hiirei

inochine

[#inochine, au; kusaka eiji!inoo + pinokio!chinen, ditulis dari pov kedua inoo] [note: saya cinta banget sama pinokio chinen jadi nulis dia terus yaampun maapkan. maapkan juga karena ditulisnya sama eiji yang galak😭 oya btw ini eiji latarnya setelah cerita lost id selesai] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tidak mengharapkan menemui seorang boneka, tertidur di depan pintu apartemenmu, di suatu pagi yang sendu.

Kau tahu itu boneka, dari rupanya yang seperti rekaan, kulit tanpa pori-pori, serta bajunya yang seperti badut kartun. Namun kau sempat ragu sebab kau yakin melihat tubuhnya kembang kempis dan jemarinya sempat bergerak sedikit.

Apa ini boneka-boneka yang dirancang untuk berfungsi seperti manusia?

Hujan masih mendera tanah, tidak berhenti sejak kemarin malam sehingga kau tahu mengapa boneka itu basah. Kau ingin mendiamkannya saja, namun hatimu luluh melihatnya sedikit menggigil. Akhirnya, setelah menoleh beberapa kali ke sekeliling dan memastikan tidak ada orang, kau menggeretnya ke dalam kamarmu.

Kau bukan orang yang punya tenaga banyak. Boneka itu lebih berat dari dugaanmu sehingga butuh beberapa waktu sampai akhirnya kau dapat menutup pintu dan mendudukkannya di kamar mandi.

“Hei,” kau menepuk pelan pipinya, dingin seperti mayat, “kau mendengarku? Aku akan membuka bajumu, lalu merendammu di air hangat.”

Kau sebenarnya juga tidak yakin. Kalau dia boneka sungguhan—atau jangan-jangan robot?—seharusnya tidak dapat kau masukkan ke dalam air, bukan? Lebih-lebih air hangat. Namun dia bernapas, berarti dia makhluk hidup, kan?

Tidak ingin berpikir lebih lama, kau tetap menyiapkan air hangat untuknya. Kalau-kalau rusak, biarlah. Mungkin nanti dia dapat tanyakan ke toko boneka terdekat. Atau kantor polisi. Entahlah, itu urusan nanti.

Membuka bajunya, kau sedikit heran akan pakaiannya yang terlalu aneh. Seperti badut sirkus. Kau memasukkannya ke dalam mesin cuci, jaga-jaga kalau boneka itu membutuhkannya lagi nanti. Kalau tidak, dia bisa menjualnya, mungkin.

Memasukkan boneka itu ke dalam air hangat juga menjadi pekerjaan ekstra untukmu. Kau menghela napas panjang setelah memastikan dia tidak akan tenggelam di sana. Tanpa bajunya yang sedikit besar, ternyata boneka itu cukup kecil.

Mendengar suara hujan yang masih deras di luar sana, kau ikut merendam tanganmu di air hangat. Dingin dari boneka itu menular padamu, juga pada seluruh pakaianmu yang kini basah. Mungkin nanti kau juga harus berendam untuk menghangatkan dirimu.

Menatap wajah boneka itu yang kini lebih berwarna, tidak lagi sepucat sebelumnya, kau bertanya-tanya pada dirimu sendiri. Kalau ternyata dia tidak punya tempat kembali, apa kau dapat menampungnya? Kau memang tidak punya tujuan lagi, aksi balas dendammu yang sudah kau rancang belasan tahun tidak ada artinya sekarang, pun harapan hidupmu untuk hari esok. Punya seseorang—atau sebuah boneka—hidup di sini mungkin tidak buruk.

Kau menggelengkan kepalamu, mencoba menyingkirkan pemikiran seperti itu. Mana mungkin. Boneka ini bisa saja hanya tersesat dan akan kembali ke rumahnya nanti setelah sadar. Tidak sepertimu yang kehilangan tempat berpulang.

“Merepotkan saja,” gumammu ketika harus menggeretnya keluar dari kamar mandi dan membalutnya dengan handuk.

