hwoneboom

hao menyenderkan punggungnya pada tembok berwarna putih gading yang menghiasi seluruh kosan milik seokmin.

sejujurnya, hao hari ini capek banget. semalem dia baru aja pulang dari kampungnya alias china. eh besok paginya udah ada di rumah seokmin, ngeliatin seokmin yang berkutat dengan tugas teknik sipilnya, yang sejujurnya hao juga gak ngerti.

terus ada mingyu yang tumben-tumbenan mau aja bikinin mereka bertiga indomie. padahal mingyu menjunjung tinggi, “mie lo, mie lo. mie gue, mie gue.” atau mungkin efek abis ditolak wonwoo.

hao bingung sebenernya dia harus apa disini. daritadi matanya udah sepet, pengen banget tidur dikasur seokmin selama dua hari. tapi mengingat dirinya dipanggil karena sang sahabat yang sedang sakit hati, ia mengurungkan niatnya untuk menikmati kasur kebanggaan milik seokmin.

jadi, disinilah hao. bersender pada tembok sambil sesekali menscroll instagram. nungguin seokmin kelar ngerjain laporannya dan mingyu siap bercerita.

“myung tolong ambilin minum dong, seret banget gue sampe lupa minum.” seru seokmin, tatapannya masih fokus pada layar laptop.

hao berdecak sebal, namun tetap berdiri mengambilkan seokmin minum. “stop panggil gue myung.”

“kemaren lo gue panggil china miksu gak mau,” seokmin menerima gelas dari hao, “thanks bro.” ucapnya.

“ya lo mikir aja deh.”

hao balik duduk, tapi sekarang posisinya ada disebelah seokmin sambil ngintip ke laptop seokmin.

“lo jangan deket-deket dong, nanti gue khilaf.” ucap seokmin.

“ah anjing.” balas hao.

seokmin ketawa aja dengernya, hao males banget deh kalau seokmin udah bercanda kaya gini.

“hahaha gue bercanda, hao.”

“iye tau. si aming kemana sih? lama banget bikin mie doang.”

“susul gih.”

“males gue, capek abis dari china.”

“emang lo di china ikut bangun tembok china apa gimana dah.”

hao mendelik, gak mau menanggapi omongan asbun seokmin yang bikin dia makin capek aja.

pria keturunan tionghoa itu memilih melanjutkan aktivitasnya scroll instagram sampai mampus.

gak lama, pintu terbuka. menampilkan sosok mingyu dengan 3 mangkuk indomie diatas nampan yang ia bawa.

“bangun dah lu barudak!” teriak mingyu.

“minggg gue mau indomie goreng.” seru seokmin.

“jangan ngelunjak anjing, indomie goreng udah buat hao.”

seokmin mendelik, “apasih anjing gue kan selalu mie goreng.” katanya nyolot.

“lah lu tadi gue tanya mau mie apa kaga jawab ya bocah tangsel.” balas mingyu gak kalah nyolot.

hao makin pusing. ini di kamar kosan seokmin yang cuma sepetak, mingyu sama seokmin malah saling teriak-teriakan. dia rasanya mau nendang mereka berdua kalau masih ada tenaga.

“ah udah deh. seokmin, kalau lo mau lo bisa ambil punya gue.” ucap hao.

#GEMFOURTH

deru suara kendaraan, langkah kaki para pejalan kaki, dan riuh anak-anak yang sedang bermain di sudut jalan menjadi pengisi suara untuk dua anak adam yang kini beradu pada pikirannya masing-masing. mereka sama namun tak sama senang.

“kamu berapa lama ya?”

jingga magis masih mengukir rona indahnya saat gem membuka titik awal percakapan mereka.

yang ditanya menatapnya, alisnya bertaut sebelum menjawab, “dua tahun.”

gem mengangguk, “lama juga ya.”

“kamu sendirian loh.”

“iya.”

“gak ada aku.”

“iya.”

“gak ada yang nemenin kamu makan buryam tiap pagi.”

“terus?”

“gak ada yang ngasih kamu pocari tiap abis jogging.”

“gak masalah.”

lalu diam, kalimat milik fourth kini tertinggal disela kerongkongan. seolah kata dan pertanyaan yang terucap selanjutnya bisa membuat hidupnya hancur tak bersisa.

dan angin berhembus lagi, mengisi kekosongan dua insan yang kini duduk di teras rumah. fourth yang sibuk mengemasi barang, dan gem sibuk membantunya.

“kamu udah pernah ke jogja?” tanya gem.

“sekali, waktu perpisahan sma.” jawab fourth.

“jogja asik gak?”

“aku gak tau, udah lama gak kesana.”

gem hanya mengangguk, sekali lagi menjeda percakapan diantara mereka yang kian renggang.

“2 tahun berarti 730 hari.”

“iya, kamu mau nungguin aku sampai 730 hari?”

ah, pertanyaan itu akhirnya terjun kepermukaan. menyaring lembut bersama angin yang berhembus kencang.

gem sontak tertawa. tawanya renyah dan lembut, bergema sampai ke relung hati fourth yang terdalam. membawa euphoria bahagia yang selalu ia damba.

“kamu bercanda ya? mau seabad juga pasti bakal aku tunggu!”

fourht mendelik, sedikit kontra dengan pernyataan sang kekasih. “kalau seabad kayanya aku udah ubanan.”

