hwoneboom

Debur ombak pantai terdengar berirama, dapat ia rasakan desir laut yang membelai wajahnya dengan lembut memberikan afeksi kecil pada si pemuda. Langit mulai gelap, iluminasi jingga yang berpadu biru gelap terpancar dari balik irisnya. Pertanda sang surya siap pergi tidur, dan berganti dengan terangnya bulan.

Samar-samar ia dapat mendengar lantunan nada piano yang mengalun mengikuti tempo. Kadang lambat, lalu berganti cepat kemudian sedang dan berganti menjadi tempo di awal. Terus berulang menghasilkan nada-nada unik yang nyaman di dengar.

Lalu beberapa menit kemudian, musik itu berganti menjadi tepuk tangan penonton yang menguar memenuhi udara bumantara.

Changgu menghela nafasnya, pemuda manis itu mengedarkan pandangan ke penjuru pantai sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kontestan yang ke-12 akan segera mulai, ia harus sudah duduk di barisan paling depan atau kekasihnya akan mengomel panjang lebar.

Hari ini, di Bandung sedang diadakan kontes piano. Kontes yang sebenarnya jarang sekali di adakan di kota kembang ini; terlebih lagi di tepi pantai seperti ini.

Changgu juga tak tahu menahu dalam hal musik klasik, kekasihnya yang berniat untuk mengikuti kontesnya. Jadi sebagai kekasih yang baik, sang adam tentu turut mendukung. Ia fikir pertunjukan ini hanya akan di hadiri oleh segelintir orang, namun ternyata banyak sekali peminatnya.

Sang adam kemudian kembali ke tempat duduk awal. Tepat di depan panggung dimana ia bisa dengan jelas melihat pertunjukannya.

Senyum terlukis di wajahnya kala rungunya mendengar nama sang kekasih di panggil, lalu bertambah lebar saat iris coklatnya bertemu dengan iris jelaga lelaki itu. Ia juga ikut tersenyum.

Kedua tangan Changgu terkepal di udara, membentuk gestur semangat yang nampak lucu di mata. Lelaki di atas panggung itu terkekeh; kemudian mengambil ancang-ancang siap memainkan pianonya.

Dapat Changgu lihat bagaimana sang kekasih yang lebih tua itu mengatur dirinya agar tidak gugup, mengambil nafasnya dalam-dalam dan dalam sekali hentakan jarinya menari di atas not-not nada. Sesekali ia juga mengubah posisi badannya, yang semula duduk tegap lalu membungkuk menekan dalam piano di atasnya.

Alunan nada bertajuk Merry go round yang di ciptakan oleh Joe Hisaishi mengalun lambut seolah menerbangkan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya. Jari jari yang menari di atas not menghantarkan Changgu pada sensasi dunia fantasi. Serta di temani dengan desiran pantai yang semakin menambah buana khayalan yang di ciptakan kekasihnya.

Tanpa sadar Changgu memejamkan matanya; ikut terbuai dalam permainannya. Tak ada kesalahan yang ia dengar, semuanya mengalun dengan begitu tenang dan indah. Irama yang di hasilkan silih berganti. Temponya akan menjadi cepat, lalu tiba-tiba melambat, kemudian cepat lagi dan berputar secara terus menerus. Namun tetap enak di telinga.

Lalu ketika kelopak matanya perlahan terbuka, entitas pertama yang Changgu lihat adalah bagaimana sang kekasih terlihat satu juta kali lebih indah saat ini. Dengan balutan kemeja putih yang senada, juga cahaya lampu yang menyinari ia bermain semakin menambah kesan dramatis pada sang adam.

Changgu tak pernah sadar seseorang yang sedang bermain piano bisa seindah ini. Ingin rasanya ia naik ke atas panggung, menari layaknya seorang balerina yang akan melawan sang angsa dengan sepatu balet ajaibnya. Lalu menyuruh sang kekasih untuk berhenti bermain agar ia bisa berdansa bersamanya. Namun yang akan Changgu lakukan adalah tersenyum lebar dengan binar bangga tercetak lewat netranya.

Dan ketika jari-jari itu mulai melambatkan tempo narinya, tepat ketika not terakhir di getarkan, semua orang terdiam. Para manusia itu masih terpana dengan permainan sang pemuda. Semuanya masih dalam khayalan menari di atas lembah Romsdal Valley dengan pemandangan bukit tinggi serta sungai yang mengalir deras.

Tak terkecuali Yeo Changgu yang sebegitu terpukau melihat penampilan sang kekasih. Namun beberapa sekon kemudian sorai sorai penonton serta tepukan tangan menjadi satu satunya suara yang tercipta saat ini.

Ia sontak ikut berdiri dan bertepuk tangan keras, dengan lantang menyebutkan nama “Koh Shinwon!” selaras dengan senyuman yang tak pudar di wajahnya. Pemuda di atas panggung yang bernama Koh Shinwon ikut tersenyum bahagia, tak di sangka respon penonton akan semenyenangkan ini.

Pemuda itu kemudian turun dari panggung, menghampiri kekasih mungilnya yang masih setia bertepuk tangan. Tanpa aba-aba langsung memeluknya erat.

“Makasih udah dateng, padahal lo gak suka musik. Gue sayang banget sama lo, Changgu.” ujar Shinwon.

Changgu terkekeh, “Gue emang gak suka musik, tapi untuk kali ini mungkin musik jadi kesukaan gua kalo yang mainin piano nya itu lo.”

Dan detik itu Koh Shinwon menjadi pemuda lembek bagai ubur ubur hanya dengan mendengar balasan sang kekasih. 

#ASMARALOKA

Debur ombak pantai terdengar berirama, dapat ia rasakan desir laut yang membelai wajahnya dengan lembut memberikan afeksi kecil pada si pemuda. Langit mulai gelap, iluminasi jingga yang berpadu biru gelap terpancar dari balik irisnya. Pertanda sang surya siap pergi tidur, dan berganti dengan terangnya bulan.

Samar-samar ia dapat mendengar lantunan nada piano yang mengalun mengikuti tempo. Kadang lambat, lalu berganti cepat kemudian sedang dan berganti menjadi tempo di awal. Terus berulang menghasilkan nada-nada unik yang nyaman di dengar.

Lalu beberapa menit kemudian, musik itu berganti menjadi tepuk tangan penonton yang menguar memenuhi udara bumantara.

Changgu menghela nafasnya, pemuda manis itu mengedarkan pandangan ke penjuru pantai sebelum ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Kontestan yang ke-12 akan segera mulai, ia harus sudah duduk di barisan paling depan atau kekasihnya akan mengomel panjang lebar.

Hari ini, di Bandung sedang diadakan kontes piano. Kontes yang sebenarnya jarang sekali di adakan di kota kembang ini; terlebih lagi di tepi pantai seperti ini.

Changgu juga tak tahu menahu dalam hal musik klasik, kekasihnya yang berniat untuk mengikuti kontesnya. Jadi sebagai kekasih yang baik, sang adam tentu turut mendukung. Ia fikir pertunjukan ini hanya akan di hadiri oleh segelintir orang, namun ternyata banyak sekali peminatnya.

Sang adam kemudian kembali ke tempat duduk awal. Tepat di depan panggung dimana ia bisa dengan jelas melihat pertunjukannya.

Senyum terlukis di wajahnya kala rungunya mendengar nama sang kekasih di panggil, lalu bertambah lebar saat iris coklatnya bertemu dengan iris jelaga lelaki itu. Ia juga ikut tersenyum.

