hwoneboom

“Hai jake.” sapa Heeseung pada pemuda di hadapannya.

Anjing. Padahal Sunghoon udah susah payah buat menghindar dari Jake—mantannya—tapi si kutu alias Heeseung malah nyapa. Kalau dia kabur bakal obvious banget kalau sebenarnya dia ini SALTING.

Jake menoleh; matanya melebar. “Eh Heeseung? Kok disini?” tanyanya.

“Numpang makan aja sih. Ya karena di undang dong ganteng. Lo sendiri? Udah balik dari aussie?”

Jake terkekeh, “Udah dari 3 bulan yang lalu tau.”

“Anjir udah lama juga lo, kok gak ngabarin sih?”

“Hehehe sorry ya gue lupa.” ujar Jake lalu tungkainya menengok ke arah orang-orang yang memanggil namaya untuk di ajak foto bersama. “Eh, gue di panggil di ajak foto ni. Duluan ya Hee!” lanjutnya kemudian berlari meninggalkan mereka.

Selepas kepergian Jake, Heeseung langsung tertawa terbahak melihat teman sejawatnya—yang daritadi berdiri di sebelahnya— sama sekali gak di perdulikan atensinya oleh si mantan.

Boro-boro di sapa, di lihat aja enggak. Bener bener kasian deh nasib bapak Sunghoon ini.

“Anjing.” umpat Sunghoon karena tawa Heeseung yang gak berhenti.

“Sabar ya, mungkin dia udah gak mau lagi ama lo.” ujar Heeseung sembari menepuk bahu Sunghoon.

Ya Sunghoon gak masalah sih kalau si Jake ini ternyata udah move on. Walaupun sebenarnya dia masih rada ngarep. Tapi yang bikin kesel KENAPA MALAH DI CUEKIN GITU???

Malu banget bosss udah lah di depan mata tapi gak di tegur sama sekali. Kalau gitu mending tadi Sunghoon nyari zuppa soup aja.

“Sunghoon, if i go would you take me home?”


Sunghoon memakirkan mobilnya di depan sebuah rumah kosong bercat putih dan biru; dengan hiasan gaya victoria. Walltern place no 56 tak pernah berubah sejak dulu. Itu juga karena ia—pemilik rumah—tak mau merubah apapun dari rumah ini meskipun telah lama di tinggali.

Menengok ke belakang ada kedua putranya yang masih asyik pada handphone masing-masing sampai mereka tak sadar telah sampai di tujuan.

“Riki, Jungwon.” panggil Sunghoon menarik atensi mereka.

“Loh, udah sampe yah?” si sulung bertanya sembari menyimpan ponselnya di tas.

Sunghoon mengangguk, “Iya ayok turun.”

Riki—si bungsu—melihat sekitar dari balik jendela. “Yah rumahnya gak berhantu kan?” pertanyaan Riki yang di balas gumoh oleh si kakak, “Ya gak mungkin lah.”

Jungwon keluar lebih dulu sembari melihat-lihat sekitar. Yang diikuti Sunghoon dan Riki terakhir.

“Ya kali aja, kan udah lama gak di tinggali.”

Jungwon memutar bola mata malas, tak setuju dengan pernyataan yang di lontarkan si adek. Pemikirannya yang realitas menganggap kalau hantu itu tidak ada, pun kalau memang ada mereka tak bisa menganggu manusia. Beda sekali dengan Riki yang hobinya menonton film horror sekaligus segala ceritanya berbentuk novel.

Sunghoon tak memperdulikan pertikaian kedua anaknya yang memang sudah biasa terjadi. Ia sibuk mengeluarkan barang bawaan mereka dari bagasi. Sampai ada seseorang pria tua yang menghampiri mereka.

“Kak, itu bukan setan kan?” lalu kepalanya di pukul dengan bantal leher yang Jungwon pegang.

“Tuan Sunghoon, maaf aku tidak melihat ke datanganmu.” ujar pak tua itu setelah mengucapkan selamat datang untuk majikannya.

Pakaiannya kotor penuh tanah, dan di tangannya terdapat guting rumput. Sepertinya tadi ia sedang memotong rumput di halaman belakang.

Mr.Earnshaw merupakan pengurus sekaligus penjaga rumah ini. Atau yang bisa di sebut mansion milik Sunghoon. Dirinya sudah lama mengabdi pada keluarga Park, bahkan sedari Sunghoon kecil. Itu mengapa Sunghoon menitipkan rumahnya yang ia tinggali padanya.

Sunghoon tersenyum ramah, “Ah tidak apa-apa, salahku tidak mengabarkanmu lebih dulu.” ia berkata terima kasih ketika Mr.Earnshaw membantunya menurunkan barang bawaan.

“Mereka anak-anakmu tuan?” tanya Mr.Earnshaw sembari memperhatikan kedua remaja itu.

Senyum Sunghoon semakin lebar, seolah mengatakan ia sangat bangga ada orang yang menyadari kalau Jungwon dan Riki adalah anaknya. “Iya, ini Jungwon dan yang satu itu Riki.” jawabnya menunjuk mereka secara bergantian.

Jungwon dan Riki menyalami Mr.Earnshaw, “Senang bertemu dengan kalian, tuan Jungwon tuan Riki.”

Mr.Earnshaw tersenyum ramah, namun dari sorot matanya sarat akan kerinduan dan rasa iba. “Tuan Jake pasti akan sangat senang melihat kalian tumbuh dengan baik.”

Sunghoon mengangguk, “Ya, dia pasti akan sangat senang.”

Walltern place memang tempat yang luas. Sekiranya halaman depan mereka yang di lapisi rerumputan juga sepasang air mancur berteriak dengan jelas bahwa halaman ini sangat luas. Di belakangnya ada danau dan pendopo yang juga di lengkapi ayunan, pohon-pohon besar menjalar menghiasi tepi danau; membuat pemandangan semakin sejuk dan nyaman.

Semua yang ada disini tak ada yang berubah. Biasanya dua tahun sekali Sunghoon akan mengirimkan mandor untuk mengecek apakah ada kerusakan atau kayu yang lapuk. Ia benar-benar merawat rumah ini, bahkan furnitur di dalam rumah masih tertata rapi persis sama seperti saat ia meninggalkan rumah itu.

