hwoneboom


Jay sampai di rumah Jungwon dengan menggunakan gojek, tadi setelah mengetahui jarak rumah Jungwon yang lumayan jauh dari rumahnya ia lebih memilih menghemat tenaga dengan menaiki gojek. Toh nanti kan ia jogging juga jadi harus simpan tenaga dulu.

Bel rumah Jungwon di pencet sekali sebelum si empu rumah membuka pintu dengan senyum cerah terpatri di wajahnya, yang pasti juga menular bagi siapapun yang melihat; Jay.

“Kak Jay!” sapa Jungwon riang.

Padahal tadi Jungwon sedang merengut di sofa karena Sunoo yang membatalkan rencana mereka sepihak-atau rencana jungwon saja.– tapi setelah si kakak tingkat datang malah senyum kegirangan.

Ah efek dopamin dari perasaan jatuh cinta segini kuatnya ya.

“Hei Won, ayo!” ajak Jay.

Mereka mulai melangkah meninggalkan perkarangan rumah Jungwon sembari berlari kecil. Jungwon yang memimpin, ia tak ingin salah jalan yang berujung sesal.

“Kak Jay sebelumnya udah pernah jogging di daerah kampus?” Jungwon mulai membangun topik duluan.

Jay menggeleng, “Gak pernah, biasanya gua ikut cfd di menteng bareng Jake.”

“Jauh dong?”

“Lumayan sih. Lo sendiri? Udah sering gini?”

Jungwon manggut-manggut, “Hampir setiap sabtu sih kak, biasanya bareng Sunoo.”

Jungwon kembali sebal bibirnya di kerucutkan alisnya menukik seperti merajuk. Tapi di mata Jay justru terlihat menggemaskan.

“Jangan sedih dong kan ada gua yang gantiin.”

Lalu wajah Jungwon bersemu merah; yang langsung di hadiahi kekehan ringan dari yang lebih tua.

“Mau lomba gak? Yang duluan sampe mang emon harus di traktir sama yang kalah?” tawar Jay menaik turunkan alisnya.

Mata Jungwon berbinar, sorotan tak mau kalah terpancar dari iris hazelnya. “Siapa takut?” tantang Jungwon dengan ancang-ancang siap lari.

Jay terkekeh, “Oke. 1... 2... 3.. Ayoo!!” teriak Jay lari menuju tempat bubur ayam dan Jungwon yang ikut lari mengerjarnya.


“Kak lo tipe orang yang bubur di aduk atau gak di aduk?” tanya Jungwon ketika bubur pesenan mereka jadi.

“Gua biasanya di seruput Won.” jawab Jay asal.

Namun tawa langsung menguar dari bibir ranum si mungil. Padahal candaan Jay terbilang garing.

Setelah melakukan lari estafet dari rumah Jungwon ke tempat bubur ayam akhirnya mereka sampai juga dengan nafas tersenggal-senggal seperti habis di kejar setan.

Malah tadi hampir di siram air sama si penjual, takutnya beneran di kejar setan. Yang di balas dengan rentetan kalimat realitas dari Jay, “mana ada setan pagi pagi gini sih mang? emang setannya mau jogging juga?”

Jungwon menang. Tentu saja dengan unsur kesengajaan Jay yang berhenti di tengah jalan. Memang begitu rencananya; sengaja traktir Jungwon jadi kalau mau ketemu lagi bilang saja Jungwon harus mentraktirnya balik. Modus basi sih.

Setelah makanan kelar bukannya langsung pulang Jay sama Jungwon ngeteh santai dulu sekalian nunggu siang. Sayang katanya kalau pulang jam segini, padahal mah pengen menghabiskan waktu lebih lama aja.

“Eh Won gua jadi inget dah pas pertama kali liat lo.”

“Inget apa kak?”

“Lo yang waktu itu marah marah di ukm musik gara-gara proposal belom kelar dan poster juga belom ada yang design kan?”

Jungwon menutup mukanya mukanya dengan telapak tangannya, malu cuy!! ternyata kak Jay pernah liat dia lagi ngomel ngomel, padahal ia bukan ketua dan dia juga hanya mengerjakan tugas bagiannya saja.

Jungwon tertawa canggung, “Hahaha iya itu...” masih tutup muka.

Jay tertawa melihatnya, pemuda di hadapannya kini terlihat menciut kontras dengan hoodie kebesaran yang ia kenakan. Justru membuatnya terlihat semakin kecil dan menggemaskan.

Baru mau buka suara ponsel Jay bergetar, nama Jake tertera di layar ponselnya.

“Sebentar ya.” katanya pada Jungwon lalu duduk menjauh.

Sambil menunggu Jungwon ngechat sobat karibnya dulu alias Sunoo. Dia udah bilang kalau lagi jogging sama kak Jay, sekarang kayanya Sunoo lagi otw kesini. Katanya mau memberi nasihat pada kak Jay kalau-kalau mau mendekati Jungwon.

Gak berapa lama Jay balik lagi.

“Kak kayanya temen ku mau ke sini deh.”

“Oh iya? Temen lo yang gak jadi jogging tadi?”

“Iya, namanya Sunoo.”

Jay mengangguk, duduk lagi di samping Jungwon. Sama sama main handphone karena bingung mau ngomong apa lagi. Jay lagi degdegan setengah mampus Jungwonnya santai buka twitter. Sampai dia terhenti di salah satu postingan mutualnya; kak Jake.

“Wahh kak Jake ikut lomba Arthography itu?” tanyanya lebih seperti kagum.

“Iyaa, padahal drama banget tuh dia gak mau ikut karena portrait eh ujungnya ikut juga.”

