22 jam sebelum kiamat. Lelaki dengan surai blonde itu sesekali melirik arloji di pergelangan kirinya yang menampilkan hitungan mundur. Jake, lelaki itu kembali melihat ke arah langit yang kini dengan jelas terlihat ekor dari asteroid yang ribuan tahun lalu pernah menghantam bumi. Dan kini akan kembali menabrak bumi, mungkin akan menghancurkan seisinya.
Lamunannya buyar ketika bel apartemennya berbunyi, menandakan seseorang bertamu. Kurva hangatnya terbentuk sebelum membukakan pintu untuk sang tamu yang telah ia tunggu-tunggu.
“Sunghoon!” serunya, kemudian memeluk yang lebih tinggi. Pelukannya di balas lebih lama, sejenak lelaki itu menghirup ceruk leher Jake yang terekspos.
“Gimana di luar?” tanya Jake setelah melepas pelukannya, ia menuntun Sunghoon ke kamarnya.
“Kacau. Semua orang jadi gila, polisi gak tahu harus ngapain.”
“Wajar,” Jake menjeda omongannya; ia melihat ke arah jam tangannya. “22 jam 56 menit sebelum kiamat.”
Sunghoon menatap Jake, ia menjilat bibirnya; merasa gugup hanya untuk berkata, “You wanna try with me?” dengan sahabatnya.
“Satu hal yang selalu ingin ku lakukan jika kiamat benar benar terjadi, is that you fucking me all night.”
Mereka berdua tahu betul apa hubungan yang telah terjalin semasa kecil hingga sekarang. Mungkin, jika dunia masih waras ia tak akan mungkin mengundang sahabatnya sendiri hanya untuk melecahkannya. Tapi sekarang keadaan telah berbalik.
“Jake.”
“Ya?”
“Kill me.”
Jake tak membalas, namun senyum hangatnya yang tak pernah pudar sudah lebih menyakinkan Sunghoon.
Ia melangkah lebih dulu; menarik tengkuk Sunghoon lalu menciumnya dengan lembut. Awalnya semua terasa geli, mereka berdua tak pernah berfikir akan saling melahap bibir satu sama lain. Namun udara yang semakin sempit juga nafas yang tersenggal berkata lain dengan ciuman yang semakin ganas.
Sunghoon melepasnya lebih dulu hanya untuk menatap iris yang selalu ia kagumi, sebelum akhirnya membawa sang submisif keatas kasur.
Ia tak banyak bicara, pikirannya pun sama kosongnya. Yang ada di otaknya hanya dirinya bisa mencicipi seluruh bagian tubuh Jake.
Selagi ia menciumnya tangan kanan Sunghoon bermain pada dada Jake yang terbalut kaos. Jake pasti akan memaki Sunghoon keras-keras jika saja mulutnya tak di kunci oleh mulut Sunghoon. Lelaki itu jelas tahu bagaimana jarinya yang lentik bisa menggodanya dengan begitu bebas.
Pertama di dada, turun ke pinggang, lalu semakin turun sampai ke gundukan di bawah sana. Sunghoon memang tak biasa melakukan sex, namun ia jelas tahu apa yang harus di lakukan.
Jadi tangannya dengan lembut mengelus selangkangan sang sahabat, merasakan bagaimana Jake mengerang kecil di sela-sela ciuman panas mereka.
“Sunghoon...”
Jake memanggilnya. Itu hal yang paling Sunghoon senangi di dunia, bahkan sampai akhir dunia pun panggilannya masih menjadi favorit Sunghoon.
“Ya, Jake?”
“Suck me off.”
Ia tersenyum miring, menjilat leher Jake sebelum berkata. “As you wish.”
Sepersekon kemudian yang Jake tahu dirinya telah bertelanjang dada dan angin ac yang menusuk kulitnya. Sunghoon masih disana, pelaku dari lenyapnya setengah pakainnya lalu jika lebih lama lagi seluruh pakaiannya.
Sunghoon masih disana, memandangnya lapar seolah ia adalah makanan terakhir di dunia. Dan Jake juga disana, balas menatapnya seolah berkata bahwa Sunghoon dapat memakan dirinya sepuasnya tanpa sisa sedikitpun. Maka Sunghoon kembali menurutinya, dengan perlahan menjajali setiap inci dari tubuh Jake.
Pertama mincum keningnya, lalu pindah ke pipi, hidung dan sekali lagi bibir berisi Jake di cium. Kemudian ciumannya turun ke leher; memberi tanda kepunyaannya disana. Lalu turun ke bahunya, hingga ke dada yang menampilkan dua nipple cantik disana.