Kedua tangan Changgu terkepal di udara, membentuk gestur semangat yang nampak lucu di mata. Lelaki di atas panggung itu terkekeh; kemudian mengambil ancang-ancang siap memainkan pianonya.

Dapat Changgu lihat bagaimana sang kekasih yang lebih tua itu mengatur dirinya agar tidak gugup, mengambil nafasnya dalam-dalam dan dalam sekali hentakan jarinya menari di atas not-not nada. Sesekali ia juga mengubah posisi badannya, yang semula duduk tegap lalu membungkuk menekan dalam piano di atasnya.

Alunan nada bertajuk Merry go round yang di ciptakan oleh Joe Hisaishi mengalun lambut seolah menerbangkan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya. Jari jari yang menari di atas not menghantarkan Changgu pada sensasi dunia fantasi. Serta di temani dengan desiran pantai yang semakin menambah buana khayalan yang di ciptakan kekasihnya.

Tanpa sadar Changgu memejamkan matanya; ikut terbuai dalam permainannya. Tak ada kesalahan yang ia dengar, semuanya mengalun dengan begitu tenang dan indah. Irama yang di hasilkan silih berganti. Temponya akan menjadi cepat, lalu tiba-tiba melambat, kemudian cepat lagi dan berputar secara terus menerus. Namun tetap enak di telinga.

Lalu ketika kelopak matanya perlahan terbuka, entitas pertama yang Changgu lihat adalah bagaimana sang kekasih terlihat satu juta kali lebih indah saat ini. Dengan balutan kemeja putih yang senada, juga cahaya lampu yang menyinari ia bermain semakin menambah kesan dramatis pada sang adam.

Changgu tak pernah sadar seseorang yang sedang bermain piano bisa seindah ini. Ingin rasanya ia naik ke atas panggung, menari layaknya seorang balerina yang akan melawan sang angsa dengan sepatu balet ajaibnya. Lalu menyuruh sang kekasih untuk berhenti bermain agar ia bisa berdansa bersamanya. Namun yang akan Changgu lakukan adalah tersenyum lebar dengan binar bangga tercetak lewat netranya.

Dan ketika jari-jari itu mulai melambatkan tempo narinya, tepat ketika not terakhir di getarkan, semua orang terdiam. Para manusia itu masih terpana dengan permainan sang pemuda. Semuanya masih dalam khayalan menari di atas lembah Romsdal Valley dengan pemandangan bukit tinggi serta sungai yang mengalir deras.

Tak terkecuali Yeo Changgu yang sebegitu terpukau melihat penampilan sang kekasih. Namun beberapa sekon kemudian sorai sorai penonton serta tepukan tangan menjadi satu satunya suara yang tercipta saat ini.

Ia sontak ikut berdiri dan bertepuk tangan keras, dengan lantang menyebutkan nama “Koh Shinwon!” selaras dengan senyuman yang tak pudar di wajahnya. Pemuda di atas panggung yang bernama Koh Shinwon ikut tersenyum bahagia, tak di sangka respon penonton akan semenyenangkan ini.

Pemuda itu kemudian turun dari panggung, menghampiri kekasih mungilnya yang masih setia bertepuk tangan. Tanpa aba-aba langsung memeluknya erat.

“Makasih udah dateng, padahal lo gak suka musik. Gue sayang banget sama lo, Changgu.” ujar Shinwon.

Changgu terkekeh, “Gue emang gak suka musik, tapi untuk kali ini mungkin musik jadi kesukaan gua kalo yang mainin piano nya itu lo.”

Dan detik itu Koh Shinwon menjadi pemuda lembek bagai ubur ubur hanya dengan mendengar balasan sang kekasih. 

“Yanan?”

Yang dipanggil menoleh, pupilnya melebar kentara terkejut. “Eum maaf aku kesini gak izin kamu.” katanya sambil menggaruk tengkuk.

Sedang yang memanggil masih diam mengamati lelaki itu dengan seksama. Jantungnya berdegup dua kali lebih kencang, entah karena terkejut atas kedatangan sang adam atau masih gusar dengan pertengkaran mereka tempo lalu.

Changgu menghela nafas, “gakpapa, kamu gak perlu pake izin kalau mau kesini.”

Netra Changgu bergulir ke arah makam sang ibunda, disana sudah ada setangkai bunga yang di letakan di dekat batu nisannya. Ia rasa Yanan yang membawa bunga tersebut.

Lagi, cowok yang lebih mungil itu menghela nafas sebelum ia menautkan kedua jarinya dan berdoa. Fikirnya biarkan Yanan urusan nanti, tujuan awal dia kesini untuk berdoa. Jadi dengan khidmat meski masih di landa rasa gusar, Changgu berdoa agar sang ibunda di tempatkan di surga.

Yanan tetap diam, ia mengamati gerak gerik Changgu dengan cermat. Fikirannya penuh dengan berbagai ucapan penjelasan yang akan ia lontarkan nanti pada sang kekasih.

Setelah di rasa Changgu selesai berdoa, lelaki itu langsung berpindah posisi dari tempat semula ia berdiri. Memblokir jalan yang lebih pendek agar tak kemana-mana.

“Boleh ngomong sebentar?”


“Gak usah di bahas.” kata Changgu sesaat setelah mereka duduk.

“Apa?”

“Kalau kamu mau omongin masalah kemarin gak usah di bahas. Kamu gak salah, aku yang kebawa emosi waktu itu. Kayanya aku lagi capek dan malah ngelampiasin ke kamu, harusnya aku gak gitu.”

Belum sempat Yanan bicara, lelaki itu kembali melanjutkan omongannya. “Kamu bener kalau bilang aku childish, aku harusnya gak ngebanding-bandingin diriku sama Hyunggu. Apalagi tujuan awal kamu baik mau ngajak jalan, eh malah aku rusak gitu aja. Maaf ya.”

Yanan mengangguk. “Udah?” tanyanya.

Changgu mengernyit tak mengerti, namun dirinya tetap mengangguk. “Udah?”

“Okay kalau udah gantian aku yang ngomong.”

“First, aku bakal jelasin kenapa aku bisa makan bareng Hyunggu. Itu bukan kaya yang kamu fikirin, waktu itu makan malam keluarga ku dan Hyunggu. Aku juga salah kenapa cuma nyebutin nama Hyunggu, kamu pasti salah paham tentang ini kan?”

Changgu mengangguk.

“Kedua, gak ada yang lebih baik dibanding kamu sama Hyunggu. Aku sayang kamu walaupun mungkin Hyunggu emang punya banyak hal yang kamu gak punya. Tapi gimanapun aku tetep sayang kamu.”

“Kamu tau kan kenapa aku tetep pertahanin kamu Chang? Kamu tau kan setiap kali aku bilang buat tungguin aku, aku pasti bakal nikahin kamu nanti. Itu karena aku sayang banget sama kamu Changgu, aku gak mau kehilangan kamu. Tapi keadaan ini gak mungkin aku bertindak seenaknya.”

Pupil Changgu bergetar, ia masih bergeming namun fikirannya berisik.

Omongan Shinwon dan segala petuahnya tempo hari tentang segala konsekuensi yang ia lakukan bersama Yanan menguar di kepala, berputar layaknya film yang sedang di mainkan.

“Aku mohon, jangan diemin aku kaya gini.” lirih Yanan.

Buyar.

Segala hal yang terlintas di kepalanya tiba tiba buram bersamaan dengan tangisan Changgu yang pecah.

Katakan saja Changgu cengeng, tapi keadaan seperti ini memang membuat emosinya tak stabil.

