hwoneboom

Sunghoon berjalan lebih dulu ke arah parkiran, sementara Jake di belakangnya sibuk mendumel karena Sunghoon tadi menarik tangannya tanpa ampun. Harusnya yang Sunghoon geret itu koper besar warna merahnya bukan malah tangan dia di geret kesana kesini. Terus sekarang Sunghoon dengan cuek justru jalan mendahulukan Jake yang kesusahan bawa dua koper gedenya.

“Bantuin gua kek.” seru Jake.

Sunghoon menoleh, “Lemah.” kemudian mengambil alih satu koper Jake.

Mata Jake terbelalak di katai lemah. Tapi mau ngomel-ngomel juga dia capek, nanti aja di mobil dia bakal semprot Sunghoon dengan rentetan kata amarah. Kan gak etis marah marah di parkiran sambil nenteng-nenteng koper.


“How's life, hoon?” tanya Jakw ketika pantatnya baru saja duduk di kursi penumpang.

“Life's fine, how about you?” Sunghoon mulai menyalakan mesin mobilnya.

“As ussual, i always do the same things everyday. Anyway gua baru aja ikut organisasi sains gitu di kampus gua and..”

Lalu suasana mobil Sunghoon diisi oleh ocehan Jake tentang perkuliahannya dan cowok yang lagi dia taksir akhir-akhir ini.

Sunghoon cuma ngangguk-ngangguk aja, sesekali dia bertanya seadanya yang di balas Jake dengan detail sedetail-detailnya. Jake juga bertanya tentang hubungannya dengan Wooyeon yang di balas oleh Sunghoon * that hes happy with her, * dan Sunghoon nanya balik tentang relationship Jake.

Udah gitu, sampai Jake capek sendiri ngoceh sampai dia diem karena kehausan. Sampe akhirnya dia nyeletuk lagi, “Gua mau makan.”

“Hm, nanti cari makan.” Sunghoon mulai melajukan mobilnya keluar dari area bandara.

“Mau nasi padang dong, hoon.” ujar Jake yang di balas anggukan oleh Sunghoon.

Dari sebelum berangkat ke Indo, Jake udah punya plan kalau nasi padang adalah makanan pertama yang harus dia makan pas balik ke Indo. Ya maklum, di Australia kan gak ada nasi padang. Kangen sama rasa rendang katanya.

“Nasi padang yang deket SMA dong.”

“Jauh.”

“Pleaseee, itu naspad terenak yang pernah gua makan.”

“Jauh dari rumah lo, Jake. Ntar di cariin nyokap lo—”

”—lagian semua nasi padang mah sama aja.” lanjut Sunghoon.

“Beda! ini enak. Emang siapa yang bilang gua mau pulang?”

Sunghoon mengernyit, “lo mau tidur di hotel?”

Jake menyeringai jail, “sama lo?” tangan Jake mengelus pucuk kepala Sunghoon.

“Serius nyet.” katanya, menepis tangan Jake.

“Gua mau balik ke kondo aja.”

Sunghoon melirik Jake sekilas, “Lah kenapa?”

“Kondo kan rumah gua juga. Ayo ah ke naspad deket smabe.” rengek Jake.

“Ck, bawel.”

Tapi tetap saja Sunghoon banting stir ke arah rumah nasi padang yang dulu suka mereka kunjungi waktu masih SMA.

It's been a long time tho semenjak dia sama Jake makan disitu bareng. Kayanya terakhir kali itu sebelum Jake pindah ke Aussie buat ngelanjutin kuliahnya—dan Sunghoon yang males kalau harus makan sendiri— berarti udah setahun mereka gak kesana lagi.


“Gua mau mandi, lo mau ikut?” tanya Jake sembari melepas sepatunya.

“Ha, you wish.” sahut Sunghoon lalu langsung menuju ke kamarnya.

Jake mengedikan bahu, dan masuk ke kamar mandi.

Sedangkan Sunghoon merebahkan diri di kasur berukuran one size milik Jake. Di kondominum Jake ada dua kamar, Jake sengaja bikin dua kamar karena teman-temannya kadang suka nginep disini. Dan Jake yang anaknya suka ngajak minum tiap seminggu sekali; kamar dua di butuhin banget buat temen-temennya yang teler alias gak kuat pulang.

Selagi Jake mandi, Sunghoon menyalakan handphonenya; nontonin vlog Jerome Polin di Youtube, sambil sesekali balas chat Wooyeon yang tadi dia tinggal di studio tari temannya; karena Jake bilang minta jemput.

Sambil rebahan nonton Youtube lama-lama bikin Sunghoon ngantuk, lama-kelamaan handphonenya yang nontonin dia tidur, lama-kelamaan dia hampir larut kedalam alam mimpi; before he eyes suddenly open when he feels something tickling around his meat rod. He really knew it was Jake, giving him a really good blow.

“Shit.” Jake tidak menjawab, ia fokus melakukan apa yang tadi ia mulai; apa yang ia inginkan malam ini.

Sunghoon menahan nafasnya, pemandangan di depan wajahnya membuat ia semakin merasa terangsang.

Damn, this is the best view he could ask for.

Tangan lelaki itu membenahi rambut Jake yang agak panjang sampai melewati alisnya, agar tidak menutupi wajah si manis. Ia memegangi kepala Jake, memastikan cowok itu tidak pergi dari tempatnya, mengikuti ritme yang Jake ciptakan.

Ia tidak banyak bicara, sesekali menahan erangannya. “Right there.” ujarnya ketika dirasa Jake mengenai titik sensitifnya.

And with that, he came all over his face.

Jake mengambil beberapa lembar tissue, dirinya menengadah. “Your turn, hoonie.”

Dan tanpa pikir panjang ia langsung menarik badan Jake. Mengubah posisi mereka yang semula Jake berada di atasnya, kini ia terlentang disana; tertangkap dalam kukungan protektif Sunghoon.

On his cheek,

On his lips,

On his neck,

And all over his body.

Sunghoon missed this. He missed the feeling of touching him, he missed to explore his body, to feel his skin, to leave a mark between his thighs, to give him a good blow.

And to hear Jake shout his name peacefully.

His moan was a melody to him.

None of them love each other, but they choose to stay together; only for this.

“Orang gila.” Semprot Sunghoon ketika membuka pintu rumahnya; yang langsung di hadiahi muka Jake lagi nyengir.

“KANGENNN!” Seru Jake.

Memang karena jurusan Jake kembali daring dirinya terpaksa gak ketemu Sunghoon untuk sementara waktu. Ya sebenernya bisa aja sih mereka ngedate kaya biasanya tapi karena sekarang musim UAS dan mereka yang sama-sama sibuk jadi gak ada waktu buat ketemu. Pengecualian kalau Jake ke kampus sih.

Sunghoon yang tadinya ingin membalas Jake dengan rentetan kata peringatan karena cowok itu dengan seenaknya justru keluar sendirian di tengah malam. Sekarang malah luluh karena muka Jake yang melas. Rasanya pengen dia makan aja deh si kecil.

Sebenarnya bukan apa-apa, tapi Jake dan tindakan cerobohnya sering kali membuat Sunghoon ngelus dada. Kaya sekarang ini, cowok ini malah dengan santai keluyuran tengah malam; padahal bisa aja diluaran sana ada begal.

“Kamu bandel banget. Udah di bilangin jangan keluar malem-malem.”

Hidung Jake di tarik; membuat si empu meringis. “Mau mastiin kalau yang tadi di chat itu beneran Sunghoon.”

Sunghoon terkekeh, “Terus kalau udah di pastiin mau apa?”

“Mau peluk.”

“Yakin peluk doang?”

Jake nyengir; menunjukan deretan gigi putihnya. “Mau cium boleh?”

Tawa Sunghoon kembali menguar, si mungil memang selalu berhasil membuat suasana hatinya membaik. Padahal sejam yang lalu ia masih kesal berkutat dengan segala tetek bengek tugas tugasnya. Tapi sekarang malah ikutan nyengir kuda bareng si kuda yang paling bawel.

Pinggang Jake di tarik ke dalam dekapannya, yang langsung di balas oleh Jake. “Mau ciuman sekarang?” tanya Sunghoon tepat di telinga Jake.

“GAK BOLEH!”

Itu bukan Jake yang menjawab, melainkan sosok imut lainnya yang gak sengaja mendengar perkataan—kelebihan hormon—dari kakaknya. Yang Jungwon dan ekspresi horrornya menatap mereka berdua.

“Kamar ku masih kosong loh.” Sunghoon mengedipkan sebelah matanya pada Jake yang di balas tatapan malas olehnya.

“BANG SUNGHOON!!”

