hwoneboom


Proses kremasi telah usai sedari tadi dan abunya juga sudah di masukkan ke dalam guci. Kini keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya, bahkan tadi Niki sudah mulai bisa mengobrol dengannya dan yang lain.

Tapi di dekat pantai yang masih tersisa bau dari asap penuh duka, Niki mengajaknya kemari. Berbicara berdua dari mata ke mata.

Namun sedari tadi yang di lakukan pemuda jangkung itu justru menatap laut dalam diam; mengabaikan atensi Sunoo yang mengundang tanya.

“Maaf kalau lancang, tapi tadi gua denger bokap lo manggil lo Riki?” tanya Sunoo membangun topik.

“Riki itu nama asli gua.”

“Eh? jadi nama lo bukan Niki?”

Niki atau yang bisa di bilang sekarang Riki; menggeleng. “Niki singkatan dari Nishimura Riki. Dan Nishimura itu nama bokap.”

Ahh Sunoo paham. Melihat dari bagaimana sikap Riki kemarin pada ayahnya membuat Sunoo sadar kalau hubungan Riki dan ayahnya tidak terlalu baik.

Tidak mau tau dalam urusan pribadi yang bukan ranahnya, Sunoo mencari topik lain yang sekiranya bisa di bahas saat ini.

“Abunya dimana?”

“Ada di rumah.”

“Gak di tebarin ke laut?”

Niki bergeming membuat Sunoo mengernyit bingung. Ada apa?

“Riki?” panggil Sunoo. lalu di lanjut bergumam kalau ia suka nama Riki; yang di balas thanks olehnya.

Niki menghela nafas; di tatapnya iris rubah Sunoo. “Abu nya bakal di bawa ke Jepang.”

Sunoo mengangguk, lalu apa masalahnya? Sunoo mengerti kok kalau abunya di tebarin di Jepang. Biar bagaimanapun Jepang adalah tempatnya lahir.

“Gua bakal ikut ke Jepang.”

Sunoo terdiam. Ah, jadi ini masalahnya.

Hahaha rasa-rasanya Sunoo sudah tak terkejut lagi jika salah satu dari mereka harus meninggalkan salah satunya.

Sunoo sadar waktunya di Bali hanya tersisa 3 hari lagi, dan mereka akan terpisah. Tapi ia tak menyangka kalau perpisahannya akan secepat ini.

“Kapan?”

“Besok.—”

”—Dan gua akan menetap di Jepang kak.”

Sialan.

Seharusnya Sunoo tak usah menanyakan waktunya, seharusnya Sunoo diam dan mengangguk saja ketika tahu pemuda di hadapannya akan balik kampung.

Air mata Sunoo mengembang di pelupuk, siap jatuh jika saja si empu tak lebih kuat.

“Ah, gi-gitu ya.” ujar Sunoo terbata.

Niki menunduk, “Maaf kak.”

“Gak perlu minta maaf, Riki.” Sunoo menggeleng, di genggamnya tangan yang lebih muda; menautkan jemarinya pada sela jemari Niki.

“Kira-kira nanti kita bisa ketemu lagi gak?” lanjut Sunoo.

Niki di hadapannya juga penuh dengan tanda tanya. Bertanya apakah ini memang benar-benar akhir dari pertemuan mereka, atau bisakah mereka bertemu lagi nanti di masa yang akan datang?

Permainan waktu memang kejam. Tak ada yang tahu kapan kamu akan berpisah atau kapan kamu akan bertemu.

Ia tak tahu kapan dan dimana semesta akan memisahkan mereka dan mempertumakan mereka dalam jarak waktu yang cepat atau lambat. Ia tak tahu, semuanya terlalu abu.

“We'll never know when we'll meet again. So, let's have the world rule for us, kak.” ujarnya tersenyum simpul.

Dan di sana, di bawah cahaya bulan jua di antara kerlip bintang. Dua insan manusia mencoba menyulam waktu di dalam perjumpaan mereka yang terakhir kali.

Karena esok, tak ada lagi pemuda Jepang yang mengajak Sunoo berkeliling dengan motor varionya. Karena esok juga, tak akan ada lagi pemandangan rambut warna pink milik Sunoo yang mengayun lembut terbawa angin.

Dalam dinginnya malam dan aroma laut; Niki memeluknya erat, dan Sunoo yang membalasnya dengan sama eratnya. “Ya, Niki. Let's meet each other again.”


“Niki?”

Hal pertama yang Sunoo tanyakan ketika ia sampai di rumah sakit adalah keadaan dari cowok yang akhir-akhir ini bersamanya.

Di hadapan Sunoo; pemuda itu terduduk sambil terdiam. Bahunya merosot dan kepalanya terus menunduk seolah tak kuat jika harus mendongak barang sesentipun. Di sebelahnya juga ada mama Rene dan satu orang suster yang sedaritadi menemani Niki.

Sunoo tahu pemuda itu sedang mencoba tegar sampai tak memperlihatkan air matanya. Dan ia lebih dari tahu kalau Niki mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski keadaannya berbanding terbalik.

Jadi dengan perlahan Sunoo menghampiri Niki, menarik punggung pemuda itu ke pelukannya. “Hei..” ujar Sunoo.

