hiirei

Inoo31stbirthday

[inoo-centric, ditulis dari pov kedua] [untuk #Inoo31stbirthday]

Beruntung, bukan? Kau memulai segalanya dari awal. Lembaran baru. Banyak orang menginginkan posisimu.

Kau menekan tombol off dan melihat layar televisimu redup. Tadinya kau hanya ingin menonton beberapa seri yang menurutmu dapat membuat pikiranmu membaik. Kau tidak terlalu memperhatikan bahwa salah satu episodenya menceritakan orang yang lupa ingatan. Sama sepertimu.

Kau sebenarnya tidak yakin sekarang. Ingin tahu tentang dirimu adalah hal yang wajar ketika memorimu tiba-tiba menghilang. Ingin familiar dengan kehidupanmu adalah hal yang pasti diinginkan orang-orang, bukan?

Namun bagaimana kalau memang kau sendiri yang memutuskan untuk lupa? Bagaimana kalau sebenarnya terjadi sesuatu dan kau tidak mau ingat? Atau kau memutuskan untuk memulai segalanya dari awal dengan membersihkan ingatanmu?

Mungkin kau terlalu banyak menonton seri drama sehingga pikiranmu pun terpengaruh.

Dua minggu berlalu sejak kau mendapat kiriman satu dus teh. Akhirnya kau berikan ke ibumu saat dia mampir. Melihat merek teh tersebut, ibumu tertawa, mengatakan kau tidak pernah suka dengan teh itu.

Tidak ada apa-apa lagi yang terjadi selama dua minggu ini. Tidak ada pesan singkat misterius, kiriman mencurigakan, atau telpon dadakan. Kau juga tidak lagi mencoba memainkan piano, kertas nada yang kau temukan tempo hari tak pernah kau sentuh kembali.

Rasanya hampa berada dalam tempat yang asing bagimu. Jadi, setelah menatap lama televisi yang tidak lagi menyala, kau memutuskan untuk pergi keluar.

Kau tidak punya tujuan pasti. Hanya ingin melihat sekeliling, mencari udara segar, mungkin otakmu bisa memberi rasa familiar pada hal yang kau lihat nantinya. Entahlah, pada titik ini kau tidak lagi yakin ingin memorimu kembali.

Mengunci pintu apartemenmu, kau tak sengaja melihat seorang lelaki tak jauh darimu. Dia lebih pendek, mengenakan kaus hitam, celana panjang, serta sepatu yang terlihat bermerek. Pandangannya tertuju pada layar ponselnya, tidak menyadari kau yang berjalan mendekatinya sebab kau harus melewatinya untuk menuju tangga ke bawah.

Kau tentu tidak mengenalinya. Sedikit tidak yakin juga dia tinggal di sini, mungkin menunggu temannya membukakan pintu, atau ... entahlah. Kau pikir, dia pun tidak akan melihatmu, jadi tak ada keharusan menyapa atau memberi senyum.

Sayangnya, dia mengangkat pandangannya, matanya menemuimu yang masih menatapnya. Mungkin dia menyadari kau melihatnya terlalu lama. Rasanya kau ingin menertawakan kebodohan sendiri, namun kau tidak menyangka raut wajahnya sedikit berubah. Kau tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Yang pasti, kau merasa dia mengenalimu.

Bibirnya sedikit bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Kau akhirnya menghentikan langkahmu dengan sedikit berharap dia akan mengatakan sesuatu. Namun dia tidak berkata apa-apa, jadi kau memutuskan untuk bertanya lebih dulu.

“Apa kau mengenalku?” tanyamu, suara lebih pelan dari yang kau kira. Untungnya, dia terlihat tidak kesulitan mendengarmu sebab tempat itu juga cukup sepi dan tidak ada suara lain yang mengganggu.

“Aku—”

Ucapannya terpotong ketika kalian mendengar suara pintu terbuka, seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari sana. Perempuan itu melihat kalian berdua, lalu hanya memberi senyum sebelum bergegas pergi menuruni tangga.

Atensimu kembali padanya, dengan mulut yang masih terbuka dan kalimat yang rumpang, namun dia tidak menyelesaikannya. Dia justru pergi menyusul perempuan itu, langkahnya terlalu cepat untuk kau kejar.

Kau sedikit menyesal sempat mencoba mengejarnya, karena tampaknya kau tidak begitu pandai dalam berlari. Dengan napasmu yang tidak teratur, kau mencoba melupakannya dan melangkahkan kaki untuk berkeliling.

Kalau kau ingat-ingat, rasanya kau pernah melihat lelaki tadi sebelumnya. Mungkin. Kau juga tidak yakin. Atau mungkin kau berpapasan dengannya ketika datang dari rumah sakit? Bisa saja dia tetanggamu dan kau melihatnya waktu itu, kan?

Waktu siang di hari Selasa membuat jalanan tidak terlalu banyak diisi orang. Para siswa masih ada di sekolah, pun karyawan yang masih bekerja. Namun kau mendapati beberapa orang mampir di taman kecil tak jauh dari apartemenmu. Ada beberapa ayunan dan mainan lain di sana, kau dapat membayangkannya ramai di Sabtu pagi.

Merasa perlu mengendalikan napasmu yang masih belum terkendali, kau melangkah mendekati ayunan yang tidak diduduki, namun perhatianmu teralih pada orang yang duduk di salah satu ayunan itu.

“Ah, kau.”

Lelaki pengirim paket waktu itu. Kau tidak terlalu bertemu banyak orang, jadi lucu rasanya kau masih mengingat wajahnya. Mungkin dia akan menganggapmu aneh sekarang.

Dia menoleh, sempat memiliki raut penuh tanya sebelum melihatmu. Terkejut, dia sedikit melirik ke kanan dan kiri sebelum akhirnya kembali menatapmu, tubuhnya segera berdiri seakan hendak pergi.

“Ah, uh, Inoo-san,” sesaat setelah dia mengucap namamu, terlihat ada penyesalan dalam ekspresinya, “ya?”

Kau mengangguk, tak mengira dia akan mengingat namamu. Padahal dua minggu sudah berlalu, kau tidak lagi menemuinya, namun dia ingat denganmu. Lucu.

“Karena namamu unik,” dia cepat menjelaskan, “jadi aku ingat.”

“Ah, tentu.”

Dia masih berdiri, kau pun akhirnya menghentikan langkahmu dan urung mendudukkan diri di sampingnya ketika dia terlihat gelisah. Kau ingin bertanya, namun tidak ingin membuatnya semakin tidak nyaman.

“Aku harus pergi,” ucapnya setelah beberapa saat tanpa ada pergerakan di antara kalian, “senang bertemu denganmu, Inoo-san.”

Kau selalu merasa lucu ketika mendengarnya menyebut namamu. Lucu yang ... aneh. Tidak biasa. Seakan kau seharusnya mendengar dia menyebut namamu dengan cara lain yang lebih familiar.

Namun kau tidak sempat mengatakan apa-apa, tidak juga membalas senyum lebar yang dia berikan karena dia langsung berlari cepat, menghilang dan meninggalkanmu sendirian di taman itu.

Pada akhirnya, kau tidak berlama-lama di sana. Kau memutuskan untuk berkeliling saja, melihat deretan pertokoan yang ada, mengunjungi toko swalayan dan membeli es teh yang ternyata kau sukai. Terdapat toko bunga yang membuatmu ingin membeli beberapa tanaman, namun kau rasa kau bukan tipe yang baik dalam menangani tumbuhan. Juga beberapa toko makanan yang membuatmu penasaran ingin mencicipi.

Yang membuatmu heran adalah tatapan dari beberapa orang ketika kau berjalan. Tidak semua melihatmu dengan aneh, namun kau yakin beberapa pasang mata sempat melirikmu dan menatapmu heran. Seakan mengenalimu. Seakan tahu siapa dirimu.

Kau tidak bisa bertanya juga, mereka cepat berlari sesaat setelah kau melirik ke arah mereka. Kau tidak mengerti. Apa yang pernah kau lakukan sebelumnya? Apa kau ini seorang kriminal atau seseorang yang pernah melakukan sesuatu hingga wajahmu mudah dikenali?

Memutuskan untuk menyudahi aktivitas jalan-jalanmu, kau kembali ke apartemenmu setelah membeli beberapa es teh yang kau suka. Kau sedikit berharap untuk bertemu lelaki kaus hitam di apartemenmu tadi atau mungkin pengirim paket dari taman yang kau temui. Namun kau tidak berpapasan dengan siapapun, jalanmu kosong tanpa ada orang lain.

Yang ada hanyalah sebuah kertas tempel di depan pintumu, kertas berwarna merah muda dengan tulisan yang rapi. Sedikit kecil, namun kau masih bisa membacanya karena tertata rapi dan lurus walau kertas itu tidak bergaris.

Kertas itu tidak menuliskan sesuatu yang personal. Hanya sebuah alamat kedai minuman dengan catatan sampai bertemu nanti disertai tanggal dan waktu. Apa ini? Undangan? Dari siapa? Tidak ada nama atau inisial apapun yang memberimu petunjuk identitas pengirimnya. Bukannya kau butuh juga sebab selama ini pun kau tetap tidak mengenali walau mereka menulis identitas samaran aneh.

