hwoneboom

Heeseung masih sibuk mengutak atik kameranya—yang baru ia beli beberapa hari lalu—sedangkan Jungwon asyik bermain pada bunga-bunga yang tumbuh di sepanjang jalan.

Karena banyak gedung kosong disini, ia kira Heeseung mau foto dari atas gedung kaya fotographer-fotographer yang pernah ia lihat, tapi ternyata yang dia fotoin justru hewan hewan di sekitaran sini. Dan tumbuhannya tentunya.

Jungwon yang ikut hasil paksaan cuma bisa ngikutin kemana arah langkah yang lebih tua.

“Won, madep sini dah.” panggil Heeseung.

Jungwon menoleh, sepersekon kemudian suara potret dari kamera Heeseung berhasil menyadarkannya tentang apa yang terjadi.

Ia melotot, “KAK!” serunya tak terima. “Apus dah pasti gua jelek.”

Heeseung terkekeh, “Iya jelek banget mirip sapi.”

Anjinggg kalo bukan gebetan pengen dia tendang aja pake jurus teokwondonya.

Bahu Heeseung di pukul kecil. “Bangsat.” umpatnya kemudian jalan mendahului Heeseung.

Ngambek ceritanya.

Heeseung masih tertawa sambil jalan di belakangnya. “Bercanda kok won, lu cantik.”

“Kok cantik sih?”

“Cantik kan universal bisa juga maksudnya indah. Nah, lo tuh indah di mata gua.”

Jungwon terdiam, netranya menyalak galak pada yang lebih tinggi; padahal sekarang sedang sport jantung, ia mati-matian menahan gugup agar gak ketauan kalau lagi salting. Lee Heeseung sialan! Ngomong gak di filter dulu.

“Kenapa diem?” tanya Heeseung.

“Gapapa.” jawabnya kemudian lanjut melangkah.

Gak tau sih jalan kemana, dia baru pertama kali kesini. Tapi selagi Heeseung gak meninggalkannya Jungwon merasa aman-aman saja, toh tempat ini lumayan rame.

“Tapi gua serius, lo beneran indah di mata gue.”

Aduh diem diem diem.

”—Kecuali kalo lo lagi marah.” lanjutnya kemudian berlari dari Jungwon yang siap ngamuk.

“BANGSAAT MAJU LO SINI!!”

“Ini indah.”

Jake masih mengagumi lampu warna-warni yang tergantung di setiap sudut jalan. Bahkan ada pohon natal berukuran raksasa yang juga di hiasi lampu warna-warni. Ia tak pernah melihat seperti ini sebelumnya.

“Kemari, biar ku tunjukan suatu hal.” Sunghoon menggenggam tangannya; membawanya ke sudut yang lain.

Sunoo sedari tadi mengikuti mereka, mengawasi Jake jika saja lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu kenapa-napa. Namun nampaknya Jake baik-baik saja sedari tadi, ia malah banyak tertawa hari ini dan tentu saja Sunoo juga ikut senang melihatnya.

Jake memandang kagum pada air mancur dengan ornamen patung kuda di tengahnya yang memancurkan air secara bergantian. Di dalam air tersebut ada lampu yang memancarkan warna warni sehingga air terlihat semakin berwarna.

Tapi bukan itu saja yang membuat dirinya terpesona. Karena pemandangan rumah yang berjejer rapi di sisi kirinya justru semakin membuat ia terpana. Orang-orang saling bercengkrama satu sama lain, rumah-rumah di hiasi oleh hiasan natal, dan dari sini Jake dapat melihat jelas seluruh pemandangan rink ice di hadapannya. Penuh dengan warna warni yang menghipnotis matanya.

Ia tersenyum menoleh pada Sunghoon, “Aku tinggal lebih lama di London tapi tak pernah melihat ini.”

“Berarti sekarang poinku satu?” Sunghoon merapihkan kupluk yang lebih mungil.

Jake terkekeh, “Okay, kau menang.”

“Bukankah ini keren? Untung saja aku mengajakmu, Sunoo.” ujar Jake menaruh atensi pada pemuda berkulit pucat di sebelahnya.

“Tidak. Terima kasihku untuk Sunghoon yang mengajak kita kemari.”

Jake berseru tak terima sedangkan Sunghoon terkekeh melihat pertengkaran kecil mereka. “Aku senang bisa mengajak kalian.” ujar Sunghoon.

“Bagaimana kalau kita main skating? Sunoo lumayan jago bermain.” Jake menyikut lengan Sunoo yang di balas pelototan oleh si empu.

Sunoo menggeleng, “No, kita butuh makan.”

“Ayo lah kita bisa makan nanti. Lagipula Sunghoon belum terlalu lapar bukan?” Ia menoleh pada yang lebih tinggi meminta jawaban.

“Ya, aku bisa makan nanti.” ujar Sunghoon.

Dan dengan pernyataan itu Jake langsung menarik lengan keduanya menuju ice rink sembari berlali. “JAKE JANGAN LARI!” seru Sunoo yang di acuhkan oleh Jake.


“Ia hebat bukan?”

Sunghoon melihat Sunoo yang asyik berseluncur bebas sambil tangannya masih setia menuntun Jake. “Ya, kau benar.”

“Ia sangat suka skating dulu. Hanya saja saat bersamaku ia tak pernah mau bermain lagi.” Netranya memandang sang sepupu dengan sendu.

Sunghoon mengernyit, “Kenapa?”

“Aku sakit, dan dia selalu merawatku.”

“Maaf aku tidak tahu.”

Jake tersenyum simpul, “Tidak apa.”

