hirunkith

Gita menatap frustasi lelaki di hadapannya yang sibuk cekikikan sambil menatap layar ponselnya sendiri.

“Bas lo ngapain sih Bas ngeladenin si Metta? Ntar pasti dia makin menjadi jadi deh” Gita mengacak rambutnya, pusing memikirkan perlakuan perlakuan menyebalkan yang mungkin akan Jane, Jasmine, dan Metta lakukan setelah ini

Baskara tertawa lagi, “ya abisan. Mereka ngeselin” ia mengendikan bahu

“Lagian, lo juga Git. Ngapain coba ngebiarin mereka ngejek ngejek lo. Malah makin jadi mereka kalau lo ga ngelawan” lelaki dengan tinggi 180 sentimeter itu menggeleng, lanjut membereskan gitar dan lembar kertas berisi lirik lagu

Gita mengangguk, bener juga, pikirnya

“lo masih ada waktu ga Bas?” Gita melirik jam dinding di atas sebelah kanan atas pintu

Baskara menautkan alis, berfikir, “masih kayaknya. Kenapa?”

Lekas. Gita meraih tote bag yang tergeletak di lantai disebelah sofa yang ia duduki barusan, “temenin gue yuk” ia segera menarik pergelangan tangan Baskara dan menyeretnya keluar studio

“Kemana Git?” tanya Baskara sambil membenarkan beanie di kepalanya

“Aruna. Kita ke cafè Aruna”

Gita menatap frustasi lelaki di hadapannya yang sibuk cekikikan sambil menatap layar ponselnya sendiri.

“Bas lo ngapain sih Bas ngeladenin si Metta? Ntar pasti dia makin menjadi jadi deh” Gita mengacak rambutnya, pusing memikirkan perlakuan perlakuan menyebalkan yang mungkin akan Jane, Jasmine, dan Metta lakukan setelah ini

Baskara tertawa lagi, “ya abisan. Mereka ngeselin” ia mengendikan bahu

“Lagian, lo juga Git. Ngapain coba ngebiarin mereka ngejek ngejek lo. Malah makin jadi mereka kalau lo ga ngelawan” lelaki dengan tinggi 180 sentimeter itu menggeleng, lanjut membereskan gitar dan lembar kertas berisi lirik lagu

Gita mengangguk, bener juga pikirnya

“lo masih ada waktu ga?” Gita melirik jam dinding di atas sebelah kanan atas pintu

Baskara menautkan alis, berfikir, “masih kayaknya. Kenapa?”

Lekas. Gita meraih tote bag yang tergeletak di lantai disebelah sofa yang ia duduki barusan, “temenin gue yuk” ia segera menarik pergelangan tangan Baskara dan menyeretnya keluar studio

“Kemana Git?” tanya Baskara sambil membenarkan beanie di kepalanya

“Aruna. Kita ke cafè Aruna”

Gita menatap frustasi lelaki di hadapannya yang sibuk cekikikan sambil menatap layar ponselnya sendiri.

“Bas lo ngapain sih Bas ngeladenin si Metta? Ntar pasti dia makin menjadi jadi deh” Gita mengacak rambutnya, pusing memikirkan perlakuan perlakuan menyebalkan yang mungkin akan Jane, Jasmine, dan Metta lakukan setelah ini

Baskara tertawa lagi, “ya abisan. Mereka ngeselin” ia mengendikan bahu

“Lagian, lo juga Git. Ngapain coba ngebiarin mereka ngejek ngejek lo. Malah makin jadi mereka kalau lo ga ngelawan” lelaki dengan tinggi 180 sentimeter itu menggeleng, lanjut membereskan gitar dan lembar kertas berisi lirik lagu

Gita mengangguk, bener juga pikirnya

“lo masih ada waktu ga?” Gita melirik jam dinding di atas sebelah kanan atas pintu

Baskara menautkan alis, berfikir, “masih kayaknya. Kenapa?”

Lekas. Gita meraih tote bag yang tergeletak di lantai disebelah sofa yang ia duduki barusan, “temenin gue yuk” ajaknya sambil menarik pergelangan tangan Baskara

“Kemana Git?” tanya Baskara sambil membenarkan beanie di kepalanya

“Aruna. Kita ke cafè Aruna”

Gita menatap frustasi lelaki di hadapannya yang sibuk cekikikan sambil menatap layar ponselnya sendiri.

