hwoneboom


Semilir angin di taman; dengan pemandangan langsung ke pantai di sore hari harusnya bisa Sunoo nikmati. Tapi hari ini enggak karena fokusnya terbagi dua kepada wanita cantik paruh baya yang sekarang seluruh jemarinya sudah keriput.

Di sebelahnya ada Niki, cowok yang beberapa menit tadi ia temui. Sama repotnya dengan Sunoo.

“Kak aku ambil makanan dulu ya.”

Kak? Niki lebih muda dari dirinya apa?

Sunoo mengangguk sambil mengibaskan tangannya. Tapi sepersekon kemudian Niki di panggil lagi. Tunggu dulu cuy dia gak bisa bahasa Jepang.

“Nenek lo?”

Niki mengangguk mengerti. “Dia ngerti kok sedikit sedikit.”

Jadi selagi Niki pergi mengambil makanan, Sunoo sesekali ngajak ngobrol nenek Niki walaupun gak yakin juga neneknya paham.

“Sunoo dari Jakarta loh, Obaa-sama.”

Hening.

“By the way Obaa-sama udah berapa lama di Bali? Terus kok bisa pindah ke Bali?”

Hening lagi.

“Mau liat tiktoknya fadil jaidil gak?”

Udah pasrahhh. Au ah makin gak ngerti yang ada nenek ini sama apa yang Sunoo omongin, jadinya Sunoo diem aja sambil ngeliatin para lansia lain yang berlalu lalang juga di temani suster masing-masing.

“Niki.” ujar wanita itu lebih terdengar seperti gumaman.

“Huh?” tanya Sunoo.

“Jaga Niki-kun.”

Sunoo mengernyit, tak mengerti apa maksud wanita ini.

“Saya tahu kamu orang baik, kalau nanti Obaa-san tidak ada. Tolong jaga Niki-kun.”

“Tapi, Sunoo baru ketemu Niki hari ini, Obaa-sama.”

Wanita itu mengangguk, ia mengenggam tangan Sunoo. Hangat.

“Saya tahu. Tapi tolong ada di sampingnya, ketika saya tidak ada. Saya tidak meminta Sunoo-kun, saya hanya ingin tahu bahwa ada orang disisinya nanti.”

Sunoo tidak menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan kalau setelah libur semester nanti ia akan balik ke Jakarta karena kuliahnya disana, pun tidak bisa memberikan janji janji palsu yang tak akan pernah di tepati.

“Sunoo juga tahu Niki anak yang baik, pasti bakal banyak yang sayang sama dia.”

ya, setidaknya hanya ini yang bisa Sunoo katakan. Daripada ia harus berbohong.

Wanita itu mengangguk, sembari tersenyum kecil. Senyumannya manis. Persis seperti senyum mamahnya ketika membacakan Sunoo dongeng dulu.

“Matahari selalu menunggu bulan guna berganti peran dengan malam, begitupun sebaliknya. Setiap tetesan hujan akan menumbuhkan tumbuhan, lalu tumbuhan disana akan menguap sampai ke atmosfer dan menciptakan hujan yang baru.”

“Semua hal di dunia memang tercipta untuk dua hal saja. Bergiliran saling menunggu sampai waktu yang tepat.—”

”—Tapi mereka tahu bahwa tak akan pernah ada waktu untuk berjumpa. Sampai saat dimana cinta di hancurkan.” lanjut wanita itu.

Sunoo mengangguk, walaupun ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya. Namun kata-kata yang di gunakan wanita itu terdengar dalam, ya walaupun aksennya agak berantakan sih.

“Gak ada hal di dunia ini yang akan selalu bersama, Obaa-sama. Bahkan pasangan sejati sekalipun akan di pisahkan oleh waktu.” ujar Sunoo.

“Dan tak pernah ada kata waktu yang tepat, karena tak ada yang tahu bagaimana cara kerja waktu memainkan perannya. Jika saat ini kamu bahagia, bisa saja besok akan jadi hari tersialmu. Ini kenapa kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.” katanya lagi.

Wanita itu tersenyum.

Dan tak lama Niki datang sembari membawa semangkuk bubur juga air di genggamannya.


Sunoo berjalan di lorong dengan langkah lunglai. Sedikit menggurutu kenapa ia tidak berdiam diri saja di kamar dan bukannya ikut melayani para lansia di panti jompo Ethereal.

Sebenernya kalau boleh jujur Sunoo lebih milih tidur di kamarnya bukan malah membantu mamah Rene sekarang—lagipula si mamah kan udah punya suster— tapi dia takut kalau harus sendirian di rumah.

Tadi pas di perjalanan Sunoo sempet dengerin podcast horror tentang salah satu villa di Bali juga mitosnya. Pas nyampe rumah dan mamahnya bilang kalau dia mau pergi ke Ethereal ya JELAS MAKIN PARNO.

Akhirnya dengan terpaksa dia ikut. Daripada di rumah nanti ketemu demit, mending disini ada orang.

“Kamar ibu Nishimura..” gumam Sunoo sembari menelisik setiap papan nama di pintu.

Baru aja nyampe di Bali dia udah disuruh gantiin suster yang lagi cuti. Curiga mamahnya tuh nyambut dia karena pengen jadiin anaknya upik abu.

“Oh ini.”

“Orang Jepang ya?” lanjut Sunoo bergumam.

Dari tipe namanya sih kayanya ini orang Jepang. Soalnya Sunoo suka nonton anime dia jadi tau gimana ciri khas nama Jepang. Tadi juga mamahnya sempet bilang kalau dia bukan orang asli Indonesia. Oke fiks pasti orang Jepang.

Tapi kira kira ibu ini bisa bahasa Indonesia gak ya? Tadi dia ngeliat ada bule lansia yang ngobrol sama suster pake bahasa inggris. Kalau dia gak bisa bahasa Jepang terus gimana komunikasinyaaa??

Ibu Nishimura ini bisa bahasa indonesia kan? Atau setidaknya bahasa inggris gitu yang dia ngerti? Kalo gak bisa juga terpaksa Sunoo harus ngomong pake bahasa Jepang asal yang ia peroleh dari nonton anime.

Cklek

Kenop pintu di tarik ke bawah, itensitas pertama yang Sunoo liat adalah seorang wanita paruh bayah yang sedang duduk di sofa dan pemuda yang membelakanginya.

Oh si wanita paruh baya ternyata langsung sadar atensi Sunoo.

Sunoo berdehem sebentar sebelum berbicara. “Eum, annyeong.”

SHIT SALAH BAHASA.

Berdehem lagi kali ini mukanya sudah sedikit memerah. BIAR GIMANAPUN JUGA MALU CUY. Udah salah bahasa ngomongnya juga gak jelas huhuhu.

“Eum konnichiwa, watashi-wa Sunoo-desu.” ujar Sunoo sedikit kikuk.

Dia lupa harus ngomong apa lagi. Di anime kan dia lebih fokus sama muka cowok gantengnya. Nyesel banget kenapa gak merhatiin bahasa mereka.

“Eum etto, watashi-wa Rene no musoko-desu. Oyasuminasai.”

Bener gak sih dia bilang salam kenal? Tapi kok muka ibunya malah bingung gitu?

“Anata wa must be Nishimura obaa-sama nee?”

Kok kayanya kosa kata dia ngawur ya.

“pfftt.”

Sunoo melirik pemuda yang tadi membelakanginya; sekarang sedang memperhatikan ia sambil menahan tawa.

Apanya yang lucu? Iya dia tau bahasanya kurang jelas tapi kenapa harus di ketawai sih? Sombong ban—

“Obaa-san bisa bahasa Indonesia kok.”

ANJINGGG DARI TADI KEK BILANGNYA.

Sekarang muka dia udah merah banget semerah tomat di tukang sayur depan komplek kosannya. YA TUHAN MALU.

“But thanks for your effort, setidaknya kamu berusaha walaupun salah.”

Hahaha effort effort tai ledig. Segala di perjelas dia jadi tambah malu!

“Hahaha iya santai.”

“Kamu penggantinya suster Karin?” tanya cowok itu.

Sunoo mengangguk, “iya, gantiin hari ini doang.”

Cowok itu mengangguk, lalu berbicara dengan neneknya menggunakan bahasa Jepang yang Sunoo gak tau artinya. Tadi katanya bisa bahasa indonesia?

“Ayo, Obaa-san mau ke taman katanya.” ujar cowok Jepang itu setelah di tanggapi sang nenek.

“Oh oke.”

Sunoo terdiam, dia gak tau taman ada dimana. Tadi aja pas mau kamar ini dia hampir nyasar.

Ethereal memang gedung yang megah dengan fasilitas yang bagus. Pantas banyak spot spot menarik yang bisa di nikmati para lansia. Dan salah satunya taman; yang Sunoo gak tau dimana letaknya.

“Eum, sorry, itu...”

“Kamu gak tau tempatnya ya?”

Sunoo mengangguk kikuk sedangkan pemuda itu justru terkekeh.

“Ayo bareng.” katanya berjalan lebih dulu sembari menuntun kursi roda neneknya.

“Omong-omong aku Niki.”

“Oh, gua Sunoo.”

Dan Niki membalasnya dengan senyuman hangat sembari terus mendorong kursi roda neneknya.

“RAKAAA!!!” teriakan nyaring Keenan jadi yang pertama mereka dengar setelah pemuda berambut pink itu keluar dari balik club.

Ngerti gak keadaan Keenan udah PANIK BANGET karena temennya ilang di club, padahal itu club jadi tempat sehari hari si empu eh batang hidungnya malah gak keliatan sama sekali. Pas lagi panik paniknya dapet kabar kalau temennya muntah di samping orang asing. GIMANA GAK MAKIN PANIK TUH.