“Loh kenapa? Padahal potretan dia bagus loh, aku suka liat di feed ignya. Portrait bukannya lebih gampang ya?”

Jay mengedikan bahu, “Nolep dia tuh asli, sebenernya kalo mau dia bisa aja motret semua orang dengan gaya portrait. Tapi anaknya malah pemalu.”

Sambil meneguk tehnya Jay melanjutkan, “Kemaren ngambek sama gua karena gak mau jadi modelnya.”

Mata Jungwon melebar, “Ku kira kakak yang bakal jadi modelnya.”

“Enggak. Gua gak suka di foto foto gitu.” katanya menggeleng.

Jungwon manggut-manggut, dari pernyataan pemuda di sampingnya ini ternyata lebih dekat dengan Jake daripada yang ia kira. Ada sedikit rasa cemburu yang menggerogoti relung hati, tapi memangnya Jungwon siapa yang berhak cemburu.

Terdiam sebentar sebelum rungu keduanya mendengar suara cempreng yang berteriak heboh.

Jungwon sudah malu kepingin lari ketika dengan jelas mengenali pemilik suara tersebut. Jay di sebelahnya malah berbalik badan; melihat siapa yang datang.

“JUNGWOONN!!” seruan heboh dari Sunoo menarik atensi semua pengunjung.

Di sebelah pemuda kecil itu yang lebih tinggi menahan bahunya agar tak segera berlari menyerang sang sahabat. Tangan Sunoo direntangkan sudah ancang-ancang ingin berlari.

Namun selangkah sebelum Sunoo dapat memeluk Jungwon dengan erat,,

BRUKK!

Kakinya kesandung batu sampai jatuh.

Bubur Ayam Dan Jungwon


“Hoon...” Jake membulatkan matanya, beberapa kali ia megerjap jikalau salah membaca teks yang ada di handphonenya.

Bukannya memberi pernyataan apapun Sunghoon malah mengeluarkan sesuatu dari sakunya; sebuah gelang terpampang di depannya, Jake menaruh tanya pada Sunghoon lewat sorot mata.

“Maaf kalau waktunya gak tepat gue gak tau nanti kita bisa bertemu lagi atau enggak. Tapi selagi gua masih bisa jalan sama lo, gua mau ungkapin ini.”

Sunghoon mengambil nafas dalam dalam, degup jantungnya dapat ia rasakan dengan hebat hampir saja ingin kabur ketika mendapati ekspresi Jake yang masih penuh tanya. Tapi ia tak bisa mundur lagi, ia juga harus maju.

“Jake... lo tau saat kita satu gugus pas ospek?” tanya Sunghoon.

Jake mengangguk. Sunghoon melanjutkan bicaranya. “Waktu itu lo dateng ke gue pas mau pulang, bawain sebotol air minum karena lo kira gue belum minum apapun dari pagi. Well, lo rada salah tapi gua tetap neguk habis minuman itu.”

“Pas tau minuman lo habis bukannya marah lo malah tersenyum sambil bilang, “lo capek banget ya pasti? pulang nanti langsung istirahat ya.” Gua kaget.”

“Gua tanya kenapa lo baik banget? padahal gua gak sama sekali menegur lo, terus jawaban lo “karna lo temen gugus gua.” jawaban yang simple emang, tapi berhasil bikin gua mikirin lo tanpa henti—”

”—waktu itu gua jadi mikir seberapa baiknya lo. Gua yang cuma temen segugus selama seminggu tapi lo udah sebaik itu, gimana kalo gua jadi temen deket lo? gimana kalo gua jadi sahabat lo? atau bahkan gimana kalo gua jadi pacar lo?... gua gak biasa bertemu orang sebaik lo Jake, makanya saat ketemu lo tanpa sadar gua udah jatuh cinta sama lo.”

“Tapi sayangnya itu adalah hari terakhir kita ospek, dan gua terlalu takut untuk sekedar menyapa lo padahal gua selalu memandangi lo dari jauh. Maaf Jake, gua gak seberani lo dulu dan lebih memilih memendam perasaan gua sendiri.” Tukas Sunghoon.

Jake tak menjawab, otaknya masih merespon runtutan kata dari Sunghoon yang terlalu mengejutkan.

Sedangkan Sunghoon di depannya sudah gelisah, mungkin saja Jake tak menyukainya balik. Mungkin itu hanyalah cara Jake memperlakukan orang lain dengan sama baiknya, ia hanya geer.

“Gua tau lo masih speechless kalo lo gak ja-”

Jake memotong perkataan Sunghoon. “Iya.”

“Hah?”

“Iya, gua juga suka sama lo malah dari awal kita ospek.”

“Jake...?”

“Lucu ya? Gua selama ini selalu ngehindarin lo karena gua kira lo gak bakal suka balik sama gua.”

“Tapi kenyatannya gua suka lo.”

Jake mengangguk sembari mengaduk-aduk minuman di depannya. Ia terkekeh merasa lucu bagaimana semesta bermain dalam lingkup asmaranya.

Jake yang selalu menghindar dan Sunghoon yang takut melangkah. Padahal keduanya tahu kemana perasaan masing masing melabuh.

“So... lo juga suka sama gua, jadi kita jadian?” tanya Sunghoon memastikan.

“Rasanya gua di kasih serangan bertubi tubi hari ini, but yes. I'm your boyfriend now.”

Tak ada lagi hal di dunia yang dapat membuat senyum Sunghoon mengembang selebar ini juga kepakan sayap kupu-kupu yang berterbangan di perutnya menghantarkan ia pada euforia kebahagiaan tak terhenti.

