Sunghoon mensejajarkan tubuhnya dengan pohon besar di sampingnya. Pandangannya tertuju pada satu-satunya pemuda yang kini sedang berdoa di samping nisan sang ibunda.
Benar, Sunghoon selalu ada untuknya. Bahkan ketika si manis berkata untuk tidak menemuinya; Sunghoon dan sikap keras kepalanya pasti akan tetep menemuinya meski dari jarak yang tidak bisa di lihat si empu.
From : Jake
Saya sudah selesai.
Maka pesan singkat dari Jake menjadi penanda untuk Sunghoon bersua.
“Jake.” panggil Sunghoon.
Jake menoleh, merapihkan celananya yang kotor lalu berjalan menujunya.
“Maaf, gue gak bisa masuk situ.” dagunya menunjuk pada area pemakaman.
“Gapapa kok.” Jake memaklumi segala hal yang ada pada diri Sunghoon, bahkan alasannya untuk takut masuk ke dalam pemakaman ia memakluminya. Lagipula Jake yang mau berdoa bukan Sunghoon.
“Udah kelar ceritanya?”
Ah, ini salah satu kebiasaan si pemuda penyuka vanilla latte jika mengunjungi makam bundanya.
Semesta, jika kau tanya siapa orang yang paling banyak mengemban rindu maka nama Jake adalah jawabannya. Ia adalah orang yang selalu bercerita pada sang ibunda, menupuk rindu yang tak bisa di sampaikan lagi. Dan Sunghoon tahu itu.
Jake mengangguk, “Udah.”
“Mau pulang atau jalan-jalan dulu?” Sunghoon memberikan helm yang langsung di pakai oleh Jake.
“Saya gak mau pulang.” Sunghoon mengangguk.
“Tadi kesini sama siapa?”
“Naik bus, ternyata kalau gak di anterin kamu jadi berasa lebih jauh.”
Sunghoon terkekeh, “Makanya jangan sok kabur-kaburan. Pegangan.” katanya yang sudah siap menjalankan motornya.
“Saya gak kabur.” bela Jake.
“Tapi tadi kata ayah kamu tiba-tiba pergi.”
Jake menghela nafas, “Malas, capek berdebat sama dia.”
“Kalau gitu jangan di ajakin debat—”
”—ke candi yuk.” lanjut Sunghoon, sedang Jake hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Bukan saya yang mulai. Saya juga gak mau debat mulu apalagi sama orang tua saya sendiri, tapi dia keras kepala banget.”
Sunghoon terkekeh, kalau dia bisa menengok ke belakang pasti rupa Jake sekarang mempoutkan bibirnya dengan alis yang mengernyit lucu. Jake memang selalu lucu di matanya.
“Candi mana?” tanya Jake.
“HAH?”
Semesta jangan lagi please. Jake capek setiap di jalan komunikasi mereka harus terhalang oleh suara lalu lalang kendaraan.
Mereka harus saling teriak-teriakan karena suaranya teredam helm dan bunyi kendaraan lain.
Jadi Jake menggeleng yang meski tidak dapat di lihat Sunghoon. Tapi karena tidak ada balasan dari yang di belakang jadi Sunghoon beranggapan Jake tidak mau melanjutkan omongannya. Nanti saja kalau sudah tidak ramai pikirnya.
Pahatan cantik dari batu-batu yang kini menjadi candi hindu itu terpampang nyata sejauh mata memandang.
Biasanya mereka kesini setiap ada study tour dari sekolah. Memang sudah seperti hal wajib, destinasi candi Prambanan selalu masuk ke dalam list tujuan sekolah mereka.
Namun kali ini tak ada seragam kebanggaan yang melekat di tubuhnya ataupun para guru yang sibuk memantau pergerakan anak muridnya. Sekarang, hanya ada mereka berdua di dalam lapisan candi-candi tersebut.
“Katanya candi ini di bangun cuma semalem loh.”
“Semua orang juga tahu cerita itu, Hoon.”
“Tebak, kira kira kalau waktu itu Roro Jonggrang gak ngebuat api hologram candi ini bakal ada gak?”