Niki tak membalas, terlampau kelu untuk hanya sekedar berbicara. Pelukan Sunoo mengerat setelah merasa si empu membalasnya walau dengan sedikit lemah, semakin lama wajahnya teredam di antara ceruk leher Sunoo.

“It's okay Niki, i am here.”

Lalu setelahnya yang terdengar adalah jeritan pilu dari Niki. Menumpahkan segala emosinya dalam pelukan Sunoo. Pemuda yang lebih tua satu tahun darinya, juga pemuda yang siap mengorbankan kaosnya hingga basah saat ini.

Bahu Niki bergetar di pelukannya, nafasnya naik turun selaras dengan isakan pilu yang terus keluar dari mulutnya. Niki hanyalah seorang pemuda biasa yang bisa juga terlihat lemah. Dan kehilangan orang yang ia cintai adalah kelemahan terbesarnya.

Tak lama Jake dateng bersama Sunghoon, setelah Sunoo mengabari mereka.

Suasana di rumah sakit semakin biru. Semua orang kehilangan, semua orang bersedih dan semuanya berduka atas apa yang di alami Niki. Mereka tahu, bahwa Niki menyayangi neneknya mungkin lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.


“Riki?!” Panggilan lain dari suara bariton mengalihkan perhatian mereka semua yang menatap hampa tembok putih.

“Riki? Oba-sama wa dokodesu ka?” tanya lelaki asing itu.

(Riki? Dimana nenek?)

“Siapa?” tanya Sunoo berbisik pada Jake yang di balas “Ayahnya Niki.”

Sunoo mengangguk, memperhatikan lelaki berkacamata dengan kemeja kotak-kotak yang figur wajahnya adalah Niki versi tua.

“Nande?”

(Kenapa?)

“Riki-kun, otosan ni iu.”

(Riki beritahu ayah.)

Rahang Niki mengeras, giginya menggemeretak menahan amarahnya. “Otto-san? Setelah semuanya anda masih menganggap diri anda seorang ayah?”

“RIKI!” murka si ayah.

“NANI?! Watashi ga machigatte iru?”

(apa saya salah?)

“Sudah-sudah, maaf tapi kita sedang di rumah sakit. Dan tuan, tolong jangan menyulut emosi putra anda.” ujar Rene melerai mereka.

“Mari saya antarkan pada ibu Nishimura.”

Selepas mereka berdua pergi, tubuh Niki merosot ke lantai yang langsung di topang oleh Sunoo. Sorot matanya kosong dan nafasnya tersenggal-senggal.

“Ini.” Sunoo menyerahkan botol air mineral pada Niki yang langsung di minum sekali teguk.

Niki kentara sekali masih shock. Bagaimana tidak, bertemu dengan ayahmu lagi setelah ia menaruh Niki dan neneknya di Indonesia jauh dari keluarganya yang lain, sedangkan si ayah justru sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa akan keberadaan sang anak.

Neneknya yang selama ini merawatnya ketika si ayah tak sama sekali mengabarinya. Jangankan mengabari, ia bahkan tak pernah menanyai bagaimana hari sang anak atau bagaimana kondisinya. Yang ayahnya lakukan hanyalah bekerja bekerja dan terus bekerja sampai Niki lupa kalau ia juga punya sosok ayah.

Sekali lagi, Niki hanyalah pemuda biasa dan juga seorang anak.


“Niki?”

Hal pertama yang Sunoo tanyakan ketika ia sampai di rumah sakit adalah keadaan dari cowok yang akhir-akhir ini bersamanya.

Di hadapan Sunoo, pemuda itu terduduk sambil terdiam. Bahunya merosot dan kepalanya terus menunduk seolah tak kuat jika harus mendongak barang sesentipun. Di sebelahnya juga ada mama Rene dan satu orang suster yang sedaritadi menemani Niki.

Sunoo tahu pemuda itu sedang mencoba tegar; sampai tak memperlihatkan air matanya. Dan ia lebih dari tahu kalau Niki mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski keadaannya berbanding terbalik.

Jadi dengan perlahan Sunoo menghampiri Niki, menarik punggung pemuda itu ke pelukannya. “Hei..” ujar Sunoo.

Niki tak membalas, terlampau kelu untuk hanya sekedar berbicara. Pelukan Sunoo mengerat setelah merasa si empu membalasnya walau dengan sedikit lemah, semakin lama wajahnya teredam di antara ceruk leher Sunoo.

“It's okay Niki, i am here.”

Lalu setelahnya yang terdengar adalah jeritan pilu dari Niki. Menumpahkan segala emosinya dalam pelukan Sunoo. Pemuda yang lebih tua satu tahun darinya, juga pemuda yang siap mengorbankan kaosnya hingga basah saat ini.

Bahu Niki bergetar di pelukannya, nafasnya naik turun selaras dengan isakan pilu yang terus keluar dari mulutnya. Niki hanyalah seorang pemuda biasa yang bisa juga terlihat lemah. Dan kehilangan orang yang ia cintai adalah kelemahan terbesarnya.

Tak lama Jake dateng bersama Sunghoon, setelah Sunoo mengabari mereka.

Suasana di rumah sakit semakin biru. Semua orang kehilangan, semua orang bersedih dan semuanya berduka atas apa yang di alami Niki. Mereka tahu, bahwa Niki menyayangi neneknya mungkin lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.


