hiirei

hikanoo

[#hikanoo dari pov hika, soulmate au: lagu yang kamu nyanyiin dalam hati akan terdengar di pikiran soulmate kamu]

Hikaru tidak terlalu percaya akan konsep cinta sejati. Atau belahan jiwa dirinya yang ada di luar sana, terhubung dengannya dalam batin.

Dia mendengar banyak cerita dari teman-temannya. Katanya, katanya, teman-temannya dapat mendengar lagu dalam pikiran mereka. TIba-tiba saja muncul, tanpa mereka pikirkan. Bahkan beberapa belum pernah mendengar lagu yang terputar dalam pikiran mereka, disenandungkan dengan suara yang terdengar sangat familiar sekaligus asing.

Tentu dia tidak percaya. Seringkali pikiran manusia bosan, memutar lagu secara acak yang tidak sengaja pernah didengar, tapi kini beberapa menganggap hal tersebut sebagai suatu takhyul.

“Kau akan tahu, nanti.” Yabu selalu menanggapinya dengan kalimat yang sama. “Bisa saja belahan jiwamu itu lebih tua darimu, jadi kau bisa mendengar suaranya lebih dulu.”

Berbeda dengannya, Yabu suka dengan konsep ini. Menarik baginya membayangkan kemungkinan seseorang dapat berbagi musik dengan jiwa lainnya. Walau sama-sama bergelut di bidang musik, Hikaru tidak merasa se-spesial itu untuk berbagi hanya dengan satu orang di luar sana.

Lagipula, sejak lama, dia sudah membagikan musiknya dengan orang banyak.

Bersama dengan Yabu, Yuto—adik kelasnya berbeda satu tingkat, dan Yamada—setingkat dengan Yuto, mereka membentuk sebuah grup band. Mereka memang baru punya pengalaman naik panggung beberapa kali di tempat umum, lebih banyak tampil dalam pentas sekolah dan kafe, tapi Hikaru merasa grup mereka cukup bisa dibanggakan.

Lagu-lagu mereka banyak ditulis oleh Yabu dan Hikaru. Sesekali, Yamada dan Yuto juga memberikan lagu mereka sendiri. Namun kedua adik kelasnya itu lebih aktif dalam menarik perhatian penggemar baru, membawakan mereka penonton yang lebih banyak ketika naik ke panggung berikutnya.

Yamada dan Yuto memiliki opini yang sama dengan Yabu terkait konsep belahan jiwa dan ikatan batin. Ketika topik tersebut dibicarakan, keduanya pasti akan melirik Hikaru dengan tatapan bertanya, menunggu adanya perubahan opini darinya. Jika sudah seperti itu, biasanya dia akan mengalihkan topik atau pergi dari tempat, membuat Yuto menyahutinya sesuatu yang sudah tidak lagi dia dengar dan mendapat cibiran dari Yamada.

Tidak masalah juga untuknya.

Sampai suatu hari, dia merasakannya sendiri.

Dia ingat hari itu, suatu hari di bulan Juni, pada tanggal 22. Kamarnya berantakan diisi kertas-kertas lirik yang setengah ditulis, beberapa diremat, lebih banyak disobek, dan tidak ada upaya darinya untuk membereskan. Dia terkenal sebagai orang yang rapi, kecuali ketika dihadapi tenggat untuk membuat lagu baru.

Jarinya memetik senar, tidak lagi menggenggam pena, buku yang sedari tadi dia pakai untuk menulis terlempar entah ke mana. Pandangannya tertuju pada langit-langit kamar, mencoba mengingat-ingat kejadian aneh atau lucu yang dapat membuatnya kembali tertawa, dan membayangkan skenario bohongan untuk lirik lagunya nanti.

Ketika itu, sebuah suara familiar yang asing muncul di pikirannya.

Hikaru peka akan suara. Dia mudah mengenali suara orang walau hanya dua atau tiga kali mendengarnya berbicara. Dia selalu hapal suara yang dia dengar sebelumnya. Namun dia tidak dapat membayangkan wajah pemilik suara di pikirannya ini.

Suara itu bersenandung. Kalau Hikaru ingin jujur, suaranya tidak bagus-bagus amat. Namun mungkin karena suara ini hanya bersenandung sesukanya, tidak benar-benar memikirkan nada baik atau buruk. Unik, sebenarnya, suaranya mudah diingat, seharusnya jika Hikaru benar-benar pernah bertemu dengan si pemilik suara, dia pasti akan ingat. Lucunya, setelah beberapa detik dia mendengarkan senandung itu, dia baru tersadar.

Suara itu menyanyikan lagunya.

