Bagi Heeseung, Jaeyun bagaikan matahari yang menyinari ketika sang salju setia turun menutupi jalan bumantara. Heeseung mungkin bisa mati membeku jika Jaeyun tak menyinarinya, memberi kehangatan kedalam relung hati.
Salju dan musim dingin akan selalu menjadi alasan mengapa ia sanggup berjuang, meski dingin menyerang.
Namanya Shim Jaeyun. Air mata yang membanjiri pipinya adalah intensitas pertama yang Heeseung lihat ketika ia bersama regu timnya yang lain menghampiri pemuda itu.
Kala itu usianya 18 tahun dan hanya terpaut satu tahun lebih muda darinya. Dengan seragam yang acak-acakan terbingkai di tubuhnya ia rapuh. Saat pertama kali Heeseung melihatnya adalah pemuda itu yang menangis dengan parau di samping jasad kedua orang tuanya. Meracau mengapa monster jahat tega membunuh mereka.
Jadi Heeseung menghampirinya; dengan perlahan dan tanpa aba-aba mendekap tubuh bergetar itu dalam pelukan hangatnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain membisikan kata-kata penenang. Menyakinkan bahwa ia bersama regu timnya yang lain akan membunuh monster tersebut.
Lalu Heeseung menyakan namanya, “Shim Jaeyun.” Nama yang manis.
Namanya Shim Jaeyun. Usianya 18 tahun ketika Heeseung bertemu kembali untuk yang kedua kalinya dalam keadaan yang sudah lebih baik tentunya.
Kala itu bulir salju masih turun dengan derasnya. Namun pemuda yang kemarin menginap di penampungan tersenyum hangat sembari mengucapkan kata terima kasih atas kejadian tempo lalu.
Suaranya lembut dengan wajah yang tampan dan menawan, rambutnya warna cokelat dan sedikit panjang. Dan senyumnya; senyumnya mampu membawa jutaan kepak sayap kupu-kupu ke dalam hatinya, menggelitik halus. Membangkitkan tawa renyah Heeseung ke permukaan.
Tubuh mungilnya berjalan dengan anggun ke arah Heeseung, membuat yang lebih tua tanpa sadar menarik kurvanya ke arah bersebrangan. Dan ketika untuk yang pertama kalinya Heeseung mendengar tawanya. Ia sudah memutuskan; pada siapa ia akan jatuh cinta.
Namanya Shim Jaeyun, usianya masih 18 tahun. Heeseung masih mengingat dengan jelas bagaimana pemuda itu berlari bersama teman-temannya, guna berlindung dari serangan yang terjadi di Seoul.
Wajahnya masih tampan, suaranya masih sehalus yang ia dengar terakhir kali, dan senyumnya masih mampu membuat pemuda Lee itu tergelitik dengan cara yang tak biasa.
Jaeyun berlari kepadanya dengan sekuat tenaga dan berteriak memanggil namanya; meminta perlindungan Heeseung yang kala itu sedang bertugas di dekat gerbang.
“Heeseung-hyung!”
Heeseung menyukai bagaimana pemuda itu memanggil namanya dengan khas. Dengan suara yang lembut seperti jiwanya terserap, dan terperangkap dalam suara manis itu.
Namanya Shim Jaeyun, usianya akan menginjak 19 tahun kala jam analog menunjukan angka 12 dan Heeseung yang membuat pesta kecil-kecilan di tenda tempat mereka berlindung dari ancaman luar.
Jaeyun tak pernah meminta di belikan apapun padanya, namun Heeseung dengan inisiatif memberikan boneka beruang besar untuknya. Heeseung bilang ia bisa memeluk boneka itu jika saja Heeseung tak ada di sampingnya.
Pemuda itu menyukainya, “Terima kasih, padahal kau tidak perlu repot-repot membelikanku hadiah hyung.” katanya sambil memeluk boneka beruang berwarna cokelat.
Lalu Jungwon datang sembari membawakan kue ulang tahun sederhana. Saat itu teman-teman mereka juga ikut merayakannya, bernyanyi lagu selamat ulang tahun, meski tahu keadaan di luar tak cocok digunakan untuk bersuka cita.
Dapat Heeseung lihat bagaimana mata hazel Jaeyun berbinar penuh kebahagiaan, menunjukan euforia lewat sorot matanya sampai menangis. Perubahan ekpresi dari terkejut hingga senang tak luput dari iris jelaganya, seolah setiap inci dalam wajah pemuda itu adalah lukisan berwarna yang tak boleh ia lewatkan.