Yanan yang melihat itu sontak memeluknya, mendekap sang kekasih agar ia bisa meredam suara tangisnya.


Changgu melepas pelukan mereka, baju Yanan basah karena air matanya. Ia sedikit meringis karena menangis berlebihan.

Yang lebih tinggi mengelus surainya, memberikan kehangatan lewat perlakuan kecil tersebut.

“Baju kamu jadi basah.”

Yanan terkekeh, “gakpapa, aku bisa ganti baju.”

“Emangnya kamu bawa baju ganti ke makam?” tanya Changgu.

“Maksudku pas pulang ke rumah sayang.” jawab Yanan sambil tersenyum.

“Oh, iyaya.” Changgu jadi sedikit kikuk, kebiasannya kalau abis nangis suka gak konsen.

“Pulang yuk, sebentar lagi malem.”

Changgu tak menanggapi ia melihat ke arah jendela. Suara burung pipit samar-samar terdengar dari balik kaca jendela diiringi kemiringan matahari yang membujur jauh. Iluminasi jingga dan biru hitam terpancar dari balik irisnya. Kakinya mulai mengetuk lantai, kentara sedang memikirkan sesuatu.

Jadi dengan lembut Yanan mengelus bahu lelaki yang lebih tua beberapa bulan darinya. Sontak saja membuyarkan lamunan Changgu. “Love?”

Changgu menengok, panggilan baru yang di lontarkan Yanan membuat darahnya berdesir.

“Ya?” tanya Changgu.

“Mau pulang gak?”

Changgu menggeleng, “Disini sampe malem boleh gak?”

Oh sekarang mereka memang lagi di salah satu caffe yang jaraknya gak jauh dari makam. Yanan sengaja mengajaknya kesini karena kalau nyari tempat yang kejauhan bisa jadi lebih lama.

“Kamu gak capek emang?”

Changgu menggeleng, dan Yanan menyutujui usulannya.

Hening. Hanya suara kaki kaki yang melangkah serta percakapan orang lain yang terdengar di rungu mereka.

Masing masing sedang meniti kata apa yang akan mereka ucapkan.

Namun beberapa sekon kemudian Yanan berinisiatif lebih dulu. “Chang masih ada sesuatu yang mau aku tanyain ke kamu.”

“Apa?”

Yanan menghela nafasnya, dan dengan serius ia menatap sang kekasih.

Changgu tahu kemana percakapan ini akan mengarah, dan ia juga tahu konsekuensi apa yang akan terjadi padanya. Omongan Shinwon yang mengatakan, lo gak bisa egois. kembali terdengar di kepala.

“Do you still wait for me?”

Namun ketika netra obsidian itu bersitubruk dengan netra coklatnya Changgu kembali luluh lantah.

Dari sana dapat Changgu lihat harapan terpancar dari iris sang kekasih, juga setitik keputus asaan jika saja yang lebih mungil mungkin akan menolaknya.

Changgu sadar, ia lebih dari sadar kalau Yanan membutuhkannya. Begitupun sebaliknya. Changgu juga sadar, ia jauh lebih sadar kalau apapun yang mereka lakukan merupakan bentuk afeksi berlapis keegoisan.

Namun ketika lagi lagi netra itu mulai meredup, ada bagian dalam dirinya yang tak mungkin bisa meninggalkannya begitu saja. Ada bagian dalam diri Changgu yang tak akan bisa lepas dari jerat jebakan pemuda di hadapannya.

Dan Changgu sadar, seluruh hatinya memang sudah di genggam oleh lelaki itu.

Lalu ketika pertanyaan kedua kali terlontar, “do you still wait for me?”

Changgu memantapkan hatinya, untuk kesekian kalinya ia akan menjawab,

“Yes.”

Dan mungkin terakhir kalinya.

Bagi Hongseok, Changgu adalah matahari dikala musim salju. Ia bisa mati membeku jika Changgu tak menyinarinya saat itu.


Salju dan musim dingin menjadi penanda bagaimana dua anak manusia yang tak saling mengenal bertemu dalam takdir.

Salju dan musim dingin akan selalu menjadi kebahagiaan dari cerita penjang penuh kasih sayang seorang Yang Hongseok dan Yeo Changgu.


Namanya Yeo Changgu, usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Hongseok. Saat pertama kali Hongseok melihatnya, ia sedang menangis disamping jasad kedua orang tuanya. Meracau mengapa monster jahat tega membunuh kedua orang tuanya sendiri.

Jadi Hongseok menghampirinya; dan tanpa aba-aba langsung memeluknya. Saat itu pemuda mungil itu terlihat sangat lemah di pelukan Hongseok, air matanya tak berhenti mengalir, bibirnya gemetar, ia memeluknya dengan erat bahkan ketika mereka tak saling mengenal satu sama lain.

Lalu Hongseok mencoba menanyakan nama pemuda itu. “Yeo Changgu.” nama yang manis.


Namanya Yeo Changgu, usianya 22 tahun ketika untuk yang kedua kalinya mereka bertemu. Dalam keadaan yang sudah lebih baik tentunya.

Kala itu, salju masih turun dengan derasnya. Namun pemuda itu tersenyum hangat sambil mengucapkan terima kasih karena telah menolongnya tempo lalu.

Suaranya halus dengan wajah yang tampan nan menawan, tubuh mungilnya berjalan ke arah Hongseok dengan ceria. Dan senyumnya; senyumnya dapat membawa jutaan kepak sayap kupu-kupu ke dalam hati Hongseok. Menggelitik halus. Membangkitkan tawa renyah Hongseok ke permukaan.

Saat pertama kali Hongseok mendengar tawanya, maka Hongseok telah memutuskan untuk jatuh cinta kepada pemuda mungil itu.


Namanya Yeo Changgu, usianya masih 22 tahun. Hongseok masih ingat jelas bagaimana pemuda itu berlari bersama teman-temannya, guna meghindar dari serangan yang ada di Seoul saat itu. Wajahnya masih tampan, suaranya masih sehalus yang ia dengar, dan senyumnya tetap membuat pemuda Yang itu tergelitik dengan cara yang tak biasa.

Tubuh mungilnya berlari ke arahnya sekuat tenaga dan berteriak memanggil namanya.

“Hongseok-ssi!”

Hongseok menyukai bagaimana pemuda itu memanggil namanya dengan khas. Dengan suara yang mengalun lembut; seperti jiwanya terserap dan terperangkap dalam suara manis itu.


Namanya Yeo Changgu, usianya akan menginjak 23 tahun kala Hongseok membuat perayaan kecil di tenda tempat mereka berlindung dari hantaman salju dan monster di luar.

Changgu bilang ia selalu ingin sebuah boneka besar yang bisa ia peluk saat tidur. Jadi Hongseok memutuskan untuk membelikannya sebuah boneka beruang besar.

Pemuda itu menyukainya, “terima kasih! padahal kau tidak perlu repot-repot membelikanku hadiah.” katanya sambil memeluk boneka beruang berwarna coklat.

Hongseok tersenyum, lalu Hyunggu datang membawa kue ulang tahun sederhana untuk sahabatnya. Tak hanya mereka, teman teman mereka juga ikut merayakannya, bersorak menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan deru tawa.

Dapat Hongseok lihat bagaimana mata coklat pemuda mungil itu berbinar dengan indah, menunjukan afeksi bahagia lewat sorot matanya sampai menangis. Perubahan ekspresi dari sedih, terkejut hingga senang. Begitu indah di mata Hongseok. Seolah setiap inci dari wajah pemuda itu adalah pemandangan yang tak boleh ia lewatkan.