Kedua alisnya bertaut. Jemarinya berhenti memetik senar. Pikirannya fokus mendengarkan suara senandung itu, tanpa sadar ikut menggumamkan liriknya. Rasanya lagu ini dia buat ketika awal-awal baru membentuk grup. Mereka butuh tiga sampai empat lagu untuk bisa dimainkan bergiliran di acara pentas. Jadi, masing-masing dari mereka membuat lagu.

Ini lagu yang Hikaru buat.

Bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyum yang menyampai matanya. Lagu ini sudah jarang dimainkan, mereka lebih suka membawakan lagu baru, menyesuaikan dengan selera pasar. Kalau tidak salah, mereka sempat merekam lagu ini walau tidak secara resmi, hanya berupa video dari acara pentas yang mereka hadiri.

Dia tidak akan ingat lagu ini jika bukan karena senandung itu.

Tidak sampai akhir, senandung itu berhenti di pertengahan. Hikaru merasa kehilangan.

Aneh, rasanya. Padahal hanya senandung. Dia bisa saja mendengarkan senandung Yamada yang mungkin lebih enak didengar, tentu karena adik kelasnya itu vokalis mereka. Namun dia lebih ingin mendengar suara itu lagi, bahkan mungkin menemuinya jika ada kesempatan.

“Mana mungkin, kan,” Hikaru bergumam, suaranya tidak yakin, “belahan jiwa seperti ini tidak ada, ... kan?”

[#hikanoo, non-idol au, ditulis dari pov kedua hika] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tidak terlalu menyukai dia ketika pertama kali bertemu.

Waktu itu, umurmu masih dapat dihitung jemarimu, masih penuh rasa sok tahu, sama dengannya. Bedanya, dia lebih tinggi darimu. Kau merasa tatapannya terlalu jauh, membuatmu terasa kecil, padahal dia tidak punya pikiran licik apa-apa.

Kau hanya sebal dengannya. Jadi apapun yang dia lakukan akan terlihat mengganggu bagimu.

Sayangnya, rasa sebalmu tidak mendasar. Dia memang suka mengejekmu sesekali, mulutnya tidak punya saringan terkait hal-hal yang tak masuk akal, serta kejahilannya hampir setara denganmu. Namun semua itu tak bisa kau jadikan alasan. Tingkahmu tak jauh berbeda darinya.

Mungkin karena kau dan dia sama. Ada perkataan bahwa alasan kau terlalu kesal dengan seseorang adalah karena sifat mereka yang sama persis denganmu, bukan? Mungkin itu maksudnya. Karena kau melihat dirimu sendiri dalam setiap lakunya.

Seakan semesta tahu akan perasaanmu dan mencoba mengerjaimu, kau terjerat dengannya dalam kehidupan masa kecilmu.

Kau mengenalnya karena dia tetangga depan rumahmu. Ibu kalian saling mengenal dan karena itulah kau terpaksa berkenalan dengannya, memasang senyum tak penuh hati, dan membalas uluran tangannya karena ibumu sudah memberi kode dalam tatapannya. Kau berada di taman kanak-kanak yang sama, dengan anak-anak tetangga lainnya, namun perhatianmu selalu teralih padanya.

Bukan karena dia anak yang jadi pusat perhatian seperti Daiki atau pintar seperti Kota. Bukan karena dia terlalu diam dan hanya berdiri di pojokan kelas seperti Yuya. Dia mudah teralih dengan sesuatu, lebih banyak terlihat tidak mendengarkan penjelasan, juga berbicara dengan siapa saja yang ada. Kau sering melihatnya sendiri, asik dengan dunianya yang tak terlalu kau mengerti, namun kau juga sering mendapatinya mendengarkan orang lain berbicara panjang lebar—benar-benar mendengarkan—dan memberi tanggapan yang membuat orang itu senang.

Memasuki sekolah dasar, tidak ada yang berubah darinya. Pun kau yang masih memendam sebal tanpa dasar padanya. Kau baru menyadari bahwa dia tahu akan kekesalanmu ketika kau memasuki kelas tiga.

“Kau mudah dibaca, Hikaru,” ucapnya ketika melihat raut wajahmu, senyum kecil menyebalkannya tertera.

Walau begitu, dia tidak melakukan apa-apa. Tidak memintamu untuk menghilangkan rasa sebalmu karena kalian teman atau semacamnya. Kalian justru menjadi rekan jahil yang baik. Seluruh siswa tahu akan keonaran yang kalian lakukan bersama. Beberapa siswa selalu curiga ketika mendapati kalian tersenyum-senyum bersama, merasa akan ada masalah yang datang beberapa menit kemudian.

