hiirei

yabunoo

[#yabunoo, pov kedua yabu, ((kayaknya)) angst, cheating theme, #thingsyousaidprompt, bahasa indonesia.]

“Puas?”

Kau melihatnya tersentak, jelas tidak mengharapkan kau masih bangun dan mendapatinya pulang dari entah mana. Kau punya dugaanmu. Punya juga bukti keberadaannya dari laporan teman-temanmu yang melihatnya dengan orang lain. Namun kau tidak ingin percaya.

Tidak ingin percaya, tapi saat ini kau jelas dapat mencium parfum asing serta alkohol yang jelas tidak berasal dari kulkas rumah kalian. Perlahan, dia menolehkan wajahnya. Dalam cahaya yang minim, kau tetap dapat melihat ekspresi bersalahnya.

Dia tidak menjawab. Kau juga tidak yakin kau butuh jawaban. Dalam situasi normal, mungkin kau tidak tahan dengan kesunyian, ingin mengisinya dengan ujaran fakta tidak penting yang dia tidak mau dengar. Tapi kali ini kau lelah, bukan hanya karena kau belum tidur sama sekali.

Kau menghela napas, menjadi pemecah keheningan yang ada. Waktu sudah larut. Kau tidak ingin menghadapi hal ini sekarang juga.

Jadi kau membalikkan badanmu, tidak lagi ingin melihat wajah bersalahnya. Menunda segalanya sampai pagi datang.

[#yabunoo, (semoga) angst, one-sided, mentioned takanoo]

“Aku yakin, siapapun itu, dia beruntung untuk dicintai kamu.”

Yabu hanya dapat menjawabnya dengan senyum. Tidak sampai hati memberi tanggapan panjang. Sudah cukup dirinya berbohong, merekayasa keberadaan orang lain (bukan, tentu bukan Inoo) yang dia cintai demi menutupi apapun yang dia rasakan sekarang.

Kalau Hikaru mendengar pembicaraan mereka, pasti dia sudah menertawakannya.

“Ya,” ujarnya pelan, lebih ditunjukkan dari anggukan kepalanya, “kurasa kau lebih beruntung. Dapat menemukan satu sama lain dalam waktu yang tepat.”

Inoo membalas senyumnya, lebih cerah, lebih manis dari apapun yang Yabu ketahui. Cincin perak yang ada di jari manisnya sedikit berkilau, mungkin sengaja untuk mengingatkan Yabu akan posisinya. Menyadarkan dia pada hatinya yang terus teriris seiring dia berada di sini.

Sudah berita lama Inoo dekat dengan Takaki. Walau berawal dengan saling mengasingkan diri, tiba-tiba saja mereka seakan tidak dapat terpisahkan. Menjadi satu set yang selalu ada di mana saja. Menjadi akhir dari Yabu yang tidak pernah dimulai.

Hikaru berkali-kali menyuruhnya berusaha melupakan Inoo. Setidak-tidaknya, berusaha menghapus perasaan lebih-dari-teman yang dia labuhkan sejak entah kapan. Kalau Yabu tidak mau melakukan apa-apa untuk menyatakannya, lebih baik dilupakan.

Tapi bagaimana caranya?

Yabu menaruh gelasnya, setengah kosong, di atas meja. Tatapannya mengikuti langkah Inoo yang menjauh, menghampiri Takaki dengan tangan terulur, saling menggenggam ketika keduanya berada di jarak yang pas.

Bagaimana caranya?

Yabu tidak tahu.

Yang dia tahu, perasaannya dapat hilang hanya ketika dia tidak lagi ada.

[#yabunoo, semoga angst soalnya ventfic HAHA mmf ybin :(]

Hal tersulit dari ditinggal mati adalah melanjutkan hidup.

Yabu tidak dapat membantah pernyataan itu. Oleh karenanya, dia sempat berharap untuk menjadi yang lebih lama bertahan. Dia tidak ingin meninggalkan Inoo, sendiri, dalam paksaan untuk terus hidup tanpanya.

Lucunya, hidup punya caranya sendiri dalam melukis garis takdir.

Bukan pilihan Yabu untuk berada di sini; dalam dunia yang tidak lagi sama dengan Inoo. Dalam jarak yang dekat namun jauh—tangannya persis berada di samping Inoo, tapi tidak ada sentuhan yang dapat dia beri.

Tidak ada tangis yang dapat dia redam dengan pelukan. Yang dia dapat lakukan hanya berada di sana, terpaku, menatap dunia yang bukan lagi menjadi miliknya hancur.

Karena hal tersulit dari meninggalkan dunia adalah melihat orang-orang yang kau tinggal harus melanjutkan hidup.

[#inoari dan #yabunoo, ditulis dari sudut pandang pertama daichan, bahasa indonesia. berdasarkan seri netflix, you.]

Kau punya sesuatu yang aku cari.