Begitu sebaliknya pada Jake. Padahal tadi siang ia menangis sesegukan di pundak pemuda ini, tapi siapa sangka pemuda ini juga yang menghadirkan senyum di bibirnya.

Sekali lagi, terima kasih Sunghoon.


Sunghoon mengedarkan pandangannya ke penjuru aula; mencari sosok mungil yang akhir-akhir ini mengisi fikirannya.

Lomba telah usai sejak 20 menit yang lalu, hasilnya telah di umumkan dan yang memenangkannya bukanlah pemuda manis yang kemarin memotretnya di bibir pantai. Melainkan seorang gadis bersuai merah dari ranah teknik sipil.

Sunghoon tahu betul pemuda yang kini menghilang itu pasti sedih karena menerima kekalahan pertamanya. Terlebih setelah ia dengan susah payah membangun kepercayaan dirinya.

Maka ketika tak mendapatkan atensi pemuda itu di sepunjuru aula Sunghoon semakin panik. Kemungkinan terburuk menjadi satu-satunya hal yang terfikirkan ketika sedang dilanda panik.

From Jay

Jake ada di lab tekkom A1

Sunghoon melebarkan bola matanya ketika melihat sebuah pesan dari Jay; tadi ia sempat menanyakan keberadaan Jake ke kawannya itu.

Ia melangkah dengan lebar sedikit terburu-buru dan masih khawatir karena buat apa Jake pergi ke gedung yang bukan fakultasnya. Beruntung jarak dari aula ke lab tekkom A1 tidak begitu jauh.


“Jake?” panggil Sunghoon.

Jake menoleh, di tangannya segelas es kopi di genggam. Sunghoon menghela nafas lega setidaknya kondisi Jake tidak seperti dugaannya dan jauh lebih baik.

Tapi apakah iya?

“Lo kemana? Gua chat daritadi gak di bales, di aula juga gak ada.” tanpa sadar Sunghoon meninggikan suaranya.

“Eh? tadi gua mau beli ini.” balas Jake memperlihat kopi yang ia genggam.

Sunghoon mendudukan diri di sebelah Jake, menghela nafasnya, “Sorry, gua minta maaf ngebentak lo.”

Jake hanya menggeleng sambil sesekali meminum kopinya, handphone yang ia genggam sengaja di silent agar tak ada pertanyaan yang membuat sakit hati.

“Lo gapapa?”

Jake menatapnya, segurat senyum simpul terpatri di wajahnya. “Bohong kalau gua bilang gapapa, hoon.”

Lalu setelahnya hanya ada bisu jua Sunghoon yang langsung menyesali pertanyaannya. Ia justru terjerat dalam sunyi dan bingung harus berkata apa lagi; takut jika ia melukai hati si manis lagi dengan pertanyaan bodohnya.

Detik perlahan menyulam menjadi menit, dua anak manusia yang masih berlalu dalam fikirannya masing masing menatap lurus dengan bayang bayang yang berbeda. Bahkan samar suara dari sekitar tak di hiraukan, seolah terjebak di dalam bongkahan es tanpa tau mesti bergerak kemana.

Dan perlahan tapi pasti bongkahan es itu mencair tepat ketika Jake berkata, “Gue boleh nangis gak?”

Maka dengan yakin Sunghoon mengangguk, “Boleh.” Dan membiarkan bahunya basah oleh air mata Jake.

Detik selanjutnya hanya lah suara Jake yang terisak dengan pelan, dan tangan Sunghoon perlahan mencapai bahu Jake menariknya perlahan ke dalam pelukan hangat yang melindunginya.

“Gapapa Jake, nangis aja if this make you better.”

Lalu tangisan Jake semakin menjadi keras kala itu dan pundak Sunghoon yang juga semakin kokoh untuk menampungnya.

Sebenarnya untuk melihat Jake yang menangis dengan di pundak Sunghoon seperti ini membuat dadanya berdenyut. Tak di pungkiri bahwa ia juga ikut merasakan sedihnya Jake hanya dari isakan kecil itu; apalagi ketika Jake mulai meracau jika ia gagal.

Rasanya ingin sekali ia berteriak bahwa Jake tak pernah gagal, bahwa ia tak kalah namun yang Jake butuhkan saat ini bukan lah motivasi. Melainkan cinta kasih.

Dan sejujurnya Jake telah menang. Ia telah menang dalam setiap usaha yang ia torehkan dalam peluh jua memenangkan hati Sunghoon sedari lama.

Bagaimanapun Jake adalah pemenang dan selalu menjadi si pemenang.


Debur ombak pantai adalah yang pertama kali menyambut mereka datang.

Iris jelaga Jake yang tadinya sudah mengantuk karena perjalanan lama, kini kembali terbuka lebar selebar kurva di bibirnya yang menarik dari ujung keujung.

Kaki kakinya melangkah menuju bibir pantai, tak sadar jika pemuda yang tadi bersamanya memandang ia dengan lekat.

“Wahh...” Jake terhanyut dengan euphoria pantai rupanya. Ia sampai menutup mata dan merentangkan tangannya seperti dalam film filim roman yang sering ia tonton.

Bedanya adegan berciuman di pantai harus dihapuskan di kehidupan nyata.

“Jake?” panggil Sunghoon pelan.

Jake berbalik mengigit bibirnya karena ia malu sudah bertingkah aneh di depan gebetannya sendiri.

“Sorry..” katanya dengan giggles.

Sunghoon terkekeh, mengacak surai kelam nan lembut Jake. “Lo lucu banget sih.”

Sang empu yang di puji begitu mendadak salah tingkah, bibir bawahnya kembali jadi pelampiasan karena di gigitin. Tak mau larut dalam debar jantungnya sendiri, ia langsung berfokus pada kamera yang sedari tadi di kalungkan.