“Riki?!” Panggilan lain dari suara bariton mengalihkan perhatian mereka semua yang menatap hampa tembok putih.

“Riki? Oba-sama wa dokodesu ka?” tanya lelaki asing itu.

(Riki? Dimana nenek?)

“Siapa?” tanya Sunoo berbisik pada Jake yang di balas “Ayahnya Niki.”

Sunoo mengangguk, memperhatikan lelaki berkacamata dengan kemeja kotak-kotak yang figur wajahnya adalah Niki versi tua.

“Nande?”

(Kenapa?)

“Riki-kun, otosan ni iu.”

(Riki beritahu ayah.)

Rahang Niki mengeras, giginya menggemeretak menahan amarahnya. “Otto-san? Setelah semuanya anda masih menganggap diri anda seorang ayah?”

“RIKI!” murka si ayah.

“NANI?! Watashi ga machigatte iru?”

(apa saya salah?)

“Sudah-sudah, maaf tapi kita sedang di rumah sakit. Dan tuan, tolong jangan menyulut emosi putra anda.” ujar Rene melerai mereka.

“Mari saya antarkan pada ibu Nishimura.”

Selepas mereka berdua pergi, tubuh Niki merosot ke lantai yang langsung di topang oleh Sunoo. Sorot matanya kosong dan nafasnya tersenggal-senggal.

“Ini.” Sunoo menyerahkan botol air mineral pada Niki yang langsung di minum sekali teguk.

Niki kentara sekali masih shock. Bagaimana tidak, bertemu dengan ayahmu lagi setelah ia menaruh Niki dan neneknya di Indonesia jauh dari keluarganya yang lain, sedangkan si ayah justru sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa akan keberadaan sang anak.

Neneknya yang selama ini merawatnya ketika si ayah tak sama sekali mengabarinya. Jangankan mengabari, ia bahkan tak pernah menanyai bagaimana hari sang anak atau bagaimana kondisinya. Yang ayahnya lakukan hanyalah bekerja bekerja dan terus bekerja sampai Niki lupa kalau ia juga punya sosok ayah.

Sekali lagi, Niki hanyalah pemuda biasa dan juga seorang anak.


“Niki?”

Hal pertama yang Sunoo katakan ketika ia sampai di rumah sakit adalah keadaan dari cowok yang akhir-akhir ini bersamanya.

Di hadapan Sunoo, pemuda itu terduduk sambil terdiam. Bahunya merosot dan kepalanya terus menunduk seolah tak kuat jika harus mendongak barang sesentipun. Di sebelahnya juga ada mama Rene dan satu orang suster yang sedaritadi menemani Niki.

Sunoo tahu pemuda itu sedang mencoba tegar; sampai tak memperlihatkan air matanya. Dan ia lebih dari tahu kalau Niki mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski keadaannya berbanding terbalik.

Jadi dengan perlahan Sunoo menghampiri Niki, menarik punggung pemuda itu ke pelukannya. “Hei..” ujar Sunoo.

Niki tak membalas, terlampau kelu untuk hanya sekedar berbicara. Pelukan Sunoo mengerat setelah merasa si empu membalasnya walau dengan sedikit lemah, semakin lama wajahnya teredam di antara ceruk leher Sunoo.

“It's okay Niki, i am here.”

Lalu setelahnya yang terdengar adalah jeritan pilu dari Niki. Menumpahkan segala emosinya dalam pelukan Sunoo. Pemuda yang lebih tua satu tahun darinya, juga pemuda yang siap mengorbankan kaosnya hingga basah saat ini.

Bahu Niki bergetar di pelukannya, nafasnya naik turun selaras dengan isakan pilu yang terus keluar dari mulutnya. Niki hanyalah seorang pemuda biasa yang bisa juga terlihat lemah. Dan kehilangan orang yang ia cintai adalah kelemahan terbesarnya.

Tak lama Jake dateng bersama Sunghoon, setelah Sunoo mengabari mereka.

Suasana di rumah sakit semakin biru. Semua orang kehilangan, semua orang bersedih dan semuanya berduka atas apa yang di alami Niki. Mereka tahu, bahwa Niki menyayangi neneknya mungkin lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.


“Riki?!” Panggilan lain dari suara bariton mengalihkan perhatian mereka semua yang menatap hampa tembok putih.

“Riki? Oba-sama wa dokodesu ka?” tanya lelaki asing itu.

(Riki? Dimana nenek?)

“Siapa?” tanya Sunoo berbisik pada Jake yang di balas “Ayahnya Niki.”

Sunoo mengangguk, memperhatikan lelaki berkacamata dengan kemeja kotak-kotak yang figur wajahnya adalah Niki versi tua.

“Nande?”

(Kenapa?)

“Riki-kun, otosan ni iu.”

(Riki beritahu ayah.)

Rahang Niki mengeras, giginya menggemeretak menahan amarahnya. “Otto-san? Setelah semuanya anda masih menganggap diri anda seorang ayah?”

“RIKI!” murka si ayah.

“NANI?! Watashi ga machigatte iru?”

(apa saya salah?)

“Sudah-sudah, maaf tapi kita sedang di rumah sakit. Dan tuan, tolong jangan menyulut emosi putra anda.” ujar Rene melerai mereka.

“Mari saya antarkan pada ibu Nishimura.”