Raka sibuk main mobile legend sedangkan Haidar di sampingnya fokus ngoding. Biasalah anak manajemen bisnis kerjaannya ngoding mulu sampe sukses.

Sekarang mereka lagi di Mcd deket UNBE karena Raka yang males pulang ke kontrakan dan Haidar yang minta di temenin ngoding. Gak ngerti sebenarnya dia, tapi karena bosen akhirnya ngikut aja. Lumayan juga sih soalnya dia di beliin Mcflurry sama Haidar.

“ANJING BEBAN.” seru Raka kita melihat timnya kalah. Jari-jarinya langsung menekan tombol report kepada para akun—yang katanya beban tim—sambil masih marah-marah.

Handphonenya di taruh di atas meja. Sebel jadi gak mood buat main lagi. “Dar.” panggil Raka mulai menarik atensi lain.

“Hm.”

“Lo pernah pacaran gak?”

Haidar menutup laptopnya yang sudah menyelesaikan hasil ngodingnya. “Random banget anjing?”

“Jawab aja.”

Lelaki keturunan negeri matahari terbit itu melihat ke arah jendela, “Pernah lah. Ya kali orang seganteng gua kagak pernah pacaran?”

Yah mulai.

Raka merotasikan bola matanya malas, “Terus pas putus? Gimana?”

“Bang lo kalo mau ngomongin tentang bang Hanan mending ntar aja dah. Masih ngebul nih pala gua.”

“Anjing bukan Hanan! Lagian kok lo bisa tau tentang Hanan sih?”

“Yaelah bang satu kampus juga tau kali siapa mantan lo. Makanya kalo mau pacaran jangan sama Bang Hanan.”

“Ah anjing deh emang si Hanan, kalo gak kenal dia di SMA juga gua gak bakal mau pacaran sama dia.” sungut Raka.

Haidar menggeleng, “Salah. Kalo lo gak tau dia selingkuh lo pasti masih macarin dia.”

”—ADUH!” Abis ngomong gitu palanya di tabok pake kekuatan super dari tangan Raka. Sedangkan si pelaku utama justru mendelik galak.

“Bang Raka.”

panggilan dari yang lain mengalihkan atensi mereka berdua yang tadinya lagi berebut kentang kini sepenuhnya menoleh pada lelaki tinggi yang berjalan ke arah mereka. Di belakangnya ada cewek dengan rambut blonde panjangnya yang mengikuti.

Loh itu cewek yang tadi dia omongin bareng geng three muskeetersnya.

“Bocah.” Mata Raka berbinar melihatnya adeknya alias Riki; dia pengen mesin burger tapi yang bayarin Riki.

“Ngapain lo?” tanya Haidar.

“Mau ngamen. Ya makan lah.” jawab Riki.

“Maksud gua lu abis darimana nyet? Kok gua liat sekitaran unbe gak ada?”

Riki mengambil kursi—sebelumnya mempersilahkan cewek di sampingnya buat ikut duduk—di hadapan mereka. “Jiah perhatian banget sih lo, jadi baper gua.”

Udah-udah males Haidar nanggepinnya kalau gini. Gak abangnya gak adeknya sama aja bikin dia sensi.

“Siapa?” perhatian Raka justru tertuju pada cewek di samping sang Adik.

Riki menoleh, “Oh ini Lizia bang. Lizia nih abang gua yang paling ayep.” kata Riki memperkenalkan mereka.

Lizia hanya tersenyum sambil menggumamkan namanya. Beneran cantik cuy! malah lebih cantik dari yang di foto. Anjir kok Riki gak pernah ngasih tau kalau deket sama si Lizia Lizia ini.

“Iya tau kok, mantannya bang Hanan kan?” ucap Lizia.

BANGSAT HANAN LAGI HANAN LAGI.

Orang-orang bilang kita tidak boleh melihat tarian dari Black Swan. Tidak, karena nantinya kamu akan terjerat dalam pesonanya.

Orang-orang bilang kalau kita tak boleh mengasihani Black Swan. Tidak, karena ia akan menipumu dengan cara paling kejam sekalipun.

Orang-orang bilang kalau kita tidak boleh berbicara dengan Black Swan. Tidak, karena ia akan menghipnotismu sampai ke dasar jurang.

Dan orang-orang bilang kalau kita tidak boleh jatuh cinta pada Black Swan. Tidak, karena sekali kau jatuh cinta padanya kau tidak akan bisa lepas lagi darinya.

Dan Sunghoon melanggar semua peraturan di atas.


Di besarkan sebagai pewaris takhta kerajaan, sudah menjadi makanan sehari-hari baginya mendengarkan nasihat ibunda agar lebih berhati-hati dan paham dunia luar. Pangeran itu terlampau tahu tentang rumor-rumor yang beredar di negaranya. Terutama rumor tentang Black Swan—kembaran Odette yang jahat.—yang selalu menjadi bahan pembicaraan masyarakat.

Sejujurnya Sunghoon belum pernah melihatnya secara langsung, dan mungkin ia cukup pesimis dengan pernyataan rakyatnya. Mereka bilang kalau Black Swan adalah seseorang yang sangat cantik namun kejam. Ia di kutuk karena melukai saudarinya sendiri, dan semenjak itu sayap putihnya berubah warna menjadi hitam pekat seolah menunjukan bahwa ia adalah pendosa.

Tidak, awalnya Sunghoon tidak percaya. Menurutnya itu hanyalah legenda, Black Swan dan White Swan sama saja seperti legenda putri duyung atau monster yang dulu sering ibunya ceritakan sebelum ia tidur. Dan sama sekali jauh dari kata realistis di dunia ini. Dan mungkin keberadaannya di dunia patut di pertanyakan.

Ya, setidaknya sampai ia melihat seorang pria menari—dengan sayap berwarna hitam—di pinggir danau. Sunghoon bersumpah atas nama Arthur bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sosok Black Swan yang sering orang-orang ceritakan. Dan tidak salah; karena Black Swan pada kenyataannya memang sangat cantik.

Sayapnya lebar berwarna hitam pekat namun halus, di kepalanya tertempel bando dengan butiran berlian, tariannya indah, wajahnya cantik, dan senyumnya; senyumnya mampu membuat tawa Sunghoon menguar ke udara bersamaan dengan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya.

Tapi mereka tak sepenuhnya benar, karena Black Swan yang ia temui adalah seseorang yang baik. Ia bahkan menolongnya yang terluka karena medan perang. Dengan sigap mengobati lukanya bahkan merawatnya dengan sabar.

Saat itu di pinggir danau Volkslore, Sunghoon yang baru selesai dari medan perang harus mengalami luka yang cukup parah sampai ia terpisah dengan sekutunya.

Lalu ketika ia beristirahat di dekat Danau, maka pemandangan menakjubkan yang ia lihat berhasil menghipnotisnya sampai ke dasar jurang.

Di sana, di seberang danau; di hadapannya sosok cantik dari legenda yang dulu ia kira hanya bualan masyarakat ternyata benar ada atensinya. Black Swan yang selalu mereka bicarakan terpampang nyata di depan Sunghoon.

Awalnya Sunghoon masih teguh dalam pendirian pesimisnya; berfikir bahwa mungkin ini hanyalah imajinernya hasil kelelahan. Namun tidak sampai ia berteriak nyaring karena kakinya seperti mati rasa, yang berhasil menarik perhatian sang Black Swan.

Lelaki itu melihatnya; tarian indah yang tadi ia tunjukan dengan sukarela langsung di hentikan begitu saja. Kemudian berlari ke arah Sunghoon yang masih kesakitan.

Sayap lebarnya yang tadi mengepak cantik langsung berubah menjadi lengan manusia yang sama cantiknya, menyentuh permukaan kulitnya dengan lembut; berteriak nyaring bahwa sihir dan sebagainya memang benar-benar ada.

Oh Merlin, jika kutukan ini adalah ulahmu maka Sunghoon tak segan akan membunuhnya karena telah mengasingkan seorang yang sangat cantik dari edarannya. Biarkan ia di anggap sebagai pengkhianat Inggris.

Black Swan itu terlihat panik, dan Sunghoon yang masih merasa sakit menanggapinya dengan erangan kecil. Lalu ketika suaranya mulai tersua ke udara, Sunghoon merasa bahwa sakitnya mulai hilang.

“Kau tidak apa?” tanyanya dengan khawatir.

Dan sepersekon kemudian yang Sunghoon tahu adalah dirinya justru pingsan di hadapan sang Black Swan.