“Thanks, i guess.” katanya melirik Sunghoon lalu lanjut mengutak-atik kameranya.

Hanya lirikan kecil namun ternyata efeknya cukup parah di terima Sunghoon. Menghantarkan jutaan volt yang menyerangnya dan kini justru ia yang mati kutu.

Aduh.

“My pleasure.” balasnya tetap mencoba tenang.

Jake lalu mengarahkan Sunghoon ke dekat pantai. Karena temanya di pantai jadi ia ingin ada sentuhan air. Sebelumnya sudah meminta persutujuan Sunghoon dan pemuda itu tak masalah jika harus basah basahan saat ini.

Sunghoon langsung menyeburkan diri ke air yang di barengi jeritan Jake karena ia belum mengintrusikan apa-apa. Namun sudah terlanjur basah, yasudahlah potret saja sekalian.

“Gue harus pose gimana?” tanya Sunghoon.

“Terserah, gaya natural aja.” balas Jake.

Sunghoon lalu kembali berdiri di bibir pantai, memasukan tangannya ke dalam saku dan menghadap kamera.

Jake membidikan kameranya tepat ke arah Sunghoon. Kembali di buat takjub dengan proporsi tubuh Sunghoon dan kepiawaiannya dalam mengatur ekspresi wajah juga gestur tubuh.

Sunghoon dengan kemeja putihnya yang agak lepek karena terkena air justru membuatnya tampak sejuta kali lebih tampan dan bercahaya di bawah sinar mentari. Oh jangan lupakan rambutnya yang basah dan badannya sedikit tercetak menghantarkannya pada pemikiran lain yang langsung ia sangkal.

Jake meneguk ludahnya susah payah, tersadar sudah terjerat dengan fantasi liarnya. Ia menggeleng ribut lalu mulai serius memotret Sunghoon.

Walaupun beberapa kali tetap kehilangan fokus.


Senja mulai menampakan jiwanya. Jake dan Sunghoon terduduk sembari menikmati cahaya yang diberikan oleh sang surya sebelum ia bertukar shift dengan sang bulan yang sudah menanti di ufuk barat.

Sunghoon sedang melihat hasil potretannya di kamera Jake. Ia beberapa kali berdecak kagum dan memuji hasil potretan Jake.

“Harusnya makasih karena muka lo ganteng.” kata Jake berterus terang.

Sunghoon tergugup langsung. Walaupun pujian seperti ini sudah sering ia dapatkan, namun mendengarnya terujar dari bibir pemuda manis ini rasanya berbeda.

“Enggak lah, ini karena lo jago ngambil foto.” ucap Sunghoon.

“Makasih ya udah bantuin gua, maaf juga karena baju lo jadi basah.”

“Ngapain?”

“Hah?”

Sunghoon terkekeh, “Lo tuh sering banget hah hoh hah hoh kaya tukang keong ya?” “Sini!” sambungnya sembari berdiri.

Jake bangun mengikuti Sunghoon yang berjalan semakin masuk ke pantai. “Ngapain?” tanyanya.

Sekilas jenaka terpancar dari iris Sunghoon, Jake sudah ingin kabur karena tau apa yang di rencanakan pemuda itu. Namun rupanya ia kalah cepat karena sepersekon kemudian bajunya sudah basah terkena air.

“SUNGHOON!?!?” rengek Jake mendapati bajunya basah.

“Biar impas.” kata Sunghoon kembali menyerang.

Pemuda manis yang tak terima karena di siram justru menyipratkan kembali Sunghoon dengan air yang besar.

Dirinya beberapa kali terpleset karena tak seimbang. Sunghoon yang melihatnya malah tertawa tanpa ada niat membantu sama sekali.

Jake yang melihat itu menggerutu lantas mengejar Sunghoon yang lari sambil masih tertawa.

Peduli apa dengan bajunya yang kini basah, ataupun pasir pantai yang terkena tetesan air. Dua anak manusia itu kini justru tertawa bersama, saling menyerukan nama satu sama lain sembari masih berlari kesana kemari.

Senja yang ada di ujung laut sama sekali tak di perhatikan atensinya. Kini malah menjadi saksi bisu bagaimana dua anak manusia saling menguar tawa di udara. Yang semula bahkan hanya tahu nama tanpa mengenal rupa, kini justru berbagi canda dengan berbagai perasaan.


Jake menunggu di gerbang kampus sesuai dengan yang di janjikan. Angin sepoi-sepoi saat sore hari cukup di nikmati selagi ia menunggu kedatangan Sunghoon.

Netranya bergulir mencari sosok pemuda tinggi itu. Ia memegang kameranya erat, merasakan jantungnya bekerja dua kali lebih cepat karena gugup dan semakin bertambah cepat seiring Sunghoon berjalan ke arahnya.

“Jake? Sorry udah nunggu lama ya?”

Jake menggeleng sedikit menetralkan detak jantungnya dulu. “Enggak kok gua juga gak lama.”

“Oke kalau gitu ambil mobil dulu ya? Gua markir di parkiran belakang.”

Pemuda yang lebih mungil beberapa senti dari Sunghoon bukannya menjawab ia justru memiringkan kepalanya, sedikit mengintip keadaan di dalam kampus karena ia berdiri di samping tembok.

Rame. Suasana di dalam cukup rame walaupun sudah sore hari.

Jarak parkiran belakang dan gerbang utama cukup jauh. Yang pasti ia melewati beberapa gedung dulu baru sampai dan dengan berjalan kaki.