Lalu Sunghoon kembali fokus menuntun Jake. Sebenarnya Jake sudah cukup pandai, ia tipe orang yang mudah mempelajari sesuatu tapi tetap saja Sunghoon masih harus menuntunnya jika-jika si mungil bisa jatuh nanti.

Jadi dengan kecepatan yang tidak sepelan tadi Sunghoon menuntun Jake, kini dirinya sudah bisa berada sejajar di samping Jake dan Jake hanya memegang sebelah lengannya.

“Sunghoon.”

“Ya?”

“Lepaskan aku.”

Sunghoon mengernyit, “Maksudmu?”

“Lepaskan tanganku. Aku akan jalan sendiri.”

“Jake, kau yakin?” tanya Sunghoon.

“Tentu.” jawab Jake dengan yakin.

Sunghoon sedikit berfikir sebentar, namun dirasa Jake sudah cukup bisa berjalan; ia dengan hati-hati melepaskan genggamannya pada lengan Jake. Membiarkan sang adam berkelana dengan caranya sendiri.

Jake tersenyum lembar, ia menyeret kakinya sedikit demi sedikit sampai di rasa ia sudah rileks sepenuhnya. Dan segera berseluncur kecil.

“Jangan jauh-jauh dari ku!” seru Sunghoon.

Jake tak mendengar. Ia masih asyik berseluncur kesana kemari. Dua hari berlatih bersama Sunghoon ternyata kemampuannya cukup baik, ia tak menyangka bisa semudah dan setenang ini hanya karena bermain ice skating. Pantas saja Sunghoon dan Sunoo begitu menyukai olah raga ini.

Dirinya masih asyik pada dunianya sampai dirasa pandangannya mulai mengabur. Nafasnya mulai terasa berat dan dada kirinya terasa sakit. Jake terdiam, butiran salju yang mengenai permukaan wajahnya tak ia hiraukan; hanya ada dingin dirasa di dalam tubuhnya. Dan ketika penglihatannya semakin tidak jelas ia ambruk. Juga suara Sunoo dan Sunghoon yang menyerukan namanya menjadi suara terakhir yang ia dengar sebelum semuanya berubah gelap.

Jake melepas sepatu skatenya dan mengembalikan pada tempat sewa. Sedangkan Sunghoon sepertinya membawa sepatu skate sendiri, katanya ia kurang nyaman kalau memakai yang bukan punyanya.

“Terima kasih sudah mengajariku, that was great.” ujar Jake tersenyum simpul.

“My pleasure.”

“Omong-omong kau ingin teh?”

“Teh?”

“Ah, khas orang Inggris sebagai ucapan terima kasih.”

Sunghoon mengangguk, “Ku kira kau bukan orang Inggris.”

“Let me guess, karena aksenku.”

“Ya, aksenmu sedikit berbeda.” lelaki itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

“Aku asli Australia, tapi sudah cukup lama tinggal di Inggris. Dan juga pemilik Apartemenku mengajariku membuat teh, jadi ku fikir teh buatanku masih bisa di minum.” ujarnya sambil membenarkan mantel birunya.

Sunghoon mengangguk, “Sure.”

Lalu disini lah langkahnya membawanya pergi. Di kamar Apartemen yang temboknya di hiasi oleh foto-foto yang di pajang di dinding. “Hasil potret mu?” tanya Sunghoon melihat sekeliling sementara Jake menyiapakn teh Jasmine.

“Ya. Sunoo—teman sekamarku meminta untuk memajang potretanku. Katanya sayang kalau hanya aku yang bisa menikmatinya.” sahut Jake dari arah dapur.

“Ini bagus. Kau yang bukan seorang fotographer profesional?”

“Tidak Mr.Park, aku hanya iseng.” Jake menuangkan secangkir teh pada Sunghoon yang di balas terima kasih oleh lelaki itu.

“Aku Sunghoon, Park adalah nama ayahku.”

“We used to called your family name, sir.”

Sunghoon merotasikan bola matanya, “Sepertinya aku belum tahu banyak hal tentang orang Inggris.” lalu ia meminum teh jasmine buatan Jake.

Ini enak. Setahunya untuk membuat secangkir teh ala orang Inggris itu lumayan sulit. Namun sepertinya Jake cukup pandai dalam hal ini.

“Oh iya, kau bilang tadi atlet ice skating?” tanya Jake duduk di hadapan Sunghoon.

Sunghoon mengangguk. “Ada apa atlet ice skating ke London?” tanya Jake lagi.

“Ada perlombaan yang akan ku ikuti disini.”

Jake mengangguk saja. Pengetahuannya tentang olah raga memang minim, tapi ia sempat mendengar kalau akan ada perlombaan kelas internasional dari ranah olah raga. Hanya saja ia tak tahu kalau ternyata itu berhubungan dengan ice skating.

“Melihat dari caramu bermain tadi. Aku yakin kau akan menang.”

Sunghoon tersenyum, “Thank you.”

Jake melepas sepatu skatenya dan mengembalikan pada tempat sewa. Sedangkan Sunghoon sepertinya membawa sepatu skate sendiri, katanya ia kurang nyaman kalau memakai yang bukan punyanya.

“Terima kasih sudah mengajariku, that was great.” ujar Jake tersenyum simpul.

“My pleasure.”

“Omong-omong kau ingin teh?”

“Teh?”

“Ah, khas orang Inggris sebagai ucapan terima kasih.”

Sunghoon mengangguk, “Ku kira kau bukan orang Inggris.”

“Let me guess, karena aksenku.”

“Ya, aksenmu sedikit berbeda.” lelaki itu menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

“Aku asli Australia, tapi sudah cukup lama tinggal di Inggris. Dan juga pemilik Apartemenku mengajariku membuat teh, jadi ku fikir teh buatanku masih bisa di minum.” ujarnya sambil membenarkan mantel birunya.

