hiirei

inoyuto

[#inoyuto dengan fuyunosuke!inoo karena saya iseng, ditulis dari pov kedua yuto] [note: fuyunosuke (tokyo alien bros.) © shinzo keigo] [untuk #Inoo31stbirthday]

Senyumnya adalah hal pertama yang kau lihat darinya.

Dalam malam yang gelap, hanya beberapa lampu jalan menerangi, rambut putihnya terlihat mencolok. Begitu juga dengan kacamata bulat yang dia pakai. Juga kamera yang dia pegang dalam tangannya.

Kau tidak pernah melihat dia sebelumnya.

“Ah, mau memotret bulan merah?” Dia bertanya, suara jauh lebih ringan dan tinggi dibanding yang kau bayangkan. Matanya melirik ke sekeliling kalian, tidak mendapati siapapun—karena itulah kau memilih tempat ini. Jarang sekali orang mendatangi tempat ini di malam hari, terlebih jika hanya untuk memotret bulan.

Senyum lebarnya sedikit menciut ketika kau tak kunjung menjawabnya. Dia sedikit memiringkan kepalanya, gerak-geriknya membuat kau merasa dia sedikit komikal.

“Iya, memotret bulan.” Akhirnya kau bersuara, membuat kedua alisnya terangkat, mungkin sempat mengira kau tak bisa bicara. “Kau sendiri?”

“Sama,” jawabnya singkat. Tanpa bertanya, dia mendudukkan diri di sampingmu. Kau tidak keberatan, sebenarnya, hanya ada perasaan ganjil yang mengisi hatimu sejak melihat sosoknya. “Aku penasaran mengapa manusia begitu senang melihat benda langit ini.”

Kau sedikit bingung mendengarnya. Mungkin dia orang yang sedikit merasa berbeda dari orang lainnya? Atau mungkin sedang melakukan penelitian tertentu?

Pandanganmu kembali pada bulan di atas langit yang biasanya pucat kini sedikit berwarna. Terdapat dua bintang menemaninya, walau letaknya sangat berjauhan dan kau juga sadar dua benda itu sudah lebih dulu mati.

“Karena hari ini spesial,” kau menjawab tanpa banyak pikir, “bulan merah jarang ada.”

“Ah, benar juga.” Kau mendengarnya tertawa, masih dengan suaranya yang ringan dan menarik untukmu. “Tapi kau pasti terbiasa memotret, ya.”

Kau kembali menoleh padanya ketika menyadari dia tidak bertanya, suaranya terdengar bahwa dia yakin dengan pernyataannya. “Maaf?”

“Kau terlihat sudah biasa memegang kamera.” Dia menjelaskan. “Kameramu juga terlihat khusus, bukan sepertiku yang seadanya.”

Lirikanmu teralih pada kameranya, sederhana dan jelas kau tahu bukan untuk orang yang menjadikan fotografi sebagai hobi. Bibirmu tanpa sadar membentuk senyum, terdapat rasa senang dalam dirimu, entah mengapa ucapannya terdengar seperti pujian untukmu.

“Begitulah,” kau mengangkat kedua bahumu, “aku hanya suka. Lebih suka lagi kalau hasilnya bagus.”

Mendengarnya dia mengangguk, tidak lagi bertanya karena dia mulai memotret beberapa hal yang menarik perhatiannya. Kau sudah cukup mengambil beberapa foto, tinggal menunggu bulan menjadi benar-benar merah.

“Siapa namamu?” Dia tiba-tiba bertanya, pandangannya masih pada kamera yang dia pegang, memotret beberapa kali ke arah langit.

“Uh,” kau tidak siap dengan pertanyaannya, “Nakajima.”

Dia menatapmu ketika kau tidak meneruskan, namun tidak bertanya lebih lanjut terkait nama depanmu. “Ah, baiklah. Salam kenal, Nakajima-san.”

“Kau sendiri?”