“Jadi, apa tujuan kalian kemari?” tanya Mr.Earnshaw membukakan pintu.

Oh ternyata di dalam sudah ada Mrs.Earnshaw dan putrinya yang sudah menunggu kedatangan mereka. “Selamat datang tuan Sunghoon, tuan Jungwon dan tuan Riki.” ujar mrs.Earnshaw sedikit membungkuk yang di balas anggukan oleh mereka semua.

“Kita kesini untuk berlibur.” ujar Riki menjawab pertanyaan yang sempat tertunda tadi.

“Destinasi yang bagus untuk berlibur tuan.”

“Kau ingin tetap di kamarmu?” lanjut Mr.Earnshaw bertanya pada Sunghoon.

“Ya, aku akan tidur disana. Tolong antar mereka ke lantai atas.”

Mr.Earnshaw mengangguk lalu mempersilahkan Riki dan Jungwon untuk ke atas. Sedangakan Sunghoon di bantu oleh Mrs.Earnshaw merapikan barang dan putrinya yang membuat teh.

Ruangan kamar Sunghoon masih sama. Bahkan aroma lavender(dari Jake) yang terpancar sedari dulu tak pernah berubah. Mengingatkan Sunghoon pada segala hal yang pernah terjadi di kamar ini. Tempat pertama kali ia menangis karena jatuh dari sepeda saat usianya 6 tahun, dan juga tempat pertama kalinya ia mencium kekasihnya; Jake.

“Kau tahu mungkin kita bisa mencoba hal baru saat ini.”

“Seperti apa?”

“Menciummu.”

“Bloody hell Sunghoon, itu sangat kasar.”

Sunghoon terkekeh, “Tapi aku tahu kau akan menyukainya.”

“You know me so well, Sunghoon.”

“Tuan Sunghoon?” panggilan Mrs.Earnshaw membuyarkan Sunghoon dari lamunannya.

“Ah iya, maaf. Ada apa?”

Mrs.Earnshaw tersenyum manis. Wanita cantik yang tak lagi muda itu menaruh keranjang di samping laci. “Ini keranjang untuk pakaian kotormu, taruh disini dan aku akan menyucinya kemudian hari.”

Sunghoon mengangguk paham. “Baiklah, ada lagi?”

“Tidak ada tuan. Woony anakku sudah menyiapkan teh, jika tuan ingin di antarkan ke kamar aku bisa memintanya.”

“Tidak perlu, aku akan keluar nanti.”

“Kalau begitu saya permisi tuan, selamat beristirahat.” ujarnya lalu pamit undur diri yang di balas gumaman oleh Sunghoon.

Sunghoon merebahkan diri di kasur. Rasanya seperti ia baru meninggalkan rumah itu kemarin meski nyatanya sudah genap 5 tahun ia meninggalkan Walltern place bersama kedua anaknya berharap bisa sedikit mengurangi kerinduannya pada si pemilik kedua.

Namun nyatanya; kembali ke rumah ini seolah membawanya kembali pada masa lalu. Menghantarkan jiwa Sunghoon pada kenangan-kenangan yang sempat tertinggal. Memang begitu juga tujuannya tak mau merubah sedikitpun interior rumah, agar semua hal yang pernah terjadi masih bisa ia rasakan dengan jelas.

“Sunghoon, if i go would you take me home?”


Sunghoon memakirkan mobilnya di depan sebuah rumah kosong bercat putih dan biru; dengan hiasan gaya victoria. Walltern place no 56 tak pernah berubah sejak dulu. Itu juga karena ia—pemilik rumah—tak mau merubah apapun dari rumah ini meskipun telah lama di tinggali.

Menengok ke belakang ada kedua putranya yang masih asyik pada handphone masing-masing sampai mereka tak sadar telah sampai di tujuan.

“Riki, Jungwon.” panggil Sunghoon menarik atensi mereka.

“Loh, udah sampe yah?” si sulung bertanya sembari menyimpan ponselnya di tas.

Sunghoon mengangguk, “Iya ayok turun.”

Riki—si bungsu—melihat sekitar dari balik jendela. “Yah rumahnya gak berhantu kan?” pertanyaan Riki yang di balas gumoh oleh si kakak, “Ya gak mungkin lah.”

Jungwon keluar lebih dulu sembari melihat-lihat sekitar. Yang diikuti Sunghoon dan Riki terakhir.

“Ya kali aja, kan udah lama gak di tinggali.”

Jungwon memutar bola mata malas, tak setuju dengan pernyataan yang di lontarkan si adek. Pemikirannya yang realitas menganggap kalau hantu itu tidak ada, pun kalau memang ada mereka tak bisa menganggu manusia. Beda sekali dengan Riki yang hobinya menonton film horror sekaligus segala ceritanya berbentuk novel.

Sunghoon tak memperdulikan pertikaian kedua anaknya yang memang sudah biasa terjadi. Ia sibuk mengeluarkan barang bawaan mereka dari bagasi. Sampai ada seseorang pria tua yang menghampiri mereka.

“Kak, itu bukan setan kan?” lalu kepalanya di pukul dengan bantal leher yang Jungwon pegang.

“Tuan Sunghoon, maaf aku tidak melihat ke datanganmu.” ujar pak tua itu setelah mengucapkan selamat datang untuk majikannya.

Pakaiannya kotor penuh tanah, dan di tangannya terdapat guting rumput. Sepertinya tadi ia sedang memotong rumput di halaman belakang.

Mr.Earnshaw merupakan pengurus sekaligus penjaga rumah ini. Atau yang bisa di sebut mansion milik Sunghoon. Dirinya sudah lama mengabdi pada keluarga Park, bahkan sedari Sunghoon kecil. Itu mengapa Sunghoon menitipkan rumahnya yang ia tinggali padanya.

Sunghoon tersenyum ramah, “Ah tidak apa-apa, salahku tidak mengabarkanmu lebih dulu.” ia berkata terima kasih ketika Mr.Earnshaw membantunya menurunkan barang bawaan.

“Mereka anak-anakmu tuan?” tanya Mr.Earnshaw sembari memperhatikan kedua remaja itu.

