hwoneboom

Mungkin, jika di bandingkan dari banyaknya huru-hara semesta. Langit dan Bintang hanyalah satu dari sekian juta jiwa yang kebetulan ikut terlibat dari pesta pora pancawarna milik semesta. Yang kebetulan juga namanya saling bersinggungan.

Perjumpaan mereka terbilang sederhana. Waktu itu di petang separuh jingga di bulan Januari, tepat di depan sebuah lukisan yang berjudul The Raft of the Medusa. di sebuah museum gallery.

Itu perjumpaan biasa. Sesuatu yang seharusnya dalam kurun waktu dua hari bisa mereka lupakan. Seharusnya demikian. Namun nama yang terucap karena rasa ingin tahu kerap menggema sampai ke alam mimpi.

Namun sekarang, tepat 428 hari sudah terlewat kala perjumpaan sederhana mereka. Dengan Langit yang memperkenalkan diri sebagai mahasiswa pindahan dari Jepang dan Bintang yang merupakan kakak tingkatnya.

Langit masih sama sejak pertama kali Bintang mengenalnya. Pun Bintang yang tak henti-henti menyalurkan gemintangnya pada hari yang baru. Rasanya seolah selalu ada gempita dalam diri mereka ketika jari jemari anak adam itu saling bertaut. Menghasilkan dentuman yang bersahut di antara relung.

“Kak Bintang, hari ini langitnya cerah.”

“Tebak tebakan lagi?”

Bintang sudah terbiasa dengan segala tingkah laku dari pemuda blesteran Indonesia-Jepang yang suka sekali memberikan tebak-tebakan pada dirinya.

Jika Bintang mau, mungkin sekarang buku yang ia gunakan untuk mencatat semua tebak-tebakan dari Langit lembarnya tak akan muat lagi. Sebab lelaki itu sering kali menghadirkan hal tak terduga dalam dialognya.

“Enggak. Emang langitnya cerah, padahal udah malem.”

Bintang menengadah pada langit malam dan seluruh benda langit yang ikut datang menyapa malam. “Cantik.” ujar Bintang sembari tersenyum.

Langit menoleh ikut menyunggingkan senyumnya, “Lo juga kak.”

Lalu hening menyusupi. Kemudian Bintang hanya tertawa, mencipta interval yang lantas lenyap di sesap udara. Namun biar begitu, tawanya tetap menjadi favorit Langit.

“Makasih.” balasnya seadanya.

Langit dan Bintang masih duduk sama lama di atas kap mobil. Sembari memakan jagung bakar yang sama dengan perasaan yang berbeda.

“Tadi nya tuh gua mau ngajak lo naik komedi putar kalo gak tutup.” Pernyataan yang lebih muda di tanggapi sama sendu oleh yang satu. “Gua juga pengen banget naik itu padahal. Tapi gapapa deh, udah ada jagung bakar.”

“Kapan kapan kesini lagi lah.”

Bintang benar ketika mengatakan Langit tak pernah memperhatikan segala ucapannya. Karena perkataan yang ia ucapkan setelahnya justru menjadi alum yang membalut di mulut.

“Langit, abis ini kita gak bisa ketemu lagi.”

“Gua tau.”

“Dan.” Bintang memberi jeda pada dialognya, “Gua bakal pergi berkilo-kilometer jauhnya.”

Langit mengangguk, “Iya, gua tau.”

“Terus?”

“Kak, berada dekat lo itu bikin gua seneng bikin gua nyaman. Tapi kalo lo pergi jauh itu tandanya lo bisa ngejar mimpi lo. Berarti gua bakal ngerelain lo.”

Bintang tak menjawab, sedikit ada rasa sesal karena sempat memberi ekspetasi lebih pada respon yang di berikan sang kekasih. Berfikir jika mungkin ia akan di tahan untuk tetap berada di sisi sang pemuda.

“Lo sayang sama gue gak?”

Pertanyaan retoris sebenarnya, sebab mau para planet esok berpindah tempar dari garis edarnya ia akan terus mencintai Adzariel Bintang. Sebagaimana nabastala yang selalu mengharumkan namanya.

“Gue gak akan disini kalo gak sayang sama lo.”

“Tapi lo gak mencegah gua.”

“Lo mau gua mencegah mimpi lo?”

Bintang menggeleng, “Ini mimpi papah juga.”

“Kak, langit lo ada di khatulistiwa sedangkan lo nanti bakal jauh di utara. Tapi biar gimanapun gua bakal tetep sayang, sama kaya lo yang selalu sayang tanaman bonsang lo.”

Pemuda Jepang itu menatap lekat iris milik Bintang yang kini jauh lebih cantik dari terakhir ia lihat. Ah tidak juga, Bintang memang punya iris paling cantik yang memikat hati sejak pertama ia melihatnya.

“Jelek banget, gua gak mau nyamain lo sama bonsang!” ringisnya yang di balas tawa oleh si lebih muda.

“Kak, lo harus tahu kalau gua bangga banget sama lo.”