Kau punya sesuatu yang lain, tersembunyi dalam senyumanmu, dalam caramu memandang keluar jendela, dalam langkahmu yang tak pasti. Kau menyia-nyiakannya pada orang yang bahkan tidak lagi memandangmu sama seperti yang kau kira beberapa tahun lalu.

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.

Kita hanya butuh waktu.

Kau belum mengenalku. Pernah satu-dua kali pandanganmu jatuh padaku, tapi secepat mungkin kau beralih. Karena aku bukan sosok yang kau cari dalam kerumunan tempat ini. Bukan juga sepasang mata lainnya yang ada di sini sebab dia tidak pernah lagi datang untuk melihatmu.

Aku suka caramu memainkan piano. Mungkin tidak sebagus pemain-pemain klasik atau mereka yang memenangkan hadiah perlombaan dunia, tapi kau punya suara yang berbeda dalam memainkan nada. Kau akan terlihat lebih tenang dari biasanya, fokusmu hanya pada balok-balok di hadapanmu, membiarkan mereka mengisi ruangan dengan alunan yang kau hapal malam sebelumnya.

Sesekali, kau akan meringis pelan ketika tidak sengaja menyentuh nada yang salah. Tidak ada yang menyadarinya, tentu, karena orang lain sibuk berbicara satu sama lain atau atensi terfokus pada gawai mereka.

Tenang saja. Aku menyadarinya, walau tidak akan memberikan reaksi apa-apa agar kau tidak merasa buruk. Aku menyadarinya, tapi kau tidak perlu tahu.

Pada malam-malam tertentu, dia akan menjemputmu setelah membuatmu duduk berjam-jam di pojok ruangan. Setelah bermain piano untuk pukul delapan, kau akan duduk di sana, berkutat dengan ponselmu. Pemilik kafe akan mengantarkanmu kue dan teh sebagai temanmu menunggu.

Aku selalu berpikir itulah kesempatanku. Untuk tidak sengaja menghampirimu, pura-pura tidak tahu kebiasaanmu menunggu dia, mengajakmu berbincang sebentar untuk menghilangkan kerut wajahmu.

Karena kau seharusnya tidak perlu menunggu sendirian. Kau bisa saja pulang tanpa dia. Apartemen kalian tidak jauh dari sini.

Tapi tanpa alasan untuk menjemputmu, dia tidak akan melihatmu sama sekali, kan?

Kau dan aku sama-sama tahu. Dia bukan lagi lelaki yang sama pada saat kau jatuh cinta padanya. Kau dan aku sama-sama tahu. Dia hanya ada karena kau mati-matian mengikatnya.

Tapi kau tidak perlu khawatir akan hal itu denganku. Kau tidak perlu membuat alasan kosong hanya untuk membuatku tetap bersamamu. Aku akan ada untukmu, selalu.

Sayangnya, bukan sekarang. Bukan pada malam ini. Bukan juga pada esok ketika langkahmu masih tertuju pada apartemenmu dan dia.

Tidak apa-apa.

Kita hanya butuh waktu.

[#yabunoo dengan #koheinoo (yang mana saya ngarang nama pairingnya), au-ish, angst, bahasa indonesia.]

Semakin lama, Inoo semakin lupa.

Awalnya, Yabu merasa semuanya baik-baik saja. Ingatan mereka bukan hal yang paling tajam di dunia. Selalu saja ada hal yang terlupa, walau Inoo selalu lebih mengingat banyak hal dibanding dia.

Inoo yang mengingatkannya akan kunci masih terpasang di pintu, atau dompet yang tertinggal di kamar mandi, serta letak Yabu menaruh ponselnya terakhir kali. Inoo yang ingat tanggal-tanggal perayaan tak penting walau lelaki itu selalu berkata dia tidak akan mengingat sesuatu terlalu sepele seperti tanggal. Inoo yang akan memarahinya jika telat datang pada janji kencan, selalu meminta Yabu membayar kesalahannya dengan cara lain.

Yabu selalu pikir jika nantinya Inoo tidak akan ingat lagi, tidak apa-apa juga. Mereka akan lupa sama-sama. Melewatkan tanggal dan janji kencan bersama. Lagipula, Yabu juga tidak punya tempat lain selain berada di samping Inoo. Dia tidak perlu kewalahan memikirkan cara untuk menebus keterlambatannya ketika akan kencan.

Sayangnya, ingatan Inoo semakin lama semakin jauh lebih parah darinya.

Terkadang, lelaki itu lupa tempatnya berada. Lupa letak toko swalayan yang menjual teh kesukaannya. Lupa kalau natal sudah berlalu empat bulan lalu. Lupa kata-kata yang baru saja diucapkannya.

Lupa kalau Yabu ada di sana bersamanya.