“Bas lo ngapain sih Bas ngeladenin si Metta? Ntar pasti dia makin menjadi jadi deh” Gita mengacak rambutnya, pusing memikirkan perlakuan perlakuan menyebalkan yang mungkin akan Jane, Jasmine, dan Metta lakukan setelah ini

Baskara tertawa lagi, “ya abisan. Mereka ngeselin” ia mengendikan bahu

“Lagian, lo juga Git. Ngapain coba ngebiarin mereka ngejek ngejek lo. Malah makin jadi mereka kalau lo ga ngelawan” lelaki dengan tinggi 180 sentimeter itu menggeleng, lanjut membereskan gitar dan lembar kertas berisi lirik lagu

Gita mengangguk, bener juga pikirnya

“lo masih ada waktu ga?” Gita melirik jam tangan yang melingkar di tangannya

Baskara menautkan alis, berfikir, “masih kayaknya. Kenapa?”

Lekas. Gita meraih tote bag yang tergeletak di lantai disebelah sofa yang ia duduki barusan, “temenin gue yuk” ajaknya sambil menarik pergelangan tangan Baskara

“Kemana Git?” tanya Baskara sambil membenarkan beanie di kepalanya

“Aruna. Kita ke cafè Aruna”

Sesaat setelah panggilan telfon tersambung, Gita buru – buru menyerang Erwin diseberang sana dengan pertanyaan

“Halo Win? Lo masih mabok ga? Coba lo ambil lemon terus lo peres terus lo minum sekarang juga gece lo harus sober sekarang Win. Lo harus cerita sama gue”

Hening berselang, hanya terdengar suara angin diseberang sana, “halo Gita, malam”

Alis Gita menyatu, “Ini siapa? Baskara ya? Bas tolong sambungin ke Erwin dong”

“Erwinnya tumbang Git, kalau Baskara lagi ke indomaret bareng Bumi. El dikamar, nemenin Erwin” hembusan nafas terdengar “ini Nathan”

Suara Gita dan semua pertanyaannya tertahan di tenggorokan malam itu, “ohh, yaudah deh Nath. Gue nunggu besok aja, pas Erwin sober”

“Git” suara Nathan terdengar lagi dari seberang sana, “gue minta maaf ya”

Gita mendongak, berusaha menahan air mata yang hendak jatuh “Iya” katanya

“Gue ngerti kok. Gausah maksa move on kalau cuma demi gue” Gita menutup sambungan.

Malam itu, rasa penasaran Gita masih belum terjawab. Sebenarnya apa sih hubungan antara Nathan, Erwin, dan Tania sebelum ia menyelinap masuk kedalam kehidupan mereka?

BUGH

“Udah gila lo ya Nath” pukulan lainnya dilayangkan ke pelipis Nathan

“Mau sampe kapan sih? Jangan buta gitu deh lo Nath” anyir darah dapat indra pengecap Nathan rasakan. Tapi ia tetap diam

“Lo liat sendiri kan Tania ngapain lo, stop punya perasaan sama cewek itu Nath, dia pacar Dewa. Adek lo”

Cengkraman Erwin dihempaskan, “gue yang ketemu duluan sama Tania Win, gue yang harusnya sama dia”

BRAK

“SINTING LO YA” Erwin meraih kerah baju Nathan, “kalau emang lo masih sayang sama Tania, seenggaknya jangan bersikap ke Gita seolah – olah lo suka sama dia”

Pukulan terakhir di layangan Erwin ke rahang kiri Nathan. Bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan sahabatnya di teras rumahnya sendirian.

“Udah puas?” suara Laura menyapa pendengaran Erwin

Tubuh kecil Laura dibawa masuk ke dalam pelukan Erwin, yang lebih tinggi menyenderkan kepalanya di bahu yang satu lagi

“Nathan kurang bonyok gak sih Cin menurut lu?”