Selama seminggu di rawat langsung olehnya Sunghoon merasakan hal lain yang tertanam jauh di dalam dirinya. Perasaan seolah ingin menjaganya karena lelaki itu juga pernah merawatnya dengan sungguh. Perasaan ingin memamerkannya pada dunia, karena segala cerita yang mereka katakan hanyalah bualan semata; tentang Black Swan yang di kutuk yang sebenarnya sayapnya memang hitam semenjak ia di lahirkan. Lalu dengan ikhlas justru menanggung segala fitnah orang-orang.

Dan perasaan lain yang lebih dalam. Perasaan ingin memiliki sang Black Swan sepenuh hati. Perasaan cinta yang entah datangnya dari mana, namun Sunghoon tahu bahwasannya ia telah jatuh pada pesona sang Black Swan.

Jadi dengan segala perhitungan akan hal-hala yang mungkin memperhambatnya nanti, Sunghoon dengan siap mengajaknya; membawanya kembali ke kerajaan dimana orang-orang tolol akan melihatnya dengan jelas dan berhenti mencemoohnya seakan ia adalah makhluk paling hina di bumi.

Namanya Jake sosok rupawan yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Black Swan yang justru membuatnya terpesona sampai lupa akan larangannya dulu.

Sosok indah yang dengan bangga ia pamerkan kepada rakyatnya. Dan dengan lantang mengatakan bahwa ia adalah kekasih hatinya, cintanya yang akan ia perjuangkan sampai Merlin merengut nyawanya.

Lalu ia menjadi naif, berfikir bahwa Jake adalah cinta sejatinya sampai rela bersujud di bawah kaki sang raja karena ingin membawa Jake pulang. Yang akhirnya di izinkan dengan berbagai syarat yang di perintahkan sang raja.

Ia menjadi naif mengira bahwa rakyat akan menerima Jake si Black Swan dan tidak termakan oleh bualan konyol yang di buat entah siapa itu. Meskipun ia telah di peringati bahwa dirinya terkena sihir dari sang Black Swan Sunghoon tetap tak gugur. Berdiri di samping Jake dan menguatkannya; sama seperti apa yang di lakukan Jake padanya.

Ya, ia terlalu naif karena mengira kalau semua hal yang di lakukan Jake benar terlihat apa adanya. Berfikir kalau lelaki itu selalu bahagia di dekapannya sampai tak menyangka rahasia lain yang di pendam Jake.

Dan ia terlalu naif sampai mengira kalau tak akan ada orang yang akan mengkhianatinya. Karena nyatanya sekarang; cintanya, kekasih hatinya, Black Swan yang malang di bunuh oleh ayahnya sendiri di depan matanya.

“Jake... bangun lah... kumohon...” Sunghoon memapah tubuh Jake yang berdarah di atas pangkuannya.

“Jika kau tidak ada di sampingku, maka dunia ini tak pantas bagiku pijaki.” ujarnya kemudian menusuk dirinya sendiri tepat sama di bagian Jake tertusuk oleh pedang sang Raja.

Di hadapan sang Raja, di hadapan ibunda, dan di hadapan seluruh rakyatnya. Pangeran yang mengatasnamakan sumpah setianya pada Arthur dan kerajaan justru berbanding terbalik pada tindakannya. Karena yang ia lakukan justru mengatakan pada dunia bahwa Jake sang Black Swan adalah cinta sejatinya. Dan akan terus begitu bahkan sampai ke liang lahat.


Dan begitulah cerita yang sesungguhnya berakhir. Cerita yang mengatakan kalau Black Swan tidaklah jahat, tapi dunia ini yang terlalu kejam.

Orang-orang bilang kita tidak boleh melihat tarian dari Black Swan. Tidak, karena nantinya kamu akan terjerat dalam pesonanya.

Orang-orang bilang kalau kita tak boleh mengasihani Black Swan. Tidak, karena ia akan menipumu.

Orang-orang bilang kalau kita tidak boleh berbicara dengan Black Swan. Tidak, karena ia akan menghipnotismu.

Dan orang-orang bilang kalau kita tidak boleh jatuh cinta pada Black Swan. Tidak, karena sekali kau jatuh cinta padanya kau tidak akan bisa lepas lagi darinya.

Dan Sunghoon melanggar semua peraturan di atas.


Di besarkan sebagai pewaris takhta kerajaan, sudah menjadi makanan sehari-hari baginya mendengarkan nasihat ibunda agar lebih berhati-hati dan paham dunia luar. Pangeran itu terlampau tahu tentang rumor-rumor yang beredar di negaranya. Terutama rumor tentang Black Swan—kembaran Odette yang jahat.—

Sejujurnya Sunghoon belum pernah melihatnya secara langsung, dan mungkin ia cukup pesimis dengan pernyataan rakyatnya. Mereka bilang kalau Black Swan adalah seseorang yang sangat cantik namun kejam. Ia di kutuk karena melukai saudarinya sendiri, dan semenjak itu sayap putihnya berubah warna menjadi hitam pekat seolah menunjukan bahwa ia adalah pendosa.

Tidak, awalnya Sunghoon tidak percaya. Menurutnya itu hanyalah legenda; Black Swan dan White Swan sama saja seperti legenda Putri Duyung atau Monster yang dulu sering ibunya ceritakan sebelum ia tidur. Dan sama sekali jauh dari kata realistis di dunia ini.

Ya, setidaknya sampai ia melihat seorang pria menari—dengan sayap berwarna hitam—di pinggir danau. Sunghoon bersumpah atas nama Arthur bahwa ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sosok Black Swan yang sering orang-orang ceritakan. Dan tidak salah; karena Black Swan pada kenyataannya memang sangat cantik.

Sayapnya lebar berwarna hitam pekat namun halus, di kepalanya tertempel bando dengan butiran berlian, tariannya indah, wajahnya cantik, dan senyumnya; senyumnya mampu membuat tawa Sunghoon menguar ke udara bersamaan dengan kepakan sayap kupu-kupu di perutnya.

Tapi mereka tak sepenuhnya benar, karena Black Swan yang ia temui adalah seseorang yang baik. Ia bahkan menolongnya yang terluka karena medan perang. Dengan sigap mengobati lukanya bahkan merawatnya dengan sabar.

Namanya Jake, sosok rupawan yang berhasil membuatnya jatuh cinta. Black Swan yang justru membuatnya terpesona sampai lupa akan larangannya dulu.

Lalu ia menjadi naif. Berfikir bahwa Jake adalah cinta sejatinya sampai rela bersujud di bawah kaki sang Raja karena ingin membawa Jake pulang.

Ia terlalu naif mengira bahwa rakyat akan menerima Jake si Black Swan dan tidak termakan oleh bualan konyol yang di buat entah siapa itu.

Dan ia terlalu naif sampai mengira kalau tak akan ada orang yang akan mengkhianatinya. Karena nyatanya sekarang; cintanya, kekasih hatinya, Black Swan yang malang di bunuh oleh ayahnya sendiri di depan matanya.

“Jake... bangun lah... kumohon...” Sunghoon memapah tubuh Jake di atas pangkuannya.

“Jika kau tidak ada di sampingku, maka dunia ini tak pantas bagiku pijaki.” ujarnya kemudian menusuk dirinya sendiri tepat sama di bagian Jake tertusuk oleh pedang sang Raja.


Dan begitulah cerita yang sesungguhnya berakhir. Cerita yang mengatakan kalau Black Swan tidaklah jahat, tapi dunia ini yang terlalu kejam.


“Bil?”

Raka sama Keenan yang tadinya lagi asik nyemilin kacang sambil ngobrolin Rafathar bareng Bang Sabil, langsung buru-buru kabur begitu mendengar suara tetua mereka memanggil.

“Bang, mas gua ke atas dulu ya.” ujar Raka yang di angguki oleh Sabil dan Yudha.

Keenan ikut membututi Raka ke kamar karena ada orang yang mau ngobrol.

Dalem hati dua-duanya membatin semoga gak ada adegan pecah piring disini.

“Hai Yud.” Sabil melambaikan tangannya yang di balas kekehan ringan Yudha.

“Katanya kamu lagi sakit ya? Sorry tiba-tiba dateng begini.”

Yudha menggeleng, duduk di sofa samping Sabil. “Gak sakit, kecapekan doang dikit.”

“Sama aja! Pasti lembur lagi ya?”

“Kemaren sempet lembur sih dua hari, eh sekarang malah tumbang.”

Sabil menghela nafas, “Don't take a preasure too much Yud, kamu juga harus peduli sama kesehatanmu. Emangnya kamu robot?”

Yudha terkekeh, “Cuma itu cara yang bisa aku lakuin buat lupain kamu.”