Selepas mereka berdua pergi, tubuh Niki merosot ke lantai yang langsung di topang oleh Sunoo. Sorot matanya kosong dan nafasnya tersenggal-senggal.

“Ini.” Sunoo menyerahkan botol air mineral pada Niki yang langsung di minum sekali teguk.

Niki kentara sekali masih shock. Bagaimana tidak, bertemu dengan ayahmu lagi setelah ia menaruh Niki dan neneknya di Indonesia jauh dari keluarganya yang lain, sedangkan si ayah justru sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa akan keberadaan sang anak.

Neneknya yang selama ini merawatnya ketika si ayah tak sama sekali mengabarinya. Jangankan mengabari, ia bahkan tak pernah menanyai bagaimana hari sang anak atau bagaimana kondisinya. Yang ayahnya lakukan hanyalah bekerja bekerja dan terus bekerja sampai Niki lupa kalau ia juga punya sosok ayah.

Sekali lagi, Niki hanyalah pemuda biasa dan juga seorang anak.


“Niki?”

Hal pertama yang Sunoo katakan ketika ia sampai di rumah sakit adalah keadaan dari cowok yang akhir-akhir ini bersamanya.

Di hadapan Sunoo, pemuda itu terduduk sambil terdiam. Bahunya merosot dan kepalanya terus menunduk seolah tak kuat jika harus mendongak barang sesentipun. Di sebelahnya juga ada mama Rene dan satu orang suster yang sedaritadi menemani Niki.

Sunoo tahu pemuda itu sedang mencoba tegar; sampai tak memperlihatkan air matanya. Dan ia lebih dari tahu kalau Niki mencoba untuk terlihat baik-baik saja meski keadaannya berbanding terbalik.

Jadi dengan perlahan Sunoo menghampiri Niki, menarik punggung pemuda itu ke pelukannya. “Hei..” ujar Sunoo.

Niki tak membalas, terlampau kelu untuk hanya sekedar berbicara. Pelukan Sunoo mengerat setelah merasa si empu membalasnya walau dengan sedikit lemah, semakin lama wajahnya teredam di antara ceruk leher Sunoo.

“It's okay Niki, i am here.”

Lalu setelahnya yang terdengar adalah jeritan pilu dari Niki. Menumpahkan segala emosinya dalam pelukan Sunoo. Pemuda yang lebih tua satu tahun darinya, juga pemuda yang siap mengorbankan kaosnya hingga basah saat ini.

Bahu Niki bergetar di pelukannya, nafasnya naik turun selaras dengan isakan pilu yang terus keluar dari mulutnya. Niki hanyalah seorang pemuda biasa yang bisa juga terlihat lemah. Dan kehilangan orang yang ia cintai adalah kelemahan terbesarnya.

Tak lama Jake dateng bersama Sunghoon, setelah Sunoo mengabari mereka.

Suasana di rumah sakit semakin biru. Semua orang kehilangan, semua orang bersedih dan semuanya berduka atas apa yang di alami Niki. Mereka tahu, bahwa Niki menyayangi neneknya mungkin lebih dari ia menyayangi dirinya sendiri.


“Riki?!” Panggilan lain dari suara bariton mengalihkan perhatian mereka semua yang menatap hampa tembok putih.

“Riki? Oba-sama wa dokodesu ka?” tanya lelaki asing itu.

(Riki? Dimana nenek?)

“Siapa?” tanya Sunoo berbisik pada Jake yang di balas “Ayahnya Niki.”

Sunoo mengangguk, memperhatikan lelaki berkacamata dengan kemeja kotak-kotak yang figur wajahnya adalah Niki versi tua.

“Nande?”

(Kenapa?)

“Riki-kun, otosan ni iu.”

(Riki beritahu ayah.)

Rahang Niki mengeras, giginya menggemeretak menahan amarahnya. “Otto-san? Setelah semuanya anda masih menganggap diri anda seorang ayah?”

“RIKI!” murka si ayah.

“NANI?! Watashi ga machigatte iru?”

(apa saya salah?)

“Sudah-sudah, maaf tapi kita sedang di rumah sakit. Dan tuan, tolong jangan menyulut emosi putra anda.” ujar Rene melerai mereka.

“Mari saya antarkan pada ibu Nishimura.”

Selepas mereka berdua pergi Niki merosot ke lantai yang langsung di topang oleh Sunoo. Sorot matanya kosong dan nafasnya tersenggal-senggal.

“Ini.” Sunoo menyerahkan botol air mineral pada Niki yang langsung di minum sekali teguk.

Niki kentara sekali masih shock. Bagaimana tidak, bertemu dengan ayahmu lagi setelah ia menaruh Niki dan neneknya di Indonesia jauh dari keluarganya yang lain, sedangkan si ayah justru sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa akan keberadaan sang anak.

Neneknya yang selama ini merawatnya ketika si ayah tak sama sekali mengabarinya. Jangankan mengabari, ia bahkan tak pernah menanyai bagaimana hari sang anak atau bagaimana kondisinya. Yang ayahnya lakukan hanyalah bekerja bekerja dan terus bekerja sampai Niki lupa kalau ia juga punya sosok ayah.

Sekali lagi, Niki hanyalah pemuda biasa dan juga seorang anak.