“Fuyunosuke.”

Fuyunosuke? Kau menahan diri untuk bertanya apa dia jujur atau tidak. Apa karena kau tidak memberi nama lengkapmu dia akhirnya memberikan nama asal sebut? Setelah kau pikir lagi, sebenarnya adil saja jika dia berlaku seperti itu. Kau juga tidak rugi apapun.

“Kalau kau merasa aneh, kau bisa memanggilku Fuyu,” terusnya, bibirnya tetap tersenyum seakan wajahnya tak lelah memasangnya.

Kau hanya mengangguk, sedikit bertanya-tanya apakah dia dapat membaca pikiranmu. Namun kau berusaha untuk menghentikan fokusmu padanya. Kau di sini hanya untuk memotret bulan, ketika selesai kau akan langsung pulang. Kau berdoa semoga dia tidak tiba-tiba mengikutimu atau melakukan hal aneh lainnya.

Namun semakin kau berusaha untuk mengabaikannya, semakin kau sadar akan gerak-geriknya.

“Nakajima-san,” dia memanggilmu lagi, mau tak mau kau menoleh, “kau ada acara setelah ini?”

Pikiranmu berteriak agar kau menolaknya sebab apa yang akan kalian lakukan ketika sudah malam? Pergi makan? Mungkin. Mungkin dia hanya mengajakmu makan malam.

“Tidak ada.” Kau merasa sesal menyelimuti hatimu sesaat setelah kau berucap.

“Oh,” dia terlihat seakan tidak menduga kau akan menjawab seperti itu, “mau makan takoyaki? Aku berencana membuatnya malam ini dengan kakakku.”

Kau tahu jelas harusnya menolak. Walau tidak ada acara bukan berarti kau harus menerima ajakannya. Namun senyumnya, caranya bicara, serta jaraknya yang semakin mendekat membuatmu bertanya-tanya apa salahnya jika kau ikut dengannya.

Menahan napasmu, kau menjawab, “Boleh.”

[#inoyuto, fluff, domestic setting] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kejutan selalu hadir setelah dia memutuskan untuk menghabiskan hidupnya bersama seorang Nakajima Yuto.

Inoo terkenal sebagai orang paling random di antara teman-temannya. Kelakuannya sulit ditebak, reaksinya lebih sering berada di luar pemikiran, dan ucapannya selalu berada di antara “sangat tepat” atau “topik baru yang tidak ada kaitannya sama sekali dari pembicaraan sebelumnya”. Walau sifatnya ini unik dan mengundang banyak orang untuk berbicara dengannya, tidak jarang juga yang kesulitan untuk mengikuti tempo bicaranya.

Namun menurut Inoo, dirinya bukanlah hanya satu-satunya manusia abstrak yang dia kenal.

Ketika bertemu dengan Yuto, teman-temannya dengan cepat mengatakan mereka punya sifat yang mirip. Inoo mungkin tidak punya energi sebanyak Yuto—hanya sesekali saja di saat Inoo memang sedang mood—namun cara mereka menghadapi sesuatu hampir sama; sama-sama tidak bisa ditebak.

Terlebih ketika suatu hari Yuto datang, mendorong pintu kedai tempat mereka janji akan bertemu dengan penuh tenaga, kedua matanya menatap dalam Inoo, lalu berkata, “Kumohon, jadilah kekasihku.”

Perlahan, Inoo mulai mengerti Yuto sedikit demi sedikit. Sesekali dia dapat menebak alur berpikirnya—membuatnya sedikit percaya dengan ucapan temannya yang berkata dia dan Yuto itu berjodoh. Sesekali, Yuto tidak dapat menutupi intensinya, lebih-lebih usahanya untuk berbohong. Sedikit banyak, Inoo bangga akan pencapaiannya sebagai orang yang paling mengerti Yuto.

“Jadi,” Inoo menghela napas, menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, “aku tidak boleh beranjak dari sini?”