Kau memilih bajumu yang paling kecil untuk dia pakai serta celana pendek untuknya karena kau yakin celana panjangmu akan menutupi seluruh kakinya. Kau membaringkannya pada futonmu, belum kau lipat karena kau memang baru saja bangun.

Jemarimu membelai rambutnya, merapikannya sedikit setelah sempat kau sisir sebelumnya. Kau mendengarnya bergumam, entah tentang apa sebab dia kembali terdiam.

Kau sedikit heran ketika ujung-ujung jarimu dapat merasakan kehangatan dari pipinya, padahal kau yakin sebelumnya dia dingin seperti tidak hidup. Apa karena air hangat tadi? Atau karena dia benar-benar hidup?

Dalam hati, kau menyimpan semua pertanyaan itu untuk nanti saat dia bangun. Begitu juga dengan pikiranmu yang membayangkan jika boneka ternyata hadiah dari entah mana untuk menemanimu di sini.

Untuk saat ini, kau hanya ingin berendam di air hangat.

[#inochine, fab au; mermaid!inoo + pinokio!chinen, ada kaitannya sama drabble “seorang boneka dan duyung”] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo selalu suka dengan dunia manusia.

Sebagai seekor duyung, dia hanya bisa mengarungi lautan, melihat manusia dari kejauhan ketika mereka datang dengan kapal-kapal besar, dan mendamba pantai yang tak pernah bisa dipijaknya. Padahal dia selalu membayangkan rasanya menyentuh pasir, ekornya yang akan perlahan berubah menjadi sepasang kaki ketika menyentuh tepi pantai, serta cerita-cerita lainnya yang menjadi dongeng ketika dia kecil.

Semua hilang, tidak lagi berlaku bagi mereka karena salah kumpulan penyihir dan nenek moyangnya yang berselisih, membuat sebuah kutukan diberikan agar para duyung tidak pernah bisa mendekati pantai.

Namun pantai itu berbeda.

Inoo menemukannya setelah berenang bertahun-tahun, jauh meninggalkan rumahnya yang lama-kelamaan terasa seperti penjara. Pantai itu sama terkutuknya dengan duyung, tidak pernah didatangi makhluk magis berbahagia karena hanya ada hal-hal terbuang di dalamnya. Tempat yang menjadi mimpi buruk para peri sebab mereka akan kehilangan sihir mereka begitu masuk ke daerah pantai tersebut.

Jadi, untuk Inoo, tempat itu adalah dunianya yang baru.

Manusia-manusia akan datang pada waktu tertentu, membawa hal-hal yang mereka anggap tidak berguna, menaruhnya sembarangan di sana. Barang-barang itu didominasi dengan mainan, beberapa sudah rumpang dan kehilangan sebagian bentuknya, terlihat kesepian dalam langit malam ketika mereka dijatuhkan dari kotak besar yang membawa mereka.

Inoo akan datang ketika pagi, sinar matahari lebih membantu kedua kakinya untuk muncul, beberapa sisiknya akan meleleh menyisakan kulitnya yang sama seperti manusia. Sisik-sisik itu nantinya akan hadir lagi ketika malam tiba, bulan mengubah wujudnya kembali menjadi duyung. Rambut putihnya yang sedikit biru akan terbelai angin, mengering lebih cepat ketika siang tiba. Kedua kakinya akan terasa aneh digunakan pada awalnya, membuat dia tidak bisa berjalan lurus. Tapi dia cepat belajar, dapat berlari ketika sudah berjalan lama.

Yang membuat kesehariannya berubah adalah ketika dia bertemu dengan seorang boneka.

Inoo sudah lama mengunjungi pantai itu. Banyak boneka yang dia lihat dan pegang, baik boneka menyerupai hewan atau manusia.

Namun boneka yang satu itu benar-benar seperti manusia.

Inoo merasakan kehangatannya ketika ujung-ujung jarinya menyentuh pipi boneka itu. Sedikit samar, mungkin karena hujan yang menerpanya semalam, namun dia juga dapat merasakan napasnya yang teratur. Kelopak matanya bergerak-gerak sedikit sebelum sepenuhnya terbuka, kedua mata gelap menatapnya tidak yakin.