Sunoo berjalan di bibir pantai sambil menenteng kedua sendalnya. Bajunya basah tapi dia gak mau ganti baju, padahal udah di bilangin Niki kalau bakal masuk angin.

Tadi mereka kelar main banana boat yang jatuh kebalik karena Sunoo malah joget di atas boat. Sunoo tuh niatnya mau lambai-lambai tangan aja biar kaya aktris aktris gitu terus jadi sok ngide joget di atas boat sambil nyanyi sambalado.

Ya jelas pas boatnya ketarik kenceng dia jatoh. Parahnya dia narik baju Niki yang bikin Niki ikut nyebur ke air. Abis itu Sunoo malah teriak minta tolong bilang ada ikan hiu yang bikin SEMUA ORANG PANIK TERMASUK NIKI disampingnya.

Udah lah Niki pas itu rasanya mau di makan ikan hiu beneran aja daripada harus menahan malu bareng Sunoo.

“Kak mau makan gak?” tanya Niki. Laper dia cuy.

“Mau, ada restoran deket sini gak?”

Niki menarik lengan Sunoo. “Ada, ayo.”

Yang lengannya di tarik malah makin kesemsem. Yaampun tarikan Niki lembut dan nyaman.

Tapi baru beberapa langkah mereka berhenti tepat ketika Niki melihat dua orang yang dikenalnya.

“KAK JAKE, KAK SUNGHOON!” seru Niki.

Niki tersenyum melihat kedatangan mereka sedangkan Sunoo di sampingnya; matanya membulat kontras dengan mulutnya yang ikut terbuka lebar seiring dua pemuda itu mendekati mereka

Kalau di kartun yang biasa Sunoo tonton kira-kira visualisasinya saat ini adalah rahangnya yang jatuh ke tanah dengan mata bulatnya keluar dari sarang. Alias SHOCK BERAT.

Sunoo kenal pemuda itu terutama cowok berambut coklat yang lebih pendek dari cowok di sebelahnya. Itu Kak Jake. Kakak kelasnya pas SMA.

“Kak Jake?!” seru Sunoo heboh.

Niki mengernyit, “Lo kenal kak Jake?”

Oh by the way Niki sekarang manggil mereka lo-gua. Sunoo yang minta, katanya kalau aku-kamu terlalu formal.

Bukannya jawab Sunoo justru menghamburkan diri ke pelukan Jake. Beruntung reflek Jake bagus jadi mereka gak jatuh ke pasir pantai.

“Sunoo ya? Sunoo bukan sih?”

“Iya kak aku Sunoo.”

“Siapa?” Cowok jangkung—yang Sunoo gak tau namanya.—mengintrupsi.

Jake menoleh padanya, “Sunoo. Adik kelasku pas SMA.”

“Oh iya Sunoo, ini Sunghoon pacar kakak.” lanjut Jake memperkenalkan Sunghoon.

Sunghoon dan Sunoo berkenalan. Gagal deh Sunoo dapet pacar bule (re; kak Jake). Padahal kalau kak Jake jomblo dan dia juga jomblo pengennya sih dia gebet—dulu dia keburu pacaran sama kak Jay— kali aja nyantol gitu. Eh ternyata udah punya pacar, ganteng pula.

Niki datang setelah dia mungutin sendal Sunoo yang kelempar pas tadi Sunoo tiba-tiba lari.

“Loh sama Niki?” tanya Jake.

“Iya kak, dia anaknya tante Rene.” jawab Niki.

Jake mengangguk, dia tau tante Rene pemilik panti jompo Ethereal soalnya Jake udah beberapa kali main kesana. Bareng Sunghoon juga.

“Kok kamu bisa ada disini?” tanya Jake pada Sunoo.

“Lagi liburan kak. Btw ceritanya mau sambil makan gak? Aku laper hehehe.”

“Nah tuh, sama gua juga laper. Ayo nyari makan aja.” ini Sunghoon yang bilang.

Sebenernya tadi Jake sama Sunghoon mau nyari makan setelah mereka selesai bermain parasailing.

Akhirnya berempatan tuh nyari makanan dengan Jake dan Sunoo yang ngobrolin masa SMA mereka. Sunghoon sama Niki diem aja soalnya belum ketemu mereka waktu itu.


Sunoo berjalan di bibir pantai sambil menenteng kedua sendalnya. Bajunya basa tapi dia gak mau ganti baju, padahal udah di bilangin Niki kalau bakal masuk angin.

Tadi mereka kelar main banana boat yang jatuh kebalik karena Sunoo malah joget di atas boat. Sunoo tuh niatnya mau lambai-lambai tangan aja biar kaya aktris aktris gitu terus jadi sok ngide joget di atas boat sambil nyanyi sambalado.

Ya jelas pas boatnya ketarik kenceng dia jatoh. Parahnya dia narik baju Niki yang bikin Niki ikut nyebur ke air. Abis itu Sunoo malah teriak minta tolong bilang ada ikan hiu yang bikin SEMUA ORANG PANIK TERMASUK NIKI disampingnya.

Udah lah Niki pas itu rasanya mau di makan ikan hiu beneran aja daripada harus menahan malu bareng Sunoo.

“Kak mau makan gak?” tanya Niki. Laper dia cuy.

“Mau, ada restoran deket sini gak?”

Niki menarik lengan Sunoo. “Ada, ayo.”