Sunghoon mengangguk, “Sure.”

Lalu disini lah langkahnya membawanya pergi. Di kamar Apartemen yang temboknya di hiasi oleh foto-foto yang di pajang di dinding. “Hasil potret mu?” tanya Sunghoon melihat sekeliling sementara Jake menyiapakn teh Jasmine.

“Ya. Sunoo—teman sekamarku meminta untuk memajang potretanku. Katanya sayang kalau hanya aku yang bisa menikmatinya.” sahut Jake dari arah dapur.

“Ini bagus. Kau yang bukan seorang fotographer profesional?”

“Tidak Mr.Park, aku hanya iseng.” Jake menuangkan secangkir teh pada Sunghoon yang di balas terima kasih oleh lelaki itu.

“Aku Sunghoon, Park adalah nama ayahku.”

“We used to called your family name, sir.”

Sunghoon merotasikan bola matanya, “Sepertinya aku belum tahu banyak hal tentang orang Inggris.” lalu ia meminum teh jasmine buatan Jake.

Ini enak. Setahunya untuk membuat secangkir teh ala orang Inggris itu lumayan sulit. Namun sepertinya Jake cukup pandai dalam hal ini.

“Oh iya, kau bilang tadi atlet ice skating?” tanya Jake duduk di hadapan Sunghoon.

Sunghoon mengangguk. “Ada apa atlet ice skating ke London?” tanya Jake lagi.

“Ada perlombaan yang akan ku ikuti disini.”

Jake mengangguk saja. Pengetahuannya tentang olah raga memang minim, tapi ia sempat mendengar kalau akan ada perlombaan kelas internasional dari ranah olah raga. Hanya saja ia tak tahu kalau ternyata itu berhubungan dengan ice skating.

“Melihat dari caramu bermain tadi. Aku yakin kau akan menang.”

Sunghoon tersenyum, “Thank you.”

Seharusnya Jake tetap berada di sekitaran sungai Thames dan menikmati butiran salju mengenai pucuk kepalanya yang di balut topi. Tapi kaki-kaki jenjangnya justru terus melangkah sampai ia berhenti di hamparan es beku yang di nikmati oleh para manusia; sambil bermain ice skating.

Jake menyetel ulang kameranya; mengarahkan pada orang-orang yang tertawa sembari berseluncur di atas permukaan es yang tebal. Dirinya membidik ke para objek lalu tersenyum bangga ketika melihat hasil jepretannya.

Sebenarnya ini adalah pemandangan yang jarang ia temui. Salju tak pernah berbuat baik pada kondisi tubuhnya, untung saja hari ini ia sedang merasa bugar jadi dia memutuskan untuk pergi keluar sembari menenteng kemeranya.

Jake duduk di salah satu kursi disana. Netra coklatnya sibuk mengamati orang-orang yang berlalu-lalang.

Kembali, tangan mungilnya bermain pada lensa kamera. Ia siap memotret salah satu pemain ice skating sebelum iris jelaga dari si objek utama bersitubruk dengan irisnya. Membuat Jake terpaku selama hampir 3 detik—lelaki itu duluan yang memutus kontak mata dengannya.

Jake bergeming, masih memandangi pemuda berkulit pucat dengan sweater berwarna gelap yang dengan luwesnya berselancar di atas es. Membuat darahnya berdesir hingga tanpa sadar setetes liquid bening jatuh dari tempatnya. Jake menangis.

Cukup untuk membuat lelaki tadi menaruh atensi sepenuhnya padanya.

Ia berjalan ke arah Jake, dan seharusnya Jake mengelap air matanya. Tapi ia justru semakin menangis sesegukan. Kini bukan hanya si lelaki yang melihatnya, tapi beberapa pasang mata juga ikut pensaran ada apa gerangan hingga ia menangis di tengah-tengah kerumunan manusia yang asyik berseluncur.

“Are you okay, sir?” tanya si pemuda.

Jake menggeleng; ia mengelap air matanya. “I'm so sorry.”

“Kau yakin? Kau menangis di tengah-tengah kerumunan.” Cowok itu tersenyum kemudian duduk di sebelahnya.

“Ya, maaf aku hanya sedang emosional hari ini.”

Tanpa mau melewati batas ia mengangguk lagi, dirinya melihat kamera yang berada di genggaman Jake. “Bagaimana hasil foto ku?”

Jake terbelalak; sepersekon kemudian ia langsung menunduk malu. “Maaf sekali lagi, aku bukan ingin bertindak tidak sopan.”

Cowok itu terkekeh, “Tidak apa, aku sudah biasa mendapatkannya.”

“Aku Park Sunghoon. Ku fikir kau bukan salah satu fansku, did you?” lanjutnya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya.

Jake menyalami uluran tangan Sunghoon, “Jake, kau artis?” ia tak banyak menonton televisi, jadi wajar jika ia tak tahu banyak tentang para artis.

Lelaki berkulit pucat yang di kenal Sunghoon menggeleng. “Aku atlet ice skating.”

“I see.” Jake mengangguk, pantas saja tadi ia terlihat jago sekali daripada yang lainnya.

“Kau mau bermain?”

“Bermain ice skating?”

“Tentu saja, atau ada hal lain yang ingin kau lakukan?”

Jake menggeleng. “No, nothing. Tapi aku tidak bisa bermain skating.”

“Aku bisa mengajarimu.” ujar Sunghoon.

“Benarkah?” tanya Jake.