Senyum Sunghoon semakin lebar, seolah mengatakan ia sangat bangga ada orang yang menyadari kalau Jungwon dan Riki adalah anaknya. “Iya, ini Jungwon dan yang satu itu Riki.” jawabnya menunjuk mereka secara bergantian.

Jungwon dan Riki menyalami Mr.Earnshaw, “Senang bertemu dengan kalian, tuan Jungwon tuan Riki.”

Mr.Earnshaw tersenyum ramah, namun dari sorot matanya sarat akan kerinduan dan rasa iba. “Tuan Jake pasti akan sangat senang melihat kalian tumbuh dengan baik.”

Sunghoon mengangguk, “Ya, dia pasti akan sangat senang.”

Walltern place memang tempat yang luas. Sekiranya halaman depan mereka yang di lapisi rerumputan juga sepasang air mancur berteriak dengan jelas bahwa halaman ini sangat luas. Di belakangnya ada danau dan pendopo yang juga di lengkapi ayunan, pohon-pohon besar menjalar menghiasi tepi danau; membuat pemandangan semakin sejuk dan nyaman.

Semua yang ada disini tak ada yang berubah. Biasanya dua tahun sekali Sunghoon akan mengirimkan mandor untuk mengecek apakah ada kerusakan atau kayu yang lapuk. Ia benar-benar merawat rumah ini, bahkan furnitur di dalam rumah masih tertata rapi persis sama seperti saat ia meninggalkan rumah itu.

“Jadi, apa tujuan kalian kemari?” tanya Mr.Earnshaw membukakan pintu.

Oh ternyata di dalam sudah ada Mrs.Earnshaw dan putrinya yang sudah menunggu kedatangan mereka. “Selamat datang tuan Sunghoon, tuan Jungwon dan tuan Riki.” ujar mrs.Earnshaw sedikit membungkuk yang di balas anggukan oleh mereka semua.

“Kita kesini untuk berlibur.” ujar Riki menjawab pertanyaan yang sempat tertunda tadi.

“Destinasi yang bagus untuk berlibur tuan.”

“Kau ingin tetap di kamarmu?” lanjut Mr.Earnshaw bertanya pada Sunghoon.

“Ya, aku akan tidur disana. Tolong antar mereka ke lantai atas.”

Mr.Earnshaw mengangguk lalu mempersilahkan Riki dan Jungwon untuk ke atas. Sedangakan Sunghoon di bantu oleh Mrs.Earnshaw merapikan barang dan putrinya yang membuat teh.

Ruangan kamar Sunghoon masih sama. Bahkan aroma lavender(dari Jake) yang terpancar sedari dulu tak pernah berubah. Mengingatkan Sunghoon pada segala hal yang pernah terjadi di kamar ini. Tempat pertama kali ia menangis karena jatuh dari sepeda saat usianya 6 tahun, dan juga tempat pertama kalinya ia mencium kekasihnya; Jake.

“Kau tahu mungkin kita bisa mencoba hal baru saat ini.”

“Seperti apa?”

“Menciummu.”

  • “Bloody hell Sunghoon, itu sangat kasar.” *

Sunghoon terkekeh, “Tapi aku tahu kau akan menyukainya.”

“You know me so well, Sunghoon.”

“Tuan Sunghoon?” panggilan Mrs.Earnshaw membuyarkan Sunghoon dari lamunannya.

“Ah iya, maaf. Ada apa?”

Mrs.Earnshaw tersenyum manis. Wanita cantik yang tak lagi muda itu menaruh keranjang di samping laci. “Ini keranjang untuk pakaian kotormu, taruh disini dan aku akan menyucinya kemudian hari.”

Sunghoon mengangguk paham. “Baiklah, ada lagi?”

“Tidak ada tuan. Woony anakku sudah menyiapkan teh, jika tuan ingin di antarkan ke kamar aku bisa memintanya.”

“Tidak perlu, aku akan keluar nanti.”

“Kalau begitu saya permisi tuan, selamat beristirahat.” ujarnya lalu pamit undur diri yang di balas gumaman oleh Sunghoon.

Sunghoon merebahkan diri di kasur. Rasanya seperti ia baru meninggalkan rumah itu kemarin meski nyatanya sudah genap 5 tahun ia meninggalkan Walltern place bersama kedua anaknya berharap bisa sedikit mengurangi kerinduannya pada si pemilik kedua.

Namun nyatanya; kembali ke rumah ini seolah membawanya kembali pada masa lalu. Menghantarkan jiwa Sunghoon pada kenangan-kenangan yang sempat tertinggal. Memang begitu juga tujuannya tak mau merubah sedikitpun interior rumah, agar semua hal yang pernah terjadi masih bisa ia rasakan dengan jelas.


Jake menunduk sembari memainkan jarinya di bawah meja. Kebiasaannya ketika sedang gugup, terlebih lelaki di hadapannya ini sama sekali tak memberi respon apa-apa.

“Udah lama ya? Gimana kabarmu?” tanya pemuda itu memecah kehingan.

Jika saja jantung Jake memiliki speaker pasti sekarang satu Jogjakarta bisa mendengar bagaimana cepat dan kencangnya jantungnya berdegup.

Semesta, sekali saja tolong beri pemuda berdarah Australia itu kekuatan.

Jake mengangguk, “Baik, kamu sendiri?”

Lelaki itu—Sunghoon—tersenyum tipis. “Sama baiknya dengan kamu.”

“Sekarang kamu jadi novelis ya? padahal katanya dulu pengen jadi astronot.”

Jake terkekeh, “Kamu sendiri yang cita-citanya pengen jadi hakim malah jadi produser musik?”

Jake tahu kalau Sunghoon menjadi produser musik, namanya sudah melambung menaungi banyak artis terkenal. Bahkan dia sekarang punya label rekaman sendiri.

Ia memang kerap menstalk tentang Sunghoon di media sosial, meski katanya tak mau tahu tentang hidup pemuda itu namun nyatanya mulut memang penuh kebohongan. Bilangnya saja sudah tak peduli padahal selalu update, ia hanya takut saja jika harus berkata jujur.