Lelaki jangkung di hadapannya mengangguk keras, senyum lebar hadir di wajahnya—senyuman yang menandakan dia sedang bermain-main dan tidak akan berhenti sampai puas. Tanpa menyadarinya, senyum itu menular pada wajah Inoo.

“Tidak boleh,” Yuto berkacak pinggang, “sebelum aku mendapat satu pelukan erat dan ciuman.”

“Aaah, begitu, ya.” Inoo berpikir sebentar, mengingat apakah ada janji penting yang harus dia hadiri pagi ini. Tidak ada, seingatnya. Kalau-kalau ternyata ada, Yabu pasti akan menelponnya, setengah marah dan setengah panik karena Inoo terbiasa lupa.

“Iya, begitu.” Tampaknya Yuto pun tidak ada sesi pemotretan pagi ini. Lelaki itu punya jadwal kerja yang lebih abstrak darinya, lebih sering diundur dan dimajukan pada waktu yang terlalu mepet, jadi ada kemungkinan Yuto terpaksa harus mengalah dalam permainan ini.

Inoo tahu seberapa besar dampak kekalahan pada Yuto, lebih sering sengaja mengalah agar lelaki itu senang, namun kali ini tidak ada salahnya juga dia mempertahankan diri untuk menang.

“Baiklah, kalau begitu aku akan kembali tidur saja di sini.” Inoo merebahkan diri pada sofa, satu bantal yang diposisikan di bawah kepalanya, satu lagi dia ambil untuk dipeluk. Badannya bergerak-gerak mencari posisi yang nyaman.

“Kembali tidur?” Ekspresi Yuto sedikit kecewa. “Memangnya kau tidak harus pergi bekerja?”

“Harus, sih,” Inoo mulai memejamkan matanya, “tapi kan kau tidak membolehkanku lewat.”

Sejenak, tidak ada suara dari Yuto. Inoo yang sudah memejamkan mata sedikit ingin mengintip, namun menahan rasa penasarannya. Dalam hati sedikit merasa bersalah, baik pada Yuto yang akhirnya diam atau Yabu jika betulan ada janji temu pagi ini.

Tak lama, dia merasakan berat tubuh menduduki sofa yang dia tiduri, membuat kedua matanya terbuka untuk melihat apa yang terjadi.

Kedua matanya menangkap mata Yuto, serta cengirannya yang tetap lebar seperti beberapa menit lalu, badannya ikut merebahkan diri di samping Inoo. Sofa itu tidak besar-besar amat untuk menjadi tempat tidur dua orang dewasa, Inoo mau tak mau harus melempar bantal yang dia peluk ke lantai.

“Kalau begitu aku akan ikut tidur di sini.” Jarak mereka terlalu dekat, napas mereka saling menerpa wajah satu sama lain.

“Kau tidak perlu pergi bekerja hari ini?” Inoo bertanya dengan satu alis terangkat, tangannya dengan cepat memeluk Yuto agar lelaki itu tidak terjatuh.

“Aku meliburkan diri.” Tentu itu tidak akan sepenuhnya terjadi sebab dia tahu Yuto akan tetap berlari mengejar waktu jika ada sesi pemotretan nanti.

Tapi itu urusan nanti. Kini, Inoo memberikannya ciuman yang diminta dan lelaki itu akan tetap berbaring dengannya karena satu pelukan dan ciuman saja tentu tidak cukup.

[#inoyuto, au; fotografer!yuto + model!inoo, basic sekali ahahah /tertawa miris/ ingin memberi rating 17+ tapi buat lain kali saja] [ untuk #Inoo31stbirthday]

Yuto melihatnya pertama kali melalui lensa kamera yang dipegangnya.