Langit dan Bintang memang sudah di takdirkan sepaket dalam konstelasi benda di angkasa. Seolah Nabastala memang mendoakan mereka untuk bertemu dalam cerita anak manusia.

“Gua mau jadi orang kuat, Lan.”

Adzariel Bintang selalu menjadi pemuda yang membuat semua mimpi baik, juga selalu menjadi alasannya menyicip perasaan jatuh cinta lagi dan lagi.

“Lo orang kuat.

Dan kalaupun lo ada di sisi terlemah lo. Selalu inget kalo langit ada untuk menjadi tempat bersandar para bintang. Inget selalu, pundak gua diciptain lebar buat lo bersandar.”

Sekali lagi, Bintang tak bercanda kalau seluruh dialog di ucapkan Langit penuh dengan kejutan. Karena kembali, perkataannya berhasil menyakinkan Bintang kalau ia tak salah memilih pemuda ini sebagai penghias gulitanya.

“Tunggu gue terus ya?”

Langit dan Bintang tak pernah putus. Sama seperti benang merah yang meski kerap kusut terbawa ego ia akan kembali halus di dalam balutan rasa.

Dan pula, Langit selalu mencintai Bintang sebagaimana nabastala melantunkan ribuan pujanya kepada gemintang di angkasa. Mereka tidak putus, meski di pisahkan untuk kembali di hancurkan oleh semesta; mereka tak putus. Karena nabastala akan selalu mengharumkan doanya untuk kesejahteraan dua anak adam.

“I do kak. Gua akan nungguin lo, selalu.”

Langit dan Bintang memang konstelasi lengkap yang diciptakan semesta untuk di pertemukan. Ketika bulan pertama kali menyalurkan sinarnya; mereka di ciptakan untuk menjadi kuat menghadapi skenario semesta.

Jika setiap pertemuan akan selalu ada perpisahan, maka mereka akan selalu berpisah untuk kembali bertemu di penghujung jalan. Sebagai dua anak manusia yang selalu menutup cerita dengan ribuan afeksinya.

Jam dinding di kelas jelas telah menunjukan waktu pelajaran; pun bel yang telah berdenting sejak setengah jam yang lalu menandakan seluruh siswa untuk fokus pada entitas guru. Namun ada satu anak yang fikirannya turut merawang pada jalan yang lain.

Bintang tak fokus, atau sekalipun memperhatikan. Raganya ada disana, namun fikirannya berkecamuk pada presensi lain yang mampir di kepala. Langit namanya, yang gemanya selalu teringat sampai ke alam mimpi.

Tadi pagi ia sempat melihat pemuda itu berniat bolos. Seharusnya Bintang melarangnya, namun ia tak sampai hati mencegahnya. Tapi sekarang ia kalut sendiri, karena katanya akan ada tawuran antar sekolah hari ini.

Aargh Bintang! Kenapa bodoh sekali sih!

“Bintang? Kenapa?” tanya Juna melihat temannya yang sedaritadi melamun.

Pertanyaan Juna membuyarkan lamunannya, lelaki itu menoleh; sepersekon kemudian rautnya di dominasi terkejut. “Guru nya kemana?”

“Udah pergi daritadi, ada rapat. Lo kenapa ngelamun aja?”

“Kenapa gak bilang daritadi?!” seru Bintang kemudian pergi dari kelasnya tanpa menghiraukan seruan dari Juna.

Tujuannya sekarang adalah UKS guna mencari presensi dari raga yang sedari tadi singgah di fikirannya.

Lagu berganti, yang tadinya menyanyikan To the bone dengan penuh hati kini berganti pada lagu lain yang lebih menyayat hati.

Netra Nathan bergulir; mencari sosok yang ia cari di antara puluhan manusia yang kini sedang menikmati penampilan di atas panggung. Butuh waktu beberapa menit sampai ia menyadari kalau lelaki di depan sana adalah yang ia cari.

“Bang, tuh kak Azka.” ucapnya pada Javier yang ikut mencari.

Javier menengok lalu dengan cepat menarik lengan Nathan menuju lebih depan lagi. Kasian kalau Azka harus menunggu kelamaan.

Pundak Azka di tepuk, membuat si empu menengok pada mereka. “Nih kaosnya.” kata Nathan menyerahkan kaos putih yang di balas makasih oleh Azka.

“Dek, mau ganti baju dimana?”

Sedetik yang lalu Nathan tidak menyadari entitas lain di samping Azka. Lalu ketika dirinya ikut menoleh pada surai pink itu, netranya terpaku pada iris rubah di hadapannya.

Cantik.

“Sean?” Azka melambaikan tangan di hadapan sang adik yang tiba-tiba bengong.

“Hah?”

“Mau ganti baju dimana? Baju kamu kan basah. Atau mau pulang aja ya? Kayanya kamu mulai sakit deh.”

Nathan mendengar dialog Azka, alisnya bertaut kala melihat wajah Sean yang semakin pucat. Meski dari keadaan remang-remang dia jelas tahu kalau yang di sebut adiknya kak Azka ini sedang sakit.

“Eh iya, muka lo pucat tuh.” sahut Nathan.