“Sunghoon itu tuh cuma cerita rakyat. Yang benar candi ini di bangun oleh Rakai Pikatan, raja keenam dari kerajaan Medang.” balas Jake realitas.
“Dih salah, ini tuh sama Bandung Bondowoso.”
Jake menggeleng tak habis fikir, bisa-bisanya sang pacar percaya begitu saja dengan cerita rakyat yang jelas-jelas hanya fiksi belaka. Mau di lihat dari segimanapun cerita itu memang tak masuk akal, dan lebih tak masuk akal lagi orang yang mempercayainya.
“Fiksi.”
Sunghoon menempelkan jari telunjuknya pada bibir. “ssstt jangan ngomong gitu disini, nanti dewi marah.”
Makin menjadi ini orang.
Malas meladeni ucapan Sunghoon, Jake lebih memilih berjalan lebih dulu meninggalkan sang kekasih yang berteriak memanggil namanya.
“Tadi kamu ngapain ke rumah?” tanya Jake.
“nyamperin kamu.” sahut Sunghoon.
“tumben gak ngechat saya dulu?”
Sunghoon tak menjawab. Netranya memandangi garis edar dari cahaya matahari yang kini telah berganti warna menjadi oranye, di lihat dari jarak yang lumayan tinggi gini warnanya jadi seribu kali lebih indah. Terlebih ketika ia mengok ke samping, maka pemandangan wajah Jake yang di belakangi cahaya senja berhasil membuat ia tersenyum damai.
“Waktu itu, umur aku 8 tahun pas pertama kali ngeliat kakakku gantung diri di kamarnya karena bullying.”
Jake melebarkan bola matanya, terkejut dengan fakta lain dari keluarga Sunghoon.
Selama ini Sunghoon memang tak banyak bercerita tentang keluarganya, tapi jika seperti ini pasti merupakan hal tergelap di hidupnya.
“Aku gak tau apa-apa, mau nangis gak bisa mau teriak juga rasanya udah lemes banget. Jadi aku cuma diem sambil ngelihat ke sana, ke arah mayat kakakku.”
“Jake, alasan kenapa aku selalu takut ke makam karena kematian yang aku lihat itu terlalu serem. Alesan aku selalu berantem karena aku gak mau tertindas kaya kakakku, dan itu juga alesanku berani ngelawan siapapun yang ngehina kamu.” ujar Sunghoon tepat menatap matanya.
Sunghoon menghela nafas sebentar sebelum melanjutkan, “Aku sebenarnya gak sekuat yang kamu lihat Jake. Banyak hal yang aku takuti di dunia ini, aku selalu nyoba buat kuat meskipun nyatanya aku takut, takut kalau kejadian dulu terulang lagi, takut kalau nanti aku kehilangan kamu, takut kalau... kalau aku kehilangan jati diriku.”
Jake memeluk Sunghoon, mengusap punggungnya agar si adam dapat merasa lebih tenang.
Selama ini ia tak pernah tahu kalau Sunghoon memikul beban yang lebih banyak darinya, selama ini Jake selalu merasa bahwa hanya ia yang kerap menangis di jam tiga malam namun nyatanya tidak. Si kekasih yang kerap memberi bahunya untuk ia bersandar juga membutuhkan bahu lain.
Sunghoon memang tak pernah menunjukan kesedihannya, bahkan tidak pada Jake. Ia mengemban semuanya sendiri. Siapa sangka jika orang yang terlihat paling kuat justru merupakan orang yang paling rapuh.
Sunghoon, untuk sekali ini saja. Biarkan ia yang memberi pelukan hangatnya agar pemuda itu tahu bahwa ia akan selalu ada di sisinya sama seperti dirinya yang kerap menemani Jake.
“Sunghoon, kamu pernah bilang ke saya kalau manusia selalu punya dua sisi yang berbeda. Sisi lemah dan sisi kuat. Kamu sudah terlalu lama berada di sisi kuat, kali ini saja biarkan saya melihat sisi lemahmu.”