Koishiteru.
Mungkin, jika di bandingkan dari banyaknya huru-hara semesta. Langit dan Bintang hanyalah satu dari sekian juta jiwa yang kebetulan ikut terlibat dari pesta pora pancawarna milik semesta. Yang kebetulan juga namanya saling bersinggungan.
Perjumpaan mereka terbilang sederhana. Waktu itu di petang separuh jingga di bulan Januari, tepat di depan sebuah lukisan yang berjudul The Raft of the Medusa. di sebuah museum gallery.
Itu perjumpaan biasa. Sesuatu yang seharusnya dalam kurun waktu dua hari bisa mereka lupakan. Seharusnya demikian. Namun nama yang terucap karena rasa ingin tahu kerap menggema sampai ke alam mimpi.
Namun sekarang, tepat 428 hari sudah terlewat kala perjumpaan sederhana mereka. Dengan Langit yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa pindahan dari Jepang dan Bintang yang merupakan kakak tingkatnya.
Langit masih sama sejak pertama kali Bintang mengenalnya. Pun Bintang yang tak henti-henti menyalurkan gemintangnya pada hari yang baru. Rasanya seolah selalu ada gempita dalam diri mereka ketika jari jemari anak adam itu saling bertaut. Menghasilkan dentuman yang bersahut di antara relung.
“Kak Bintang, hari ini langitnya cerah.”
“Tebak tebakan lagi?”
Bintang sudah terbiasa dengan segala tingkah laku dari pemuda blesteran Indonesia-Jepang yang suka sekali memberikan tebak-tebakan pada dirinya.
Jika Bintang mau, mungkin sekarang buku yang ia gunakan untuk mencatat semua tebak-tebakan dari Langit lembarnya tak akan muat lagi. Sebab lelaki itu sering kali menghadirkan hal tak terduga dalam dialognya.
“Enggak. Emang langitnya cerah, padahal udah malem.”
Bintang menengadah pada langit malam dan seluruh benda langit yang ikut datang menyapa malam. “Cantik.” ujar Bintang sembari tersenyum.
Langit menoleh ikut menyunggingkan senyumnya, “Lo juga kak.”
Lalu hening menyusupi. Kemudian Bintang hanya tertawa, mencipta interval yang lantas lenyap di sesap udara. Namun biar begitu, tawanya tetap menjadi favorit Langit.
“Makasih.” balasnya seadanya.
Langit dan Bintang masih duduk sama lama di atas kap mobil. Sembari memakan jagung bakar yang sama dengan perasaan yang berbeda.
“Tadi nya tuh gua mau ngajak lo naik komedi putar kalo gak tutup.” Pernyataan yang lebih muda di tanggapi sama sendu oleh yang satu. “Gua juga pengen banget naik itu padahal. Tapi gapapa deh, udah ada jagung bakar.”
“Kapan kapan kesini lagi lah.”
Bintang benar ketika mengatakan Langit tak pernah memperhatikan segala ucapannya. Karena perkataan yang ia ucapkan setelahnya justru menjadi alum yang membalut di mulut.
“Langit, abis ini kita gak bisa ketemu lagi.”
“Gua tau.”
“Dan.” Bintang memberi jeda pada dialognya, “Gua bakal pergi berkilo-kilometer jauhnya.”
Langit mengangguk, “Iya, gua tau.”
“Terus?”
“Kak, berada dekat lo itu bikin gua seneng bikin gua nyaman. Tapi kalo lo pergi jauh itu tandanya lo bisa ngejar mimpi lo. Berarti gua bakal ngerelain lo.”
Bintang tak menjawab, sedikit ada rasa sesal karena sempat memberi ekspetasi lebih pada respon yang di berikan sang kekasih. Berfikir jika mungkin ia akan di tahan untuk tetap berada di sisi sang pemuda.
“Lo sayang sama gue gak?”
Pertanyaan retoris sebenarnya, sebab mau para planet esok berpindah tempar dari garis edarnya ia akan terus mencintai Adzariel Bintang. Sebagaimana nabastala yang selalu mengharumkan namanya.
“Gue gak akan disini kalo gak sayang sama lo.”
“Tapi lo gak mencegah gua.”
“Lo mau gua mencegah mimpi lo?”
Bintang menggeleng, “Ini mimpi papah juga.”
“Kak, langit lo ada di khatulistiwa sedangkan lo nanti bakal jauh di utara. Tapi biar gimanapun gua bakal tetep sayang, sama kaya lo yang selalu sayang tanaman bonsang lo.”
Pemuda Jepang itu menatap lekat iris milik Bintang yang kini jauh lebih cantik dari terakhir ia lihat. Ah tidak juga, Bintang memang punya iris paling cantik yang memikat hati sejak pertama ia melihatnya.
“Jelek banget, gua gak mau nyamain lo sama bonsang!” ringisnya yang di balas tawa oleh si lebih muda.
“Kak, lo harus tahu kalau gua bangga banget sama lo.”
Langit dan Bintang memang sudah di takdirkan sepaket dalam konstelasi benda di angkasa. Seolah Nabastala memang mendoakan mereka untuk bertemu dalam cerita anak manusia.
“Gua mau jadi orang kuat, Lan.”
Adzariel Bintang selalu menjadi pemuda yang membuat semua mimpi baik, juga selalu menjadi alasannya menyicip perasaan jatuh cinta lagi dan lagi.
“Lo orang kuat.
Dan kalaupun lo ada di sisi terlemah lo. Selalu inget kalo langit ada untuk menjadi tempat bersandar para bintang. Inget selalu, pundak gua diciptain lebar buat lo bersandar.”
Sekali lagi, Bintang tak bercanda kalau seluruh dialog di ucapkan Langit penuh dengan kejutan. Karena kembali, perkataannya berhasil menyakinkan Bintang kalau ia tak salah memilih pemuda ini sebagai penghias gulitanya.
“Tunggu gue terus ya?”
Langit dan Bintang tak pernah putus. Sama seperti benang merah yang meski kerap kusut terbawa ego ia akan kembali halus di dalam balutan rasa.
Dan pula, Langit selalu mencintai Bintang sebagaimana nabastala melantunkan ribuan pujanya kepada gemintang di angkasa. Mereka tidak putus, meski di pisahkan untuk kembali di hancurkan oleh semesta; mereka tak putus. Karena nabastala akan selalu mengharumkan doanya untuk kesejahteraan dua anak adam.
“I do kak. Gua akan nungguin lo, selalu.”
Langit dan Bintang memang konstelasi lengkap yang diciptakan semesta untuk di pertemukan. Ketika bulan pertama kali menyalurkan sinarnya; mereka di ciptakan untuk menjadi kuat menghadapi skenario semesta.
Jika setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, maka mereka akan selalu berpisah untuk kembali bertemu di penghujung jalan. Sebagai dua anak manusia yang selalu menutup cerita dengan ribuan afeksinya.