hwoneboom

Sunghoon mendekap Jake yang sedari tadi menunggunya di ruang tv. Tak ada suara yang tercipta dari bibir masing-masing, hanya Jake yang membalas dekapannya dengan sama kuat.

“I'm home.”

Jake mengadah, melihat postur tinggi lelaki didekapannya. “Welcome home, Sunghoon.”

Ini pukul 12 lewat 9 menit jika kalian melihat jarum jam. Kamar apartemen yang hanya diisi satu orang itu setiap malamnya selalu menerima tamu tetap—Sunghoon kekasihnya—selalu mengunjunginya setiap malam.

Jake tak pernah melarang, toh memang ia pun membutuhkan Sunghoon.

“How's today?” tanya yang lebih kecil sembari menuntun Sunghoon duduk.

“Everything goes well, gimana kuliah kamu?”

“Capek.”

Sunghoon tersenyum tipis, ia menaruh kepalanya di bahu Jake. “Oh ya? Secapek apa?”

“Rasanya kalau kamu naik gunung everest bolak balik sampe 3 kali.” atas pernyataan itu tawa Sunghoon menguar, bersatu dengan udara ruangan yang kerap dingin setiap harinya.

“Hiperbola.” katanya.

Jake merungut namun ia tak berniat membalas perkataan sang kekasih. Tangannya asyik memainkan surai halus Sunghoon, wanginya Jake suka. Tidak, semua yang ada pada pemuda jangkung itu Jake suka.

Lalu suasana kembali hening namun tak mencekat. Mereka bersyukur tak pernah ada dalam situasi hening yang membuat mereka ingin kabur. Memang begitu, ia tak butuh banyak kata-kata selama ia tahu ada Sunghoon disampingnya.

“Berapa lama?” persoalan yang tak diinginkan akhirnya tersua juga.

“Cuma dua bulan.” jawab Jake sambil netranya masih menatap layar tv yang tak dinyalakan sejak ia datang.

“Aku bisa kangen kamu hampir setiap detik.”

Jake terkekeh, “Kamu bisa dateng kalo kamu mau.”

“Setiap malam?”

“Iya, setiap malam.”

Sunghoon terdiam cukup lama sebelum berujar, “Takut kamu semakin jauh.”

“Aku gak akan kemana-mana, masih disini.”

Jake tau segala kegelisahan kekasihnya, sebab iapun sama bisa merasakannya. Mau tak mau mereka memang harus siap kala jarak datang di tengah-tengah hubungan ini.

“Janji ya? Dua bulan aja.” ia bangun dari posisi bersender, kini mereka berdua hadap-hadapan. Jake mengangguk dengan sepenuh hati menuruti permintaan kekasihnya.

Bumantara tidak pernah menandakan mereka sebagai satu dari jutaan asterik semesta. Namun seperti narasi lampau yang menolak untuk di urungkan, mereka berdua tahu selalu bisa kembali dan jadikan tempat pulang dikala lelah. Sebab malampun demikian, selalu mencintai mereka sebanyak bintangnya untuk anak manusia.

“Kalau kompasmu rusak, pulanglah ke titik kita berawal.”

Suara petikan gitar dari jemari Satya menjadi satu-satunya pengiring musik di angkringan saat ini.

Satya asik menyanyikan lagu Kesempurnaan cinta dari Rizki Febian, yang di balas oleh siapapun yang tahu lagunya. Itu bukan lagu kesukaan Jio, karena jujur saja Jio bahkan tak tahu lagu tersebut. Namun ketika Satya dengan indah menyanyikan sepenggal lirik demi lirik, Jio sadar ia telah jatuh cinta pada iramanya.

“Berada di pelukan Jio, apa artinya kenyamanan, kesempurnaan cinta.”

Jio terkekeh kala liriknya di ganti menjadi namanya. Dapat ia rasa pipinya yang menjalar merah, menandakan bahwa si empu sedang bersemu-semu.

“Halo ganteng, jangan di liatin aja. Di sawer dong.” ujar Satya ketika selesai bernyanyi.

“Satya!” seru Jio.

Sekarang seluruh pasang mata sepenuhnya menaruh atensi pada dua orang yang sedari tadi tak kenal jarak. Satya duduk di hadapan Jio dengan gitar punya Jay yang ia ambil diam-diam. Biar saja, toh pasti Jay akan memaklumi.

“Bayarnya pake jawaban mau jadi pacarku atau enggak.”

Nah kalau sudah terlontar pertanyaan seperti ini, di buat iri seluruh manusia yang ada di angkringan. Rasanya seperti dunia hanya milik mereka berdua, yang lain ngontrak.

Jio mengembungkan pipinya, merasa malu karena sekarang sudah banyak yang bersiul sambil menyoraki agar mereka jadian.

Suasana angkringan yang semula memang ramai jadi semakin ramai dengan kehebohan yang dibuat. Kebanyakan orang gigit jari, merasa ingin juga menerima pernyataan cinta meski dengan cara yang sederhana.

Dan bagus untuk Jio, karena lelaki itu tak suka sesuatu yang berlebihan.

Satya, di hadapannya sudah lebih dari cukup untuk memperesentasikan kata yang ada di kepalanya. “Iya, mau.” jawab Jio malu-malu.

“YAASSS!!” Sorak Satya bersamaan dengan yang lain.

Jelas semua orang tersenyum, ikut senang akan terciptanya cerita baru dari dua insan yang menyatu. Namun senyuman di Satya yang paling lebar di antara mereka, menyatakan dengan jelas bahwa ia sangat bahagia.

