Sesekali Daiki melihatnya sebagai burung berwarna coklat, cukup berisik jika Daiki murung, namun akan cepat diam jika Daiki pelototi.

Daiki tidak mengerti tujuan dan siapa sosok dibalik hewan-hewan ini. Dia tidak merasa pernah kenal dengan seseorang dengan kemampuan shape shifter, tidak pernah tertarik untuk mencari juga.

Suatu hari, kucing itu membawa amplop dalam mulutnya. Sedikit basah, namun Daiki merasa bersalah jika menolak. Satu kertas di dalamnya, diisi dengan tulisan tangan yang kecil dan sedikit naik-turun.

Halo, tampan Kau punya sesuatu yang tak sadar kau curi Kau mau tahu apa sesuatu itu?

Tulisan itu sebenarnya bisa menjadi petunjuk bagi Daiki untuk mengetahui siapa penulisnya. Tidak banyak orang yang tahu baca dan tulis, biasanya hanya kalangan kerajaan, penyihir, atau seniman.

Tapi Daiki tidak punya energi untuk mencari tahu.

“Apa yang kucuri?” Daiki berjongkok, menatap kucing itu dengan sebal. “Hatimu?”

Kucing itu mengeong pelan, Daiki bisa merasa kucing tersebut terkekeh jika menjadi manusia. Menghela napas, Daiki kembali berdiri tegap, memasukkan amplop tadi dengan asal-asalan ke dalam saku celana.

“Maaf, aku tidak tertarik.”

Sayangnya, seakan justru penolakan dari Daiki membuatnya bersemangat, amplop-amplop terus datang dibawa si kucing. Beberapa kali, kucing itu langsung beranjak setelah Daiki meraih amplop dari mulutnya, tapi tentu dia tahu kucing itu memperhatikannya dari kejauhan.

Isi-isi surat itu tidak lebih dari kata-kata manis yang jelas ingin memikat hati Daiki. Bukannya terlalu percaya diri atau bagaimana, tapi dia juga sudah menceritakan hal ini pada Chinen—yang sudah bersumpah tidak akan membocorkannya pada siapapun—dan temannya juga berkata sama.

Dia suka padamu.

Namun, suatu hari, datang satu surat yang membuatnya berpikir.

Halo, tampan Aku tidak tahu kau ingat atau tidak Tapi aku berutang budi padamu

Daiki berusaha mengingat-ingat kegiatannya beberapa waktu lalu. Rasanya dia tidak pernah membantu orang sampai orang itu bisa berutang budi padanya.

Matanya teralih pada kucing itu, kini tetap berada di dekat kakinya, kedua matanya yang besar menatap lekat Daiki. Jadi ada rasa iba pada hatinya, padahal Daiki masih sebal dengan kelakuannya.

“Aku tidak ingat,” Daiki mengelus pelan kepala kucing itu, “jadi tidak usah kau pikirkan lagi. Kau tidak berutang apa-apa.”

Pada keesokan harinya, kucing itu tidak lagi datang. Tidak juga dalam wujudnya yang berupa anjing atau burung. Menghilang tanpa jejak. Daiki hanya tahu dia benar-benar ada dari surat-surat yang selalu disimpannya.

Bukan salahnya juga. Daiki yang memutuskan dia tidak punya utang apa-apa, mungkin akhirnya dia bisa kembali bebas dan tidak merasa perlu membalas Daiki dengan mengusiknya.

Walau selalu berkata dia sebal, Daiki tidak bisa menahan dirinya untuk melihat seekor kucing di tengah jalan dan berharap itu kucing yang sama dengan yang selalu mengusiknya. Dia tidak bisa menahan diri juga untuk sengaja berjalan-jalan keliling kota, berharap menemukan sosok yang dia kenali.

“A-ah, maaf,” ujar Daiki cepat, setelah tidak sengaja menabrak seseorang.

Dia tidak terlalu sadar akan langkahnya dan orang itu jadi korban benturannya. Orang itu tidak menjawab sehingga Daiki sedikit mendongakkan kepalanya—ternyata orang itu sedikit lebih tinggi darinya.

Kesan pertama yang terlintas di kepalanya adalah bentuk rambut lelaki itu yang sedikit aneh. Cocok, sebenarnya, untuk fitur wajahnya yang terbingkai rapi. Matanya yang menyala terkena pantulan cahaya, sedikit terlihat sayu ... rasanya dia pernah melihatnya di suatu tempat.

“Ini aku.” Lelaki itu menatapnya, tumpuan kakinya berpindah dari kanan ke kiri.

“Kamu?” Daiki mengerutkan alisnya. “Siapa?”

Aku.” Daiki ingin memutar bola matanya. Jawaban itu tentu tidak membantu. “Halo, tampan.”

Seketika, Daiki sedikit teriak, membuat lelaki itu terlonjak dan menyuruhnya untuk diam. Orang-orang di sekitar mereka sempat menoleh untuk sesaat sebelum akhirnya kembali pada urusan masing-masing.

“Kamu!” Kini, mata Daiki justru beralih ke seluruh fitur tubuh lelaki itu, sedikit terkejut karena hewan yang biasanya dia temui berbeda jauh dari bayangannya. “Ini wujud aslimu atau hanya wujud-wujud lainnya yang suka kau pakai untuk merayu hati orang?”

Lelaki itu mengalihkan pandangannya sesaat. “Asli.”

“Sungguh?” Daiki menatap tidak percaya. “Ya, apapun itu, syukurlah kau baik-baik saja. Kupikir kau sakit atau ada hal buruk menimpamu ketika kau berhenti datang.”

“Tapi kau tidak suka kalau aku datang.”

Mendengus dalam hati, lelaki itu tidak salah juga. Dia sering sekali mengoceh tidak ingin diganggu, jadi wajar saja jika lelaki itu menganggapnya sungguhan tidak suka dihampiri.

“Ya, begitulah.” Daiki menatapnya satu kali lagi. “Kalau begitu, aku duluan. Sampai jumpa.”

“Ah, tunggu! Kau lupa sesuatu!”

Menghentikan langkahnya, Daiki menoleh dari bahunya. Hatinya sedikit senang lelaki itu memperpanjang percakapan, namun tentu dia tidak akan berkata apa-apa.

“Kau lupa menanyakan namaku.” Lelaki itu tersenyum lebar. “Namaku Inoo, Inoo Kei.”

Dan Inoo Kei menjadi alasan tambahan seorang Daiki tidak menyukai shapeshifter (tapi lain lagi dengan kata hatinya).