Yang lengannya di tarik malah makin kesemsem. Yaampun tarikan Niki lembut dan nyaman.

Tapi baru beberapa langkah mereka berhenti tepat ketika Niki melihat dua orang yang dikenalnya.

“KAK JAKE, KAK SUNGHOON!” seru Niki.

Niki tersenyum melihat kedatangan mereka sedangkan Sunoo di sampingnya; matanya membulat kontras dengan mulutnya yang ikut terbuka lebar seiring dua pemuda itu mendekati mereka

Kalau di kartun yang biasa Sunoo tonton kira-kira visualisasinya saat ini adalah rahangnya yang jatuh ke tanah dengan mata bulatnya keluar dari sarang. Alias SHOCK BERAT.

Sunoo kenal pemuda itu terutama cowok berambut coklat yang lebih pendek dari cowok di sebelahnya. Itu Kak Jake. Kakak kelasnya pas SMA.

“Kak Jake?!” seru Sunoo heboh.

Niki mengernyit, “Lo kenal kak Jake?”

Oh by the way Niki sekarang manggil mereka lo-gua. Sunoo yang minta, katanya kalau aku-kamu terlalu formal.

Bukannya jawab Sunoo justru menghamburkan diri ke pelukan Jake. Beruntung reflek Jake bagus jadi mereka gak jatuh ke pasir pantai.

“Sunoo ya? Sunoo bukan sih?”

“Iya kak aku Sunoo.”

“Siapa?” Cowok jangkung—yang Sunoo gak tau namanya.—mengintrupsi.

Jake menoleh padanya, “Sunoo. Adik kelasku pas SMA.”

“Oh iya Sunoo, ini Sunghoon pacar kakak.” lanjut Jake memperkenalkan Sunghoon.

Sunghoon dan Sunoo berkenalan. Gagal deh Sunoo dapet pacar bule (re; kak Jake). Padahal kalau kak Jake jomblo dan dia juga jomblo pengennya sih dia gebet—dulu dia keburu pacaran sama kak Jay— kali aja nyantol gitu. Eh ternyata udah punya pacar, ganteng pula.

Niki datang setelah dia mungutin sendal Sunoo yang kelempar pas tadi Sunoo tiba-tiba lari.

“Loh sama Niki?” tanya Jake.

“Iya kak, dia anaknya tante Rene.” jawab Niki.

Jake mengangguk, dia tau tante Rene pemilik panti jompo Ethereal soalnya Jake udah beberapa kali main kesana. Bareng Sunghoon juga.

“Kok kamu bisa ada disini?” tanya Jake pada Sunoo.

“Lagi liburan kak. Btw ceritanya mau sambil makan gak? Aku laper hehehe.”

“Nah tuh, sama gua juga laper. Ayo nyari makan aja.” ini Sunghoon yang bilang.

Sebenernya tadi Jake sama Sunghoon mau nyari makan setelah mereka selesai bermain parasailing.

Akhirnya berempatan tuh nyari makanan dengan Jake dan Sunoo yang ngobrolin masa SMA mereka. Sunghoon sama Niki diem aja soalnya belum ketemu mereka waktu itu.


Sunoo berjalan di bibir pantai sambil menenteng kedua sendalnya. Bajunya basa tapi dia gak mau ganti baju, padahal udah di bilangin Niki kalau bakal masuk angin.

Tadi mereka kelar main banana boat yang jatuh kebalik karena Sunoo malah joget di atas boat. Sunoo tuh niatnya mau lambai-lambai tangan aja biar kaya aktris aktris gitu terus jadi sok ngide joget di atas boat sambil nyanyi sambalado.

Ya jelas pas boatnya ketarik kenceng dia jatoh. Parahnya dia narik baju Niki yang bikin Niki ikut nyebur ke air. Abis itu Sunoo malah teriak minta tolong bilang ada ikan hiu yang bikin SEMUA ORANG PANIK TERMASUK NIKI disampingnya.

Udah lah Niki pas itu rasanya mau di makan ikan hiu beneran aja daripada harus menahan malu bareng Sunoo.

“Kak mau makan gak?” tanya Niki. Laper dia cuy.

“Mau, ada restoran deket sini gak?”

Niki menarik lengan Sunoo. “Ada, ayo.”

Yang lengannya di tarik malah makin kesemsem. Yaampun tarikan Niki lembut dan nyaman.

Tapi baru beberapa langkah mereka berhenti tepat ketika Niki melihat dua orang yang dikenalnya.

“KAK JAKE, KAK SUNGHOON!” seru Niki.

Niki tersenyum melihat kedatangan mereka sedangkan Sunoo di sampingnya; matanya membulat kontras dengan mulutnya yang ikut terbuka lebar seiring dua pemuda itu mendekati mereka

Kalau di kartun yang biasa Sunoo tonton kira-kira visualisasinya saat ini adalah rahangnya yang jatuh ke tanah dengan mata bulatnya keluar dari sarang. Alias SHOCK BERAT.

Sunoo kenal pemuda itu terutama cowok berambut coklat yang lebih pendek dari cowok di sebelahnya. Itu Kak Jake. Kakak kelasnya pas SMA.

“Kak Jake?!” seru Sunoo heboh.

Niki mengernyit, “Lo kenal kak Jake?”