“Hongseok Hyung, terima kasih.”

Ingatkan Hongseok agar tak meleleh saat itu juga.


Namanya Yeo Changgu, usianya sudah menginjak 23 tahun kala jarum jam analog menunjukan angka 12 dan ia yang meniup lilin ulang tahunnya dengan gembira.

Hongseok memeluknya, mendekap pemuda mungil itu seperti saat pertama kali mereka bertemu. Merasakan aroma floral dari tubuh mungil itu menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Hongseok, dan membuatnya mabuk.

Wajahnya berseri, terlihat sekali sedang dalam euforia bahagia. “Terima kasih Hyung, aku tak menyangka akan ada yang merayakan ulang tahunku.” katanya masih memeluk Hongseok.

“Kau berhak mendapatkannya Chang.”

Sejak detik itu, Hongseok berjanji pada dirinya sendiri untuk terus mendekap pemuda itu, untuk terus menjaganya dari dinginnya dunia, dan tidak akan pernah membiarkan kesedihan menghampiri pemuda mungil ini.


Namanya Yeo Changgu, usianya 23 tahun. Dalam balutan mantel coklat yang melahap torsa dan lengannya, pemuda itu nampak seperti bocah umur 5 tahun yang tengah berlindung dari dinginnya salju.

Hari itu, tanpa aba-aba Changgu mulai menceritakan tentang kejadian apa yang di lihat Hongseok saat pertama kali mereka bertemu. Di jalanan yang tampak tertutup oleh bulir-bulir salju.

“Monster itu jahat.”

Hongseok mengangguk. “Memang.”

Wajah manisnya menengadah ke langit. Kumpulan memori terputar bagaikan film yang sedang di mainkan di kepalanya.

Pemuda itu menghela nafas lagi; sebelum melanjutkan omongannya. “Saat itu aku tak tahu apa yang terjadi. Aku bersembunyi di dalam lemari, dan saat aku keluar. Ayah dan ibuku sudah mati di makan monster entah apa itu.”

Hongseok meringis, kata-kata mati itu terdengar sangat kejam di telinga. Walau ia akui perbuatan monster itu lebih kejam.

“Lalu tiba-tiba kau datang, aku fikir kau adalah monster! tapi ternyata bukan, kau menolongku Hyung!”

“Jika kau tidak datang saat itu mungkin saja aku sudah di makan oleh monster yang lain juga.” lanjutnya sambil tersenyum.

Senyuman Changgu membuat Hongseok tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya ke arah yang bersebrangan.

“Hei Changgu.”

“Ya?”

“Orang tua-mu melindungimu dengan berani disana, menjagamu agar kau tetap hidup. Dan sekarang adalah tugasku untuk menggantikan perjuangan mereka.”

Iris coklat Changgu melembut, lebih lembut dan manis dari gulali yang pernah Hongseok makan.

Changgu menatapnya, dari sorot matanya Hongseok dapat melihat jutaan kata yang tak bisa terucap ada disana. Namun penuh dengan kekaguman dan rasa terima kasih.

“Terima kasih, Hongseok Hyung. Aku menyayangimu.”


Namanya Yeo Changgu usianya masih 23 tahun ketika ia berjalan menghampiri Hongseok dengan sebuket bunga sambil mengucapkan selamat ulang tahun pada pemuda yang lebih tua itu.

Betapa bahagainya Hongseok ketika tahu bahwa pemuda Yeo itu ingat tanggal lahirnya bahkan ketika si empu tidak mengingatnya lagi.

“Maaf aku hanya bisa memberikanmu ini, tadinya aku ingin membuat kue. Namun tak ada toko bahan makanan yang buka.”

“Tidak apa, ini sudah lebih dari cukup.”

“Ah, tunggu sebentar!” katanya, kemudian jemarinya mulai mengobrak tasnya mengambil kotak korek api kayu lalu digosokan agar tercipta api kecil.

Hongseok tertawa kecil melihat sikap pemuda dihadapannya.

“Make a wish?” tanya Hongseok.

“Make a wish!” jawab Changgu.

Hongseok memejamkan mata, kedua tangannya terpaut; dalam hati ia berdoa semoga musim dingin akan selalu menjadi warna dalam hidupnya dan semoga Changgu juga selalu mewarnai hidupnya dalam sisa-sisa tahun kedepan.

Hongseok meniup lilinya dan saat ia membuka mata ia di sambut oleh senyuman si manis; yang sampai sekarang tetap membuatnya terasa di awang.


Namanya Yeo Changgu, usianya 23 tahun. Suaranya serak khas orang yang sedang menangis. Dengan raut wajah panik berlari kearahnya; memekik sambil bercurai air mata saat melihat pergelangan kaki kiri Hongseok yang terluka.

“Kau bilang tidak akan pergi keluar sendirian?! Kenapa kau pergi?!” murkanya.

Hongseok masih tersenyum sambil mengusap lembut kepala si mungil, nyeri di pergelangan kaki masih ia rasakan. Namun rasanya menjadi hangat ketika pemuda itu menghampirinya.

“Maaf, aku harus mencari obat untuk Wooseok.”

“Kau seharusnya mengajak ku, kita bisa mencarinya bersama hyung.”

“Dan membiarkan kau yang terluka?” Hongseok menggeleng, “Tidak akan.”

Tangisan Changgu semakin deras ketika menyadari ia tak bisa berbuat apa apa untuk menolong cowok itu.

“Hei Changgu, berhentilah menangis kaki ku butuh di obati.” ujar Hongseok lembut.

Pemuda di hadapannya itu langsung tersadar, sepersekon kemudian ia mengelap air matanya dan dengan cepat mengambil kotak obat. “Maaf.” katanya.

Hongseok bergeming, merasakan bagaimana tangan kecil itu menyentuh permukaan kulitnya; dengan lihai membalutkan perban di kakinya.

Hongseok bersyukur, setidaknya di saat ia terluka seperti ini masih ada Changgu yang akan mengobati lukanya. Tidak hanya luka di pergelangan kakinya, namun juga di dalam hatinya.

Mengobati dengan hangat dan membalutnya dengan perban berbentuk perasaan bahagia.


Namanya Yeo Changgu dan usianya masih 23 tahun. Sambil menatap salju yang terus turun di langit Seoul, sambil bersandar di bahu lebar Hongseok. Malam itu pemuda manis itu terlihat berjuta kali lebih bercahaya dari sebelumnya.

Alunan lagu dari handphone Hongseok yang bertajuk as the world caves in milik Matt Maltese mengalun lembut menemani sepasang muda mudi yang tengah menatap buliran salju turun di bawah pohon kering yang tak akan lagi tumbuh; berbunga ataupun berdaun.

Sambil mensenangdungkan lagu tersebut, tangan kecil Changgu mencoba untuk menangkap salju yang langsung pecah saat mengenai tangannya.

“Hyung boleh kah aku bertanya?”

“Tentu saja.”

“Apa musim favoritmu?”

Hongseok terdiam sejenak, menatap pemuda yang sedikit lebih kecil darinya. “Musim dingin.”

“Kenapa?”

“Karena aku bertemu denganmu.”

“Bagaimana jika kita bertemu di musim yang lain?”

Hongseok mengedikan bahu, “Entahlah, ku fikir apapun musimnya ketika aku bisa bersamamu aku akan selalu menyukainya.”

Changgu terkekeh mendengar jawaban yang lebih tua. “Itu menggelikan!” candanya.