Meniup lilinnya dengan gembira, pemuda itu langsung menubrukan dirinya pada Heeseung. Memeluknya erat yang di balas juga sama eratnya.
“Heeseung-hyung, terima kasih. Aku tak menyangka akan ada yang merayakan ulang tahunku.” katanya masih memeluk Heeseung.
Heeseung tersenyum, “Kau berhak mendapatkannya, Jaeyun.”
Dan sejak saat itu, Heeseung berjanji pada diri sendiri untuk terus mendekap pemuda itu, untuk terus menjaganya dari dinginnya dunia, dan tidak akan pernah membiarkan kesedihan menghampiri pemuda mungil ini.
Namanya Shim Jaeyun, usianya sudah 19 tahun. Dalam balutan mantel abu yang melahap torsa dan lengannya, pemuda itu nampak seperti bocah berumur 5 tahun yang berlindung dari dinginnya salju.
Hari itu, tanpa aba-aba Jaeyun menceritakan tentang kejadian apa yang di lihat Heeseung saat pertama kali mereka bertemu.
“Monster itu jahat.” ujar Jaeyun.
Heeseung mengangguk, “Memang.”
Wajah manisnya menengadah ke langit, kumpulan memori terputar bagaikan film yang sedang dimainkan di kepala.
Ia menghela nafas lagi sebelum melanjutkan. “Saat itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku bersembunyi di dalam lemari, dan saat keluar ayah dan ibuku sudah mati di bunuh monster.”
Heeseung meringis, kata-kata mati terdengar menyakitkan meski benar begitu keadaannya.
“Lalu tiba-tiba kau datang, aku fikir kau adalah monster. Tapi ternyata bukan, kau menolongku hyung!”
“Jika kau tidak datang saat itu mungkin saja aku sudah di makan oleh monster yang lain juga.” lanjutnya sambil tersenyum.
Senyum Jaeyun membuatnya ikut terenyuh, “Hei Jaeyun.”
“Ya?”
“Orang tuamu melindungimu dengan berani disana, menjagamu agar kau tetap hidup. Dan sekarang adalah tugasku untuk menggantikan mereka.”
Iris hazel Jaeyun melembut, lebih lembut dan manis dari gulali yang pernah Heeseung makan.
Jaeyun menatapnya, dari sorot matanya Hongseok dapat melihat jutaan kata yang tak bisa terucap ada disana. Namun penuh dengan kekaguman dan rasa terima kasih. “Terima kasih, Hyung.”
Namanya Shim Jaeyun, usianya masih 19 tahun ketika ia berjalan menghampiri Heeseung dengan sebuket bunga—yang ia petik dan rangkai sendiri.— sambil mengucapkan selamat ulang tahun pada yang lebih tua.
Betapa bahagainya Heeseung ketika tahu bahwa pemuda Shim itu ingat tanggal lahirnya bahkan ketika si empu tidak mengingatnya lagi.
“Maaf aku hanya bisa memberikanmu ini, tadinya aku ingin membuat kue. Namun tak ada toko bahan makanan yang buka.”
“Tidak apa, ini sudah lebih dari cukup.”
“Ah, tunggu sebentar!” katanya, kemudian jemarinya mulai mengobrak tasnya mengambil kotak korek api kayu lalu digosokan agar tercipta api kecil.
Heeseung tertawa kecil melihat sikap pemuda dihadapannya.
“Make a wish?”
“Make a wish!”
Heeseung memejamkan mata, kedua tangannya terpaut. Dalam hati ia berdoa semoga musim dingin akan selalu menjadi warna dalam hidupnya dan semoga Jaeyun juga selalu mewarnai hidupnya dalam sisa-sisa tahun kedepan.
Heeseung meniup lilinnya dan saat ia membuka mata ia di sambut oleh senyuman si manis; yang sampai sekarang tetap membuatnya terasa di awang.
Namanya Shim Jaeyun, usianya 19 tahun dan dengan berani ikut terjun ke medan perang bersama Heeseung.
Heeseung melarangnya pada awalnya, berfikir bahwa pemuda itu belum cukup kuat untuk melawan monster atau ia yang takut akan memori kelam pemuda Shim itu kembali.
Namun sepertinya Heeseung salah, saat seluruh ke khawatirannya pada si manis berujung sia-sia karena ia sendiri yang justru terluka. Sibuk untuk mengawasi Jaeyun sampai lupa dimana ia berada.