Sesaat, kau sempat berpikir bisa saja ini undangan penculikan dan kau akan dibawa kabur. Atau mungkin orang jahat entah dari mana yang bermaksud untuk membunuhmu. Sedikit tidak masuk akal sebab mereka mengajak bertemu di tempat umum, sebuah kedai kopi yang rasanya sempat kau lihat tadi. Namun bukannya tidak memungkinkan, bukan?

Kau tidak bisa sepenuhnya menerima undangan itu. Mungkin kau datang. Mungkin tidak. Entahlah.

[#hikanoo, non-idol au, ditulis dari pov kedua hika] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tidak terlalu menyukai dia ketika pertama kali bertemu.

Waktu itu, umurmu masih dapat dihitung jemarimu, masih penuh rasa sok tahu, sama dengannya. Bedanya, dia lebih tinggi darimu. Kau merasa tatapannya terlalu jauh, membuatmu terasa kecil, padahal dia tidak punya pikiran licik apa-apa.

Kau hanya sebal dengannya. Jadi apapun yang dia lakukan akan terlihat mengganggu bagimu.

Sayangnya, rasa sebalmu tidak mendasar. Dia memang suka mengejekmu sesekali, mulutnya tidak punya saringan terkait hal-hal yang tak masuk akal, serta kejahilannya hampir setara denganmu. Namun semua itu tak bisa kau jadikan alasan. Tingkahmu tak jauh berbeda darinya.

Mungkin karena kau dan dia sama. Ada perkataan bahwa alasan kau terlalu kesal dengan seseorang adalah karena sifat mereka yang sama persis denganmu, bukan? Mungkin itu maksudnya. Karena kau melihat dirimu sendiri dalam setiap lakunya.

Seakan semesta tahu akan perasaanmu dan mencoba mengerjaimu, kau terjerat dengannya dalam kehidupan masa kecilmu.

Kau mengenalnya karena dia tetangga depan rumahmu. Ibu kalian saling mengenal dan karena itulah kau terpaksa berkenalan dengannya, memasang senyum tak penuh hati, dan membalas uluran tangannya karena ibumu sudah memberi kode dalam tatapannya. Kau berada di taman kanak-kanak yang sama, dengan anak-anak tetangga lainnya, namun perhatianmu selalu teralih padanya.

Bukan karena dia anak yang jadi pusat perhatian seperti Daiki atau pintar seperti Kota. Bukan karena dia terlalu diam dan hanya berdiri di pojokan kelas seperti Yuya. Dia mudah teralih dengan sesuatu, lebih banyak terlihat tidak mendengarkan penjelasan, juga berbicara dengan siapa saja yang ada. Kau sering melihatnya sendiri, asik dengan dunianya yang tak terlalu kau mengerti, namun kau juga sering mendapatinya mendengarkan orang lain berbicara panjang lebar—benar-benar mendengarkan—dan memberi tanggapan yang membuat orang itu senang.

Memasuki sekolah dasar, tidak ada yang berubah darinya. Pun kau yang masih memendam sebal tanpa dasar padanya. Kau baru menyadari bahwa dia tahu akan kekesalanmu ketika kau memasuki kelas tiga.

“Kau mudah dibaca, Hikaru,” ucapnya ketika melihat raut wajahmu, senyum kecil menyebalkannya tertera.

Walau begitu, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak memintamu untuk menghilangkan rasa sebalmu karena kalian teman atau semacamnya. Kalian justru menjadi rekan jahil yang baik. Seluruh siswa tahu akan keonaran yang kalian lakukan bersama. Beberapa siswa selalu curiga ketika mendapati kalian tersenyum-senyum bersama, merasa akan ada masalah yang datang beberapa menit kemudian.

Kau sudah tahu bahwa dia sama jahilnya denganmu. Jadi walau kau sebal, kau tak bisa menolak tawarannya untuk mengerjai Daiki atau Yuya di sela waktu kelas. Mungkin itu caranya untuk menghapus kekesalan yang ada dalam dirimu terhadapnya. Mungkin dia sama-sama pintar mengamati sepertimu dan mengerti kesamaan kalian dalam berbuat onar. Kau berhenti menebak ketika ingat bahwa kau tak pernah bisa mengerti isi kepalanya yang dipenuhi hal tak masuk akal.

Ketika masuk ke jenjang menengah pertama, tidak ada yang berubah darinya. Masih sama jahilnya, tawanya masih menggema dalam pikiranmu, begitu juga senyumnya yang kini terlihat setara denganmu. Yang berubah hanyalah kau, kini sama tinggi dengannya, tak perlu memikirkan pandangannya yang terlihat jauh darimu.

Kau jadi susah sendiri karena kau pikir mudah menemukan alasan untuk sebal dengan anak remaja. Masa-masa ini seharusnya diisi dengan kekesalan terhadap teman, bukan? Jadi harusnya, harusnya, kau bisa menemukan alasan untuk tidak menyukainya. Namun bagaimana caranya jika dia tidak berubah?

Karena itu, akhirnya kau mencoba untuk terlihat sedikit menyukainya. Tentu, kau suka menghela napas panjang atau memutar bola matamu setiap mendengar dia mengoceh tidak jelas, namun setidaknya kau bisa bertahan lebih lama dalam satu ruangan dengannya. Dia juga sering menatapmu lama ketika kalian sedang berkumpul dengan teman-teman yang lain, wajahnya tersenyum penuh arti tak pernah kau mengerti.

Dan, seakan semesta memang benar-benar mengujimu, kalian berada di dalam kelas yang sama, mengerjakan tugas-tugas kelompok bersama.

“Kau benar-benar tidak suka aku, ya,” ucapnya suatu hari, ketika kalian sedang mengerjakan tugas bersama di perpustakaan. Sama seperti biasanya, tidak ada kekesalan atau kesedihan dalam nadanya. Tidak juga marah atau kecewa karena sebenarnya kalian sudah dianggap teman dekat oleh orang-orang di sekitar kalian, namun kau tetap memendam rasa tak suka.

“Tidak juga,” jawabmu setelah berpikir lama. Kau melihatnya mengangguk, lalu tidak membahas masalah itu lagi sampai waktu yang lama.

Jenjang menengah atas kembali mempertemukanmu dan dia, dalam sekolah dan kelas yang sama. Kau yakin dia tidak nendaftar di sekolahmu, yakin karena kau dengar ibunya sudah memilihkan sekolah yang jauh, jadi tentu kau tidak menyangka untuk mendengarnya menyapamu di hari pertama.

Ada yang berubah darinya ketika memasuki masa ini. Rambutnya yang dulu terlihat cepak dan aneh kini dimodel semakin tidak jelas. Terlihat lebih mengembang dengan poni tepat jatuh di atas alisnya. Beberapa berkata mirip dengan jamur. Kau lebih merasa rambutnya seperti bagian lain dari kepalanya, layaknya helm yang dapat dia lepas. Mungkin rambut aslinya masih ada di bawah rambut apapun itu.

Senyumnya masih sama, menyebalkan, pun tawanya yang mengisi hari-harimu kembali. Kalian lebih sering pulang bersama, menaiki kereta yang sama, begitu juga ketika berangkat sekolah. Setiap pagi, kau akan mendapati dirinya duduk di sofa ruang tamu, siap dengan tas dan bercanda dengan ibumu. Aneh rasanya, namun familiar juga, karena dia memang sudah ada di hidupmu sejak lama.

Rasa sebalmu masih ada. Mungkin sedikit berkurang karena kau lebih dewasa dari sebelumnya. Lebih banyak rasa bersalah pernah sebal dengannya karena dia pun tak melakukan apa-apa. Bukan berarti kau tidak melemparkan pukulan sesekali padanya dan mengejarnya sepanjang aula ketika dia menjahilimu.

“Mengapa kau tidak suka padaku?”

Dia tidak pernah bertanya seperti itu sebelumnya. Kau tidak pernah mendapat jawabannya.

Ketika kau mengalihkan pandanganmu, kau melihat tatapannya berbeda dari yang selama ini kau ketahui. Kau tidak tahu apa arti tatapannya, tidak pernah dapat mengerti isi pikirannya yang rumit untukmu yang sederhana. Kau ingin bertanya, bertanya mengapa dia menanyakan hal ini sekarang? Mengapa tidak sejak awal yang mungkin dapat kau jawab dengan puluhan alasan asal kau sebut?

Kau tak pernah menjawabnya. Dia tak pernah lagi bertanya.

Sehari setelah dia bertanya, kau tidak melihatnya menunggumu di ruang tamu. Tidak juga di sekolah, di kelas, atau di bangkunya yang kini kosong. Kau pikir dia hanya sakit, mungkin tak mau menemuimu karena pertanyaannya tak terjawab kemarin.