Bola mata Hongseok berotasi, “itu memang benar.”

“Hey, mau berfoto?” tanya Hongseok.

“Lagu ini lebih cocok di gunakan untuk berdansa daripada berfoto Hongseok-ssi.”

“Jadi kau ingin berdansa denganku ya?”

“Jika kau mengajak, aku tidak akan menolak.”

Dan tawa renyah menguar dari mulut kedua pemuda itu. Ketika masing masing dari mereka saling merasakan permukaan kulit yang menyatu.

Hongseok menarik pinggang kecil Changgu, sedang tangan Changgu bertumpu di antara kedua bahunya.

“Kaki mu sudah tidak sakit?”

Hongseok menggeleng.

Kali ini ia tak ingin banyak bicara, bola mata Hongseok menelisik masuk ke dalam iris cokelat indah milik pemuda di hadapannya.

Kakinya bergerak sesuai irama, dan senyumnya. Senyumnya tak pudar mengekspresikan seberapa bahagianya pemuda itu saat ini. Meski mereka berdua hanya berbalut syal dan mantel tebal, namun rasanya begitu hangat ketika saling bersama.

Dan ketika wajah mereka semakin lama samakin dekat, perinci memotong jarak di antara mereka, dan ketika Hongseok menangkap wajah pemuda itu, saat hidungnya saling bergesakan, ia bisa dengan jelas merasakan bagaimana lembutnya bibir seorang Yeo Changgu yang menempel di permukaan bibirnya.

Hongseok semakin merasakan perutnya yang tergelitik, terasa ingin muntah namun begitu menyenangkan.

Ini pertama kalinya Hongseok menciumnya. Ciuman itu halus, sangat halus hingga rasanya jika Hongseok bergerak salah sedikit ia bisa merusak kehalusan itu. Rasanya manis. Dan juga lembut.

“Seharusnya ku lakukan dari dulu.”

“Seharusnya kita Melakukannya dari dulu.” balas Changgu.

Hongseok tertawa mengecup pemuda itu sekali lagi, “kita tetap harus berfoto.”

“Oh ayolaahh!”


Namanya Yeo Changgu, usianya 23 tahun dan kini sudah genap setahun pula Hongseok menemani hari hari pemuda ini.

Musim salju masih berlangsung begitu lama, suara tembakan di luar masih tetap terdengar. Begitu memekikan namun terasa menjadi biasa seperti santapan sehari-hari.

Entahlah, meskipun disini sangat berbahaya. Namun baik Hongseok dan Changgu tetap merasa aman satu sama lain ketika mereka tetap bersama.

Changgu masih setia memeluk Hongseok, menempel bagai koala yang tak bisa jauh dari induknya. Mencari kehangatan di tubuh pemuda besar yang kini merangkap sebagai kekasihnya.

“Jika kau memelukku sekencang ini lebih lama lagi mungkin tulangku akan patah.”

“Salahkan saja salju ini kenapa begitu dingin! aku harus memelukmu agar tetap hangat.”

“Ku rasa yang mencari kesempatan dalam kesempitan tuan Yeo.”

Tawa Changgu menguar, tak menyangkal omongan pemuda Yang itu namun tetap bergelayut manja di lengan Hongseok.

“Omong-omong berapa lama lagi kita sampai?”

Sekarang Hongseok dan Changgu sedang berkelana guna mencari tempat perlindungan yang baru.

Rumah yang mereka tinggali minggu lau sudah tak layak di huni, selain karena monster-monster sudah banyak menyerang, persediaan obat dan makanan juga semakin menipis.

Makanya mereka sekarang akan pergi ke rumah kerabat Hongseok yang dengan sukarela akan menampung mereka.

“Kau lelah?” tanya Hongseok.

Changgu mengangguk, “Sedikit.”

“Tempatnya sudah tak jauh lagi, mau ku gendong?”

Pemuda mungil itu otomatis menggeleng, mana mungkin ia memberikan beban lagi pada kekasihnya. pikir Changgu.

“Tidak perlu, aku masih kuat kok.”

“Kau yakin?”

“Ya!”

“Tidak ingin ku gendong?”

“Hei tuan Yang, aku tau kau kuat tapi bukan berarti kau bisa seenak itu menggendongku!” serunya sambil menukik alis dan bibirnya mengerucut.

Hongseok tertawa gemas melihat ekspresi wajah dari si manis, maka mendekatkan diri dan mencium bibir pemuda itu membuatnya justru tertawa lebih keras karena respon yang di berikan si manis.

Changgu justru menatapnya sebal dan berkata Hongseok mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Baiklah mereka memang saling mencuri kesempatan dalam kesempitan saat ini.


Namanya Yeo Changgu, minggu depan usianya akan berganti menjadi 24 tahun. Semakin lama semakin menyusul Hongseok.

Wajahnya masih tampan berseri, tawanya masih khas, dan senyumnya masih semanis dulu. Dan akan selalu manis selama-lamanya.

Mungkin pula musim dingin masih menjadi favoritenya, atau mungkin tidak lagi. Karena pemuda Yeo itu mulai merindukan musim panas tatkala sinar mentari menyoroti kulitnya, menghadirkan rasa hangat yang menjalar ke seluruh tubuh.

Pemuda itu masih sehangat biasanya, walaupun kini tubuhnya bertambah dingin.

Pemuda itu masih tersenyum manis, meskipun ia hanya bisa terkulai lemas di atas tempat tidur. Karena penyakit perlahan menggerogoti tubuhnya.

Disini, di rumah tempat mereka berlindung dari bahaya di luar. Yang Hongseok masih tetap berada di sisi Changgu, menemaninya dan terus menghangatkannya.

Pipinya yang dulu setebal mochi kini perlahan terlihat semakin tirus. Namun biar begitu Hongseok masih menyukainya, dan akan selalu menyukai Changgu entah bagaimana bentuk Changgu nantinya.

“Hongseok hyung.”

“Ya?”

“Menurutmu, kapan salju akan berakhir?”

Hongseok mengedikan bahu tak tahu, ia mengelus kepala Changgu. “Kau tidak lagi menyukai salju?”

Changgu menggeleng, “Aku menyukainya, hanya ketika bersamamu.”

“Aku tidak tahu kapan salju akan berakhir. Namun jika begitu, aku akan tetap bersamamu.”

“Ya, tetaplah bersamaku hyung.”


Namanya Yeo Changgu, usianya akan 24 tahun saat nanti jarum jam di arloji menunjuk angka 12. Tubuh Changgu kian lama kian melemas, namun ia tetap bertahan sekuat tenaga. Dengan berani melawan penyakitnya.

“Kira-kira” Changgu menjilat bibirnya, “Kira-kira, apa yang sedang di lakukan kedua orang tuaku?” tanyanya

“Menatapmu dari langit.” jawab Hongseok.

Changgu terkekeh suaranya parau terdengar di telinga. “terasa romantis.”

“Hongseok hyung.” panggilnya yang mengirimkan jutaan rasa bergejolak seperti bulan-bulan sebelumnya.

“Ya Changgu?”

“Bagaimana jika aku yang menatapmu dari langit?”

Dada Hongseok kembali bergetar, lidahnya mulai terasa keluh. “Jangan berbicara yang aneh-aneh.”

Changgu terdiam, tangan dinginnya menyentuh halus tangan hangat Hongseok. Hongseok membalasnya dengan mengenggam tangan sang adam, membiarkan hangatnya menjalar dan menembus dinding es sedingin kutub.