“gapapa, aku suka liat kamu beruban.” ucapnya yang dibalas raut wajah sebal oleh sang kekasih. fourth memajukan bibirnya, mencibir sebal atas jawabannya sedang gem terkekeh.

“sayang, 730 hari bukan waktu yang sebentar. ada banyak hal yang harus aku lalui selama 730 hari gak ada kamu.” gem terdiam sebentar.

“dua tahun artinya 730 hari aku gak ketemu kamu, dua tahun artinya 730 hari aku gak bisa ajak kamu makan buryam, dua tahun artinya 730 hari aku gak bisa melukin kamu lagi, dan dua tahun artinya 730 hari aku harus bertahan tanpa kamu.”

fourth menunduk, rasanya cairan bening yang sedari tadi ia tahan siap merembes keluar jika ia membuka mulutnya barang sebentar.

“tapi aku gak mau 730 hari yang aku rasain jadi penghalang buat kamu mengejar mimpi-mimpimu, fourth.”

“gem, kamu bisa cegah aku buat pergi. aku gak akan pergi.” ucap fourth lirih.

gem menggeleng, “enggak, aku gak akan minta kamu buat tinggal. you don't know how proud I am with you. if the world against you, i'll against the world. kalau aku bisa nunggu kamu buat buka hati sama aku selama 10 bulan, then 2 years didn't matter for me, even if the world crashes into pieces i'll wait until you come with me.”

ucapannya serius tanpa ragu. gem memang tak pernah ragu perihal perasaan dan kesetiannya untuk sang kekasih. bahkan jika semesta memisahkannya, mereka akan kembali dan harus kembali sebagaimana sang surya yang setia pada bulan untuk meneranginya, atau bagai rona jingga magis yang mencumbu langit dengan indah.

fourth semakin tersiksa, perasaan luluh lantak. dentum jantungnya bertalu semakin cepat seolah tak mengizinkannya untuk bernafas barang sejenak.

gak bisa gini, ia mau tetap disini. ia mau selalu bersama gem, ia mau meski harus mengubur mimpinya demi bisa bersama sang kekasih.

terdengar bodoh dan ironis, namun begitulah fourth. semua yang ia jalani, hidupnya yang bagai kora-kora, semuanya penuh dengan gem dan hanya gem seorang.

maka ketika semesta memintanya untuk berpisah. berada diantara keputusan melanjuti mimpinya kuliah di UGM setelah gap year atau tetap disini bersama sang kekasih. sebab, dengan apa yang ia lalui dibelakangnya kini hidup fourth hanya berporos pada gem seorang, dan akan selalu begitu selamanya.

gem masih sibuk bergelut dengan koper, tanpa menyadari kalau fourth kini tengah sibuk mengusap air matanya yang semakin lama makin tak tertahan.

“aku gak mau jadi gila gara-gara kamu tau!” ujar fourth sesegukan.

gem terkejut melihatnya nangis, selama ini ia hanya pernah melihat fourth menangis sekali saat kucingnya mati. “fourth, sayang kamu kenapa?” tanya gem.

“sebel! sebel sama kamu soalnya bikin aku jatuh cinta segininya!” jawabnya masih sesegukan.

gem sontak menarik tubuh mungil fourth, membawanya pada dekapan lembut milik gem.

“sshh... udah ya jangan nangis, kan aku ada disini.” ucapnya sambil mengelus punggung sang kekasih yang masih terisak dipelukannya.

“kamu bakalan nunggu aku kan?”

“iya sayang, aku bakal nunggu kamu dua tahun, tiga tahun, atau bahkan seribu tahun! kamu boleh pukul aku sampe pingsan kalau aku ninggalin kamu.”

fourth menengadah, kini tatapannya jatuh pada gem yang ada diatasnya. “janji?”

“janji.” balas gem, senyumnya mengembang dan menenangkan untuk fourth.

“kamu jangan nangis, kalau kamu nangis nanti diledekin cengeng.” ujar gem.

“biarin aja, soalnya kalau aku nangis aku bisa puas pelukin kamu seharian.”

gem terkekeh, ia mengecup pipi sang kekasih yang berada di dekapan. dalam hati berjanji untuk selalu mencintai si kecil dan menunggunya. bahkan jika berarti ia harus pergi kedasar neraka yang terdalam hanya untuk fourth, maka ia akan melakukannya lagi dan lagi sampai fourth yang menyuruhnya berhenti.

karena sesungguhnya, gemini bagaikan jarum pada kompas yang arah mata anginnya akan selalu tertuju pada fourth, dan selamanya hanya pada fourth.

#GEMFOURTH

deru suara kendaraan, langkah kaki para pejalan kaki, dan riuh anak-anak yang sedang bermain di sudut jalan menjadi pengisi suara untuk dua anak adam yang kini beradu pada pikirannya masing-masing. mereka sama namun tak sama senang.

“kamu berapa lama ya?”

jingga magis masih mengukir rona indahnya saat gem membuka titik awal percakapan mereka.

yang ditanya menatapnya, alisnya bertaut sebelum menjawab, “dua tahun.”

gem mengangguk, “lama juga ya.”

“kamu sendirian loh.”

“iya.”

“gak ada aku.”

“iya.”

“gak ada yang nemenin kamu makan buryam tiap pagi.”

“terus?”

“gak ada yang ngasih kamu pocari tiap abis jogging.”