“Bangsat” Laura tertawa sambil membalas pelukan Erwin “Mending lo sekarang ceritain ke gue ada apa sama Nathan, Tania, dan lu”

Dalam rengkuhan Laura Erwin tersenyum, “Ntar ya Lau, gue gamau kelepasan mukul setir mobil sekarang. Kalau penyok servisnya mahal”

Gita sekarang sedang duduk canggung di sofa kosong yang berada di ruang tunggu.

Sudah 15 menit berlangsung dan ia masih duduk diam memperhatikan hiruk pikuk di sekitarnya

Disebelah dispenser ada Erwin dan Laura -yang biasanya dipanggil Acin oleh Erwin- yang sedang mengobrol serius. Entah topiknya apa, Gita tidak peduli

Di sudut lain ruangan ada Dewa -adiknya Nathan- dan Tania -pacarnya Dewa- yang memejamkan mata sembari mendengarkan musik di airpods yang tersambung ke ponsel mereka

Di meja dekat pintu ada Bumi -saxophonist- dan Mikhael -bassist- yang tengah bermain suit

Nathan disebelahnya sedang menyumpal telinganya dengan airpods sama seperti Dewa dan Tania

Tadinya Gita ingin ikut bermain dengan Bumi dan Mikhael, tapi niat itu ia urungkan karena ia terlalu malas beranjak dari sofa

Bosan tidak ngapa-ngapain. Gita memilih memejamkan matanya sebentar. Memikirkan topik apa yang akan ia bahas bila Nathan memanggil

“Git? Tidur?”

Gita menoleh ke kanan. Menatap sang sumber suara, Baskara.

“Enggak, bosen aja” Gita melirik Nathan “Gak latihan Bas?” ia bertanya

“Ngapain” Baskara menyenderkan tubuhnya ke sofa empuk, “Gue udah jago. Orang – orang kalau denger nafas gue juga udah teriak”

Gita memukul bahu Baskara sambil tertawa, “sombong” katanya

Pintu ruangan dibuka keras, menampilkan sosok perempuan dengan baju serba hitam yang sedang menenteng walkie talkie untuk berkomunikasi dengan temannya

“UNDER18 siap – siap naik panggung yuk. CLTR S udah mau selesai”

Sontak semua orang di ruangan berdiri mengikuti si Stage Manager sambil menenteng alat musik masing masing

“Git” Nathan berbalik “Ntar berdiri deket panggung ya, biar keliatan” katanya sambil tersenyum

Gita mengangguk, hendak melangkah lagi namun cekalan di tangan membuatnya berhenti “kenapa Nath?”

“Jangan deket – deket banget sama Baskara” Nathan berujar sambil mengalihkan pandangan dari Gita. Malu

Perempuan bersurai coklat itu menyiritkan alis bingung, “Kenapa?”

“Gue cemburu, hehe”

“Hai! Sagita bukan?”

Gita yang sedang jongkok sembari menghitung helai rambutnya langsung lompat berdiri.

Lelaki asing, yang mungkin bernama Abas, dengan rahang tegas dan hidung mancung berdiri dekat dengannya

“Ganteng banget.. Gue move on aja kali ya dari Nathan” gumamnya pelan

“Hah? Sorry ga terlalu kedengeran Git. Berisik banget” Abas mencondongkan tubuhnya ke depan. Berusaha mendengar perkataan Gita ditengah bisingnya rehearsal yang tengah didakan

“Engga, gapapa hehe” jawab Gita gusar, “ini Abas kan?”

Lelaki itu menoleh, “iya, ini Abas. Nama aslinya Baskara. Cuma kata Erwin Baskara kebagusan buat gue, jadinya dipanggil Abas” keduanya tertawa singkat

“Bangsat emang si Erwin” Gita menggeleng singkat

Baskara mengangguk. Menguyar rambutnya kebelakang dan merapihkan kaos putih yang membalut tubuh tingginya. Gita menelan ludah pelan. Sial, kalau begini caranya mah mending Gita ngegebet Baskara aja.

Si jangkung menoleh dan menyodorkan tangannya ke perempuan yang baru saja ia kenal tujuh menit lalu.

“Eh....” Gita mengusap leher belakangnya kikuk.

“Di dalem udah mulai rame Gita, ntar kalau kita ga pegangan tangan ntar lo malah ilang” tutur Baskara. Meraih tangan Gita dan segera membelah lautan manusia yang mulai padat.