“Hongseok hyung.” panggil Changgu lagi.

“Ya Changgu? aku disini.” jawab Hongseok.

“Sebentar lagi ulang tahunku, bisakah kau bernyanyi untukku?”

Hongseok tersenyum, di kecupnya kening yang lebih muda. “Tentu saja.”

“Ayo sambil berdansa.” sambung Hongseok.

“Tubuhku sudah tidak kuat jika harus di gunakan berdansa hyung.”

“Tidak apa, aku akan menahannya.”

Hongseok membangunkan tubuh Changgu yang sudah seringan kapas dengan perlahan, di dekapnya erat agar si pemuda tidak terjatuh. Dengan hati-hati menuntun sang kekasih, melangkah perlahan demi perlahan.

Pemandangannya masih sama seperti saat mereka pertama kali berdansa, salju tetap turun dari balik jendela, seolah ikut andil dalam pergerakan kecil mereka.

My feet are aching And your back is pretty tired And we've drunk a couple bottles, babe And set our grief aside The papers say it's doomsday The button has been pressed We're gonna nuke each other up boys 'Til old Satan stands impressed

Tidak ada instrumen musik seperti dulu kala, yang ada hanya deru nafas dan suara lembut Hongseok yang menyanyikan lagu tersebut.

And here it is, our final night alive And as the earth runs to the ground

Dapat Hongseok lihat kekasihnya yang tersenyum padanya, matanya terpejam sambil menikmati suara Hongseok yang mengalun lembut. Kepalanya bersender pada dada Hongseok, dan mendengar bagaimana jantung Hongseok selalu berdetak yang sama seperti bulan-bulan lalu.

Oh boy, it's you that I lie with As the atom bomb locks in Oh, it's you I watch TV with As the world, as the world caves in

Dan nyanyian itu selesai. Bertepatan dengan jarum jam yang menunjukan angka 12, juga bertepatan dengan tubuh Changgu yang semakin mendingin. Memejam matanya sambil tersenyum manis.

Hongseok memapah tubuh ringan Changgu, dipeluknya sang kekasih yang mungkin kini tak akan lagi bisa merasakan pelukan hangatnya.

Tubuhnya bergetar, nafasnya berderu hebat, jantungnya berdetak kencang dan ketika setetes bulir air mata keluar dari tempatnya. Hongseok runtuh.

Tangisnya menggema memenuhi ruangan yang hanya ada mereka berdua disini.

Ia terkulai lemas, air mata terus turun membajiri sedang nafasnya mulai terasa sesak. Ia masih memeluk kekasihnya, meski kulit sang kekasih sudah sangat dingin ia masih memeluknya.

Mendekapnya; berharap jika ia memberikan kehangatan sedikit, pemuda itu akan terbangun.

Namun menit berlalu, dan Changgu tetap setia dalam pendiriannya untuk memejamkan mata.

Dan dengan bibir bergetar, Hongseok berkata. “Changgu, selamat ulang tahun.”


musim dingin dan salju selalu menjadi musim favorit seorang Yang Hongseok karena dapat bertemu dengan Yeo Changgu. dan juga musim yang ia benci karena telah merengut seorang Yeo Changgu.


“Hai Changgu, lama tak berjumpa.”

“Hyung? Kenapa kau disini?”

“Kau tahu, salju di musim dingin tak lagi terlihat indah ketika kau hanya memandangnya sendirian Chang.”

Changgu tersenyum getir, di peluknya pemuda yang lebih tua dengan erat.

“Aku mencintaimu, maaf karena tak pernah mengucapkannya.”

Hongseok membalas pelukan itu dengan sama eratnya, dengan banyaknya kerinduan yang terkumpul.

“Aku juga mencintaimu, sangat. Dan akan selalu mencintaimu.”


namun, salju dan musim dingin pula yang akan selalu menjadi awal dan akhir dari kisah panjang penuh kasih sayang seorang Yang Hongseok dan Yeo Changgu.

“it's 11:11 Yanan! Make a wish!”

Some people believe 11:11 is a magic number or lucky time of day, good for making a wish... or express your feelings.


11:11

Sorak sorai dari siswa siswi SMA terdengar jelas di lapangan siang itu.

Kedua pemuda yang sedang duduk di tepi lapangan dengan pakaian berwarna kontras khas anak SMA jelas terlihat sedang dalam kegiatannya masing-masing.

Yang satu asyik mengunyah kuaci sambil melihat orang yang berlalu lalang di lapangan, sedang yang satu asyik memainkan ponselnya.

“Jangan di buang sembarangan sampahnya.” ujar pemuda tinggi itu ketika melihat si mungil yang seenaknya melempar sampah di bangku kosong.

Yang satu itu nyengir, lalu buru-buru mengambil sampah tadi dan di buang ke tempat sampah.

“Udah.” katanya.

Ia hanya menggumam, lalu jarinya kembali asyik berseluncur di media sosial.

“Lo gak mau?” tanya si mungil.

Yang di tanya menggeleng. “Lo jangan kebanyakan makan kuaci, nanti batuk.” katanya menasehati.

Pemuda yang lebih kecil itu mendengus. “Gue gak makan banyak-banyak tuh.”

Si tinggi melirik beberapa bungkusan yang terletak di dekat si mungil.

“Lo beli tiga bungkus dan sekarang cuma ada dua, lo ngabisin sebungkus sendirian Chang.”

“Lo yang gue tawarin gak mau.”

Pemuda itu merotasikan kedua matanya. “Terserah deh, kalo batuk jangan ngeluh ngeluh ke gue.”

Cowok mungil itu mendengus lagi, kali ini mengerucutkan bibirnya. “Ngapain gue bilang-bilang lo? Kan gue punya pacar!”

Pernyataan itu seketika membuat si tinggi terdiam. Bibirnya yang tadi ingin membalas debatannya kini menjadi keluh, seolah kata-kata yang ada di kepalanya menjadi buram.

Ah ia tau, pemuda itu memang sudah punya kekasih yang bahkan menjaganya dengan baik. Lantas mengapa ia sampai terdiam begini?

“Nan, sekarang jam berapa?” tanya si mungil.

Yang dipanggil menengok, kemudian melihat arlojinya di pergelangan tangan.

“Jam 11.” jawabnya.

“Sebentar lagi jam 11:11!” serunya heboh.

Yanan mengernyit, tak mengerti maksud dari cowok di hadapannya ini. “Hah?”

“Jam 11 kembar Nan.”

“Emangnya kenapa kalau jam 11 kembar?” tanya Yanan.

“Katanya bisa ngabulin permohonan lo.” jawab pemuda itu.

“Kaya bintang jatuh gitu ya?”

Si mungil mengangguk.

“Gue gak percaya sama kaya gituan Changgu.”

Yang dipanggil Changgu mendelik. “Lo gak perlu percaya, cukup lakuin apa yang gue suruh.”

Lagi ia tak mengerti.

Apa maksudnya dari tidak usah mempercayai namun disuruh mengikutinya?Bukankah seseorang yang mengikuti orang lain itu berarti percaya pada orang tersebut?

Seperti Yanan yang entah mengapa sekarang justru menuruti permintaan Changgu untuk menautkan kedua jemarinya sendiri berpose seperti seseorang yang sedang berdoa sambil menghadap langit.

“It's 11:11 Yanan! Let's make a wish!” seru Changgu kemudian memejamkan mata.

Bukannya mengikuti apa yang Changgu suruh, pemuda dengan surai hitam itu justru memandangnya lekat.