Sean tak menjawab, dirinya malah semakin membeku mengetahui Nathan memberi atensi padanya.

“Hei?”

“Hah, eh iya. Apa?” sahut Sean linglung.

Azka menempelkan punggung tangannya pada dahi sang adik, ia meringis ketika di rasa panas menjalar sampai jemarinya. “Kamu sakit, pulang aja ya.”

“Enggak kok, aku gak sakit.”

“Badan kamu anget Sean. Pulang ya kakak anterin.”

Javier langsung berseru dengan perkataan Azka. Ia tetap harus tinggal karena biar bagaimanapun Azka adalah manajer Manticore.

“Sama gue aja kak.”

Presentasi yang lain muncul seolah semesta tak mau menuruti keinginan Sean untuk tetap tinggal sembari menunggu band kesayangannya tampil.

Sadam disana. Dengan sigap berdiri di samping Sean.

“Nah ada Sadam. Dam anterin adik gue balik ya.”

“Aman.”

Sean menggeleng, “Gak mau, mau nonton Manticore dulu.”

Nathan terkekeh mendengar perkataannya. Entah dorongan darimana tangan kekarnya justru mengusak surai halus yang lebih pendek. “Kita tampil masih lama. Kalo lo tetep disana bisa-bisa pas pulang langsung tipes.”

Azka menyalak menyadari omongan Nathan yang seenaknya. Sedang Nathan tak acuh justru tawanya semakin menggelegar ketika mendapati wajah di hadapannya berubah merah padam.

“Jangan di godain kunyuk.” sahut Javier.

“Pulang aja ya dek. Nanti kakak videoin deh mereka perform.”

Sean menjilat bibirnya bimbang. Ia melihat Nathan sekali lagi sebelum berujar, “Janji?”

Azka mengangguk, “Janji.”

Sean menuruti sang kakak, ia pamit ke teman temannya yang sedaritadi menonton mereka berbicara sekaligus acara Nathan mengusak rambutnya.

Sebenarnya kalau boleh jujur Sean sangat ingin berteriak sekarang, kemudian mengatakan pada dunia kalau Nathaniel Pradipta alias orang yang ia idolakan mengusak rambutnya. WOY!

Tapi gak mungkin ia berteriak langsung di depan sang pelaku, sementara ada konser yang berlangsung di depan sana.

“Sean.” seru Nathan saat Sean akan balik badan.

Nathan melepaskan Jaket yang ia kenakan untuk kemudian di berikan padanya. “Pake jaket, angin malem dingin.”

Sean tak berkutik, lagi.

Tangan kirinya di genggam oleh Sadam sedang tangan kanannya terasa lemas sekali hanya untuk menerima jaket dari Nathan.

Easier, I know, but it's also very lonely.

Karena tak mendapat jawab Nathan dengan inisiatifnya mengalungkan jaketnya di leher Sean.

“Nah, pake.”

“Kita naik mobil.” Bukan Sean yang menjawab melainkan Sadam yang sedaritadi menonton.

“Gapapa, di dalem mobil juga dingin.” balas Nathan.

Sadam baru mau berujar ketika Sean langsung memotong ucapannya, “Makasih ya.” katanya sambil tersenyum.

I love you but I'm letting go.

Pamungkas di atas sana masih bernyanyi dengan suara seindah bisikan nabastala kala Nathan mengangguk dan Sean yang berbalik arah dengan jaketnya melekat rapi di tubuhnya.

Seolah mengikuti apa kata sang penyanyi, “if you love somebody, gotta set them free.” ujar Javier yang di balas tawa sumbar oleh Nathan.

“Jogjakarta pernah menjadi hal terindah yang saya temui.”

“Jogja, atau ceritanya?”

“Lebih tepatnya Jogja bersama si pelukis cerita.”


“Aku bercerita. Layaknya kertas usang yang telah lama di tinggal pemiliknya. Aku bercerita, layaknya dedaunan yang menari mengikuti arah mata angin. Dan aku bercerita, tentang semesta yang selalu ku hirup dalam pekat malam.”

Dari salah satu sudut Batavia, suara tepuk tangan mengudara di tempat Gala Premiere yang tampak mulai riuh menggema.

Mungkin hanya terdengar sederhana. Namun, mampu membuat lelaki dengan surai hitam melukis kurva paling berseri yang semesta ciptakan dengan penuh suka cita.

Pemuda itu pun akhirnya mengedar ke seluruh penjuru ruangan.

“Apakah si Semesta ada disini?” Si pembawa acara membawa persoalan.

Lalu ketika matanya bersitubruk dengan iris lain di pojok ruangan; senyumnya semakin lebar.

“Ya, dia ada disini.”


Hening menyapa dua insan. Yang kini pandangannya sama-sama menatap jalan dari rooftop. Sore sudah jatuh sejak satu jam yang lalu, membasuh sudut-sudut kota dengan jingga malis. Jake sudah berdiri di sampingnya sama lama dengan Sunghoon, namun mereka tidak kelihatan sama cerah.