Lantas langsung menarik tubuh mungil Jio ke pelukannya, “I love you.” ujar Satya.

Jio tersenyum sama lebar, juga sama bahagianya dengan Satya. Jadi ia membalas dengan suara yang sangat pelan, yang mungkin hanya Satya yang bisa mendengarnya. “I love you too.”

“Pertanyaan yang tadi beneran.”

Jio bergeming, ia menoleh pada yang lebih tinggi. “Jangan main-main sama perasaan, Satya.”

“Gua gak main-main,” Jemari Satya mengambil alih troli yang di pegang Jio, lantas mendorongnya ke arah rak yang lain. “Gua serius kalo bilang suka sama lo.”

“Ini lo lagi confess?” tanya Jio.

“Anggap aja begitu.”

Butuh waktu beberapa menit untuk Jio menjawab persoalan dari teman sekamarnya, ia mengehela nafas. “Seminggu.”

Satya mengernyit, “Hah?”

“Seminggu dan biar gua kasih jawaban. Kita baru kenal satu setengah bulan, ini waktu yang singkat buat gua tau tentang lo.” ujar Jio.

Kurva halus di belah sudut bibir Satya menjadi penghias di wajah tampannya, setidaknya ia ada secerca harapan.

“Mau sampe rambut kita memutih juga, gua bakal nungguin lo.”

Jio merotasikan bola matanya, ia berjalan lebih dulu. “Jangan alay.” katanya yang di balas tawa renyah dari Satya.

“Satya, liat deh.”

Satya yang tadinya sedang menscroll instagram di handphonenya langsung mengalihkan pandangan pada Jio di hadapannya.

Jio berbalik badan, ia mengambil permen lalu menutupnya di salah satu jemarinya, “Pilih yang mana?”

“Yang ini.” Ia menunjuk tangan kiri Jio.

“Yah kok langsung ketahuan sih?!” rajuknya.

Satya terkekeh, “Kamu kurang handal tuh.”

“Curang! Lagi lagi.”

Sunghoon kini berada tepat di rooftop bersama dengan pemuda mungil yang sedaritadi berada di sampingnya. Di tangan kanannya terdapat es krim yang di lahap dengan gembira. Terlihat lucu bagi siapapun yang melihat, pun termasuk bagi Sunghoon.

“Jake.” yang di panggil menoleh, menanyakan ada apa? lewat sorot matanya.

Sore sudah jatuh semenjak sejam yang lalu, sudut kota saat kini di hiasi oleh jingga malis yang hangat. Sunghoon tersenyum, pemandangan Jake dengan langit senja di belakangnya menjadi satu-satunya eksistensi yang menarik perhatiannya.

“Kamu sayang sama aku ya?”

“Kenapa masih di tanya? Aku sayang banget sama kamu Hoon.” Yang lebih pendek balas tersenyum lebar.

Sunghoon terkekeh, “Kamu mau lakuin apapun buat aku?”

Jake mengernyit, namun ia dengan cepat mengangguk. “Mau! Apapun yang kamu minta bakal aku turutin.”

“Kalo gitu, ayo mati bareng.”

Disana, Sunghoon masih tersenyum dengan rentetan gigi putihnya terlihat. Seolah ucapannya barusan hanyalah angin belaka.

“Maksud kamu?”

“Jake, this world is too cruel for us.”

Jake bergeming. Sejenak hanya ada suara burung berkicau, dan samar-samar kendaraan yang berlalu lalang.

Mata bertemu dengan mata, ia mengangguk. “Ayo, asal bersama kamu. Aku mau.”

Sunghoon tak menjawab, namun langkahnya semakin mendekat pada Jake. Menipis jarak di antara mereka; ia menunduk sampai mensejajarkan dirinya di hadapan Jake. “Ya, Jake. Ayo mati bersama.”

Lalu bagai dua kutub magnet yang saling tarik menarik, Sunghoon kembali mengikis jarak di antara mereka. Mempersempit pasokan udara antara dirinya dan Jake. Ia mencium Jake dengan lembut, yang di balas dengan ciuman sama lembutnya.

Tak ada yang menuntut di sela-sela ciuman itu. Hanya ada perasaan geli yang menggelitik perut.

Sunghoon kembali melangkah, semakin lama langkahnya semakin terarah. Bibir Jake masih menyatu dengan bibirnya, atau sesaat lagi jiwa nya pun akan ikut menyatu dengan dirinya. Karena sepersekon kemudian yang Sunghoon lakukan adalah mendorong Jake, tepat ketika lelaki itu membuka matanya.

Tak ada teriakan apapun. Tak ada penyesalan apapun. Hanya ada es krim Jake yang tergeletak di lantai.

Hujan turun tanpa permisi, seolah ikut andil dalam kisah tragis mereka. Seolah hujan datang untuk menutupi tubuh Jake yang tergeletak tak berdaya, dan seolah ia mewakilkan Jake yang kini tak bisa lagi menangis. Namun, baik hujan maupun Sunghoon tahu. Bahwasannya mereka memang tidak di takdirkan bersama di dunia ini.

Sunghoon menatap tubuh Jake yang ancur di bawah dengan darah mengucur deras di sekitar tubuhnya. “Ya Jake, perasaanku sudah mati sedari dulu.”

Sean daritadi sibuk ngiterin area makanan. Mulai dari Zuppa soup, roti bakar, ayam gulai, sampai es krim mochi. Semuanya gak ketinggalan dari radar si manis. Sayang aja sih, kurang mint choco kalau ada bisa-bisa satu stand abis sama dia sendiri.