Kau sudah tahu bahwa dia sama jahilnya denganmu. Jadi walau kau sebal, kau tak bisa menolak tawarannya untuk mengerjai Daiki atau Yuya di sela waktu kelas. Mungkin itu caranya untuk menghapus kekesalan yang ada dalam dirimu terhadapnya. Mungkin dia sama-sama pintar mengamati sepertimu dan mengerti kesamaan kalian dalam berbuat onar. Kau berhenti menebak ketika ingat bahwa kau tak pernah bisa mengerti isi kepalanya yang dipenuhi hal tak masuk akal.

Ketika masuk ke jenjang menengah pertama, tidak ada yang berubah darinya. Masih sama jahilnya, tawanya masih menggema dalam pikiranmu, begitu juga senyumnya yang kini terlihat setara denganmu. Yang berubah hanyalah kau, kini sama tinggi dengannya, tak perlu memikirkan pandangannya yang terlihat jauh darimu.

Kau jadi susah sendiri karena kau pikir mudah menemukan alasan untuk sebal dengan anak remaja. Masa-masa ini seharusnya diisi dengan kekesalan terhadap teman, bukan? Jadi harusnya, harusnya, kau bisa menemukan alasan untuk tidak menyukainya. Namun bagaimana caranya jika dia tidak berubah?

Karena itu, akhirnya kau mencoba untuk terlihat sedikit menyukainya. Tentu, kau suka menghela napas panjang atau memutar bola matamu setiap mendengar dia mengoceh tidak jelas, namun setidaknya kau bisa bertahan lebih lama dalam satu ruangan dengannya. Dia juga sering menatapmu lama ketika kalian sedang berkumpul dengan teman-teman yang lain, wajahnya tersenyum penuh arti tak pernah kau mengerti.

Dan, seakan semesta memang benar-benar mengujimu, kalian berada di dalam kelas yang sama, mengerjakan tugas-tugas kelompok bersama.

“Kau benar-benar tidak suka aku, ya,” ucapnya suatu hari, ketika kalian sedang mengerjakan tugas bersama di perpustakaan. Sama seperti biasanya, tidak ada kekesalan atau kesedihan dalam nadanya. Tidak juga marah atau kecewa karena sebenarnya kalian sudah dianggap teman dekat oleh orang-orang di sekitar kalian, namun kau tetap memendam rasa tak suka.

“Tidak juga,” jawabmu setelah berpikir lama. Kau melihatnya mengangguk, lalu tidak membahas masalah itu lagi sampai waktu yang lama.

Jenjang menengah atas kembali mempertemukanmu dan dia, dalam sekolah dan kelas yang sama. Kau yakin dia tidak nendaftar di sekolahmu, yakin karena kau dengar ibunya sudah memilihkan sekolah yang jauh, jadi tentu kau tidak menyangka untuk mendengarnya menyapamu di hari pertama.

Ada yang berubah darinya ketika memasuki masa ini. Rambutnya yang dulu terlihat cepak dan aneh kini dimodel semakin tidak jelas. Terlihat lebih mengembang dengan poni tepat jatuh di atas alisnya. Beberapa berkata mirip dengan jamur. Kau lebih merasa rambutnya seperti bagian lain dari kepalanya, layaknya helm yang dapat dia lepas. Mungkin rambut aslinya masih ada di bawah rambut apapun itu.

Senyumnya masih sama, menyebalkan, pun tawanya yang mengisi hari-harimu kembali. Kalian lebih sering pulang bersama, menaiki kereta yang sama, begitu juga ketika berangkat sekolah. Setiap pagi, kau akan mendapati dirinya duduk di sofa ruang tamu, siap dengan tas dan bercanda dengan ibumu. Aneh rasanya, namun familiar juga, karena dia memang sudah ada di hidupmu sejak lama.

Rasa sebalmu masih ada. Mungkin sedikit berkurang karena kau lebih dewasa dari sebelumnya. Lebih banyak rasa bersalah pernah sebal dengannya karena dia pun tak melakukan apa-apa. Bukan berarti kau tidak melemparkan pukulan sesekali padanya dan mengejarnya sepanjang aula ketika dia menjahilimu.

“Mengapa kau tidak suka padaku?”

Dia tidak pernah bertanya seperti itu sebelumnya. Kau tidak pernah mendapat jawabannya.

Ketika kau mengalihkan pandanganmu, kau melihat tatapannya berbeda dari yang selama ini kau ketahui. Kau tidak tahu apa arti tatapannya, tidak pernah dapat mengerti isi pikirannya yang rumit untukmu yang sederhana. Kau ingin bertanya, bertanya mengapa dia menanyakan hal ini sekarang? Mengapa tidak sejak awal yang mungkin dapat kau jawab dengan puluhan alasan asal kau sebut?

Kau tak pernah menjawabnya. Dia tak pernah lagi bertanya.