Namun hari-hari berikutnya juga dia tidak kembali. Semua berjalan seperti biasa, yang tidak biasa bagimu hanyalah absensinya. Dia tidak ada ketika pagi datang, tidak juga kau lihat senyumnya, serta tawanya terasa hampir menghilang di pikiranmu. Dia ada bersamamu hampir seluruh hidupmu. Janggal rasanya ketika kau tak lagi melihatnya.

“Kau tidak tahu?” tanya Daiki ketika kau mengeluhkan dia yang menghilang. Yuya memberi Daiki tatapan yang membuat temanmu itu menyadari sesuatu dan terlihat menyesali pertanyaannya.

Kau mengerutkan dahimu. “Apa? Apa yang tidak aku tahu?”

Daiki melirik Yuya, yang tidak membalas tatapannya. Lalu dia melirik Kota, yang juga mengalihkan pandangan untuk kabur dari masalah.

“Apa?” Kau bertanya lagi, tidak suka karena sepertinya hanya kau yang tidak tahu apa-apa di antara kalian.

“Jadi,” Daiki kembali menatapmu, membuat kedua teman kalian menghela napas panjang, “Inoo sebenarnya—”

“Kita kemarin janji akan diam saja,” Yuya mengingatkan, menatap Daiki sebentar sebelum kembali fokus pada makan siangnya.

“Tapi dia tidak ada di sini dan Hikaru ingin tahu,” Daiki menatapmu dengan harap, “ya, kan?”

Kau tidak sepenuhnya yakin kau ingin tahu jika melihat reaksi teman-temanmu kini. Namun ini sudah lebih dari seminggu dan hanya Daiki yang mau memberi tahumu.

Jadi kau mengangguk, membuat Daiki kembali tersenyum seakan dia baru saja memenangkan perdebatannya dengan Yuya.

Kau tidak yakin kau seharusnya tahu setelah Daiki menjelaskannya.

[#inoyama, killer au, murder theme, intinya ini tema bermasalah dengan karakter bermasalah pula, ditulis dari pov kedua inoo, naratornya kurang dapat dipercaya] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau seharusnya tidak keluar dari rumah malam itu. Namun jika kau tidur sesuai dengan yang kau rencanakan, kau tidak akan bertemu dengannya. Dan untuk itu, kau sedikit bersyukur kau pergi.

Malam itu, pikiranmu tidak bisa berhenti memikirkan es krim di toko swalayan tak jauh dari rumahmu. Memang, musim panas sering membuatmu mendamba makanan dingin. Namun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh dan kedua matamu terasa berat. Kau sempat berpikir akan memaksakan diri tidur saja dan pergi ke sana pagi-pagi ketika kau sudah bangun.

Sayangnya, pikiranmu memenangkan perdebatan. Kau memakai jaketmu dan pergi tanpa lupa mengunci pintu. Dalam hati sedikit menggerutu karena malam seharusnya sedikit sejuk, namun keringat tetap membasahi wajahmu, terlebih karena kau mempercepat lajumu agar mendapat keinginanmu dan kembali pulang.

Sayangnya, rencana tersebut juga tidak terjadi karena kau tak bisa menahan diri untuk menoleh pada suatu suara berasal dari gang yang gelap.

Kau paham bahwa malam bukanlah hal yang baik untuk mengecek suara-suara mencurigakan, terlebih ketika berasal dari suatu gang sempit yang kau tahu tidak berisi banyak. Biasanya hanya tempat pembuangan sampah atau penyimpanan lebih untuk toko. Terlebih ketika jalanan sekitarmu tidak dilewati siapapun dan kau tidak dapat meminta tolong kalau terjadi sesuatu.

Namun kakimu tetap melangkah pelan menuju asal suara. Kau sedikit berpikir suaranya mirip seperti tusukan pada bagian tubuh, berulang kali, atau mungkin ... gigitan? Mungkin ada anjing liar memakan tangkapannya? Namun kau belum pernah melihat ada anjing liar di sekitar sini.

Suara itu berhenti tak lama setelah kau sudah berada dalam jarak yang cukup dekat, bersembunyi di balik tempat sampah yang kau harap dapat membuatmu tak terlihat. Tidak juga, setelah kau pikir-pikir lagi, namun kau sudah kepalang nekat. Matamu juga sudah melihat salah satu sosok di dalam kegelapan, sepertinya laki-laki, berdiri membelakangimu. Ketika pandanganmu beralih pada tangannya, kau dapat melihat sebuah pisau dalam genggamannya.

Jadi, benar. Tidak ada anjing liar. Kau baru saja menyaksikan pembunuhan.

Tanpa sadar, sebuah kekehan lolos dari bibirmu. Tentu membuatnya menoleh cepat, baru menyadari presensimu di balik tempat sampah. Sayangnya, tempat dia berdiri terlalu gelap sehingga kau tidak dapat membaca raut wajahnya.

“Ah,” dia bersuara, mendekatkan diri padamu sembari membersihkan pisau yang dia jadikan alat pembunuhan, “aku tidak mengira aku memiliki seorang penonton.”

Ketika jarak kalian sudah cukup dekat, kau dapat melihat wajahnya. Kerutan di dahinya dan tatapannya yang memperhatikan fiturmu lekat membuatmu memasukkan kedua tangan dalam saku jaket, memundurkan langkahmu sedikit. Kau yakin dia pasti akan bertanya mengapa kau baru saja tertawa.

“Jadi, kau terhibur?” Dia melipat pisau dalam genggamannya dan memasukkannya ke dalam saku. “Kalau pendengaranku tidak salah, kau baru saja tertawa.”

“Sedikit,” kau menjawab setelah memberi jeda lama, setelah melihatnya semakin menatapmu tidak mengerti dan muncul rasa ingin mempermainkannya dalam dirimu, “sedikit terhibur.”

“Hanya sedikit?”

“Karena kau membiarkannya mati dahulu,” kau memberinya senyum yang dia balas masih dalam kebingungannya, “aku bukan tipe yang suka dengan sesuatu terlalu diam.”

Dia tidak lagi bertanya atau berkata apa-apa. Kau masih menginginkan es krim, jadi kau hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya membalikkan badanmu dan kembali melanjutkan langkah menuju toko swalayan. Mereka buka 24 jam, namun kau juga merasakan matamu mengantuk dan butuh merebahkan diri di kasur dalam waktu cepat.

Tak lama berjalan, kau mendengar langkah mendekatimu, menyamakan tempo jalanmu. Kau tersenyum kecil, tidak terlihat olehnya sebab tingginya tidak menyamaimu.

“Siapa kau?” tanya dia, suaranya terdengar kesal dibanding sebelumnya.

“Oh, sekarang kau menanyakan namaku?” Kau meliriknya sekilas. “Aku tidak memberi nama tanpa undangan minum atau makan bersama.”

Ucapanmu tentu membuatnya semakin bingung, dia akhirnya mempercepat langkah dan menghalangi jalanmu. Pandanganmu bertemu matanya lagi yang kau pikir cukup menawan.

“Kau baru saja melihatku membunuh seseorang.”

“Aku baru saja melihatmu membunuh seseorang.”

Dia tampak tidak menyangka kau akan mengulang perkataannya. Lucu. Sesuai dengan perkiraanmu, kau memang ingin mempermainkannya.

“Orang normal akan ketakutan dan berjanji tidak akan mengatakan pada siapa-siapa, lalu memohon agar aku tidak membunuhnya.”

“Aku bukan orang normal.”

Kau sebenarnya menganggap dirimu normal, namun kau juga sering mendapat masukan dari teman-temanmu bahwa kau cukup abstrak. Tidak terduga. Bukan suatu pola yang dapat mereka pahami. Mereka tidak keberatan, kau juga. Sayangnya, mungkin dia keberatan.

“Aku hanya ingin pergi beli es krim,” kau melipat kedua tanganmu di depan dada, “jadi kau bisa melanjutkan pertanyaanmu sambil kita jalan, oke?”

Dia tidak menanggapi apa-apa. Kau menganggap dia menerima dan segera membeli apa yang kau mau. Sepanjang kau memakan es krim yang kau beli (dan siapa sangka ternyata dia juga membeli es krim?) dia tidak mengatakan apa-apa. Pun ketika kau memutuskan untuk kembali pulang. Kau tidak keberatan banyak kalau dia mengikutimu sampai rumah. Tentu, dia baru saja membunuh orang dan bisa saja berkesempatan membunuhmu jika kau membiarkannya masuk ke dalam kamarmu. Namun kau tahu. Kau tahu dia tidak akan melakukan itu.

Karena kau juga sama dengannya.

“Ini tempatku,” kau menyadarkannya ketika sudah sampai di depan gerbang rumahmu, “aku biasanya tidak mengajak orang asing masuk tanpa kencan dulu, namun aku tidak keberatan.”

“Kau tidak takut aku akan membunuhmu?”

“Tidak,” kau tersenyum, “aku terlalu menarik untuk dibunuh.”

Kau melihatnya memutar bola mata setelah mendengar perkataanmu. Bukan pertama kali kau mendapat reaksi seperti ini.

“Kau juga pembunuh,” dia berucap dengan pelan, “ya?”