Tadi dia juga udah ketemu Juan, udah salaman juga sama teh Noje. Bahkan awal masuk langsung salaman, iya lah walaupun kesini mau numpang makan tetep harus sopan!

Tapi sekarang di tinggal lagi sama Juan, gak tau sih tadi katanya mau ketemu sepupunya dulu tapi kok gak balik balik. Yaudah akhirnya Sean kembali berburu makanan. Kalau bawa kamera kayanya dia udah persis kaya food vloger sambil milah milih mau makan apa.

“Halo.”

Sean menoleh, pupilnya langsung membesar ketika mendapati orang di depannya. Seseorang yang gak pernah ia duga bisa ketemu di tempat seperti ini.

Ia celingak-celinguk, melirik ke sekitar siapa tau orang ini salah manggil. Tapi kok gak ada yang lain selain dia disini.

“Gua?” tanyanya sambil menunjuk diri sendiri.

“Iya, lo yang kemaren pas mufest sakit kan? Adeknya kak Azka?”

IYA BETUL PEMIRSAAHHH orang di hadapan Sean saat ini yang lagi ngobrol dua mata sama dia adalah NATHAN. sekali lagi NATHAN BASSIST MANTICORE! Nathan yang tiap hari Sean omongin sampe temen-temennya bosen. Iya, Nathan yang ini.

Dan rasanya Sean mau teriak aja kalo gak inget dia lagi di tempat penting. Nathaniel Pradipta biasnya sendiri inget sama dia.

Huhuhuhu boleh gak sih Sean beli baliho terus nulis *“Nathan inget muka gue and everyone needs to know!”

Oke, balik ke alam sadar karena ternyata Nathan masih ada disini sambil lambai-lambai di depan mukanya. “Halo? Lo gapapa?”

“Eh? Iya, sorry. Kenapa?”

Tuh kan, kumat lagi bolotnya Sean.

“Gua belum tau nama lo. Boleh kenalan gak?”

“BOLEH BOLEH.” Jawabnya kelewat antusias.

Seketika Sean langsung menutup mulutnya dengan jari kala menyadari nada suaranya yang kelewat antusias. Aduh bego banget! Pasti abis ini Nathan bisa ilfeel sama dirinya.

“Sorry, maksud gua boleh.” ucapnya lebih tenang.

Nathan terkekeh, “Oke, gua Nathan. Nama lo?” ia mengulurkan jemarinya pada Sean.

Butuh waktu beberapa detik untuk Sean memproses kejadian di depannya, namun ia langsung menyambar uluran tangannya. “Sean, hehehe adiknya kak Azka.”

“Iya, gua tau.”

“Hah? Lo tau gua?”

“Kak Azka sering cerita tentang lo.”

Alias Sean menukik, bisa-bisanya kakaknya itu bohong soal para member Manticore yang gak tau tentangnya. Kalau gini dari lama kan Sean bisa kenalan sama Nathan.

“Kok lo ada disini?” tanya Nathan.

“Teh Noje tetehnya temen gua. Lo sendiri?”

“Teh Noje banyak kontribusinya buat Manticore dari awal debut.”

Sean ngangguk ngangguk aja kaya boneka yang ada di dashboard mobil. Lebih tepatnya sih karena dia bingunggg harus ngomong apa lagi. Juga karena gak bisa menghentikan degupan jantung yang sedari tadi berpesta ria.

“Dunia sempit banget ya.”

“Huh?”

Nathan melihatnya, senyumnya mereka di bibir. “Dari sekian banyak orang, gua bisa ketemu lo lagi.”

Suasana di dalam mobil dengan empat penumpang itu tampak tenang. Azka sebagai pengemudi fokus pada jalanan dan ada Sonia di sampingnya yang tadi minta ikut mereka.

Hari ini jadwal dari dua member Manticore itu alias Hamizan dan Sandega adalah menghadiri salah satu acara radio. Sengaja cuma mereka berdua soalnya pihak acara minta buat perwakilan aja, lagian di pilih Izan sama Ega juga karena mereka yang paling anteng.

“Son, email gua udah di terima sama bang Rayhan belom?” tanya Izan.

Sonia menoleh, “Gua gak dapet kabar apa-apa. Lo udah tanya?”

“Gua chat belum di bales.”

“Sibuk palingan, kan ada yang mau debut. Emang apaan Zan?”

“Lirik lagu baru.”

“Udah tanya ke Azka?”

Azka yang mendengar namanya di panggil langsung melirik mereka berdua, “Udah. Tapi kenapa harus tanya ke gua dulu sih? Gua kan producer.”

“Mastiin lagu nya waras apa enggak.” balas Sonia yang langsung di sapa gelak tawa oleh bagian belakang.

“Yaudah, nanti email ke gua aja Zan biar gua sampein ke bang Rayhan.”

Hamizan mengangguk lalu langsung meraih ponselnya untuk mengirim email baru ke Sonia.

Sonia ini salah satu kreographer dari agensi mereka. Emang gak ada hubungannya sama band kaya Manticore yang gak butuh dancer sih, tapi dia suka ngintilin member kalo lagi ada acara. Alasannya karena bosen. Alasan lain mau ngeliat Hamizan.

“By the way katanya kemaren Vicky dateng? Emang iya?” tanya Sonia, lebih pada Sandega saja.

Suasana kembali hening, lebih tepatnya tak ada yang mau menjawab pertanyaan dari Sonia. Sebab tiga orang lainnya jelas tahu masalah di balik kebisuan mereka.

“Sebentar doang.” jawab Sandega.

