hiirei

inoyama

[#inoyama, killer au, murder theme, intinya ini tema bermasalah dengan karakter bermasalah pula, ditulis dari pov kedua inoo, naratornya kurang dapat dipercaya] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau seharusnya tidak keluar dari rumah malam itu. Namun jika kau tidur sesuai dengan yang kau rencanakan, kau tidak akan bertemu dengannya. Dan untuk itu, kau sedikit bersyukur kau pergi.

Malam itu, pikiranmu tidak bisa berhenti memikirkan es krim di toko swalayan tak jauh dari rumahmu. Memang, musim panas sering membuatmu mendamba makanan dingin. Namun waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh dan kedua matamu terasa berat. Kau sempat berpikir akan memaksakan diri tidur saja dan pergi ke sana pagi-pagi ketika kau sudah bangun.

Sayangnya, pikiranmu memenangkan perdebatan. Kau memakai jaketmu dan pergi tanpa lupa mengunci pintu. Dalam hati sedikit menggerutu karena malam seharusnya sedikit sejuk, namun keringat tetap membasahi wajahmu, terlebih karena kau mempercepat lajumu agar mendapat keinginanmu dan kembali pulang.

Sayangnya, rencana tersebut juga tidak terjadi karena kau tak bisa menahan diri untuk menoleh pada suatu suara berasal dari gang yang gelap.

Kau paham bahwa malam bukanlah hal yang baik untuk mengecek suara-suara mencurigakan, terlebih ketika berasal dari suatu gang sempit yang kau tahu tidak berisi banyak. Biasanya hanya tempat pembuangan sampah atau penyimpanan lebih untuk toko. Terlebih ketika jalanan sekitarmu tidak dilewati siapapun dan kau tidak dapat meminta tolong kalau terjadi sesuatu.

Namun kakimu tetap melangkah pelan menuju asal suara. Kau sedikit berpikir suaranya mirip seperti tusukan pada bagian tubuh, berulang kali, atau mungkin ... gigitan? Mungkin ada anjing liar memakan tangkapannya? Namun kau belum pernah melihat ada anjing liar di sekitar sini.

Suara itu berhenti tak lama setelah kau sudah berada dalam jarak yang cukup dekat, bersembunyi di balik tempat sampah yang kau harap dapat membuatmu tak terlihat. Tidak juga, setelah kau pikir-pikir lagi, namun kau sudah kepalang nekat. Matamu juga sudah melihat salah satu sosok di dalam kegelapan, sepertinya laki-laki, berdiri membelakangimu. Ketika pandanganmu beralih pada tangannya, kau dapat melihat sebuah pisau dalam genggamannya.

Jadi, benar. Tidak ada anjing liar. Kau baru saja menyaksikan pembunuhan.

Tanpa sadar, sebuah kekehan lolos dari bibirmu. Tentu membuatnya menoleh cepat, baru menyadari presensimu di balik tempat sampah. Sayangnya, tempat dia berdiri terlalu gelap sehingga kau tidak dapat membaca raut wajahnya.

“Ah,” dia bersuara, mendekatkan diri padamu sembari membersihkan pisau yang dia jadikan alat pembunuhan, “aku tidak mengira aku memiliki seorang penonton.”

Ketika jarak kalian sudah cukup dekat, kau dapat melihat wajahnya. Kerutan di dahinya dan tatapannya yang memperhatikan fiturmu lekat membuatmu memasukkan kedua tangan dalam saku jaket, memundurkan langkahmu sedikit. Kau yakin dia pasti akan bertanya mengapa kau baru saja tertawa.

“Jadi, kau terhibur?” Dia melipat pisau dalam genggamannya dan memasukkannya ke dalam saku. “Kalau pendengaranku tidak salah, kau baru saja tertawa.”

“Sedikit,” kau menjawab setelah memberi jeda lama, setelah melihatnya semakin menatapmu tidak mengerti dan muncul rasa ingin mempermainkannya dalam dirimu, “sedikit terhibur.”

“Hanya sedikit?”

“Karena kau membiarkannya mati dahulu,” kau memberinya senyum yang dia balas masih dalam kebingungannya, “aku bukan tipe yang suka dengan sesuatu terlalu diam.”

Dia tidak lagi bertanya atau berkata apa-apa. Kau masih menginginkan es krim, jadi kau hanya menatapnya sebentar sebelum akhirnya membalikkan badanmu dan kembali melanjutkan langkah menuju toko swalayan. Mereka buka 24 jam, namun kau juga merasakan matamu mengantuk dan butuh merebahkan diri di kasur dalam waktu cepat.

Tak lama berjalan, kau mendengar langkah mendekatimu, menyamakan tempo jalanmu. Kau tersenyum kecil, tidak terlihat olehnya sebab tingginya tidak menyamaimu.

“Siapa kau?” tanya dia, suaranya terdengar kesal dibanding sebelumnya.

“Oh, sekarang kau menanyakan namaku?” Kau meliriknya sekilas. “Aku tidak memberi nama tanpa undangan minum atau makan bersama.”

Ucapanmu tentu membuatnya semakin bingung, dia akhirnya mempercepat langkah dan menghalangi jalanmu. Pandanganmu bertemu matanya lagi yang kau pikir cukup menawan.