Sunghoon mengedikan bahu sebelahnya, “Kadang cita-cita emang gak sejalan sama realita.”

Jake setuju dengan itu, tak di pungkiri bahwa keinginan mereka berbanding terbalik sekarang. Namun selagi ia bahagia menjalaninya, Jake merasa baik-baik saja akan hal itu.

“By the way, aku udah baca buku kamu.”

Jake bergeming, kata-kata yang di tunggu akhirnya berhasil bersua dari balik bibir lelaki di hadapannya. Sejujurnya, Jake belum siap akan kalimat berikutnya yang terlontar.

“Bukunya bagus, ceritanya terlalu nostalgia ya?” Sunghoon menengadah, matanya terpejam setengah karena silau dari matahari.

“Iya...” sahut Jake seadanya.

“Sunghoon, ada yang mau saya omongin sama kamu.” lanjut Jake.

“Ya? Omongin aja.”

Jake menelan salivanya susah payah, menghela nafas sebentar sebelum mempersiapkan diri merangkai kalimatnya. “Saya minta maaf.”

Sunghoon menatapnya, menunggu kalimat berikutnya terujar dari mulutnya. “Maaf, karena saya mutusin kamu gitu aja waktu itu. Seharusnya saya gak egois, seharusnya saya ngertiin kamu bukan hanya meminta untuk di mengerti.”

“Maaf juga karena selama ini saya selalu menghindar, padahal saya yang merusak kisah kita tapi saya juga yang terlalu takut memperbaikinya. Sejujurnya Sunghoon, melihatmu dari jarak sedekat ini bikin saya sakit. Saya seolah melihat cerminan diri saya yang terlalu jahat sama kamu. Maaf, sekali lagi maaf.” tukasnya panjang lebar.

Sunghoon, masih sama. Lelaki di hadapannya tak banyak berubah kecuali wajahnya yang makin terlihat dewasa dan semakin tampan tentunya.

Sunghoon di hadapannya; masih sama. Setia mendengarkan segala omongannya bahkan jika itu tidak terlalu penting untuk di dengar.

Sunghoon di hadapannya; masih sama. Tatapannya masih seteduh dan setulus dulu. Membuat ia semakin menyesal karena pernah mengabaikan iris jelaga indah itu.

Sunghoon di hadapannya; masih tetap sama. Hatinya masih selembut dulu dan mungkin tidak akan pernah berubah. Sayang sekali dulu Jake pernah menghancurkannya begitu saja.

Sunghoon di hadapannya, tersenyum manis. Masih semanis senyuman yang pernah ia berikan padanya dahulu. “Jake, kenapa namaku di ganti semesta?” tanyanya.

Jake menoleh ke arah lain; selain mata Sunghoon. “Karena kamu adalah semesta saya.”

“Dulu, bagaimana sekarang?”

“Masih. Masih Sunghoon. Sampai sekarang kamu masih menjadi semesta saya yang saya sia siakan dengan jahatnya.”

Sunghoon menggeleng, “Iya, kamu jahat, Jake.”

Jake bergeming. Rasanya pelupuk matanya sudah di banjiri air mata dan siap tumpah jikalau pemuda itu tak kuat menahannya lebih lama.

“Kamu jahat, karena selalu menghindar dari semestamu.”

“Seharusnya kita bertemu sedari dulu, Jake.” lanjut Sunghoon tersenyum simpul.

“Ya, seharusnya saya lakukan sedari dulu.”

Semesta, anggap saja Jake sudah tak sekuat dulu. Karena nyatanya sekarang, pemuda itu justru menangis tersedu-sedu di antara orang-orang yang berlalu lalang.

Di hadapan pemuda yang sangat di cintainya, masih dan akan selalu di cintainya. Ia menangis sampai wajahnya memerah padam, sampai Sunghoon terkekeh karena itu yang selalu pemuda jangkung itu lakukan ketika si manis sedang menangis.

Peduli setan dengan apa kata orang yang lewat, ia hanya ingin mengeluarkan emosinya yang sedari tadi tertumpuk semenjak ia berhadapan langsung dengan sang mantan.

Dulu, Sunghoon akan dengan senang memberi bahunya untuk kemudian basah oleh ingus dan air mata Jake. Namun sekarang Sunghoon hanya bisa mengusap punggungnya dengan penuh kehangatan.

Masih, dan selalu sama sedari dulu. Sunghoon masih akan selalu menjadi orang pertama yang melihatnya menangis.


“Maaf.”

Satu kata itu menjadi pemecah keheningan di antara mereka. Di dalam ruang kelas yang kini seluruh penghuninya telah pergi guna menonton pertandingan sepak bola. Sunghoon berdiri di antara pintu masuk, menghalangi Jake agar tak pergi kemana-mana.

Jake menghela nafas, “Saya sudah maafin kamu.”

“Bohong.” ujar Sunghoon.

“Sunghoon, jangan mulai.”

“Kalau kamu udah maafin aku, harusnya sekarang kamu natap aku, Jake.”

Lagi, pemuda manis itu menghela nafasnya lagi. Perlahan ia mendongak guna menatap iris jelaga kekasihnya. “Saya udah maafin kamu.”

“Lagipula saya juga salah, sedari awal saya yang ngerahasiain hubungan ini karena saya takut sama respon ayah nantinya. Saya batu, gak mikirin gimana perasaan kamu nantinya.” lanjut Jake lagi.

Pinggangnya di tarik oleh si lebih tinggi, mendekapnya erat seolah tidak ada hari esok. “Enggak, kita berdua salah. Aku juga gak seharusnya kasar ke kamu kaya kemarin. Maafin aku ya..”

Jake mengangguk, di balasnya pelukan hangat Sunghoon dengan sama eratnya. Melepaskan segala penyesalan atas tindak kekanak-kanakan mereka kemarin.

Manusia memang begitu, mudah terbawa emosi tapi juga mudah memaafkan. Semua tergantung dengan jalan fikir masing-masing.

“Saya sudah bilang tentang kita ke ayah.” ujar Jake.

Sunghoon menunggu. “Dia ngebatalin perjodohannya karena tahu saya sudah punya orang yang saya sayang. Lagipula katanya perjodohan itu saat saya sudah kuliah nanti, dan kalau saya sudah punya kekasih berarti perjodohannya batal. Ayah menghargai saya.”