Sunghoon mengangguk, “Kau tahu, saat kecil ibuku sering mengajakku ke rink ice ketika aku sedang nangis. Katanya aku bisa kembali tertawa hanya karena berseluncur di atas es.”

“Benarkah? Kau jatuh cinta pada es ya?” Jake terkekeh juga Sunghoon yang sama terhiburnya.

“Bisa di bilang begitu. Jadi kau mau? Giving you a good day perhaps?”

Jake menjilat bibir bawahnya, menimang-nimang apakah ia harus menyutujui ajakan dari orang asing ini. Namun jika di lihat-lihat, Park Sunghoon ini tidak terlihat seperti orang jahat. Jadi dengan pertimbangan matang ia mengangguk, “Hanya jika kau tidak melepas tanganku.”

“Tidak akan.”


Sunghoon benar dalam perkataannya. Sedari tadi jemarinya tak pernah lepas seinci-pun dari lengan Jake. Ia dengan hati hati menuntun Jake berjalan di atas permukaan es yang bisa dengan kapan saja membuat si mungil tergelincir.

“Jangan menekuk kakimu.” ujar Sunghoon ketika Jake justru menekuk setengah kakinya. Ia ketakutan.

“Rileks Jake, aku bersamamu.”

Jake menatap mata Sunghoon, menyaratkan ketakutan yang tak bisa tersampaikan lewat suara. Sunghoon paham jika Jake takut, dulu waktu awal ia bermain skating dirinya malah terperosok sampai gigi depannya tanggal. Untung saja ibunya dengan cepat menolongnya.

“Aku memegangimu. Kemari, taruh tanganmu di pundakku.”

Jake menuruti perkataan Sunghoon, ie manaruh kedua tangannya di pundak Sunghoon. Sedangkan lelaki itu memapah pinggang kecilnya. “Ikuti aku berjalan, oke?” Di balas anggukan oleh Jake.

Sunghoon berjalan mundur dengan hati-hati, dan Jake mengikuti apa yang Sunghoon lalukan. Kakinya di seret sampai ia merasa bisa mengejar lelaki yang lebih tinggi darinya.

Sunghoon tersenyum lebar saat Jake mulai rileks. “You're great.” ujarnya menatap inci demi inci wajah Jake.

“Kau guru yang ker—Sunghoon awas!”

DUG!

Hantaman keras dari pantatnya yang jatuh ke balok es tak bisa di hindarkan. Tadi bahu Sunghoon tak sengaja bertubrukan dengan badan orang lain yang menyebabkan ia hilang keseimbangan. Jake tentu saja ikut jatoh karena ia bertumpu pada Sunghoon.

“Kau tidak apa?” tanya Sunghoon memastikan keadaan Jake.

Jake meringis merasakan nyeri di sekujur pantatnya. Ia tak pernah terbayangkan kalau jatuh di atas permukaan balok bisa sengilu ini. “Tidak, aku tidak apa.”

“Maaf, aku tadi tidak fokus.”

Ekspresi Sunghoon ketara sekali khawatir memandang sekujur tubuh Jake. Sampai si mungil justru terkekeh melihat kekhawatirannya.

Sunghoon mengernyit, “Ada apa?”

“Kau lucu.”

Alis Sunghoon semakin melengkung tak mengerti. “Maksudmu?”

“Kau lucu. Seharusnya mengkhawatirkan dirimu sendiri baru orang lain.”

Sunghoon terkekeh, “Aku membawamu kesini, keselamatanmu adalah prioritasku.”

Jake terkikik, “Wow, you're a duchess?”

“If you want to be my princess, than yes.” Alis Sunghoon naik turun menggodanya.

Jake merotasikan bola matanya, “Bukankah seharusnya kita berdiri? Kita bisa saja menambah korban orang jatuh.”

Ah benar, Sunghoon baru sadar kalau sedari tadi mereka masih anteng duduk di atas es; jadi dengan sigap ia berdiri dan mengulurkan tangannya, yang di ambil oleh Jake.

“Kau ingin mulai lagi?”

“Ya, tapi jangan menabrak seseorang lagi.”

Tawa Sunghoon menguar ke udara, mengisi udara dingin kota London yang bercampur oleh butiran salju halus. Juga Jake yang panca indranya terhipnotis pada wajah jua tawa indah sang adam.

If i'm fallin baby don't blame me, if i love you when you naked, baby don't blame me.

Suara dari lagu bertajuk Blame Me dari band Manticore yang di setel melalui spotify punya Azka memenuhi kekosongan mobil yang ia tumpangi.

Azka terkekeh ketika dengan jelas mendengar lirik kotor terlontar dari bibir sang vokalis utama—yang dinyanyikan dengan nada indah.

“Sorry.” ujar Sandega melirik ke kursi penumpang; dimana Azka masih asyik bersenandung.

“Gak kaget lagi sih gua kalau lirik lo gak jauh jauh dari make out.”

“Yah, yang di ajak mau aja sih.”

Azka merotasikan bola matanya malas. “Aneh.”

sedang si pemeran utama dalam pembicaraan; justru terkekeh sambil sesekali melirik kaca spion.

Iya, lagu yang sedari tadi menemani perjalanan mereka memang ciptaan dari lelaki di sampingnya. Sandega yang karyanya di sumbangkan untuk mengisi lagu-lagu di album Manticore.

Entah kenapa dari banyaknya kalimat yang bisa di jadikan lirik, justru kata-kata merujuk pada one night stand selalu jadi hal utama dalam setiap lirik yang Sandega tulis. Sampai-sampai fans mereka sudah hapal dari ciri lagu milik Sandega.