Kalau gak tau kondisi saat ini pasti tulang kering Raka sudah jadi amukan masal dari tendangan Keenan.

“Raka lo gapapa?” tanya Keenan sembari mengelus punggung Raka yang menunduk.

Raka ngangguk-ngangguk doang, mau ngomong rasanya tenaga dia udah habis buat muntah. Sekarang dia cuma pengen silaturahmi sama kasur.

“Anjing Ka, kok bisa sampe muntah sih?” seru Juno.

Masih gak terima dia tuh acara mabu-mabunya tertunda. Ya walaupun khawatir juga sih kalau temennya sampe nyasar; soalnya pasti tambah nyusahin.

Sedangkan Satya yang sedaritadi disitu diem aja sambil melihat Keenan yang masih mengelus-elus punggung Raka dan Juno yang nyerahin air aqua—gak tau dapet darimana.— buat Raka.

“Eh? Lo Satya kan? Makasih ya udah jagain temen gua.” ujar Keenan.

Daritadi cowok itu cuma diem aja, ya emang gak di tanya apa-apa sih.

Satya mengangguk, “Santai-”

”-hp temen lo.” lanjutnya mengembalikan hp Raka yang tadi dia pinjem buat ngehubungin temen-temennya.

“Thank you bro.” kata Juno menerima, Keenan masih sibuk ngurusin Raka soalnya.

Heran juga Raka nih umur berapa tahun mabok aja masih muntah, begitu fikir Juno.

Tapi biarin deh, dia jadi punya bahan buat mengolok-ngolok Raka nanti kalo cowok itu lagi ngeselin.

“Jaket lo? kena muntahan ya?” tanya Keenan.

Satya mengangguk. “Siniin.” pinta Keenan.

“Huh?”

“Sini jaket lo biar gua cuci, anggap permintaan maaf buat temen gua.” kata Keenan.

Satya melepas jaketnya, dia emang mau minta ganti rugi tadi tapi bukan kepada cowok rambut pink ini, melainkan sama temennya yang buat ulah.

“Gapapa?” basa basi.

“Ya gapapa. Sini, gua pasti cuci kok.”

Satya memberikan jaketnya pada Keenan, “Maka—”

“NAN NAN.”

Huweekk

Oh ternyata Raka muntah lagi, kali ini mengenai pergelangan tangan Satya.

ANJINGGGG.

Bagi Heeseung, Jaeyun bagaikan matahari yang menyinari ketika sang salju setia turun menutupi jalan bumantara. Heeseung mungkin bisa mati membeku jika Jaeyun tak menyinarinya, memberi kehangatan kedalam relung hati.

Salju dan musim dingin akan selalu menjadi alasan mengapa ia sanggup berjuang, meski dingin menyerang.


Namanya Shim Jaeyun. Air mata yang membanjiri pipinya adalah intensitas pertama yang Heeseung lihat ketika ia bersama regu timnya yang lain menghampiri pemuda itu.

Kala itu usianya 18 tahun dan hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya. Dengan seragam yang acak-acakan terbingkai di tubuhnya ia rapuh. Saat pertama kali Heeseung melihatnya adalah pemuda itu yang menangis dengan parau di samping jasad kedua orang tuanya. Meracau mengapa monster jahat tega membunuh mereka.

Jadi Heeseung menghampirinya; dengan perlahan dan tanpa aba-aba mendekap tubuh bergetar itu dalam pelukan hangatnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain membisikan kata-kata penenang. Menyakinkan bahwa ia bersama regu timnya yang lain akan membunuh monster tersebut.

Lalu Heeseung menyakan namanya, “Shim Jaeyun.” Nama yang manis.


Namanya Shim Jaeyun. Usianya 18 tahun ketika Heeseung bertemu kembali untuk yang kedua kalinya dalam keadaan yang sudah lebih baik tentunya.

Kala itu bulir salju masih turun dengan derasnya. Namun pemuda yang kemarin menginap di penampungan tersenyum hangat sembari mengucapkan kata terima kasih atas kejadian tempo lalu.

Suaranya lembut dengan wajah yang tampan dan menawan, rambutnya warna cokelat dan sedikit panjang. Dan senyumnya; senyumnya mampu membawa jutaan kepak sayap kupu-kupu ke dalam hatinya, menggelitik halus. Membangkitkan tawa renyah Heeseung ke permukaan.

Tubuh mungilnya berjalan dengan anggun ke arah Heeseung, membuat yang lebih tua tanpa sadar menarik kurvanya ke arah bersebrangan. Dan ketika untuk yang pertama kalinya Heeseung mendengar tawanya. Ia sudah memutuskan; pada siapa ia akan jatuh cinta.


Namanya Shim Jaeyun, usianya masih 18 tahun. Heeseung masih mengingat dengan jelas bagaimana pemuda itu berlari bersama teman-temannya, guna berlindung dari serangan yang terjadi di Seoul.

Wajahnya masih tampan, suaranya masih sehalus yang ia dengar terakhir kali, dan senyumnya masih mampu membuat pemuda Lee itu tergelitik dengan cara yang tak biasa.

Jaeyun berlari kepadanya dengan sekuat tenaga dan berteriak memanggil namanya; meminta perlindungan Heeseung yang kala itu sedang bertugas di dekat gerbang.

“Heeseung-hyung!”

Heeseung menyukai bagaimana pemuda itu memanggil namanya dengan khas. Dengan suara yang lembut seperti jiwanya terserap, dan terperangkap dalam suara manis itu.


Namanya Shim Jaeyun, usianya akan menginjak 19 tahun kala jam analog menunjukan angka 12 dan Heeseung yang membuat pesta kecil-kecilan di tenda tempat mereka berlindung dari ancaman luar.

Jaeyun tak pernah meminta di belikan apapun padanya, namun Heeseung dengan inisiatif memberikan boneka beruang besar untuknya. Heeseung bilang ia bisa memeluk boneka itu jika saja Heeseung tak ada di sampingnya.

Pemuda itu menyukainya, “Terima kasih, padahal kau tidak perlu repot-repot membelikanku hadiah hyung.” katanya sambil memeluk boneka beruang berwarna cokelat.

Lalu Jungwon datang sembari membawakan kue ulang tahun sederhana. Saat itu teman-teman mereka juga ikut merayakannya, bernyanyi lagu selamat ulang tahun, meski tahu keadaan di luar tak cocok digunakan untuk bersuka cita.

Dapat Heeseung lihat bagaimana mata hazel Jaeyun berbinar penuh kebahagiaan, menunjukan euforia lewat sorot matanya sampai menangis. Perubahan ekpresi dari terkejut hingga senang tak luput dari iris jelaganya, seolah setiap inci dalam wajah pemuda itu adalah lukisan berwarna yang tak boleh ia lewatkan.

Meniup lilinnya dengan gembira, pemuda itu langsung menubrukan dirinya pada Heeseung. Memeluknya erat yang di balas juga sama eratnya.

“Heeseung-hyung, terima kasih. Aku tak menyangka akan ada yang merayakan ulang tahunku.” katanya masih memeluk Heeseung.

Heeseung tersenyum, “Kau berhak mendapatkannya, Jaeyun.”

Dan sejak saat itu, Heeseung berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekap pemuda itu, untuk terus menjaganya dari dinginnya dunia, dan tidak akan pernah membiarkan kesedihan menghampiri pemuda mungil ini.


Namanya Shim Jaeyun, usianya sudah 19 tahun. Dalam balutan mantel abu yang melahap torsa dan lengannya, pemuda itu nampak seperti bocah berumur 5 tahun yang berlindung dari dinginnya salju.

Hari itu, tanpa aba-aba Jaeyun menceritakan tentang kejadian apa yang di lihat Heeseung saat pertama kali mereka bertemu.

“Monster itu jahat.” ujar Jaeyun.

Heeseung mengangguk, “Memang.”

Wajah manisnya menengadah ke langit, kumpulan memori terputar bagaikan film yang sedang dimainkan di kepala.

Ia menghela nafas lagi sebelum melanjutkan. “Saat itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku bersembunyi di dalam lemari, dan saat keluar ayah dan ibuku sudah mati di bunuh monster.”

Heeseung meringis, kata-kata mati terdengar menyakitkan meski benar begitu keadaannya.

“Lalu tiba-tiba kau datang, aku fikir kau adalah monster. Tapi ternyata bukan, kau menolongku hyung!”

“Jika kau tidak datang saat itu mungkin saja aku sudah di makan oleh monster yang lain juga.” lanjutnya sambil tersenyum.

Senyum Jaeyun membuatnya ikut terenyuh, “Hei Jaeyun.”

“Ya?”

“Orang tuamu melindungimu dengan berani disana, menjagamu agar kau tetap hidup. Dan sekarang adalah tugasku untuk menggantikan mereka.”

Iris hazel Jaeyun melembut, lebih lembut dan manis dari gulali yang pernah Heeseung makan.

Jaeyun menatapnya, dari sorot matanya Hongseok dapat melihat jutaan kata yang tak bisa terucap ada disana. Namun penuh dengan kekaguman dan rasa terima kasih. “Terima kasih, Hyung.”


Namanya Shim Jaeyun, usianya masih 19 tahun ketika ia berjalan menghampiri Heeseung dengan sebuket bunga—yang ia petik dan rangkai sendiri.— sambil mengucapkan selamat ulang tahun pada yang lebih tua.

Betapa bahagainya Heeseung ketika tahu bahwa pemuda Shim itu ingat tanggal lahirnya bahkan ketika si empu tidak mengingatnya lagi.