Pagi menjadi teror sendiri untuk Yabu. Dia tidak tahu Inoo akan sadar dengan memori utuh atau tidak. Dia tidak yakin Inoo akan mengenalinya ketika mata mereka bertemu. Dia tidak yakin Inoo akan mengenali rumah yang mereka tempati selama belasan tahun. Dia tidak yakin Inoo akan bangun sebagai orang yang sama.

Yang lain suka menanyakan kabarnya. Mereka akan datang jika Inoo sedang dalam hari baik, mengenali mereka, lalu berbicara dengan mereka seperti biasanya. Lain kali ketika Inoo sedang dalam hari buruk, mereka tidak akan dekat-dekat sebab Inoo tidak akan mengenali mereka sama sekali.

“Kota,” Inoo memanggilnya suatu sore, membuat hati Yabu sedikit melompat karena mendengar namanya disebut, “aku sakit, ya?”

Pagi sebelumnya, Daiki datang, memberikan oleh-oleh dari luar kota. Karena Inoo belum bangun, Yabu pikir tidak ada salahnya untuk mengobrol sebentar dengannya.

Sayangnya, tak lama Inoo keluar dari kamar, berjalan pelan menuju ruang mereka berada, teror jelas terlihat di matanya melihat seseorang yang tidak dia kenali duduk di rumahnya. Tidak Daiki, tidak Yabu—Inoo tidak mengenali mereka berdua.

Mereka tidak pernah menyangka Inoo akan histeris. Biasanya, tenaga Inoo tidak menyampai seperempat tenaga Yabu. Pagi itu, benda-benda yang dilempar Inoo seakan membuktikan mereka dibohongi selama ini.

Daiki dan Yabu selamat, pada akhirnya, setelah Daiki lari keluar dan Yabu harus mengingatkan Inoo berkali-kali mengenai dirinya. Butuh waktu lama sampai lelaki itu diam, berhenti memberontak, dan Yabu dapat membawanya untuk duduk sementara dia membersihkan kekacauan.

Sore itu, tampaknya, Inoo kembali semula.

“Kei, kamu—”

“Ya, kan?” Inoo menatapnya dengan jelas, jauh berbeda dengan tatapan asingnya pagi itu.

Yabu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Inoo, jemarinya mengisi celah di antara jemari Inoo.

“Ya.”

Yabu tidak merasa keberatan untuk mengingatkan Inoo berkali-kali. Atau mengulang perkenalan mereka karena ingatan Inoo kembali pada masa kanak-kanak. Atau mengacaknya kencan kembali ketika Inoo pikir mereka masih remaja yang baru jatuh cinta.

Hanya saja, Inoo suka mengingat hal yang ingin Yabu lupakan.

“Ko—” Inoo memandangnya, bertanya-tanya, “Kohei?”

Yabu terdiam, berdiri di depan pintu kamar mereka. Bukan kali pertama ini terjadi. Rasanya, justru selalu sering Inoo kembali mengingat lelaki itu yang sekarang tidak pernah Yabu dengar lagi keberadaannya.

“Kamu ke mana saja?” Inoo kembali bertanya, yakin yang berdiri di hadapannya ini adalah Kohei, bukan Yabu.

Yabu biasanya tidak ingin menanggapi. Pada akhirnya, Inoo sendiri yang akan berbicara untuk mereka berdua, mengisi keheningan dengan celotehannya. Dengan rindunya yang selama ini terpendam. Dengan mimpi-mimpi yang dia selama ini tanam.

Pada akhirnya, Inoo akan lelah sendiri. Mungkin kembali tidur dan terbangun melupakan semua percakapan sebelumnya. Menyisakan Yabu seorang untuk mengingatnya.

Pada hari ini, Yabu memilih untuk menanggapi saja. Akhir-akhir ini, Inoo tidak lagi mengingatnya. Hanya menganggapnya sebagai orang yang sering datang berkunjung. Atau sebagai tetangga yang baik hati. Apapun itu, Inoo tidak pernah mengingatnya lagi sebagai orang yang dia janjikan hidup dan matinya bersama.

Jadi, dia akan mengambil apapun yang bisa dia dapatkan.

Jika dia mendapat Inoo yang mencintainya sebagai orang lain, dia akan menerima itu.

Jika dia harus menjadi Matsumoto Kohei untuk sementara, dia akan memasang senyum dan menanggapi segala ucapannya.

[#yabunoo, highschool au, dan angst. bahasa indonesia. sebenernya ini cuma mau ngelampiasin angst aja si.]

“Kau akan pergi?”

Yabu menoleh, tanpa ekspresi, berbanding terbalik dengan Inoo yang matanya jelas-jelas mengumpul sedih.

“Ya.” Singkat, tanpa nada yang dapat Inoo artikan, dengan cepat pandangannya teralihkan darinya.