Keduanya terlalu sibuk menyingkirkan satu persatu manusia yang menghalangi jalan mereka sambil berpegangan erat tanpa menyadari. Sosok lain memperhatikan mereka dari atas panggung dengan tatapan penuh tanya.

“Seinget gue Baskara gasuka sentuhan fisik, kok dia ngegandeng Gita ya...”

Baskara

“Hai! Sagita bukan?”

Gita yang sedang jongkok sembari menghitung helai rambutnya langsung lompat berdiri.

Lelaki asing, yang mungkin bernama Abas, dengan rahang tegas dan hidung mancung berdiri dekat dengannya

“Ganteng banget.. Gue move on aja kali ya dari Nathan” gumamnya pelan

“Hah? Sorry ga terlalu kedengeran Git. Berisik banget” Abas mencondongkan tubuhnya ke depan. Berusaha mendengar perkataan Gita ditengah bisingnya rehearsal yang tengah didakan

“Engga, gapapa hehe” jawab Gita gusar, “ini Abas kan?”

Lelaki itu menoleh, “iya, ini Abas. Nama aslinya Baskara. Cuma kata Erwin Baskara kebagusan buat gue, jadinya dipanggil Abas” keduanya tertawa singkat

“Bangsat emang si Erwin” Gita menggeleng singkat

Baskara mengangguk. Menguyar rambutnya kebelakang dan merapihkan kaos putih yang membalut tubuh tingginya. Gita menelan ludah pelan. Sial, kalau begini caranya mah mending Gita ngegebet Baskara aja.

Si jangkung menoleh dan menyodorkan tangannya ke perempuan yang baru saja ia kenal tujuh menit lalu.

“Eh....” Gita mengusap leher belakangnya kikuk.

“Di dalem udah mulai rame Gita, ntar kalau kita ga pegangan tangan ntar lo malah ilang” tutur Baskara. Meraih tangan Gita dan segera membelah lautan manusia yang mulai padat.

Keduanya terlalu sibuk menyingkirkan satu persatu manusia yang menghalangi jalan mereka sambil berpegangan erat tanpa menyadari. Sosok lain memperhatikan mereka dari atas panggung dengan tatapan penuh tanya.

“Seinget gue Baskara gasuka sentuhan fisik, kok dia ngegandeng Gita ya...”

“Hai! Sagita bukan?”

Gita yang sedang jongkok sembari menghitung helai rambutnya langsung lompat berdiri.

Lelaki asing, yang mungkin bernama Abas, dengan rahang tegas dan hidung mancung berdiri dekat dengannya

“Ganteng banget.. Gue move on aja kali ya dari Nathan” gumamnya pelan

“Hah? Sorry ga terlalu kedengeran Git. Berisik banget” Abas mencondongkan tubuhnya ke depan. Berusaha mendengar perkataan Gita ditengah bisingnya rehearsal yang tengah didakan

“Engga, gapapa hehe” jawab Gita gusar, “ini Abas kan?”

Lelaki itu menoleh, “iya, ini Abas. Nama aslinya Baskara. Cuma kata Erwin Baskara kebagusan buat gue, jadinya dipanggil Abas” keduanya tertawa singkat

“Bangsat emang si Erwin” Gita menggeleng singkat

Baskara mengangguk. Menguyar rambutnya kebelakang dan merapihkan kaos putih yang membalut tubuh tingginya. Gita menelan ludah pelan. Sial, kalau begini caranya mah mending Gita ngegebet Baskara aja.

Si jangkung menoleh dan menyodorkan tangannya ke perempuan yang baru saja ia kenal tujuh menit lalu.

“Eh....” Gita mengusap leher belakangnya kikuk.

“Di dalem udah mulai rame Gita, ntar kalau kita ga pegangan tangan ntar lo malah ilang” tutur Baskara. Meraih tangan Gita dan segera membelah lautan manusia yang mulai padat.

Keduanya terlalu sibuk menyingkirkan satu persatu manusia yang menghalangi jalan mereka sambil berpegangan erat tanpa menyadari. Sosok lain memperhatikan mereka dari atas panggung dengan tatapan penuh tanya.

“Seinget gue Baskara gasuka sentuhan fisik, kok dia ngegandeng Gita ya...”