“Good, harusnya gak usah dateng lagi sih.”

“Kenapa?”

“She is trouble maker.”

22 jam sebelum kiamat. Lelaki dengan surai blonde itu sesekali melirik arloji di pergelangan kirinya yang menampilkan hitungan mundur. Jake, lelaki itu kembali melihat ke arah langit yang kini dengan jelas terlihat ekor dari asteroid yang ribuan tahun lalu pernah menghantam bumi. Dan kini akan kembali menabrak bumi, mungkin akan menghancurkan seisinya.

Lamunannya buyar ketika bel apartemennya berbunyi, menandakan seseorang bertamu. Kurva hangatnya terbentuk sebelum membukakan pintu untuk sang tamu yang telah ia tunggu-tunggu.

“Sunghoon!” serunya, kemudian memeluk yang lebih tinggi. Pelukannya di balas lebih lama, sejenak lelaki itu menghirup ceruk leher Jake yang terekspos.

“Gimana di luar?” tanya Jake setelah melepas pelukannya, ia menuntun Sunghoon ke kamarnya.

“Kacau. Semua orang jadi gila, polisi gak tahu harus ngapain.”

“Wajar,” Jake menjeda omongannya; ia melihat ke arah jam tangannya. “22 jam 56 menit sebelum kiamat.”

Sunghoon menatap Jake, ia menjilat bibirnya; merasa gugup hanya untuk berkata, “You wanna try with me?” dengan sahabatnya.

“Satu hal yang selalu ingin ku lakukan jika kiamat benar benar terjadi, is that you fucking me all night.”

Mereka berdua tahu betul apa hubungan yang telah terjalin semasa kecil hingga sekarang. Mungkin, jika dunia masih waras ia tak akan mungkin mengundang sahabatnya sendiri hanya untuk melecahkannya. Tapi sekarang keadaan telah berbalik.

“Jake.”

“Ya?”

“Kill me.”

Jake tak membalas, namun senyum hangatnya yang tak pernah pudar sudah lebih menyakinkan Sunghoon.

Ia melangkah lebih dulu; menarik tengkuk Sunghoon lalu menciumnya dengan lembut. Awalnya semua terasa geli, mereka berdua tak pernah berfikir akan saling melahap bibir satu sama lain. Namun udara yang semakin sempit juga nafas yang tersenggal berkata lain dengan ciuman yang semakin ganas.

Sunghoon melepasnya lebih dulu hanya untuk menatap iris yang selalu ia kagumi, sebelum akhirnya membawa sang submisif keatas kasur.

Ia tak banyak bicara, pikirannya pun sama kosongnya. Yang ada di otaknya hanya dirinya bisa mencicipi seluruh bagian tubuh Jake.

Selagi ia menciumnya tangan kanan Sunghoon bermain pada dada Jake yang terbalut kaos. Jake pasti akan memaki Sunghoon keras-keras jika saja mulutnya tak di kunci oleh mulut Sunghoon. Lelaki itu jelas tahu bagaimana jarinya yang lentik bisa menggodanya dengan begitu bebas.

Pertama di dada, turun ke pinggang, lalu semakin turun sampai ke gundukan di bawah sana. Sunghoon memang tak biasa melakukan sex, namun ia jelas tahu apa yang harus di lakukan.

Jadi tangannya dengan lembut mengelus selangkangan sang sahabat, merasakan bagaimana Jake mengerang kecil di sela-sela ciuman panas mereka.

“Sunghoon...”

Jake memanggilnya. Itu hal yang paling Sunghoon senangi di dunia, bahkan sampai akhir dunia pun panggilannya masih menjadi favorit Sunghoon.

“Ya, Jake?”

“Suck me off.”

Ia tersenyum miring, menjilat leher Jake sebelum berkata. “As you wish.”

Sepersekon kemudian yang Jake tahu dirinya telah bertelanjang dada dan angin ac yang menusuk kulitnya. Sunghoon masih disana, pelaku dari lenyapnya setengah pakainnya lalu jika lebih lama lagi seluruh pakaiannya.

Sunghoon masih disana, memandangnya lapar seolah ia adalah makanan terakhir di dunia. Dan Jake juga disana, balas menatapnya seolah berkata bahwa Sunghoon dapat memakan dirinya sepuasnya tanpa sisa sedikitpun. Maka Sunghoon kembali menurutinya, dengan perlahan menjajali setiap inci dari tubuh Jake.

Pertama mincum keningnya, lalu pindah ke pipi, hidung dan sekali lagi bibir berisi Jake di cium. Kemudian ciumannya turun ke leher; memberi tanda kepunyaannya disana. Lalu turun ke bahunya, hingga ke dada yang menampilkan dua nipple cantik disana.

Sunghoon mengisapnya. Tangan yang kiri bermain dengan puting yang satu dan bibirnya dengan rakus mengigit yang sebelah; memilinnya lalu kembali mengigitinya. Jake kelabakan, ia menjambak surai Sunghoon sembari sesekali menyerukan namanya. Kakinya mati rasa, namun ia merasa berada di awang.

Seolah tak mau berhenti sampai disana bibir Sunghoon semakin lama semakin turun ke pinggang, menjilatnya bagai anak kecil yang di beri es krim; sebelum ia menarik restleting di depannya.

Kamar bernuansa putih gading itu menjadi saksi bagaimana mereka mengakhiri hari terakhir di dunia. Suasana tak begitu ramai, namun tak bisa juga di bilang sepi. Mereka tak butuh banyak dialog hanya untuk menyalurkan hormonnya, Jake yang bergelinjing di bawah Sunghoon yang sedari tadi mencari titik sensitifnya jelas membuktikan bahwa kedua anak adam itu sepenuhnya di buru nafsu.

