Seharusnya Jake tetap berada di sekitaran sungai Thames dan menikmati butiran salju mengenai pucuk kepalanya yang di balut topi. Tapi kaki-kaki jenjangnya justru terus melangkah sampai ia berhenti di hamparan es beku yang di nikmati oleh para manusia; sambil bermain ice skating.
Jake menyetel ulang kameranya; mengarahkan pada orang-orang yang tertawa sembari berseluncur di atas permukaan es yang tebal. Dirinya membidik ke para objek lalu tersenyum bangga ketika melihat hasil jepretannya.
Sebenarnya ini adalah pemandangan yang jarang ia temui. Salju tak pernah berbuat baik pada kondisi tubuhnya, untung saja hari ini ia sedang merasa bugar jadi dia memutuskan untuk pergi keluar sembari menenteng kemeranya.
Jake duduk di salah satu kursi disana. Netra coklatnya sibuk mengamati orang-orang yang berlalu-lalang.
Kembali, tangan mungilnya bermain pada lensa kamera. Ia siap memotret salah satu pemain ice skating sebelum iris jelaga dari si objek utama bersitubruk dengan irisnya. Membuat Jake terpaku selama hampir 3 detik—lelaki itu duluan yang memutus kontak mata dengannya.
Jake bergeming, masih memandangi pemuda berkulit pucat dengan sweater berwarna gelap yang dengan luwesnya berselancar di atas es. Membuat darahnya berdesir hingga tanpa sadar setetes liquid bening jatuh dari tempatnya. Jake menangis.
Cukup untuk membuat lelaki tadi menaruh atensi sepenuhnya padanya.
Ia berjalan ke arah Jake, dan seharusnya Jake mengelap air matanya. Tapi ia justru semakin menangis sesegukan. Kini bukan hanya si lelaki yang melihatnya, tapi beberapa pasang mata juga ikut pensaran ada apa gerangan hingga ia menangis di tengah-tengah kerumunan manusia yang asyik berseluncur.
“Are you okay, sir?” tanya si pemuda.
Jake menggeleng; ia mengelap air matanya. “I'm so sorry.”
“Kau yakin? Kau menangis di tengah-tengah kerumunan.” Cowok itu tersenyum kemudian duduk di sebelahnya.
“Ya, maaf aku hanya sedang emosional hari ini.”
Tanpa mau melewati batas ia mengangguk lagi, dirinya melihat kamera yang berada di genggaman Jake. “Bagaimana hasil foto ku?”
Jake terbelalak; sepersekon kemudian ia langsung menunduk malu. “Maaf sekali lagi, aku bukan ingin bertindak tidak sopan.”
Cowok itu terkekeh, “Tidak apa, aku sudah biasa mendapatkannya.”
“Aku Park Sunghoon. Ku fikir kau bukan salah satu fansku, did you?” lanjutnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya.
Jake menyalami uluran tangan Sunghoon, “Jake, kau artis?” ia tak banyak menonton televisi, jadi wajar jika ia tak tahu banyak tentang para artis.
Lelaki berkulit pucat yang di kenal Sunghoon menggeleng. “Aku atlet ice skating.”
“I see.” Jake mengangguk, pantas saja tadi ia terlihat jago sekali daripada yang lainnya.
“Kau mau bermain?”
“Bermain ice skating?”
“Tentu saja, atau ada hal lain yang ingin kau lakukan?”
Jake menggeleng. “No, nothing. Tapi aku tidak bisa bermain skating.”
“Aku bisa mengajarimu.” ujar Sunghoon.
“Benarkah?” tanya Jake.
Sunghoon mengangguk, “Kau tahu, saat kecil ibuku sering mengajakku ke rink ice ketika aku sedang nangis. Katanya aku bisa kembali tertawa hanya karena berseluncur di atas es.”
“Benarkah? Kau jatuh cinta pada es ya?” Jake terkekeh juga Sunghoon yang sama terhiburnya.