“Kau baru saja melihatku membunuh seseorang.”

“Aku baru saja melihatmu membunuh seseorang.”

Dia tampak tidak menyangka kau akan mengulang perkataannya. Lucu. Sesuai dengan perkiraanmu, kau memang ingin mempermainkannya.

“Orang normal akan ketakutan dan berjanji tidak akan mengatakan pada siapa-siapa, lalu memohon agar aku tidak membunuhnya.”

“Aku bukan orang normal.”

Kau sebenarnya menganggap dirimu normal, namun kau juga sering mendapat masukan dari teman-temanmu bahwa kau cukup abstrak. Tidak terduga. Bukan suatu pola yang dapat mereka pahami. Mereka tidak keberatan, kau juga. Sayangnya, mungkin dia keberatan.

“Aku hanya ingin pergi beli es krim,” kau melipat kedua tanganmu di depan dada, “jadi kau bisa melanjutkan pertanyaanmu sambil kita jalan, oke?”

Dia tidak menanggapi apa-apa. Kau menganggap dia menerima dan segera membeli apa yang kau mau. Sepanjang kau memakan es krim yang kau beli (dan siapa sangka ternyata dia juga membeli es krim?) dia tidak mengatakan apa-apa. Pun ketika kau memutuskan untuk kembali pulang. Kau tidak keberatan banyak kalau dia mengikutimu sampai rumah. Tentu, dia baru saja membunuh orang dan bisa saja berkesempatan membunuhmu jika kau membiarkannya masuk ke dalam kamarmu. Namun kau tahu. Kau tahu dia tidak akan melakukan itu.

Karena kau juga sama dengannya.

“Ini tempatku,” kau menyadarkannya ketika sudah sampai di depan gerbang rumahmu, “aku biasanya tidak mengajak orang asing masuk tanpa kencan dulu, namun aku tidak keberatan.”

“Kau tidak takut aku akan membunuhmu?”

“Tidak,” kau tersenyum, “aku terlalu menarik untuk dibunuh.”

Kau melihatnya memutar bola mata setelah mendengar perkataanmu. Bukan pertama kali kau mendapat reaksi seperti ini.

“Kau juga pembunuh,” dia berucap dengan pelan, “ya?”

Alih-alih menjawab, kau memilih untuk menatapnya saja. Mungkin dia akan pergi setelah ini, bertemu lagi kapan-kapan jika kalian tidak sengaja berpapasan di jalan. Mungkin rasa penasaran akan membuatnya datang mengunjungimu. Tentu bukan untuk membunuhmu, harapmu dalam hati. Walau kau pandai membaca orang lain, bukan berarti mereka akan berlaku sesuai dengan dugaan.

“Kalau kau mau mengajakku makan malam atau sekadar minum di suatu tempat, kau tahu tempat untuk menjemputku.”

Raut wajahnya masih tidak mengerti dengan segala yang kau ucapkan. Tidak apa-apa, kau yakin dia akan paham setelah ini. Mungkin.

Tanpa menunggu lagi, kau membuka pagar dan masuk ke dalam rumah. Kau mendengarnya berjalan menjauh ketika beberapa menit sudah terlewat. Senyummu muncul tanpa kau sadari.

Siapa sangka kau pergi untuk es krim dan mendapat lelaki menarik sebagai bonus?

[#inoyama. coffee shop au. gombalan klise tapi karena lagi kesengsem sama mereka berdua jadi pengen nulis ini hehehe.] [ficlet, bahasa indonesia.]

Yamada sebenarnya tidak suka mengunjungi kafe itu. Bukan karena kopinya yang tidak enak. Bukan juga karena tempatnya yang tidak nyaman. Tapi karena namanya yang selalu salah ditulis.

Padahal menurutnya, namanya tergolong pasaran. Hanya terdiri dari dua kanji. Kalau-kalau barista itu tidak tahu, dia seharusnya bisa menuliskannya dengan hiragana.

Seperti kali ini. Dia sudah menyebut namanya tadi, dengan penuh penekanan, “Namaku Ya-ma-da.”

Namun yang tertulis di minumannya hanya 'Yama'. Dia tidak terlalu keberatan, teman-temannya sering memanggilnya dengan sebutan itu. Hanya saja, ini sudah kesekian kali sang barista—anehnya setiap Yamada datang ke sini, dia selalu berjaga menjadi barista—melakukan kesalahan.

“Kau menulis namaku salah lagi,” ucap Yamada, menunjukkan minumannya, “kurang 'da'.”

Barista itu menatapnya, lalu beralih pada gelas yang dipegangnya. “Ah, iya, kurang.”

Tangan lentik sang barista meraih gelasnya, kembali menuliskan namanya di kolom yang tersedia.

Ketika membaca tulisan pada gelasnya, barista itu tidak hanya menambahkan kanji di sebelah namanya. Dia menambahkan rentetan angka. Nomor telpon.

“Kau juga kekurangan nomor telponku.” Barista itu tersenyum manis. “Jangan lupa telpon aku, ya, Yamada.”

Mendengus, Yamada berjalan keluar dengan satu kontak baru dalam ponselnya.