Sunghoon masih setia bermain-main di bawah sedang Jake tak suka berlama-lama. Jadi ia menarik tubuh Sunghoon dan berkata akan membunuhnya sekarang sebelum mereka berdua berhasil mencapai klimaks, jika Sunghoon terus bermain-main. Jelas, bukan hal yang diinginkan oleh lelaki Park tersebut. Jadi ia menuruti permintaan Jake.

Sunghoon melepas seluruh pakaiannya; kini mereka berdua sama-sama telanjang bulat.

Ia membawa Jake pada pangkuannya, berbisik lembut jika saja ia terlalu kasar maka Jake bisa minta berhenti. Tapi tetap saja di tolak olehnya, jika esok tak bisa jalan pun ia tak apa.

Jake meraih jari Sunghoon, ia menjilatnya sebelum mengikuti perintah selanjutnya. Sunghoon mencium bibirnya sekali lagi, kemudian ia usap dan perlahan memasukan jari tengahnya ke lubang anal milik Jake.

Desahan Jake bagai lantunan opera yang pernah ia dengar di salah satu sudut caffe. Menyenangkan dan membuatnya candu, awalnya hanya satu jari kemudian Sunghoon mencobanya dengan dua jari. Tempo yang dari lambay

“ah f-fuck!” Belum sempat berbicara lagi, Sunghoon sudah memasukan penisnya kedalam hole pink nan sempit milik Jake. Ia mengecupi punggung Jake dengan terus memaju-mundurkan penisnya. Badan Jake tersentak, ia merasakan pening karena lubangnya terisi penuh oleh Sunghoon.

Tangan Sunghoon tak tinggal diam, ia meremas pantat Jake bergantian mengelus penis milik sang sahabat.

“Shit Sunghoon, disana.” Sunghoon berhasil menemukan titik sensitifnya, ia memompanya terus dengan tempo yang semakin cepat sampai akhirnya cairan putih merembes sampai ke kasur. Jake berhasil melakukan pre cum.

“Hei, Jake.” bisik Sunghoon.

“Masih lama sebelum kiamat, Sunghoon.”

Sunghoon tersenyum miring, ia tak akan memberi Jake ampun setelah ini.

Ia kembali membalikan badan sang submisif, mengukungnya di antara lengan kokohnya. “Dan masih lama before I break your bone.”

“Then break me up.”

Lalu setelahnya hanya ada mereka juga desahan dari bibir masing-masing. Tak apa, sebab seberapa kencang mereka berteriakpun tak akan ada yang melarangnya.


Suara sirine polisi, bunyi tembakan, asap kebakaran, orang-orang yang berteriak dan saling memaki seolah menjadi pemandangan yang wajar saat ini.

Rokoknya di ketuk beberapa kali sampai puntungnya lepas, lalu ia kembali menghisapnya seolah keributan di hadapannya hanya bualan belaka. Sunghoon tak peduli, lagipula apa yang harus di pedulikan ketika dalam beberapa jam seluruh dunia akan lenyap? Mungkin pengecualian dengan meniduri sahabatnya sendiri tadi.

Jake, lelaki yang tadi dengan lantang mendesahkan namanya juga yang mengusulkan agar mereka bersenggama juga ikut melihat ke arah luar. Menggunakan kemeja Sunghoon yang tadi di lempar asal, Jake terlihat jauh lebih mungil di dalam kemejanya yang kebesaran.

Matahari telah jatuh sejak satu jam yang lalu, menyusuri sudut sudut kota dengan pekatnya malam. Biar begitu, tak ada dari merekapun yang berniat untuk masuk ke dalam; berlindung dari angin malam yang menusuk kulit.

“I was never expect that.”

“Yang mana? Sex atau kiamatnya?”

“Dua-duanya.”

Sunghoong mengangguk, “Kamu keren tadi.”

“Kamu ngomong gitu seolah aku habis melakukan sesuatu yang menakjubkan.”

Tawa sumbarnya yang tercekat di antara tenggorokan menjadi satu, lalu sesap di bawa angin. “Aku serius, youre amazing Jaeyun.” ujar Sunghoon menatapnya.

Jake hanya membalas senyum. Nama Jaeyun dulu selalu menjadi hal yang memuakan baginya. Namun, biar begitu Sunghoon selalu memujinya.

“4 jam sebelum kiamat.” Ia melirik ke arah jam tangan yang menitnya semakin berkurang.

“Wow, lama juga ya kita?”

Jake mengangguk, “Mau di bunuh kapan?”

Hening.

Detik mengalum menit namun tak ada satupun dari mereka yang membuka lisan. Hanya ada suara sekumpulan hewan yang menunjukan tanda bahaya. Para burung beramai-ramai berterbangan, anjing mengonggong dan gemetar, lalu gajah yang semakin lama memberontak seolah menegaskan jika hidup mereka—seluruh makhluk akan binasa dalam hitungan waktu.

Sunghoon menghela nafas, “Jaeyun.”

“Ya?”

“If we cannot be lover in this universe, would you fall in love again in next time?”

“I do.”

“Say my name.”

“Sunghoon, sunghoon, sunghoon. Please, remember me, remember. Remember me again, Sunghoon.”

“I do, Jaeyun I do.”

“Hei Jaeyun.” Sunghoon menjeda omongannya, ia menggenggam jemari Jake. “even though I am not your soulmate in this life... maybe.. maybe in another life, we'll be... I love you.”