“gak masalah.”

lalu diam, kalimat milik fourth kini tertinggal disela kerongkongan. seolah kata dan pertanyaan yang terucap selanjutnya bisa membuat hidupnya hancur tak bersisa.

dan angin berhembus lagi, mengisi kekosongan dua insan yang kini duduk di teras rumah. fourth yang sibuk mengemasi barang, dan gem sibuk membantunya.

“kamu udah pernah ke jogja?” tanya gem.

“sekali, waktu perpisahan sma.” jawab fourth.

“jogja asik gak?”

“aku gak tau, udah lama gak kesana.”

gem hanya mengangguk, sekali lagi menjeda percakapan diantara mereka yang kian renggang.

“2 tahun berarti 730 hari.”

“iya, kamu mau nungguin aku sampai 730 hari?”

ah, pertanyaan itu akhirnya terjun kepermukaan. menyaring lembut bersama angin yang berhembus kencang.

gem sontak tertawa. tawanya renyah dan lembut, bergema sampai ke relung hati fourth yang terdalam. membawa euphoria bahagia yang selalu ia damba.

“kamu bercanda ya? mau seabad juga pasti bakal aku tunggu!”

fourht mendelik, sedikit kontra dengan pernyataan sang kekasih. “kalau seabad kayanya aku udah ubanan.”

“gapapa, aku suka liat kamu beruban.” ucapnya yang dibalas raut wajah sebal oleh sang kekasih. fourth memajukan bibirnya, mencibir sebal atas jawabannya sedang gem terkekeh.

“sayang, 730 hari bukan waktu yang sebentar. ada banyak hal yang harus aku lalui selama 730 hari gak ada kamu.” gem terdiam sebentar.

“dua tahun artinya 730 hari aku gak ketemu kamu, dua tahun artinya 730 hari aku gak bisa ajak kamu makan buryam, dua tahun artinya 730 hari aku gak bisa melukin kamu lagi, dan dua tahun artinya 730 hari aku harus bertahan tanpa kamu.”

fourth menunduk, rasanya cairan bening yang sedari tadi ia tahan siap merembes keluar jika ia membuka mulutnya barang sebentar.

“tapi aku gak mau 730 hari yang aku rasain jadi penghalang buat kamu mengejar mimpi-mimpimu, fourth.”

“gem, kamu bisa cegah aku buat pergi. aku gak akan pergi.” ucap fourth lirih.

gem menggeleng, “enggak, aku gak akan minta kamu buat tinggal. you don't know how proud I am with you. if the world against you, i'll against the world. kalau aku bisa nunggu kamu buat buka hati sama aku selama 10 bulan, then 2 years didn't matter for me, even if the world crashes into pieces i'll wait until you come with me.”

ucapannya serius tanpa ragu. gem memang tak pernah ragu perihal perasaan dan kesetiannya untuk sang kekasih. bahkan jika semesta memisahkannya, mereka akan kembali dan harus kembali sebagaimana sang surya yang setia pada bulan untuk meneranginya, atau bagai rona jingga magis yang mencumbu langit dengan indah.

fourth semakin tersiksa, perasaan luluh lantak. dentum jantungnya bertalu semakin cepat seolah tak mengizinkannya untuk bernafas barang sejenak.

gak bisa gini, ia mau tetap disini. ia mau selalu bersama gem, ia mau meski harus mengubur mimpinya demi bisa bersama sang kekasih.

terdengar bodoh dan ironis, namun begitulah fourth. semua yang ia jalani, hidupnya yang bagai kora-kora, semuanya penuh dengan gem dan hanya gem seorang.

maka ketika semesta memintanya untuk berpisah. berada diantara keputusan melanjuti mimpinya kuliah di UGM setelah gap year atau tetap disini bersama sang kekasih. sebab, dengan apa yang ia lalui dibelakangnya kini hidup fourth hanya berporos pada gem seorang, dan akan selalu begitu selamanya.

gem masih sibuk bergelut dengan koper, tanpa menyadari kalau fourth kini tengah sibuk mengusap air matanya yang semakin lama makin tak tertahan.

“aku gak mau jadi gila gara-gara kamu tau!” ujar fourth sesegukan.

gem terkejut melihatnya nangis, selama ini ia hanya pernah melihat fourth menangis sekali saat kucingnya mati. “fourth, sayang kamu kenapa?” tanya gem.

“sebel! sebel sama kamu soalnya bikin aku jatuh cinta segininya!” jawabnya masih sesegukan.

gem sontak menarik tubuh mungil fourth, membawanya pada dekapan lembut milik gem.

“sshh... udah ya jangan nangis, kan aku ada disini.” ucapnya sambil mengelus punggung sang kekasih yang masih terisak dipelukannya.

“kamu bakalan nunggu aku kan?”

“iya sayang, aku bakal nunggu kamu dua tahun, tiga tahun, atau bahkan seribu tahun! kamu boleh pukul aku sampe pingsan kalau aku ninggalin kamu.”

fourth menengadah, kini tatapannya jatuh pada gem yang ada diatasnya. “janji?”

“janji.” balas gem, senyumnya mengembang dan menenangkan untuk fourth.

“kamu jangan nangis, kalau kamu nangis nanti diledekin cengeng.” ujar gem.