Dia tidak pernah terlalu tertarik menatap model yang akan dia foto terlalu lama. Hanya sebatas untuk mengarahkan atau memberi instruksi saja. Walau bekerja pada bidang yang dibanjiri orang-orang dengan tampang memikat, Yuto tidak sekalipun mau terlibat dengan mereka secara personal. Dia tahu jelas isi dunia model; rumit, penuh dengan sembunyi sana-sini, serta berpura-pura.

Yuto bukan tipe orang yang ingin diam-diam jika memiliki hubungan. Dia ingin semua orang tahu pasangannya sudah dimiliki dia.

Teman-temannya selalu mengejek, mengatakan dia hanya butuh waktu untuk bertemu dengan orang yang tepat. Beberapa berkata seperti itu lebih disebabkan Yuto yang tidak ingin mengenalkan mereka pada model-model yang dia temui atau mengajak mereka ke lokasi pemotretan.

Maka ketika pandangannya jatuh pada sosok lelaki itu, yang ada dalam pikirannya hanyalah tawa temannya, mengatakan, “Sudah kami bilang, bukan?”

Lelaki itu datang memakai baju biasa, hanya sepasang kaus polos dan celana panjang. Rambutnya sedikit berantakan ketika dia melepas topi, poni menutupi kedua matanya yang terlihat seperti baru terpejam lama.

Awalnya, lelaki itu sibuk berbicara dengan orang yang datang bersamanya—kemungkinan manajernya sebab pembicaraan mereka cukup serius. Mereka duduk di sisi lain ruangan sehingga Yuto tidak terlalu dapat memperhatikan keduanya. Lagipula, dia masih harus menyiapkan peralatannya.

Pemotretan saat itu hanya mengambil foto berlatar di dalam rumah untuk menampilkan kesan domestik. Pihak majalah sempat berkata tidak perlu mengambil banyak foto, beberapa saja karena akan ada latar lain yang lebih dominan.

Yuto melihat lelaki itu pergi ke ruangan kecil dari sudut matanya, pasti untuk mengganti pakaiannya sebab tak lama ada orang lain yang datang membawakan baju. Dia sudah selesai menyiapkan semuanya, tinggal menunggu sang model dan memotret.

“Maaf,” sebuah suara membuatnya menoleh, “aku sudah siap.”

Rambutnya kini terlihat sedikit bergelombang, poni tidak lagi terlalu menutupi matanya. Warnanya coklat agak muda, mungkin karena terkena banyak cahaya, atau karena sudah dikeringkan juga—Yuto baru menyadari lelaki itu datang dengan rambut agak basah, sepertinya.

Pakaiannya tidak terlalu berbeda jauh dari awalnya; masih memakai kaus hanya saja berbeda warna, dilapisi kardigan hitam panjang yang menyisakan jemarinya, memperlihatkan kuku yang sudah dipotong pendek. Celana panjangnya juga berwarna hitam, lalu diakhiri dengan dua kaus kaki putih.

Terlalu lama memperhatikannya, lelaki itu memiringkan kepalanya sedikit, matanya bergerak-gerak menatapi ekspresi Yuto. “Apa ada yang salah?”

“Ah, tidak.” Yuto mengalihkan pandangannya. “Silahkan duduk di atas sofa itu.”

Tidak sulit untuknya kembali pada mode bekerja. Walau beberapa kali pikirannya teralihkan karena ekspresi lelaki itu terlalu unik baginya, Yuto tetap berhasil mengambil beberapa foto dengan cepat. Lelaki itu juga tidak sulit menerima arahan, mudah mengerti apa yang Yuto inginkan dan memberikan gaya yang cocok.

Melihat-lihat foto yang sudah diambilnya sembari membiarkan lelaki itu beristirahat sebentar, Yuto tidak bisa menahan matanya untuk kembali memperhatikan fitur lelaki itu. Aura yang diberikannya pada foto-foto itu seakan seorang pacar yang tidak sengaja dia foto, senyumannya membuat Yuto tergelitik untuk melengkungkan bibirnya juga, lalu wajahnya yang terlihat nyaman ketika tertidur membuatnya menghela napas panjang. Dia harus cepat menyelesaikan pekerjaan ini dan kembali pulang.