“I know, and I love you too.”

“Kill me.”

Sunghoon tak meminta, sebab ia tak memberi pilihan pada Jake. Ia juga tak bertanya, sebab jawaban atas persoalan dirinya selalu ada di tangan lelaki itu. Ia hanya ingin wajah Jake adalah yang terakhir ia lihat di dunia yang kacau ini.

Jadi Jake tak banyak bicara. Sunghoon memegangi pinggul Jake yang sejujurnya masih sakit jika di gunakan untuk berjalan. Ia meraih pisau di hadapannya. Menghisap sebentar rokoknya sebelum di meniupnya di hadapan Sunghoon.

“Berjanjilah, kau akan menemukanku lagi.”

“I'm promise.”

Jake menciumnya. Lembut dan halus, seolah bibir Sunghoon adalah guci yang bernilai ratusan juta. Ciuman itu tak ada paksaan, saling melumat dengan perlahan. Jake mengusap pipi Sunghoon, kemudian menancapkan pisau tepat di jantungnya.

Sunghoon tak berteriak, tak juga mengaduh kesakitan. Namun ia tersenyum di tengah ciumannya, di saat darah merembes dari bajunya sampai mengenai kemeja yang di gunakan Jake. Setidaknya, ia telah mati di tangan orang yang di sayangnya.

45 menit sebelum kiamat. Jake telah merasakan kakinya berguncang hebat. Bangunan apartemen ini tak lama lagi akan rubuh. Lalu ia mengambil satu plastik bubuk berwarna putih dan jarum suntik. Tawanya mencemooh ketika berhasil membakar bubuk heroin itu menjadi berwarna kecoklatan.

Sunghoon di sebelahnya sudah tak bernyawa, dan Jake akan menjemputnya sebentar lagi.

Dirinya mengambil ikat pinggang yang tergeletak lalu direkatkan di pergelangan sebelah kirinya. Menarik nafas dalam-dalam, Jake mencari urat nadi miliknya untuk di suntikan oleh obat terlarang itu.

Sekali, dua kali, tiga kali dan sampai Jake tak bisa menghitungnya lagi sampai buih-buih putih keluar dari mulutnya. Sampai nafasnya tercekat. Yang ada di pikirannya hanyalah bayang-bayang gagahnya Sunghoon berada di atasnya.

Ia mengenggam tangan Sunghoon, sebelum semuanya terasa mencekat. Jika saja tuhan memang benar ada, maka Jake hanya meminta untuk kembali di pertemukan oleh Sunghoon. Apapun hubungan mereka nantinya, jika bersama Sunghoon sudah cukup untuknya.

Dan sepersekon kemudian gedung apartemennya hancur, bersamaan dengan asteroid yang meluluh lantahkan seisi bumi, juga tangan mereka yang saling bertaut.


“I found you.”

“You found me.”

Mungkin, jika di bandingkan dari banyaknya huru-hara semesta. Langit dan Bintang hanyalah satu dari sekian juta jiwa yang kebetulan ikut terlibat dari pesta pora pancawarna milik semesta. Yang kebetulan juga namanya saling bersinggungan.

Perjumpaan mereka terbilang sederhana. Waktu itu di petang separuh jingga di bulan Januari, tepat di depan sebuah lukisan yang berjudul The Raft of the Medusa. di sebuah museum gallery.

Itu perjumpaan biasa. Sesuatu yang seharusnya dalam kurun waktu dua hari bisa mereka lupakan. Seharusnya demikian. Namun nama yang terucap karena rasa ingin tahu kerap menggema sampai ke alam mimpi.

Namun sekarang, tepat 428 hari sudah terlewat kala perjumpaan sederhana mereka. Dengan Langit yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa pindahan dari Jepang dan Bintang yang merupakan kakak tingkatnya.

Langit masih sama sejak pertama kali Bintang mengenalnya. Pun Bintang yang tak henti-henti menyalurkan gemintangnya pada hari yang baru. Rasanya seolah selalu ada gempita dalam diri mereka ketika jari jemari anak adam itu saling bertaut. Menghasilkan dentuman yang bersahut di antara relung.

“Kak Bintang, hari ini langitnya cerah.”

“Tebak tebakan lagi?”

Bintang sudah terbiasa dengan segala tingkah laku dari pemuda blesteran Indonesia-Jepang yang suka sekali memberikan tebak-tebakan pada dirinya.

Jika Bintang mau, mungkin sekarang buku yang ia gunakan untuk mencatat semua tebak-tebakan dari Langit lembarnya tak akan muat lagi. Sebab lelaki itu sering kali menghadirkan hal tak terduga dalam dialognya.

“Enggak. Emang langitnya cerah, padahal udah malem.”

Bintang menengadah pada langit malam dan seluruh benda langit yang ikut datang menyapa malam. “Cantik.” ujar Bintang sembari tersenyum.

Langit menoleh ikut menyunggingkan senyumnya, “Lo juga kak.”

Lalu hening menyusupi. Kemudian Bintang hanya tertawa, mencipta interval yang lantas lenyap di sesap udara. Namun biar begitu, tawanya tetap menjadi favorit Langit.

“Makasih.” balasnya seadanya.

Langit dan Bintang masih duduk sama lama di atas kap mobil. Sembari memakan jagung bakar yang sama dengan perasaan yang berbeda.

“Tadi nya tuh gua mau ngajak lo naik komedi putar kalo gak tutup.” Pernyataan yang lebih muda di tanggapi sama sendu oleh yang satu. “Gua juga pengen banget naik itu padahal. Tapi gapapa deh, udah ada jagung bakar.”