Dengan cepat, Inoo menarik tangannya, memundurkan langkahnya menjauh. Dia belum pernah berada sedekat itu dengan presensi manusia, walau dia hanya sebuah boneka.

Setelah hari itu, sang boneka seakan hapal akan kehadirannya. Dia selalu berada di tempat yang sama, menatapnya dalam diam ketika matahari terbit. Begitu juga ketika matahari ditelan laut, memberinya ucapan sampai ketemu esok hari dari tatapannya.

Boneka itu keras kepala. Inoo selalu diam, tidak pernah menginisiasi apa-apa karena dia tidak tahu apakah boneka itu akan mengerti apa yang dia ucapkan. Tidak juga menjawab ketika suatu hari sang boneka menyapanya, syukurnya dengan bahasa yang dia pahami, begitu juga dengan hari-hari berikutnya.

Lagipula, boneka itu cukup berisik. Bukan jenis berisik dengan suara yang kencang dan menyebalkan, namun banyak berbicara. Suaranya pelan, lebih banyak ditelan suara gelombang laut, namun Inoo sebagai makhluk laut bisa mendengar jelas.

“Suatu hari, aku tiba-tiba saja bisa bergerak,” cerita boneka itu suatu siang, berdiri beberapa langkah di samping Inoo yang lebih tertarik melihat rumah-rumahan, “katanya, aku diberi keajaiban.”

Inoo berhenti memandang benda yang dia pegang, tanpa sadar kepalanya sudah menoleh ke arah boneka itu. Keajaiban. Lucu sekali. Di sinilah dia, seekor duyung yang terkutuk, bertemu dengan boneka yang mendapat keajaiban.

“Ada apa?” Boneka itu terlihat gelisah sebab baru kali ini Inoo menatapnya lama.

“Keajaiban,” Inoo sedikit berpikir suaranya akan hilang, namun untungnya masih terdengar jelas, “kau harus menjaganya baik-baik.”

Keajaiban tidak datang pada semua makhluk yang ada di muka bumi. Para pemberi keajaiban—yaitu semua penghuni langit—biasanya pilih-pilih. Inoo suka berpikir bahwa mereka yang mendapat keajaiban hanyalah karakter buatan belaka, dibuat hanya untuk memberi motivasi pada anak-anak agar berlaku baik.

Lucu, sebenarnya, jika dia kembali pulang ke rumahnya dan menceritakan boneka ini pada ibunya yang suka mendongeng tentang keajaiban. Mungkin boneka ini akan jadi bahan omongan di rumahnya sebab hampir tak ada yang pernah menjelajah laut selain ayahnya. Sepupu-sepupunya yang pergi mencari tahu lebih luas tentang laut tidak pernah kembali. Sama sepertinya.

Boneka itu diam, mungkin tidak tahu harus berkata apa lagi. Inoo jadi merasa sedikit bersalah juga, memotong cerita sang boneka yang mungkin sudah dirangkai semalaman.

“Namamu,” Inoo menarik perhatian si boneka kembali, “siapa namamu?”

“Chinen, Chinen Yuri,” boneka itu sedikit berpikir setelah menjawab, “Yuri saja tidak apa-apa, Chinen diambil dari nama pembuatku.”

“Yuri,” Inoo mengulang sebab dia tidak begitu pandai mengingat nama, “aku Inoo.”

Tangannya terulur, mendapat tatapan lama dari si boneka. Menahan untuk tidak memutar bola matanya, Inoo melangkah sedikit, mendekatkan diri agar Yuri lebih mudah menggapai tangannya.

“Kau hanya perlu menjabat tanganku,” ucapnya, tangannya yang lain meraih satu tangan Yuri untuk dia genggam. “Begini.”

Sebuah senyum muncul pada wajah si boneka, secara tak sadar menular pada wajah Inoo.

Ini hanyalah cerita antara duyung yang terkutuk dan boneka yang diberi keajaiban.