Sunghoon tersenyum sembari merapikan poni Jake yang sedikit berantakan karena pelukannya. Ia mengangguk, turut senang dengan perkataan Jake.

“Tapi dia minta kamu buat ketemu sama beliau.”

Senyuman Sunghoon semakin lebar, “Iya, aku bakal ketemu ayah. Tapi kalau buat ngelamar kamu nanti dulu ya, belum lulus sekolah.”

”—Aduh!” Ringis Sunghoon saat tulang keringnya justru di tendang Jake.

“Jangan aneh-aneh.”

Sunghoon terkekeh, “Iya sayang sabar ya.”

Lagi, kelas yang tadinya hening justru diisi oleh teriakan kesakitan dari Sunghoon yang kini perutnya sudah di cubiti dan menjadi samsak tinju dari sang kekasih.


Sunghoon mensejajarkan tubuhnya dengan pohon besar di sampingnya. Pandangannya tertuju pada satu-satunya pemuda yang kini sedang berdoa di samping nisan sang ibunda.

Benar, Sunghoon selalu ada untuknya. Bahkan ketika si manis berkata untuk tidak menemuinya; Sunghoon dan sikap keras kepalanya pasti akan tetep menemuinya meski dari jarak yang tidak bisa di lihat si empu.

From : Jake Saya sudah selesai.

Maka pesan singkat dari Jake menjadi penanda untuk Sunghoon bersua.

“Jake.” panggil Sunghoon.

Jake menoleh, merapihkan celananya yang kotor lalu berjalan menujunya.

“Maaf, gue gak bisa masuk situ.” dagunya menunjuk pada area pemakaman.

“Gapapa kok.” Jake memaklumi segala hal yang ada pada diri Sunghoon, bahkan alasannya untuk takut masuk ke dalam pemakaman ia memakluminya. Lagipula Jake yang mau berdoa bukan Sunghoon.

“Udah kelar ceritanya?”

Ah, ini salah satu kebiasaan si pemuda penyuka vanilla latte jika mengunjungi makam bundanya.

Semesta, jika kau tanya siapa orang yang paling banyak mengemban rindu maka nama Jake adalah jawabannya. Ia adalah orang yang selalu bercerita pada sang ibunda, menupuk rindu yang tak bisa di sampaikan lagi. Dan Sunghoon tahu itu.

Jake mengangguk, “Udah.”

“Mau pulang atau jalan-jalan dulu?” Sunghoon memberikan helm yang langsung di pakai oleh Jake.

“Saya gak mau pulang.” Sunghoon mengangguk.

“Tadi kesini sama siapa?”

“Naik bus, ternyata kalau gak di anterin kamu jadi berasa lebih jauh.”

Sunghoon terkekeh, “Makanya jangan sok kabur-kaburan. Pegangan.” katanya yang sudah siap menjalankan motornya.

“Saya gak kabur.” bela Jake.

“Tapi tadi kata ayah kamu tiba-tiba pergi.”

Jake menghela nafas, “Malas, capek berdebat sama dia.”

“Kalau gitu jangan di ajakin debat—”

”—ke candi yuk.” lanjut Sunghoon, sedang Jake hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Bukan saya yang mulai. Saya juga gak mau debat mulu apalagi sama orang tua saya sendiri, tapi dia keras kepala banget.”

Sunghoon terkekeh, kalau dia bisa menengok ke belakang pasti rupa Jake sekarang mempoutkan bibirnya dengan alis yang mengernyit lucu. Jake memang selalu lucu di matanya.

“Candi mana?” tanya Jake.

“HAH?”

Semesta jangan lagi please. Jake capek setiap di jalan komunikasi mereka harus terhalang oleh suara lalu lalang kendaraan.

Mereka harus saling teriak-teriakan karena suaranya teredam helm dan bunyi kendaraan lain.

Jadi Jake menggeleng yang meski tidak dapat di lihat Sunghoon. Tapi karena tidak ada balasan dari yang di belakang jadi Sunghoon beranggapan Jake tidak mau melanjutkan omongannya. Nanti saja kalau sudah tidak ramai pikirnya.


Pahatan cantik dari batu-batu yang kini menjadi candi hindu itu terpampang nyata sejauh mata memandang.

Biasanya mereka kesini setiap ada study tour dari sekolah. Memang sudah seperti hal wajib, destinasi candi Prambanan selalu masuk ke dalam list tujuan sekolah mereka.

Namun kali ini tak ada seragam kebanggaan yang melekat di tubuhnya ataupun para guru yang sibuk memantau pergerakan anak muridnya. Sekarang, hanya ada mereka berdua di dalam lapisan candi-candi tersebut.

“Katanya candi ini di bangun cuma semalem loh.”

“Semua orang juga tahu cerita itu, Hoon.”

“Tebak, kira kira kalau waktu itu Roro Jonggrang gak ngebuat api hologram candi ini bakal ada gak?”

“Sunghoon itu tuh cuma cerita rakyat. Yang benar candi ini di bangun oleh Rakai Pikatan, raja keenam dari kerajaan Medang.” balas Jake realitas.

“Dih salah, ini tuh sama Bandung Bondowoso.”

Jake menggeleng tak habis fikir, bisa-bisanya sang pacar percaya begitu saja dengan cerita rakyat yang jelas-jelas hanya fiksi belaka. Mau di lihat dari segimanapun cerita itu memang tak masuk akal, dan lebih tak masuk akal lagi orang yang mempercayainya.

“Fiksi.”

Sunghoon menempelkan jari telunjuknya pada bibir. “ssstt jangan ngomong gitu disini, nanti dewi marah.”

Makin menjadi ini orang.

Malas meladeni ucapan Sunghoon, Jake lebih memilih berjalan lebih dulu meninggalkan sang kekasih yang berteriak memanggil namanya.

“Tadi kamu ngapain ke rumah?” tanya Jake.

“nyamperin kamu.” sahut Sunghoon.

“tumben gak ngechat saya dulu?”