Pernah sekali lelaki itu di tanya kenapa lagu nya selalu mengarah pada hal vulgar—yang meskipun liriknya sudah di ganti dengan sedemikian apik—secara tidak langsung. Lalu dengan enteng dia menjawab kalau ia menulis lagu setiap lagi berhubungan sama seseorang.

Abis itu seluruh fans Manticore langsung chaos karena omongannya.

“Ega.” panggil Azka.

Lelaki dengan tahi lalat di hidungnya itu menoleh sekilas, “Hm?”

“Kok bohong?”

Sandega mengernyit, “Bohong tentang?” tanyanya balik.

Azka menghela nafas, “Lo tadi udah jalan duluan kan? Kenapa malah bilang belum dan jemput gua lagi?”

Ah, ketahuan deh.

Emang segitu payahnya ya dia bohong?

“Gak boleh ya Ka?”

“Gak gitu. Tapi lo udah jauh, ngapain harus balik lagi?”

“Lo ketinggalan.”

“Itu karena kalian gak ada yang nungguin gua.”

“Ada gua. Gua nungguin lo Ka.” ujarnya melirik pada kursi penumpang disebelahnya.

Lagi, yang lebih mungil menghela nafasnya. “Beda konteks.”

Sandega mengedikan bahu, “Gapapa, gua mau bareng lo aja.”

Sejujurnya Sandega juga tak mengerti kenapa dia yang jelas-jelas sudah lumayan jauh dari titik awal keberangkatan justru banting setir guna menjemput sang manajer. Padahal bisa saja Azka naik grab atau gojek kaya yang biasa dia lakuin. Tapi dirinya justru menginjak pedal gas untuk kembali ke tempat Azka menunggu.

Ah, buat apa di pikirin padahal sudah jelas jawabannya. Memang begitu kan Sandega. Kemanapun ia pergi, maka Azka akan selalu jadi titik temunya.

“Bagaimana ika aku mati besok, apakah kau masih mencintaiku?”

Ruangan bercat putih gading itu tadinya tak pernah bau seanyir dan semenyedihkan ini. Sisa darah yang mengering di ujung pisau lipat menjadi pertanda betapa menyedihkannya lelaki yang kini sedang terisak; menatap seseorang yang tubuhnya tergeletak tak berdaya di lantai.

“Jika aku mati, apakah kau masih mencintaiku?”

Lelaki berkulit pucat itu menatap kosong pisau yang berada tak jauh dari tempatnya. Ia mengambil pisau itu dan menatapnya sendu. Bajunya yang tadi berwarna biru cerah kini ternodai; terkena cipratan darah yang sama kotornya dengan tangannya sendiri.

Tak berapa lama ia kembali histeris, kembali membeturkan kepalanya ke tembok sambil berteriak menyebut nama sang kekasih tanpa henti. Entah sudah berapa kali pemuda dengan name tag Sunghoon itu melakukannya.

Sunghoon mengambil satu plastik bubuk berwarna putih dan jarum suntik. Tawa mencemooh menggema sepenjuru ruangan ketika ia berhasil membakar bubuk heroin itu menjadi berwarna kecoklatan. Dirinya mengambil ikat pinggang yang tergeletak lalu direkatkan di pergelangan sebelah kirinya. Menarik nafas dalam-dalam, Sunghoon mencari urat nadi miliknya untuk di suntikan oleh obat terlarang itu.

Kendati obatnya telah bekerja di dalam tubuh; Sunghoon justru tersenyum senang. Ini ketenangan yang ia cari.

Manik jelaga milik Sunghoon mulai mencekung, lelaki itu tersenyum semakin lebar sembari menggapai langit-langit kamar dengan deru nafas yang tenang. Lalu halusinasinya berubah menjadi sekelebat warna-warni yang menenangkan sampai kemudian muncul seorang pemuda yang tersenyum padanya.

Itu, itu dia. Kekasihnya.

“Sunghoon.” panggilan lembut dari sang kekasih membuat ia merinding. Bahkan di dalam khayalannya sekalipun suara sang kekasih masih menjadi candu untuknya.

“Jake, aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu, Sunghoon.”

“Bahkan jika kau mati, aku masih tetap mencintaimu Jake.”

Liquid bening itu terjatuh dari mata sang pria yang lebih tinggi, oh sialan. Ia begitu merindukan pemuda Shim ini sampai rasanya ia bisa gila.

Jake mengusap lembut wajah Sunghoon. Keduanya saling terpaut, mengikis jarak perlahan hingga tak ada celah sedikitpun diantara mereka.

Jake menatapnya sendu, “Kalau begitu berhentilah, Sunghoon. Kau sudah membuktikannya.” ia memeluk Sunghoon, bahkan di dalam halusinasinya rasanya pelukan Jake sangat nyata. Sampai ia tak mau melepaskannya lagi.

“Tidak, Jake. Aku ingin bersamamu.”

“Aku mencintaimu, selamat tinggal. Dan aku akan menunggumu.”

Sepersekon kemudian bayangan Jake menghilang, membuat si pemuda kembali meraung memanggil namanya. “JANGAN PERGI.”

Sunghoon kalap. Ia mengacak rambutnya frustasi kemudian kembali menyuntikan heroin ke dalam tubuhnya. Berharap bahwa cintanya akan menyapanya lagi dengan senyuman paling memukau di dunia.

Namun nihil, pemuda itu tak kembali lagi dalam imajinasinya.

Hingga suntikan kesebelas, Jake tetap tidak kembali.

Pemuda itu meninggalkannya dengan hati yang terluka dan perasaan putus asa. Sehingga Sunghoon tak bisa bernafas karena buih putih di mulutnya menjadi pertanda bahwa ia akan menjemput sang kekasih sebentar lagi.