Sunghoon mengisapnya. Tangan yang kiri bermain dengan puting yang satu dan bibirnya dengan rakus mengigit yang sebelah; memilinnya lalu kembali mengigitinya. Jake kelabakan, ia menjambak surai Sunghoon sembari sesekali menyerukan namanya. Kakinya mati rasa, namun ia merasa berada di awang.
Seolah tak mau berhenti sampai disana bibir Sunghoon semakin lama semakin turun ke pinggang, menjilatnya bagai anak kecil yang di beri es krim; sebelum ia menarik restleting di depannya.
Kamar bernuansa putih gading itu menjadi saksi bagaimana mereka mengakhiri hari terakhir di dunia. Suasana tak begitu ramai, namun tak bisa juga di bilang sepi. Mereka tak butuh banyak dialog hanya untuk menyalurkan hormonnya, Jake yang bergelinjing di bawah Sunghoon yang sedari tadi mencari titik sensitifnya jelas membuktikan bahwa kedua anak adam itu sepenuhnya di buru nafsu.
Sunghoon masih setia bermain-main di bawah sedang Jake tak suka berlama-lama. Jadi ia menarik tubuh Sunghoon dan berkata akan membunuhnya sekarang sebelum mereka berdua berhasil mencapai klimaks, jika Sunghoon terus bermain-main. Jelas, bukan hal yang diinginkan oleh lelaki Park tersebut. Jadi ia menuruti permintaan Jake.
Sunghoon melepas seluruh pakaiannya; kini mereka berdua sama-sama telanjang bulat.
Ia membawa Jake pada pangkuannya, berbisik lembut jika saja ia terlalu kasar maka Jake bisa minta berhenti. Tapi tetap saja di tolak olehnya, jika esok tak bisa jalan pun ia tak apa.
Jake meraih jari Sunghoon, ia menjilatnya sebelum mengikuti perintah selanjutnya. Sunghoon mencium bibirnya sekali lagi, kemudian ia usap dan perlahan memasukan jari tengahnya ke lubang anal milik Jake.
Desahan Jake bagai lantunan opera yang pernah ia dengar di salah satu sudut caffe. Menyenangkan dan membuatnya candu, awalnya hanya satu jari kemudian Sunghoon mencobanya dengan dua jari. Tempo yang dari lambay
“ah f-fuck!” Belum sempat berbicara lagi, Sunghoon sudah memasukan penisnya kedalam hole pink nan sempit milik Jake. Ia mengecupi punggung Jake dengan terus memaju-mundurkan penisnya. Badan Jake tersentak, ia merasakan pening karena lubangnya terisi penuh oleh Sunghoon.
Tangan Sunghoon tak tinggal diam, ia meremas pantat Jake bergantian mengelus penis milik sang sahabat.
“Shit Sunghoon, disana.” Sunghoon berhasil menemukan titik sensitifnya, ia memompanya terus dengan tempo yang semakin cepat sampai akhirnya cairan putih merembes sampai ke kasur. Jake berhasil melakukan pre cum.
“Hei, Jake.” bisik Sunghoon.
“Masih lama sebelum kiamat, Sunghoon.”
Sunghoon tersenyum miring, ia tak akan memberi Jake ampun setelah ini.
Ia kembali membalikan badan sang submisif, mengukungnya di antara lengan kokohnya. “Dan masih lama before I break your bone.”
“Then break me up.”
Lalu setelahnya hanya ada mereka juga desahan dari bibir masing-masing. Tak apa, sebab seberapa kencang mereka berteriakpun tak akan ada yang melarangnya.
Suara sirine polisi, bunyi tembakan, asap kebakaran, orang-orang yang berteriak dan saling memaki seolah menjadi pemandangan yang wajar saat ini.
Rokoknya di ketuk beberapa kali sampai puntungnya lepas, lalu ia kembali menghisapnya seolah keributan di hadapannya hanya bualan belaka. Sunghoon tak peduli, lagipula apa yang harus di pedulikan ketika dalam beberapa jam seluruh dunia akan lenyap? Mungkin pengecualian dengan meniduri sahabatnya sendiri tadi.
Jake, lelaki yang tadi dengan lantang mendesahkan namanya juga yang mengusulkan agar mereka bersenggama juga ikut melihat ke arah luar. Menggunakan kemeja Sunghoon yang tadi di lempar asal, Jake terlihat jauh lebih mungil di dalam kemejanya yang kebesaran.
Matahari telah jatuh sejak satu jam yang lalu, menyusuri sudut sudut kota dengan pekatnya malam. Biar begitu, tak ada dari merekapun yang berniat untuk masuk ke dalam; berlindung dari angin malam yang menusuk kulit.