“Kapan kapan kesini lagi lah.”

Bintang benar ketika mengatakan Langit tak pernah memperhatikan segala ucapannya. Karena perkataan yang ia ucapkan setelahnya justru menjadi alum yang membalut di mulut.

“Langit, abis ini kita gak bisa ketemu lagi.”

“Gua tau.”

“Dan.” Bintang memberi jeda pada dialognya, “Gua bakal pergi berkilo-kilometer jauhnya.”

Langit mengangguk, “Iya, gua tau.”

“Terus?”

“Kak, berada dekat lo itu bikin gua seneng bikin gua nyaman. Tapi kalo lo pergi jauh itu tandanya lo bisa ngejar mimpi lo. Berarti gua bakal ngerelain lo.”

Bintang tak menjawab, sedikit ada rasa sesal karena sempat memberi ekspetasi lebih pada respon yang di berikan sang kekasih. Berfikir jika mungkin ia akan di tahan untuk tetap berada di sisi sang pemuda.

“Lo sayang sama gue gak?”

Pertanyaan retoris sebenarnya, sebab mau para planet esok berpindah tempar dari garis edarnya ia akan terus mencintai Adzariel Bintang. Sebagaimana nabastala yang selalu mengharumkan namanya.

“Gue gak akan disini kalo gak sayang sama lo.”

“Tapi lo gak mencegah gua.”

“Lo mau gua mencegah mimpi lo?”

Bintang menggeleng, “Ini mimpi papah juga.”

“Kak, langit lo ada di khatulistiwa sedangkan lo nanti bakal jauh di utara. Tapi biar gimanapun gua bakal tetep sayang, sama kaya lo yang selalu sayang tanaman bonsang lo.”

Pemuda Jepang itu menatap lekat iris milik Bintang yang kini jauh lebih cantik dari terakhir ia lihat. Ah tidak juga, Bintang memang punya iris paling cantik yang memikat hati sejak pertama ia melihatnya.

“Jelek banget, gua gak mau nyamain lo sama bonsang!” ringisnya yang di balas tawa oleh si lebih muda.

“Kak, lo harus tahu kalau gua bangga banget sama lo.”

Langit dan Bintang memang sudah di takdirkan sepaket dalam konstelasi benda di angkasa. Seolah Nabastala memang mendoakan mereka untuk bertemu dalam cerita anak manusia.

“Gua mau jadi orang kuat, Lan.”

Adzariel Bintang selalu menjadi pemuda yang membuat semua mimpi baik, juga selalu menjadi alasannya menyicip perasaan jatuh cinta lagi dan lagi.

“Lo orang kuat.

Dan kalaupun lo ada di sisi terlemah lo. Selalu inget kalo langit ada untuk menjadi tempat bersandar para bintang. Inget selalu, pundak gua diciptain lebar buat lo bersandar.”

Sekali lagi, Bintang tak bercanda kalau seluruh dialog di ucapkan Langit penuh dengan kejutan. Karena kembali, perkataannya berhasil menyakinkan Bintang kalau ia tak salah memilih pemuda ini sebagai penghias gulitanya.

“Tunggu gue terus ya?”

Langit dan Bintang tak pernah putus. Sama seperti benang merah yang meski kerap kusut terbawa ego ia akan kembali halus di dalam balutan rasa.

Dan pula, Langit selalu mencintai Bintang sebagaimana nabastala melantunkan ribuan pujanya kepada gemintang di angkasa. Mereka tidak putus, meski di pisahkan untuk kembali di hancurkan oleh semesta; mereka tak putus. Karena nabastala akan selalu mengharumkan doanya untuk kesejahteraan dua anak adam.

“I do kak. Gua akan nungguin lo, karena gua adalah tempat lo pulang.”

Langit dan Bintang memang konstelasi lengkap yang diciptakan semesta untuk di pertemukan. Ketika bulan pertama kali menyalurkan sinarnya; mereka di ciptakan untuk menjadi kuat menghadapi skenario semesta.

Jika setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, maka mereka akan selalu berpisah untuk kembali bertemu di penghujung jalan. Sebagai dua anak manusia yang selalu menutup cerita dengan ribuan afeksinya.

Mungkin, jika di bandingkan dari banyaknya huru-hara semesta. Langit dan Bintang hanyalah satu dari sekian juta jiwa yang kebetulan ikut terlibat dari pesta pora pancawarna milik semesta. Yang kebetulan juga namanya saling bersinggungan.

Perjumpaan mereka terbilang sederhana. Waktu itu di petang separuh jingga di bulan Januari, tepat di depan sebuah lukisan yang berjudul The Raft of the Medusa. di sebuah museum gallery.

Itu perjumpaan biasa. Sesuatu yang seharusnya dalam kurun waktu dua hari bisa mereka lupakan. Seharusnya demikian. Namun nama yang terucap karena rasa ingin tahu kerap menggema sampai ke alam mimpi.

Namun sekarang, tepat 428 hari sudah terlewat kala perjumpaan sederhana mereka. Dengan Langit yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa pindahan dari Jepang dan Bintang yang merupakan kakak tingkatnya.

Langit masih sama sejak pertama kali Bintang mengenalnya. Pun Bintang yang tak henti-henti menyalurkan gemintangnya pada hari yang baru. Rasanya seolah selalu ada gempita dalam diri mereka ketika jari jemari anak adam itu saling bertaut. Menghasilkan dentuman yang bersahut di antara relung.

“Kak Bintang, hari ini langitnya cerah.”