Astaga baru di bayangkan saja sudah terasa seberapa pegalnya.

Sunghoon terkekeh, “Kalo lo gak mau, bisa tunggu disitu.” ia menunjuk stand gado-gado yang berada seberang jalan.

Mendapati ekspresi Jake yang seperti sedang menonton film horror. Pastinya pemuda itu capek kalo harus di ajak jalan kaki walau hanya ke parkiran belakang.

Jake menggeleng ribut tetap ingin jalan bareng walaupun konsekuensinya ia harus mendapati bising kendaraan di dalam kampus dan pegal kaki. Gak enak fikirnya.

“Oke kalau lo maksa,” Sunghoon terkekeh sembari mengusak surai halus Jake, “Ayo.” lanjutnya kemudian menggandeng tangan Jake.

Kayanya Jake gak bakal cuci tangan abis ini.


“Kita mau kemana?” tanya Sunghoon sembari menyalakan mesin mobil.

Jake menghela nafas, “Sebenernya gua belom nentuin tempatnya dimana.”

Tadi ia terlalu excited karena akan bertemu Sunghoon sampai lupa tujuan awal mereka bertemu.

“Di pantai aja gimana?”

“Pantai ya..? Boleh deh.”

Segurat senyum terpatri di wajah Sunghoon, sangat tipis sampai hanya ia yang merasakannya.

Jake di sebelahnya langsung sibuk searching tempat pantai yang sekiranya tidak terlalu ramai hari ini. Ia tidak suka keramaian, apalagi saat ia sedang bekerja.

“Disini gimana Hoon?” tanya Jake.

Sunghoon melihat sekilas ke arah layar handphone yang menunjukan foto pantai, ia mengangguk. “Boleh, gua tau jalan kesana.”

Mata Jake berbinar ia tersenyum simpul dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Baru sadar kalau sedari tadi duduk dengan tegak karena ada di dalam mobil pujaan hatinya sejak ospek.

“Nyalain radio dong Jake—”

”-Di sambungin spotify lu aja, disitu gak ada lagu.” Lanjut Sunghoon kala jari Jake sudah siap menekan tombol on.

Tanpa banyak bicara Jake menghubungkan kabel radio ke handphonenya dan langsung memencat shuffle di playlist miliknya.

Lalu yang terdengar setelahnya adalah lantunan lagu bertajuk it's not living milik The 1975 menemani perjalanan mereka.


Debur ombak pantai adalah yang pertama kali menyambut mereka datang.

Iris jelaga Jake yang tadinya sudah mengantuk karena perjalanan lama, kini kembali terbuka lebar selebar kurva di bibirnya yang menarik dari ujung keujung.

Kaki kakinya melangkah menuju bibir pantai, tak sadar jika pemuda yang tadi bersamanya memandang ia dengan lekat.

“Wahh...” Jake terhanyut dengan euphoria pantai rupanya. Ia sampai menutup mata dan merentangkan tangannya seperti dalam film filim roman yang sering ia tonton.

Bedanya adegan berciuman di pantai harus dihapuskan di kehidupan nyata.

“Jake?” panggil Sunghoon pelan.

Jake berbalik mengigit bibirnya karena ia malu sudah bertingkah aneh di depan gebetannya sendiri.

“Sorry..” katanya dengan giggles.

Sunghoon terkekeh, mengacak surai kelam nan lembut Jake. “Lo lucu banget sih.”

Sang empu yang di puji begitu mendadak salah tingkah, bibir bawahnya kembali jadi pelampiasan karena di gigitin. Tak mau larut dalam debar jantungnya sendiri, ia langsung berfokus pada kamera yang sedari tadi di kalungkan.

“Thanks, i guess.” katanya melirik Sunghoon lalu lanjut mengutak-atik kameranya.

Hanya lirikan kecil namun ternyata efeknya cukup parah di terima Sunghoon. Menghantarkan jutaan volt yang menyerangnya dan kini justru ia yang mati kutu.

Aduh.

“My pleasure.” balasnya tetap mencoba tenang.

Jake lalu mengarahkan Sunghoon ke dekat pantai. Karena temanya di pantai jadi ia ingin ada sentuhan air. Sebelumnya sudah meminta persutujuan Sunghoon dan pemuda itu tak masalah jika harus basah basahan saat ini.

Sunghoon langsung menyeburkan diri ke air yang di barengi jeritan Jake karena ia belum mengintrusikan apa-apa. Namun sudah terlanjur basah, yasudahlah potret saja sekalian.

“Gue harus pose gimana?” tanya Sunghoon.

“Terserah, gaya natural aja.” balas Jake.

Sunghoon lalu kembali berdiri di bibir pantai, memasukan tangannya ke dalam saku dan menghadap kamera.

Jake membidikan kameranya tepat ke arah Sunghoon. Kembali di buat takjub dengan proporsi tubuh Sunghoon dan kepiawaiannya dalam mengatur eksperesi wajah juga pose tubuh.

Sunghoon dengan kemeja putihnya yang agak lepek karena terkena air justru membuatnya tampak sejuta kali lebih tampan dan bercahaya. Oh jangan lupakan rambutnya yang basah dan badannya sedikit tercetak menghantarkannya pada pemikiran lain yang langsung ia sangkal.

Jake meneguk ludahnya susah payah, tersadar sudah terjerat dengan fantasi liarnya. Ia menggeleng ribut lalu mulai serius memotret Sunghoon.

Walaupun beberapa kali tetap kehilangan fokus.


Senja mulai menampakan sinarnya, Jake dan Sunghoon terduduk sembari menikmati cahaya yang diberikan oleh sang surya sebelum ia bertukar shift dengan sang bulan yang sudah menanti di ufuk barat.

