finding your yesterday – 3
[inoo-centric, ditulis dari pov kedua] [untuk #Inoo31stbirthday]
Beruntung, bukan? Kau memulai segalanya dari awal. Lembaran baru. Banyak orang menginginkan posisimu.
Kau menekan tombol off dan melihat layar televisimu redup. Tadinya kau hanya ingin menonton beberapa seri yang menurutmu dapat membuat pikiranmu membaik. Kau tidak terlalu memperhatikan bahwa salah satu episodenya menceritakan orang yang lupa ingatan. Sama sepertimu.
Kau sebenarnya tidak yakin sekarang. Ingin tahu tentang dirimu adalah hal yang wajar ketika memorimu tiba-tiba menghilang. Ingin familiar dengan kehidupanmu adalah hal yang pasti diinginkan orang-orang, bukan?
Namun bagaimana kalau memang kau sendiri yang memutuskan untuk lupa? Bagaimana kalau sebenarnya terjadi sesuatu dan kau tidak mau ingat? Atau kau memutuskan untuk memulai segalanya dari awal dengan membersihkan ingatanmu?
Mungkin kau terlalu banyak menonton seri drama sehingga pikiranmu pun terpengaruh.
Dua minggu berlalu sejak kau mendapat kiriman satu dus teh. Akhirnya kau berikan ke ibumu saat dia mampir. Melihat merek teh tersebut, ibumu tertawa, mengatakan kau tidak pernah suka dengan teh itu.
Tidak ada apa-apa lagi yang terjadi selama dua minggu ini. Tidak ada pesan singkat misterius, kiriman mencurigakan, atau telpon dadakan. Kau juga tidak lagi mencoba memainkan piano, kertas nada yang kau temukan tempo hari tak pernah kau sentuh kembali.
Rasanya hampa berada dalam tempat yang asing bagimu. Jadi, setelah menatap lama televisi yang tidak lagi menyala, kau memutuskan untuk pergi keluar.
Kau tidak punya tujuan pasti. Hanya ingin melihat sekeliling, mencari udara segar, mungkin otakmu bisa memberi rasa familiar pada hal yang kau lihat nantinya. Entahlah, pada titik ini kau tidak lagi yakin ingin memorimu kembali.
Mengunci pintu apartemenmu, kau tak sengaja melihat seorang lelaki tak jauh darimu. Dia lebih pendek, mengenakan kaus hitam, celana panjang, serta sepatu yang terlihat bermerek. Pandangannya tertuju pada layar ponselnya, tidak menyadari kau yang berjalan mendekatinya sebab kau harus melewatinya untuk menuju tangga ke bawah.
Kau tentu tidak mengenalinya. Sedikit tidak yakin juga dia tinggal di sini, mungkin menunggu temannya membukakan pintu, atau ... entahlah. Kau pikir, dia pun tidak akan melihatmu, jadi tak ada keharusan menyapa atau memberi senyum.
Sayangnya, dia mengangkat pandangannya, matanya menemuimu yang masih menatapnya. Mungkin dia menyadari kau melihatnya terlalu lama. Rasanya kau ingin menertawakan kebodohan sendiri, namun kau tidak menyangka raut wajahnya sedikit berubah. Kau tidak tahu kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Yang pasti, kau merasa dia mengenalimu.
Bibirnya sedikit bergerak, seakan ingin mengatakan sesuatu. Kau akhirnya menghentikan langkahmu dengan sedikit berharap dia akan mengatakan sesuatu. Namun dia tidak berkata apa-apa, jadi kau memutuskan untuk bertanya lebih dulu.
“Apa kau mengenalku?” tanyamu, suara lebih pelan dari yang kau kira. Untungnya, dia terlihat tidak kesulitan mendengarmu sebab tempat itu juga cukup sepi dan tidak ada suara lain yang mengganggu.
“Aku—”
Ucapannya terpotong ketika kalian mendengar suara pintu terbuka, seorang perempuan berpakaian rapi keluar dari sana. Perempuan itu melihat kalian berdua, lalu hanya memberi senyum sebelum bergegas pergi menuruni tangga.
Atensimu kembali padanya, dengan mulut yang masih terbuka dan kalimat yang rumpang, namun dia tidak menyelesaikannya. Dia justru pergi menyusul perempuan itu, langkahnya terlalu cepat untuk kau kejar.
Kau sedikit menyesal sempat mencoba mengejarnya, karena tampaknya kau tidak begitu pandai dalam berlari. Dengan napasmu yang tidak teratur, kau mencoba melupakannya dan melangkahkan kaki untuk berkeliling.
Kalau kau ingat-ingat, rasanya kau pernah melihat lelaki tadi sebelumnya. Mungkin. Kau juga tidak yakin. Atau mungkin kau berpapasan dengannya ketika datang dari rumah sakit? Bisa saja dia tetanggamu dan kau melihatnya waktu itu, kan?