Jaeyun menghampirinya dengan raut wajah panik berurai air mata; memekik memanggil namanya. Air mukanya sorot akan rasa khawatir ketika melihat pergelangan kaki kiri Heeseung yang terluka.
“Heeseung-hyung kau tidak apa?”
Heeseung masih tersenyum sambil mengusap kepala Jaeyun. Nyeri di pergelangan kakinya masih ia rasakan. Namun rasa sakitnya sedikit berkurang ketika pemuda itu menghampirinya.
“Tidak apa, luka ini biasa bagi prajurit sepertiku.”
Tangisan Jaeyun semakin menjadi, meski begitu tangannya dengan cekatan mengambil kotak obat serta membalut lukanya dengan perban. Heeseung terkekeh, melihat bagaimana pemuda itu mengobatinya meski sambil bercucur air mata. Jaeyun terlihat sangat menggemaskan di matanya. Ah tidak, ia memang selalu menggemaskan.
Heeseung bersyukur, setidaknya di saat seperti ini masih ada Jaeyun yang akan mengobati lukanya. Tidak hanya luka di pergelangan kakinya, namun juga di dalam lubuk hati Heeseung.
Namanya Shim Jaeyun dan usianya masih 19 tahun sampai bulan November nanti. Sambil menatap salju yang terus turun di langit Seoul, sambil bersandar di bahu lebar Heeseung. Malam ini pemuda manis itu terlihat berjuta kali lebih bercahaya dari sebelumnya.
Menatap buliran salju turun di bawah pohon kering yang tak akan lagi tumbuh; berbunga ataupun berdaun. Sambil bersenandung kecil, tangan kecil Jaeyun mencoba untuk menangkap salju yang langsung pecah saat mengenai tangannya.
“Kenapa keluar dari tim?” tanya Jaeyun.
“Kau merusak suasana.” jawab Heeseung.
Jaeyun merotasikan bola matanya, “Kau di butuhkan disana Hyung.”
“Apa gunanya sebuah tim jika tak bisa menghargai yang lain?”
Heeseung memang keluar dari regu tim pengintai, bahkan melepas jabatannya sendiri yang ia dapatkan di usia pemuda. Perlakuan mereka yang mengusik Jaeyun sudah lebih dari cukup sebagai alasannya keluar.
“Hyung, boleh kah bertanya sesuatu?”
“Apapun selain militer, iya.”
“Apa musim favoritmu?” tanyanya.
Heeseung terdiam sejenak, menatap pemuda yang sedikit lebih kecil darinya. “Musim dingin.”
“Kenapa?”
“Karena aku bertemu denganmu.”
“Bagaimana jika kita bertemu di musim yang lain?”
Heeseung mengedikan bahu, “Entahlah, ku fikir apapun musimnya ketika aku bisa bersamamu aku akan selalu menyukainya.”
Jaeyun terkekeh mendengar jawaban yang lebih tua. “Itu menggelikan!” candanya.
Bola mata Heeseung berotasi, “itu memang benar.”
“Hey mau berdansa?” tanya Heeseung.
“Tanpa lagu?”
“Aku akan bernyanyi untukmu.”
Heeseung menarik pinggang ramping Jaeyun, sedang tangan Jaeyun bertumpu di antara kedua bahunya.
“Kaki mu sudah tidak sakit?”
Heeseung menggeleng. Mulai menyanyikan lagu as the world caves in milik Matt Maltese dengan Jaeyun di kukuhannya yang menikmati. Dengan balutan syal dan mantel tebal, juga kaki mereka yang beberapa kali saling menginjak, Heeseung merasa hangat meski salju masih turun disana.
Lalu perlahan nyanyian Heeseung semakin memudar terbawa angin, dan perinci memotong sekat di antara mereka. Dan bagai magnet yang saling tarik menarik, ketika hidung mereka saling bergesekan Heeseung dapat dengan jelas merasakan bagaimana bibirnya menyicip bibir manis yang lebih muda. Menghantarkan afeksi dalam diam.
Ini pertama kalinya Heeseung menciumnya. Ciuman itu halus, sangat halus hingga rasanya jika Heeseung bergerak salah sedikit ia bisa merusak kehalusan itu. Rasanya manis. Dan juga lembut.
Heeseung menangkup wajahnya, di tatapnya iris hazel yang selalu menjadi favoritenya. Sembari tersenyum lembut, dengan pandangan teduh Heeseung berkata. “Seharusnya ku lakukan dari dulu.”
“Seharusnya kita melakukannya dari dulu.” balas Jaeyun.
Heeseung terkekeh, kemudian mengecupnya sekali lagi.