Di mata Yanan sekarang ada sosok manis yang kini sedang memejamkan mata sambil bibirnya komat kamit membentuk serangkai harapan.

Tangannya saling bertautan, wajahnya menghadap langit dan sinar mentari menyinarinya seolah ia adalah malaikat yang turun dari surga.

Manis.

Tingkah laku dari si manis menghantarkannya pada euforia penuh kepakan kupu-kupu yang ada di perutnya.

Yanan mual, seperti ia ingin muntah namun rasanya begitu menyenangkan.

Hanya memandangnya dalam jarak sedekat ini saja ia sudah merasa seperti di awang-awang. Bagaimana jika pemuda manis itu justru membalas perasaannya? Mungkin ia akan jadi gila.

Bibir itu tak berhenti, Yanan memandanginya. Rasanya ia ingin menarik wajah pemuda itu dan merasakan bagaimana rasanya jika bibirnya dan bibir pemuda itu menyatu.

Apakah bibir Changgu akan semanis madu yang ia cicipi tempo hari? Atau justru akan bercampur dalam rasa asam dan manis seperti wine yang pernah ia minum?

Yanan masih asyik memandanginya, kelopak mata Changgu yang terpejam terlihat sangat menenangkan di mata Yanan.

Bahkan saat kelopak itu tertutup atau terbuka sama menenangkannya. Membuat nyaman dan selalu bisa menjadi candu.

Yanan akui Changgu punya iris mata yang sangat indah, bahkan lebih indah dari siapapun. Warna coklat itu selalu bisa memerangkap indranya, menjadi candu yang ingin Yanan lihat setiap saat. Seolah dari mata itu terdapat jebakan, siapapun yang datang maka tak akan bisa kembali lagi.

Dan jangan lupakan hidung bengir yang sangat menggemaskan, membuat sang adam nampak sempurna tanpa cacat.

Yanan masih asyik mengagumi ciptaan tuhan paling indah di hadapannya, sampai Changgu mengintip ia langsung berpura-pura mengikuti apa yang Changgu lakukan tadi.

Sekarang gantian, Yanan yang komat kamit entah berkata apa ia juga tidak mengerti.

Dadanya langsung berdetak tak karuan ketika iris mata yang tadi ia kagumi menciduk sedang memandanginya.

Yanan menghentikan kegiatannya saat Changgu juga selesai.

“Udah?” tanya Changgu.

Yanan mengangguk.

“Lo minta apa?”

“Emang boleh di kasih tau?” tanya Yanan balik

Changgu mengedikkan bahu, “Gak tau, boleh mungkin.” jawabnya ragu.

“Yaudah kalo gitu lo duluan.” ujar Yanan.

“Gue minta biar kita bisa lulus dengan nilai yang bagus dan berhasil meraih cita-cita kita.”

“Lo bilang mau jadi astronot, jadi gue berdoa biar lo cepet cepet ke pluto.” sambungnya.

Yanan terkekeh, “Gue bawa lo kalo gitu.”

“Mana bisa?!” sanggah Changgu.

“Gue selipin lo di roket.”

Changgu merotasikan bola mata malas. “Gantian lo. Lo berharap apa?”

Yanan terdiam, nampak menimang-nimang jawaban yang akan ia berikan.

Ia menghela nafas, “Lo jadi pacar gue.”

Changgu otomatis menengok, sepersekon kemudian pupilnya membesar lalu berganti dengan wajah cemberut.

“Lo...” lirih Changgu.

“Sorry.”

Changgu menunduk, air mukanya mulai kelihatan muram.

“Lupain yang tadi, gue cuma bercanda.” ucap Yanan.

“Bercanda lo gak lucu.”

“Maaf, gue cuma gak tau apa yang harus gue minta.”

Changgu menggumam, tak mau melanjuti obrolannya lagi. Aura Changgu masih terasa kelabu.

Sedangkan Yanan sekarang merutuki kebodohannya sendiri yang dengan enteng mengucapkan kata-kata sakral itu.

Ia tak tahu respon Changgu akan seperti ini, padahal ia biasa mengatakan bahwa Changgu manis dan menginginkan agar ia menjadi kekasihnya.

Tapi mungkin Changgu sedang tidak mood untuk membicarakan hal ini.

Yanan tahu, ia dan Changgu berbeda. Hubungan mereka sangat rumit. Lebih rumit dari ikatan persahabatan ataupun persaudaraan di dunia.

Mereka memang saling mencintai, namun tak akan pernah saling memiliki.

Terlalu banyak benang kusut yang ada di antara mereka. Sehingga terlalu sulit untuk merangkai kisah asmara mereka.

“Chang, maaf.” katanya sekali lagi.

Changgu mengangguk, “iya gue maafin.”

“Kalo gitu jangan nunduk dong.”

Dapat Yanan lihat pemuda itu yang seperti mengelap matanya, lalu ia mendongak dan Yanan meringis ketika mata cowok itu terlihat sembab.

Changgu menangis?

“Maaf jangan nangis, gue makin merasa bersalah.” sesal Yanan.

“Lo sih jahat banget.”

“Iyaiya gue yang jahat, gue minta maaf ya.”

Pemuda itu mengangguk sambil menyeka sisa air matanya. “Udah ah jangan minta maaf mulu, kaya mau lebaran lo.”

Yanan tersenyum simpul, menghela nafasnya lega.

“Udah ah yuk jangan galau galau, temenin gue ke kantin gue mau beli siomay.” kata Changgu.

“Bentar lagi bel masuk.” ucap Yanan.

“Gue bisa makan di kelas.”

Yanan bangun, Changgu juga ikut bangun. “Murid kaya lo gak patut di contoh nih.” kata Yanan berjalan lebih dulu.

Changgu mendelik. “Kaya yang pantes di contoh aja lo.”

Yanan terkekeh dia tetap jalan menuju kantin diikuti Changgu di belakangnya.

Namun langkahnya berhenti ketika tangan Changgu menahan seragamnya dari belakang.

“Kenapa?” tanya Yanan.

“Lo beneran berharap itu?”

Yanan menatapnya. “Kalo iya, lo bakal percaya gak?”

Changgu menjilat bibirnya sendiri. “Gue gak tau...” lirihnya.

Yanan melengos. “Gak usah di fikirin.”

“Tapi kalau di kabulin gimana?” tanya Changgu.

“Berarti gue bakal di tonjok Shinwon.” jawab Yanan asal.

Changgu tertawa entah kenapa Yanan juga ikut tertawa padahal hal itu gak ada lucu-lucunya.

“Ayok ke kantin nanti keburu bel!” seru Changgu menarik lengan Yanan.

Dari belakang, Yanan dapat melihat bagaimana tangan besarnya di tarik oleh tangan mungil pemuda manis ini.

Yanan menyukainya.

Menyukai bagaimana pemuda permukaan kulit mereka saling menyentuh.

Yanan menyukai bagaimana suara si mungil terdengar seperti lagu yang mengalun lembut di telinganya.

Yanan menyukai cara pemuda itu tersenyum dan tertawa dengan candaan yang bahkan tidak lucu sama sekali.

Dan Yanan menyukai cara pemuda itu menatapnya dengan iris seindah gurun pasir. Perasaan yang timbul antara senang, marah, sedih dan kecewa dapat tergambarkan jelas dari balik matanya. Seolah ada cermin yang dapat mengetahui segalanya.

Ya. Semua yang ada dalam diri seorang Yeo Changgu akan selalu di sukai oleh Yanan.

Bahkan meskipun ia tahu bahwa pemuda itu bukan miliknya, ia masih akan tetap menyukainya.