Sunghoon sedang melihat hasil potretannya di kamera Jake. Ia beberapa kali berdecak kagum dan memuji hasil potretan Jake.

“Harusnya makasih karena muka lo ganteng.” kata Jake berterus terang.

Sunghoon tergugup langsung. Walaupun pujian seperti ini sudah sering ia dapatkan, namun mendengarnya terujar dari bibir pemuda manis ini rasanya berbeda.

“Enggak lah, ini karena lo jago ngambil foto.”

“Makasih ya udah bantuin gua, maaf juga karena baju lo jadi basah.”

“Ngapain?”

“Hah?”

Sunghoon terkekeh, “Lo tuh sering banget hah hoh hah hoh kaya tukang keong ya?” “Sini!” sambungnya sembari berdiri.

Jake bangun mengikuti Sunghoon yang berjalan semakin masuk ke pantai. “Ngapain?” tanyanya.

Sekilas jenaka terpancar dari iris Sunghoon, Jake sudah ingin kabur karena tau apa yang di rencanakan pemuda itu. Namun rupanya ia kalah cepat karena sepersekon kemudian bajunya sudah basah terkena air.

“SUNGHOON!?!?” adu Jake mendapati bajunya basah.

“Biar impas.” kata Sunghoon kembali menyerang.

Pemuda manis yang tak terima karena di siram justru menyipratkan kembali Sunghoon dengan air yang besar.

Dirinya beberapa kali terpleset karena tak seimbang. Sunghoon yang melihatnya malah tertawa tanpa ada niat membantu sama sekali.

Jake yang melihat itu menggerutu lantas mengejar Sunghoon yang lari sambil masih tertawa.

Peduli apa dengan bajunya yang kini basah, ataupun pasir pantai yang terkena tetesan air. Dua anak manusia itu kini justru tertawa bersama, saling menyerukan satu sama lain sembari masih berlari kesana kemari.

Senja yang ada di ujung laut sama sekali tak di perhatikan atensinya. Kini malah menjadi saksi bisu bagaimana dua anak manusia saling menguar tawa di udara. Yang semula bahkan hanya tahu nama tanpa mengenal rupa, kini justru berbagi canda dengan berbagai perasaan.


Debur ombak pantai adalah yang pertama kali menyambut mereka datang.

Mata jelaga Jake yang tadinya sudah mengantuk karena perjalanan lama, kini kembali terbuka lebar selebar kurva di bibirnya yang menarik dari ujung keujung.

Kaki kakinya melangkah menuju bibir pantai, tak sadar jika pemuda yang tadi bersamanya memandang ia dengan lekat.

“Wahh...” Jake terhanyut dengan euphoria pantai rupanya. Ia sampai menutup mata dan merentangkan tangannya seperti dalam film filim roman yang sering ia tonton.

Bedanya adegan berciuman di pantai harus dihapuskan di kehidupan nyata.

“Jake?” panggil Sunghoon pelan.

Jake berbalik mengigit bibirnya karena ia malu sudah bertingkah aneh di depan gebetannya sendiri.

“Sorry..” katanya dengan giggles.

Sunghoon terkekeh, mengacak surai kelam nan lembut Jake. “Lo lucu banget sih.”

Sang empu yang di puji begitu mendadak salah tingkah, bibir bawahnya kembali jadi pelampiasan karena di gigitin. Tak mau larut dalam debar jantungnya sendiri, ia langsung berfokus pada kamera yang sedari tadi di kalungkan.

“Thanks, i guess.” katanya melirik Sunghoon lalu lanjut mengutak-atik kameranya.

Hanya lirikan kecil namun ternyata efeknya cukup parah di terima Sunghoon. Menghantarkan jutaan volt yang menyerangnya dan kini justru ia yang mati kutu.

Aduh.

“My pleasure.” balasnya tetap mencoba tenang.

Jake lalu mengarahkan Sunghoon ke dekat pantai. Karena temanya di pantai jadi ia ingin ada sentuhan air. Sebelumnya sudah meminta persutujuan Sunghoon dan pemuda itu tak masalah jika harus basah basahan saat ini.

Sunghoon langsung menyeburkan diri ke air yang di barengi jeritan Jake karena ia belum mengintrusikan apa-apa. Namun sudah terlanjur basah, yasudahlah potret saja sekalian.

“Gue harus pose gimana?” tanya Sunghoon.

“Terserah, gaya natural aja.” balas Jake.

Sunghoon lalu kembali berdiri di bibir pantai, memasukan tangannya ke dalam saku dan menghadap kamera.

Jake membidikan kameranya tepat ke arah Sunghoon. Kembali di buat takjub dengan proporsi tubuh Sunghoon dan kepiawaiannya dalam mengatur eksperesi wajah juga pose tubuh.

Sunghoon dengan kemeja putihnya yang agak lepek karena terkena air justru membuatnya tampak sejuta kali lebih tampan dan bercahaya. Oh jangan lupakan rambutnya yang basah dan badannya sedikit tercetak menghantarkannya pada pemikiran lain yang langsung ia sangkal.

Jake meneguk ludahnya susah payah, tersadar sudah terjerat dengan fantasi liarnya. Ia menggeleng ribut lalu mulai serius memotret Sunghoon.

Walaupun beberapa kali tetap kehilangan fokus.


Senja mulai menampakan sinarnya, Jake dan Sunghoon terduduk sembari menikmati cahaya yang diberikan oleh sang surya sebelum ia bertukar shift dengan sang bulan yang sudah menanti di ufuk barat.