Namanya Shim Jaeyun, usianya 19 tahun dan kini sudah genap setahun pula Heeseung menemani hari hari pemuda ini.
Musim salju masih berlangsung begitu lama, suara tembakan di luar masih tetap terdengar. Begitu memekikan namun terasa menjadi biasa seperti santapan sehari-hari.
Jaeyun masih setia memeluk Heeseung, menempel bagai koala yang tak bisa jauh dari induknya. Mencari kehangatan di tubuh pemuda jangkung yang kini merangkap sebagai kekasihnya.
“Jika kau memelukku sekencang ini lebih lama lagi mungkin tulangku akan patah.”
“Salahkan saja salju ini kenapa begitu dingin! aku harus memelukmu agar tetap hangat.”
“Ku rasa kau sedang mencari kesempatan dalam kesempitan Jaeyun-sii.”
Tawa Jaeyun menguar, tak menyangkal omongan pemuda Lee itu namun tetap bergelayut manja di lengan Heeseung.
“Omong-omong berapa lama lagi kita sampai?”
Rumah yang mereka tinggali minggu lalu sudah tak layak huni, selain karena monster-monster sudah banyak menyerang, persediaan obat dan makanan juga semakin menipis. Dan sekarang mereka akan pergi ke rumah Sunoo dan Ni-ki yang dengan sukarela akan menampung mereka.
“Kau lelah?” tanya Heeseung.
Jaeyun mengangguk, “Sedikit.”
“Tempatnya sudah tak jauh lagi, mau ku gendong?”
“Tidak perlu, aku masih kuat kok.”
“Kau yakin?”
“Ya!”
“Tidak ingin ku gendong?”
“Hei tuan Lee, aku tau kau kuat tapi bukan berarti kau bisa seenak itu menggendongku!” serunya sambil menukik alis dan bibirnya mengerucut.
Yang di kata begitu justru tertawa gemas melihatnya, maka ia mendekatkan diri dan mengecup bibir pemuda itu sebelum di pelototi.
Baiklah mereka memang saling mencuri kesempatan dalam kesempitan saat ini.
Namanya Shim Jaeyun, minggu depan usianya akan berganti menjadi 20 tahun. Semakin lama semakin menyusul Heeseung.
Wajahnya masih tampan berseri, tawanya masih khas, dan senyumnya masih semanis dulu. Dan akan selalu manis selama-lamanya.
Mungkin pula musim dingin masih menjadi favoritenya, atau mungkin tidak lagi. Karena pemuda Shim itu mulai merindukan musim panas tatkala sinar mentari menyoroti kulitnya, menghadirkan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh.
Pemuda itu masih tersenyum manis, meskipun ia hanya bisa terkulai lemas di atas tempat tidur. Karena penyakit perlahan menggerogoti tubuhnya.
Pipinya yang dulu setebal mochi kini perlahan terlihat semakin tirus. Namun biar begitu Heeseung masih menyukainya, dan akan selalu menyukai Jaeyun entah apapun bentuk Jaeyun.
Disini, di rumah tempat mereka berlindung dari bahaya di luar. Lee Heeseung masih tetap berada di sisi Jaeyun, menemaninya dan terus menghangatkannya.
“Heeseung hyung.”
“Ya?”
“Menurutmu, kapan salju akan berakhir?”
Heeseung mengedikan bahu tak tahu, ia mengelus kepala Jaeyun. “Kau tidak lagi menyukai salju?”
Jaeyun menggeleng, “Aku menyukainya, hanya ketika bersamamu.”
“Aku tidak tahu kapan salju akan berakhir. Namun jika begitu, aku akan tetap bersamamu.”
“Ya, tetaplah bersamaku hyung.”
Namanya Shim Jaeyun, usianya akan 20 tahun dalam beberapa jam lagi. Tubuh Jaeyun kian lama kian melemas, namun ia tetap bertahan sekuat tenaga. Dengan berani melawan penyakitnya.
“Kira-kira,” Jaeyun menjilat bibirnya, “Kira-kira, apa yang sedang di lakukan kedua orang tuaku?” tanyanya.
“Menatapmu dari langit.” jawab Hongseok.
Jaeyun terkekeh suaranya parau terdengar di telinga. “terasa romantis.”
“Heeseung hyung.” panggilnya yang mengirimkan jutaan rasa bergejolak seperti bulan-bulan sebelumnya.
“Ya Jaeyun?”
“Bagaimana jika aku yang menatapmu dari langit?”