Hening masih menyambung sampai Jake membasahi bibir, meminum coffenya kemudian berkata. “Makasih udah datang.”

Atas itu yang lebih tinggi cuma membalas dengan tersenyum.

“Harusnya aku yang bilang makasih bisa hadir di dalam ceritamu.”

Jake tertawa mendengarnya. Tawa yang selalu menjadi favorit lelaki Desember. Tawa yang mungkin hanya terdengar sekali dalam sewindu. Dan kalau Sunghoon sempat, ia mau merekam seluruh melodi yang di sajikan sang pemuda, kemudian di simpan di dalam kotak lantas ia kunci rapat-rapat agar tidak hilang. Agar bisa ia dengar lagi sampai seluruh nabastala muak mendengar tawa cantiknya.

“Abis ini kemana?” persoalan lain yang tak Sunghoon duga akhirnya di tanyakan.

“Korea kayanya. Ada label musik yang mau kerja sama.”

Binar bangga jelas terpampang dari iris si jelita, “Keren. Ajak saya bisa?”

“Bisa.”

“Korea selalu jadi impian saya.”

“Karena ada red velvet disana?”

“Betul.”

Lalu gelak tawa kembali mengunjungi dua insan, kali ini saling bersahutan; menguar di antara udara Batavia. Ringan dan riang.

“Jake.” ujar Sunghoon mengundang lurus pandangan yang lebih tua beberapa bulan. Ketika Sunghoon pamerkan kurva manisnya, Jake merasa dihantam dari satu arah. “Maaf.” ucapnya sendu.

“Gak perlu. Kita berdua tahu itu kesalahan masa remaja.”

“Kesalahan masa remaja saya terlalu banyak. Sampai saya takut gak bisa di maafin.”

“Kata siapa?”

Langit masih mengulum senja dari ufuk barat. Dan angin terus bertiup nyaring sampai rambut mereka ikut dalam melodi.

“Kata saya.” Jake melirik ke atas pada Sunghoon yang mukanya tak banyak berubah sejak terakhir kali ia melihatnya.

Sunghoon masih tersenyum, menatapnya dari jarak hanya beberapa centi. “Pemikiran kamu masih salah ternyata.”

“Emangnya kamu maafin saya?”

“Aku gak akan ada disini kalau masih terjerat ego, Jake.”

“You know it's never change right? 5 tahun udah berlalu tapi perasaan aku buat kamu gak pernah pudar. 5 tahun udah berlalu, tapi kamu masih sering muncul di pikiranku. Dan semua masih menyenangkan ketika kamu ada.”

Atas semua narasi yang di bangun oleh sang semesta, Jake terjebak di antara syukur dan hancur. Ia tahu kalau ia yang menyulut api duluan, tapi Sunghoon dengan suka rela memadamkannya. Ia juga lebih dari tahu kalau ia yang melanggar semua janjinya, tapi Sunghoon sekali lagi dengan baik hati merangkai ulang.

Maka setelah kalimat Sunghoon, si objek rasa mendenguskan tawa berat yang menyayati tenggorokan.

Jake membasuhi bibirnya sekali lagi, mencoba menghilangkan degupan yang bertalu. “Kamu masih mau kasih aku kesempatan kedua?”

Sunghoon masih menatapinya, mengusap pelan pucuk kepala yang lebih pendek sebelum berbisik. “Kamu selalu punya kesempatannya.”

Nabastala selalu mencintai Jake dan Sunghoon. Mereka tidak putus. Pun walau sama-sama dipisahkan untuk kembali di hancurkan, Nabastala akan tetap menyumbangkan doa dan bahagianya untuk kesejahteraan dua anak adam.

Mungkin, Sunghoon bukan yang paling di sayangi dalam cerita semesta. Sebab benar, ia telah lama di biarkan hidup bersama jejas berantakan; konflik dan luka di belakang. Namanya di perlakukan seperti pesakit yang eksistensinya praktis tak di beri warna. Namun, Jake sudah lebih dari cukup untuk melukiskan warna kelabunya.

“Jake.”

Namanya kembali di sandungkan, gema suara yang menggambarkan bahwa gravitasinya masih jatuh pada pemuda dengan kurva secantik bunga daisy.

“Ya?”

Sang sanubari namanya, yang diam diam kerap menyimpan rasa. Dari Dhawarna hingga Batavia, yang selalu sulit merangkai kata.

“Aku jatuh cinta lagi, boleh?”

“Sama siapa?”

“Kamu.” Senyumnya mengembang nyaris menyentuh mata, “Kamu dan semua ketakutan yang ada di atas tanganmu

—Aku mau genggam mereka semua beserta pemiliknya. Supaya kamu tahu kalau aku selalu jadi pelindungmu.”

Jake tak menjawab, namun tautan di jemari Sunghoon telah menjadi jawab atas semua persoalannya.

Sunghoon dan Jake memang bukanlah peran utama, bukan juga yang selalu menyicip kebahagiaan dunia. Tapi setidaknya, mereka berani berjuang untuk kembali di persatukan oleh semesta.