“I was never expect that.”
“Yang mana? Sex atau kiamatnya?”
“Dua-duanya.”
Sunghoong mengangguk, “Kamu keren tadi.”
“Kamu ngomong gitu seolah aku habis melakukan sesuatu yang menakjubkan.”
Tawa sumbarnya yang tercekat di antara tenggorokan menjadi satu, lalu sesap di bawa angin. “Aku serius, youre amazing Jaeyun.” ujar Sunghoon menatapnya.
Jake hanya membalas senyum. Nama Jaeyun dulu selalu menjadi hal yang memuakan baginya. Namun, biar begitu Sunghoon selalu memujinya.
“4 jam sebelum kiamat.” Ia melirik ke arah jam tangan yang menitnya semakin berkurang.
“Wow, lama juga ya kita?”
Jake mengangguk, “Mau di bunuh kapan?”
Hening.
Detik mengalum menit namun tak ada satupun dari mereka yang membuka lisan. Hanya ada suara sekumpulan hewan yang menunjukan tanda bahaya. Para burung beramai-ramai berterbangan, anjing mengonggong dan gemetar, lalu gajah yang semakin lama memberontak seolah menegaskan jika hidup mereka—seluruh makhluk akan binasa dalam hitungan waktu.
Sunghoon menghela nafas, “Jaeyun.”
“Ya?”
“If we cannot be lover in this universe, would you fall in love again in next time?”
“I do.”
“Say my name.”
“Sunghoon, sunghoon, sunghoon. Please, remember me, remember. Remember me again, Sunghoon.”
“I do, Jaeyun I do.”
“Hei Jaeyun.” Sunghoon menjeda omongannya, ia menggenggam jemari Jake. “even though I am not your soulmate in this life... maybe..
maybe in another life, we'll be... I love you.”
“I know, and I love you too.”
“Kill me.”
Sunghoon tak meminta, sebab ia tak memberi pilihan pada Jake. Ia juga tak bertanya, sebab jawaban atas persoalan dirinya selalu ada di tangan lelaki itu. Ia hanya ingin wajah Jake adalah yang terakhir ia lihat di dunia yang kacau ini.
Jadi Jake tak banyak bicara. Sunghoon memegangi pinggul Jake yang sejujurnya masih sakit jika di gunakan untuk berjalan. Ia meraih pisau di hadapannya. Menghisap sebentar rokoknya sebelum di meniupnya di hadapan Sunghoon.
“Berjanjilah, kau akan menemukanku lagi.”
“I'm promise.”
Jake menciumnya. Lembut dan halus, seolah bibir Sunghoon adalah guci yang bernilai ratusan juta. Ciuman itu tak ada paksaan, saling melumat dengan perlahan. Jake mengusap pipi Sunghoon, kemudian menancapkan pisau tepat di jantungnya.
Sunghoon tak berteriak, tak juga mengaduh kesakitan. Namun ia tersenyum di tengah ciumannya, di saat darah merembes dari bajunya sampai mengenai kemeja yang di gunakan Jake. Setidaknya, ia telah mati di tangan orang yang di sayangnya.
45 menit sebelum kiamat. Jake telah merasakan kakinya berguncang hebat. Bangunan apartemen ini tak lama lagi akan rubuh. Lalu ia mengambil satu plastik bubuk berwarna putih dan jarum suntik. Tawanya mencemooh ketika berhasil membakar bubuk heroin itu menjadi berwarna kecoklatan.
Sunghoon di sebelahnya sudah tak bernyawa, dan Jake akan menjemputnya sebentar lagi.
Dirinya mengambil ikat pinggang yang tergeletak lalu direkatkan di pergelangan sebelah kirinya. Menarik nafas dalam-dalam, Jake mencari urat nadi miliknya untuk di suntikan oleh obat terlarang itu.
Sekali, dua kali, tiga kali dan sampai Jake tak bisa menghitungnya lagi sampai buih-buih putih keluar dari mulutnya. Sampai nafasnya tercekat. Yang ada di pikirannya hanyalah bayang-bayang gagahnya Sunghoon berada di atasnya.
Ia mengenggam tangan Sunghoon, sebelum semuanya terasa mencekat. Jika saja tuhan memang benar ada, maka Jake hanya meminta untuk kembali di pertemukan oleh Sunghoon. Apapun hubungan mereka nantinya, jika bersama Sunghoon sudah cukup untuknya.
Dan sepersekon kemudian gedung apartemennya hancur, bersamaan dengan asteroid yang meluluh lantahkan seisi bumi, juga tangan mereka yang saling bertaut.
“I found you.”
“You found me.”