“Maaf aku hanya bisa memberikanmu ini, tadinya aku ingin membuat kue. Namun tak ada toko bahan makanan yang buka.”

“Tidak apa, ini sudah lebih dari cukup.”

“Ah, tunggu sebentar!” katanya, kemudian jemarinya mulai mengobrak tasnya mengambil kotak korek api kayu lalu digosokan agar tercipta api kecil.

Heeseung tertawa kecil melihat sikap pemuda dihadapannya.

“Make a wish?”

“Make a wish!”

Heeseung memejamkan mata, kedua tangannya terpaut. Dalam hati ia berdoa semoga musim dingin akan selalu menjadi warna dalam hidupnya dan semoga Jaeyun juga selalu mewarnai hidupnya dalam sisa-sisa tahun kedepan.

Heeseung meniup lilinnya dan saat ia membuka mata ia di sambut oleh senyuman si manis; yang sampai sekarang tetap membuatnya terasa di awang.


Namanya Shim Jaeyun, usianya 19 tahun dan dengan berani ikut terjun ke medan perang bersama Heeseung.

Heeseung melarangnya pada awalnya, berfikir bahwa pemuda itu belum cukup kuat untuk melawan monster atau ia yang takut akan memori kelam pemuda Shim itu kembali.

Namun sepertinya Heeseung salah, saat seluruh ke khawatirannya pada si manis berujung sia-sia karena ia sendiri yang justru terluka. Sibuk untuk mengawasi Jaeyun sampai lupa dimana ia berada.

Jaeyun menghampirinya dengan raut wajah panik berurai air mata; memekik memanggil namanya. Air mukanya sorot akan rasa khawatir ketika melihat pergelangan kaki kiri Heeseung yang terluka.

“Heeseung-hyung kau tidak apa?”

Heeseung masih tersenyum sambil mengusap kepala Jaeyun. Nyeri di pergelangan kakinya masih ia rasakan. Namun rasa sakitnya sedikit berkurang ketika pemuda itu menghampirinya.

“Tidak apa, luka ini biasa bagi prajurit sepertiku.”

Tangisan Jaeyun semakin menjadi, meski begitu tangannya dengan cekatan mengambil kotak obat serta membalut lukanya dengan perban. Heeseung terkekeh, melihat bagaimana pemuda itu mengobatinya meski sambil bercucur air mata. Jaeyun terlihat sangat menggemaskan di matanya. Ah tidak, ia memang selalu menggemaskan.

Heeseung bersyukur, setidaknya di saat seperti ini masih ada Jaeyun yang akan mengobati lukanya. Tidak hanya luka di pergelangan kakinya, namun juga di dalam lubuk hati Heeseung.


Namanya Shim Jaeyun dan usianya masih 19 tahun sampai bulan November nanti. Sambil menatap salju yang terus turun di langit Seoul, sambil bersandar di bahu lebar Heeseung. Malam ini pemuda manis itu terlihat berjuta kali lebih bercahaya dari sebelumnya.

Menatap buliran salju turun di bawah pohon kering yang tak akan lagi tumbuh; berbunga ataupun berdaun. Sambil bersenandung kecil, tangan kecil Jaeyun mencoba untuk menangkap salju yang langsung pecah saat mengenai tangannya.

“Kenapa keluar dari tim?” tanya Jaeyun.

“Kau merusak suasana.” jawab Heeseung.

Jaeyun merotasikan bola matanya, “Kau di butuhkan disana Hyung.”

“Apa gunanya sebuah tim jika tak bisa menghargai yang lain?”

Heeseung memang keluar dari regu tim pengintai, bahkan melepas jabatannya sendiri yang ia dapatkan di usia pemuda. Perlakuan mereka yang mengusik Jaeyun sudah lebih dari cukup sebagai alasannya keluar.

“Hyung, boleh kah bertanya sesuatu?”

“Apapun selain militer, iya.”

“Apa musim favoritmu?” tanyanya.

Heeseung terdiam sejenak, menatap pemuda yang sedikit lebih kecil darinya. “Musim dingin.”

“Kenapa?”

“Karena aku bertemu denganmu.”

“Bagaimana jika kita bertemu di musim yang lain?”

Heeseung mengedikan bahu, “Entahlah, ku fikir apapun musimnya ketika aku bisa bersamamu aku akan selalu menyukainya.”

Jaeyun terkekeh mendengar jawaban yang lebih tua. “Itu menggelikan!” candanya.

Bola mata Heeseung berotasi, “itu memang benar.”

“Hey mau berdansa?” tanya Heeseung.

“Tanpa lagu?”

“Aku akan bernyanyi untukmu.”

Heeseung menarik pinggang ramping Jaeyun, sedang tangan Jaeyun bertumpu di antara kedua bahunya.

“Kaki mu sudah tidak sakit?”

Heeseung menggeleng. Mulai menyanyikan lagu as the world caves in milik Matt Maltese dengan Jaeyun di kukuhannya yang menikmati. Dengan balutan syal dan mantel tebal, juga kaki mereka yang beberapa kali saling menginjak, Heeseung merasa hangat meski salju masih turun disana.

Lalu perlahan nyanyian Heeseung semakin memudar terbawa angin, dan perinci memotong sekat di antara mereka. Dan bagai magnet yang saling tarik menarik, ketika hidung mereka saling bergesekan Heeseung dapat dengan jelas merasakan bagaimana bibirnya menyicip bibir manis yang lebih muda. Menghantarkan afeksi dalam diam.

Ini pertama kalinya Heeseung menciumnya. Ciuman itu halus, sangat halus hingga rasanya jika Heeseung bergerak salah sedikit ia bisa merusak kehalusan itu. Rasanya manis. Dan juga lembut.

Heeseung menangkup wajahnya, di tatapnya iris hazel yang selalu menjadi favoritenya. Sembari tersenyum lembut, dengan pandangan teduh Heeseung berkata. “Seharusnya ku lakukan dari dulu.”

“Seharusnya kita melakukannya dari dulu.” balas Jaeyun.

Heeseung terkekeh, kemudian mengecupnya sekali lagi.


Namanya Shim Jaeyun, usianya 19 tahun dan kini sudah genap setahun pula Heeseung menemani hari hari pemuda ini.

Musim salju masih berlangsung begitu lama, suara tembakan di luar masih tetap terdengar. Begitu memekikan namun terasa menjadi biasa seperti santapan sehari-hari.

Jaeyun masih setia memeluk Heeseung, menempel bagai koala yang tak bisa jauh dari induknya. Mencari kehangatan di tubuh pemuda jangkung yang kini merangkap sebagai kekasihnya.

“Jika kau memelukku sekencang ini lebih lama lagi mungkin tulangku akan patah.”

“Salahkan saja salju ini kenapa begitu dingin! aku harus memelukmu agar tetap hangat.”

“Ku rasa kau sedang mencari kesempatan dalam kesempitan Jaeyun-sii.”

Tawa Jaeyun menguar, tak menyangkal omongan pemuda Lee itu namun tetap bergelayut manja di lengan Heeseung.

“Omong-omong berapa lama lagi kita sampai?”

Rumah yang mereka tinggali minggu lalu sudah tak layak huni, selain karena monster-monster sudah banyak menyerang, persediaan obat dan makanan juga semakin menipis. Dan sekarang mereka akan pergi ke rumah Sunoo dan Ni-ki yang dengan sukarela akan menampung mereka.

“Kau lelah?” tanya Heeseung.

Jaeyun mengangguk, “Sedikit.”

“Tempatnya sudah tak jauh lagi, mau ku gendong?”

“Tidak perlu, aku masih kuat kok.”

“Kau yakin?”

“Ya!”

“Tidak ingin ku gendong?”

“Hei tuan Lee, aku tau kau kuat tapi bukan berarti kau bisa seenak itu menggendongku!” serunya sambil menukik alis dan bibirnya mengerucut.

Yang di kata begitu justru tertawa gemas melihatnya, maka ia mendekatkan diri dan mengecup bibir pemuda itu sebelum di pelototi.

Baiklah mereka memang saling mencuri kesempatan dalam kesempitan saat ini.


Namanya Shim Jaeyun, minggu depan usianya akan berganti menjadi 20 tahun. Semakin lama semakin menyusul Heeseung.

Wajahnya masih tampan berseri, tawanya masih khas, dan senyumnya masih semanis dulu. Dan akan selalu manis selama-lamanya.

Mungkin pula musim dingin masih menjadi favoritenya, atau mungkin tidak lagi. Karena pemuda Shim itu mulai merindukan musim panas tatkala sinar mentari menyoroti kulitnya, menghadirkan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh.

Pemuda itu masih tersenyum manis, meskipun ia hanya bisa terkulai lemas di atas tempat tidur. Karena penyakit perlahan menggerogoti tubuhnya.

Pipinya yang dulu setebal mochi kini perlahan terlihat semakin tirus. Namun biar begitu Heeseung masih menyukainya, dan akan selalu menyukai Jaeyun entah apapun bentuk Jaeyun.

Disini, di rumah tempat mereka berlindung dari bahaya di luar. Lee Heeseung masih tetap berada di sisi Jaeyun, menemaninya dan terus menghangatkannya.

“Heeseung hyung.”

“Ya?”

“Menurutmu, kapan salju akan berakhir?”

Heeseung mengedikan bahu tak tahu, ia mengelus kepala Jaeyun. “Kau tidak lagi menyukai salju?”

Jaeyun menggeleng, “Aku menyukainya, hanya ketika bersamamu.”

“Aku tidak tahu kapan salju akan berakhir. Namun jika begitu, aku akan tetap bersamamu.”

