Gone.
Proses kremasi telah usai sedari tadi dan abunya juga sudah di masukkan ke dalam guci. Kini keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya, bahkan tadi Niki sudah mulai bisa mengobrol dengannya dan yang lain.
Tapi di dekat pantai yang masih tersisa bau dari asap penuh duka, Niki mengajaknya kemari. Berbicara berdua dari mata ke mata.
Namun sedari tadi yang di lakukan pemuda jangkung itu justru menatap laut dalam diam; mengabaikan atensi Sunoo yang mengundang tanya.
“Maaf kalau lancang, tapi tadi gua denger bokap lo manggil lo Riki?” tanya Sunoo membangun topik.
“Riki itu nama asli gua.”
“Eh? jadi nama lo bukan Niki?”
Niki atau yang bisa di bilang sekarang Riki; menggeleng. “Niki singkatan dari Nishimura Riki. Dan Nishimura itu nama bokap.”
Ahh Sunoo paham. Melihat dari bagaimana sikap Riki kemarin pada ayahnya membuat Sunoo sadar kalau hubungan Riki dan ayahnya tidak terlalu baik.
Tidak mau tau dalam urusan pribadi yang bukan ranahnya, Sunoo mencari topik lain yang sekiranya bisa di bahas saat ini.
“Abunya dimana?”
“Ada di rumah.”
“Gak di tebarin ke laut?”
Niki bergeming membuat Sunoo mengernyit bingung. Ada apa?
“Riki?” panggil Sunoo. lalu di lanjut bergumam kalau ia suka nama Riki; yang di balas thanks olehnya.
Niki menghela nafas; di tatapnya iris rubah Sunoo. “Abu nya bakal di bawa ke Jepang.”
Sunoo mengangguk, lalu apa masalahnya? Sunoo mengerti kok kalau abunya di tebarin di Jepang. Biar bagaimanapun Jepang adalah tempatnya lahir.
“Gua bakal ikut ke Jepang.”
Sunoo terdiam. Ah, jadi ini masalahnya.
Hahaha rasa-rasanya Sunoo sudah tak terkejut lagi jika salah satu dari mereka harus meninggalkan salah satunya.
Sunoo sadar waktunya di Bali hanya tersisa 3 hari lagi, dan mereka akan terpisah. Tapi ia tak menyangka kalau perpisahannya akan secepat ini.
“Kapan?”
“Besok.—”
”—Dan gua akan menetap di Jepang kak.”
Sialan.
Seharusnya Sunoo tak usah menanyakan waktunya, seharusnya Sunoo diam dan mengangguk saja ketika tahu pemuda di hadapannya akan balik kampung.
Air mata Sunoo mengembang di pelupuk, siap jatuh jika saja si empu tak lebih kuat.
“Ah, gi-gitu ya.” ujar Sunoo terbata.
Niki menunduk, “Maaf kak.”
“Gak perlu minta maaf, Riki.” Sunoo menggeleng, di genggamnya tangan yang lebih muda; menautkan jemarinya pada sela jemari Niki.
“Kira-kira nanti kita bisa ketemu lagi gak?” lanjut Sunoo.
Niki di hadapannya juga penuh dengan tanda tanya. Bertanya apakah ini memang benar-benar akhir dari pertemuan mereka, atau bisakah mereka bertemu lagi nanti di masa yang akan datang?
Permainan waktu memang kejam. Tak ada yang tahu kapan kamu akan berpisah atau kapan kamu akan bertemu.
Ia tak tahu kapan dan dimana semesta akan memisahkan mereka dan mempertumakan mereka dalam jarak waktu yang cepat atau lambat. Ia tak tahu, semuanya terlalu abu.
“We'll never know when we'll meet again. So, let's have the world rule for us, kak.” ujarnya tersenyum simpul.
Dan di sana, di bawah cahaya bulan jua di antara kerlip bintang. Dua insan manusia mencoba menyulam waktu di dalam perjumpaan mereka yang terakhir kali.
Karena esok, tak ada lagi pemuda Jepang yang mengajak Sunoo berkeliling dengan motor varionya. Karena esok juga, tak akan ada lagi pemandangan rambut warna pink milik Sunoo yang mengayun lembut terbawa angin.
Dalam dinginnya malam dan aroma laut; Niki memeluknya erat, dan Sunoo yang membalasnya dengan sama eratnya. “Ya, Niki. Let's meet each other again.”