Suasana hening seketika, Yudha sibuk memandang tv yang sedang menampilkan iklan oky jelly drink sedangkan Sabil tak tahu harus menjawab apa dengan pernyataan dari Yudha.

“Kamu ngapain kesini?” tanya Yudha; tanpa ada niat menyinggung.

“Emangnya salah ya kalau aku dateng?” tanya Sabil balik.

Yudha menggeleng, “Gak salah, tapi anak kontrakan pada takut tiap kamu dateng.”

Sabil terkekeh, netranya mengarah pada tangga. Lantai dua yang paling banyak kamarnya. “Emangnya aku seserem itu ya?”

“Kalau Wira sama Adnan ribut palingan adu mulut doang, kamu kemarin hampir bikin dapur kena gempa dadakan.”

Yudha menyender pada sofa, memposisikan dirinya dengan nyaman sembari mengganti channel tv. Apapun deh yang bikin dia gak terlalu merhatiin cowok di sampingnya ini.

“Maaf ya, aku waktu itu kacau banget.”

“Iya gapapa aku paham kok.”

Lelaki yang lebih tinggi dari Yeonjun itu memainkan tumit kakinya dengan gusar. Sedikit mencuri pandang pada Yudha di sebelahnya yang daritadi tak menatapnya saat berbicara, cowok itu malah asyik menonton tv meskipun Sabil tahu bahwa fikirannya tak benar-benar tertuju pada tayangan di layar kaca.

“Aku kangen, Yud...” lirih Sabil.

Yudha menoleh sekilas. “Kamu udah ketemu calon istrimu belom?” tanyanya sengaja mengganti topik.

Jujur pernyataan dari Sabil malah semakin membuat hatinya sakit. Cowok yang pernah menjalin kasih padanya selama bertahun-tahun harus kandas hanya karena orang tua Sabil melarang Sabil gay. Society memang semenyakitkan itu.

Jadi daripada mengatakan hal-hal yang mungkin tidak bisa mereka gapai lagi, lebih baik memandang realita yang ada.

“Yud, aku kangen kamu.”

“Sabil, gimana proses pernikahanmu?” Ditatapnya si manis yang kini justru menahan air matanya.

“Aku kangen kamu.” ujar Sabil lagi.

Yudha menghela nafas, “Bil, please.”

Seharusnya Yudha menahan Sabil. Seharusnya Yudha pergi saat Sabil mulai mendekatkan diri padanya sebelum lelaki itu menciumnya lebih dulu. Dan seharusnya Yudha tak membalas ciuman itu dengan sama kuatnya.

Karena yang terakhir Yudha tahu adalah ia yang menarik tangan Sabil ke kamarnya dan akan menyesali keputusan itu esok harinya.

Seberapa keras Yudha mencoba menolak Sabil tetap saja jalannya selalu terarah pada lelaki itu.

“it's 11:11 Sunghoon! make a wish!”

Some people believe 11:11 is a magic number or lucky time of day, good for making a wish... or express your feelings.


Suasana kelas kali ini tampak lebih lenggang dengan hanya ada dua anak manusia di kelas yang masih sibuk berkutat pada tugas geometrinya masing-masing.

Hukuman karena tadi mereka telat masuk sekolah. Alhasil tugas geometri dan segala anak-anaknya jadi alasan utama mereka harus tinggal di kelas lebih lama.

“Selesai!” seru salah satu dari mereka sembari meletakan pulpennya di atas meja.

Yang satu lagi menoleh cuek, dengan cepat mengambil buku sebelahnya guna di conteki.

“Yeh, jangan nyontek dong!”

“Biar cepet.” balas Sunghoon.

Kemudian pala Sunghoon justru di timpuk oleh tempat pensil si pemilik buku yang di conteki.

“Sampah kuacinya jangan di buang sembarangan.” seru Sunghoon ketika melihat pemuda itu mulai membuka bungkus kuacinya.

Nungguin Sunghoon lama. Mulutnya pengen ngunyah biar gak bosen. Lagian Sunghoon gak akan terganggu juga hanya karena suara biji kuaci yang bergesekan dengan giginya.

Pemuda itu nyengir, lalu langsung buru-buru mengambil piring kecil sebagai alas untuk sampah-sampah kuacinya di kumpulkan. Biar gak berterbaran aja sih.

“Mau gak?” tawar si manis yang di balas gelengan oleh Sunghoon.

“Lo jangan sering-sering makan kuaci, nanti batuk.” kata Sunghoon menasehati.

Pemuda yang lebih kecil itu mendengus, “Gue gak makan banyak-banyak kok.” belanya.

“Lo beli tiga bungkus dan sekarang sisa satu. Lo ngabisin semuanya sendiri, Jake.” Si tinggi melirik ke meja sebelahnya dimana ada bungkusan kuaci besar beserta sampahnya yang belum di buang.

Anehnya pemuda ini memakannya dengan sangat cepat, padahal isi kuacinya itu banyak.

“Lo yang gue tawarin gak mau.”

Sunghoon merotasikan bola matanya malas, “Terserah deh, kalo batuk jangan ngeluh sama gue.”

Jake mendelik, “Gue punya pacar. Ngapain harus ngeluh ke lo?”

Pernyataan Jake seketika membuat Sunghoon bungkam. Bibirnya yang tadi ingin membalas debatannya seketika menjadi keluh, seolah seluruh kata-katanya terserap habis ke inti bumi.

Lagipula benar juga, pemuda di sampingnya ini sudah punya pacar—yang bahkan menjaganya dengan baik.—Lantas mengapa harus ia yang sibuk sendiri perihal temannya ini akan batuk atau tidak? Bukan tugasnya mengkhawatirkannya.

“Hoon, sekarang jam berapa?” tanya si mungil tiba-tiba.

Sunghoon melihat arloji di pergelangan tangannya, “jam sebelas.”

“Sebentar lagi jam 11 kembar.” ujar pemuda manis itu masih sambil mengunyah biji kuaci.

Sunghoon mengernyit; tak mengerti. “Emangnya kenapa kalau jam 11 kembar?”

“Katanya bisa ngabulin permintaan lo.”

Lagi, ia semakin tak mengerti. Memangnya ada permintaan yang terkabul hanya karena angka 11 yang sama?

“Kaya bintang jatuh gitu ya?”

“Iyaa!” jawab si manis heboh.

Sunghoon menggeleng, “Gue gak percaya kaya gitu.”

Si manis malah mendelik sebal, “lo gak perlu percaya, cukup lakuin apa yang gue lakuin.”

Hah?

Apa maksudnya dari tidak usah mempercayai suatu hal tapi di suruh mengikutinya? Bukankah seseorang yang mengikuti orang lain itu berarti ia percaya pada hal tersebut? Atau lebih pada; ia yang juga mempercayai segala hal yang berkaitan padanya.

Seperti Sunghoon yang entah kenapa justru mengikuti permintaan Jake untuk menautkan kedua jemarinya sendiri—berpose seperti sedang berdoa—sembari mulutnya merapalkan kata demi kata yang diinginkan. Gerakan yang sama yang juga di lakukan Jake sambil menghadap langit-langit kelas.

“It's 11:11 Sunghoon! let's make a wish!” ucap Jake kemudian mulai menutup matanya.

Namun bukannya menuruti perkataan si manis, Sunghoon justru membeku di tempat dengan iris jelaganya yang tak beranjak dari wajah manis Jake barang seincipun.

Di pandangan Sunghoon saat ini; ada sosok manis yang memejamkan mata sembari mulutnya komat-kamit membentuk serangkai harapan.

Tangannya saling bertautan, wajahnya menghadap langit dan sinar matahari yang merembet melalui jendela menerpa wajahnya; menyinarinya seolah ia adalah malaikat yang turun dari surga. Berdoa demi keselamatan umat manusia.

Cantik.

Jake di hadapannya lebih cantik dan manis dari artis-artis di tv yang suka ia tonton.

Tingkah laku dari si manis menghantarkan euforia tersendiri bagi Sunghoon. Kepakan sayap ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi perutnya. Membuat senyum si empu terbit di bibirnya.

Hanya melihatnya dari jarak sedekat ini saja ia sudah merasa di awang-awang. Bagaimana jika pemuda itu justru membalas perasaannya? Mungkin Sunghoon tak akan waras lagi.

Bibir itu masih tak berhenti komat-kamit, dan Sunghoon masih setia memandanginya. Rasanya ia ingin menarik wajah manis pemuda itu dan membungkam bibir pulm itu dengan bibirnya.

Kira-kira bagaimana ya rasa bibir Jake? Apakah bibir Jake akan semanis madu yang ia coba tempo hari? Atau malah akan bercampur pada rasa asam dan manis seperti wine yang pernah ia minum?