“Lo sih tadi kelamaan di toilet. Gak bisa liat masa depan kan lo.” ujar Reina menceritakan kronologi ia bertemu dengan biasnya dari band Manticore.

“Bodo amat. Salah lo gak di setopin.”

“MASIH AJA ANJING.”

Sean merotasikan bola matanya malas. Ia tak mau berdekatan dengan Reina karena masih menganggap kalau Reina mencuri Nathannya. Nathan-nya darimana, Nathan tahu dia hidup aja kayanya enggak. Huhuhu.

Tapi karena Reina juga bakal kebawa emosi ngeladenin Sean dia juga ikut berjalan berjauhan dari pemuda berambut pink itu. Jadi sekarang posisinya Reina di sebelah kiri Juan dan Sean di sebelah kanannya. Juan persis ada di tengah-tengah mereka. Tim netral; biar kedua orang itu gak bikin malu di tengah mall.

“Jangan berisik anjing. Kita di tengah mall.” ujar Juan.

“Siapa juga yang bilang di tengah hutan?” balas Rei.

Nah kan ngeselin emang si Reina ini, kalau aja gak rame pasti Reina udah di dorong dari pagar kaca pembatas di lantai tiga.

“Abis ini mau kemana?” tanya Sean, lebih tepatnya bertanya sama Juan aja. MASIH DENDAM.

Juan melihat belanjaan kedua temannya. “Lo udah pada kelar belanjanya?”

Keduanya mengangguk. “Balik aja.”

Sean mencibir, “Gak seru! Nonton aja yuk.”

“Ayo nonton! Lagi ada film seru di bioskop.” sahut Rei.

Juan? Tentu saja mengikuti mereka. Kalaupun mau nolak juga pasti bakal di tarik-tarik, di paksa ikut nonton oleh mereka.

Jadi deh bertiga-tiga tuh pindah haluan dari yang mau belanja baju jadi nonton karena kalau belanja baju udah tau pasti Juan gak bakal ikut belanja. Kalau nonton kan cowok ini bisa ikut menikmati.


“Rame amat dah di twitter.” Sandega menscroll timeline twitternya yang menunjukan foto ia dan Nathan yang baru saja di ambil diam-diam oleh salah satu fansnya.

Ia sih gak masalah, selama fansnya ini tidak menganggu privasi maka dirinya fine aja. Lagipula kejadian kaya gini gak sekali dua kali, hidup di kota metropolitan dan bersinar disini tentu saja wajar baginya menemukan paparazi dadakan yang memotret segala aktifitasnya.

Nathan mengedikan bahu, “Kaga buka twitter gua.” lalu lanjut melihat-lihat jajaran kue di etalase.

Selesai nyari stik drum, sekarang mereka berdua pergi ke toko kue. Tadi Nathan ngide buat beliin anak-anak Manticore kue. gak ada apa-apa sih sebenernya, tapi dia inget kalo bang Izan sama bang Jeffry suka nyemilin kue tiap tengah malem, jadi sekalian aja beli mumpung dia juga lagi pengen.

“Eh Than sini dah.” seru Sandega.

Nathan menghampirinya, “Kenapa bang?”

Ega menunjuk kue di depannya, “Fortune cookie.” kemudian Nathan joget Fortune Cookie-nya JKT48.

“Bukan itu.” Ega terkekeh kemudian mengambil satu, yang satu lagi di kasih Nathan. “Nih makan, kertasnya jangan di makan.”

Nathan mengikuti, dan mengeluarkan kertas yang terdapat tulisannya.

“Keep up the good work, you will be rewarded.” Sandega membacakan qoutes yang ia dapatkan.

“Berarti lo disuruh bikin lagu baru lagi bang.”

Sandega terkekeh, “Lo apaan?”

“You will bring sunshine into someone's life.” ujar Nathan.

“Kira-kira apaan ya bang?” lanjutnya.

Yang lebih tua mengedikan bahunya, “Gak tau. Bakal ketemu jodoh lo kali.”

“Masa sih?”

“MASIH AJA ANJING.” Belum sempat Sandega berujar lagi, omongannya di potong karena terkejut oleh suara seorang gadis yang berteriak nyaring.

Mereka berdua menengok ke belakang; hanya siluet tiga orang yang kini telah hilang dari pandangan. Gak terlalu jelas, tapi satu-satunya cowok dengan rambut paling mencolok berhasil menyita perhatian mereka walau sekilas dan wajahnya tak terlihat.

“Berisik amat dah.” sahut Nathan lalu kembali mencari kue.

“Oke, thank you dok.” Telepon di tutup lebih dulu oleh Azka, kemudian ia segera mengambil obat anticemas yang di sarankan dokter pribadinya Sean.

Tadi ia pulang dengan keadaan Sean yang sudah tertidur, tampaknya pemuda itu sudah lebih tenang. Tapi tetap saja Sean harus minum obat atau rasa cemasnya akan timbul lagi setelah ia bangun.

“Sean.” ia menepuk pelan sang adik agar bangun.

Butuh beberapa menit sampai akhirnya Sean terbangun, “Kak Azka?”