Sehari setelah dia bertanya, kau tidak melihatnya menunggumu di ruang tamu. Tidak juga di sekolah, di kelas, atau di bangkunya yang kini kosong. Kau pikir dia hanya sakit, mungkin tak mau menemuimu karena pertanyaannya tak terjawab kemarin.

Namun hari-hari berikutnya juga dia tidak kembali. Semua berjalan seperti biasa, yang tidak biasa bagimu hanyalah absensinya. Dia tidak ada ketika pagi datang, tidak juga kau lihat senyumnya, serta tawanya terasa hampir menghilang di pikiranmu. Dia ada bersamamu hampir seluruh hidupmu. Janggal rasanya ketika kau tak lagi melihatnya.

“Kau tidak tahu?” tanya Daiki ketika kau mengeluhkan dia yang menghilang. Yuya memberi Daiki tatapan yang membuat temanmu itu menyadari sesuatu dan terlihat menyesali pertanyaannya.

Kau mengerutkan dahimu. “Apa? Apa yang tidak aku tahu?”

Daiki melirik Yuya, yang tidak membalas tatapannya. Lalu dia melirik Kota, yang juga mengalihkan pandangan untuk kabur dari masalah.

“Apa?” Kau bertanya lagi, tidak suka karena sepertinya hanya kau yang tidak tahu apa-apa di antara kalian.

“Jadi,” Daiki kembali menatapmu, membuat kedua teman kalian menghela napas panjang, “Inoo sebenarnya—”

“Kita kemarin janji akan diam saja,” Yuya mengingatkan, menatap Daiki sebentar sebelum kembali fokus pada makan siangnya.

“Tapi dia tidak ada di sini dan Hikaru ingin tahu,” Daiki menatapmu dengan harap, “ya, kan?”

Kau tidak sepenuhnya yakin kau ingin tahu jika melihat reaksi teman-temanmu kini. Namun ini sudah lebih dari seminggu dan hanya Daiki yang mau memberi tahumu.

Jadi kau mengangguk, membuat Daiki kembali tersenyum seakan dia baru saja memenangkan perdebatannya dengan Yuya.

Kau tidak yakin kau seharusnya tahu setelah Daiki menjelaskannya.

[#hikanoo, robot!inoo au dari skenario yang dibuat yamachinen + artist!hikaru, angst dikit, ya biasalah cerita-cerita robot-manusia, fast paced] [untuk #Inoo31stbirthday]

Yang pertama kali dia lihat adalah kedua mata menatapnya dengan cemas.

Sistemnya bekerja, menatap kedua mata itu lekat, memperhatikan fitur wajahnya yang lain; kedua alisnya yang hampir menyatu dan bibirnya yang sedikit terbuka ingin menyampaikan sesuatu.

“Ah, kau sudah menyala?” tanya lelaki itu, ekspresi cemasnya berubah sedikit, senyum kecil terbentuk dari bibirnya. “Perkenalkan, aku Yaotome Hikaru. Kau bisa memanggilku Hikaru.”

“Hikaru,” dia mengucapkannya kembali, program mencatat apa yang dia dapatkan, “baik. Aku mengerti.”

Kini, lelaki itu sedikit sumringah. Tangannya menuntun agar dia berdiri dan mencoba melangkahkan kakinya yang bergerak kaku. Optiknya bekerja, merekam serta mengidentifikasi segala benda yang ada di ruangan itu.

Hikaru mengambil kertas yang berada di atas meja, membacanya cepat, memastikan tidak ada informasi yang dilewatkan—dia akhirnya paham bahwa kertas itu adalah kertas manual terkait dirinya.

“Jadi, di sini tertulis namamu Inoo,” Hikaru meliriknya sekilas, “kau hanya merespon pada nama itu atau harus kuberi nama lain?”

“Terserah Hikaru,” mata buatannya mengedip dua kali, “kau kan pemilikku.”

Terdengar tawa kecil dari Hikaru, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk memanggilnya dengan nama Inoo saja.

Hikaru bukan tipe orang yang sering sekali pergi keluar. Pekerjaannya tidak mengikat dia pada satu tempat, jadi dia dapat bepergian ke mana saja ketika dia ingin, terlebih untuk mencari inspirasi. Sesekali dia mengajak Inoo keluar, sekadar pergi ke kedai kopi favorit Hikaru atau menemaninya ke toko buku untuk membeli peralatannya.

Peran Inoo juga tidak terbatas pada satu bidang. Dia diciptakan sebagai teman manusia, mengajak mereka berbicara, atau melakukan apa saja yang mereka inginkan. Walau begitu, dia juga diprogramkan untuk dapat mengerjakan pekerjaan rumah dasar. Hikaru lebih suka mengerjakan segalanya sendiri, jadi biasanya dia hanya duduk menemani atau mengajaknya berbicara.