Sunghoon masih asyik memandanginya dalam diam. Tak ada seincipun dari wajah Jake yang terlewatkan oleh jelaganya.

Kelopak mata Jake terpejam; terlihat menenangkan untuk Sunghoon. Ah bahkan saat iris coklat indahnya bersembunyi Sunghoon masih bisa masih bisa terpana. Sunghoon akui, Jake memiliki iris paling indah yang pernah liat, warna coklat itu selalu bisa memerangkapnya. Lembut dan hangat membuatnya jatuh pada si pesona berkali-kali.

Dan jangan lupakan hidung bengir yang menggemaskan, membuat sang adam tampak sempurna tanpa cacat.

Sunghoon setia memandangi wajah si manis. Sampai Jake mengintip; ia langsung berpura-pura mengikuti apa yang Jake lakukan tadi.

Bibirnya komat kamit entah berkata apa, ia juga tidak mengerti. Jantungnya langsung berdetak tak karuan ketika iris yang tadi ia kagumi menciduknya.

Sunghoon menghentikan kegiatannya, saat Jake sudah selesai.

“Udah?” tanya Jake.

Sunghoon mengangguk.

“Lo minta apa?”

“Emang boleh di kasih tahu?” tanya Sunghoon.

Jake mengedikan bahu, “Gak tau, boleh kali.”

“Gue gak penting. Kalo gitu lo dulu.”

Jake mengerucutkan bibir, “Penting tau! Gue dulu deh yang bilang.”

“Gue minta supaya kita lulus bareng-bareng dan berhasil dapet kampus yang kita mau.”

”—Lo bilang mau jadi astronot, jadi gue doain supaya lo cepet-cepet ke pluto.” lanjut Jake.

Sunghoon terkekeh, “Gua bawa lo kalo gitu.”

“Mana bisa!”

“Gue selipin di roket.”

Jake merotasikan bola mata; malas. “Sekarang gantian lo.”

“Gue gak penting, Jake.”

“Gue kan udah bilang, lo juga harus bilang lah!”

Sunghoon menghela nafas, sedikit bimbang namun tetap menuruti perkataan si manis. “Lo yakin gue boleh jujur?”

“Harus jujur! So, apa permintaan lo?”

“Lo jadi pacar gue.”

Jawaban Sunghoon seketika membuat senyuman Jake di wajahnya luntur seketika. Sepersekon kemudian matanya membulat lalu berganti dengan wajah cemberut. Semuanya tak lepas dari pandangan Sunghoon.

“Lo...” lirih Jake.

“Maaf.”

Jake menunduk, air mukanya mulai terlihat muram.

“Lupain yang tadi, gue cuma bercanda.”

“Bercanda lo gak lucu.”

“Maaf, gue cuma gak tau harus minta apa.”

Jake bergumam, tak mau melanjuti obrolan ini. Auranya masih terasa kelabu.

Sedangkan Sunghoon merutuki kebodohannya sendiri yang dengan berani mengucapakan kata-kata sakral itu.

Ia tahu. Tidak, mereka berdua lebih dari tahu tentang hubungan ini. Mereka jauh dari kata teman, namun rasanya kata pacar juga tak jauh lebih buruk.

Hubungan ini rumit, lebih rumit dari ikatan persaudaraan lebih rumit dari kata-kata sahabat. Ia tahu, dunianya dan Jake juga berbeda. Mau bagaimanapun, memang tak akan ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan mereka.

Mereka memang saling mencintai; namun tak akan pernah saling memiliki. Terlalu banyak benang kusut yang hadir diantara mereka. Sehingga terlalu sulit bagi mereka merangkai cerita.

“Jake, maaf.” tangan Sunghoon mengusap bahunya yang gemetar.

“Iya, gue maafin.”

“Kalau gitu jangan nunduk dong.”

Dapat Sunghoon lihat tangan Jake yang mengelap matanya. Lalu ia mendongak, menunjukan matanya yang sembab karena air mata yang terlalu lama berucucuran. Pipinya basah dan hidung bengir itu memerah. Membuat Sunghoon meringis melihatnya.

“Maaf. Jangan nangis, gue makin merasa bersalah.” sesal Sunghoon.

“Lo sih jahat banget.”

“Iya gue jahat, gue minta maaf ya.”

Pemuda itu mengangguk sembari menyeka sisa air matanya. “Udah ah jangan minta maaf mulu, kaya mau lebaran aja lo.”

Sunghoon tersenyum simpul; menghela nafas lega. Si manis telah kembali.

Lalu ia langsung memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, tugas menyalinnya sudah selesai. Dan Jake juga yang sama mengikutinya.

“Ayo pulang.” kata Sunghoon melangkah lebih dulu.

Jake mengikutinya dari belakang, sebelum langkahnya terhenti karena Jake yang tiba-tiba menahan seragam belakangnya.

“Kenapa?” tanya Sunghoon.

Jake menatapnya, “Lo beneran berharap itu?”

“Kalo iya, lo bakal percaya?”

Jake menjilat bibirnya sendiri. “Gue... gak tau...” lirihnya.

Sunghoon melengos, “Gak usah di pikirin.”

“Tapi kalau terkabul gimana?” tanya Jake.

“Kalau gitu gue bakal di tonjok Jay.” balas Sunghoon.

Jake tertawa, entah kenapa Sunghoon juga ikut tertawa padahal tidak ada lucu-lucunya.

Dan pergelangan tangannya di genggam oleh si mungil, “Ayo pulang!” seru Jake sembari menarik tangannya.

Dari belakang; Sunghoon dapat melihat bagaimana tangan besarnya di tarik oleh tangan mungil pemuda manis ini.

Sunghoon menyukainya.

Menyukai bagaimana permukaan kulit mereka saling bersentuhan.

Sunghoon menyukai bagaimana suara si mungil terdengar seperti lagu yang mengalun lembut di telinganya.

Sunghoon menyukai cara pemuda itu tersenyum dan tertawa dengan candaan yang bahkan tidak lucu sama sekali.

Dan ia menyukai cara pemuda itu menatapnya dengan iris seindah gurun pasir. Perasaan yang timbul antara senang, marah, sedih dan kecewa dapat tergambarkan jelas dari balik matanya. Seolah ada cermin yang dapat mengetahui segalanya.

Ya. Semua yang ada dalam diri Jake akan selalu di sukai oleh Sunghoon. Bahkan meskipun ia tahu bahwa pemuda itu bukan miliknya, ia masih akan tetap menyukainya.

Seperti bunga matahari yang selalu mengikuti arah bergeraknya matahari.

Maka Sunghoon akan selalu seperti itu, entah kemana pemuda itu akan membawanya pergi ia akan selalu menyukainya.

Karena waktunya di dunia tak akan lama lagi. Maka ia memutuskan untuk terus mengikuti sang mentari agar bisa merasakan hangatnya lebih lama.

Sebelum dirinya tenggelam dalam kedinginan malam.

“it's 11:11 Sunghoon! make a wish!”

Some people believe 11:11 is a magic number or lucky time of day, good for making a wish... or express your feelings.


Suasana kelas kali ini tampak lebih lenggang dengan hanya ada dua anak manusia di kelas yang masih sibuk berkutat pada tugas geometrinya masing-masing.

Hukuman karena tadi mereka telat masuk sekolah. Alhasil tugas geometri dan segala anak-anaknya jadi alasan utama mereka harus tinggal di kelas lebih lama.

“Selesai!” seru salah satu dari mereka sembari meletakan pulpennya di atas meja.

Yang satu lagi menoleh cuek, dengan cepat mengambil buku sebelahnya guna di conteki.

“Yeh, jangan nyontek dong!”

“Biar cepet.” balas Sunghoon.

Kemudian pala Sunghoon justru di timpuk oleh tempat pensil si pemilik buku yang di conteki.

“Sampah kuacinya jangan di buang sembarangan.” seru Sunghoon ketika melihat pemuda itu mulai membuka bungkus kuacinya.

Nungguin Sunghoon lama. Mulutnya pengen ngunyah biar gak bosen. Lagian Sunghoon gak akan terganggu juga hanya karena suara biji kuaci yang bergesekan dengan giginya.

Pemuda itu nyengir, lalu langsung buru-buru mengambil piring kecil sebagai alas untuk sampah-sampah kuacinya di kumpulkan. Biar gak berterbaran aja sih.

“Mau gak?” tawar si manis yang di balas gelengan oleh Sunghoon.

“Lo jangan sering-sering makan kuaci, nanti batuk.” kata Sunghoon menasehati.