Ya, Park Sunghoon akan kembali bahagia. Bersama dengan sang kekasih, bersama dengan lelaki yang ia pertaruhkan separuh hidupnya. Bersama dengan pemudanya di alam lain.

Dan ia akan menyatakan cintanya sekali lagi. Cintanya yang ia akhiri hidupnya dengan penuh kasih sayang.

“Jika aku mati, apakah kau masih mencintaiku?”

Ruangan bercat putih gading itu tadinya tak pernah bau seanyir dan semenyedihkan ini. Sisa darah yang mengering di ujung pisau lipat menjadi pertanda betapa menyedihkannya lelaki yang kini sedang terisak; menatap seseorang yang tubuhnya tergeletak tak berdaya di lantai.

“Jika aku mati, apakah kau masih mencintaiku?”

Lelaki berkulit pucat itu menatap kosong pisau yang berada tak jauh dari tempatnya. Ia mengambil pisau itu dan menatapnya sendu. Bajunya yang tadi berwarna biru cerah kini ternodai; terkena cipratan darah yang sama kotornya dengan tangannya sendiri.

Tak berapa lama ia kembali histeris, kembali membeturkan kepalanya ke tembok sambil berteriak menyebut nama sang kekasih tanpa henti. Entah sudah berapa kali pemuda dengan name tag Sunghoon itu melakukannya.

Sunghoon mengambil satu plastik bubuk berwarna putih dan jarum suntik. Tawa mencemooh menggema sepenjuru ruangan ketika ia berhasil membakar bubuk heroin itu menjadi berwarna kecoklatan. Dirinya mengambil ikat pinggang yang tergeletak lalu direkatkan di pergelangan sebelah kirinya. Menarik nafas dalam-dalam, Sunghoon mencari urat nadi miliknya untuk di suntikan oleh obat terlarang itu.

Kendati obatnya telah bekerja di dalam tubuh; Sunghoon justru tersenyum senang. Ini ketenangan yang ia cari.

Manik jelaga milik Sunghoon mulai mencekung, lelaki itu tersenyum semakin lebar sembari menggapai langit-langit kamar dengan deru nafas yang tenang. Lalu halusinasinya berubah menjadi sekelebat warna-warni yang menenangkan sampai kemudian muncul seorang pemuda yang tersenyum padanya.

Itu, itu dia. Kekasihnya.

“Sunghoon.” panggilan lembut dari sang kekasih membuat ia merinding. Bahkan di dalam khayalannya sekalipun suara sang kekasih masih menjadi candu untuknya.

“Jake, aku mencintaimu.”

“Aku juga mencintaimu, Sunghoon.”

“Bahkan jika kau mati, aku masih tetap mencintaimu Jake.”

Liquid bening itu terjatuh dari mata sang pria yang lebih tinggi, oh sialan. Ia begitu merindukan pemuda Shim ini sampai rasanya ia bisa gila.

Jake mengusap lembut wajah Sunghoon. Keduanya saling terpaut, mengikis jarak perlahan hingga tak ada celah sedikitpun diantara mereka.

Jake menatapnya sendu, “Kalau begitu berhentilah, Sunghoon. Kau sudah membuktikannya.” ia memeluk Sunghoon, bahkan di dalam halusinasinya rasanya pelukan Jake sangat nyata. Sampai ia tak mau melepaskannya lagi.

“Tidak, Jake. Aku ingin bersamamu.”

“Aku mencintaimu, selamat tinggal. Dan aku akan menunggumu.”

Sepersekon kemudian bayangan Jake menghilang, membuat si pemuda kembali meraung memanggil namanya. “JANGAN PERGI.”

Sunghoon kalap. Ia mengacak rambutnya frustasi kemudian kembali menyuntikan heroin ke dalam tubuhnya. Berharap bahwa cintanya akan menyapanya lagi dengan senyuman paling memukau di dunia.

Namun nihil, pemuda itu tak kembali lagi dalam imajinasinya.

Hingga suntikan kesebelas, Jake tetap tidak kembali.

Pemuda itu meninggalkannya dengan hati yang terluka dan perasaan putus asa. Sehingga Sunghoon tak bisa bernafas karena buih putih di mulutnya menjadi pertanda bahwa ia akan menjemput sang kekasih sebentar lagi.

Ya, Park Sunghoon akan kembali bahagia. Bersama dengan sang kekasih, bersama dengan lelaki yang ia pertaruhkan separuh hidupnya. Bersama dengan pemudanya di alam lain.

Dan ia akan menyatakan cintanya sekali lagi. Cintanya yang ia akhiri hidupnya dengan penuh kasih sayang.

Sunghoon berjalan lebih dulu ke arah parkiran, sementara Jake di belakangnya sibuk mendumel karena Sunghoon tadi menarik tangannya tanpa ampun. Harusnya yang Sunghoon geret itu koper besar warna merahnya bukan malah tangan dia di geret kesana kesini. Terus sekarang Sunghoon dengan cuek justru jalan mendahulukan Jake yang kesusahan bawa dua koper gedenya.

“Bantuin gua kek.” seru Jake.

Sunghoon menoleh, “Lemah.” kemudian mengambil alih satu koper Jake.

Mata Jake terbelalak di katai lemah. Tapi mau ngomel-ngomel juga dia capek, nanti aja di mobil dia bakal semprot Sunghoon dengan rentetan kata amarah. Kan gak etis marah marah di parkiran sambil nenteng-nenteng koper.


“How's life, hoon?” tanya Jake ketika pantatnya baru saja duduk di kursi penumpang.

“Life's fine, how about you?” Sunghoon mulai menyalakan mesin mobilnya.

“As ussual, i always do the same things everyday. Anyway gua baru aja ikut organisasi sains gitu di kampus gua and..”