“Ya, tetaplah bersamaku hyung.”


Namanya Shim Jaeyun, usianya akan 20 tahun dalam beberapa jam lagi. Tubuh Jaeyun kian lama kian melemas, namun ia tetap bertahan sekuat tenaga. Dengan berani melawan penyakitnya.

“Kira-kira,” Jaeyun menjilat bibirnya, “Kira-kira, apa yang sedang di lakukan kedua orang tuaku?” tanyanya.

“Menatapmu dari langit.” jawab Hongseok.

Jaeyun terkekeh suaranya parau terdengar di telinga. “terasa romantis.”

“Heeseung hyung.” panggilnya yang mengirimkan jutaan rasa bergejolak seperti bulan-bulan sebelumnya.

“Ya Jaeyun?”

“Bagaimana jika aku yang menatapmu dari langit?”

Dada Heeseung bergetar; jantungnya terpompa cepat dan lidahnya mulai terasa keluh. “Jangan berbicara yang aneh-aneh.”

Jaeyun bergeming, tangan dinginnya menyentuh halus tangan hangat Heeseung. Heeseung membalasnya dengan mengenggam tangan sang adam, membiarkan hangatnya menjalar sampai ke permukaan.

“Heeseung hyung.” panggil Jaeyun lagi.

“Ya Jaeyun? aku disini.” jawab Heeseung.

“Sebentar lagi ulang tahunku, bisakah kau bernyanyi untukku?”

Heeseung tersenyum, di kecupnya kening yang lebih muda. “Tentu saja.”

“Ayo sambil berdansa.” sambung Heeseung.

“Tubuhku sudah tidak kuat jika harus di gunakan berdansa hyung.”

“Tidak apa, aku akan menahannya.”

Heeseung membangunkan tubuh Jaeyun yang sudah seringan kapas dengan perlahan, di dekapnya erat agar sang kekasih tidak terjatuh. Dengan hati-hati menuntunnya, melangkah perlahan demi perlahan.

Pemandangannya masih sama seperti saat mereka pertama kali berdansa. Salju tetap turun dari balik jendela, seolah ikut andil dalam pergerakan kecil mereka.

My feet are aching And your back is pretty tired And we've drunk a couple bottles, babe And set our grief aside The papers say it's doomsday The button has been pressed We're gonna nuke each other up boys 'Til old Satan stands impressed

Tangan Jaeyun semakin dingin dirasa, namun biar begitu Heeseung tetap mendekapnya erat. Jika boleh, ia ingin sakit di sekujur tubuh Jaeyun berganti ke tubuhnya agar pemuda ini tak lagi kedinginan.

And here it is, our final night alive And as the earth runs to the ground

Dapat Heeseung lihat kekasihnya yang tersenyum padanya, matanya terpejam sambil menikmati suara Heeseung yang mengalun di ruangan. Kepalanya bersender pada dada Heeseung; mendengar bagaimana jantungnya berdetak kencang dan selalu berdetak untuknya. Sama seperti bulan-bulan lalu.

Oh boy, it's you that I lie with As the atom bomb locks in Oh, it's you I watch TV with As the world, as the world caves in

Dan nyanyian itu selesai. Bertepatan dengan jarum jam yang menunjukan angka 12, juga bertepatan dengan tubuh Jaeyun yang semakin mendingin. Memejam matanya sambil tersenyum manis, lalu terkulai lemah di bahunya.

Heeseung memapah tubuh ringan Jaeyun, dipeluknya sang kekasih yang mungkin kini tak akan lagi bisa merasakan pelukan hangatnya.

Tubuhnya bergetar, nafasnya berderu hebat, jantungnya berdetak tak karuan dan ketika setetes bulir air mata keluar dari tempatnya. Heeseung runtuh.

Tangisnya menggema memenuhi ruangan yang hanya ada mereka berdua disini.

Ia terkulai lemas, air mata terus turun membajiri sedang nafasnya mulai terasa sesak. Ia masih memeluk kekasihnya, meski kulit sang kekasih sudah sangat dingin ia masih memeluknya.

Mendekapnya; berharap jika ia memberikan kehangatan sedikit, pemuda itu akan terbangun.

Namun detik menyulam menjadi menit sampai jam dan Jaeyun tetap setia dalam pendiriannya untuk memejamkan mata.

Dengan bibir bergetar Heeseung berkata. “Selamat ulang tahun, my Jaeyun.”


musim dingin dan salju akan selalu menjadi musim favorit seorang Lee Heeseung karena dapat bertemu dengan Shim Jaeyun. Juga menjadi musim yang ia benci karena telah merengut sang kekasih.


“Hei Jaeyun, lama tak berjumpa.”

“Hyung? Kenapa kau disini?”

“Kau tahu, salju di musim dingin tak lagi terlihat indah ketika kau hanya memandangnya sendirian.”

Jaeyun tersenyum getir, di peluknya pemuda yang lebih tua dengan erat.

“Aku mencintaimu, maaf karena tak pernah mengucapkannya.”

Heeseung membalas pelukan itu dengan sama eratnya, dengan banyaknya kerinduan yang terkumpul.

“Aku juga mencintaimu. Sangat dan akan selalu mencintaimu.”


namun, salju dan musim dingin pula yang akan selalu menjadi awal dan akhir dari kisah panjang penuh kasih sayang seorang Lee Heeseung dan Shim Jaeyun.


Ketika hujan turun, ada seorang ayah yang sedang bekerja keras demi sesuap nasi untuk sang anak.

Ketika hujan turun, ada sepasang suami istri yang baru saja kehilangan bayinya.

Ketika hujan turun, ada seorang gadis yang berhasil mencapai cita-citanya menjadi seorang dokter.

Dan ketika hujan turun, ada perasaan yang jatuh bersamaan dengan derasnya hujan dalam pertemuan singkat, sesingkat hujan kala itu.


Sunghoon turun dari bus sambil tergopoh-gopoh, hari ini hujan lumayan deras dan jadwalnya juga sama kencangnya dengan angin yang bertiup saat ini. Beruntung tadi pagi ia menonton ramalan cuaca, jadi Sunghoon membawa payung untuk berjaga-jaga.

Menyibak bajunya yang sedikit basah; tangan Sunghoon dengan cekatan mengambil payung di tasnya. Sampai netranya tak sengaja bertemu dengan iris hazel di sudut bangku.

Sunghoon melihat sekeliling hanya ada dirinya dan pemuda itu disana. Halte bus sepi, padahal biasanya cukup ramai.

Pakaian lelaki itu kusam dan sedikit berantakan, rambutnya lepek terkena hujan. Jika orang yang melihatnya sekilas pasti akan mengira kalau dia adalah tunawisma. Namun tidak bagi Sunghoon yang cukup yakin kalau lelaki ini punya tempat tinggal yang layak... atau mungkin tidak?

8 detik dirasakan Sunghoon hanya memandang serta mendeskripsikan pemuda itu. Kulitnya putih, namun tak seputih dirinya. Cara duduknya masih tetap anggun meskipun pakaiannya berantakan, dan irisnya; warna mata hazel yang tadi tak sengaja bersitubruk dengan jelaganya membuat Sunghoon terhipnotis seketika.

“Maaf aku menganggumu ya?” kata pemuda itu yang sadar di tatapnya.

Sunghoon buru-buru menggeleng. Ia padahal sudah membuka payungnya tapi justru terbengong disini. “Ah tidak, maafkan aku.” ujarnya berniat pergi.

Pemuda itu hanya tersenyum simpul, namun hujan yang kala itu masih deras atensinya langsung teredam tergantikan oleh perutnya yang terasa tergelitik. Aneh. Tapi Sunghoon menyukainya.


Ketika hujan turun, ada ingatan tentang seseorang yang tak pernah kau tahu namanya namun kerap mampir dalam mimpi-mimpimu.


Sunghoon terbangun dengan rasa nyeri di kepala. Ia melihat jam dinding yang jarum pendeknya menunjukan angka 2 dini hari. Baru tersadar kalau ia hanya tidur 3 jam karena lembur.

Hujan masih betah membasahi jalanan Seoul rupanya, Sunghoon jadi teringat akan pertemuannya tempo lalu dengan pemuda yang duduk di ujung halte.

Ia mengambil gelas sembari menelan sebutir obat guna meredakan rasa nyeri.

Ingatannya kembali melayang pada kejadian tempo lalu; pertemuan yang membuat mimpi malamnya hanya di penuhi oleh wajah orang itu. Sunghoon bahkan tidak pernah mengetahui namanya, tapi kenapa pemuda itu justru menjadi bunga tidurnya?

Malas memikirkannya Sunghoon lebih memilih mengambil jaketnya yang tersampir di belakang pintu kamar. Perutnya lapar, mungkin saja masih ada toko 24 jam yang buka. Seharusnya sih ada tepat di depan gedung apartemennya.

Lift terbuka tepat satu lantai di bawah Sunghoon setelah ia masuk. Di lihatnya seorang pemuda dengan kaos hitam yang tingginya hanya sampai sedagu Sunghoon.

Pergi malam malam gini yang sedang hujan hanya dengan kaos oblong memangnya tidak dingin fikir Sunghoon. Namun ada yang lebih mengagetkan lagi, wajah itu Sunghoon mengenalinya.

“Oh kau?”

Lelaki itu menoleh, ia mengernyit kemudian matanya terbelalak kaget dan sepersekon kemudian tergantikan oleh ekspresi ramah. Sunghoon memperhatikan semuanya.

“Hai, ketemu lagi ya?”

Sunghoon menggaruk tengkuknya yang gak gatal, “Eum iya.” ujarnya canggung.