Dada Heeseung bergetar; jantungnya terpompa cepat dan lidahnya mulai terasa keluh. “Jangan berbicara yang aneh-aneh.”
Jaeyun bergeming, tangan dinginnya menyentuh halus tangan hangat Heeseung. Heeseung membalasnya dengan mengenggam tangan sang adam, membiarkan hangatnya menjalar sampai ke permukaan.
“Heeseung hyung.” panggil Jaeyun lagi.
“Ya Jaeyun? aku disini.” jawab Heeseung.
“Sebentar lagi ulang tahunku, bisakah kau bernyanyi untukku?”
Heeseung tersenyum, di kecupnya kening yang lebih muda. “Tentu saja.”
“Ayo sambil berdansa.” sambung Heeseung.
“Tubuhku sudah tidak kuat jika harus di gunakan berdansa hyung.”
“Tidak apa, aku akan menahannya.”
Heeseung membangunkan tubuh Jaeyun yang sudah seringan kapas dengan perlahan, di dekapnya erat agar sang kekasih tidak terjatuh. Dengan hati-hati menuntunnya, melangkah perlahan demi perlahan.
Pemandangannya masih sama seperti saat mereka pertama kali berdansa. Salju tetap turun dari balik jendela, seolah ikut andil dalam pergerakan kecil mereka.
My feet are aching
And your back is pretty tired
And we've drunk a couple bottles, babe
And set our grief aside
The papers say it's doomsday
The button has been pressed
We're gonna nuke each other up boys
'Til old Satan stands impressed
Tangan Jaeyun semakin dingin dirasa, namun biar begitu Heeseung tetap mendekapnya erat. Jika boleh, ia ingin sakit di sekujur tubuh Jaeyun berganti ke tubuhnya agar pemuda ini tak lagi kedinginan.
And here it is, our final night alive
And as the earth runs to the ground
Dapat Heeseung lihat kekasihnya yang tersenyum padanya, matanya terpejam sambil menikmati suara Heeseung yang mengalun di ruangan. Kepalanya bersender pada dada Heeseung; mendengar bagaimana jantungnya berdetak kencang dan selalu berdetak untuknya. Sama seperti bulan-bulan lalu.
Oh boy, it's you that I lie with
As the atom bomb locks in
Oh, it's you I watch TV with
As the world, as the world caves in
Dan nyanyian itu selesai. Bertepatan dengan jarum jam yang menunjukan angka 12, juga bertepatan dengan tubuh Jaeyun yang semakin mendingin. Memejam matanya sambil tersenyum manis, lalu terkulai lemah di bahunya.
Heeseung memapah tubuh ringan Jaeyun, dipeluknya sang kekasih yang mungkin kini tak akan lagi bisa merasakan pelukan hangatnya.
Tubuhnya bergetar, nafasnya berderu hebat, jantungnya berdetak tak karuan dan ketika setetes bulir air mata keluar dari tempatnya. Heeseung runtuh.
Tangisnya menggema memenuhi ruangan yang hanya ada mereka berdua disini.
Ia terkulai lemas, air mata terus turun membajiri sedang nafasnya mulai terasa sesak. Ia masih memeluk kekasihnya, meski kulit sang kekasih sudah sangat dingin ia masih memeluknya.
Mendekapnya; berharap jika ia memberikan kehangatan sedikit, pemuda itu akan terbangun.
Namun detik menyulam menjadi menit sampai jam dan Jaeyun tetap setia dalam pendiriannya untuk memejamkan mata.
Dengan bibir bergetar Heeseung berkata. “Selamat ulang tahun, my Jaeyun.”
musim dingin dan salju akan selalu menjadi musim favorit seorang Lee Heeseung karena dapat bertemu dengan Shim Jaeyun. Juga menjadi musim yang ia benci karena telah merengut sang kekasih.
“Hei Jaeyun, lama tak berjumpa.”
“Hyung? Kenapa kau disini?”
“Kau tahu, salju di musim dingin tak lagi terlihat indah ketika kau hanya memandangnya sendirian.”
Jaeyun tersenyum getir, di peluknya pemuda yang lebih tua dengan erat.
“Aku mencintaimu, maaf karena tak pernah mengucapkannya.”
Heeseung membalas pelukan itu dengan sama eratnya, dengan banyaknya kerinduan yang terkumpul.
“Aku juga mencintaimu. Sangat dan akan selalu mencintaimu.”
namun, salju dan musim dingin pula yang akan selalu menjadi awal dan akhir dari kisah panjang penuh kasih sayang seorang Lee Heeseung dan Shim Jaeyun.