Pemuda yang lebih kecil itu mendengus, “Gue gak makan banyak-banyak kok.” belanya.

“Lo beli tiga bungkus dan sekarang sisa satu. Lo ngabisin semuanya sendiri, Jake.” Si tinggi melirik ke meja sebelahnya dimana ada bungkusan kuaci besar beserta sampahnya yang belum di buang.

Anehnya pemuda ini memakannya dengan sangat cepat, padahal isi kuacinya itu banyak.

“Lo yang gue tawarin gak mau.”

Sunghoon merotasikan bola matanya malas, “Terserah deh, kalo batuk jangan ngeluh sama gue.”

Jake mendelik, “Gue punya pacar. Ngapain harus ngeluh ke lo?”

Pernyataan Jake seketika membuat Sunghoon bungkam. Bibirnya yang tadi ingin membalas debatannya seketika menjadi keluh, seolah seluruh kata-katanya terserap habis ke inti bumi.

Lagipula benar juga, pemuda di sampingnya ini sudah punya pacar—yang bahkan menjaganya dengan baik.—Lantas mengapa harus ia yang sibuk sendiri perihal temannya ini akan batuk atau tidak? Bukan tugasnya mengkhawatirkannya.

“Hoon, sekarang jam berapa?” tanya si mungil tiba-tiba.

Sunghoon melihat arloji di pergelangan tangannya, “jam sebelas.”

“Sebentar lagi jam 11 kembar.” ujar pemuda manis itu masih sambil mengunyah biji kuaci.

Sunghoon mengernyit; tak mengerti. “Emangnya kenapa kalau jam 11 kembar?”

“Katanya bisa ngabulin permintaan lo.”

Lagi, ia semakin tak mengerti. Memangnya ada permintaan yang terkabul hanya karena angka 11 yang sama?

“Kaya bintang jatuh gitu ya?”

“Iyaa!” jawab si manis heboh.

Sunghoon menggeleng, “Gue gak percaya kaya gitu.”

Si manis malah mendelik sebal, “lo gak perlu percaya, cukup lakuin apa yang gue lakuin.”

Hah?

Apa maksudnya dari tidak usah mempercayai suatu hal tapi di suruh mengikutinya? Bukankah seseorang yang mengikuti orang lain itu berarti ia percaya pada hal tersebut? Atau lebih pada; ia yang juga mempercayai segala hal yang berkaitan padanya.

Seperti Sunghoon yang entah kenapa justru mengikuti permintaan Jake untuk menautkan kedua jemarinya sendiri—berpose seperti sedang berdoa—sembari mulutnya merapalkan kata demi kata yang diinginkan. Gerakan yang sama yang juga di lakukan Jake sambil menghadap langit-langit kelas.

“It's 11:11 Sunghoon! let's make a wish!” ucap Jake kemudian mulai menutup matanya.

Namun bukannya menuruti perkataan si manis, Sunghoon justru membeku di tempat dengan iris jelaganya yang tak beranjak dari wajah manis Jake barang seincipun.

Di pandangan Sunghoon saat ini; ada sosok manis yang memejamkan mata sembari mulutnya komat-kamit membentuk serangkai harapan.

Tangannya saling bertautan, wajahnya menghadap langit dan sinar matahari yang merembet melalui jendela menerpa wajahnya; menyinarinya seolah ia adalah malaikat yang turun dari surga. Berdoa demi keselamatan umat manusia.

Cantik.

Jake di hadapannya lebih cantik dan manis dari artis-artis di tv yang suka ia tonton.

Tingkah laku dari si manis menghantarkan euforia tersendiri bagi Sunghoon. Kepakan sayap ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi perutnya. Membuat senyum si empu terbit di bibirnya.

Hanya melihatnya dari jarak sedekat ini saja ia sudah merasa di awang-awang. Bagaimana jika pemuda itu justru membalas perasaannya? Mungkin Sunghoon tak akan waras lagi.

Bibir itu masih tak berhenti komat-kamit, dan Sunghoon masih setia memandanginya. Rasanya ia ingin menarik wajah manis pemuda itu dan membungkam bibir pulm itu dengan bibirnya.

Kira-kira bagaimana ya rasa bibir Jake? Apakah bibir Jake akan semanis madu yang ia coba tempo hari? Atau malah akan bercampur pada rasa asam dan manis seperti wine yang pernah ia minum?

Sunghoon masih asyik memandanginya dalam diam. Tak ada seincipun dari wajah Jake yang terlewatkan oleh jelaganya.

Kelopak mata Jake terpejam; terlihat menenangkan untuk Sunghoon. Ah bahkan saat iris coklat indahnya bersembunyi Sunghoon masih bisa masih bisa terpana. Sunghoon akui, Jake memiliki iris paling indah yang pernah liat, warna coklat itu selalu bisa memerangkapnya. Lembut dan hangat membuatnya jatuh pada si pesona berkali-kali.

Dan jangan lupakan hidung bengir yang menggemaskan, membuat sang adam tampak sempurna tanpa cacat.

Sunghoon setia memandangi wajah si manis. Sampai Jake mengintip; ia langsung berpura-pura mengikuti apa yang Jake lakukan tadi.

Bibirnya komat kamit entah berkata apa, ia juga tidak mengerti. Jantungnya langsung berdetak tak karuan ketika iris yang tadi ia kagumi menciduknya.

Sunghoon menghentikan kegiatannya, saat Jake sudah selesai.

“Udah?” tanya Jake.

Sunghoon mengangguk.

“Lo minta apa?”

“Emang boleh di kasih tahu?” tanya Sunghoon.

Jake mengedikan bahu, “Gak tau, boleh kali.”

“Gue gak penting. Kalo gitu lo dulu.”

Jake mengerucutkan bibir, “Penting tau! Gue dulu deh yang bilang.”

“Gue minta supaya kita lulus bareng-bareng dan berhasil dapet kampus yang kita mau.”

”—Lo bilang mau jadi astronot, jadi gue doain supaya lo cepet-cepet ke pluto.” lanjut Jake.

Sunghoon terkekeh, “Gua bawa lo kalo gitu.”

“Mana bisa!”

“Gue selipin di roket.”

Jake merotasikan bola mata; malas. “Sekarang gantian lo.”

“Gue gak penting, Jake.”

“Gue kan udah bilang, lo juga harus bilang lah!”

Sunghoon menghela nafas, sedikit bimbang namun tetap menuruti perkataan si manis. “Lo yakin gue boleh jujur?”

“Harus jujur! So, apa permintaan lo?”

“Lo jadi pacar gue.”

Jawaban Sunghoon seketika membuat senyuman Jake di wajahnya luntur seketika. Sepersekon kemudian matanya membulat lalu berganti dengan wajah cemberut. Semuanya tak lepas dari pandangan Sunghoon.

“Lo...” lirih Jake.

“Maaf.”

Jake menunduk, air mukanya mulai terlihat muram.

“Lupain yang tadi, gue cuma bercanda.”

“Bercanda lo gak lucu.”

“Maaf, gue cuma gak tau harus minta apa.”

Jake bergumam, tak mau melanjuti obrolan ini. Auranya masih terasa kelabu.

Sedangkan Sunghoon merutuki kebodohannya sendiri yang dengan berani mengucapakan kata-kata sakral itu.

Ia tahu. Tidak, mereka berdua lebih dari tahu tentang hubungan ini. Mereka jauh dari kata teman, namun rasanya kata pacar juga tak jauh lebih buruk.

Hubungan ini rumit, lebih rumit dari ikatan persaudaraan lebih rumit dari kata-kata sahabat. Ia tahu, dunianya dan Jake juga berbeda. Mau bagaimanapun, memang tak akan ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan mereka.

Mereka memang saling mencintai; namun tak akan pernah saling memiliki. Terlalu banyak benang kusut yang hadir diantara mereka. Sehingga terlalu sulit bagi mereka merangkai cerita.

“Jake, maaf.” tangan Sunghoon mengusap bahunya yang gemetar.

“Iya, gue maafin.”

“Kalau gitu jangan nunduk dong.”

Dapat Sunghoon lihat tangan Jake yang mengelap matanya. Lalu ia mendongak, menunjukan matanya yang sembab karena air mata yang terlalu lama berucucuran. Pipinya basah dan hidung bengir itu memerah. Membuat Sunghoon meringis melihatnya.

“Maaf. Jangan nangis, gue makin merasa bersalah.” sesal Sunghoon.

“Lo sih jahat banget.”

“Iya gue jahat, gue minta maaf ya.”

Pemuda itu mengangguk sembari menyeka sisa air matanya. “Udah ah jangan minta maaf mulu, kaya mau lebaran aja lo.”