Sunghoon menjilat bibirnya, atmosfir canggung langsung terasa. Ia bukan orang yang gampang bersosialisasi, jadi ketika hanya berduaan dalam satu ruangan dengan orang asing dirinya langsung gugup.

“Kebetulan sekali ya. Kau tinggal disini?” tanya pemuda asing itu.

Sunghoon mengangguk.

“Lantai berapa?”

“Tujuh belas.”

“Ah satu lantai di atasku. Aku di lantai enam belas.”

Sunghoon mengangguk lagi, bingung harus berbicara apa.

“Aku Jaeyun.” katanya memperkenalkan diri.

“Sunghon, Park Sunghoon.”

Kini gantian Jaeyun yang mengangguk, lalu matanya tertuju pada layar yang menunjukan angka 5.

“Omong-omong aku baru saja membuat novel.”

Sunghoon meliriknya. “Tapi kata penerbit, novelku tidak bisa di terbitkan. Ceritanya terlalu membosankan dan berbelit-belit.” lanjutnya ada sedikit nada kecewa disana.

Ah jadi pemuda di sampingnya ini seorang novelis ya, baru Sunghoon mau menanggapi pintu lift keburu terbuka.

“Aku duluan ya, Sunghoon.”


Ketika hujan turun ada senyuman yang sihirnya mampu menghantarkan kehangatan sampai mengalahkan dinginnya sang hujan di luar sana.


Pagi hari di hari minggu memang enaknya di gunakan untuk berjalan jalan sembari mencari udara segar. Namun bulan Juli ini sepertinya tidak mengijinkan para manusia untuk mencicipi embun pagi.

Di tambah pekerjaannya yang menumpuk, pupus sudah harapan Sunghoon untuk bersantai sambil menonton film di laptopnya. Hari libur saja ia masih harus bekerja!

Sunghoon meregangkan tangannya, ia sedang duduk di caffe dekat apartemennya sambil mengerjakan laporan yang tak kunjung selesai. Kerja di caffe tidak buruk juga ternyata, ia tak perlu repot harus bolak balik dapur demi secangkir kopi hangat guna membuat matanya tetap terbuka lebar.

*Kring

Lonceng yang berbunyi setiap ada pengunjung datang sebenarnya sedikit menganggu konsentrasi Sunghoon, walaupun caffe pagi ini tak terlalu ramai tetap saja pasti ada para pencinta coffe yang datang. Dan dalam suasana dingin seperti ini, rasanya secangkir coffe adalah alternatif terbaik. Lagipula ia ju— “Ketemu lagi.”

Eh?

Matanya terbelalak melihat sesosok pemuda dengan mantel coklat di hadapannya. “Jaeyun?”

Jaeyun tersenyum, “boleh aku duduk denganmu?”

Sunghoon melihat sekitar masih banyak bangku kosong fikirnya. “Jika kau keberatan aku bisa mencari yang lain.”

Oh rupanya pemuda itu salah tanggap. “Tidak, aku tidak keberatan sama sekali. Duduk lah.”

Senyuman Jaeyun bertambah lebar sembari ia duduk di hadapan Sunghoon. “Kopi di pagi hari, eh?”

Sunghoon terkekeh, “Ya aku harus tetap sadar saat bekerja.”

“Aku baca jika meminum kopi di pagi hari akan membuat pencernaanmu jadi tidak sehat. Maaf bukan ingin sok tahu, hanya memberi tahumu.” ujar Jaeyun.

“Baiklah, ini terakhir kali.” balas Sunghoon.

Mata Jaeyun menyipit di buat galak. “hei jangan buat seolah aku memaksamu!”

Sunghoon terkekeh lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. “Aku hanya tak ingin lambungku marah karena kau telah mengingatkannya.”

Lalu Jaeyun mengambil laptopnya dari tas yang warnanya senada dengan mantelnya. Yang juga sama kusamnya.

“Lanjut menulis ceritaku.” katanya tanpa di tanya.

“Aku tak ingin mengganti cerita baru, lagipula ku yakin kalau cerita ini sudah bagus. Hanya dengan merubah sedikit kata dan penerbit itu akan jatuh cinta.” ujarnya sambil tersenyum bangga.

Lalu setelahnya hanya suara Jaeyun yang menguar di sudur ruangan dengan Sunghoon hanya menyimak. Sunghoon menyeruput kopinya atau memandang seluruh ekspresi Jaeyun yang sedang bercerita. Sesekali terselip senyum di wajah manisnya kala ia bercerita; membuat Sunghoon lupa akan hangatnya kopi yang ia minum.


Ketika hujan turun, tak hanya air yang ikut membasahi bumi. Namun perasaan jatuh cinta juga ikut andil dalam bagaimana cara manusia bekerja di bumi.


Sudah sebulan sejak Sunghoon mengenal Jaeyun. Tak banyak yang ia tahu selain pemuda itu adalah seorang novelis—yang sampai sekarang bukunya belum di terima.— tinggal di bawah lantainya, suka teokbokki dan latte. Oh ternyata mereka juga seumuran dan bahkan mbti mereka sama.

“Sunghoon!” seruan riang dari Jaeyun mengalihkan atensinya.

“Ada apa?”

“Buku ku di terima.”

“Benarkah? Wah selamat ya!”

“Terima kasih.” Jaeyun membenahi poni yang menutupi dahinya. “Kau hari ini sibuk?” tanyanya.

Sunghoon menggeleng, “Tidak, kenapa?”

“Mau jalan bersamaku tidak? Aku hari ini mendapat gaji pertamaku. Tenang saja kali ini aku yang traktir.” ujarnya riang.

Sunghoon terpaku beberapa saat, matanya mengerjap-ngerjap. Jaeyun mengajaknya kencan? Kencan pertamanya dengan Jaeyun selain mereka yang selalu kebetulan bertemu di suatu tempat. Sunghoon tak tahu mengapa jantungnya jadi berdegup kencang gini hanya dengan memikirkan rencana kencan mereka.

Dia berlebihan tidak jika menyebutnya kencan?

“Sunghoon?” Jaeyun melambai tangannya di depan wajah Sunghoon.

“Ah iya, aku mau.”

Lalu di sinilah mereka. Mencari makanan di daerah Seoul yang sepanjang jalan berjejer makanan ringan. Jaeyun yang mengide kesini, katanya ia belum punya cukup uang jika harus membeli makanan di restoran. Padahal Sunghoon sama sekali tak keberatan jikalau Jaeyun tak mentraktirnya.

Setelah di rasa cukup membeli makanan, mereka memutuskan pergi ke atas bukit sembari menikmati angin malam.

“Ini dingin.” gumam Jaeyun namun masih bisa di dengar Sunghoon.

“Kemarilah.” kata Sunghoon mendekap badan Jaeyun.

Dapat dirasakan tubuhnya yang tadi sedikit menggigil kini jadi lebih rileks. “Mau turun?” tanya Sunghoon khawatir.

Jaeyun menggeleng, “Tidak. Aku suka pemandangan disini.”

Setelahnya hanya ada hening mewarnai udara mereka. Jaeyun sibuk dengan fikirannya masing-masing begitupula Sunghoon yang betah memandangi wajahnya. Tak pernah terbayang memandang wajah pemuda itu dari jarak sedekat ini ternyata lebih manis. Ah memang pemuda itu dasarnya sudah cantik, hanya saja pakaiannya yang sedikit kusam; karena tak mampu membeli pakaian baru justru menutupi auranya.

Perlahan Jaeyun juga menatapnya balik. Mata bertemu dengan mata. Bagaikan arus listrik yang saling tarik menarik tanpa sadar wajah keduanya semakin dekat. Angin malam tak di pedulikan, nafas hangat yang terpancar dari keduanya sudah cukup membuat badan mereka tersengat.

Tepat ketika hidung mereka saling bergesekan Sunghoon berkata, meminta izin. “Bolehkah?” Dan Jaeyun mengangguk.

Sepersekon kemudian Sunghoon rasa kenyal di bibirnya yang menyatu dengan bibir manis Jaeyun. Seperti darahnya langsung mengalir dengan cepat ke seluruh tubuh, Sunghoon mabuk.

Bibir Jaeyun terasa manis; namun juga pedas dan asin karena makanan yang tadi ia makan. Tak apa, Sunghoon menyukainya.

Dan perlahan tapi pasti pula bibir mereka mulai bergerak dalam diam, menuntut satu sama lain, dan menyatu tanpa ada rasa paksaan. Bahkan rintik rintik yang mulai turun terabaikan sampai menjadi hujan lebat. Sunghoon tersenyum sepanjang ciuman intens itu dan dapat di rasakan pemuda itu juga sama senangnya dengan ia.


Ketika hujan turun ada hal-hal yang seharusnya tak kau lakukan. Seperti menitipkan perasaanmu pada air yang mengalir dengan deras. Karena ketika air itu bermuara di suatu tempat, ia hanya akan berdiam diri menunggu sang hujan datang meskipun tahu ia telah bermigrasi ke tempat lain.


Sunghoon menatap keluar jendela di mana hujan masih turun. Padahal sudah masuk bulan September, namun ternyata cuaca tahun ini tak menentu ya.

Oh berarti sudah dua bulan sejak kejadian di bukit itu, Sunghoon masih mengingat jelas bagaimana rasanya ja bersentuhan dengan bibir pemuda itu. Meskipun raganya kini entah dimana.

Sudah dua bulan Jaeyun menghilang tanpa jejak. Ia tak pernah tahu kamar apartemen Jaeyun, pun tak pernah bertukar nomer telepon. Biasanya mereka sering tidak sengaja bertemu dan berbicara layaknya teman lama. Namun Sunghoon baru sadar bahwa ia tak banyak tahu tentang pemuda itu.