Alih-alih menjawab, kau memilih untuk menatapnya saja. Mungkin dia akan pergi setelah ini, bertemu lagi kapan-kapan jika kalian tidak sengaja berpapasan di jalan. Mungkin rasa penasaran akan membuatnya datang mengunjungimu. Tentu bukan untuk membunuhmu, harapmu dalam hati. Walau kau pandai membaca orang lain, bukan berarti mereka akan berlaku sesuai dengan dugaan.

“Kalau kau mau mengajakku makan malam atau sekadar minum di suatu tempat, kau tahu tempat untuk menjemputku.”

Raut wajahnya masih tidak mengerti dengan segala yang kau ucapkan. Tidak apa-apa, kau yakin dia akan paham setelah ini. Mungkin.

Tanpa menunggu lagi, kau membuka pagar dan masuk ke dalam rumah. Kau mendengarnya berjalan menjauh ketika beberapa menit sudah terlewat. Senyummu muncul tanpa kau sadari.

Siapa sangka kau pergi untuk es krim dan mendapat lelaki menarik sebagai bonus?

[#takanoo, fab au; prince charming!takaki + mermaid!inoo, ditulis dari pov kedua takaki] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau menyadari presensinya sejak hari pertama kau datang ke sana.

Biasanya kau tidak pernah mengarungi laut sejauh itu, namun hari itu kau masa bodoh dengan peringatan semua orang di istana dan pergi sendiri. Kau sudah berkata agar mereka tak perlu mengikutimu, cukup menyusulmu jika kau tidak kembali selama satu minggu. Tidak peduli dengan apa-apa lagi, kau naik ke salah satu perahu yang ada dan memberanikan diri untuk melayarkan benda itu sendiri.

Kau percaya dengan mitos. Percaya dengan segala makhluk laut yang diceritakan ibumu sejak kecil, entah itu baik atau buruk. Kau tentu percaya tentang kisah duyung yang terkutuk, terjebak di dalam laut karena konflik lama dengan para penyihir.

Kau hanya tidak percaya akan bertemu dengan dongeng itu secara cepat, mengikuti gerak perahumu dalam diam.

Ibumu selalu berkata untuk jangan menatap duyung tepat pada mata mereka. Jangan menoleh jika dipanggil. Jangan mengundang mereka naik ke perahumu. Intinya, jangan melakukan apa-apa jika ada duyung. Anggap mereka tidak ada.

Jadi, dengan sedikit takut kau akan tergoda atau lupa di tengah jalan akan nasihat ibumu, kau mencoba untuk mengabaikan dia.

Untungnya, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak pernah memanggil, tidak tiba-tiba naik ke atas perahumu, bahkan tidak sedikit saja menyenggol keberadaanmu. Seakan dia hanya ingin mengikutimu saja, mengetahui arahmu pergi. Kau tidak terlalu keberatan, merasa setidaknya kau tidak benar-benar sendiri di tengah laut. Lagipula, kau dengar duyung dapat mengontrol gerak-gerik ikan laut lainnya. Bisa saja dia baik dan menahan segala ikan buas yang ingin melahapmu.

Kau kembali pada hari keempat, lebih karena persediaan hidup di perahu itu menipis dan kau tidak ingin mati sia-sia di tengah laut. Dia cukup baik untuk menemanimu hingga beberapa meter sebelum daratan, mungkin karena dia memang tidak bisa menyusuri lebih dari itu, atau karena dia tidak ingin dilihat oleh manusia lain. Kau dengar duyung sangat menyukai manusia, namun mungkin karena sendirian dia sedikit malu. Atau tidak suka saja.

Kembali ke istana, kau ditodong berbagai pertanyaan, khususnya dari teman-temanmu yang menanyakan apa kau bertemu duyung. Kau tidak mengatakan apa-apa, ingin mereka tidak mengetahui apa-apa sebab kau tak ingin mereka pergi dan menemui duyung itu. Kau belum cukup tahu mengenai dia dan kau ingin informasi itu hanya dimiliki olehmu.

Minggu berikutnya, kau kembali ke laut. Tidak ada banyak hal juga yang dapat kau lakukan, sebenarnya, kau hanya ingin menemuinya lagi. Mungkin kau bisa meliriknya sedikit kali ini, setidaknya agar kau dapat membayangkan bagaimana rupanya duyung itu.

Dia kembali menemanimu tak lama ketika kau memasuki perairan. Dalam hatimu kau sedikit berharap dia menunggu kedatanganmu. Bisa saja dia punya firasat, bukan?

Sama seperti sebelumnya, dia menjaga jarak di antara kalian. Sesekali bersembunyi di balik karang ketika malam tiba. Kau belum berani melirik ke arahnya sama sekali.

Pergi ke laut menjadi rutinitas mingguanmu. Kau akan bermalam di sana dan kembali ketika sore tiba. Pernah sekali kau iseng membawa alat pancing, hanya untuk melihat reaksinya. Apakah dia akan marah? Mungkin mendorong perahumu hingga terbalik? Menarik tubuhmu masuk ke laut?

Namun ternyata, dia justru membantumu. Kau mendapat banyak ikan hanya dalam waktu beberapa menit. Kau tahu semua itu bukan hasil kerja umpanmu.

Kau tidak pernah mengatakan apa-apa padanya. Tidak tahu apakah dia akan mengerti jika kau berkata dalam bahasa manusia. Tidak punya ide juga akan apa yang harus kau katakan.

Pernah sekali kau melirik ke arahnya ketika dia sedang berenang dekat dengan perahumu. Kau dapat melihat surainya yang putih dan ekor panjangnya yang biru tua, persis seperti ilustrasi seorang duyung. Kau tidak melihat wajahnya, tentu, sebab kau langsung mengalihkan pandanganmu. Takut dia akan sadar kau meliriknya.

Yang tak kau prefiksi adalah ketika suatu malam, kau hampir tertidur, lalu kau merasa perahumu bergoyang. Kedua matamu yang hampir tertutup menangkap sosok asing, naik di ujung perahumu, sepasang mata biru terlihat mencolok dalam gelapnya malam. Kau tidak tahu apakah mata itu benar-benar bersinar, mungkin efek karena otakmu sudah lelah, atau bisa saja efek magis dari sebuah makhluk mitos? Kau tidak bertanya juga.

Kepalamu memutar kembali kata-kata ibumu, jangan menatap mata seorang duyung, namun kau tak merasa ada yang salah.

“Siapa namamu?” Suaranya tidak seseram yang kau bayangkan. Kau kira dia akan bersuara berat, keras, seperti apa yang dideskripsikan orang-orang. Namun telingamu justru menangkap suara yang cukup ringan, sedikit tinggi, dan kau suka mendengarnya.

“Takaki,” tanpa sadar kau membuka mulutmu, “Takaki Yuya.”

Kau tidak ingat apakah dirimu yang mendekat padanya atau dia yang bergeser menghapus jarak di antara kalian. Yang kau ingat adalah ujung-ujung jarinya, basah dan dingin, menyusuri pipi dan dagumu, semakin membuatmu sulit untuk memutus kontak mata kalian.

Yang kau ingat adalah hari itu kau bertemu dengan Inoo Kei.

[#inochine, au; kusaka eiji!inoo + pinokio!chinen, ditulis dari pov kedua inoo] [note: saya cinta banget sama pinokio chinen jadi nulis dia terus yaampun maapkan. maapkan juga karena ditulisnya sama eiji yang galak😭 oya btw ini eiji latarnya setelah cerita lost id selesai] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tidak mengharapkan menemui seorang boneka, tertidur di depan pintu apartemenmu, di suatu pagi yang sendu.

Kau tahu itu boneka, dari rupanya yang seperti rekaan, kulit tanpa pori-pori, serta bajunya yang seperti badut kartun. Namun kau sempat ragu sebab kau yakin melihat tubuhnya kembang kempis dan jemarinya sempat bergerak sedikit.

Apa ini boneka-boneka yang dirancang untuk berfungsi seperti manusia?

Hujan masih mendera tanah, tidak berhenti sejak kemarin malam sehingga kau tahu mengapa boneka itu basah. Kau ingin mendiamkannya saja, namun hatimu luluh melihatnya sedikit menggigil. Akhirnya, setelah menoleh beberapa kali ke sekeliling dan memastikan tidak ada orang, kau menggeretnya ke dalam kamarmu.

Kau bukan orang yang punya tenaga banyak. Boneka itu lebih berat dari dugaanmu sehingga butuh beberapa waktu sampai akhirnya kau dapat menutup pintu dan mendudukkannya di kamar mandi.

“Hei,” kau menepuk pelan pipinya, dingin seperti mayat, “kau mendengarku? Aku akan membuka bajumu, lalu merendammu di air hangat.”

Kau sebenarnya juga tidak yakin. Kalau dia boneka sungguhan—atau jangan-jangan robot?—seharusnya tidak dapat kau masukkan ke dalam air, bukan? Lebih-lebih air hangat. Namun dia bernapas, berarti dia makhluk hidup, kan?

Tidak ingin berpikir lebih lama, kau tetap menyiapkan air hangat untuknya. Kalau-kalau rusak, biarlah. Mungkin nanti dia dapat tanyakan ke toko boneka terdekat. Atau kantor polisi. Entahlah, itu urusan nanti.