Sunghoon tersenyum simpul; menghela nafas lega. Si manis telah kembali.

Lalu ia langsung memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, tugas menyalinnya sudah selesai. Dan Jake juga yang sama mengikutinya.

“Ayo pulang.” kata Sunghoon melangkah lebih dulu.

Jake mengikutinya dari belakang, sebelum langkahnya terhenti karena Jake yang tiba-tiba menahan seragam belakangnya.

“Kenapa?” tanya Sunghoon.

Jake menatapnya, “Lo beneran berharap itu?”

“Kalo iya, lo bakal percaya?”

Jake menjilat bibirnya sendiri. “Gue... gak tau...” lirihnya.

Sunghoon melengos, “Gak usah di pikirin.”

“Tapi kalau terkabul gimana?” tanya Jake.

“Kalau gitu gue bakal di tonjok Jay.” balas Sunghoon.

Jake tertawa, entah kenapa Sunghoon juga ikut tertawa padahal tidak ada lucu-lucunya.

Dan pergelangan tangannya di genggam oleh si mungil, “Ayo pulang!” seru Jake sembari menarik tangannya.

Dari belakang; Sunghoon dapat melihat bagaimana tangan besarnya di tarik oleh tangan mungil pemuda manis ini.

Sunghoon menyukainya.

Menyukai bagaimana permukaan kulit mereka saling menyentuh.

Sunghoon menyukai bagaimana suara si mungil terdengar seperti lagu yang mengalun lembut di telinganya.

Sunghoon menyukai cara pemuda itu tersenyum dan tertawa dengan candaan yang bahkan tidak lucu sama sekali.

Dan ia menyukai cara pemuda itu menatapnya dengan iris seindah gurun pasir. Perasaan yang timbul antara senang, marah, sedih dan kecewa dapat tergambarkan jelas dari balik matanya. Seolah ada cermin yang dapat mengetahui segalanya.

Ya. Semua yang ada dalam diri Jake akan selalu di sukai oleh Sunghoon. Bahkan meskipun ia tahu bahwa pemuda itu bukan miliknya, ia masih akan tetap menyukainya.

Seperti bunga matahari yang selalu mengikuti arah bergeraknya matahari.

Maka Sunghoon akan selalu seperti itu, entah kemana pemuda itu akan membawanya pergi ia akan selalu menyukainya.

Karena waktunya di dunia tak akan lama lagi. Maka ia memutuskan untuk terus mengikuti sang mentari agar bisa merasakan hangatnya lebih lama.

Sebelum dirinya tenggelam dalam kedinginan malam.

  • “it's 11:11 Sunghoon! make a wish!” *

Suasana kelas kali ini tampak lebih lenggang dengan hanya ada dua anak manusia di kelas yang masih sibuk berkutat pada tugas geometrinya masing-masing.

Hukuman karena tadi mereka telat masuk sekolah. Alhasil tugas geometri dan segala anak-anaknya jadi alasan utama mereka harus tinggal di kelas lebih lama.

“Selesai!” seru salah satu dari mereka sembari meletakan pulpennya di atas meja.

Yang satu lagi menoleh cuek, dengan cepat mengambil buku sebelahnya guna di conteki.

“Yeh, jangan nyontek dong!”

“Biar cepet.” balas Sunghoon.

Kemudian pala Sunghoon justru di timpuk oleh tempat pensil si pemilik buku yang di conteki.

“Sampah kuacinya jangan di buang sembarangan.” seru Sunghoon ketika melihat pemuda itu mulai membuka bungkus kuacinya.

Nungguin Sunghoon lama. Mulutnya pengen ngunyah biar gak bosen. Lagian Sunghoon gak akan terganggu juga hanya karena suara biji kuaci yang bergesekan dengan giginya.

Pemuda itu nyengir, lalu langsung buru-buru mengambil piring kecil sebagai alas untuk sampah-sampah kuacinya di kumpulkan. Biar gak berterbaran aja sih.

“Mau gak?” tawar si manis yang di balas gelengan oleh Sunghoon.

“Lo jangan sering-sering makan kuaci, nanti batuk.” kata Sunghoon menasehati.

Pemuda yang lebih kecil itu mendengus, “Gue gak makan banyak-banyak kok.” belanya.

“Lo beli tiga bungkus dan sekarang sisa satu. Lo ngabisin semuanya sendiri, Jake.” Si tinggi melirik ke meja sebelahnya dimana ada bungkusan kuaci besar beserta sampahnya yang belum di buang.

Anehnya pemuda ini memakannya dengan sangat cepat, padahal isi kuacinya itu banyak.

“Lo yang gue tawarin gak mau.”

Sunghoon merotasikan bola matanya malas, “Terserah deh, kalo batuk jangan ngeluh sama gue.”

Jake mendelik, “Gue punya pacar. Ngapain harus ngeluh ke lo?”

Pernyataan Jake seketika membuat Sunghoon bungkam. Bibirnya yang tadi ingin membalas debatannya seketika menjadi keluh, seolah seluruh kata-katanya terserap habis ke inti bumi.

Lagipula benar juga, pemuda di sampingnya ini sudah punya pacar—yang bahkan menjaganya dengan baik.—Lantas mengapa harus ia yang sibuk sendiri perihal temannya ini akan batuk atau tidak? Bukan tugasnya mengkhawatirkannya.

“Hoon, sekarang jam berapa?” tanya si mungil tiba-tiba.

Sunghoon melihat arloji di pergelangan tangannya, “jam sebelas.”

“Sebentar lagi jam 11 kembar.” ujar pemuda manis itu masih sambil mengunyah biji kuaci.

Sunghoon mengernyit; tak mengerti. “Emangnya kenapa kalau jam 11 kembar?”

“Katanya bisa ngabulin permintaan lo.”

Lagi, ia semakin tak mengerti. Memangnya ada permintaan yang terkabul hanya karena angka 11 yang sama?

“Kaya bintang jatuh gitu ya?”

“Iyaa!” jawab si manis heboh.

Sunghoon menggeleng, “Gue gak percaya kaya gitu.”

Si manis malah mendelik sebal, “lo gak perlu percaya, cukup lakuin apa yang gue lakuin.”

Hah?

Apa maksudnya dari tidak usah mempercayai suatu hal tapi di suruh mengikutinya? Bukankah seseorang yang mengikuti orang lain itu berarti ia percaya pada hal tersebut? Atau lebih pada; ia yang juga mempercayai segala hal yang berkaitan padanya.

Seperti Sunghoon yang entah kenapa justru mengikuti permintaan Jake untuk menautkan kedua jemarinya sendiri—berpose seperti sedang berdoa—sembari mulutnya merapalkan kata demi kata yang diinginkan. Gerakan yang sama yang juga di lakukan Jake sambil menghadap langit-langit kelas.

“It's 11:11 Sunghoon! let's make a wish!” ucap Jake kemudian mulai menutup matanya.

Namun bukannya menuruti perkataan si manis, Sunghoon justru membeku di tempat dengan iris jelaganya yang tak beranjak dari wajah manis Jake barang seincipun.

Di pandangan Sunghoon saat ini; ada sosok manis yang memejamkan mata sembari mulutnya komat-kamit membentuk serangkai harapan.

Tangannya saling bertautan, wajahnya menghadap langit dan sinar matahari yang merembet melalui jendela menerpa wajahnya; menyinarinya seolah ia adalah malaikat yang turun dari surga. Berdoa demi keselamatan umat manusia.

Cantik.

Jake di hadapannya lebih cantik dan manis dari artis-artis di tv yang suka ia tonton.

Tingkah laku dari si manis menghantarkan euforia tersendiri bagi Sunghoon. Kepakan sayap ribuan kupu-kupu berterbangan memenuhi perutnya. Membuat senyum si empu terbit di bibirnya.

Hanya melihatnya dari jarak sedekat ini saja ia sudah merasa di awang-awang. Bagaimana jika pemuda itu justru membalas perasaannya? Mungkin Sunghoon tak akan waras lagi.

Bibir itu masih tak berhenti komat-kamit, dan Sunghoon masih setia memandanginya. Rasanya ia ingin menarik wajah manis pemuda itu dan membungkam bibir pulm itu dengan bibirnya.

Kira-kira bagaimana ya rasa bibir Jake? Apakah bibir Jake akan semanis madu yang ia coba tempo hari? Atau malah akan bercampur pada rasa asam dan manis seperti wine yang pernah ia minum?

Sunghoon masih asyik memandanginya dalam diam. Tak ada seincipun dari wajah Jake yang terlewatkan oleh jelaganya.