Hari ini jingga terlihat di ufuk barat, menanti sang bulan di ujung sana yang akan bertukar shift dengannya. Sama dengan Sunghoon yang entah berharap apa namun setiap menantikan kedatangan pemuda itu.

Setelah malam itupun Sunghoon sadar. Ia sadar telah jatuh cinta pada pemuda manis yang ia tahu namanya juga sama manisnya.

Sialnya akhir akhir ini pemuda itu tak menunjukan batang hidungnya, seolah hilang di telan bumi.

Pintu apartemennya di ketuk. Sunghoon beranjak malas, siapa sih yang menganggu dirinya sedang melamun di sore hari ini?

  • Cklek.

Mata Sunghoon terbelalak, itu Jaeyun di depannya. “Jaeyun?”

“Oh, hai Sunghoon. Maaf tiba tiba hilang tanpa kabar begini, aku tak tahu harus mengabarimu dimana.” ujar Jaeyun.

Senyum Sunghoon merekah, “Tidak apa-apa. Kau ingin masuk?”

Jaeyun menggeleng, “Tidak aku hanya sebentar disini.”

Mata Sunghoon tak sengaja melihat secarik kertas yang di genggam Jaeyun. “Itu...”

“Ah...” Jaeyun menunduk tangannya di kaitkan gelisah, tak berani menatap mata Sunghoon. “Undangan pernikahanku.”

Bagai di serang jutaan panah dadanya terasa nyeri, senyum yang tadi bertengger lenyap seketika dengan kakinya yang terasa lemas. Jangan bercanda.

“Aku akan menikah minggu depan, maaf tidak pernah memberitahumu.” ucap Jaeyun.

“Begitu ya...”

Hujan masih turun di luar sana membasahi bumantara dengan lebat, seolah ikut luluh lantah dalam perasaan tak terbalas yang di miliki Sunghoon. Perasaan yang sia sia di tunggu namun acap kali tak ada balasan.

Memang waktu yang singkat untuk dirinya jatuh cinta pada pemuda itu, namun perasaan kerap jatuh sesingkat hujan yang turun. Meskipun ia tahu rasanya akan terus berjalan lama.

Karena jatuh hati pertamanya akan selalu menjadi butiran hujan yang turun pertama kali. Indah, namun juga dingin.


Ketika hujan turun, ada seorang pemuda yang merasakan jatuh cinta jua patah hati pertamanya dalam hidup.

Satya turun dari mobil dengan perasaan waswas, agak takut juga sebenarnya tapi dia harus tetap percaya diri.

Netranya menyipit mencoba memperjelas objek di depannya; tungkainya ikut melangkah kalau saja itu setan ia masih selamat karena setan gak bisa ngerampok tapi kalo itu manusia wah harus waspada.

Payung kecil yang sedari tadi ia genggam guna menyerang si-siapapun itu- masih tergenggam erat di belakang punggung sambil berjalan perlahan ia menghampiri; bersiap menyerang sebelum, “Hai!”

Sapaan ringan yang di lontarkan pemuda di hadapannya langsung membuat Satya lupa tujuan awalnya.

“Huhuhuh lo siapaa?” pemuda itu mulai meracau sambil menangis sesegukan. Satya tentu heran, aduh ini orang mabok ngapain disini??

Kemudian pemuda itu berjongkok sambil melambaikan tangannya menyuruh Satya agar ikut jongkok di sebelahnya yang anehnya malah di turuti olehnya.

Akhirnya mereka berdua disini. Di parkiran sambil berjongkok dan menatap lalu lalang jalanan yang semakin malam semakin ramai saja, mungkin karena ini malam minggu jadi banyak orang keluar rumah.

Pemuda di sampingnya masih menangis tanpa sebab, kayanya tipsy. Satya juga tak terlalu peduli, maunya sih ia masuk saja ke dalam mobil karena disini banyak nyamuk dan dingin tapi tubuhnya seolah menolak.

“Hiks- lo brengsek banget tai.” racau pemuda itu lagi.

Satya meringis, pasti mabok karena abis putus cinta. Tapi daritadi racauannya juga kemana-mana, bahkan ia berkata ingin langsung menikah saja daripada kuliah. Ckckck anak zaman sekarang kelakuannya suka aneh kecuali Satya.

Satya mengambil rokok di sakunya lalu mengisapnya perlahan, sambil tetap mendengarkan omongan gak jelas dari orang asing ini.

Entah mengapa suaranya tak menganggu Satya sama sekali padahal jelas jelas yang di omongkannya begitu mengada-ngada. Dari mulai politik, teori atlantis, kisah cintanya, urusan kuliah bahkan ngomongin tentang Hitler yang katanya mati di garut.

Satya terkekeh setiap bibir itu mengerucut; berceloteh dengan nada sebal sambil sesekali sesegukan. Dari cahaya yang minim ini ia hanya bisa melihat sebagian postur wajahnya, walaupun tidak terlalu jelas yang pasti Satya tahu kalau pemuda ini pasti tampan.

Cowok itu mengelap ingusnya kasar, lalu terburu-buru bangun sampai badannya oleng sedikit. “Aduh gua lupa bawa temen!” serunya panik.

“Eh? Kabarin aja temen lo coba.” Oh udah sadar rupanya.

Satya ikut bangun menginjak putung rokoknya di tanah, “Ben—”

UWEKK!!

Sepersekon kemudian matanya membulat yang di barengi muntahan muncrat di sepatunya. ANJIR INI ORANG MUNTAH.


Kaki jenjang itu kelimpungan mencari sahabatnya. Tadi ia menemani Jake ke aula untuk mendengar siapa yang jadi pemenang perlombaan ini.

Tapi setelah pemenangnya di umumkan Jay di panggil oleh temannya yang lain dan langsung menghampiri mereka. Padahal Jay sudah bilang pada Jake untuk tetap berdiri disana, tapi Jake sekarang malah menghilang.

Sunghoon juga terus menyanyai keberadaan Jake daritadi, mana dia tau kalau dia sendiri aja bingung.

Akhirnya Jay pergi berlari keluar aula, untung lah ternyata yang di cari tidak terlalu jauh keberadaannya. Dari belakang Jay bisa melihat punggung Jake yang menunduk, Jake pasti kecewa dengan hasilnya kali ini.

“Lo gua cariin dimana mana taunya disini.”

Jake bergumam, “gua lagi mau sendiri.”

Jay menghela nafasnya, ia menundukan diri di kursi samping Jake. Memberikan pesan keberadaan Jake pada Sunghoon yang sedari tadi menanyai sang sahabat.

“Lo ngapain disini?”

“Lah nyolot, nyariin lo lah.”

“Ck ngapain sih? Gua bilang kan lagi pengen sendiri.”

“Gua temen lo Jake Shim kalo lo lupa.”

“Gua gak punya temen bego.”

Mata Jay langsung melotot, apa-apaan ini dia di katai bego dalam keadaan seperti ini. Maksudnya timingnya tidak pas sekali untuk bergelut sekarang. Masih syukur Jay tidak marah karena Jake bikin dia panik eh dirinya malah di katai bego. Memang kurang ajar anak ini.

“Apaan sih lo?”

Bukannya menjawab pertanyaannya , Jake justru menabok palanya dengan kencang. “Aduh anjing!” adu Jay sembari mengelus kepalanya.

“Apa apaansih lo nyet?!”

“Lo yang apa apaan goblok.”

Jay makin tidak mengerti dengan tingkah laku pemuda barbar ini. Ia tahu kondisi Jake yang sedang sedih, tapi bukan berarti ia layak menjadi tempat pelampiasan emosinya.

Jay menggeram, “Gue tau lo kecewa sama hasilnya tapi lo gak bisa seenakn-”

”-tolol.” Jake memotong ucapannya.

“Hah?”

“Lo tolol Park Jongseong.”

Kalau Jake sudah menyebut nama lengkapnya berarti hanya ada dua kemungkinan, ia serius atau sedang menahan marah.

Kemungkinan yang kedua; wajah Jake merah padam terlihat sekali seperti orang yang sedang menahan emosi.

“Lo kira gue gak tau kejadian di gramed? Bang Heeseung dan Jungwon?” lanjut Jake.

Jay bergeming tak bisa menyanggah apapun karena sepertinya ia tahu kemana arah pembicaraan mereka.

“Nah diem kan lo. Emang lo tuh tolol! Jangan sampe bilang kalo lo ngehindarin Jungwon?”

Jay yang masih terdiam sudah cukup untuk Jake kembali murka, “Lo tuh! Apaansih yang ada di otak lo?! Jangan jadi orang cupu dong Jay. Cuma karena ada bang Heeseung terus lo mundur? Coba lo fikir deh pake otak udang lo kenapa lo bisa suka sama Jungwon.”

Jay masih terdiam namun kali ini pikirannya bercabang kemana-mana. Memikirkan ucapan Jake tentang alasannya menyukai Jungwon; banyak. Ia suka melihat senyum Jungwon, ia suka suara Jungwon, ia suka bagaimana Jungwon memanggilnya dengan lembut dan ia sangat suka saat bersama Jungwon. Semua yang ada pada diri Jungwon, rasanya ia teramat menyukainya.

“Kejar Jay.” ucap Jake.

“Hah?”

“Kejar selama dia masih di deket lo, nanti kalau udah jauh lo bakal nyesel sendiri.”