Mereka bersama sejak mereka baru mengenal taman bermain. Tidak bisa dikatakan kalau mereka akur, tapi juga bukannya mereka bertengkar. Yabu bukan tempat Inoo untuk menghabiskan waktu berjam-jam mencurahkan harinya. Inoo bukan tempat Yabu untuk tertawa dan canda.

Mereka tidak lebih dari itu. Mungkin juga tidak kurang.

Inoo tidak pernah dapat mendefinisikan mereka secara tepat. Bukan dia yang pandai dengan diksi. Bukan juga Yabu walau lelaki itu sudah menulis puluhan lagu tangis selama mereka mengenal.

Mungkin karena tidak ada yang dapat didefinisikan. Atau mungkin terlalu banyak.

Yabu tidak pernah yakin ketika dihadapi dengan Inoo. Padahal dia selalu menjadi penasihat untuk teman-temannya, dianggap paling tahu jawaban yang benar.

Mungkin karena semua terasa salah. Atau mungkin terasa terlalu benar bersamanya.

“Mau ke mana?”

Hari kelulusan baru saja mereka lewati. Inoo sudah punya tempat di suatu universitas. Yabu merasa di ambang batas. Bersamanya, terlalu sesak untuk bernapas.

Bukan berarti dia sudah punya tujuan. Selama ini, rasanya dia hanya ada di mana Inoo berada. Atau mungkin sebaliknya. Dia juga tidak yakin siapa yang mengikuti siapa.

Yang jelas, Yabu tidak bisa terus di sini. Mungkin. Atau harusnya dia berada di sini. Tidak tahu.

“Ke mana saja.”

Mungkin harusnya Inoo mendesaknya. Atau menahannya untuk tidak pergi. Karena dia tidak siap untuk kehilangan. Dia tidak mau kalau tidak bisa bertemunya lagi.

Mungkin harusnya Yabu mendesaknya. Atau menanyakan keinginan Inoo agar dia punya alasan untuk tinggal. Karena dia tidak siap untuk pergi. Dia tidak mau kalau harus membayangkannya hanya melalui memori.

Jemari Inoo hanya sejarak satu kelilingking dari jemari Yabu.

Tapi tak ada yang meraih.

Jarak mereka tidak pernah sedekat itu lagi sekarang.

[#yabunoo, au, plotnya rada menye-menye sebenernya malu sendiri nulisnya tapi yasudahlah yang penting produktif :)]

Yabu berdiri di antara kerumunan, mencoba membuat dirinya terlihat menyatu dengan para figuran penunggu lampu merah. Kedua matanya tertuju pada satu sosok yang tidak monoton di seberang jalan.

Sungguhan tidak monoton. Hanya dia yang punya warna di dunia ini. Karena ini adalah dunianya, dunia Inoo Kei.

Dia sendiri tidak mengerti bagaimana dia bisa masuk ke alam bawah sadarnya. Yang dia tahu hanyalah Inoo terbaring koma berbulan-bulan lamanya, padahal seharusnya lelaki itu bisa bangun kapan saja. Bisa. Hanya tidak mau.

Mungkin salahnya. Mungkin juga bukan. Percakapannya dengan Inoo bukan sesuatu yang signifikan sehingga dapat Yabu ingat. Terakhir mereka bertemu hanya ketika Yabu ingin pergi, memakai sepatunya, lalu menoleh dan mendapati Inoo terbangun. Terakhir Yabu berbicara dengannya hanya mengucap selamat pagi, mengejek rambut tidurnya yang berantakan, lalu pamit berangkat.

Mungkin dia harus melihat lebih jauh lagi. Hari-hari sebelumnya? Kapan? Yabu tidak terlalu ingat ada hal yang membuat Inoo terlalu terpukul sampai tak mau sadar. Inoo sendiri mungkin tahu bahwa Yabu bukan tipe yang ingat segalanya.

Namun semua orang menyerah. Semua yang sering datang dan mengajak Inoo berbicara dalam komanya tak lagi kembali. Semuanya menyerahkan masalah ini kepada Yabu, yang memang dari awal merasa bersalah sendiri atas semuanya.

Bukan hal mudah untuk bisa masuk ke alam bawah sadar orang lain. Lebih-lebih dunia yang dibuat orang itu sendirian untuk mengisolasi diri dari segalanya.

Yabu juga tidak tahu jika kehadirannya tidak dapat Inoo sadari. Harusnya lelaki itu tahu. Ini, kan, dunianya. Dunia dengan rancangan yang terlalu detail untuk bangunan-bangunan tertentu (tentu Yabu seharusnya tidak terkejut mengingat dalamnya cinta Inoo terhadap dunia ruang bangun). Namun sejauh ini, selama seminggu dia sudah berada di dunia ini dan berjalan ke sana dan sini, dia belum mendapat skenario buruk atau ditendang dari dunia ini. Jadi, mungkin, ini pertanda baik.