[#inochine, fab au; mermaid!inoo + pinokio!chinen. isinya narasi doang sepertinya ;2; banyak terpengaruh last mermaid karena lagi dengerin lagu ini eheheh] [untuk #Inoo31stbirthday]

Chinen tidak pernah melihat seseorang seindah dia.

Sebenarnya, Chinen juga tidak yakin dapat menyebutnya sebagai seseorang. Dia suka datang dalam wujud seperti manusia lainnya, seperti dia, dengan kedua kaki yang dibalut celana hitam panjang. Sepatu hitam menutupi kedua kakinya yang melangkah pelan. Namun, ketika malam tiba, dia akan kembali ke dalam laut, menggunakan ekornya untuk berenang menjauh dari pantai.

Chinen selalu bertemu dengannya sejak dia berada di sini, di pantai tempat pembuangan semua mainan anak-anak berada. Chinen tidak tahu juga apakah dirinya masih dapat dikatakan sebuah mainan ketika kulitnya bisa tergores dan luka seperti manusia. Kedua matanya dapat berkedip cepat, napasnya sesekali tersegal jika berjalan terlalu lama, kedua tangannya dapat menggenggam apapun yang dia mau.

Ketika dia menjadi seorang manusia, rasanya aneh. Mulutnya cepat terasa kering, nantinya suara yang keluar dari mulutnya akan terdengar serak, dan yang paling menyebalkan adalah hatinya. Dia dapat merasakan hal-hal yang tidak dia inginkan, seperti kesedihan ketika dia harus dibuang, kekecewaan ketika tidak ada lagi yang menginginkannya, atau patah hati ketika dia terlihat jauh walau sosoknya berada tepat di hadapannya.

Chinen tidak mengerti apa yang membuatnya berbeda dari manusia lain yang pernah dia temui. Mungkin karena dia terlihat indah di bawah cahaya matahari? Mungkin karena senyumnya terlihat memikat dan menarik sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada di dalam hatinya?

Pada pantai pembuangan ini tidak ada siapapun yang dapat dia ajak bicara. Mainan lainnya bukan seperti dia yang tiba-tiba bisa hidup. Tidak ada manusia lain yang datang ke tempat itu selain datang membuang mainan setiap satu bulan sekali. Tidak ada peri-peri kecil yang datang karena tempat ini terlarang.

Yang ada hanya lelaki itu, datang setiap matahari terbit dengan wujudnya sebagai manusia. Lalu pergi ketika matahari terbenam dengan wujudnya sebagai duyung.

Lelaki itu hampir tidak pernah berbicara. Awalnya, Chinen kira dia tidak dapat bersuara—dia pernah membaca dongeng duyung yang harus menukar suaranya demi mendapat dua pasang kaki. Namun pernah suatu kali Chinen mendengarnya bernyanyi, pelan, ketika dia pelan-pelan mengikuti lelaki itu jauh ke dalam hutan.

Suaranya memang bukan suara yang terindah. Ketika di kota dulu, Chinen sudah sering mendengar manusia lain bernyanyi. Akan tetapi, Chinen suka dengan suaranya. Unik, sedikit kasar pada beberapa kali dia bernyanyi, seringkali terlalu tinggi daripada biasanya, namun mudah membekas dalam ingatan Chinen.

Lelaki itu hanya datang untuk melihat mainan yang ada. Itulah awal mereka bertemu. Chinen yang tertidur perlahan tersadar ketika ada jemari yang menelusuri fitur wajahnya. Jemarinya terasa basah, dingin, namun Chinen dapat merasakan kehangatan dalam bentuk lain ketika telapak tangan itu mendarat pada pipinya.

Tangan itu dengan cepat menjauh darinya ketika Chinen membuka mata, menemukan sepasang mata biru muda yang menatapnya dengan kejut. Rambut putihnya terlihat sedikit lebih terang terkena pantulan matahari pagi, terbelai pelan oleh angin pantai.

Mungkin pada detik itulah Chinen menyukainya.

