the way he remembers after he forgets
[#yabunoo dengan #koheinoo (yang mana saya ngarang nama pairingnya), au-ish, angst, bahasa indonesia.]
Semakin lama, Inoo semakin lupa.
Awalnya, Yabu merasa semuanya baik-baik saja. Ingatan mereka bukan hal yang paling tajam di dunia. Selalu saja ada hal yang terlupa, walau Inoo selalu lebih mengingat banyak hal dibanding dia.
Inoo yang mengingatkannya akan kunci masih terpasang di pintu, atau dompet yang tertinggal di kamar mandi, serta letak Yabu menaruh ponselnya terakhir kali. Inoo yang ingat tanggal-tanggal perayaan tak penting walau lelaki itu selalu berkata dia tidak akan mengingat sesuatu terlalu sepele seperti tanggal. Inoo yang akan memarahinya jika telat datang pada janji kencan, selalu meminta Yabu membayar kesalahannya dengan cara lain.
Yabu selalu pikir jika nantinya Inoo tidak akan ingat lagi, tidak apa-apa juga. Mereka akan lupa sama-sama. Melewatkan tanggal dan janji kencan bersama. Lagipula, Yabu juga tidak punya tempat lain selain berada di samping Inoo. Dia tidak perlu kewalahan memikirkan cara untuk menebus keterlambatannya ketika akan kencan.
Sayangnya, ingatan Inoo semakin lama semakin jauh lebih parah darinya.
Terkadang, lelaki itu lupa tempatnya berada. Lupa letak toko swalayan yang menjual teh kesukaannya. Lupa kalau natal sudah berlalu empat bulan lalu. Lupa kata-kata yang baru saja diucapkannya.
Lupa kalau Yabu ada di sana bersamanya.
Pagi menjadi teror sendiri untuk Yabu. Dia tidak tahu Inoo akan sadar dengan memori utuh atau tidak. Dia tidak yakin Inoo akan mengenalinya ketika mata mereka bertemu. Dia tidak yakin Inoo akan mengenali rumah yang mereka tempati selama belasan tahun. Dia tidak yakin Inoo akan bangun sebagai orang yang sama.
Yang lain suka menanyakan kabarnya. Mereka akan datang jika Inoo sedang dalam hari baik, mengenali mereka, lalu berbicara dengan mereka seperti biasanya. Lain kali ketika Inoo sedang dalam hari buruk, mereka tidak akan dekat-dekat sebab Inoo tidak akan mengenali mereka sama sekali.
“Kota,” Inoo memanggilnya suatu sore, membuat hati Yabu sedikit melompat karena mendengar namanya disebut, “aku sakit, ya?”
Pagi sebelumnya, Daiki datang, memberikan oleh-oleh dari luar kota. Karena Inoo belum bangun, Yabu pikir tidak ada salahnya untuk mengobrol sebentar dengannya.
Sayangnya, tak lama Inoo keluar dari kamar, berjalan pelan menuju ruang mereka berada, teror jelas terlihat di matanya melihat seseorang yang tidak dia kenali duduk di rumahnya. Tidak Daiki, tidak Yabu—Inoo tidak mengenali mereka berdua.
Mereka tidak pernah menyangka Inoo akan histeris. Biasanya, tenaga Inoo tidak menyampai seperempat tenaga Yabu. Pagi itu, benda-benda yang dilempar Inoo seakan membuktikan mereka dibohongi selama ini.
Daiki dan Yabu selamat, pada akhirnya, setelah Daiki lari keluar dan Yabu harus mengingatkan Inoo berkali-kali mengenai dirinya. Butuh waktu lama sampai lelaki itu diam, berhenti memberontak, dan Yabu dapat membawanya untuk duduk sementara dia membersihkan kekacauan.
Sore itu, tampaknya, Inoo kembali semula.
“Kei, kamu—”
“Ya, kan?” Inoo menatapnya dengan jelas, jauh berbeda dengan tatapan asingnya pagi itu.
Yabu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Inoo, jemarinya mengisi celah di antara jemari Inoo.
“Ya.”
Yabu tidak merasa keberatan untuk mengingatkan Inoo berkali-kali. Atau mengulang perkenalan mereka karena ingatan Inoo kembali pada masa kanak-kanak. Atau mengacaknya kencan kembali ketika Inoo pikir mereka masih remaja yang baru jatuh cinta.
Hanya saja, Inoo suka mengingat hal yang ingin Yabu lupakan.
“Ko—” Inoo memandangnya, bertanya-tanya, “Kohei?”
Yabu terdiam, berdiri di depan pintu kamar mereka. Bukan kali pertama ini terjadi. Rasanya, justru selalu sering Inoo kembali mengingat lelaki itu yang sekarang tidak pernah Yabu dengar lagi keberadaannya.
“Kamu ke mana saja?” Inoo kembali bertanya, yakin yang berdiri di hadapannya ini adalah Kohei, bukan Yabu.
Yabu biasanya tidak ingin menanggapi. Pada akhirnya, Inoo sendiri yang akan berbicara untuk mereka berdua, mengisi keheningan dengan celotehannya. Dengan rindunya yang selama ini terpendam. Dengan mimpi-mimpi yang dia selama ini tanam.
Pada akhirnya, Inoo akan lelah sendiri. Mungkin kembali tidur dan terbangun melupakan semua percakapan sebelumnya. Menyisakan Yabu seorang untuk mengingatnya.
Pada hari ini, Yabu memilih untuk menanggapi saja. Akhir-akhir ini, Inoo tidak lagi mengingatnya. Hanya menganggapnya sebagai orang yang sering datang berkunjung. Atau sebagai tetangga yang baik hati. Apapun itu, Inoo tidak pernah mengingatnya lagi sebagai orang yang dia janjikan hidup dan matinya bersama.
Jadi, dia akan mengambil apapun yang bisa dia dapatkan.
Jika dia mendapat Inoo yang mencintainya sebagai orang lain, dia akan menerima itu.
Jika dia harus menjadi Matsumoto Kohei untuk sementara, dia akan memasang senyum dan menanggapi segala ucapannya.