“Hei sayang, i'm home. Minum obat dulu yuk.” ujarnya memberi segelas air dan obat.

Sean tak menanggapi, ia terdiam; menatap sang kakak dengan tatapan yang sulit di artikan. “Sean?” panggil Azka sekali lagi.

“Kak, boleh gak aku gak minum obat sekali aja?”

Azka tertegun. Dadanya nyeri mendengar pertanyaan sang adik yang mungkin sudah muak dengan segala macam obat yang harus ia konsumsi.

Sebenarnya Azka tidak akan menyuruhnya minum kalau Sean tidak menunjukan tanda-tanda traumanya muncul kembali, pun jika ia muncul biasanya Azka hanya akan menemaninya sampai pemuda yang lebih muda setahun darinya itu tertidur lelap. Tapi akhir-akhir ini Sean harus selalu minum obat atau dirinya akan menderita lagi. Azka gak mau kejadian tiga tahu silam terulang kembali. Kejadian yang membawa ia pada mimpi buruk.

“Sean, sekali aja ya.” bujuk Azka.

Sean gak mau sebenarnya. Dia eneg, dia gak mau harus bergantungan pada obat antidepresan atau anticemas setiap kali traumanya muncul. Ia mau hidup sehat. Ia mau hidup tenang seperti orang-orang kebanyakan. Ia tak mau terikat pada obat sampai mati.

“Sekali aja?”

“Sekali aja. Abis ini kamu bisa tidur nyenyak.”

Sean mengangguk. Ia mengambil sebutir obat lalu meminumnya bersamaan dengan air.

Azka mengusap lembut surai cerah sang adik.

“Kak Azka.”

“Ya?”

Sean menjilat bibir bawahnya, mencoba menghilangi detak jantungnya yang bertalu karena gugup. “Tadi aku sempet ngobrol sama dia.”

Senyum Azka menjadi getir, “Sean, kita omongin nanti ya?”

“Gak mau.” ia menggeleng ribut, merasa harus membicarakan hal ini secepatnya.

“Dek.” sanggah Azka.

“Kamu tidur aja, kakak mau masak dulu.” lanjutnya lalu pergi tanpa menunggu respon Sean.

Luluh lantah sudah semua dialog dan skenario yang ia susun di kepala kalau Azka sudah memanggilnya dengan sebutan “dek.” Sebutan yang biasanya akan ia pakai kalau pemuda itu tak mau di bantah ataupun bicara.

Ia tahu betul sifat sang kakak yang keras kepala dan tak mungkin bisa di hancurkan meski Sean harus meraung. Jadi Sean hanya diam. Memendam perasaannya sendiri daripada menyulut pertengkaran.

Sebagai seseorang yang memilih untuk merantau dan membiayai hidupnya sendiri Lee Heeseung atau yang biasa di kenal Heeseung mempunyai banyak pekerjaan sambilan yang tak tetap.

Atau bahasa kasarnya kerja serabutan.

Apa saja pasti ia lakukan demi membiayai hidupnya. Beruntung lelaki itu mendapat beasiswa dari kampusnya yang membuat pengeluarannya untuk keperluan kuliah menjadi berkurang.

Salah satu pekerjaan yang ia jalani adalah menjadi seorang pelayan di tempat bermain ice skating, biasanya dia ada di bagian penyewaan sepatu atau mengantarkan makanan jika ada pengunjung yang membeli makan disana.

Tapi akhir-akhir ini Heeseung merasa ada yang aneh. Setiap shiftnya selalu ada coklat yang di taruh di lokernya. Loker Heeseung memang gak ada kuncinya, ia tak sengaja mengilangkannya dan berakhir lokernya gak di kunci lagi. Jadi wajar saja jika ada orang yang bisa menaruh apapun di dalam loker; termasuk coklat misterius.

Dan sebagai orang yang kerap mengamati para pengunjung, Heeseung yakin kalau pelakunya adalah si cowok itu. Cowok yang selalu datang di setiap jadwalnya kerja.

“Kak.” Panggilan Sunoo mengalihkan perhatiannya.

“Apa?”

“Kalo lo salah nangkep gua gak ikut ikutan.” Kalo lo salah nangkep gua gak ikut ikutan.”

Iya, Sunoo sudah tahu perihal misi rahasia dari seniornya yang katanya mau menangkap pelaku yang suka menaruh coklat di dalam lokernya. Gak penting sih, tapi daripada mati penasaran mending di cari tahu aja sekalian.

Jadi Heeseung terus mengamati sampai si tersangka tertangkap oleh kaca matanya. Ia melihat arlojinya yang berada di pergelangan sebelah kirinya; jarum jam menunjukan angka satu. Bagus, karena cowok itu biasanya datang sekitar jam segitu.

Sunghoon tersenyum semakin lebar ketika pintu masuk kembali di buka. Kali ini oleh tangan berkulit pucat yang postur tubuhnya hampir mencapai dirinya.

Iya, Sunoo sudah tahu perihal misi rahasia dari seniornya yang katanya mau menangkap pelaku yang suka menaruh coklat di dalam lokernya. Gak penting sih, tapi daripada mati penasaran mending di cari tahu aja sekalian.