“Ada yang kau suka?”

Yuto cepat menoleh ke sampingnya, melihat lelaki itu ikut menatap ke kamera yang ada di genggamannya. Senyum kecil muncul pada fiturnya, tampak tidak masalah dengan mengajaknya berbicara tidak formal.

“Semua sudah oke,” Yuto memberi jarak di antara mereka, “untuk bagian ini sudah selesai. Terima kasih atas kerja samanya.”

Lelaki itu tidak menanggapi, hanya mengalihkan pandangannya sehingga dia menatap Yuto tanpa berkata apa-apa. Sedikit bingung, Yuto melirik ke kanan dan kiri, tidak mendapati seorang pun yang melihat ke arah mereka.

“Nakajima-san,” lelaki itu memanggil namanya, suara lebih pelan dari sebelumnya, “kau tidak tahu siapa aku, ya?”

Yuto tidak spesifik memilih pekerjaannya sendiri. Karena dia menyanggupi pekerjaan memotret apa saja, dia menyerahkan semuanya pada Yabu atau Yamada, rekan kerjanya yang lain. Dia hanya akan menerima jadwal pemotretan yang harus dia hadiri dan membawa peralatan, entah sendirian atau berdua dengan rekan kerjanya.

Jadi, dia tidak terlalu memperhatikan nama model yang tertera pada jadwalnya—lebih fokus pada alamat dan perlengkapan—kecuali Yabu dan Yamada bergosip sehari sebelumnya.

Menggeleng pelan, Yuto melihat kedua alis lelaki itu terangkat. Kepalanya mengangguk sedikit, mengambil langkah untuk mendekatkan diri pada Yuto.

“Inoo Kei,” senyuman lelaki itu semakin melebar, “ingat namaku. Kita akan bertemu lagi, Nakajima-san.”

Tanpa menunggu reaksi Yuto, lelaki itu, Inoo Kei, membalikkan badannya dan kembali masuk ke dalam ruangan ganti. Dia tidak lagi bertemu dengan model itu, tidak juga melihatnya pergi walau sudah sengaja memperlambat diri untuk membereskan peralatannya.

Pada hari itu, Yuto pulang membawa satu nama dalam ingatan dan beberapa foto yang dia simpan personal.

[#inoyuto. pocky game.] [ficlet, bahasa indonesia.]

“Inoo-chan! Inoo-chan!”

Mengangkat pandangan dari layar kaca, Inoo disuguhi sosok Yuto, duduk di sampingnya dengan satu buah pocky di tangan.

“Ayo, lakukan seperti tahun lalu.” Tanpa menunggu lama, Yuto langsung memasukkan pocky tersebut ke mulutnya.

Sayangnya, Inoo tidak merespon sesuai yang diharapkan Yuto. Dia hanya duduk diam, menatapnya sesekali sembari melirik tontonannya.

Yuto akhirnya mengambil inisiatif—dia mendekatkan diri kepada yang lebih tua, mengarahkan ujung lain dari pocky itu ke arah bibir Inoo.

Inoo, tentunya, sadar akan apa yang diinginkan Yuto dan bergerak menjauh pula. Begitu terus sampai akhirnya Inoo berada di ujung sofa.

Menghela napas, Inoo akhirnya mematikan layar tontonannya. Pandangannya kini beralih kembali pada Yuto, masih dengan senyuman lebarnya dan pocky di antara bibirnya.

Tanpa berkata apa-apa, Inoo meraih pocky tersebut. Mengambil kesempatan pada bibir Yuto yang terbuka untuk menciumnya secara langsung.

“Kalau mau cium tidak usah pakai alasan,” ucap Inoo, “kamu tidak minta juga aku pasti beri.”