Suatu hari, Hikaru pulang dengan wajah yang tidak dapat Inoo pahami. Kalau dia harus menebak, mungkin campuran antara senang, takut, dan bingung.

“Ada apa?” Inoo bertanya, prosesornya bekerja, siap menanggapi perkataan Hikaru.

“Aku,” Hikaru menempatkan diri di sebelah Inoo dengan cepat, jemarinya meremas bantal sofa yang kini dia pegang, “sepertinya aku jatuh cinta.”

Inoo tidak langsung menanggapi. Cinta, berdasarkan pemrosesnya, adalah perasaan yang dialami manusia terhadap orang lain, bisa juga terhadap benda mati atau makhluk hidup lainnya. Ada banyak kelebihan ketika manusia merasakan cinta—atau dalam kasus Hikaru, jatuh cinta—namun tentu ada banyak kekurangannya juga.

“Tapi aku tidak tahu harus bagaimana,” lelaki itu melanjutkan, badannya kini bersandar sepenuhnya pada sofa.

“Ada aku,” Inoo cepat menanggapi, “aku bisa membantumu.”

Mendengar tanggapannya, wajah Hikaru yang sempat murung dan putus asa sedikit mendapatkan warna cerahnya kembali. Inoo sedikit heran ketika bibirnya ikut melengkung ketika melihat Hikaru tersenyum.

Walau berkata begitu, tetap saja tidak dapat dipungkiri bahwa Inoo hanyalah sebuah robot. Jangankan cinta, suka duka saja hanya dapat dia pahami melalui prosesornya. Jadi, kali ini juga dia membantu Hikaru melalui apa yang dia dapatkan dari pencarian terbanyak di mesin pencari.

“Uang,” Inoo menaruh pakaian yang menurutnya cocok untuk Hikaru kenakan, “perempuan suka dengan uang.”

“Aku juga suka mendengar itu, sih,” Hikaru melihat pantulan dirinya di cermin, melepas baju yang dia kenakan untuk diganti, “tapi tidak mungkin aku langsung memberinya uang saja, bukan?”

“Kau bisa membelikannya sesuatu,” Inoo mengangkat kedua bahunya, prosesornya bekerja mengikuti film yang mereka tonton kemarin, “cincin, mungkin? Menurut pencarian, cincin efektif membuat perempuan dapat mengatakan 'ya' ketika kau mengungkapkan perasaanmu.”

“Cincin,” kedua alis Hikaru terangkat, “baiklah.”

Sayangnya, rencana tersebut tidak berhasil. Alih-alih menerima Hikaru, perempuan itu—seorang penjual bunga di toko yang baru saja buka dekat kedai kopi favorit Hikaru—justru menolaknya, mengatakan dia tidak tertarik pada benda-benda yang dapat dinilai.

Hikaru tentu semakin murung, sedikit merasa putus asa, namun Inoo tetap berusaha mencari cara. Dia kembali lagi mengumpulkan informasi yang dapat dia temukan, menelaah video-video atau film romansa untuk mencari solusi lain.

“Kencan,” Inoo mengejutkan Hikaru suatu pagi, ketika pemiliknya itu baru saja terbangun, “kau harus mengajaknya kencan.”

“Kau yakin ini akan berhasil?” Hikaru mengusap matanya pelan. “Kau yakin dia tidak trauma melihatku kemarin, hampir melamarnya?”

Inoo menganggukkan kepalanya, sedikit menggeret Hikaru untuk bangkit dari tempat tidurnya, membawanya ke arah kamar mandi. “Kalian harus mengenal satu sama lain dulu. Ajak dia makan malam.”

Merasa tidak ada salahnya mencoba, Hikaru mengikuti saran Inoo, kembali melangkahkan kakinya pads toko bunga itu. Kali ini, Inoo mengikutinya diam-diam, dirinya sendiri juga tidak paham dari mana asal kontrol dalam sistemnya yang membuat dia melakukan ini.

Optiknya menangkap sosok Hikaru, terbalut dalam pakaian yang dia pilihkan kembali beberapa waktu lalu, senyum gugup mengisi wajahnya. Perempuan itu berambut cokelat, mengenakan apron biru di atas kaus putihnya yang panjang, mendekap bunga-bunga yang masih segar. Wajahnya sedikit terkejut melihat Hikaru, namun terdapat senyum kecil muncul tak lama setelahnya.

Dari jaraknya yang cukup jauh dan sekelilingnya yang ramai, Inoo tidak dapat mendengar percakapan mereka. Namun perempuan itu menganggukkan kepalanya, tersenyum malu, begitu juga dengan Hikaru. Dalam sistemnya, Inoo menganggap itu sebagai pertanda keberhasilan karena sedikit mirip dengan adegan dari salah satu film yang dia jadikan referensi.

