sabil mengetuk pintu kamar rion setelah di persilahkan oleh hesa. “rion,” panggil sabil
gak lama, pintu terbuka. menampilkan sosok rion dengan wajah khas bangun tidur. wajah yang selama seminggu ini selalu ia hindari eksistensinya. sebab, masalahnya masih terlalu abu.
tadinya sabil takut kalau saja ia akan menyakiti rion dengan sikapnya, lantaran perceraian kedua orang tuanya benar-benar mempengaruhi hidup sabil. namun ternyata sikapnya yang kekanakan itu justru memberi jarak pada hubungan mereka yang runyam jadi semakin ruwet.
ada gempita di dada ketika iris rion kembali tertuju padanya. cowok dengan peringai tampan itu selalu bisa membuat sabil terhanyut dalam lautan kupu-kupu.
“sabil?” ucap rion.
“hei rion, i'm here.” senyum sabil merekah. ia merentangkan tangannya, berniat untuk memeluk rion—sebelum dirinya di tahan oleh tangan rion.
“eh?”
“ngapain?”
“gua... mau meluk lu...”
rion menghela nafas. rasanya berat ketika sabil dengan seenaknya pergi menjauh, lalu datang seolah tidak terjadi apa-apa.
mereka memang tidak bertengkar. namun batin satu sama lain saling bertikai.
rion dengan harapannya yang semakin terkikis, dan sabil dengan kegiatannya yang entah apa. rion juga tidak tahu. bahkan ia tidak tahu masalah apa yang dialami oleh kekasihnya.
sabil selalu begitu, menutup dirinya seolah tidak pernah ada yang peduli padanya. padahal ada rion di sini, yang setiap harinya di landa khawatir akan dirinya.
“maaf,” preambule milik sabil berhasil mengisi kisi-kisi udara. “maaf karena tiba-tiba ngilang tanpa sebab.”
lagi, rion menghela nafasnya. “kamu kenapa?”
kalau sudah di tanyai begitu, pecah sudah seluruh pertahanan yang sabil bangun sejak seminggu yang lalu. mata rubahnya kini membendung butiran kristal yang siap jatuh kapan saja.
lalu ketika tangan rion mencengkram bahunya, sabil hancur, luluh lantah bersamaan dengan tangis yang ia tahan sedari lama. juga bersamaan dengan hati rion yang ikut ngilu hanya mendengar tangisannya saja.
sabil memarkirkan motornya di sebuah bangunan tua bersama dengan rion. ia turun dari motor, lalu menarik lengan rion untuk masuk lebih dalam.
“ini apaan? mau jurig malam?” tanya rion.
“bukan ih, lu liat aja nanti.”
kemudian mereka menaiki anak tangga satu persatu. sampai pada akhirnya berdiri di atas rooftop. rion bisa melihat pemandangan kota jakarta dari atas sini.
“udah gak takut ketinggian lagi?” tanya rion sesaat mereka sampai.
“masih takut, makanya gua ngajak lu.” jawab sabil.
rion mengangguk, “terus? kenapa di sini?”
“lu liat itu,” sabil menunjuk pada sebuah panti asuhan yang bisa terlihat jelas. dari sini, terlihat banyak anak-anak yang sedang main.
kemudian sabil menunjuk sisi sebaliknya, “dan itu, rumah sakit.”
“oke, so?”
“waktu gua menghilang tiba-tiba, gua sering pergi kesini sendirian. tapi karena gua takut ketinggian, jadi gua duduk di pojok situ sambil nunggu matahari terbenam.”
rion melihat sekilas pada dinding di belakang mereka. gedung ini sudah jadi sepenuhnya dari segi bangunan dan terlihat kuat. jadi, rion tak khawatir ketika melihat tempat sabil menyendiri.
“rion, ada satu hal yang belum gua ceritain. dan mungkin aja gak akan gua ceritain karena gua malu hahaha.”
“you can tell me anything.“
sabil mengulum senyum, “orang tua gua cerai.” ucapnya.
rion kaget, namun ia tak mau bertanya lebih jauh.
“waktu mereka memutuskan untuk bercerai, aku bingung banget. palaku pusing sampe-sampe aku gak tau harus bereaksi kaya gimana. aku linglung, dan aku juga takut. aku takut kalau selama ini semua yang aku alami cuma tipuan belaka.
tapi yang lebih aku takuti itu kamu, aku takut kalau kamu akan ninggalin aku karena aku cacat. aku gak punya lagi keluarga yang lengkap, dan aku lahir karena kecerobohan orang tuaku. jujur, aku malu sama diriku sendiri sampai aku takut buat ketemu kamu.”
sabil menghela nafas sebelum ia melanjutkan omongannya. “terus, pas aku gak tau mau ngapain lagi, aku mutusin buat keluar rumah. karena rumah yang aku tinggali gak lagi berasa rumah. semuanya semu.
tapi aku ketemu tempat ini, dari sini. kamu bisa ngelihat matahari yang berganti shift dengan bulan. dari sini juga, kamu bisa lihat anak-anak di panti yang mungkin nasibnya lebih buruk dari aku. buat aku jadi bersyukur, setidaknya aku pernah ngerasain punya keluarga yang utuh.
dan dari sini, kamu bisa ngelihat rumah sakit. buat aku jadi dua kali lipat bersyukur sama tuhan, setidaknya, walaupun aku ngejalanin hari yang berat, aku gak sakit. ada banyak orang di rumah sakit yang pengen keluar dari sana. dan aku ada di sini, aku bisa bebas pergi kemana aja. seharusnya dengan hal kecil kaya gini aku bisa bersyukur karena masih di kasih hidup. aku masih bisa ngeliat kamu.” tukas sabil.
rion bergeming. ia tak bisa mengalihkan pandangan pada wajah selembut porselin milik sabil. wajah yang selalu ia puji kecantikannya, namun rion tak pernah sadar kalau sabil juga punya hati yang cantik.
“rion,”
“ya?”
“kalau suatu saat aku pergi dari dunia ini, kamu juga harus selalu bersyukur ya?”
“jangan ngomong kaya gitu, bil.”
sabil melengos, “aku cuma ngasih tahu. kehidupan kita nanti bakalan jauh lebih berat, jadi mulai sekarang kamu harus bersyukur. karena aku juga bersyukur bisa ada di sini sama kamu.”
rion melangkah lebih dekat pada yang lebih pendek. ia merekuh badan mungil sabil, “i'll stick by your side no matter how tough things get, bil.“
sabil tak menjawab, namun pelukannya yang semakin erat pada tubuh rion cukup menjadi jawab atas semua persoalan yang ada.
bahwa sampai kapanpun, mau seberat apapun hal yang mereka jalani. ujung dari perjalanan mereka, selalu kembali pada diri masing-masing.
karena memang benar, sabil adalah cinta pertama dan terakhir untuk rion. dan rion akan selalu jadi cinta terakhir milik sabil.
“rion, kalau kompasmu rusak, pulanglah ke titik kita berawal.”