“biarin aja, soalnya kalau aku nangis aku bisa puas pelukin kamu seharian.”

gem terkekeh, ia mengecup pipi sang kekasih yang berada di dekapan. dalam hati berjanji untuk selalu mencintai si kecil dan menunggunya. bahkan jika berarti ia harus pergi kedasar neraka yang terdalam hanya untuk fourth, maka ia akan melakukannya lagi dan lagi sampai fourth yang menyuruhnya berhenti.

karena sesungguhnya, gemini bagaikan jarum pada kompas. yang arah mata anginnya akan selalu tertuju pada fourth, dan selamanya hanya pada fourth.

naskah fix bgt

-Scene 1 EXT – pagi hari di lorong sekolah

fiona berjalan menuju kelasnya (Sampai di kelas)

INT – Scene 2 shoot 1, di dalam kelas gita menghampiri fiona

gita : kemarin tuh lu  keren banget sumpah dah pas gladi marching band lo tuh bersinar banget

fiona : makasih gita, lo juga keren kok.

gita ; ah enggak, masih kerenan lo kok

fiona ; makasih ya. eh sebentar gue pergi dulu

-Scene 2 shoot 2 fiona menghampiri adel yang sendirian dibangkunya.

fiona : Adel lo mau nemenin gue ke kantin ga? Sekalian tanda tangan ekskul

adel ; eh? bole-

gita datang memotong pembicaraan adel

gita : sama gue aja kan kita satu eskul

fiona menolah ke adel (ekspresi wajah terpaksa) lalu pergi bersama gita

fiona : yaudah deh yuk

gita menyeringai pada adel sebelum menarik tangan fiona pergi.

adel menatap mereka nanar

EXT – scene 3 shoot 1 (pulang sekolah)

gita dan fiona sedang bersiap ke tempat eskul

gita ; fiona, muka gua kaya gembel ya? padahal gua udah touch up

fiona : enggak kok

adel datang menghampiri mereka

adel ; fiona, tadi kamu mau liat tugas aku kan?

fiona ; oh iya, nilai lo berapa, del?

adel ; 80

gita ; nilai gue 90 lu liat punya gue aja.

fiona bingung antara memilih adel atau gita

gita ; Atau gini aja deh!! ini kan udh jam balik dan kita berdua kan ada ekskul marching band. mending kita ekskul aja dulu nanti diskusi soal tugas pas malem aja ya, okey adel?

gita menoleh pada mereka (sambil tersenyum sinis)

fiona mengangguk fiona : Yaudah tuh sorry ya adel tapi gita bener, nanti kita bahas lagi ya soal tugas. gue juga lagi sibuk buat lomba nih

adel ; ah, oke...

fiona pergi duluan

gita : tuh denger ya adel, fiona lagi sibuk. jadi mending lo pergi dan gak usah ganggu fiona lagi sebelum lo jadi penghambat dia.

gita pergi meninggalkan adel yang sedih

EXT – Scene 4 shoot 1 taman

adel duduk dipinggir danau lalu mengeluarkan diarynya

adel ; kenapa ya fiona jadi menjauh dari aku? apa bener ya apa yang dibilang gita kalau aku cuma jadi penghambat buat fiona...

adel mulai menulis diary

INT – scene 5 shoot 1 (di dalem kelas)

fiona sedang mencatat tugas

fiona : adel gue boleh liat catatan lo gak?

adel sedang menyapu kelas

adel : boleh kok. ambil aja di tas, buku warna biru

fiona mengambil buku biru (diary adel) (salah buku)

lalu fiona melihat curhatan adel di diary (terkejut)

fiona : adel, ini semua benar?

adel menengok pada fiona dan menghampirinya (ekspresi wajah terkejut)

adel ; fiona?

fiona menggeleng

fiona : del, kenapa lo gak jujur kalau selama ini lo di bully sama gita?

adel ; aku gak mau ganggu kamu na, aku tau kehadiran aku cuma jadi penghambat buat kamu

fiona memegang pundak adel lalu memeluknya

fiona : enggak del, lo tuh teman gue yg berharga. seharusnya dari awal gue sadar kalo gita cuma manfaatin gue buat ketenarannya.

fiona melepaskan pelukan adel lalu datang gita

gita ; hai kalian lagi ngapain sih? kok peluk pelukan?

fiona menatap gita marah

fiona ; gue gak nyangka ya kalo selama ini lu ngebully adel. kok lu bisa si sejahat itu?

gita terkejut

gita : maksud lo?

fiona menunjukan diary adel pada gita

gita ; na, maafin gue... gue cemburu karena lo selama ini selalu deket sama adel

fiona ; harusnya lo minta maaf sama adel bukan gue

gita ; maafin gua ya del, gua ngaku kalau gua salah (dengan ekspresi menyesal)

adel : “gak apa-apa kok, git. cuma.. semua ucapan lo waktu itu, cukup bikin gua sadar, kalo ternyata sakitnya jadi korban bullying bukan sekedar merasa kesepian atau sedih. tapi juga sakit hati yang mendalam buat gua”

fiona : “git, lo tau kan kalo pembullyan bukan suatu hal yang wajar dan baik untuk dilakuin? korban bisa terkena drop mental dari bahkan sampai bunuh diri. kalo lo gak suka sama adel, gak perlu jadi penjahat yang merusak hidup orang lain melalui ucapan dan perbuatan

gita menunduk dan menyesal

gita ; iya... gua menyesal maafin gue ya, gua harap lu berdua bisa maafin gua dan menerima gua sebagai temen lu lagi

fiona dan adel tersenyum lalu mereka semua berpelukan

end.

sabil mengetuk pintu kamar rion setelah di persilahkan oleh hesa. “rion,” panggil sabil

gak lama, pintu terbuka. menampilkan sosok rion dengan wajah khas bangun tidur. wajah yang selama seminggu ini selalu ia hindari eksistensinya. sebab, masalahnya masih terlalu abu.

tadinya sabil takut kalau saja ia akan menyakiti rion dengan sikapnya, lantaran perceraian kedua orang tuanya benar-benar mempengaruhi hidup sabil. namun ternyata sikapnya yang kekanakan itu justru memberi jarak pada hubungan mereka yang runyam jadi semakin ruwet.

ada gempita di dada ketika iris rion kembali tertuju padanya. cowok dengan peringai tampan itu selalu bisa membuat sabil terhanyut dalam lautan kupu-kupu.