Oh by the way Niki sekarang manggil mereka lo-gua. Sunoo yang minta, katanya kalau aku-kamu terlalu formal.

Bukannya jawab Sunoo justru menghamburkan diri ke pelukan Jake. Beruntung reflek Jake bagus jadi mereka gak jatuh ke pasir pantai.

“Sunoo ya? Sunoo bukan sih?”

“Iya kak aku Sunoo.”

“Siapa?” Cowok jangkung—yang Sunoo gak tau namanya.—mengintrupsi.

Jake menoleh padanya, “Sunoo. Adik kelasku pas SMA.”

“Oh iya Sunoo, ini Sunghoon pacar kakak.” lanjut Jake memperkenalkan Sunghoon.

Sunghoon dan Sunoo berkenalan. Gagal deh Sunoo dapet pacar bule (re; kak Jake). Padahal kalau kak Jake jomblo dan dia juga jomblo pengennya sih dia gebet—dulu dia keburu pacaran sama kak Jay— kali aja nyantol gitu. Eh ternyata udah punya pacar, ganteng pula.

Niki datang setelah dia mungutin sendal Sunoo yang kelempar pas tadi Sunoo tiba-tiba lari.

“Loh sama Niki?” tanya Jake.

“Iya kak, dia anaknya tante Rene.” jawab Niki.

Jake mengangguk, dia tau tante Rene pemilik panti jompo Ethereal soalnya Jake udah beberapa kali main kesana. Bareng Sunghoon juga.

“Kok kamu bisa ada disini?” tanya Jake pada Sunoo.

“Lagi liburan kak. Btw ceritanya mau sambil makan gak? Aku laper hehehe.”

“Nah tuh, sama gua juga laper. Ayo nyari makan aja.” ini Sunghoon yang bilang.

Sebenernya tadi Jake sama Sunghoon mau nyari makan setelah mereka selesai bermain parasailing.

Akhirnya berempatan tuh nyari makanan dengan Jake dan Sunoo yang ngobrolin masa SMA mereka. Sunghoon sama Niki diem aja soalnya belum ketemu mereka waktu itu.


“Kak Sunoo anaknya tante Rene ya?” tanya Niki.

“HAH?”

“Anaknya tante Rene.”

“GUA GAK DENGER SUARA LU KEKECILAN.”

Sekarang Sunoo sama Niki lagi di jalan, tepatnya di atas motor Niki.

Tadi Niki nawarin buat nganterin Sunoo pulang, berhubung Jake gak jadi ngikut dia—karena di anterin Sunghoon— dan Niki yang juga mau pulang jadi sekalian aja nganterin Sunoo. Lagian ternyata mereka searah juga kok.

Niki menghela nafas sebelum bertanya lagi, kali ini lebih keras. “ANAKNYA TANTE RENE YA?”

“IYAA.”

“KOK BARU KELIATAN?”

“HAH?! GUA GAK SUKA BATAGOR.”

Tuh kan! gini nih gak enaknya ngobrol di atas motor jadinya miskom. Mana daritadi tiap Niki nanya Sunoo cuma jawab hah hoh hah hoh kalo enggak ya jawaban ngawur kaya tadi.

Niki lebih parah sih masa tadi Sunoo nanya ini daerah mana di jawab alam ghaib. YA TAKUT LAH SUNOO.

Tapi walaupun angin kencang, suara kendaraan yang saling bersahutan dan motor Niki melaju santai mereka tetep ngobrol meski harus teriak-teriakan.

Dan kadang miss komunikasi.

Sunoo menepuk pundak Niki berkali-kali membuat si empu menoleh ke kaca spion. “Kenapa kak?”

“MAU BELI GANTUNGAN KUNCI.”

“Dimana?”

“GUA GAK TAU, COBA CARI TOKO YANG JUAL GANTUNGAN KUNCI.”

Ngerti gak sih ini sebenernya jalan yang mereka lewati gak terlalu serame tadi dan Niki juga jalanin motornya santai, tapi Sunoo jawabnya tetep aja teriak-teriakan. Kalau Niki gak make helm pasti kupingnya udah berdendang.

“Iya aku tau tempatnya dimana.”

“APAAN?!”

Et dah cowok di belakangnya ini gak pernah bersihin kupingnya ya? Tau si ketutupan helm tapi kan...

“IYA KAK.” akhirnya tetep harus teriak juga.


“Lucu gak menurut lo?” tanya Sunoo memperlihatkan gantungan kunci berbentuk kupu-kupu

Niki mengangguk, “Iya lucu.” Tapi bukan gantungan kunci itu yang menjadi fokusnya, melainkan cowok berambut pink di hadapannya.

Sunoo tersenyum senang. Lalu kembali mengitari toko.

Sebenarnya Sunoo gak butuh gantungan kunci atau apapun itu di toko ini. Dia cuma pengen lebih lama sama Niki, jadi mengulur waktu versi Sunoo adalah beli barang yang gak dia butuhin.

Sengaja juga ngiterin tokonya lebih lama dan pura-pura ngeliat, sesekali dia nanya pendapat Niki setiap jemarinya mengambil sesuatu.

“Niki!” seru Sunoo.

Niki yang lagi main handphone langsung menaruh atensi sepenuhnya padanya.

“Iya kak?”

Sunoo memperlihatkan kalung yang di pilihnya, “Bagus gak?”