Yang tidak baik adalah Yabu tidak tahu bagaimana caranya membawa Inoo kembali ke alam sadar.

Itu urusan nanti. Urusan esok-esok ketika dia kembali sadar dan dihadapi orang banyak yang bertanya mengenai kemajuan upayanya. Kini, dia tidak bisa juga tidak menikmati melihat Inoo bahagia dalam dunianya, melihat dunia yang isinya Inoo, melihat hal-hal yang mungkin tidak akan pernah Inoo tunjukkan padanya jika lelaki itu sadar.


Inoo menghela napas. Pandangannya dari buku yang dia pura-pura baca dialihkan pada lelaki di luar sana yang bergerak tanpa kendalinya. Memperhatikan gerak-gerik lelaki itu yang sibuk memandangi sekelilingnya.

Inoo tentu tahu keberadaannya sejak pertama kali Yabu menginjakkan kaki di sini. Semua yang terjadi di dunianya dapat terlaksana dalam kendalinya. Anomali seperti Yabu bukan sesuatu yang dapat dia abaikan.

Namun dia tidak punya keinginan juga untuk mendepaknya dari sini. Selalu urung untuk membuatnya pergi atau sekadar memberinya konfrontasi untuk kembali ke dunia nyata dan mengurus masalahnya sendiri.

Itu masalah esok. Saat ini dia hanya akan berpura-pura Yabu tidak membaca semua pikirannya di dalam dunianya ini.

[#yabunoo, au, sedikit-banyak dilatarbelakangi lagu taylor swift yang “wildest dream”, implisit, cheating theme, ditulis dari pov kedua inoo] [note: ini berasa cerita-cerita wattpad karena unsur ceo dan segalanya WKWK jadi ya klise sih tapi saya pengen nulis karena saya butuh asupan /gmn] [untuk #Inoo31stbirthday]

Kau tahu ini salah.

Pertama kali bertemu dengannya, kau berada di sebuah bar, hati setengah kesal karena Daiki dan Takaki menggeretmu ke sana. Padahal kau sudah berencana tidur saja semalaman, lalu membiarkan dua temanmu sakit kepala sendiri akibat terlalu banyak minum keesokan harinya. Itu kesalahan pertamamu, seharusnya kau pura-pura tidur saja ketika mereka mengetuk kamarmu.

Kau duduk tepat di sebelahnya, hanya karena itu tempat yang kosong, menolak untuk berkeliling dengan dua temanmu. Itu kesalahan keduamu, seharusnya kau ikut saja dengan mereka walau tidak akan melakukan apa-apa.

Dia yang menyapamu terlebih dahulu, mengerti bahwa kau sebenarnya tak mau berada di sana, lalu membelikanmu satu gelas minuman. Kau menerimanya, juga membalas rayuannya karena kau terpikat lebih dulu dengan caranya menatapmu. Dalam, tajam, seakan dia menemukan sesuatu yang dia cari dalam matamu yang kelam.

Dia yang mengulurkan tangan terlebih dahulu, mengajakmu untuk pergi ke tempat yang akan kau nikmati dibanding mati bosan menunggu dua temanmu yang mungkin akan pulang bersama gandengan masing-masing. Ini kesalahan ketigamu, karena kau tidak dapat menahan diri untuk menerima tangannya yang terasa sedikit kasar, namun hangat untukmu yang dingin malam itu.

Kau ingat semuanya yang terjadi malam itu. Ingat bagaimana suaranya menyebut namamu, jemarinya menyusuri fiturmu, serta kontaknya yang kini tersimpan dalam ponselmu. Kau ingat namanya, menyebutnya berkali-kali baik dari mulutmu atau dalam hatimu, bahkan hingga kini.

Daiki dan Takaki menodongmu banyak pertanyaan dua hari setelahnya sebab mereka butuh satu hari untuk kembali pulih dan mempertanyakan kewarasanmu.

“Yabu Kota?!” Kau harusnya sudah terbiasa dengan volume suaranya yang setengah berteriak. “Kau tidak salah?”

Kau menggelengkan kepalamu. Jemarimu mengusap layar ponselmu yang menunjukkan pesan-pesan antara kalian beberapa jam lalu.

“Tapi ini hanya satu kali saja, kan?” Kini Takaki yang bertanya, suaranya lebih tenang walau ekspresinya menunjukkan dia khawatir. “Kau tidak akan menemuinya lagi, kan?”

Kau tidak bisa menjawabnya. Yabu sudah bilang padamu bahwa ini bukan sesuatu yang eksklusif. Kau juga tidak mengharapkan sesuatu yang lebih ketika melihatnya, paham bahwa dia bukan orang yang akan bertahan lama dengan orang sepertimu. Namun lucunya kau tidak keberatan jika ini semua hanya jadi permainan. Padahal sebelumnya, kau tidak suka dengan hal seperti ini.