Membuka bajunya, kau sedikit heran akan pakaiannya yang terlalu aneh. Seperti badut sirkus. Kau memasukkannya ke dalam mesin cuci, jaga-jaga kalau boneka itu membutuhkannya lagi nanti. Kalau tidak, dia bisa menjualnya, mungkin.

Memasukkan boneka itu ke dalam air hangat juga menjadi pekerjaan ekstra untukmu. Kau menghela napas panjang setelah memastikan dia tidak akan tenggelam di sana. Tanpa bajunya yang sedikit besar, ternyata boneka itu cukup kecil.

Mendengar suara hujan yang masih deras di luar sana, kau ikut merendam tanganmu di air hangat. Dingin dari boneka itu menular padamu, juga pada seluruh pakaianmu yang kini basah. Mungkin nanti kau juga harus berendam untuk menghangatkan dirimu.

Menatap wajah boneka itu yang kini lebih berwarna, tidak lagi sepucat sebelumnya, kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri. Kalau ternyata dia tidak punya tempat kembali, apa kau dapat menampungnya? Kau memang tidak punya tujuan lagi, aksi balas dendammu yang sudah kau rancang belasan tahun tidak ada artinya sekarang, pun harapan hidupmu untuk hari esok. Punya seseorang—atau sebuah boneka—hidup di sini mungkin tidak buruk.

Kau menggelengkan kepalamu, mencoba menyingkirkan pemikiran seperti itu. Mana mungkin. Boneka ini bisa saja hanya tersesat dan akan kembali ke rumahnya nanti setelah sadar. Tidak sepertimu yang kehilangan tempat berpulang.

“Merepotkan saja,” gumammu ketika harus menggeretnya keluar dari kamar mandi dan membalutnya dengan handuk.

Kau memilih bajumu yang paling kecil untuk dia pakai serta celana pendek untuknya karena kau yakin celana panjangmu akan menutupi seluruh kakinya. Kau membaringkannya pada futonmu, belum kau lipat karena kau memang baru saja bangun.

Jemarimu membelai rambutnya, merapikannya sedikit setelah sempat kau sisir sebelumnya. Kau mendengarnya bergumam, entah tentang apa sebab dia kembali terdiam.

Kau sedikit heran ketika ujung-ujung jarimu dapat merasakan kehangatan dari pipinya, padahal kau yakin sebelumnya dia dingin seperti tidak hidup. Apa karena air hangat tadi? Atau karena dia benar-benar hidup?

Dalam hati, kau menyimpan semua pertanyaan itu untuk nanti saat dia bangun. Begitu juga dengan pikiranmu yang membayangkan jika boneka ternyata hadiah dari entah mana untuk menemanimu di sini.

Untuk saat ini, kau hanya ingin berendam di air hangat.

[#inoyuto dengan fuyunosuke!inoo karena saya iseng, ditulis dari pov kedua yuto] [note: fuyunosuke (tokyo alien bros.) © shinzo keigo] [untuk #Inoo31stbirthday]

Senyumnya adalah hal pertama yang kau lihat darinya.

Dalam malam yang gelap, hanya beberapa lampu jalan menerangi, rambut putihnya terlihat mencolok. Begitu juga dengan kacamata bulat yang dia pakai. Juga kamera yang dia pegang dalam tangannya.

Kau tidak pernah melihat dia sebelumnya.

“Ah, mau memotret bulan merah?” Dia bertanya, suara jauh lebih ringan dan tinggi dibanding yang kau bayangkan. Matanya melirik ke sekeliling kalian, tidak mendapati siapapun—karena itulah kau memilih tempat ini. Jarang sekali orang mendatangi tempat ini di malam hari, terlebih jika hanya untuk memotret bulan.

Senyum lebarnya sedikit menciut ketika kau tak kunjung menjawabnya. Dia sedikit memiringkan kepalanya, gerak-geriknya membuat kau merasa dia sedikit komikal.

“Iya, memotret bulan.” Akhirnya kau bersuara, membuat kedua alisnya terangkat, mungkin sempat mengira kau tak bisa bicara. “Kau sendiri?”

“Sama,” jawabnya singkat. Tanpa bertanya, dia mendudukkan diri di sampingmu. Kau tidak keberatan, sebenarnya, hanya ada perasaan ganjil yang mengisi hatimu sejak melihat sosoknya. “Aku penasaran mengapa manusia begitu senang melihat benda langit ini.”

Kau sedikit bingung mendengarnya. Mungkin dia orang yang sedikit merasa berbeda dari orang lainnya? Atau mungkin sedang melakukan penelitian tertentu?

Pandanganmu kembali pada bulan di atas langit yang biasanya pucat kini sedikit berwarna. Terdapat dua bintang menemaninya, walau letaknya sangat berjauhan dan kau juga sadar dua benda itu sudah lebih dulu mati.

“Karena hari ini spesial,” kau menjawab tanpa banyak pikir, “bulan merah jarang ada.”

“Ah, benar juga.” Kau mendengarnya tertawa, masih dengan suaranya yang ringan dan menarik untukmu. “Tapi kau pasti terbiasa memotret, ya.”

Kau kembali menoleh padanya ketika menyadari dia tidak bertanya, suaranya terdengar bahwa dia yakin dengan pernyataannya. “Maaf?”

“Kau terlihat sudah biasa memegang kamera.” Dia menjelaskan. “Kameramu juga terlihat khusus, bukan sepertiku yang seadanya.”

Lirikanmu teralih pada kameranya, sederhana dan jelas kau tahu bukan untuk orang yang menjadikan fotografi sebagai hobi. Bibirmu tanpa sadar membentuk senyum, terdapat rasa senang dalam dirimu, entah mengapa ucapannya terdengar seperti pujian untukmu.

“Begitulah,” kau mengangkat kedua bahumu, “aku hanya suka. Lebih suka lagi kalau hasilnya bagus.”

Mendengarnya dia mengangguk, tidak lagi bertanya karena dia mulai memotret beberapa hal yang menarik perhatiannya. Kau sudah cukup mengambil beberapa foto, tinggal menunggu bulan menjadi benar-benar merah.

“Siapa namamu?” Dia tiba-tiba bertanya, pandangannya masih pada kamera yang dia pegang, memotret beberapa kali ke arah langit.

“Uh,” kau tidak siap dengan pertanyaannya, “Nakajima.”

Dia menatapmu ketika kau tidak meneruskan, namun tidak bertanya lebih lanjut terkait nama depanmu. “Ah, baiklah. Salam kenal, Nakajima-san.”

“Kau sendiri?”

“Fuyunosuke.”

Fuyunosuke? Kau menahan diri untuk bertanya apa dia jujur atau tidak. Apa karena kau tidak memberi nama lengkapmu dia akhirnya memberikan nama asal sebut? Setelah kau pikir lagi, sebenarnya adil saja jika dia berlaku seperti itu. Kau juga tidak rugi apapun.

“Kalau kau merasa aneh, kau bisa memanggilku Fuyu,” terusnya, bibirnya tetap tersenyum seakan wajahnya tak lelah memasangnya.

Kau hanya mengangguk, sedikit bertanya-tanya apakah dia dapat membaca pikiranmu. Namun kau berusaha untuk menghentikan fokusmu padanya. Kau di sini hanya untuk memotret bulan, ketika selesai kau akan langsung pulang. Kau berdoa semoga dia tidak tiba-tiba mengikutimu atau melakukan hal aneh lainnya.

Namun semakin kau berusaha untuk mengabaikannya, semakin kau sadar akan gerak-geriknya.

“Nakajima-san,” dia memanggilmu lagi, mau tak mau kau menoleh, “kau ada acara setelah ini?”

Pikiranmu berteriak agar kau menolaknya sebab apa yang akan kalian lakukan ketika sudah malam? Pergi makan? Mungkin. Mungkin dia hanya mengajakmu makan malam.

“Tidak ada.” Kau merasa sesal menyelimuti hatimu sesaat setelah kau berucap.

“Oh,” dia terlihat seakan tidak menduga kau akan menjawab seperti itu, “mau makan takoyaki? Aku berencana membuatnya malam ini dengan kakakku.”

Kau tahu jelas harusnya menolak. Walau tidak ada acara bukan berarti kau harus menerima ajakannya. Namun senyumnya, caranya bicara, serta jaraknya yang semakin mendekat membuatmu bertanya-tanya apa salahnya jika kau ikut dengannya.

Menahan napasmu, kau menjawab, “Boleh.”

[#yabunoo, au, sedikit-banyak dilatarbelakangi lagu taylor swift yang “wildest dream”, implisit, cheating theme, ditulis dari pov kedua inoo] [note: ini berasa cerita-cerita wattpad karena unsur ceo dan segalanya WKWK jadi ya klise sih tapi saya pengen nulis karena saya butuh asupan /gmn] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tahu ini salah.