Kali lain menemuinya, Chinen melihatnya menangis. Ketika itu, Chinen masih terjaga walau bulan sudah naik tinggi di atas langit. Pikirannya selalu terisi sosok duyung yang menarik atensinya. Ketika itu pula, pikirannya berhenti karena mendengar isakan, agak jauh dari tempatnya berada.

Lelaki itu bersandar pada satu batu besar yang cukup jauh dari tempat Chinen berada, tak jauh dari pinggir pantai. Dia dapat melihat kepiting serta beberapa bintang laut di batu itu, tak jauh dari posisi lelaki itu duduk. Isakannya timbul-tenggelam, diiringi bahunya yang bergetar. Chinen tidak berani mendekat, takut membuatnya kembali ke laut dan pergi. Jadi dia hanya duduk dari kejauhan, bertanya-tanya pada diri sendiri penyebab lelaki itu menangis.

Chinen tidak pernah berkata apa-apa. Begitu juga dengan lelaki itu. Mungkin seharusnya dia mulai mencoba sebab dia mulai merasa frustrasi sendiri.

Namun mengatakan sesuatu untuk pertama kalinya merupakan hal yang sulit. Berkali-kali setelahnya, Chinen selalu bertemu dengan lelaki itu setiap pagi dan malam, hening di antara mereka selalu datang mengisi. Dia tidak tahu bagaimana lelaki itu akan bereaksi, takut justru membuatnya tidak akan kembali.

Pagi itu, Chinen menemuinya lagi ketika matahari terbit. Lelaki itu memandangnya sebentar, membuat jantung yang baru hadir dalam diri Chinen berdetak cepat, namun kontak mata itu diputuskan beberapa saat setelahnya, memilih melihat benda-benda lain yang berserakan di sekitar pantai.

Dalam hati, Chinen berusaha mendorong dirinya untuk bergerak. Apa sulitnya mengatakan halo?

Menarik napas dalam-dalam serta menyeka bulir keringat yang hadir di wajahnya, dia berjalan mendekat ke arah lelaki itu. Tampaknya, lelaki itu menyadari pergerakannya dan sedikit awas. Tubuhnya terlihat sedikit kaku, melirik ke arah Chinen beberapa kali, namun tidak bergerak menjauh.

Memutuskan harus memberi jarak di antara mereka, Chinen menghentikan langkahnya tepat di samping piano yang rusak. Jemarinya meremat baju yang dia kenakan, entah mengapa dia tidak bisa membuat tangannya diam.

“A-, uh,” suaranya serak, “halo.”

Lelaki itu menoleh, meletakkan mainan yang dia pegang sebelumnya kembali ke atas pasir. Dia hanya menatap wajah Chinen, tidak membuka mulutnya sama sekali, sebelum akhirnya berlari menjauh menuju laut.

“Tunggu!” Chinen baru menyadari dia berteriak setelah mendengar suaranya sendiri. Sayangnya, lelaki itu terus berlari sampai dia masuk kembali ke dalam laut, menghilang dari pandangan Chinen.

Dia tidak pernah kembali ke laut ketika matahari masih bersinar.

Menghela napas, Chinen duduk di atas pasir, pandangannya masih tertuju ke arah terakhir dia melihat lelaki itu. Jika besok pagi dia tidak melihatnya lagi, dia akan menyesali perbuatannya hari ini seumur hidup. Haruskah dia mencari ke dalam laut?

Mungkin dia harus mencari ke dalam laut.

Chinen tidak pernah berenang sebelumnya—tidak pernah juga membiarkan sekujur tubuhnya basah. Namun apa sulitnya? Dia sudah melihat beberapa orang berenang sebelumnya, hanya perlu menggerakan kaki dan tangan di saat bersamaan, bukan? Dia sudah cukup yakin dengan keahlian motoriknya, jadi seharusnya berenang tidak akan terlalu sulit.

Mempersiapkan diri dalam hati, Chinen bergerak menuju tepi pantai, merasakan dinginnya air laut menyapu kakinya.

Tidak sulit, bukan?

Meyakinkan dirinya sekali lagi, dia kembali mengambil langkah maju. Dia akan mencari lelaki itu.