“sabil?” ucap rion.

“hei rion, i'm here.” senyum sabil merekah. ia merentangkan tangannya, berniat untuk memeluk rion—sebelum dirinya di tahan oleh tangan rion.

“eh?”

“ngapain?”

“gua... mau meluk lu...”

rion menghela nafas. rasanya berat ketika sabil dengan seenaknya pergi menjauh, lalu datang seolah tidak terjadi apa-apa.

mereka memang tidak bertengkar. namun batin satu sama lain saling bertikai.

rion dengan harapannya yang semakin terkikis, dan sabil dengan kegiatannya yang entah apa. rion juga tidak tahu. bahkan ia tidak tahu masalah apa yang dialami oleh kekasihnya.

sabil selalu begitu, menutup dirinya seolah tidak pernah ada yang peduli padanya. padahal ada rion di sini, yang setiap harinya di landa khawatir akan dirinya.

“maaf,” preambule milik sabil berhasil mengisi kisi-kisi udara. “maaf karena tiba-tiba ngilang tanpa sebab.”

lagi, rion menghela nafasnya. “kamu kenapa?”

kalau sudah di tanyai begitu, pecah sudah seluruh pertahanan yang sabil bangun sejak seminggu yang lalu. mata rubahnya kini membendung butiran kristal yang siap jatuh kapan saja.

lalu ketika tangan rion mencengkram bahunya, sabil hancur, luluh lantah bersamaan dengan tangis yang ia tahan sedari lama. juga bersamaan dengan hati rion yang ikut ngilu hanya mendengar tangisannya saja.


sabil memarkirkan motornya di sebuah bangunan tua bersama dengan rion. ia turun dari motor, lalu menarik lengan rion untuk masuk lebih dalam.

“ini apaan? mau jurig malam?” tanya rion.

“bukan ih, lu liat aja nanti.”

kemudian mereka menaiki anak tangga satu persatu. sampai pada akhirnya berdiri di atas rooftop. rion bisa melihat pemandangan kota jakarta dari atas sini.

“udah gak takut ketinggian lagi?” tanya rion sesaat mereka sampai.

“masih takut, makanya gua ngajak lu.” jawab sabil.

rion mengangguk, “terus? kenapa di sini?”

“lu liat itu,” sabil menunjuk pada sebuah panti asuhan yang bisa terlihat jelas. dari sini, terlihat banyak anak-anak yang sedang main.

kemudian sabil menunjuk sisi sebaliknya, “dan itu, rumah sakit.”

“oke, so?”

“waktu gua menghilang tiba-tiba, gua sering pergi kesini sendirian. tapi karena gua takut ketinggian, jadi gua duduk di pojok situ sambil nunggu matahari terbenam.”

rion melihat sekilas pada dinding di belakang mereka. gedung ini sudah jadi sepenuhnya dari segi bangunan dan terlihat kuat. jadi, rion tak khawatir ketika melihat tempat sabil menyendiri.

“rion, ada satu hal yang belum gua ceritain. dan mungkin aja gak akan gua ceritain karena gua malu hahaha.”

you can tell me anything.

sabil mengulum senyum, “orang tua gua cerai.” ucapnya.

rion kaget, namun ia tak mau bertanya lebih jauh.

“waktu mereka memutuskan untuk bercerai, aku bingung banget. palaku pusing sampe-sampe aku gak tau harus bereaksi kaya gimana. aku linglung, dan aku juga takut. aku takut kalau selama ini semua yang aku alami cuma tipuan belaka.

tapi yang lebih aku takuti itu kamu, aku takut kalau kamu akan ninggalin aku karena aku cacat. aku gak punya lagi keluarga yang lengkap, dan aku lahir karena kecerobohan orang tuaku. jujur, aku malu sama diriku sendiri sampai aku takut buat ketemu kamu.”

sabil menghela nafas sebelum ia melanjutkan omongannya. “terus, pas aku gak tau mau ngapain lagi, aku mutusin buat keluar rumah. karena rumah yang aku tinggali gak lagi berasa rumah. semuanya semu.

tapi aku ketemu tempat ini, dari sini. kamu bisa ngelihat matahari yang berganti shift dengan bulan. dari sini juga, kamu bisa lihat anak-anak di panti yang mungkin nasibnya lebih buruk dari aku. buat aku jadi bersyukur, setidaknya aku pernah ngerasain punya keluarga yang utuh.

dan dari sini, kamu bisa ngelihat rumah sakit. buat aku jadi dua kali lipat bersyukur sama tuhan, setidaknya, walaupun aku ngejalanin hari yang berat, aku gak sakit. ada banyak orang di rumah sakit yang pengen keluar dari sana. dan aku ada di sini, aku bisa bebas pergi kemana aja. seharusnya dengan hal kecil kaya gini aku bisa bersyukur karena masih di kasih hidup. aku masih bisa ngeliat kamu.” tukas sabil.

rion bergeming. ia tak bisa mengalihkan pandangan pada wajah selembut porselin milik sabil. wajah yang selalu ia puji kecantikannya, namun rion tak pernah sadar kalau sabil juga punya hati yang cantik.