Jay menatapnya dengan pandangan sulit di artikan. Handphonenya tiba-tiba bergetar hebat menampilkan rentetan pesan dari dm twitternya. Itu dari Sunoo temen Jungwon.

Shit.

Jay langsung bangun dengan raut panik, membuat Jake di sebelahnya terlonjak kaget. “Jake, lo tetep disini sampe Sunghoon dateng.” katanya lalu pergi berlari.


Jay membuka pintu ruangan dengan gusar dan nafas yang tersenggal-senggal. Raut paniknya langsung tergantikan dengan helaan nafas lega ketika melihat Jungwon sudah sadar.

“Kak Jay?”

Jungwon kaget bukan main saat Jay tiba-tiba memeluknya erat. Jantungnya langsung berdegup kencang saat ini. Nafas Jay terdengar menghalus lembut permukaan wajah Jungwon, aroma badan Jay tetap wangi meskipun habis berlarian.

Jungwon tak membalas peluknya, namun Jay sudah sangat bersyukur bisa memeluknya seperti ini.

“Kak Jay kenapa?” tanya Jungwon setelah Jay melepaskan pelukannya.

“Lo gapapa?” tanya Jay balik.

Jungwon memiringkan palanya, “Gapapa.”

“Sunoo bilang tadi lo pingsan, kok bisa?” Jay mulai mengatur nafasnya jadi normal.

“Mag ku kambuh.”

Pernyataan Jungwon membuat nafas Jay kembali sesak. Bagaimana bisa ia tidak tahu orang yang di sukainya ternyata punya mag akut yang sangat parah sampai bisa pingsan.

Jay menengok ke nakas yang ada piring dengan sisa nasi yang belum habis. Pasti makanan Jungwon. “Kok gak di habisin?”

Jungwon melihat ke arah nakas, “Sakit kalau makan.”

Jay meringis melihat Jungwon yang wajahnya masih pucat, hatinya mencelos serasa di cubit. Pujaan hatinya bisa sakit begini namun ia tak sadar sama sekali.

“Maaf...” ujar Jay.

Jungwon mengernyit, “Buat?”

“Buat yang kemarin gua pergi, buat gua yg tiba-tiba ngilang, buat bikin lo sakit gini.”

“Kak, aku sakit bukan karena salah kakak. Aku sendiri yang bandel karena tadi gk sarapan, kayanya ini hukuman buatku.”

“Tetep aja gua ngerasa bersalah karena gk nemenin lo daritadi, gua bahkan gak tau kalo lo sakit won.” cecar Jay menyesal.

Jungwon menghela nafasnya, “Kak bukan salah kakak kalau gak tau kondisi aku, bukan salah kakak kalau aku bisa jatuh sakit. You more than enough karena selalu ada buat aku. Udah ya, stop nyalahin diri sendiri karena kenyataannya kak Jay gak ada salah apa-apa.” Tukasnya.

Jay masih ingin berbicara lagi namun tatapan Jungwon seolah mengatakan berhenti bicara omong kosong atau aku marah sama kakak. Dan tentu saja Jay langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

“Tapi, aku punya pertanyaan buat kak Jay.”

Jay menatapnya. “Kemarin kenapa tiba-tiba pergi?”

Damn, pertanyaan yang Jay hindari akhirnya terujar juga. Jay tidak tahu harus menjelaskan perasaannya darimana.

“Jake minta buru-buru pulang.”

Mata Jungwon menyipit, “Jangan bohong.”

Yasudah jujur saja lah. “Karena ada bang Heeseung.”

“Kak Heeseung?”

Jay mengangguk, “Gua err gua cemburu Won, kemarin lo lagi jalan sama bang Heeseung gua takut ganggu kalian tapi gua sadar gua lebih takut sakit hati ngeliat kalian berdua. Padahal gua juga sadar bukan siapa-siapa lo.”

Jungwon terkekeh ternyata alasan Jay menghindarinya karena itu. “Kakak gak ngira aku balikan sama kak Heeseung kan?”

Mata Jay melebar, Jungwon justru semakin tertawa geli melihatnya. Yaampun sia sia ia menggalaui kakak tingkatnya ini kalau ternyata alasan mereka sama.

“Kak... kak Heeseung tuh udah punya calon istri.”

“HAH?!”

Dan selanjutnya ruangan kamar bernomor 09 diisi oleh cerita panjang Jungwon tentang pengalamannya kemarin, serta tawa renyahnya yang menertawai alasan bodoh dari Jay.

Yang di tutup oleh pelukan hangat Jay kepadanya, kali ini di balas juga oleh Jungwon.


Jungwon menghela nafas panjang, tadi ia diminta seseorang untuk menemaninya jalan. Namun setelah Jungwon masuk mobil orang tersebut ia jadi sedikit menyesal.

Padahal Jungwon bisa bergurumul selimut hari ini sambil menonton drakor bukan muter muter gak jelas sepanjang jalan. Katanya mau liat WO tapi coba dimana letak tempat WO yang ingin mereka tuju??

“Kak udah setengah jam kita muter muter doang.” ujar Jungwon menyuarakan keluhannya.

Lelaki di sampingnya terkekeh, “Sorry Won gue juga rada lupa.”

Irisnya melebar, makin meringsut deh badan Jungwon sampai letoy. “Yang bener aja?!”

“Seinget gue tuh disini Won.” ujar lelaki itu sambil menunjuk jalan.

Jungwon sudah jengkel setengah mampus, bukan ia yang mau nikah tapi rasanya ia yang stress sendiri. Daritadi kakak tingkat atau ekhem mantannya ini mengajaknya melihat WO dan restoran untuk food testing. Tapi setengah jam hanya muter muter di jalanan yang sama.

“Coba pake gmaps aja deh kak.”

Heeseung mengangguk “Yaudah.” KENAPA GAK DARITADI?? begitu batin Jungwon berteriak.

Kalau bukan pemuda di sampingnya ini lebih tua darinya pasti sudah Jungwon jambak.

Jungwon ini bukan tipe orang yang suka membuang-buang waktu. Jika ia sudah punya rencana akan pergi kemana maka tujuan dan jalannya hanya akan mengarah kesana, gak muter muter seperti ini.

Setelah mengetikan alamat lengkap-yang Heeseung tanya ke calon istrinya.– akhirnya mereka menemukan tempat yang di tuju. Ternyata malah keluar dari jalanan mereka tadi.


“Enak gak Won?” tanya Heeseung pada Jungwon yang sedang mencoba dessert.

“Enak, pas sih menurut ku manisnya gak terlau manis.” jawab Jungwon.

Heeseung mengangguk lagi lalu lanjut membahas makanan yang lain bareng pelayan.

Ada untungnya juga sih Jungwon ikut soalnya dia bisa nyicip-nyicip makanan. Bocah labil emosinya memang suka berubah-ubah.

Oh iya Jungwon emang lagi nemenin Heeseung yang sebentar lagi mau nikah. Kata Heeseung biar nanti dia gak kaget kalau harus ngurus pernikahan gini.

Jungwon juga sudah kenal sama calon istri Heeseung, malahan sekarang mereka temenan akrab. Suka saling ngumbar aib Heeseung juga ngejelek-jelekin Heeseung kalo lagi sama-sama sebel sama si jangkung.

Memang awalnya terasa canggung ketika Heeseung pertama kali memperkenalkan mereka berdua. Jujur saja, Jungwon ini mantan Heeseung lalu memperkenalkan mantannya pada sang pacar pasti bisa bikin keduanya ribut atau bahkan Jungwon juga bisa ikut terseret.

Namun kenyataannya berbanding terbalik, sang pacar memaklumi Heeseung yang terkadang masih bergantung pada Jungwon. Dan Jungwon juga menjadi akrab karena banyak kesamaan di antara ia dan calon istri Heeseung ini.

Mereka bertiga sudah lebih dari tau tentang perasaan masing-masing dan masa lalu.

Jungwon dan Heeseung memang sudah bersahabat sejak lama, makanya ketika putus atau pacaran rasanya sama saja ketika mereka masih menjalin ikatan dalam kata berteman.

Karena itu pula keduanya sama-sama cepat move on. Dan tak ada lagi perasaan apapun selain sayang pada sahabat sendiri. Padahal berita mereka pacaran itu sempat menghebohkan satu kampus.

“Udah kak?” tanya Jungwon melihat Heeseung berjalan ke arahnya.

“Udah. Mamanya Grace mana?”

“Oh tadi tante buru-buru balik katanya ada urusan mendadak. Terus gak sempet bilang ke kak Heeseung.”

“Oh yaudah ayo balik.”

“Kak Hee.” seru Jungwon,

Heeseung menyahuti dengan dagunya yang mengarah ke pintu mobil samping; menyuruh Jungwon masuk terlebih dahulu ke mobil.

“Kenapa?” tanyanya setelah menyalakan mesin mobil.

“Temenin aku ke gramed dulu ya. Kak Heeseung gak sibuk kan abis ini?”

“Enggak kok gue free, sekalian yoshinoya ya.”

Jungwon tersenyum makin lebar, ia mengangguk girang. “Nah gitu dong aku mau banget!”


Kaget adalah satu kata yang menjabarkan Jungwon saat ini. Bagaimana tidak terkejut ketika tak sengaja bertemu gebetanmu di tempat yang tak terduga seperti ini.

Kak Jay ada di sebelahnya yang juga menanyakan hal sama sepertinya pada seorang pelayan. Layaknya sebuah film yang dimainkan skenarionya dengan halus, rasanya kalau mau percaya takdir ini adalah takdir.

Tapi pertanyaan sekarang adalah kaca dimana?? Muka Jungwon tidak terlihat kumel kan?