“Bisa di bilang begitu. Jadi kau mau? Giving you a good day perhaps?”
Jake menjilat bibir bawahnya, menimang-nimang apakah ia harus menyutujui ajakan dari orang asing ini. Namun jika di lihat-lihat, Park Sunghoon ini tidak terlihat seperti orang jahat. Jadi dengan pertimbangan matang ia mengangguk, “Hanya jika kau tidak melepas tanganku.”
“Tidak akan.”
Sunghoon benar dalam perkataannya. Sedari tadi jemarinya tak pernah lepas seinci-pun dari lengan Jake. Ia dengan hati hati menuntun Jake berjalan di atas permukaan es yang bisa dengan kapan saja membuat si mungil tergelincir.
“Jangan menekuk kakimu.” ujar Sunghoon ketika Jake justru menekuk setengah kakinya. Ia ketakutan.
“Rileks Jake, aku bersamamu.”
Jake menatap mata Sunghoon, menyaratkan ketakutan yang tak bisa tersampaikan lewat suara. Sunghoon paham jika Jake takut, dulu waktu awal ia bermain skating dirinya malah terperosok sampai gigi depannya tanggal. Untung saja ibunya dengan cepat menolongnya.
“Aku memegangimu. Kemari, taruh tanganmu di pundakku.”
Jake menuruti perkataan Sunghoon, ie manaruh kedua tangannya di pundak Sunghoon. Sedangkan lelaki itu memapah pinggang kecilnya. “Ikuti aku berjalan, oke?” Di balas anggukan oleh Jake.
Sunghoon berjalan mundur dengan hati-hati, dan Jake mengikuti apa yang Sunghoon lalukan. Kakinya di seret sampai ia merasa bisa mengejar lelaki yang lebih tinggi darinya.
Sunghoon tersenyum lebar saat Jake mulai rileks. “You're great.” ujarnya menatap inci demi inci wajah Jake.
“Kau guru yang ker—Sunghoon awas!”
DUG!
Hantaman keras dari pantatnya yang jatuh ke balok es tak bisa di hindarkan. Tadi bahu Sunghoon tak sengaja bertubrukan dengan badan orang lain yang menyebabkan ia hilang keseimbangan. Jake tentu saja ikut jatoh karena ia bertumpu pada Sunghoon.
“Kau tidak apa?” tanya Sunghoon memastikan keadaan Jake.
Jake meringis merasakan nyeri di sekujur pantatnya. Ia tak pernah terbayangkan kalau jatuh di atas permukaan balok bisa sengilu ini. “Tidak, aku tidak apa.”
“Maaf, aku tadi tidak fokus.”
Ekspresi Sunghoon ketara sekali khawatir memandang sekujur tubuh Jake. Sampai si mungil justru terkekeh melihat kekhawatirannya.
Sunghoon mengernyit, “Ada apa?”
“Kau lucu.”
Alis Sunghoon semakin melengkung tak mengerti. “Maksudmu?”
“Kau lucu. Seharusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri baru orang lain.”
Sunghoon terkekeh, “Aku membawamu kesini, keselamatanmu adalah prioritasku.”
Jake terkikik, “Wow, you're a duchess?”
“If you want to be my princess, than yes.” Alis Sunghoon naik turun menggodanya.
Jake merotasikan bola matanya, “Bukankah seharusnya kita berdiri? Kita bisa saja menambah korban orang jatuh.”
Ah benar, Sunghoon baru sadar kalau sedari tadi mereka masih anteng duduk di atas es; jadi dengan sigap ia berdiri dan mengulurkan tangannya, yang di ambil oleh Jake.
“Kau ingin mulai lagi?”
“Ya, tapi jangan menabrak seseorang lagi.”
Tawa Sunghoon menguar ke udara, mengisi udara dingin kota London yang bercampur oleh butiran salju halus. Juga Jake yang panca indranya terhipnotis pada wajah jua tawa indah sang adam.