“rion,”

“ya?”

“kalau suatu saat aku pergi dari dunia ini, kamu juga harus selalu bersyukur ya?”

“jangan ngomong kaya gitu, bil.”

sabil melengos, “aku cuma ngasih tahu. kehidupan kita nanti bakalan jauh lebih berat, jadi mulai sekarang kamu harus bersyukur. karena aku juga bersyukur bisa ada di sini sama kamu.”

rion melangkah lebih dekat pada yang lebih pendek. ia merekuh badan mungil sabil, “i'll stick by your side no matter how tough things get, bil.

sabil tak menjawab, namun pelukannya yang semakin erat pada tubuh rion cukup menjadi jawab atas semua persoalan yang ada.

bahwa sampai kapanpun, mau seberat apapun hal yang mereka jalani. ujung dari perjalanan mereka, selalu kembali pada diri masing-masing.

karena memang benar, sabil adalah cinta pertama dan terakhir untuk rion. dan rion akan selalu jadi cinta terakhir milik sabil.

“rion, kalau kompasmu rusak, pulanglah ke titik kita berawal.”

“nih,” rion menyerahkan botol minum yang tadi ia beli pada sabil yang baru keluar gereja.

“gua baru sadar, pak RT sama bu RT gak ikut ya?” tanya rion.

sabil meneguk minuman tersebut, “mama sibuk, kalau ayah gak tau deh ngapain.”

“yaudah, ayok jalan.”

tadi rion udah muter-muter sambil nungguin sabil selama hampir 3 jam. dia juga beli banyak makanan yang ada di sepanjang jalan.

rion menaiki motornya lebih dulu, sebelum disusul oleh sabil yang naik di belakangnya.

“pake helm apa perlu gua pakein?”

sabil meraih helmnya, “gua bisa sendiri kok.” ujarnya kemudian memakai helmnya.

sekarang niatnya mau lanjut ke car free day. tapi cowok mungil yang ada diboncenginya ini rasanya udah capek banget, padahal cuma berdoa.

liat aja sabil udah nemplok ke punggung rion, dengan tangannya yang melingkar dipinggang pemuda itu.

ada yang mau dia omongin, tapi kalau di jalan gini pasti gak akan kedengeran. dari yang udah-udah sih, isi percakapan di motor cuma hah-hoh hah-hoh doang kaya tukang keong. karena suara bising dari kendaraan lain buat indra pendengaran mereka jadi tumpul.


ternyata tidak semua realita berjalan sesuai dengan ekspetasi. daripada ke car free day, mereka justru melipir ke rumah nasi padang.

sabil yang laper karena dari pagi belum sarapan, kalau rion mah udah kenyang jajan.

“rion, lu tau gak apa yang temen-temen gua bilang waktu tau gua pacaran sama lu?”

“gak tau, itu kan bukan temen gua.”

sabil mendengus, emang harusnya dia to the point aja.

“kenapa?” tanya rion.

sabil menghela nafas, “mereka bilang, gua mampu gak pacaran beda agama.”

rion diam, tak mau menyela omongan kekasihnya.

“awal-awal gua bilang kalau gua mampu, toh gak akan ada yang beda kan mau beda agama ataupun sama.”

“tapi sekarang gua sadar, ternyata berat ya...” lanjut sabil lagi, sembari menatap iris obsidian milik rion.

rion masih bergeming dengan seluruh kalimat yang terendam di balik mulutnya. ia tak menjawab, namun tangannya tak tinggal diam. ia mengenggam jemari sabil, menyatukan jari-jarinya dengan kulit halus milik sang kekasih.

“gua sanggup.” ucap rion.

“rion...”

“gua sanggup asal lu terus genggam tangan gua, kaya gini. sekuat ini, dan gak akan pernah pisah.” rion mempererat genggamannya.

“kalau nanti tangan ini gak akan sanggup buat genggam tangan lu lagi, gimana?”

“bil, gak ada yang harus di takuti dari hubungan ini. dari awal gua milih lu, buat jadi pelengkap tangan gua yang kosong. biar bisa gua genggam terus selamanya.”

sabil menunduk, “hubungan ini gak akan bertahan selamanya,” ucapnya sendu.

lalu rion melepaskan tangannya, kini ia justru memeluk sabil meskipun agak kaku karena terpisah oleh kursi milik mereka. dan rion yang memeluknya dari samping.

“kalau gitu, peluk. kalau genggaman tanganku masih gak cukup kuat, aku bisa meluk kamu kok.

aku bisa meluk raga kamu beserta seluruh ketakutan di dalamnya. biar kamu tau, kalo aku akan terus ada di sini.”

rion gak pernah bohong sama omongannya waktu dia bilang kalau ia akan dateng ke rumah sabil. soalnya, sekarang mereka udah berada di dalam mobil rion—ralat, mobil bang hesa— setelah rion minta di bukakan pintu.

di dalam mobil suasananya hening. sabil yang masih pakai piyama bercorak macan miliknya cuma bisa diam mengikuti kemana arah mobil melaju.

padahal gak biasanya dia diam begini.

rion melirik sabil, “bil,” panggilnya yang membuyarkan lamunan sabil.

“hm?” gumam sabil.