Sunghoon sedang melihat hasil potretannya di kamera Jake. Ia beberapa kali berdecak kagum dan memuji hasil potretan Jake.

“Harusnya makasih karena muka lo ganteng.” kata Jake berterus terang.

Sunghoon tergugup langsung. Walaupun pujian seperti ini sudah sering ia dapatkan, namun mendengarnya terujar dari bibir pemuda manis ini rasanya berbeda.

“Enggak lah, ini karena lo jago ngambil foto.”

“Makasih ya udah bantuin gua, maaf juga karena baju lo jadi basah.”

“Ngapain?”

“Hah?”

Sunghoon terkekeh, “Lo tuh sering banget hah hoh hah hoh kaya tukang keong ya?” “Sini!” sambungnya sembari berdiri.

Jake bangun mengikuti Sunghoon yang berjalan semakin masuk ke pantai. “Ngapain?” tanyanya.

Sekilas jenaka terpancar dari iris Sunghoon, Jake sudah ingin kabur karena tau apa yang di rencanakan pemuda itu. Namun rupanya ia kalah cepat karena sepersekon kemudian bajunya sudah basah terkena air.

“SUNGHOON!?!?” adu Jake mendapati bajunya basah.

“Biar impas.” kata Sunghoon kembali menyerang.

Pemuda manis yang tak terima karena di siram justru menyipratkan kembali Sunghoon dengan air yang besar.

Dirinya beberapa kali terpleset karena tak seimbang. Sunghoon yang melihatnya malah tertawa tanpa ada niat membantu sama sekali.

Jake yang melihat itu menggerutu lantas mengejar Sunghoon yang lari sambil masih tertawa.

Peduli apa dengan bajunya yang kini basah, ataupun pasir pantai yang terkena tetesan air. Dua anak manusia itu kini justru tertawa bersama, saling menyerukan satu sama lain sembari masih berlari kesana kemari.

Senja yang ada di ujung laut sama sekali tak di perhatikan atensinya. Kini malah menjadi saksi bisu bagaimana dua anak manusia saling menguar tawa di udara. Yang semula bahkan hanya tahu nama tanpa mengenal rupa, kini justru berbagi canda dengan berbagai perasaan.


Jake menunggu di gerbang kampus sesuai dengan yang di janjikan. Angin sepoi-sepoi saat sore hari cukup di nikmati selagi ia menunggu kedatangan Sunghoon.

Netranya bergulir mencari sosok pemuda tinggi itu. Ia memegang kameranya erat, merasakan jantungnya bekerja dua kali lebih cepat karena gugup dan semakin bertambah cepat seiring Sunghoon berjalan ke arahnya.

“Jake? Sorry udah nunggu lama ya?”

Jake menggeleng sedikit menetralkan detak jantungnya dulu. “Enggak kok gua juga gak lama.”

“Oke kalau gitu ambil mobil dulu ya? Gua markir di parkiran belakang.”

Pemuda yang lebih mungil beberapa senti dari Sunghoon bukannya menjawab ia justru memiringkan kepalanya, sedikit mengintip keadaan di dalam kampus karena ia berdiri di samping tembok.

Rame. Suasana di dalam cukup rame walaupun sudah sore hari.

Jarak parkiran belakang dan gerbang utama cukup jauh. Yang pasti ia melewati beberapa gedung dulu baru sampai dan dengan berjalan kaki.

Astaga baru di bayangkan saja sudah terasa seberapa pegalnya.

Sunghoon terkekeh, “Kalo lo gak mau, bisa tunggu disitu.” ia menunjuk stand gado-gado yang berada seberang jalan.

Mendapati ekspresi Jake yang seperti sedang menonton film horror. Pastinya pemuda itu capek kalo harus di ajak jalan kaki walau hanya ke parkiran belakang.

Jake menggeleng ribut tetap ingin jalan bareng walaupun konsekuensinya ia harus mendapati bising kendaraan di dalam kampus dan pegal kaki. Gak enak fikirnya.

“Oke kalau lo maksa,” Sunghoon terkekeh sembari mengusak surai halus Jake, “Ayo.” lanjutnya kemudian menggandeng tangan Jake.

Kayanya Jake gak bakal cuci tangan abis ini.


“Kita mau kemana?” tanya Sunghoon sembari menyalakan mesin mobil.

Jake menghela nafas, “Sebenernya gua belom nentuin tempatnya dimana.”

Tadi ia terlalu excited karena akan bertemu Sunghoon sampai lupa tujuan awal mereka bertemu.

“Di pantai aja gimana?”

“Pantai ya..? Boleh deh.”

Segurat senyum terpatri di wajah Sunghoon, sangat tipis sampai hanya ia yang merasakannya.

Jake di sebelahnya langsung sibuk searching tempat pantai yang sekiranya tidak terlalu rame hari ini. Ia tidak suka keramean, apalagi saat ia sedang bekerja.

“Disini gimana Hoon?” tanya Jake.

Sunghoon melihat sekilas ke arah layar handphone yang menunjukan foto pantai, ia mengangguk. “Boleh, gua tau jalan kesana.”

Mata Jake berbinar ia tersenyum simpul dan memposisikan tubuhnya dengan nyaman. Baru sadar kalau sedari tadi duduk dengan tegak karena ada di dalam mobil pujaan hatinya sejak ospek.

“Nyalain radio dong Jake—”

”-Di sambungin spotify lu aja, disitu gak ada lagu.” Lanjut Sunghoon kala jari Jake sudah siap menekan tombol on.

Tanpa banyak bicara Jake menghubungkan kabel radio ke handphonenya dan langsung memencat shuffle di playlist miliknya.