Pertama kali bertemu dengannya, kau berada di sebuah bar, hati setengah kesal karena Daiki dan Takaki menggeretmu ke sana. Padahal kau sudah berencana tidur saja semalaman, lalu membiarkan dua temanmu sakit kepala sendiri akibat terlalu banyak minum keesokan harinya. Itu kesalahan pertamamu, seharusnya kau pura-pura tidur saja ketika mereka mengetuk kamarmu.

Kau duduk tepat di sebelahnya, hanya karena itu tempat yang kosong, menolak untuk berkeliling dengan dua temanmu. Itu kesalahan keduamu, seharusnya kau ikut saja dengan mereka walau tidak akan melakukan apa-apa.

Dia yang menyapamu terlebih dahulu, mengerti bahwa kau sebenarnya tak mau berada di sana, lalu membelikanmu satu gelas minuman. Kau menerimanya, juga membalas rayuannya karena kau terpikat lebih dulu dengan caranya menatapmu. Dalam, tajam, seakan dia menemukan sesuatu yang dia cari dalam matamu yang kelam.

Dia yang mengulurkan tangan terlebih dahulu, mengajakmu untuk pergi ke tempat yang akan kau nikmati dibanding mati bosan menunggu dua temanmu yang mungkin akan pulang bersama gandengan masing-masing. Ini kesalahan ketigamu, karena kau tidak dapat menahan diri untuk menerima tangannya yang terasa sedikit kasar, namun hangat untukmu yang dingin malam itu.

Kau ingat semuanya yang terjadi malam itu. Ingat bagaimana suaranya menyebut namamu, jemarinya menyusuri fiturmu, serta kontaknya yang kini tersimpan dalam ponselmu. Kau ingat namanya, menyebutnya berkali-kali baik dari mulutmu atau dalam hatimu, bahkan hingga kini.

Daiki dan Takaki menodongmu banyak pertanyaan dua hari setelahnya sebab mereka butuh satu hari untuk kembali pulih dan mempertanyakan kewarasanmu.

“Yabu Kota?!” Kau harusnya sudah terbiasa dengan volume suaranya yang setengah berteriak. “Kau tidak salah?”

Kau menggelengkan kepalamu. Jemarimu mengusap layar ponselmu yang menunjukkan pesan-pesan antara kalian beberapa jam lalu.

“Tapi ini hanya satu kali saja, kan?” Kini Takaki yang bertanya, suaranya lebih tenang walau ekspresinya menunjukkan dia khawatir. “Kau tidak akan menemuinya lagi, kan?”

Kau tidak bisa menjawabnya. Yabu sudah bilang padamu bahwa ini bukan sesuatu yang eksklusif. Kau juga tidak mengharapkan sesuatu yang lebih ketika melihatnya, paham bahwa dia bukan orang yang akan bertahan lama dengan orang sepertimu. Namun lucunya kau tidak keberatan jika ini semua hanya jadi permainan. Padahal sebelumnya, kau tidak suka dengan hal seperti ini.

Ya kan?” Daiki menekankan karena kau tidak menjawab, tidak juga menatap ke arah mereka. “Kau tahu nantinya kau yang akan sakit sendiri.”

“Aku ... tahu.” Kau sudah punya sehari penuh kemarin untuk memikirkan apa yang akan menjadi akibat dari kesalahanmu. Kau tahu persis akhirnya akan seperti apa. Dan kau tidak keberatan.

“Kau tahu dia akan segera menikah dengan tunangannya?”

Tentu kau tahu. Kau segera mencari segala tentangnya setelah kau kembali pulang, lebih banyak tahu lagi karena Yabu menjelaskannya sendiri dalam pesan-pesannya. Yabu tidak mengharapkan kau mengerti, tidak meminta kau untuk tetap menanggapinya, namun kau tidak dapat mendorong diri untuk memblokir kontak dan melupakannya.

Bodoh, kau tahu. Salah, kau mengerti. Tapi selama semua itu belum terjadi, sebelum dia terikat pernikahan, dan selama dia masih ingin bertemu denganmu kau menghapus segala pikiran terkait itu kini.

Kau tidak tahu sihir apa yang dia gunakan. Mungkin kaunya juga yang terlalu mabuk dengan pandangannya. Atau mungkin karena akhirnya kau menemukan apa yang kau cari juga dalam dirinya.

Anggukan darimu membuat kedua temanmu terdiam. Kau juga tidak tahu mau mengharapkan apa, sejenak tidak ingin berpikir mengenai apa-apa.

[#ariino, stalker!daiki au; sedikit terinspirasi dari serial you, ditulis dari pov kedua] [untuk #Inoo31stbirthday]

Sudah lama kau mencarinya.

Kau menemukannya pada suatu sore, ketika tak sengaja melewati kawasan apartemenmu yang baru. Dia berada di dalam sebuah kedai kopi, pandangan fokus pada mejanya, lembaran kertas berserakan. Segelas teh dan satu piring kue duduk di kursi tepat di sampingnya, gelas setengah kosong dan kue setengah habis.

Sempat kau merasa detikmu berhenti sesaat, langkahmu terhenti, terdengar gerutu dari orang di belakangmu namun kau tidak peduli. Tatapanmu tertuju pada dia, di dalam sana, dan kepalamu memikirkan cara untuk mendapatkannya.

Kau memutuskan untuk masuk ke kedai yang sama, duduk beberapa meja darinya. Kau cukup suka dengan tempat ini, tidak terlalu padat, suasananya nyaman, sesuai dengan seleramu. Dalam hati, kau sudah merasa adanya kecocokan antara dirimu dengannya.

Menilai dari gayanya, serta lembaran yang berserakan, kau menyimpulkan dia mahasiswa arsitektur. Mungkin dari universitas dekat sini, sama sepertimu. Sayangnya, kau belum pernah melihat dia sebelumnya, padahal kau cukup aktif dengan kegiatan kampus. Jejaring temanmu cukup luas, kau sedikit heran tidak pernah bertemu dengannya.

“Kau ingin menambah tehmu?” Salah satu barista yang melayanimu sebelumnya berjalan mendekat padanya, memberikan senyuman yang menandakan keakraban.

Dia menoleh, lalu melirik gelasnya yang sudah kosong. Tanpa membuka mulutnya, dia hanya mengangguk, lalu mengembalikan atensinya pada kertas di hadapannya.

Barista itu tampak tidak keberatan dengan kebisuan dia, justru terlihat sudah paham bahwa tidak seharusnya mengganggu si dia. Kau menatap mereka sambil merekam semua dalam kepalamu, melirik sekali lagi pada nama yang tertera di pin barista itu, Hikaru.

Lama-kelamaan, kedai itu mulai kehilangan pelanggan. Kedai ini hanya buka sampai pukul sepuluh, buka kembali esok pagi pada pukul sepuluh juga. Dia tidak terlihat seperti akan pergi, namun kau tidak ingin terlihat menunggunya, jadi kau memutuskan untuk menunggu di luar, mengambil sepedamu yang kau taruh beberapa blok dari sana.

Sambil menunggu, kau membuka ponselmu, mencari informasi terkait barista itu. Tak sampai beberapa menit, kau menemukan akun jejaring sosialnya. Untungnya, Hikaru cukup aktif di sosial media, beberapa kali juga mengunggah kegiatannya bersama lelaki itu.

Kau mendapatkan namanya dari salah satu unggahan Hikaru; Inoo Kei. Hikaru memanggilnya Inoo-chan, namun kau memilih untuk menyebutnya Kei dalam hatimu.

Berbeda dari Hikaru yang cukup aktif, Kei tidak banyak memberikan unggahan. Jarang juga online pada beberapa jejaring karena unggahannya terakhir berasal dari tiga atau dua tahun lalu. Tidak banyak info yang kau dapatkan dari akunnya dibanding dari akun Hikaru. Untuk sementara, kau akan sering-sering mengecek akun si barista itu untuk mengetahui sesuatu tentangnya. Mungkin jika kau mendapatkan akun teman dekatnya yang lain, kau akan menandainya juga.

Setelah mengecek beberapa unggahan, kau sedikit-banyak tahu tentangnya. Kedai itu milik Hikaru sendiri dengan seorang temannya yang lain, Yuto. Inoo mengenal keduanya dekat, lebih kenal dengan Hikaru karena mereka teman masa kecil. Kau belum terlalu mengecek latar belakang Yuto dan kau menjadikan itu tugasmu nanti ketika kembali ke rumah.

Kau segera memasukkan ponselmu ke dalam saku ketika melihat dia keluar dari pintu kedai, melihatnya melambaikan tangan pada Hikaru dan mengatakan sampai jumpa besok. Suaranya terdengar lelah namun puas, mungkin pekerjaannya sudah selesai selama kau menunggu di luar. Kau suka mendengar suaranya, terdengar berbeda dan unik untukmu.

Dia tidak menggunakan kendaraan apapun, tidak juga memanggil taksi yang lewat. Kau menyimpulkan tempat tinggalnya tidak jauh dari sana. Masuk akal juga, karena waktu sudah cukup larut dan dia sering mampir ke tempat itu, pasti selain karena tempat itu milik Hikaru juga karena kedai itu dekat.