“Tebak tebakan lagi?”

Bintang sudah terbiasa dengan segala tingkah laku dari pemuda blesteran Indonesia-Jepang yang suka sekali memberikan tebak-tebakan pada dirinya.

Jika Bintang mau, mungkin sekarang buku yang ia gunakan untuk mencatat semua tebak-tebakan dari Langit lembarnya tak akan muat lagi. Sebab lelaki itu sering kali menghadirkan hal tak terduga dalam dialognya.

“Enggak. Emang langitnya cerah, padahal udah malem.”

Bintang menengadah pada langit malam dan seluruh benda langit yang ikut datang menyapa malam. “Cantik.” ujar Bintang sembari tersenyum.

Langit menoleh ikut menyunggingkan senyumnya, “Lo juga kak.”

Lalu hening menyusupi. Kemudian Bintang hanya tertawa, mencipta interval yang lantas lenyap di sesap udara. Namun biar begitu, tawanya tetap menjadi favorit Langit.

“Makasih.” balasnya seadanya.

Langit dan Bintang masih duduk sama lama di atas kap mobil. Sembari memakan jagung bakar yang sama dengan perasaan yang berbeda.

“Tadi nya tuh gua mau ngajak lo naik komedi putar kalo gak tutup.” Pernyataan yang lebih muda di tanggapi sama sendu oleh yang satu. “Gua juga pengen banget naik itu padahal. Tapi gapapa deh, udah ada jagung bakar.”

“Kapan kapan kesini lagi lah.”

Bintang benar ketika mengatakan Langit tak pernah memperhatikan segala ucapannya. Karena perkataan yang ia ucapkan setelahnya justru menjadi alum yang membalut di mulut.

“Langit, abis ini kita gak bisa ketemu lagi.”

“Gua tau.”

“Dan.” Bintang memberi jeda pada dialognya, “Gua bakal pergi berkilo-kilometer jauhnya.”

Langit mengangguk, “Iya, gua tau.”

“Terus?”

“Kak, berada dekat lo itu bikin gua seneng bikin gua nyaman. Tapi kalo lo pergi jauh itu tandanya lo bisa ngejar mimpi lo. Berarti gua bakal ngerelain lo.”

Bintang tak menjawab, sedikit ada rasa sesal karena sempat memberi ekspetasi lebih pada respon yang di berikan sang kekasih. Berfikir jika mungkin ia akan di tahan untuk tetap berada di sisi sang pemuda.

“Lo sayang sama gue gak?”

Pertanyaan retoris sebenarnya, sebab mau para planet esok berpindah tempar dari garis edarnya ia akan terus mencintai Adzariel Bintang. Sebagaimana nabastala yang selalu mengharumkan namanya.

“Gue gak akan disini kalo gak sayang sama lo.”

“Tapi lo gak mencegah gua.”

“Lo mau gua mencegah mimpi lo?”

Bintang menggeleng, “Ini mimpi papah juga.”

“Kak, langit lo ada di khatulistiwa sedangkan lo nanti bakal jauh di utara. Tapi biar gimanapun gua bakal tetep sayang, sama kaya lo yang selalu sayang tanaman bonsang lo.”

Pemuda Jepang itu menatap lekat iris milik Bintang yang kini jauh lebih cantik dari terakhir ia lihat. Ah tidak juga, Bintang memang punya iris paling cantik yang memikat hati sejak pertama ia melihatnya.

“Jelek banget, gua gak mau nyamain lo sama bonsang!” ringisnya yang di balas tawa oleh si lebih muda.

“Kak, lo harus tahu kalau gua bangga banget sama lo.”

Langit dan Bintang memang sudah di takdirkan sepaket dalam konstelasi benda di angkasa. Seolah Nabastala memang mendoakan mereka untuk bertemu dalam cerita anak manusia.

“Gua mau jadi orang kuat, Lan.”

Adzariel Bintang selalu menjadi pemuda yang membuat semua mimpi baik, juga selalu menjadi alasannya menyicip perasaan jatuh cinta lagi dan lagi.

“Lo orang kuat.

Dan kalaupun lo ada di sisi terlemah lo. Selalu inget kalo langit ada untuk menjadi tempat bersandar para bintang. Inget selalu, pundak gua diciptain lebar buat lo bersandar.”

Sekali lagi, Bintang tak bercanda kalau seluruh dialog di ucapkan Langit penuh dengan kejutan. Karena kembali, perkataannya berhasil menyakinkan Bintang kalau ia tak salah memilih pemuda ini sebagai penghias gulitanya.

“Tunggu gue terus ya?”

Langit dan Bintang tak pernah putus. Sama seperti benang merah yang meski kerap kusut terbawa ego ia akan kembali halus di dalam balutan rasa.

Dan pula, Langit selalu mencintai Bintang sebagaimana nabastala melantunkan ribuan pujanya kepada gemintang di angkasa. Mereka tidak putus, meski di pisahkan untuk kembali di hancurkan oleh semesta; mereka tak putus. Karena nabastala akan selalu mengharumkan doanya untuk kesejahteraan dua anak adam.

“I do kak. Gua akan nungguin lo, selalu.”

Langit dan Bintang memang konstelasi lengkap yang diciptakan semesta untuk di pertemukan. Ketika bulan pertama kali menyalurkan sinarnya; mereka di ciptakan untuk menjadi kuat menghadapi skenario semesta.

Jika setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, maka mereka akan selalu berpisah untuk kembali bertemu di penghujung jalan. Sebagai dua anak manusia yang selalu menutup cerita dengan ribuan afeksinya.