Jadi Heeseung terus mengamati sampai si tersangka tertangkap oleh kaca matanya. Ia melihat arlojinya yang berada di pergelangan sebelah kirinya; jarum jam menunjukan angka satu. Bagus, karena cowok itu biasanya datang sekitar jam segitu.

Sunghoon tersenyum semakin lebar ketika pintu masuk kembali di buka. Kali ini oleh tangan berkulit pucat yang postur tubuhnya hampir mencapai dirinya.


“Gotcha! Lo yang naro coklat itu kan selama ini?”

Raut terkejut jelas terpapar dari wajah sang adam. Cowok itu membeku di tempat, jelas telah ketahuan selama ini menaruh coklat diem-diem di lokernya karena sekarang dia sedang melakukan hal yang sama. Bedanya kali ini, ketahuan oleh si pemilik loker.

“Gue udah curiga sama lo. Dari awal lo terlalu mencurigakan. Lo gak pernah ngomong, gak pernah nyewa sepatu, dan lo selalu pergi ke toilet dulu sebelum main which is ada loker gua.” ujar Heeseung menuturkan alasannya.

Lelaki itu masih bergeming, sedang Heeseung menjadi tidak sabar. “Lo denger gua gak?”

Ia mengangguk, kemudian dengan cepat mengambil handphonenya. Layar notes tertera dengan kata “maaf disana.

Heeseung mengernyit, “Lo?” Ia mengangguk lagi, seolah mengerti jalan fikir Heeseung.

Pintu ruangan radio terbuka; menampilkan lelaki berkulit pucat dengan seragam kebanggaan Pancaka. Azka melambaikan tangan, menyuruh lelaki itu untuk duduk di sebelahnya selagi ia bermain komputernya.

Sagara menuruti, duduk di samping Azka. “Gua kira pake surat.” katanya, mengintip kegiatan Azka yang memilah pertanyaan melalui situs anonimus.

“Jadul amat. Pasti lo gak pernah ngirim letter ya?”

Sagara Menggeleng. “Bingung mau nulis apa.”

“Sini deh.” Azka menggeser kursinya agar Sagara bisa leluasa melihat komputer. “Pilih satu anon.”

Iris jelaganya menelisik, memilah mana letter yang sekiranya cocok di bacakan untuk di dengar oleh seluruh Pancaka.

Jarinya menunjuk layar, “Ini aja.”

Azka mengangguk, lalu langsung menyalakan microfon. “Nih baca.”

“Lah kok gue?”

“Kan lo yang pilih. Sekali aja.”

Sagara mengernyit, namun tak mau banyak komplain. Jadi ia mengambil alih microfon kemudian membacakan letter yang tadi ia pilih sendiri.

“Kamu, dan seisi semesta. Semoga hati nya lekas pulih.”

Azka terdiam. Pilihan surat anonim yang Sagara pilih lagi-lagi menyadarkannya pada sosok di hadapannya. Ia tahu betul kalau Sagara belum pulih, bahkan bekasnya masih basah. Seolah baru terjadi kemarin meski nyatanya sudah hampir satu bulan mereka berpisah.

Lalu saat surat kedua di bacakan Azka berfikir ulang tentang luka di dada kiri sang adam. Mungkin saja ia bisa mengobati lukanya, pun jika si pemilik luka mau menerima uluran tangannya.

“Bagi nomer bbm kak Rifal dong. —Widih cie Rifal ada yang suka nih.”

Suara Sagara masih asyik menyapa penghuni Pancaka, sampai-sampai atensi Azka sedikit terlupakan. Tapi tak apa, sebab suara Sagara kini menjadi candu barunya.

Pintu ruangan radio terbuka; menampilkan lelaki berkulit pucat dengan seragam kebanggaan Pancaka. Azka melambaikan tangan, menyuruh lelaki itu untuk duduk di sebelahnya selagi ia bermain komputernya.

Sagara menuruti, duduk di samping Azka. “Gua kira pake surat.” katanya, mengintip kegiatan Azka yang memilah pertanyaan melalui situs anonimus.

“Jadul amat. Pasti lo gak pernah ngirim letter ya?”

Sagara Menggeleng. “Bingung mau nulis apa.”

“Sini deh.” Azka menggeser kursinya agar Sagara bisa leluasa melihat komputer. “Pilih satu anon.”

Iris jelaganya menelisik, memilah mana letter yang sekiranya cocok di bacakan untuk di dengar oleh seluruh Pancaka.

Jarinya menunjuk layar, “Ini aja.”

Azka mengangguk, lalu langsung menyalakan microfon. “Nih baca.”

“Lah kok gue?”

“Kan lo yang pilih. Sekali aja.”

Sagara mengernyit, namun tak mau banyak komplain. Jadi ia mengambil alih microfon kemudian membacakan letter yang tadi ia pilih sendiri.