Lalu suasana mobil Sunghoon diisi oleh ocehan Jake tentang perkuliahannya dan cowok yang lagi dia taksir akhir-akhir ini.

Sunghoon cuma ngangguk-ngangguk aja, sesekali dia bertanya seadanya yang di balas Jake dengan detail sedetail-detailnya. Jake juga bertanya tentang hubungannya dengan Wooyeon yang di balas oleh Sunghoon that hes happy with her, dan Sunghoon nanya balik tentang relationship Jake.

Udah gitu, sampai Jake capek sendiri ngoceh sampai dia diem karena kehausan. Sampe akhirnya dia nyeletuk lagi, “Gua mau makan.”

“Hm, nanti cari makan.” Sunghoon mulai melajukan mobilnya keluar dari area bandara.

“Mau nasi padang dong, hoon.” ujar Jake yang di balas anggukan oleh Sunghoon.

Dari sebelum berangkat ke Indo, Jake udah punya plan kalau nasi padang adalah makanan pertama yang harus dia makan pas balik ke Indo. Ya maklum, di Australia kan gak ada nasi padang. Kangen sama rasa rendang katanya.

“Nasi padang yang deket SMA dong.”

“Jauh.”

“Pleaseee, itu naspad terenak yang pernah gua makan.”

“Jauh dari rumah lo, Jake. Ntar di cariin nyokap lo—”

”—lagian semua nasi padang mah sama aja.” lanjut Sunghoon.

“Beda! ini enak. Emang siapa yang bilang gua mau pulang?”

Sunghoon mengernyit, “lo mau tidur di hotel?”

Jake menyeringai jail, “sama lo?” tangan Jake mengelus pucuk kepala Sunghoon.

“Serius nyet.” katanya, menepis tangan Jake.

“Gua mau balik ke kondo aja.”

Sunghoon melirik Jake sekilas, “Lah kenapa?”

“Kondo kan rumah gua juga. Ayo ah ke naspad deket smabe.” rengek Jake.

“Ck, bawel.”

Tapi tetap saja Sunghoon banting stir ke arah rumah nasi padang yang dulu suka mereka kunjungi waktu masih SMA.

It's been a long time tho semenjak dia sama Jake makan disitu bareng. Kayanya terakhir kali itu sebelum Jake pindah ke Aussie buat ngelanjutin kuliahnya—dan Sunghoon yang males kalau harus makan sendiri— berarti udah setahun mereka gak kesana lagi.


“Gua mau mandi, lo mau ikut?” tanya Jake sembari melepas sepatunya.

“You wish.” sahut Sunghoon lalu langsung menuju ke kamarnya.

Jake mengedikan bahu, dan masuk ke kamar mandi.

Sedangkan Sunghoon merebahkan diri di kasur berukuran one size milik Jake. Di kondominum Jake ada dua kamar, Jake sengaja bikin dua kamar karena teman-temannya kadang suka nginep disini. Dan Jake yang anaknya suka ngajak minum tiap seminggu sekali; kamar dua di butuhin banget buat temen-temennya yang teler alias gak kuat pulang.

Selagi Jake mandi, Sunghoon menyalakan handphonenya; nontonin vlog Jerome Polin di Youtube, sambil sesekali balas chat Wooyeon yang tadi dia tinggal di studio tari temannya; karena Jake bilang minta jemput.

Sambil rebahan nonton Youtube lama-lama bikin Sunghoon ngantuk, lama-kelamaan handphonenya yang nontonin dia tidur, lama-kelamaan dia hampir larut kedalam alam mimpi; before he eyes suddenly open when he feels something tickling around his meat rod. He really knew it was Jake, giving him a really good blow.

“Shit.” Jake tidak menjawab, ia fokus melakukan apa yang tadi ia mulai; apa yang ia inginkan malam ini.

Sunghoon menahan nafasnya, pemandangan di depan wajahnya membuat ia semakin merasa terangsang.

Damn, this is the best view he could ask for.

Tangan lelaki itu membenahi rambut Jake yang agak panjang sampai melewati alisnya, agar tidak menutupi wajah si manis. Ia memegangi kepala Jake, memastikan cowok itu tidak pergi dari tempatnya, mengikuti ritme yang Jake ciptakan.

Ia tidak banyak bicara, sesekali menahan erangannya. “Right there.” ujarnya ketika dirasa Jake mengenai titik sensitifnya.

And with that, he came all over his face.

Jake mengambil beberapa lembar tissue, dirinya menengadah. “Your turn, hoonie.”

Dan tanpa pikir panjang ia langsung menarik badan Jake. Mengubah posisi mereka yang semula Jake berada di atasnya, kini ia terlentang disana; tertangkap dalam kukungan protektif Sunghoon.

On his cheek,

On his lips,

On his neck,

And all over his body.

Sunghoon missed this. He missed the feeling of touching him, he missed to explore his body, to feel his skin, to leave a mark between his thighs, to give him a good blow.

And to hear Jake shout his name peacefully.

His moan was a melody to him.

None of them love each other, but they choose to stay together; only for this.

Sunghoon berjalan lebih dulu ke arah parkiran, sementara Jake di belakangnya sibuk mendumel karena Sunghoon tadi menarik tangannya tanpa ampun. Harusnya yang Sunghoon geret itu koper besar warna merahnya bukan malah tangan dia di geret kesana kesini. Terus sekarang Sunghoon dengan cuek justru jalan mendahulukan Jake yang kesusahan bawa dua koper gedenya.

“Bantuin gua kek.” seru Jake.

Sunghoon menoleh, “Lemah.” kemudian mengambil alih satu koper Jake.