Sunghoon tak menjawab. Netranya memandangi garis edar dari cahaya matahari yang kini telah berganti warna menjadi oranye, di lihat dari jarak yang lumayan tinggi gini warnanya jadi seribu kali lebih indah. Terlebih ketika ia mengok ke samping, maka pemandangan wajah Jake yang di belakangi cahaya senja berhasil membuat ia tersenyum damai.

“Waktu itu, umur aku 8 tahun pas pertama kali ngeliat kakakku gantung diri di kamarnya karena bullying.”

Jake melebarkan bola matanya, terkejut dengan fakta lain dari keluarga Sunghoon.

Selama ini Sunghoon memang tak banyak bercerita tentang keluarganya, tapi jika seperti ini pasti merupakan hal tergelap di hidupnya.

“Aku gak tau apa-apa, mau nangis gak bisa mau teriak juga rasanya udah lemes banget. Jadi aku cuma diem sambil ngelihat ke sana, ke arah mayat kakakku.”

“Jake, alasan kenapa aku selalu takut ke makam karena kematian yang aku lihat itu terlalu serem. Alesan aku selalu berantem karena aku gak mau tertindas kaya kakakku, dan itu juga alesanku berani ngelawan siapapun yang ngehina kamu.” ujar Sunghoon tepat menatap matanya.

Sunghoon menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan, “Aku sebenarnya gak sekuat yang kamu lihat Jake. Banyak hal yang aku takuti di dunia ini, aku selalu nyoba buat kuat meskipun nyatanya aku takut, takut kalau kejadian dulu terulang lagi, takut kalau nanti aku kehilangan kamu, takut kalau... kalau aku kehilangan jati diriku.”

Jake memeluk Sunghoon, mengusap punggungnya agar si adam dapat merasa lebih tenang.

Selama ini ia tak pernah tahu kalau Sunghoon memikul beban yang lebih banyak darinya, selama ini Jake selalu merasa bahwa hanya ia yang kerap menangis di jam tiga malam namun nyatanya tidak. Si kekasih yang kerap memberi bahunya untuk ia bersandar juga membutuhkan bahu lain.

Sunghoon memang tak pernah menunjukan kesedihannya, bahkan tidak pada Jake. Ia mengemban semuanya sendiri. Siapa sangka jika orang yang terlihat paling kuat justru merupakan orang yang paling rapuh.

Sunghoon, untuk sekali ini saja. Biarkan ia yang memberi pelukan hangatnya agar pemuda itu tahu bahwa ia akan selalu ada di sisinya sama seperti dirinya yang kerap menemani Jake.

“Sunghoon, kamu pernah bilang ke saya kalau manusia selalu punya dua sisi yang berbeda. Sisi lemah dan sisi kuat. Kamu sudah terlalu lama berada di sisi kuat, kali ini saja biarkan saya melihat sisi lemahmu.”


“Petikkan cantik buat orang yang gak kalah cantik.” ujar Sunghoon sembari memainkan gitarnya.

Jake di hadapannya merotasikan bola matanya malas, terlanjur sering mendengar gombalan dari pemuda jangkung ini.

Angkringan malam hari memang terlihat ramai dengan banyaknya muda mudi yang datang. Apalagi di kota Malioboro yang tak pernah tidur. Semesta seolah memberi tahu mereka untuk tetap beraktivitas meski sang surya tak terlihat lagi.

“Roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan juliet. Beberapa hal memang di takdirkan selalu bersama.” Nada yang Sunghoon ciptakan hasil dari mendengar iklan Spotify yang ia tambahkan sedikit instrumen gitar.

Lagu aneh itu justru membuat Jake terkekeh, “Spotifymu gak premium ya?” tanya Jake yang di balas tawa oleh mereka berdua.

Sunghoon masih menggenjreng gitarnya dengan nyanyian asalnya, yang anehnya membuat tawa hangat dari pemuda manis di hadapannya menguar.

Tapi ternyata bukan hanya Jake yang menikmati; suara merdu Sunghoon rupanya berhasil menarik setengah atensi dari orang-orang sekitar.

Sekarang justru pada merequest lagu apa yang mau Sunghoon mainkan.

“Eit, tanya dulu sama bintang tamu kita. Mas Jake mau dinyanyiin apa?”

Sunghoon ini memang ada saja tingkah lakunya yang buat Jake memerah menahan malu. “Terserah.” katanya sambil menutupi mukanya dengan telapak tangan. Malu!

“Oke kalau gitu pake lagu gue sendiri aja.” kemudian jari-jarinya mulai memainkan senar di gitar. Menyanyikan lagu Kesempurnaan cinta yang beberapa lirik di ganti menjadi nama ia dan Jake.

Lalu lagu di tutup dengan apik bersamaan dengan sorak sorai penonton yang menyaksikan. Kalau sudah begini, di buat iri semua manusia yang menonton acara live musik dari Sunghoon. Ada yang berujar baper ada juga yang justru tertawa geli.

Kira kira pemikiran semua orang adalah; semesta kapan ya kau beri kita pemuda tampan yang romantis seperti Sunghoon?

Sedangkan oknum yang di nyanyiin kini mukanya sudah merah padam. Semerah sambal yang tadi ia cicipi bareng sate usus.

“Sawerannya dong mas.” Masih saja manusia bernama Sunghoon ini, tidak ada habisnya menggoda Jake.

“Kamu diam!” perintah Jake.

Bukannya diam seperti yang di perintahkan Sunghoon justru terkekeh. Cowok mungil di hadapannya kini terlihat lebih mini size dengan bahunya yang merosot dan setengah wajahnya yang menunduk. Lagi malu-malu rupanya, gemas sekali.

Surai Jake di usak, “Jangan gemes-gemes, nanti gue tambah jatuh cinta.”

TUHAN SUDAH CUKUP.


“Hehehe.” Sunghoon nyengir sembari mendorong stank motor sedangkan Jake mendorong bagian belakang motor.

“Jangan ketawa aja. Bengkelnya ada di depan sana.” dengus Jake.

Iya, motor Sunghoon mogok. Padahal tadi pas mereka berangkat masih mulus-mulus saja. Manusia memang tidak pernah tahu kapan semesta membolak-balik keadaan.

“Sorry ya, lo pasti capek.” ujar Sunghoon.