Perempuan itu masuk ke dalam toko untuk beberapa waktu, lalu keluar kembali tanpa apronnya. Keduanya berjalan menjauh dari sana, entah ke mana, membicarakan sesuatu yang membuat bahu mereka terguncang sedikit karena tawa.

Inoo tidak mengikutinya lagi, programnya memilih untuk kembali pulang dan menunggu Hikaru di rumah. Siap mendengarkan ceritanya mengenai malam ini. Atau mungkin tidak, dia dapat saja mematikan diri secara otomatis, mengabaikan Hikaru jika lelaki itu memanggilnya, lalu menyapa Hikaru esok hari tanpa menyinggung kencannya dengan perempuan itu.

Menghentikan langkahnya menuju rumah, Inoo mengecek manual sistemnya. Mengapa dia sempat memikirkan opsi untuk mematikan diri secara otomatis dan mengabaikan Hikaru? Seharusnya dia meresponnya dan menjalankan tugasnya sebagai pendengar, bukan?

Tidak mendapatkan anomali dalam sistemnya, Inoo meneruskan langkahnya. Mungkin hanya ada error sedikit karena sempat terciprat air ketika tak sengaja membuka pintu kamar mandi Hikaru tadi pagi.

[#hikanoo, berdasarkan lagu “18”-nya One Direction walau sepertinya agak melenceng ya hmm.] [untuk #Inoo31stbirthday]

“Kalau sudah bersama lebih dari tujuh tahun, pasti bosan, kan?”

Hikaru memainkan pulpen yang dipegangnya, mengalihkan perhatiannya sejenak dari lembar lirik yang ditulisnya. Tanpa sadar, tatapannya langsung jatuh pada Inoo yang sedang duduk di ujung ruangan, sibuk berbicara dengan Daiki dan Chinen. Sesekali tawanya terdengar, bersahutan dengan tawa lainnya, menggema dalam ruang yang tidak punya banyak barang itu.

“Tidak sampai tujuh, biasanya tiga tahun saja sudah cari yang lain, bukan? Mantanku kemarin seperti itu, bosan katanya.”

Dia juga tidak mengerti mengapa perkataan teman-temannya tempo hari kini kembali memenuhi pikirannya. Padahal, saat itu dia sudah yakin bahwa hal-hal tersebut tidak akan terjadi antara dia dan Inoo.

Tentu dia percaya pada lelaki itu. Walau sikapnya yang suka sekadarnya dan terlalu abstrak untuk orang lain hadapi, Hikaru yakin dirinya-lah yang paling mengerti Inoo. Sesekali memang ada pikiran yang sulit dia pahami, namun dia berusaha untuk mencari cara agar dapat mengerti.

Satu yang pasti, Hikaru yakin Inoo tidak bisa direbut siapapun. Dia yakin, hanya dia yang dapat menarik hatinya. Dia yakin ....

Yang tidak dia yakin adalah dirinya sendiri.

“Kau tidak pernah tahu, kan, bisa saja kau bertemu orang baru di suatu tempat dan hubunganmu yang sekarang terasa tidak penting? Atau kau merasa orang itu lebih memikat hatimu. Bisa saja, kan?”

Dia tahu, Inoo bukanlah pasangan yang biasa. Tingkahnya yang ... unik serta pola pikirnya yang tak terduga selalu saja meluluhkan hatinya. Namun bagaimana kalau hatinya suatu saat teralih? Bagaimana kalau otaknya tidak sanggup menahan hatinya?

Merasa ada yang janggal, Inoo menoleh ke arah lelaki lain yang ada di ruangan itu, membiarkan Daiki dan Chinen berdebat mengenai baju yang lebih nyentrik. Matanya mendapati Hikaru, pulpen di tangannya menganggur, begitu juga dengan tatapannya yang melamun.

Kalau orang lain melihatnya, mungkin mereka akan mengira Hikaru mencari inspirasi lirik, mungkin mencari kata yang berima, atau memikirkan kata-kata yang harus diubah. Namun untuk Inoo, dia tahu di kepala Hikaru tidak ada pikiran mengenai lirik sama sekali. Ada sesuatu yang mengganggunya.

Beranjak dari duduknya—Daiki dan Chinen terlalu sibuk berdebat sehingga tidak menanyakan dia—Inoo berjalan ke belakang Hikaru dan menempatkan kedua tangannya untuk menutupi mata kekasihnya.

“E-eh?” Hikaru bergumam. “Siapa?”

Inoo mengerutkan alisnya, memberikan nada yang terdengar sebal pada kalimatnya, “Menurutmu siapa?”

“Oh, Inoo-chan.”