Lalu yang terdengar setelahnya adalah lantunan lagu bertajuk it's not living milik The 1975 menemani perjalanan mereka.

Debur ombak pantai terdengar berirama, dapat ia rasakan desir laut yang membelai wajahnya dengan lembut memberikan afeksi kecil pada si pemuda. Langit mulai gelap, iluminasi jingga yang berpadu biru gelap terpancar dari balik irisnya. Pertanda sang surya siap pergi tidur, dan berganti dengan terangnya bulan.

Samar-samar ia dapat mendengar lantunan nada piano yang mengalun mengikuti tempo. Kadang lambat, lalu berganti cepat kemudian sedang dan berganti menjadi tempo di awal. Terus berulang menghasilkan nada-nada unik yang nyaman di dengar.

Lalu beberapa menit kemudian, musik itu berganti menjadi tepuk tangan penonton yang menguar memenuhi udara bumantara.

Changgu menghela nafasnya, pemuda manis itu mengedarkan pandangan ke penjuru pantai sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kontestan yang ke-12 akan segera mulai, ia harus sudah duduk di barisan paling depan atau kekasihnya akan mengomel panjang lebar.

Hari ini di Bandung sedang diadakan kontes piano. Kontes yang sebenarnya jarang sekali di adakan di kota kembang ini; terlebih lagi di tepi pantai seperti ini.

Changgu juga tak tahu menahu dalam hal musik klasik, kekasihnya yang berniat untuk mengikuti kontesnya. Jadi sebagai kekasih yang baik, sang adam tentu turut mendukung. Ia fikir pertunjukan ini hanya akan di hadiri oleh segelintir orang, namun ternyata banyak sekali peminatnya.

Sang adam kemudian kembali ke tempat duduk awal. Tepat di depan panggung dimana ia bisa dengan jelas melihat pertunjukannya.

Senyum terlukis di wajahnya kala rungunya mendengar nama sang kekasih di panggil, lalu bertambah lebar saat iris coklatnya bertemu dengan iris jelaga lelaki itu. Ia juga ikut tersenyum.

Kedua tangan Changgu terkepal di udara, membentuk gestur semangat yang nampak lucu di mata. Lelaki di atas panggung itu terkekeh; kemudian mengambil ancang-ancang siap memainkan pianonya.

Dapat Changgu lihat bagaimana sang kekasih yang lebih tua itu mengatur dirinya agar tidak gugup, mengambil nafasnya dalam-dalam dan dalam sekali hentakan jarinya menari di atas not-not nada. Sesekali ia juga mengubah posisi badannya, yang semula duduk tegap lalu membungkuk menekan dalam piano di atasnya.

Alunan nada bertajuk Merry go round yang di ciptakan oleh Joe Hisaishi mengalun lambut seolah menerbangkan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya. Jari jari yang menari di atas not menghantarkan Changgu pada sensasi dunia fantasi. Serta di temani dengan desiran pantai yang semakin menambah buana khayalan yang di ciptakan kekasihnya.

Tanpa sadar Changgu memejamkan matanya; ikut terbuai dalam permainannya. Tak ada kesalahan yang ia dengar, semuanya mengalun dengan begitu tenang dan indah. Irama yang di hasilkan silih berganti. Temponya yang semula lambat, lalu perlahan menjadi cepat, kemudian semakin cepat dan berputar secara terus menerus.

Lalu ketika kelopak matanya perlahan terbuka, entitas pertama yang Changgu lihat adalah bagaimana sang kekasih terlihat satu juta kali lebih indah saat ini. Dengan balutan kemeja putih yang senada, juga cahaya lampu yang menyinari ia bermain semakin menambah kesan dramatis pada sang adam.

Changgu tak pernah sadar seseorang yang sedang bermain piano bisa seindah ini. Ingin rasanya ia naik ke atas panggung, menari layaknya seorang balerina yang akan melawan sang angsa dengan sepatu balet ajaibnya. Lalu menyuruh kekasihnya untuk berhenti bermain agar ia bisa berdansa bersamanya. Namun yang akan Changgu lakukan adalah tersenyum lebar dengan binar bangga tercetak lewat netranya.

Dan ketika jari-jari itu mulai melambatkan tempo narinya, tepat ketika not terakhir di getarkan, semua orang terdiam. Para manusia itu masih terpana dengan permainan sang pemuda. Semuanya masih dalam khayalan menari di atas lembah Romsdal Valley dengan pemandangan bukit tinggi serta sungai yang mengalir deras.

Tak terkecuali Yeo Changgu yang sebegitu terpukau melihat penampilan sang kekasih. Namun beberapa sekon kemudian sorai sorai penonton serta tepukan tangan menjadi satu satunya suara yang tercipta saat ini.

Ia sontak ikut berdiri dan bertepuk tangan keras, dengan lantang menyebutkan nama “Koh Shinwon!” selaras dengan senyuman yang tak pudar di wajahnya. Pemuda di atas panggung yang bernama Koh Shinwon ikut tersenyum bahagia, tak di sangka respon penonton akan semenyenangkan ini.

Pemuda itu kemudian turun dari panggung, menghampiri kekasih mungilnya yang masih setia bertepuk tangan. Tanpa aba-aba langsung memeluknya erat.

“Makasih udah dateng, padahal lo gak suka musik. Gue sayang banget sama lo, Changgu.” ujar Shinwon.

Changgu terkekeh, “Gue emang gak suka musik, tapi untuk kali ini mungkin musik jadi kesukaan gue kalo yang mainin piano nya itu lo.”

Dan detik itu Koh Shinwon menjadi pemuda lembek bagai ubur ubur hanya dengan mendengar balasan sang kekasih.