Jake menggeleng, “Enggak kok, kan sudah saya bilang bengkelnya ada di depan sana.”

Sebenarnya Sunghoon tak sepenuhnya menyalahkan keadaan. Ia justru senang; karena dengan begini setidaknya waktu yang ia habiskan bersama Jake menjadi sedikit lebih lama.

Bilang saja pemuda ini kelebihan hormon dopamin ketika di dekatnya. Tapi selain itu, Jake memang bagaikan gravitasinya yang membuat ia selalu jatuh lagi dan lagi.

“Kok bisa mogok ya? Memangnya belum kamu servis?”

Sunghoon tak menjawab, sibuk memikirkan kata-kata apa yang mau ia ucapkan.

“Sunghoon? Saya tany—”

“Oy kecil.” potong Sunghoon.

Jake mendelik, niat melontarkan proses. “Udah saya bilang berhenti manggil saya kec—”

Protesnya terpotong ketika sekali lagi Sunghoon memotong ucapannya. “Mau jadi pacar gue gak?” tanyanya.

Jake langsung terdiam. Sunghoon menoleh ke belakang dimana Jake melihatnya dengan pandangan sulit di artikan.

Sunghoon menggaruk tengkuknya yang tak gatal, suasana menjadi canggung seketika. “Lo gak perlu jawab sekarang kalau belum si—”

“Mau.” potong Jake.

“Hah?”

“Iya, saya mau jadi pacar kamu.” jawab Jake.

Ujung bibir Sunghoon perlahan tertarik ke arah yang bersebrangan, kontras dengan pemuda di hadapannya yang juga tersenyum lebar. Hampir saja memeluknya kalau saja ia tidak ingat sedang menuntun motornya.

Jalanan masih ramai, suara kendaraan yang beradu dalam malamnya bumantara masih terdengar jelas bagi siapapun yang melihat.

Namun untuk mereka; seolah dunia hanya berputar agar mereka dapat saling mengungkapkan perasaan yang telah lama di hati.


“Petikkan cantik buat orang yang gak kalah cantik.” ujar Sunghoon sembari memainkan gitarnya.

Jake di hadapannya merotasikan bola matanya malas, terlanjur sering mendengar gombalan dari pemuda jangkung ini.

Angkringan malam hari memang terlihat ramai dengan banyaknya muda mudi yang datang. Apalagi di kota Malioboro yang tak pernah tidur. Semesta seolah memberi tahu mereka untuk tetap beraktivitas meski sang surya tak terlihat lagi.

“Roti dan selai, bunga dan kumbang, romeo dan juliet. Beberapa hal memang di takdirkan selalu bersama.” Nada yang Sunghoon ciptakan hasil dari mendengar iklan Spotify yang ia tambahkan sedikit instrumen gitar.

Lagu aneh itu justru membuat Jake terkekeh, “Spotifymu gak premium ya?” tanya Jake yang di balas tawa oleh mereka berdua.

Sunghoon masih menggenjreng gitarnya dengan nyanyian asalnya, yang anehnya membuat tawa hangat dari pemuda manis di hadapannya menguar.

Tapi ternyata bukan hanya Jake yang menikmati; suara merdu Sunghoon rupanya berhasil menarik setengah atensi dari orang-orang sekitar.

Sekarang justru pada merequest lagu apa yang mau Sunghoon mainkan.

“Eit, tanya dulu sama bintang tamu kita. Mas Jake mau dinyanyiin apa?”

Sunghoon ini memang ada saja tingkah lakunya yang buat Jake memerah menahan malu. “Terserah.” katanya sambil menutupi mukanya dengan telapak tangan. Malu!

“Oke kalau gitu pake lagu gue sendiri aja.” kemudian jari-jarinya mulai memainkan senar di gitar. Menyanyikan lagu Kesempurnaan cinta yang beberapa lirik di ganti menjadi nama ia dan Jake.

Lalu lagu di tutup dengan apik bersamaan dengan sorak sorai penonton yang menyaksikan. Kalau sudah begini, di buat iri semua manusia yang menonton acara live musik dari Sunghoon. Ada yang berujar baper ada juga yang justru tertawa geli.

Kira kira pemikiran semua orang adalah; semesta kapan ya kau beri kita pemuda tampan yang romantis seperti Sunghoon?

Sedangkan oknum yang di nyanyiin kini mukanya sudah merah padam. Semerah sambal yang tadi ia cicipi bareng sate usus.

“Sawerannya dong mas.” Masih saja manusia bernama Sunghoon ini, tidak ada habisnya menggoda Jake.

“Kamu diam!” perintah Jake.

Bukannya diam seperti yang di perintahkan Sunghoon justru terkekeh. Cowok mungil di hadapannya kini terlihat lebih mini size dengan bahunya yang merosot dan setengah wajahnya yang menunduk. Lagi malu-malu rupanya, gemas sekali.

Surai Jake di usak, “Jangan gemes-gemes, nanti gue tambah jatuh cinta.”

TUHAN SUDAH CUKUP.


“Hehehe.” Sunghoon nyengir sembari mendorong stank motor sedangkan Jake mendorong bagian belakang motor.

“Jangan ketawa aja. Bengkelnya ada di depan sana.” dengus Jake.

Iya, motor Sunghoon mogok. Padahal tadi pas mereka berangkat masih mulus-mulus saja. Manusia memang tidak pernah tahu kapan semesta membolak-balik keadaan.

“Sorry ya, lo pasti capek.” ujar Sunghoon.

Jake menggeleng, “Enggak kok, kan sudah saya bilang bengkelnya ada di depan sana.”

Sebenarnya Sunghoon tak sepenuhnya menyalahkan keadaan. Ia justru senang; karena dengan begini setidaknya waktu yang ia habiskan bersama Jake menjadi sedikit lebih lama.

Bilang saja pemuda ini kelebihan hormon dopamin ketika di dekatnya. Tapi selain itu, Jake memang bagaikan gravitasinya yang membuat ia selalu jatuh lagi dan lagi.

“Kok bisa mogok ya? Memangnya belum kamu servis?”

Sunghoon tak menjawab, sibuk memikirkan kata-kata apa yang mau ia ucapkan.