Ya kan?” Daiki menekankan karena kau tidak menjawab, tidak juga menatap ke arah mereka. “Kau tahu nantinya kau yang akan sakit sendiri.”

“Aku ... tahu.” Kau sudah punya sehari penuh kemarin untuk memikirkan apa yang akan menjadi akibat dari kesalahanmu. Kau tahu persis akhirnya akan seperti apa. Dan kau tidak keberatan.

“Kau tahu dia akan segera menikah dengan tunangannya?”

Tentu kau tahu. Kau segera mencari segala tentangnya setelah kau kembali pulang, lebih banyak tahu lagi karena Yabu menjelaskannya sendiri dalam pesan-pesannya. Yabu tidak mengharapkan kau mengerti, tidak meminta kau untuk tetap menanggapinya, namun kau tidak dapat mendorong diri untuk memblokir kontak dan melupakannya.

Bodoh, kau tahu. Salah, kau mengerti. Tapi selama semua itu belum terjadi, sebelum dia terikat pernikahan, dan selama dia masih ingin bertemu denganmu kau menghapus segala pikiran terkait itu kini.

Kau tidak tahu sihir apa yang dia gunakan. Mungkin kaunya juga yang terlalu mabuk dengan pandangannya. Atau mungkin karena akhirnya kau menemukan apa yang kau cari juga dalam dirinya.

Anggukan darimu membuat kedua temanmu terdiam. Kau juga tidak tahu mau mengharapkan apa, sejenak tidak ingin berpikir mengenai apa-apa.

[#inoo & #yamada, the girl on the train-based au, #yabunoo + #yutoyama + #yamachine sebagai pairing] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka memandang keduanya di pagi hari, setiap dia melewati kawasan itu dengan kereta.

Dia tidak mengenal mereka sungguhan, nama saja tidak tahu, hanya selalu melihatnya ketika kereta yang dia naiki melewati rumah mereka. Pada pagi-pagi saat dia berangkat terlalu siang, dia hanya akan melihat lelaki itu, sendiri, tetap berada di beranda lantai dua rumahnya, menatap pemandangan sekitarnya dengan senyum kecil.

Menurut Inoo, lelaki itu punya segalanya yang dia pernah miliki.

Dia juga pernah berada dalam posisi yang sama; rumah hangat yang selalu menjadi tempatnya berpulang, ketenangan dalam diri yang terpancar dari wajahnya, serta kekasih yang mencinta dan dicintanya.

Yabu, kekasihnya dulu, hampir sama tinggi dengan kekasih lelaki itu, rambut mereka sama-sama hitam dengan poni yang jatuh tepat sebelum alis mereka, senyum sama-sama lebar dan menenangkan. Mereka sama-sama akan memberi pelukan pagi, menaruh dagu mereka di atas kepala, kedua tangan tak akan dilepas sampai jarum jam menunjukkan mereka akan terlambat kerja.

Perbedaannya hanyalah Inoo pernah memiliki semuanya. Lelaki itu masih mempunyai apa yang tadinya dia punya. Inoo paham bagaimana perasaan lelaki itu, merasa segalanya akan baik-baik saja selama mereka memiliki satu sama lain, hatinya tidak lagi dipenuhi rasa gundah karena sudah mendapat apa yang dia cari.

Karena hal itulah Inoo suka memandangnya, suka melihat lelaki itu karena dia akan teringat kembali pada masa-masa ketika dia masih baik-baik saja. Lelaki itu bagai dongeng untuknya, tercipta sebagai wujud dari harapannya yang berhenti menjadi kenyataan.

Karena hal itulah, Inoo tidak mengerti ketika melihat lelaki itu berdiri di tempat yang sama bersama lelaki lain.

Lelaki lain itu tidak pernah dia lihat sebelumnya. Mereka berdua tersenyum, membicarakan sesuatu dengan jarak terlampau dekat, terlalu dekat bahkan ketika lelaki itu mendekap si lelaki lain dari belakang. Persis seperti cara kekasih lelaki itu mendekapnya.

Siapa dia? Mengapa lelaki itu justru bersama lelaki lain sekarang?

Padahal, pagi kemarin Inoo masih melihat mereka bersama, senyum masih ada di wajah masing-masing. Padahal selama ini, selama dua tahun Inoo memperhatikan mereka melalui kereta ini, tidak ada yang salah di antara mereka. Mungkin sesekali ada pertengkaran, sebab dia ingat pernah melihat lelaki itu tidak mau membalas sapaan kekasihnya, namun tak lama kemudian mereka pasti akan akur kembali.

Namun, jika sudah seperti ini, apakah mereka akan kembali baik-baik saja?