Perlahan, kau mengikutinya, memberikan jarak yang cukup jauh sehingga kau tidak dicurigai namun kau tetap dapat melihatnya. Kau memperhatikan gaya jalannya, tidak terburu-buru namun juga tidak terlalu lambat. Sesekali dia menoleh ke kanan dan kiri, melihat toko yang sedang ditutup atau kendaraan yang sedang lewat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaketnya, sesekali dia gerakkan sesuai temponya berjalan.

Dia masuk ke dalam suatu gedung apartemen, membuatmu juga ikut menghentikan laju sepedamu. Letaknya tak jauh dari kedai, mungkin hanya sekitar 400 meter. Kau tidak terlalu pandai menghitung jarak dengan tepat, namun kira-kira seperti itu. Gedung itu hanya bertingkat tujuh, kau mengingat-ingat bentuk dan lokasi sekitarnya.

Menyadari senyum hadir di wajahmu, kau kembali mengayuhkan sepeda ke arah yang berbeda. Gedung tingkat tujuh tentu memiliki banyak penghuni namun kau yakin akan menemukan tempat yang dihuni lelaki itu dengan mudah.

Kau juga yakin kau akan bertemu dengannya kembali esok hari.

[inoo-centric part 2, ditulis dari pov kedua, lupa disebut di part pertama tapi ini asalnya datang pas dengerin “yoake to hotaru”-nya n-buna :D] [untuk #Inoo31stbirthday]

Tidak ada balasan apa-apa ketika kau mengirimkan pesanmu. Kau pikir dia akan mempermainkanmu sebentar dan bercanda, namun tidak ada tanggapan darinya. Pesanmu hanya dibaca beberapa hari kemudian dan kau juga tidak tahu harus menanyakan lagi padanya atau tidak.

Untuk sementara, kau mengobrak-abrik seisi apartemenmu.

Beberapa baju yang kau keluarkan dari lemari tidak terlalu variatif. Hanya terdiri atas beberapa kaus panjang, hoodie, jaket yang cukup nyaman kau pakai untuk sekarang, serta beberapa pasang celana panjang. Warnanya monoton, hanya beberapa jaket berwarna ungu dan merah, lainnya didominasi hitam dan putih. Tidak ada barang-barang spesifik yang kau simpan di dalam sana, hanya satu kotak sepatu yang tampak baru dibeli.

Yang menarik atensimu adalah keyboard yang tersimpan di samping lemarimu. Kau sedikit ingat sempat mengambil les untuk memainkan alat itu, atau piano jika kau berada di rumah orang tuamu. Jemarimu menekan beberapa nada, mencoba memainkan lagu yang tertera pada lembaran di dalam tas keyboardmu. Cerita tanpa judul, kau sedikit menahan tawa membaca judulnya.

Kau sedikit kesulitan memainkan nadanya pada pertama-tama, merasa kau dulu juga pernah berada di posisi yang sama. Kau tahu seharusnya ada lirik yang mengikat nada-nada itu, orang yang menyanyikannya berdiri di sampingmu, serta beberapa orang lain yang ikut meramaikan pertunjukkan kalian.

Sayangnya, tidak ada kata-kata yang kau ingat dari lirik itu. Tidak juga nama orang-orang yang ada di sampingmu, bahkan wajahnya saja sulit kau hidupi kembali dalam memori.

Mencoba mencari petunjuk lain, kau membuka lemari-lemari lain yang ada, berharap menemukan foto atau apapun yang dapat memberi informasi lebih untukmu. Kau tidak begitu tahu seberapa penting lagu itu untukmu atau apakah lagu itu sesuatu yang harus kau ingat, namun untuk saat ini, hanya lagu itu yang paling berarti untuk menjadi jejak masa lalumu.

Ketika kau sedang mengeluarkan tumpukkan kertas yang ada di dalam suatu laci, ponselmu berbunyi. Awalnya kau pikir kau salah mendengar, namun layar ponselmu menyala, memberikanmu tampilan satu pesan yang masuk.

Ah, sudah lama tidak mendengarmu memainkan lagu itu.

Berbeda dari sebelumnya, kini pengirim pesan itu tidak memberikanmu petunjuk sama sekali. Tidak ada nama, inisial, atau emotikon yang dapat menggambarkan sosok pengirim. Namun yang pasti, dia tahu tentangmu dan sedang berada di dekatmu.

Apartemenmu berada di lantai enam, dindingnya juga cukup tebal sehingga kemungkinan besar tidak ada penghuni lain yang mendengar permainanmu tadi. Atau apakah kau tidak sadar bunyi keyboard itu terlalu keras? Kau jadi tidak yakin sendiri.

Kemungkinan lainnya—tidak ingin kau jadikan kemungkinan, sebenarnya—adalah adanya kamera pengintai di dalam sini. Apakah sempat ada penyusup masuk ke sini sebelumnya? Sejak kau kembali, tidak ada orang lain selain orang tuamu yang datang. Mungkin ketika kau masih di rumah sakit? Namun bukankah kau tinggal sendirian di sini?

Pesan berikutnya datang ketika kau tidak membalas apa-apa, pengirim pesan itu mengerti kau mempertanyakan banyak hal dalam pikiranmu.

Aku hanya tahu, cepat atau lambat kau akan menemukan keyboard itu Lagipula, itu laguku

Kau mengedipkan matamu dua kali ketika membaca pesan itu. Lagunya? Jadi orang ini yang menyanyikan nada-nada yang baru saja kau mainkan? Kau tidak tahu harus membalas dengan kata-kata seperti apa. Haruskah kau bertanya lebih tentang orang itu? Atau tentang lagu itu?

apa kita pernah menyanyikannya bersama?

Tanpa sadar, kau mengetikkan kalimat itu dan memencet tombol kirim. Kau tidak yakin apakah itu penting atau tidak, pesan dari orang-orang anonim ini terasa konyol untukmu kini.

Meninggalkan ponselmu sebentar, mematikan suaranya agar kau tidak terdistraksi dengan notifikasi kalau-kalau orang itu menjawab, dan kembali pada berkas-berkas yang baru saja kau keluarkan dari laci.

Kau menemukan beberapa buku yang masih disegel, beberapa komik yang sudah terbuka, serta lembaran lagu lainnya. Lagu-lagu itu hanya ditulisi not piano, tanpa lirik, tanpa nama siapa penyanyinya. Apakah penyanyinya sama seperti pengirim pesan hari ini?

Kumpulan lagu-lagu itu kau tumpuk jadi satu, kau taruh di dekat keyboardmu. Mungkin nanti akan kau coba mainkan, siapa tau nadanya terdengar familiar seperti lagu pertama.

Melirik pada ponselmu lagi, kau mendapati ada dua pesan baru dari si pengirim pesan.

Pernah Bersama yang lain juga

Lagi-lagi, pesan pengirim itu membuatmu kebingungan. Dia memberikan lebih banyak petunjuk untukmu dibanding si lebah yang pertama kali mengirim pesan. Kau juga merasa lebih terhubung dengannya, khususnya berkat lagu yang mulai kau hapal nadanya.

Tidak ada bayangan seperti apa rupa orang ini dalam pikirmu. Apa kau akan mengingatnya jika kau melihatnya? Apa dia berada di sekitar tempatmu tinggal? Kau belum pernah keluar dari apartemenmu sejak kau kembali, jadi ada juga kemungkinan dia menunggumu di luar sana.

Tanpa pikir panjang, kau membalas pesannya kembali dengan sebuah pertanyaan, yang lain? siapa?

Tepat setelah kau mengirim pesan itu, bel berbunyi, membuatmu menoleh ke arah pintu utama. Siapa? Kau tahu pasti orang itu bukan orang tuamu sebab mereka mengatakan akan mengabari jika mau mampir. Kau belum pernah bertemu siapa-siapa selain mereka, tidak ada juga yang mengirimimu pesan kecuali si lebah dan pengirim anonim hari ini.

Apakah si anonim ini memilih untuk langsung menemuimu alih-alih berbicara melalui pesan?

Sedikit gugup, kau bertanya, “Siapa?”

“Paket,” jawab sebuah suara di balik pintu, terdengar terlalu bahagia dan bersemangat.

Setelah kau mengintip pada lubang pintu dan memastikan orang yang berdiri di luar sana menggunakan seragam pengirim paket, kau membukakan pintu untuknya. Lelaki itu lebih tinggi darimu, senyum lebar hadir di wajahnya, dan kedua tangannya menyodorkan sebuah kotak untukmu.

“Paket untuk Inoo-san,” ucap lelaki itu, suaranya sedikit lucu ketika menyebut namamu.

Kau mengangguk, menerima paket itu, lalu menandatangani kertas yang diminta. Lelaki itu mengucapkan terima kasih dengan cepat, sedikit menatapmu lebih lama dari yang seharusnya, sebelum melangkahkan kaki pergi dari hadapanmu. Kau sedikit merasa ada yang janggal, namun atensimu teralih pada kotak yang ada di tanganmu.

'Kau selalu berkata kalau kau menyukai teh ini.'