Waktu siang di hari Selasa membuat jalanan tidak terlalu banyak diisi orang. Para siswa masih ada di sekolah, pun karyawan yang masih bekerja. Namun kau mendapati beberapa orang mampir di taman kecil tak jauh dari apartemenmu. Ada beberapa ayunan dan mainan lain di sana, kau dapat membayangkannya ramai di Sabtu pagi.
Merasa perlu mengendalikan napasmu yang masih belum terkendali, kau melangkah mendekati ayunan yang tidak diduduki, namun perhatianmu teralih pada orang yang duduk di salah satu ayunan itu.
“Ah, kau.”
Lelaki pengirim paket waktu itu. Kau tidak terlalu bertemu banyak orang, jadi lucu rasanya kau masih mengingat wajahnya. Mungkin dia akan menganggapmu aneh sekarang.
Dia menoleh, sempat memiliki raut penuh tanya sebelum melihatmu. Terkejut, dia sedikit melirik ke kanan dan kiri sebelum akhirnya kembali menatapmu, tubuhnya segera berdiri seakan hendak pergi.
“Ah, uh, Inoo-san,” sesaat setelah dia mengucap namamu, terlihat ada penyesalan dalam ekspresinya, “ya?”
Kau mengangguk, tak mengira dia akan mengingat namamu. Padahal dua minggu sudah berlalu, kau tidak lagi menemuinya, namun dia ingat denganmu. Lucu.
“Karena namamu unik,” dia cepat menjelaskan, “jadi aku ingat.”
“Ah, tentu.”
Dia masih berdiri, kau pun akhirnya menghentikan langkahmu dan urung mendudukkan diri di sampingnya ketika dia terlihat gelisah. Kau ingin bertanya, namun tidak ingin membuatnya semakin tidak nyaman.
“Aku harus pergi,” ucapnya setelah beberapa saat tanpa ada pergerakan di antara kalian, “senang bertemu denganmu, Inoo-san.”
Kau selalu merasa lucu ketika mendengarnya menyebut namamu. Lucu yang ... aneh. Tidak biasa. Seakan kau seharusnya mendengar dia menyebut namamu dengan cara lain yang lebih familiar.
Namun kau tidak sempat mengatakan apa-apa, tidak juga membalas senyum lebar yang dia berikan karena dia langsung berlari cepat, menghilang dan meninggalkanmu sendirian di taman itu.
Pada akhirnya, kau tidak berlama-lama di sana. Kau memutuskan untuk berkeliling saja, melihat deretan pertokoan yang ada, mengunjungi toko swalayan dan membeli es teh yang ternyata kau sukai. Terdapat toko bunga yang membuatmu ingin membeli beberapa tanaman, namun kau rasa kau bukan tipe yang baik dalam menangani tumbuhan. Juga beberapa toko makanan yang membuatmu penasaran ingin mencicipi.
Yang membuatmu heran adalah tatapan dari beberapa orang ketika kau berjalan. Tidak semua melihatmu dengan aneh, namun kau yakin beberapa pasang mata sempat melirikmu dan menatapmu heran. Seakan mengenalimu. Seakan tahu siapa dirimu.
Kau tidak bisa bertanya juga, mereka cepat berlari sesaat setelah kau melirik ke arah mereka. Kau tidak mengerti. Apa yang pernah kau lakukan sebelumnya? Apa kau ini seorang kriminal atau seseorang yang pernah melakukan sesuatu hingga wajahmu mudah dikenali?
Memutuskan untuk menyudahi aktivitas jalan-jalanmu, kau kembali ke apartemenmu setelah membeli beberapa es teh yang kau suka. Kau sedikit berharap untuk bertemu lelaki kaus hitam di apartemenmu tadi atau mungkin pengirim paket dari taman yang kau temui. Namun kau tidak berpapasan dengan siapapun, jalanmu kosong tanpa ada orang lain.
Yang ada hanyalah sebuah kertas tempel di depan pintumu, kertas berwarna merah muda dengan tulisan yang rapi. Sedikit kecil, namun kau masih bisa membacanya karena tertata rapi dan lurus walau kertas itu tidak bergaris.
Kertas itu tidak menuliskan sesuatu yang personal. Hanya sebuah alamat kedai minuman dengan catatan sampai bertemu nanti disertai tanggal dan waktu. Apa ini? Undangan? Dari siapa? Tidak ada nama atau inisial apapun yang memberimu petunjuk identitas pengirimnya. Bukannya kau butuh juga sebab selama ini pun kau tetap tidak mengenali walau mereka menulis identitas samaran aneh.
Sesaat, kau sempat berpikir bisa saja ini undangan penculikan dan kau akan dibawa kabur. Atau mungkin orang jahat entah dari mana yang bermaksud untuk membunuhmu. Sedikit tidak masuk akal sebab mereka mengajak bertemu di tempat umum, sebuah kedai kopi yang rasanya sempat kau lihat tadi. Namun bukannya tidak memungkinkan, bukan?
Kau tidak bisa sepenuhnya menerima undangan itu. Mungkin kau datang. Mungkin tidak. Entahlah.