Inoo kehilangan Yabu dalam sekejap. Bukan karena mereka lelah, bukan karena mereka memutuskan untuk tidak bersama lagi suatu pagi, namun karena takdir senang mempermainkan mereka. Kecelakaan itu terjadi begitu cepat; satu kedipan dan detik selanjutnya dia berada dalam mimpi terburuknya. Dia berada di lokasi kejadian, bersama Yabu, namun hanya dia yang masih bernapas hingga kini.

Dia sudah kehilangan dongeng yang dia hidupi. Dia tidak mau harus kehilangan dongeng lainnya yang dapat dia saksikan setiap pagi. Dongeng lain yang membuatnya tetap waras menjalani hari karena percaya masih ada harapan bahagia selamanya di luar sana.

Hari itu, dia turun di stasiun tempat dia melihat lelaki itu tinggal. Dia mengeluarkan ponsel sembari setengah berlari, mengetikkan pesan singkat dengan ketikan acak pada Hikaru, meminta sahabatnya itu memundurkan pertemuan mereka sampai sore nanti.

Rumah lelaki itu terletak tak jauh dari stasiun, walau sempat membuat Inoo tersesat sedikit karena banyaknya gang kecil yang membuatnya terkecoh. Tampak depan rumah itu tak jauh dari yang dia bayangkan; garasi yang kini kosong, pagar yang tak menyampai pinggangnya, serta beberapa tanaman yang tertata rapi di halaman. Melirik pada kotak surat yang tersedia tak jauh dari pagar, Inoo mengingat nama mereka; Nakajima-Yamada.

Jari panjangnya menekan bel, tak lama terdengar sahutan dari dalam menyuruhnya untuk menunggu. Suaranya sedikit berbeda dari yang Inoo bayangkan, namun dia tidak terlalu keberatan.

“Ada yang bisa kubantu?” tanya lelaki itu, ternyata lebih pendek darinya, menatapnya dengan curiga.

“Siapa lelaki lain itu?” Kedua mata Inoo beralih ke dalam rumahnya. “Apa dia masih ada di sini?”

“Apa maksudmu?” Lelaki itu semakin curiga, menatapnya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Aku selalu melihatmu setiap pagi melalui jendela kereta.” Inoo memutuskan untuk memberinya sedikit penjelasan. “Aku selalu tahu kau tinggal bersama kekasihmu yang jangkung. Pagi ini kau bersama lelaki lain. Siapa dia?”

Lelaki itu tampak terkejut dengan penjelasannya, mengambil langkah mundur bersamaan dengan pintu yang hampir ditutup. “Kau penguntit? Berhenti memperhatikanku atau rumahku ... atau apapun yang ada di sini. Silakan pergi dan jangan kembali.”

“Kau tidak mengerti,” Inoo mendesak, mencoba menahan pintu itu agar tidak tertutup sepenuhnya, “jangan buang apa yang kau punya. Apa yang kurang dari kekasihmu? Aku yakin kalian bisa memperbaikinya.”

“Kau orang asing, kau tidak tahu apa-apa!” Nadanya meninggi, mendorong pintu dengan sekuat tenaga. “Ini bukan urusanmu. Pergi atau aku panggil polisi.”

Tidak punya banyak kekuatan untuk menahan, lelaki itu berhasil menutup pintu dan menguncinya kembali, meninggalkan Inoo di depan rumahnya. Tidak baik juga kalau lelaki itu betulan menelpon polisi dan melaporkannya. Inoo pun menghela napas dan melangkahkan diri keluar, menjauh dari rumah itu.

Bukan berarti dia akan menyerah. Dia akan mencari tahu siapa lelaki lain yang dia lihat dan mencari tahu alasan mengapa dia ada di sini bersama lelaki itu. Dia akan memperbaiki cerita ini.

[#yabunoo, berdasarkan lagunya One Direction, “Tell Me A Lie”] [untuk #Inoo31stbirthday]

Inoo suka berpikir bahwa tidak ada yang berubah di antara mereka.

Yabu juga begitu, dulu, selalu menceritakan ke siapa saja bahwa mereka tidak berubah. Dari segala hal yang mereka alami, mereka punya satu sama lain yang tetap sama. Konstan. Dan untuk Inoo yang tidak terlalu suka perubahan, dia merasa nyaman dengan apa yang mereka punya.

Yabu juga begitu, dulu, selalu berkata dia menganggap mereka adalah tempatnya kembali. Tempatnya merasa baik-baik saja. Tempatnya merasa tidak asing dengan dunia yang selalu berputar dan berubah tiap detiknya.

Mungkin, semua salahnya karena terlalu percaya akan semua itu. Salahnya karena terlalu yakin mereka berbeda dari yang lain.

Karena pada akhirnya Yabu berubah. Tidak pada semua orang, namun hanya pada dirinya.

Senyuman serta tatapannya yang memikat merupakan hal yang selalu membuat hati Inoo jatuh berkali-kali. Dia tidak terlalu dapat merangkainya dengan kata-kata, hanya saja ada sesuatu yang membuat Yabu tampak bersinar lebih dari yang lainnya. Ada yang terlihat berbeda ketika Yabu menatapnya dibanding ketika lelaki itu menatap orang lain.