“pake jaket gua nih, di luar bakal dingin.” rion menaruh jaketnya di paha sabil, sedang tangan yang satunya sibuk menyetir.

yang lebih mungil baru tersadar kalau mereka sudah cukup jauh dari rumah. “ini di mana?”

“gak tau.”

sabil cengo. ini udah jam setengah sembilan malam tapi mereka muter-muter tanpa tujuan, dan lebih parahnya yang nyetir gak tau mereka ada dimana.

“serius anjir,”

“aslian kaga tau, tadi gua ngikut jalan aja.”

“LAH TERUS KITA NYASAR DONG??” seru sabil panik.

rion hanya mengangguk. sejujurnya ia juga gak tau mereka ada di mana. tadi, waktu jemput sabil dia gak kepikiran mau kemana dan ngapain, makanya sekarang jadi ngikutin jalan aja.

sabil lemes banget, rasanya dia mau jambak pacarnya ini yang tingkat bikin kesalnya udah max.

“sabar, sabil.” ucap rion.

“sabar sabar, elu yang bikin gua emosi!” sewot sabil.

rion terkekeh, ia melihat sabil yang kini bersedekap dada dengan bibir cemberut dan dahinya mengernyit. tipikal sabil kalau lagi kesal.

kemudian lelaki itu memberhentikan mobilnya di depan toko ikan.

bentar...

toko ikan?

“mau ngapain?” tanya sabil lagi.

“lu tau kan gua punya akuarium?”

sabil mengangguk, dia yang menemani rion saat beli akuarium itu.

“nah, sekarang waktunya di isi ikan cupang.”

“hah?”

“ayo.”

rion mematikan mesin mobilnya, kemudian turun lebih dulu di selingi suruhan agar sabil memakai jaketnya sebelum turun.


“yang ini keren nih.” gumam rion sembari memperhatikan salah satu ikan cupang dengan sisik berwarna biru.

sabil juga, ia sibuk mengitari toko itu sambil melihat beraneka jenis ikan. ternyata, gak cuma ikan cupang yang dijual di sini.

lalu mata rubah lelaki itu terpaku pada salah satu kotak kaca. rion yang melihat itu pun menghampirinya.

“bayi-bayi cupang.” ucap rion.

“huh?”

“itu,” rion menunjuk kotak kaca tersebut. “anak ikan yang baru menetas, namanya burayak.”

sabil mengangguk, “berarti itu ibunya ya?” tanya sabil pada satu-satunya cupang dewasa yang ikut menjaga para burayak.

“bukan, yang ini bapaknya. lu tau gak kalau cupang betina punya kebiasaan aneh suka makanin telurnya sendiri.

makanya abis bertelur, cupang betina langsung di bawa ke akuarium lain. dan yang jagain ini si jantan.” ucap rion panjang lebar.

“kok jahat ibunya...” sendu sabil.

“cupang betina kan juga butuh tenaga abis bertelur.”

sabil mengangguk-ngangguk tanda mengerti. meskipun ia masih merasa kalau cupang betina itu jahat, memakan anaknya sendiri.

lalu mereka beralih ke akuarium yang lain. kali ini ada ikan mas koki.

“namanya ikan mas koki?” tanya sabil.

“iya, tapi ini bukan koki di master chef.

sabil tertawa renyah. “looks so fancy.

“emang mahal sih. dia juga unik loh bil, soalnya ikan ini punya insang yang terbalik.”

sabil ber-oh ria. sejujurnya, ia gak tahu menahu tentang dunia ikan ini. dia kira bakal jadi orang linglung disini, beruntunglah rion punya banyak pengetahuan tentang ikan.

“jadi, lu mau beli apa?”

“gak ada.”

“lah?”

“gua gak mau beli apa-apa. akuarium yang waktu itu gua beli, buat kado sepupu gua. jadi... gua gak mau beli ikan.”

“loh, terus ngapain kita ke toko ikan?”

“alasan pertama buat ngajak lu keluar, alasan kedua biar lu bisa buka suara. gua takut kalo lu diem aja kaya tadi.” ucap rion.

benar sih, tadi setelah turun dari mobil, rasanya seperti energi sabil terkumpul lagi di dalam tubuhnya. soalnya ia mulai buka suara, gak kaya pas di mobil yang diem aja, persis kaya anak perawan mau di jodohin.

yang lebih kecil mendongak pada rion, mata rubahnya berkaca-kaca.

“lu... gak perlu sampai segininya loh.”

“gapapa, gua suka liat lu bawel.”

sabil terkekeh, kemudian ia melihat arlojinya. “jam 10 kurang,”

“pulang ya? gua janji sama pak RT bakal balikin lu sebelum jam 11.” ucap rion.

lalu sabil mengiyakan, ia berjalan lebih dulu sebelum tangannya dicekal oleh rion.