Menghela napas, tangan Inoo beralih mencubit pelan pipi Hikaru sebelum dia mengambil posisi di kursi yang menganggur di hadapannya. Hikaru mencoba memberi senyum, jelas menutupi jejak dirinya yang baru saja melamun.

“Jadi,” Inoo melirik kertas di meja Hikaru yang hanya terisi tulisan dua baris, “apa yang mengganggu pikiranmu?”

Lucu baginya melihat Hikaru terkejut, seakan dia tidak pernah menanyakan hal seperti ini sebelumnya. Baginya, pikiran Hikaru mudah untuk dia mengerti, biasanya terlihat jelas dalam wajahnya. Walau sering tidak dapat mengungkapkan perasaannya secara langsung, Inoo selalu dapat paham tanpa kata-kata.

“Tidak ada,” Hikaru mengalihkan pandangannya dari tatapan Inoo, “hanya kebingungan mencari kata-kata untuk lirik lagu ini.”

“Hikaru, kau pikir sudah berapa lama kita bersama?”

Mendengar pertanyaan itu, raut wajah Hikaru justru semakin terlihat rumit. Terlihat sekali pertanyaan Inoo membuatnya semakin memikirkan apapun yang ada di dalam otaknya sedari tadi.

“Apa ini ada hubungannya dengan teman-temanmu kemarin?”

Inoo tidak ikut pergi dengan Hikaru kemarin, memilih membiarkan lelaki itu pergi sendiri walau dia juga diundang. Dia cukup mengenal teman-teman Hikaru, pernah pergi makan bersama juga, namun dia tidak ingin mengganggu waktu Hikaru bersama temannya.

Ketika pulang, Hikaru memang sedikit terlihat memikirkan sesuatu. Inoo tidak menanyakan apa-apa, memilih membiarkan Hikaru menyelesaikannya sendiri sampai lelaki itu mau cerita dengannya. Masalah itu sempat terlihat selesai, sementara, karena Hikaru kembali seperti biasanya setelah beberapa hari. Sampai saat ini.

“Ya, sedikit,” jawab Hikaru, meletakkan pulpennya di atas tumpukan kertas. “Jangan tertawa, ya.”

Kedua alis Inoo terangkat. Bukan sekali duakali dia tertawa akan masalah Hikaru, memang, karena seringkali masalah yang dipikirkan terlihat sepele. Padahal Inoo pikir dia-lah orang yang rumit di antara mereka berdua, namun tidak jarang juga Hikaru memikirkan suatu masalah terlalu dalam.

“Akan kucoba.” Karena Inoo tidak benar-benar bisa berjanji sebelum mendengar apa yang menjadi masalah.

Menatap Inoo lama, lalu pada Daiki dan Chinen yang beranjak keluar ruangan, Hikaru akhirnya menceritakan kegelisahannya. Tidak se-sepele yang Inoo kira, namun tidak rumit juga.

“Hikaru, aku mengenalmu ketika kita masih sama-sama remaja yang tak tahu malu.” Inoo melipat kedua tangannya. “Aku menyukaimu bahkan sebelum aku sadar bagaimana rasanya menyukai seseorang.”

“Tapi—”

“Aku mengenalmu sejak lama. Suka padamu sejak lama. Aku tahu kamu, Hikaru, sama seperti kamu tahu aku.” Tangannya kini beralih pada kedua pipi Hikaru. “Aku cukup yakin, hanya aku yang bisa mengambil hatimu.”

Mendengarnya, Hikaru terdiam. Kalau boleh jujur, dia tidak tahu akan apa jadinya kalau hatinya tidak dicuri oleh lelaki ini. Dunianya akan jauh lebih berbeda, entah lebih baik atau buruk, namun rasanya Hikaru tidak mau menukarnya dengan apapun.

“Tahu tidak, sih, ini saat yang tepat untuk kau maju dan menciumku.”

Hikaru memutar bola matanya, bibirnya membentuk senyum. Dia akhirnya mendaratkan ciuman pada bibir Inoo, singkat, sengaja agar lelaki itu yang menciumnya kembali lebih dalam.

[#hikanoo. time travel au. ini bagian prolog.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Ketika semuanya sudah terlambat, biasanya orang-orang akan meminta kesempatan kedua. Untuk memperbaiki kesalahan. Untuk mengulang semuanya kembali. Untuk mendapat akhir yang lebih baik.

Begitu juga Inoo, di hari dia kehilangan Hikaru. Pergi meninggalkannya tanpa kembali lagi. Ke tempat yang tidak dapat dia jangkau.

Telinganya lelah mendengar hal yang sama; kau harus merelakannya.