Mata Jake terbelalak di katai lemah. Tapi mau ngomel-ngomel juga dia capek, nanti aja di mobil dia bakal semprot Sunghoon dengan rentetan kata amarah. Kan gak etis marah marah di parkiran sambil nenteng-nenteng koper.


“How's life, hoon?” tanya Jake ketika pantatnya baru saja duduk di kursi penumpang.

“Life's fine, how about you?” Sunghoon mulai menyalakan mesin mobilnya.

“As ussual, i always do the same things everyday. Anyway gua baru aja ikut organisasi sains gitu di kampus gua and..”

Lalu suasana mobil Sunghoon diisi oleh ocehan Jake tentang perkuliahannya dan cowok yang lagi dia taksir akhir-akhir ini.

Sunghoon cuma ngangguk-ngangguk aja, sesekali dia bertanya seadanya yang di balas Jake dengan detail sedetail-detailnya. Jake juga bertanya tentang hubungannya dengan Wooyeon yang di balas oleh Sunghoon * that hes happy with her, * dan Sunghoon nanya balik tentang relationship Jake.

Udah gitu, sampai Jake capek sendiri ngoceh sampai dia diem karena kehausan. Sampe akhirnya dia nyeletuk lagi, “Gua mau makan.”

“Hm, nanti cari makan.” Sunghoon mulai melajukan mobilnya keluar dari area bandara.

“Mau nasi padang dong, hoon.” ujar Jake yang di balas anggukan oleh Sunghoon.

Dari sebelum berangkat ke Indo, Jake udah punya plan kalau nasi padang adalah makanan pertama yang harus dia makan pas balik ke Indo. Ya maklum, di Australia kan gak ada nasi padang. Kangen sama rasa rendang katanya.

“Nasi padang yang deket SMA dong.”

“Jauh.”

“Pleaseee, itu naspad terenak yang pernah gua makan.”

“Jauh dari rumah lo, Jake. Ntar di cariin nyokap lo—”

”—lagian semua nasi padang mah sama aja.” lanjut Sunghoon.

“Beda! ini enak. Emang siapa yang bilang gua mau pulang?”

Sunghoon mengernyit, “lo mau tidur di hotel?”

Jake menyeringai jail, “sama lo?” tangan Jake mengelus pucuk kepala Sunghoon.

“Serius nyet.” katanya, menepis tangan Jake.

“Gua mau balik ke kondo aja.”

Sunghoon melirik Jake sekilas, “Lah kenapa?”

“Kondo kan rumah gua juga. Ayo ah ke naspad deket smabe.” rengek Jake.

“Ck, bawel.”

Tapi tetap saja Sunghoon banting stir ke arah rumah nasi padang yang dulu suka mereka kunjungi waktu masih SMA.

It's been a long time tho semenjak dia sama Jake makan disitu bareng. Kayanya terakhir kali itu sebelum Jake pindah ke Aussie buat ngelanjutin kuliahnya—dan Sunghoon yang males kalau harus makan sendiri— berarti udah setahun mereka gak kesana lagi.


“Gua mau mandi, lo mau ikut?” tanya Jake sembari melepas sepatunya.

“Ha, you wish.” sahut Sunghoon lalu langsung menuju ke kamarnya.

Jake mengedikan bahu, dan masuk ke kamar mandi.

Sedangkan Sunghoon merebahkan diri di kasur berukuran one size milik Jake. Di kondominum Jake ada dua kamar, Jake sengaja bikin dua kamar karena teman-temannya kadang suka nginep disini. Dan Jake yang anaknya suka ngajak minum tiap seminggu sekali; kamar dua di butuhin banget buat temen-temennya yang teler alias gak kuat pulang.

Selagi Jake mandi, Sunghoon menyalakan handphonenya; nontonin vlog Jerome Polin di Youtube, sambil sesekali balas chat Wooyeon yang tadi dia tinggal di studio tari temannya; karena Jake bilang minta jemput.

Sambil rebahan nonton Youtube lama-lama bikin Sunghoon ngantuk, lama-kelamaan handphonenya yang nontonin dia tidur, lama-kelamaan dia hampir larut kedalam alam mimpi; before he eyes suddenly open when he feels something tickling around his meat rod. He really knew it was Jake, giving him a really good blow.

“Shit.” Jake tidak menjawab, ia fokus melakukan apa yang tadi ia mulai; apa yang ia inginkan malam ini.

Sunghoon menahan nafasnya, pemandangan di depan wajahnya membuat ia semakin merasa terangsang.

Damn, this is the best view he could ask for.

Tangan lelaki itu membenahi rambut Jake yang agak panjang sampai melewati alisnya, agar tidak menutupi wajah si manis. Ia memegangi kepala Jake, memastikan cowok itu tidak pergi dari tempatnya, mengikuti ritme yang Jake ciptakan.

Ia tidak banyak bicara, sesekali menahan erangannya. “Right there.” ujarnya ketika dirasa Jake mengenai titik sensitifnya.

And with that, he came all over his face.

Jake mengambil beberapa lembar tissue, dirinya menengadah. “Your turn, hoonie.”

Dan tanpa pikir panjang ia langsung menarik badan Jake. Mengubah posisi mereka yang semula Jake berada di atasnya, kini ia terlentang disana; tertangkap dalam kukungan protektif Sunghoon.

On his cheek,

On his lips,

On his neck,

And all over his body.

Sunghoon missed this. He missed the feeling of touching him, he missed to explore his body, to feel his skin, to leave a mark between his thighs, to give him a good blow.

And to hear Jake shout his name peacefully.

His moan was a melody to him.

None of them love each other, but they choose to stay together; only for this.