Baru Jungwon mau membalas sapaan Jay namanya sudah di panggil oleh yang lain. Siapa lagi kalau bukan Heeseung yang sedari tadi bersamanya.

“Udah nemu bukunya?” tanya Heeseung yang kini berdiri di sampingnya.

Jungwon menjawab pertanyaan Heeseung sekenanya sambil melihat si pelayan agar bekerja lebih cepat.

“Kak Jay sendiri?” tanya Jungwon.

“Sama Jake.” jawabnya sambil menggeleng.

Oh sama kak Jake ya... Tuh kan lagi. Perasaan cemburu itu kembali muncul, padahal Jungwon sudah menekankan dalam hatinya bahwa Jake dan Jay memang sangat dekat. Dan tak ada hak untuknya marah atau merasa cemburu.

Tapi siapa sih yang tidak cemburu gebetanmu jalan sama orang lain?

Jungwon tersadar dari lamunannya ketika Heeseung memanggilnya untuk mengikuti si pelayan, ia langsung melangkahkan kakinya lalu berhenti ketika menyadari Jay hanya diam.

“Kak? Gak jadi nyari bukunya?”

“Nanti aja.”

Lalu Jay langsung pergi meninggalkan Jungwon yang menatap punggungnya dengan tatapan sulit di baca.

Jungwon jadi serba salah, mau mengejar tapi ia tak enak oleh pelayan yang tadi sudah menghantarkan mereka. Jadi Jungwon kembali ke tujuan awal, toh ia kesini untuk membeli buku.

Masalah Jay bisa nanti fikirnya.


“Ntar dulu napa bukunya belom ketemu.” ujar Jake sewot.

“Tanya sama pagawainya aja sih.” balas Jay tak kalah sewotnya.

Sekarang Jay sama Jake lagi ada di Gramedia. Sebenarnya Jake sih yang pengen beli buku, Jay cuma nemenin doang. Tapi Jake daritadi lama banget muter-muter mulu bukunya belum juga ketemu.

Jake tersenyum menjengkelkan, “Tanyain..” katanya di balas pelototan tajam dari Jay.

“Umur lo berapa sih anjing?!”

Jay merengut tak habis fikir dengan kawannya ini, sudah besar masih saja pemalu. Tapi tetap saja ia berjalan menuju kasir-tempat pegawai- walau dengan gerutuan panjang setelah Jake yang merengek padanya.

“Mas ada buku krimonologi gak?” / “Mas ada buku tentang kriminologi gak?”

Jay sontak menengok ke sebelahnya yang juga menanyakan hal yang sama bersamaan. Matanya membulat; terkejut akan presensi pemuda mungil di hadapannya, Jungwon.

“Loh Won?”

Baru Jungwon mau membuka suara eksistensinya kembali di panggil oleh pemuda yang lain, kali ini suaranya sedikit ada penekanan dan tidak senyaman cara Jay memanggilnya.

Jay memandang lelaki yang jangkung itu yang kini melangkah ke arah mereka. “Udah nemu bukunya?” tanya lelaki tersebut; Heeseung.

Sang pelayan yang tadi melihat adegan mereka buru buru melihat komputernya setelah di tatap Jungwon dengan sorot mata jengkel. “Belum, lagi di cari.”

“Kak Jay sendiri?” lanjut Jungwon menanyai Jay yang sedari tadi diam menunduk.

Jay menggeleng, “Sama Jake.”

Atmosfer sekitar tiba-tiba berubah. Entah mengapa Jay jadi teringat percakapannya tadi malam bersama Jake soal bang Heeseung. Pemuda yang menjadi mantan gebetannya alias Jungwon.

Ternyata memang masih dekat ya. Jay jadi ciut kalau udah gini, padahal tadinya ia senang bukan main ketika melihat Jungwon berada di satu tempat yang sama. Hampir saja sujud pada Jake karena mengajaknya kesini; tapi setelah melihat presensi lain alias Heeseung, ia jeda sakit hati sendiri.

Jungwon ini... sebenarnya suka juga gak sih sama dia?

“Jay ya? FH angkatan 19 kan?” tanya Heeseung pada Jay. Ternyata bukannya pergi Heeseung masih berdiri di samping Jungwon. Seolah menegaskan dengan siapa ia kemari.

Jay mengangguk, “Iya bang.”

“Kak Ja-”

Belum sempat Jungwon berbicara ucapannya sudah di potong oleh si pelayan. “—Buku nya ada kak.”

“Won ada tuh.” kata Heeseung menyadarkan Jungwon.

Si pelayan keluar dari kasir dan menuntun mereka, Jungwon mengikuti. Selangkah kemudian berhenti melihat Jay yang masih terdiam. “Kak? Gak jadi nyari bukunya?”

Tadi sedengar Jungwon kakak tingkatnya ini juga mencari buku yang sama. “Nanti aja.” kata Jay kemudian pergi meninggalkan Jungwon.

Jungwon jadi serba salah, mau mengejar tapi ia tak enak oleh pelayan yang tadi sudah menghantarkan mereka. Jadi Jungwon kembali ke tujuan awal, toh ia kesini untuk membeli buku.

“Pulang.” kata Jay langsung menarik tangan Jake yang sedang bermain handphone.

“Hah? Apaan?”

“Bukunya gak ada.”

“Masa sih? Tapi tadi kok lo lama banget?”

Jay mendecak, temannya ini kepo banget. “Gua tadi nyari buku lo, gak ada bukunya.” final Jay lalu setelahnya tak menjawab pertanyaan Jake yang lain.

Jake pasrah saja tangannya di geret meski bibirnya tetap berceloteh panjang. Ada yang tak beres dari Jay.


“Ntar dulu napa bukunya belom ketemu.” ujar Jake sewot.

“Tanya sama pagawainya aja sih.” balas Jay tak kalah sewotnya.

Sekarang Jay sama Jake lagi ada di Gramedia. Sebenarnya Jake sih yang pengen beli buku, Jay cuma nemenin doang. Tapi Jake daritadi lama banget muter-muter mulu bukunya belum juga ketemu.

Jake tersenyum menjengkelkan, “Tanyain..” katanya di balas pelototan tajam dari Jay.

“Umur lo berapa sih anjing?!”

Jay merengut tak habis fikir dengan kawannya ini, sudah besar masih saja pemalu. Tapi tetap saja ia berjalan menuju kasir-tempat pegawai- walau dengan gerutuan panjang setelah Jake yang merengek padanya.

“Mas ada buku krimonologi gak?” / “Mas ada buku tentang kriminologi gak?”

Jay sontak menengok ke sebelahnya yang juga menanyakan hal yang sama bersamaan. Matanya membulat; terkejut akan presensi pemuda mungil di hadapannya, Jungwon.

“Loh Won?”

Baru Jungwon mau membuka suara eksistensinya kembali di panggil oleh pemuda yang lain, kali ini suaranya sedikit ada penekanan dan tidak senyaman cara Jay memanggilnya.

Jay memandang lelaki yang jangkung itu yang kini melangkah ke arah mereka. “Udah nemu bukunya?” tanya lelaki tersebut; Heeseung.

Sang pelayan yang tadi melihat adegan mereka buru buru melihat komputernya setelah di tatap Jungwon dengan sorot mata jengkel. “Belum, lagi di cari.”

“Kak Jay sendiri?” lanjut Jungwon menanyai Jay yang sedari tadi diam menunduk.

Jay menggeleng, “Sama Jake.”

Atmosfer sekitar tiba-tiba berubah. Entah mengapa Jay jadi teringat percakapannya tadi malam bersama Jake soal bang Heeseung. Pemuda yang menjadi mantan gebetannya alias Jungwon.

Ternyata memang masih dekat ya. Jay jadi ciut kalau udah gini, padahal tadinya ia senang bukan main ketika melihat Jungwon berada di satu tempat yang sama. Hampir saja sujud pada Jake karena mengajaknya kesini; tapi setelah melihat presensi lain alias Heeseung, ia jeda sakit hati sendiri.

Jungwon ini... sebenarnya suka juga gak sih sama dia?

“Jay ya? FH angkatan 19 kan?” tanya Heeseung pada Jay. Ternyata bukannya pergi Heeseung masih berdiri di samping Jungwon. Seolah menegaskan dengan siapa ia kemari.

Jay mengangguk, “Iya bang.”

“Kak Ja-”

Belum sempat Jungwon berbicara ucapannya sudah di potong oleh si pelayan. “—Buku nya ada kak.”

“Won ada tuh.” kata Heeseung menyadarkan Jungwon.

Si pelayan keluar dari kasir dan menuntun mereka, Jungwon mengikuti. Selangkah kemudian berhenti melihat Jay yang masih terdiam. “Kak? Gak jadi nyari bukunya?”

Tadi sedengar Jungwon kakak tingkatnya ini juga mencari buku yang sama. “Nanti aja.” kata Jay kemudian pergi meninggalkan Jungwon.

Jungwon jadi serba salah, mau mengejar tapi ia tak enak oleh pelayan yang tadi sudah menghantarkan mereka. Jadi Jungwon kembali ke tujuan awal, toh ia kesini untuk membeli buku.

“Pulang.” kata Jay langsung menarik tangan Jake yang sedang bermain handphone.

“Hah? Apaan?”

“Bukunya gak ada.”

“Masa sih? Tapi tadi kok lo lama banget?”

Jay mendecak, temannya ini kepo banget. “Gua tadi nyari buku lo, gak ada bukunya.” final Jay lalu setelahnya tak menjawab pertanyaan Jake yang lain.

Jake pasrah saja tangannya di geret meski bibirnya tetap berceloteh panjang. Ada yang tak beres dari Jay.