“Bagus kok.”

“Lo suka?”

“Huh? suka...”

“Oke deh kalau gitu gua beli.”

Niki mengernyit, tapi tetap mengikuti Sunoo yang berjalan ke arah kasir.

“Nih.” ujar Sunoo menyerahkan kalung tadi.

“Hah?”

“Buat lo, katanya lo suka.”

“Eh? Gak perlu kak.”

“Gapapa, anggap aja ganti uang bensin dari gua karena lo mau nebengin gua.”

Niki agak ragu tapi ia tidak enak juga kalau harus menolak. “Arigato.”

“Pake dong, atau mau gua yang pakein?” cecar Sunoo yang melihat Niki diam saja.

“Gua pake sekarang nih?”

“Yaiya masa tahun depan! Sekarang cepet biar gua liat lo make.”

Niki terkekeh, lalu memasangkan kalung itu di lehernya.

Niki tampan di mata Sunoo.

Kalungnya memang sederhana, malah tidak menambah kesan apapun. Tapi karena Sunoo yang memilihnya ia jadi suka.

“Ayo pulang.”


Semilir angin di taman; dengan pemandangan langsung ke pantai di sore hari harusnya bisa Sunoo nikmati. Tapi hari ini enggak karena fokusnya terbagi dua kepada wanita cantik paruh baya yang sekarang seluruh jemarinya sudah keriput.

Di sebelahnya ada Niki, cowok yang beberapa menit tadi ia temui. Sama repotnya dengan Sunoo.

“Kak aku ambil makanan dulu ya.”

Kak? Niki lebih muda dari dirinya apa?

Sunoo mengangguk sambil mengibaskan tangannya. Tapi sepersekon kemudian Niki di panggil lagi. Tunggu dulu cuy dia gak bisa bahasa Jepang.

“Nenek lo?”

Niki mengangguk mengerti. “Dia ngerti kok sedikit sedikit.”

Jadi selagi Niki pergi mengambil makanan, Sunoo sesekali ngajak ngobrol nenek Niki walaupun gak yakin juga neneknya paham.

“Sunoo dari Jakarta loh, Obaa-sama.”

Hening.

“By the way Obaa-sama udah berapa lama di Bali? Terus kok bisa pindah ke Bali?”

Hening lagi.

“Mau liat tiktoknya fadil jaidil gak?”

Udah pasrahhh. Au ah makin gak ngerti yang ada nenek ini sama apa yang Sunoo omongin, jadinya Sunoo diem aja sambil ngeliatin para lansia lain yang berlalu lalang juga di temani suster masing-masing.

“Niki.” ujar wanita itu lebih terdengar seperti gumaman.

“Huh?” tanya Sunoo.

“Jaga Niki-kun.”

Sunoo mengernyit, tak mengerti apa maksud wanita ini.

“Saya tahu kamu orang baik, kalau nanti Obaa-san tidak ada. Tolong jaga Niki-kun.”

“Tapi, Sunoo baru ketemu Niki hari ini, Obaa-sama.”

Wanita itu mengangguk, ia mengenggam tangan Sunoo. Hangat.

“Saya tahu. Tapi tolong ada di sampingnya, ketika saya tidak ada. Saya tidak meminta Sunoo-kun, saya hanya ingin tahu bahwa ada orang disisinya nanti.”

Sunoo tidak menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan kalau setelah libur semester nanti ia akan balik ke Jakarta karena kuliahnya disana, pun tidak bisa memberikan janji janji palsu yang tak akan pernah di tepati.

“Sunoo juga tahu Niki anak yang baik, pasti bakal banyak yang sayang sama dia.”

ya, setidaknya hanya ini yang bisa Sunoo katakan. Daripada ia harus berbohong.

Wanita itu mengangguk, sembari tersenyum kecil. Senyumannya manis. Persis seperti senyum mamahnya ketika membacakan Sunoo dongeng dulu.

“Matahari selalu menunggu bulan guna berganti peran dengan malam, begitupun sebaliknya. Setiap tetesan hujan akan menumbuhkan tumbuhan, lalu tumbuhan disana akan menguap sampai ke atmosfer dan menciptakan hujan yang baru.”

“Semua hal di dunia memang tercipta untuk dua hal saja. Bergiliran saling menunggu sampai waktu yang tepat.—”

”—Tapi mereka tahu bahwa tak akan pernah ada waktu untuk berjumpa. Sampai saat dimana cinta di hancurkan.” lanjut wanita itu.

Sunoo mengangguk, walaupun ia sebenarnya tidak mengerti maksudnya. Namun kata-kata yang di gunakan wanita itu terdengar dalam, ya walaupun bahasa Indonesia nya agak berantakan sih.

“Gak ada hal di dunia ini yang akan selalu bersama, Obaa-sama. Bahkan pasangan sejati sekalipun akan di pisahkan oleh waktu.” ujar Sunoo.

“Dan tak pernah ada kata waktu yang tepat, karena tak ada yang tahu bagaimana cara kerja waktu memainkan perannya. Jika saat ini kamu bahagia, bisa saja besok akan jadi hari tersialmu. Ini kenapa kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.” katanya lagi.

Wanita itu tersenyum.

Dan tak lama Niki datang sembari membawa semangkuk bubur juga air di genggamannya.