Seperti bunga matahari yang selalu mengikuti arah bergeraknya matahari.

Maka Yanan akan selalu seperti itu, entah kemana pemuda itu akan membawanya pergi Yanan akan selalu menyukainya.

Karena waktu Yanan di dunia tak akan lama lagi, maka ia memutuskan untuk terus mengikuti sang mentari agar bisa merasakan hangatnya lebih lama.

Sebelum dirinya tenggelam dalam kedinginan malam.

when you feel my hand, just breathe.

on the small of your back, come with me.


Changgu turun dari mobil Yanan yang memasuki perkarangan rumahnya.

Secara teknis ini adalah rumah Yanan yang ia berikan kepada Changgu karena pemuda itu tak punya tempat tinggal.

Sedari dulu Changgu bukan lah orang kaya seperti Yanan, berasal dari keluarga sederhana dan di tinggal kedua orang tua-nya pada usia belia membuat hidup Changgu lebih sengsara dari yang di bayangkan.

Awalnya Changgu menolak di belikan rumah oleh Yanan, karena ia masih bisa menyewa apartmen di dekat kantor. Tapi Yanan memaksa, katanya. “buat apa nyewa apartmen kalo rumah ini bakal kita tinggalin bareng?”

Yes, he said.

Walaupun kenyataannya disini hanya ia yang tinggal sendiri, meskipun terkadang Yanan datang tapi itu hanya semalam.

Gak mungkin kan Yanan ninggalin Hyunggu?

“Kamu mandi dulu sana, biar aku bikinin makan malem.” ujar Changgu kemudian mengambil pasta di rak dapur.

“Mau mandi bareng?” tanya Yanan sambil melepas kaus kakinya.

Changgu mendelik di lemparnya apron yang baru mau ia kenakan ke muka Yanan, “MANDI YANAN!”

Yanan terkekeh, apron yang di lempar berhasil ia tangkis kemudian masuk kamar mandi.


Malam ini Changgu niatnya mau bikin makan malam buat dirinya dan Yanan. Karena tadi mereka sengaja gak makan di luar, Yanan bilang kangen masakan Changgu jadi Changgu mutusin buat masak malam ini. Beruntung masih ada bahan makanan di rumah, jadi gak perlu beli lagi.

Iya, itu niat awalnya sebelum Yanan mengacaukan acara memasak Yeo Changgu dengan memeluk pemuda itu dari belakang.

Changgu hampir terlonjak, namun tak juga menolak. “Yanan?” panggilnya pelan.

Yanan hanya menjawab dengan gumaman, sesekali meniup-niup telinga Changgu. Membuat si empu terkekeh geli.

“Yanan geli.”

Yanan didn't answer, he was still do it. until Canggu realized that Yanan's hand had already dipped into he shirt. “Nan?”

“Aku kangen.” Yanan whispering softly, with that low voice that successfully made Changgu felt so dizzy.

Changgu still quite, masih pura-pura sibuk masak padahal sekarang udah benar-benar pening.

Well, salahkan Changgu yang tampak imut dengan kaos kebesaran dan celana pendeknya. Yanan yang baru selesai mandi jadi gemes sendiri ngeliat tubuh mungil pacarnya, yang lagi sibuk masak. It would be great if he was on top.

Changgu menepis tangan Yanan. “We will have dinner.”

“Yes babe, your my dinner.”

Sekarang Changgu berbalik menghadap Yanan, perbedaan tinggi badan mereka membuat Changgu harus mendongak guna menatap Yanan dengan sebal.

He pouted his cherry lips to Yanan staring to him, and he looks cute on Yanan eyes, so Yanan give him light kiss.

“Udah lama kan?” tanya Yanan.

Actually, he really missed Changgu. Pekerjaan membuat mereka sibuk sendiri sampai lupa dengan kekasih masing-masing. Di tambah Yanan yang kini sudah beristri dan waktunya jadi harus terbagi dua.

“2 months i thought.” jawab Changgu.

“It's been too long.”

Changgu mengangguk, sejujurnya ia mengerti kemana arah pembicaraan ini dan apa yang mau di lakukan Yanan.

He more than understand.

Changgu juga rindu, pekerjaan sialan dan juga perjodohan Yanan membuat waktu luang untuk mereka semakin menipis. Waktu Yanan selalu terbagi-bagi, dan Changgu sudah cukup sabar untuk menunggu lagi.

He needed Yanan, likes Yanan wants him.

Persetan dengan Hyunggu dan segala macamnya. Yang ia butuhkan saat ini hanya kekasihnya. Lagipula ia kekasih Yanan bukan? Ia bebas ingin melakukan apapun dengan Yanan. Termasuk seks.

“Yanan, are you hungry?”

Yanan tersenyum, “Yes.”

“Eat me like a main dish.”

Yanan smiling he lifted up his small body to sat down on the kitchen's counter. Softly Yanan gives him some butterfly kisses. “Sure babe.”

Yanan exploring inches by inches his lover with admiration. Carefully gripping on his back to keep his lover from falling as he drowning on their kisses deeper. Changgu wrapping his hands around Yanan's neck, but his fingers softly clutching on Yanan's soft hair to keep him close.

But suddenly Changgu holds Yanan's chest. “Why?” he asked.

“Pindah, pegel.” jawab Changgu.

Posisi Changgu emang bikin pegel, walaupun Yanan cukup tinggi untuk menciuminya namun tetep saja itu bikin gak nyaman.

Yanan jadi merasa bersalah karena posisi dadakan ini. “Sorry.”

“it's okay, we could do in my room.”

Yanan mengangguk. Di kecupnya sekali lagi bibir sang kekasih, sebelum menggendongnya ala bridal style ke kamar. Yanan membaringkannya dengan hati-hati di kasur, mengatur bantal di belakang kepala Changgu sehingga Changgu bisa nyaman berada di bawahnya.

Yanan membiarkan Changgu terlentang di sana, menghujani pemuda itu dengan kecupan.

On his cheek,

on his lips,

on his neck,

and all over his body.

Yanan's hand dipped into his shirt, slowly opening his shirt. And Changgu not refuse.

His lips tracing down from Changgu's lips to his jawline, touched the pale skin of his neck, ended up to his collarbone and left the purplish marks here and there.

He kiss Changgu's lips again, very softly; who makes Changgu flying.

“Should i?” Yanan asked.

Changgu nooded.

Yanan entered Changgu's slowly as he carefully watched him closed his eyes, hands clutching on his back tightly. He showering the smaller with much kisses; on his nose, on a pair of his eyes, on his lips, while he tried to move slowly. As minutes passed, Yanan could see Changgu started to feel pleasure as he whimpering with his tiny voice.

Yanan missed this, he really missed the feeling of touching him. To explore his body, to feel his skin againts him and give his lover with more kisses.

Yanan always do with carefully, that's why Changgu always likes this.

Yanan can hear how Changgu screaming his name in pleasure.

His moans was a melody to him.

“Yan-anh” his fingers trying to reach Yanan's jawline to pull him closer, and Yanan reach his opened lips. Bite it tenderly before he pulled him to a deep and passionately kisses along with Changgu's desperation to reach his own pleasure.

For a moment, they don't remember anything; about work, about Hyunggu, and about what Changgu now he is.

They just missed each other, calling each other's name. And sink into their heaven.


“I love you.” ujar Yanan.

“I love you and i always loved you.” ujar Yanan lagi.

And Changgu just crying, while he know how Yanan loves him so much. “I love you too.”