Kertas kecil yang diselipkan di dalam kotak itu memuat tulisan yang sedikit sulit terbaca. Agak miring-miring karena tidak bergaris, namun kau masih bisa membacanya setelah lama menatap kertas itu.

Sesuai tulisan tersebut, isi kotak itu hanyalah teh dalam kaleng sebanyak satu lusin. Kau sedikit terkekeh melihatnya, merasa aneh ada orang yang tiba-tiba membelikannya teh sebanyak ini. Pasti orang yang cukup mengenalnya juga karena tahu kesukaanmu akan teh. Sayangnya, pengirim teh itu tidak memberikan nama, tidak ada identitas pengirim juga yang tertera di kotak itu.

Membuka satu kaleng teh, meneguknya cepat dengan ekspektasi lidahmu akan menyukainya. Namun kau justru sedikit meringis, indera pengecapmu menolak untuk suka dengan teh itu.

Aneh. Padahal kertas itu mengatakan dia menyukainya. Apa pengirim teh ini berbohong?

Ponselmu berbunyi, membuatmu cepat mengalihkan pandanganmu ke benda kecil itu, menaruh kaleng teh yang sudah kau buka di atas meja. Kau mengira si anonim membalas pesanmu sebelumnya, hatimu berdebar memikirkan jawaban apa yang diberikan oleh si pemilik lagu itu.

Namun ternyata, pesan yang datang berasal dari orang yang berbeda lagi. Tidak seperti si lebah dan si anonim, dia memberikan inisial nama di akhir pesannya.

dia bohong, kau tidak suka merek teh itu. —D.

Tidak berarti kau mengenalinya juga.

Kau menyimpulkan si pengirim pesan ini juga berbeda dengan si pengirim teh. Kalau si pengirim teh juga bukan berasal dari si lebah atau si anonim, berarti ada empat orang yang sudah menghubungimu. Namun siapa mereka?

Menghela napas panjang, kau merebahkan dirimu di atas kasur, menatap langit-langit apartemenmu sembari memikirkan ini semua. Bagaimana kalau semuanya hanya diatur oleh satu orang yang menyamar menjadi si lebah, si anonim, si pengirim teh, dan D? Atau hanya keusilan seseorang yang hanya ingin membuatmu bingung?

Tidak ada yang dapat kau tanya. Orang tuamu selalu mengalihkan pembicaraan ketika kau menanyakan terkait temanmu. Kau juga tidak bisa memercayai dirimu sendiri sebab memorimu kosong.

Mengabaikan ponselmu yang kembali berbunyi, kau memejamkan matamu. Membiarkan masalah ini kau tangani nanti ketika kau terbangun lagi.

[#ariino, au; barista!daiki + idol!inoo—sharing apartment au] [untuk #Inoo31stbirthday]

Bukannya Inoo tidak suka tinggal sendiri, namun rasanya janggal tidak memiliki siapapun di rumah.

Keluarganya memang bukan keluarga besar, hanya terdiri atas dia, adiknya, ibu, dan ayah. Bukan juga keluarga yang banyak menghabiskan waktu bersama—justru Inoo lebih sering mendapati dirinya sendirian di rumah. Namun tetap saja, dia merasa aneh jika harus hidup sendirian, tidak ada presensi orang lain yang dapat dia tunggu atau menunggunya.

Sayangnya, pekerjaannya juga tidak membebaskan dia untuk tinggal dengan siapa saja. Ada keamanan dan imej yang harus dia jaga, tidak bisa sembarang tinggal bersama orang yang tidak dia kenal. Namun semua temannya menolak untuk menemani dia; Yabu tidak tertarik untuk menangani adanya potensial bertemu stalker yang menguntit Inoo, Takaki hanya mau tinggal di dekat pantai, Yuto sudah tinggal bersama pacarnya, dan Hikaru terlalu punya banyak aturan untuk dia yang ingin bebas. Opsi lain adalah Chinen, temannya dari agensi yang sama pula, namun tentu takut mengundang rumor yang tidak-tidak.

Pada saat itulah dia bertemu Arioka Daiki, teman dekat Chinen yang kebetulan mencari apartemen untuk ditempati bersama. Lelaki itu baru akan pindah dari rumah orang tuanya—sama seperti Inoo. Ketika bertemu, Inoo dan Daiki cepat akrab. Mereka punya selera humor yang sedikit mirip, walau sesekali Daiki sempat mengerutkan keningnya, lelaki itu tetap menerima candaan yang dilontarkan Inoo.

Jadilah mereka membuat semacam “kontrak”, perjanjian terkait tinggal bersama. Tidak boleh ada yang pindah tiba-tiba dalam kurun waktu dua tahun; jika sudah melewati waktu, bisa dirundingkan kembali apakah kontrak akan diperpanjang atau tidak. Sisanya hanya peraturan yang disepakati bersama, seperti jadwal membersihkan rumah, jadwal memasak, batasan yang dapat mereka masuki, siapa yang mendapat ruang mana, dan lain-lainnya.

Apartemen yang mereka tempati cukup besar, terdiri atas tiga kamar tidur beserta kamar mandi di dalamnya, satu ruang utama untuk sofa dan televisi, dapur kecil, dan beranda luar untuk melihat pemandangan.

Semua berjalan baik-baik saja sampai hari pertama mereka tinggal bersama.

Inoo memang bukan tipe orang yang bangun pagi. Dia tidur sesukanya, bangun pun jika otaknya memutuskan untuk menyadarkan diri saja. Namun dia juga bukan tipe orang yang tetap tertidur walau ada bom meledak. Alarm yang berbunyi tiga kali cukup membuatnya tersadar, mencoba mengingat di mana dia berada, dan menggerutu ketika sadar bahwa benda yang berbunyi itu bukan miliknya.

Tanpa pikir panjang, Inoo menggeret kedua kakinya untuk bergerak menuju sumber suara. Tangannya menggedor pintu kamar teman barunya yang ternyata tidak sadar-sadar juga. Memutar kenop pintu, kedua matanya jatuh pada sosok temannya yang masih terlelap, nyaman di balik selimut yang menutupi badannya.

“Dai-chan,” Inoo memanggilnya dengan panggilan yang Chinen gunakan, “bangun, hei, bangun!”

Tangannya sudah mengguncang-guncang Daiki, sedikit membuatnya terkagum karena lelaki itu tidak membuka matanya sama sekali. Agak cemas, Inoo memastikan lelaki itu masih bernapas dengan mendekatkan tangannya ke arah hidung Daiki—ah, masih bernapas, syukurnya.

“Dai-chan!” Inoo sedikit berteriak di kuping lelaki itu, kini hanya suaranya yang berusaha membangunkannya. Alarm yang dipasang di meja dekat tempat tidur sudah Inoo matikan, telinganya sakit sendiri mendengar suara tinggi yang dihasilkan benda itu.

Baru ketika sepuluh menit kemudian, dengan beberapa guncangan, upaya menarik selimut, serta rencana mendorong Daiki jatuh dari tempat tidur ketika lelaki itu akhirnya terbangun. Kedua matanya menatap Inoo polos, tidak sadar kelakuannya hampir membuat Inoo kehabisan tenaga.

Tinggal bersama Daiki ternyata menjadi salah satu tantangan dalam hidup Inoo.

Bukan hanya persoalan bangun pagi dan alarm yang membuatnya gila saja, namun hal-hal lain yang akhirnya menampakkan diri sebagai masalah. Misalnya Daiki yang sedikit cerewet mengenai tempat yang berantakan—omelannya tidak mampu menyaingi Hikaru namun tetap saja membuat Inoo jengkel. Atau Inoo yang merasa aneh karena Daiki pasti akan menyeduh kopi di pagi hari—Inoo bukannya tidak suka kopi, hanya lebih memilih teh sebagai minumannya ... atau bir.

Walau banyak persoalan yang membuat dia dan Daiki masing-masing sebal, ada juga hal yang dapat mereka sepakati bersama.

Misalnya tetangga lantai bawah yang berbicara terlalu keras dengan suara nasal. Pernah suatu malam mereka berdua mengikuti gaya bicara itu dan tertawa semalaman. Atau iseng mencoba resep yang Daiki temukan dari tempatnya bekerja, hanya untuk mendapati kegagalan dan memakan mie seduh untuk kesekian kali.

Atau ketika mereka harus berbelanja, Inoo tentu harus memakai masker dan topi untuk menutupi wajahnya, namun Daiki merasa hal itu tidak adil dan dia ikut memakai hal yang sama. Mereka sempat dicurigai ketika hendak masuk ke toko, penjaga tempat merasa mereka seperti dua lelaki yang ingin merampas.

“Kalau merampas hati Anda, boleh?” Daiki iseng bertanya, membuat penjaga itu sedikit keheranan. Inoo dan Daiki selalu tertawa ketika mengingat hal tersebut, terlebih ketika keduanya kembali dari toko dengan nomor ponsel si penjaga toko.

Tinggal bersama orang lain membuat Inoo lebih nyaman, walau harus menghadapi beberapa kelakuan Daiki yang membuatnya harus bersabar beberapa kali. Namun semua akan terbayar ketika mereka tertawa bersama di akhir hari.