Takaki selalu mendengus sebal setiap melihat Yabu yang sudah menatap Inoo seperti itu, mengatakan bahwa mereka tidak perlu mengumbar cinta yang sudah terlihat jelas di depan wajahnya. Yabu dan Inoo hanya akan memutar bola mata mereka, tersenyum kecil karena tahu temannya hanya mengejek cemburu.

Sayangnya, akhir-akhir ini, semua yang terasa magis dalam tatapannya hilang. Begitu juga dengan senyumannya yang hanya dapat Inoo lihat ketika Yabu berbicara dengan yang lain.

Inoo tidak ingat kapan tepatnya semua tidak lagi sama. Mungkin ketika mereka terlalu lelah karena pekerjaan? Atau ketika jadwal mereka tidak memungkinkan mereka untuk bertemu? Atau kapan?

Keheningan di ruangan yang mereka tempati bersama seakan menjadi kebiasaan baru. Tidak banyak juga yang mereka lakukan selain tidur di malam hari. Ketika pagi tiba, salah satu dari mereka pasti sudah pergi, menyisakan ruang kosong yang tak memberi perbedaan berarti dibanding ketika bersama.

Saat mereka bertemu di lokasi pekerjaan pun tidak ada interaksi apa-apa. Yabu yang pertama meminta agar mereka tidak terlalu dekat ketika di luar rumah, menjaga jarak karena dia tidak bisa menahan diri kalau terlalu dekat, lebih baik mereka bersikap biasa saja. Namun, lama-kelamaan, Inoo juga jadi bertanya-tanya, apa yang dapat termasuk dalam kategori biasa saja?

Inoo memang bukan tipe yang perlu diberi afeksi setiap saat. Bukan juga tipe yang mau memperdebatkan hal kecil seperti tidak bertemu di pagi hari atau tidak ada canda-tawa yang mengisi hari mereka lagi.

Hanya saja, jika tidak ada hal-hal seperti itu dalam hubungan mereka, lalu untuk apa?

Inoo mungkin lupa akan banyak hal, sama seperti Yabu yang juga tidak pandai dalam mengingat, tapi dia yakin dirinyalah yang paling mahir dalam mengobservasi. Dia tentu menyadari alasan di balik perilaku Yabu yang tidak lagi sama. Dia hanya berharap, untuk kali ini saja, perkiraannya salah.

“Yabu,” lidahnya terasa asing menyebut namanya, “kau tidak lelah?”

Pertanyaannya dapat ditujukan untuk segalanya, baik untuk hari ini, untuk kemarin, atau untuk segala waktu yang mereka habiskan bersama dalam keheningan.

Lelaki yang dipanggil menghentikan langkahnya, urung membuka pintu yang hampir dia buka diam-diam. Pakaiannya rapi, memakai sepatu kesukaannya—Inoo tentu hapal akan hal seperti itu.

Mendekat pada Yabu, Inoo mengulurkan tangannya pada bahu lelaki itu, memutar badannya agar mereka berhadapan. Bahkan Yabu tidak mau menatapnya, merasa lantai ruangan lebih menarik.

Kenapa?”

Inoo sedikit terkejut sendiri suaranya tidak bergetar. Berbeda dari hatinya yang kacau, suaranya terdengar tenang seakan dia membicarakan hal yang biasa.

“Kau mau aku menjawab apa?”

Entah, tidak ada ekspektasi apa-apa yang Inoo pendam. Tidak ada jalan keluar yang dia bayangkan. Tidak tahu juga apa yang dapat membuat semua kembali semula.

“Aku juga tahu kamu lebih dari siapapun,” Yabu kembali membuka mulut, “aku yakin kau juga sudah tahu ke mana aku akan pergi.”

Kini, Yabu mengalihkan pandangannya pada Inoo, tatapannya jauh dari yang selama ini Inoo kenal. Tidak ada sosok Yabu yang dulu, yang membuat hatinya tercuri dalam sekejap.

“Kalau kau pergi,” Inoo mengeratkan genggamannya pada bahu Yabu, “tidak ada yang tersisa di antara kita.”

Tidak ada apa-apa lagi. Kebersamaan mereka bukan lagi dilandasi kemauan, hanya keharusan. Hanya karena ini adalah hal yang selalu mereka lakukan sejak lama, karena keluar dari rutinitas berarti mengakui perubahan yang ada di antara mereka.

“Bukankah memang sudah tidak ada yang tersisa?”

Tanpa menunggu, Yabu melepaskan diri dari genggaman Inoo, membuka pintu dan keluar dari sana, meninggalkan semua yang mereka bangun selama ini dalam ruangan dengan Inoo di dalamnya.