  • “Kamu, dan seisi semesta. Semoga hati nya lekas pulih.” *

Azka terdiam. Pilihan surat anonim yang Sagara pilih lagi-lagi menyadarkannya pada sosok di hadapannya. Ia tahu betul kalau Sagara belum pulih, bahkan bekasnya masih basah. Seolah baru terjadi kemarin meski nyatanya sudah hampir satu bulan mereka berpisah.

Lalu saat surat kedua di bacakan Azka berfikir ulang tentang luka di dada kiri sang adam. Mungkin saja ia bisa mengobati lukanya, pun jika si pemilik luka mau menerima uluran tangannya.

“Bagi nomer bbm kak Rifal dong. —Widih cie Rifal ada yang suka nih.”

Suara Sagara masih asyik menyapa penghuni Pancaka, sampai-sampai atensi Azka sedikit terlupakan. Tapi tak apa, sebab suara Sagara kini menjadi candu barunya.

“Ada yang mau gua omongin.” ujar Heeseung membuka percakapan di antara mereka.

Perasaan Jungwon gimana? Tentu ngeri ngeri sedep. Dia takut kalau ternyata Heeseung tau selama ini diem-diem suka sama Heeseung alias sahabatnya sendiri, tapi di lain sisi Jungwon gak mungkin bisa bohong.

“Mau ngomong apa?” tanya Jungwon, ia meminum jus alpukatnya agar tak gugup.

Heeseung menghela nafas. Menjilat bibirnya yang dirasa kering karena tekanan pada atmosfir sekitar, rasa-rasanya Heeseung bisa dehidrasi hanya karena lidahnya terlalu kelu. Tapi sekali lagi, ia harus menetapkan tujuannya bertemu sang pujaan hati.

“Gua suka sama lo.”

Empat kata satu kalimat berhasil membuat mereka berdua terdiam dalam keterkejutan masing-masing.

Heeseung lega karena berhasil mengutarakan isi hatinya, sedangkan Jungwon shock bukan main mengetahui kalau orang yang ia taruh perasaannya selama ini ternyata juga punya perasaan yang sama kaya dirinya.

Jadi nih posisinya sekarang mereka berdua berhadapan dengan Jungwon yang menganga kaget dan Heeseung kembali gugup karena JUNGWON BELOM JAWAB APA-APA.

“Won—”

panggilan Heeseung terpotong oleh Jungwon, “Tapi kan lo pacarnya kak Jake?” tanyanya.

Heeseung mengernyit namun sepersekon kemudian ia terkekeh, “Gua sama Jake gak pacaran, dia udah punya pacar yang lagi kuliah di malang.”

ANJINGG PLOT TWIST APAAN NIH?!?!?!??

“Maksud lo?”

“Won, gua sebenarnya suka sama lo. Dari lama, dari semenjak gua liat lo ospek.”

Jungwon semakin pusing di buatnya, JADI SELAMA INI HEESEUNG YANG LEBIH DULU SUKA DIA GITU??

“Gua takut lo gak punya perasaan yang sama kaya gua, dan gua takut ngancurin persahabatan kita. Jadi ya, gua pura-pura pacaran sama Jake buat liat respon lu.” lanjut Heeseung menjelaskan.

Kalau kalian tanya gimana perasaan Jungwon setelah mendengar ini semua, jawabannya cuma satu. Pusing.

Terus selama ini ngapain dia nangis-nangis sambil denger lagu * yang terlewatkan * karena ngira Heeseung ada pacar. Dia juga ngapain ngejauhin Heeseung akhir-akhir ini. Tapi yang paling bodoh KENAPA DIA BERNIAT MOVE ON DARI KALO TERNYATA HEESEUNG JUGA SUKA SAMA DIA?? Jungwon merasa di bodohi.

“Kak, itu —gua.”

Heeseung tersenyum simpul, “Gapapa, lo gak suka gua ya?”

“Enggak bukan gitu maksu—”

Belum kelar Jungwon ngomong, lelaki itu memotongnya lagi. “Iya won gua ngerti, yang penting kita bisa tetep jadi tem—”

“DIEM DULU ANJING!” teriak Jungwon yang justru menarik atensi orang lain di sekitar.

Jungwon meringis, ia meminta maaf kepada para pelanggan yang terganggu akibat teriakannya. Salah Heeseung sih motong omongan dia mulu.

“Gue selama ini juga suka sama lo kak.” Jungwon memberi isyarat agar tak di potong lagi omongannya. “Tapi sama kaya lo, gua gak berani bilang. Gua malah lagi dalam misi buat move on dari lo karena gua kira lo gak akan suka balik ke gua.”

Kalo ini gantian Heeseung yang shock. “Anjing, jadi selama ini kita saling suka?”

Jungwon mengangguk, pipinya mulai merona. Namun ada rasa lega di dalam hatinya karena ia bisa jujur pada Heeseung, terlebih sang adam juga ternyata menyukainya balik.

Badut badut.

Senyum Heeseung merekah, ia menggapai tangan Jungwon untuk mengelus permukaan kulitnya.

“Berarti kita jadian nih?”

Jungwon mengangguk.

“Kalau gitu, cium boleh?”

“LEE HEESEUNG MONYET ENYAH LO!”