“bil, gua sayang banget sama lu. jangan di dengerin apa kata mereka, ya?”

sabil tersenyum, tanpa diberitahu juga ia tahu kalau pemuda milik desember ini menyayanginya dengan sangat. jadi sabil hanya tersenyum, membalasnya dengan kecupan singkat di pipi rion. sebelum ia berlari ke dalam mobil.

sunghoon datang lagi seperti pada malam-malam sebelumnya. seperti pada saat ia masih memiliki kekasih di jemarinya yang lain. lelaki bermarga park itu tak pernah absen mengisi ruangan minimalis milik jake.

sama seperti ia yang tak pernah absen datang pada pelukan jake. pada setiap ciuman yang ia torehkan di setiap sudut milik jake. dan sama seperti ia yang tak pernah absen merangkai memori di setiap ceruk leher jake.

bodohnya, jake selalu mengizinkannya. meski tahu ia akan tersakiti lagi.

namun di sini, jake tak lagi menyukainya. apalagi cinta. perasaannya telah mati rasa bersamaan dengan preambule yang sunghoon ujarkan malam itu. “jangan berharap sama gue.”

brengsek memang. di saat ia mengira sudah memiliki kesempatan, namun sunghoon dengan tegas menyatakan hatinya masih tertinggal di belakang. memberikan sekat pada jake yang ingin melangkah jauh.

tapi, tahu apa yang lebih bodoh dari seorang jake?

seperti saat ini. setiap kali sunghoon datang ke kamarnya. setiap kali raganya berada di atas tempat tidur jake. setiap kali pemuda itu mengecupnya.

dan setiap kali itu, jake selalu menerimanya dengan tangan terbuka. mempersilahkan sunghoon masuk ke dalam dekapannya. lagi, dan lagi.

lalu, ketika permainan mulai berada di akhir. saat peluh keringat membanjiri dahi sang dominan yang berada di atasnya. masih dengan tangannya yang melingkar di pinggang jake. sunghoon berkata lagi, kali ini dengan binar di matanya.

“gua balikan sama jesya.”

dug.

jake dapat merasa hatinya bagai ditusuk ribuan panah di saat yang bersamaan.

“karena hari ini terakhir gua meluk lo. makasih ya jake, buat gak lagi berharap sama hati gue.”

kemudian badannya ambruk di atas jake. dan jake masih bergeming, menatap langit-langit kamar yang kini semakin memudar seiring dengan air matanya yang berjatuhan.

benar kata sunghoon. ia tak lagi memberi harapan pada hati pemuda itu. tapi, kenapa rasanya sesakit ini?

sabil menunduk, tak berani melihat joshua yang menatapnya seolah ingin memakannya hidup-hidup. joshua menghela nafas, “sejak kapan?” tanyanya.

“setahun yang lalu.” jawab sabil.

mata joshua membulat, yang benar saja setahun yang lalu dan ia baru tahu kalau sahabatnya ini sakit keras?

tadi, joshua gak sengaja ketemu sabil di rumah sakit dengan segala obat ditangan sabil setelah ia menjenguk neneknya.

joshua menatap sabil prihatin. ia tak menyangka kalau pemuda di hadapannya yang sering terlihat cerah ini ternyata juga punya kelabu di hidupnya.

“rion tahu?”

sabil menggeleng lemah. sudah joshua duga, cowok ini pasti gak akan jujur tentang penyakitnya.

kalau saja mereka gak sengaja ketemu, mungkin joshua juga gak akan pernah tahu tentang penyakit yang sabil derita ini.

“kenapa gak coba jujur?”

“gak bisa, gua gak mau rion sedih gara-gara gua.” ucap sabil lirih.

“you okay?”

lagi, ia menggeleng. “bohong kalau gua bilang i'm fine. gua bohongin rion selama setahun.”

joshua menghela nafas lagi. ia merasa gagal menjadi teman sabil. sedari dulu, sabil punya banyak rahasia yang gak semua orang tahu—bahkan joshua. ia hanya akan terbuka untuk rion, pintu yang terkunci di hatinya hanya bisa dibuka oleh rion, dan selalu rion.

maka setelah preambule itu joshua sadar, kalau sahabatnya ini telah jatuh terlalu dalam pada lelaki keturunan matahari terbit.

“boleh peluk?” tanya joshua.

lalu tanpa menunggu jawaban dari sang lawan bicara, joshua menghambur ke pelukan sabil. ia memeluknya sama erat dengan sabil, membiarkan kaos hitamnya basah oleh air mata sabil. tanpa sadar juga ikut menangis di atas kesedihannya.

“bil, bisa sembuh kan?”

sabil tak menjawab, ia masih mengadu sakit pada semesta yang dengan tega mempermainkan hidupnya. namun atas itu, joshua tahu. kalau jawabannya adalah tidak, penyakitnya gak akan bisa sembuh.

sabil menunduk, tak berani melihat joshu yang menatapnya seperti ingin makan orang. joshua menghela nafas, “sejak kapan?” tanya joshua.

“setahun yang lalu.” jawab sabil.

mata joshua membulat, yang benar saja setahun yang lalu dan ia baru mengetahuinya sekarang kalau temannya itu sakit?

tadi mereka gak sengaja ketemu di rumah sakit tempat nenek joshua dirawat. ia juga tidak menyangka akan bertemu sabil dengan segala obat yang ada di tangannya. sialnya, ia merasa gagal menjadi sahabat sabil yang tak tahu apa-apa kalau temannya sakit keras.

“rion tahu?”

sabil menggeleng. udah joshua duga pemuda ini pasti gak akan bilang apa-apa. mungkin kalau mereka gak sengaja ketemu, joshua juga gak akan tahu kalau cowok yang selalu terlihat cerah ini ternyata juga punya kelabu di hidupnya.

“you okay?”

“bohong kalau gua bilang i'm fine. gue bohongin rion selama setahun.”

joshua menatap sabil prihatin, “kenapa gak coba jujur?”

yang ditanya kembali menggeleng lemah. “gak bisa, gua gak mau dia sedih gara-gara gua.”