“Sunghoon? Saya tany—”

“Oy kecil.” potong Sunghoon.

Jake mendelik, niat melontarkan proses. “Udah saya bilang berhenti manggil saya kec—”

Protesnya terpotong ketika sekali lagi Sunghoon memotong ucapannya. “Mau jadi pacar gue gak?” tanyanya.

Jake langsung terdiam. Sunghoon menoleh ke belakang dimana Jake melihatnya dengan pandangan sulit di artikan.

Sunghoon menggaruk tengkuknya yang tak gatal, suasana menjadi canggung seketika. “Lo gak perlu jawab sekarang kalau belum si—”

“Mau.” potong Jake.

“Hah?”

“Iya, saya mau jadi pacar kamu.” jawab Jake.

Kurva Sunghoon perlahan tertarik ke arah yang bersebrangan, kontras dengan pemuda di hadapannya yang juga tersenyum lebar. Hampir saja memeluknya kalau saja tidak ingat dia sedang menuntun motornya.

Jalanan masih ramai, suara kendaraan yang beradu dalam malamnya bumantara masih terdengar jelas bagi siapapun yang melihat.

Namun untuk mereka; seolah dunia hanya berputar agar mereka dapat saling mengungkapkan perasaan yang telah lama di hati.


“Mas, Gudeg loro ya.”

“Siap dek.”

Sunghoon memarkirkan motornya sedangkan Jake masuk duluan guna memesan pesanan mereka.

Suasana tempat makan sore ini cukup ramai, beberapa orang ada juga yang masih mengenakan seragam sekolah seperti mereka.

“Gue gak tau ada gudeg di deket Dhawarna.”

“Makanya kamu jangan tawuran mulu yang di perhatiin.”

Sunghoon nyengir, seringai jail terpancar di wajahnya. “Oh lo minta di perhatiin juga ya?”

“Gak jelas.” acuh Jake.

Aroma manis dari gudeg yang di sajikan mengunggah selera bagi siapapun yang menciumnya. Termasuk Sunghoon yang sekarang menjadi lapar.

Padahal tadi dia gak lapar-lapar banget, tapi pas udah sampe sini cacingnya malah berpesta.

“Lo tau gak filosofi gudeg?”

Jake di hadapannya mengernyit, ini orang random banget deh.

“Apa?”

“Katanya gudeg dipahami sebagai cerminan sempurna dari filosofi Jawa yang penuh nilai ketenangan, kesabaran dan teliti, gak terburu-buru dan anti-sembrono.”

“Nah lo tau gak persamaan lo sama gudeg?” lanjut Sunghoon lagi.

Jake menggeleng, sebenarnya lebih gak peduli sama apa yang mau Sunghoon omongin.

“Kalau gudeg di masaknya dengan tenang, nah pembawaan lo yang tenang bikin gue pengen nyicipin lo terus. Ibaratnya nih gula jawa yang manis dan bikin kecanduan. lo itu sosok sempurna dari presentasi rasa.”

Hening.

Sunghoon justru nyengir kuda dan Jake yang malah bingung dengan apa yang di katakan Sunghoon.

“Kamu nyamain saya sama makanan?”

“Ah lo kok gak ngerti maksud gue sih.” Sunghoon memelas, dia udah mikirin kata-kata ini dengan otaknya yang kopong eh responnya malah gini. Gagal deh romantisannya.

Jake megedikan bahu, “Kamu gak jelas.” Lalu lanjut memakan gudegnya.

“Kalau gitu kamu nangka di gudeg.” ujar Jake.

Sunghoon baru ingin protes, saat ia sadar maksud perkataan Jake barusan Ia terkekeh, sebelum ikut menyuap makanannya.

Ah ternyata begini ya cita rasa gudeg.


“Mas, Gudeg loro ya.”

“Siap dek.”

Sunghoon memarkirkan motornya sedangkan Jake masuk duluan guna memesan pesanan mereka.

Suasana tempat makan sore ini cukup ramai, beberapa orang ada juga yang masih mengenakan seragam sekolah seperti mereka.

“Gue gak tau ada gudeg di deket Dhawarna.”

“Makanya kamu jangan tawuran mulu yang di perhatiin.”

Sunghoon nyengir, seringai jail terpancar di wajahnya. “Oh lo minta di perhatiin juga ya?”

“Gak jelas.” acuh Jake.

Aroma manis dari gudeg yang di sajikan mengunggah selera bagi siapapun yang menciumnya. Termasuk Sunghoon yang sekarang menjadi lapar.

Padahal tadi dia gak lapar-lapar banget, tapi pas udah sampe sini cacingnya malah berpesta.

“Lo tau gak filosofi gudeg?”

Jake di hadapannya mengernyit, ini orang random banget deh.

“Apa?”

“Katanya gudeg dipahami sebagai cerminan sempurna dari filosofi Jawa yang penuh nilai ketenangan, kesabaran dan teliti, gak terburu-buru dan anti-sembrono.”

“Nah lo tau gak persamaan lo sama gudeg?” lanjut Sunghoon lagi.

Jake menggeleng, sebenarnya lebih gak peduli sama apa yang mau Sunghoon omongin.

“Kalau gudeg di masaknya dengan tenang, nah pembawaan lo yang tenang bikin gue pengen nyicipin lo terus. Ibaratnya nih gula jawa yang manis dan bikin kecanduan. lo itu sosok sempurna dari presentasi rasa.”

Hening.

Sunghoon justru nyengir kuda dan Jake yang malah bingung dengan apa yang di katakan Sunghoon.

“Kamu nyamain saya sama makanan?”

“Ah lo kok gak ngerti maksud gue sih.” Sunghoon memelas, dia udah mikirin kata-kata ini dengan otaknya yang kopong eh responnya malah gini. Gagal deh romantisannya.

Jake megedikan bahu, “Kamu gak jelas.” Lalu lanjut memakan gudegnya.

“Kalau gitu kamu nangka di gudeg.” ujar Jake.

Sunghoon baru ingin protes saat ia sadar maksud perkataan Jake barusan. Ia terkekeh, sebelum ikut menyuap makanannya.

Ah ternyata begini ya cita rasa gudeg.