Kelopak mata Jake terpejam; terlihat menenangkan untuk Sunghoon. Ah bahkan saat iris coklat indahnya bersembunyi Sunghoon masih bisa masih bisa terpana. Sunghoon akui, Jake memiliki iris paling indah yang pernah liat, warna coklat itu selalu bisa memerangkapnya. Lembut dan hangat membuatnya jatuh pada si pesona berkali-kali.

Dan jangan lupakan hidung bengir yang menggemaskan, membuat sang adam tampak sempurna tanpa cacat.

Sunghoon setia memandangi wajah si manis. Sampai Jake mengintip; ia langsung berpura-pura mengikuti apa yang Jake lakukan tadi.

Bibirnya komat kamit entah berkata apa, ia juga tidak mengerti. Jantungnya langsung berdetak tak karuan ketika iris yang tadi ia kagumi menciduknya.

Sunghoon menghentikan kegiatannya, saat Jake sudah selesai.

“Udah?” tanya Jake.

Sunghoon mengangguk.

“Lo minta apa?”

“Emang boleh di kasih tahu?” tanya Sunghoon.

Jake mengedikan bahu, “Gak tau, boleh kali.”

“Gue gak penting. Kalo gitu lo dulu.”

Jake mengerucutkan bibir, “Penting tau! Gue dulu deh yang bilang.”

“Gue minta supaya kita lulus bareng-bareng dan berhasil dapet kampus yang kita mau.”

”—Lo bilang mau jadi astronot, jadi gue doain supaya lo cepet-cepet ke pluto.” lanjut Jake.

Sunghoon terkekeh, “Gua bawa lo kalo gitu.”

“Mana bisa!”

“Gue selipin di roket.”

Jake merotasikan bola mata; malas. “Sekarang gantian lo.”

“Gue gak penting, Jake.”

“Gue kan udah bilang, lo juga harus bilang lah!”

Sunghoon menghela nafas, sedikit bimbang namun tetap menuruti perkataan si manis. “Lo yakin gue boleh jujur?”

“Harus jujur! So, apa permintaan lo?”

“Lo jadi pacar gue.”

Jawaban Sunghoon seketika membuat senyuman Jake di wajahnya luntur seketika. Sepersekon kemudian matanya membulat lalu berganti dengan wajah cemberut. Semuanya tak lepas dari pandangan Sunghoon.

“Lo...” lirih Jake.

“Maaf.”

Jake menunduk, air mukanya mulai terlihat muram.

“Lupain yang tadi, gue cuma bercanda.”

“Bercanda lo gak lucu.”

“Maaf, gue cuma gak tau harus minta apa.”

Jake bergumam, tak mau melanjuti obrolan ini. Auranya masih terasa kelabu.

Sedangkan Sunghoon merutuki kebodohannya sendiri yang dengan berani mengucapakan kata-kata sakral itu.

Ia tahu. Tidak, mereka berdua lebih dari tahu tentang hubungan ini. Mereka jauh dari kata teman, namun rasanya kata pacar juga tak jauh lebih buruk.

Hubungan ini rumit, lebih rumit dari ikatan persaudaraan lebih rumit dari kata-kata sahabat. Ia tahu, dunianya dan Jake juga berbeda. Mau bagaimanapun, memang tak akan ada kalimat yang cocok untuk menggambarkan mereka.

Mereka memang saling mencintai; namun tak akan pernah saling memiliki. Terlalu banyak benang kusut yang hadir diantara mereka. Sehingga terlalu sulit bagi mereka merangkai cerita.

“Jake, maaf.” tangan Sunghoon mengusap bahunya yang gemetar.

“Iya, gue maafin.”

“Kalau gitu jangan nunduk dong.”

Dapat Sunghoon lihat tangan Jake yang mengelap matanya. Lalu ia mendongak, menunjukan matanya yang sembab karena air mata yang terlalu lama berucucuran. Pipinya basah dan hidung bengir itu memerah. Membuat Sunghoon meringis melihatnya.

“Maaf. Jangan nangis, gue makin merasa bersalah.” sesal Sunghoon.

“Lo sih jahat banget.”

“Iya gue jahat, gue minta maaf ya.”

Pemuda itu mengangguk sembari menyeka sisa air matanya. “Udah ah jangan minta maaf mulu, kaya mau lebaran aja lo.”

Sunghoon tersenyum simpul; menghela nafas lega. Si manis telah kembali.

Lalu ia langsung memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, tugas menyalinnya sudah selesai. Dan Jake juga yang sama mengikutinya.

“Ayo pulang.” kata Sunghoon melangkah lebih dulu.

Jake mengikutinya dari belakang, sebelum langkahnya terhenti karena Jake yang tiba-tiba menahan seragam belakangnya.

“Kenapa?” tanya Sunghoon.

Jake menatapnya, “Lo beneran berharap itu?”

“Kalo iya, lo bakal percaya?”

Jake menjilat bibirnya sendiri. “Gue... gak tau...” lirihnya.

Sunghoon melengos, “Gak usah di pikirin.”

“Tapi kalau terkabul gimana?” tanya Jake.

“Kalau gitu gue bakal di tonjok Jay.” balas Sunghoon.

Jake tertawa, entah kenapa Sunghoon juga ikut tertawa padahal tidak ada lucu-lucunya.

Dan pergelangan tangannya di genggam oleh si mungil, “Ayo pulang!” seru Jake sembari menarik tangannya.

Dari belakang; Sunghoon dapat melihat bagaimana tangan besarnya di tarik oleh tangan mungil pemuda manis ini.

Sunghoon menyukainya.

Menyukai bagaimana permukaan kulit mereka saling menyentuh.

Sunghoon menyukai bagaimana suara si mungil terdengar seperti lagu yang mengalun lembut di telinganya.

Sunghoon menyukai cara pemuda itu tersenyum dan tertawa dengan candaan yang bahkan tidak lucu sama sekali.

Dan ia menyukai cara pemuda itu menatapnya dengan iris seindah gurun pasir. Perasaan yang timbul antara senang, marah, sedih dan kecewa dapat tergambarkan jelas dari balik matanya. Seolah ada cermin yang dapat mengetahui segalanya.

Ya. Semua yang ada dalam diri Jake akan selalu di sukai oleh Sunghoon. Bahkan meskipun ia tahu bahwa pemuda itu bukan miliknya, ia masih akan tetap menyukainya.

Seperti bunga matahari yang selalu mengikuti arah bergeraknya matahari.

Maka Sunghoon akan selalu seperti itu, entah kemana pemuda itu akan membawanya pergi ia akan selalu menyukainya.

Karena waktunya di dunia tak akan lama lagi. Maka ia memutuskan untuk terus mengikuti sang mentari agar bisa merasakan hangatnya lebih lama.

Sebelum dirinya tenggelam dalam kedinginan malam.

“Hai jake!” sapa Heeseung pada pemuda di hadapannya.

Anjing. Padahal Sunghoon udah susah payah buat menghindar dari Jake—mantannya—tapi si kutu alias Heeseung malah nyapa. Kalau dia kabur bakal obvious banget kalau sebenarnya dia ini SALTING.

Jake menoleh; matanya melebar. “Eh Heeseung? Kok disini?” tanyanya.

“Numpang makan aja sih. Ya karena di undang dong ganteng. Lo sendiri? Udah balik dari aussie?”

Jake terkekeh, “Udah dari 3 bulan yang lalu tau.”

“Anjir udah lama juga lo, kok gak ngabarin sih?”

“Hehehe sorry ya gue lupa.” ujar Jake lalu tungkainya menengok ke arah orang-orang yang memanggil namaya untuk di ajak foto bersama. “Eh, gue di panggil di ajak foto ni. Duluan ya Hee!” lanjutnya kemudian berlari meninggalkan mereka.

Selepas kepergian Jake, Heeseung langsung tertawa terbahak melihat teman sejawatnya—yang daritadi berdiri di sebelahnya— sama sekali gak di perdulikan atensinya oleh si mantan.

Boro-boro di sapa, di lihat aja enggak. Bener bener kasian deh nasib bapak Sunghoon ini.

“Anjing.” umpat Sunghoon karena tawa Heeseung yang gak berhenti.

“Sabar ya, mungkin dia udah gak mau lagi ama lo.” ujar Heeseung sembari menepuk bahu Sunghoon.

Ya Sunghoon gak masalah sih kalau si Jake ini ternyata udah move on. Walaupun sebenarnya dia masih rada ngarep. Tapi yang bikin kesel KENAPA MALAH DI CUEKIN GITU???

Malu banget bosss udah lah di depan mata tapi gak di tegur sama sekali. Kalau gitu mending tadi Sunghoon nyari zuppa soup aja.