Dia memang selalu mencoba untuk rela. Apapun yang sudah terjadi tidak bisa diulang. Bukan seperti pada dunia di mana sihir bekerja, di mana kau bisa dengan mudah kembali ke masa lalu untuk mengulang. Penyesalan pasti ada, tentu, namun apa yang bisa kau lakukan dengan menyesal terlalu lama?

Masa lalu merupakan hal yang pasti. Tidak bisa diubah lagi.

Dia tahu. Mengerti.

Oleh sebab itu, dia ingin kembali ke sana. Pada masa di mana semuanya pasti dan dapat diprediksi. Pada waktu di mana Hikaru masih ada, hidup, di sisinya.

Dia tidak pernah menganggap hal itu akan betul-betul terwujud. Walau begitu, dia tetap memohon pada bintang yang terkesan sia-sia. Menggantungkan harapan pada benda angkasa yang telah mati jauh sebelum dia mengucap permohonan.

Lucunya, doa itu terkabul.

Dan di sinilah dia; berada di samping Hikaru yang terlelap, tubuh hangat selayaknya manusia.

Di sinilah dia, kembali di masa lalu.

[#hikanoo. lokal au dengan hikaru sebagai penjual pulsa.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Siang itu, tidak ada yang menarik. Adanya Daiki yang mendorong gerobak es cincaunya. Dia sempat mampir sebentar ke konter Hikaru, berutang pulsa. Lagi butuh, katanya. Hikaru jelas tahu alasannya—Daiki lagi kesengsem sama anak RT sebelah, butuh kuota buat berbalas chat WA.

Selain Daiki, konter Hikaru tidak ada pengunjung lagi. Susah, sih, bersaing di era seperti ini. Orang-orang pasti lebih memilih beli pulsa lewat minimarket. Atau m-banking. Atau melalui teman yang sedang usaha buka jasa beli pulsa juga.

Teman Hikaru banyak. Tapi hampir semuanya suka ngutang. Dia sempat merasa salah lingkungan pertemanan, tapi mereka semua sigap membantunya jika kesulitan. Walau akan cepat angkat tangan kalau dia kesulitan moneter.

“Beli pulsa, mas,” ucap seseorang yang tiba-tiba menghampiri konternya.

Hikaru hanya menyodorkan kertas dan pulpen padanya. Mirip kertas absen untuk anak sekolah, tapi yang diisi hanya nomor saja. Sama nominal juga.

Setelah selesai orang itu menulis, Hikaru akhirnya baru mendongak untuk melihat dia.

Duh. Salah.

Kalau ini film-film layar lebar, mungkin sudah ada latar musik mengiringi. Atau efek bling-bling di belakang orang itu.

Cantik.

“Apa, mas?” Orang itu bertanya, kedua alisnya bertautan.

Hikaru tidak sengaja mengucapkannya secara lantang. Keceplosan.

“A-anu, maksudnya,” Hikaru mencoba mencari alasan, “nomornya. Iya, nomornya cantik.”

Dalam hati, Hikaru merutuki dirinya sendiri ketika orang itu hanya terkekeh pelan.

[#hikanoo. domestic(-ish) au. ficlet. english.]

Hikaru knows from the start, even when they barely know each other, that they have a big difference. A difference that could probably makes Hikaru forgot how the hell he ended up having a relationship with Inoo Kei.

Cats.

It's not like Inoo really likes them. Sometimes Hikaru thinks he just pretends to like those because Hikaru hates it.

“Aren't they cute?” Inoo said, his hands petting the little kitten.

It doesn't, Hikaru thought, his boyfriend is cuter than any kitten. He usually would say that, but he's far too distracted because of the creature.

“Can't we just get a fish or something,” Hikaru took a step back, eyes never leaving the kitten since who knows where it goes when he looked away, “or nothing at all. Our home is fine without a pet.”

“Yeah, it's fine.” Inoo finally took the kitten back to it's cage full of other kitten. “But it just feels a little lonely.”

Well their home is not that big, actually, but there's some space for a pet. He would have suggest dogs, since they both loves it. But then, it would probably too noisy and their neighbours wouldn't appreciate that. They could take turns to take care of it, too. It's probably a good thing and it does have a feel of 'couple-thingy' to do. (Or in Inoo's words, it's “a test before we adopt a child of our own later”.)

“You could just wait in the car,” Inoo looked at him, “I won't pick a cat, I promise.”

***

“Kei,” Hikaru gulped, “w-what about your promise?”

“Hm?” Inoo tilted his head, innocently. “Oh this? I said I won't pick a cat, so I picked two!”

Inside that little cage, Hikaru could see two pair of eyes looking at him. Thank god Inoo putted them at the back seat, or else he would have go out of the car.

But imagining those two cats in his living room ... kitchen ... every place in his house ....

“Kei, I love you.”

“Okay ... I love you, too.”

“Remember that for the rest of the month, I'll leave our house.”