**
!!! mencantumkan kata kasar, rasisme, darah, kematian, konflik keluarga, konflik negara !!!
Minggu kedua di bulan Oktober tahun 2021, aku dan keluargaku akan memulai kehidupan yang baru. Suamiku yang berprofesi sebagai TNI AD dipindahtugaskan ke Jakarta, sehingga kami yang sudah bertahun-tahun tinggal di Bandung harus beradaptasi kembali di tempat tinggal yang baru.
Tahun ini, usiaku memasuki 43 tahun. Hahaha sudah banyak waktu yang kulalui. Aku bahkan sudah mempunyai seorang putri cantik berusia 13 tahun, putri yang tinggi badan dan ukuran kakinya hampir sama denganku. Jihan namanya, ia memiliki senyum yang banyak orang bilang mirip dengan senyumku. Aku senang mendengarnya, karena senyum Jihan cantik. Itu berarti senyumku juga cantik, bukan?.
“Ma, kamar Jihan sebelah mana?”
“Ma, kaos kaki Papa yang warna hijau disimpan dimana ya?”
“Jihan lupa charger HP Jihan masih dipinjem sama temen yang di Bandung. Gimana dong ma?”
“Ma, tadi driver mobil box yang bantu angkat barangnya udah dikasih bayaran belum ya? Papa lupa”
Selain yang di atas, masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan oleh Jihan dan Papanya di hari pindahan kami. Ya betul, mereka selalu mengira bahwa aku tahu semua hal. Padahal kan tidak, aku juga kadang pelupa dan tak tahu apa-apa.
***
Aku menghirup udara dan meresapi setiap oksigen yang masuk ke dalam rongga hidungku ketika membuka jendela kamar baruku di Jakarta.
“setelah 23 tahun akhirnya kamu kembali lagi kesini, Fir”
“ada yang beda atau enggak ya? Kayaknya oksigen disini sih agak beda, soalnya polusi Jakarta udah parah banget sekarang hahaha”
Aku kembali kepada kegiatanku lagi, membereskan baju-baju dan memasukkannya ke lemari di rumah ini. Senyuman sesekali tertoreh di wajah yang sudah mulai terdapat kerutan-kerutan halus ini kala melihat seragam-seragam dinas milik suamiku.
“gak nyangka, ternyata kita bisa sama-sama sampai 16 tahun ya, Pa. Semoga sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun pun kita tetap bersama” gumamku dalam hati sambil mengusap name tag yang bertuliskan ‘Indra Sanjaya’ itu.
“Ma! Ma!” suara Jihan mendekat dan tak lama sosoknya muncul di hadapanku.
“kenapa, nak?”
“aku nemu ini, ini punya pemilik rumah yang lama mungkin ya?”
“apa itu?”
Jihan menyerahkan selembar foto yang sudah usang kepadaku. Aku tersenyum,
“bukan punya penghuni rumah yang lama, ini punya Mama”
“oh ya? Itu siapa memangnya?”
“teman mama. Dulu, dimasa kuliah”
Aku pandangi kembali foto itu, namun kali ini bukan senyuman yang kutorehkan. Aku menangis, yang sontak membuat Jihan heran dan penuh tanda tanya.
“loh Mama kenapa? Kok nangis?” tangannya yang mungil membawa tubuhku ke dalam pelukannya.
“Jihan mau dengar cerita?” tanyaku sambil mengusap surai hitam milik anakku. Ia hanya merespon dengan anggukkan.
Kembali ke 1998
Aku bergegas mengikat tali sepatuku dan berlari meninggalkan kamar kost ku.
Waktu sudah menunjukkan pukul 9:25 pagi, dan kelasku dimulai lima menit lagi. Sedangkan perjalanan dari kamar kost menuju kampus adalah 10 menit dengan bus kota, belum lagi waktu yang ditempuh untuk perjalanan dari gerbang kampus menuju ruang kelas yang cukup jauh.
“Shafira!!” panggil seseorang di belakangku yang tak aku gubris karena aku sangat buru-buru, tak ada waktu bertegur sapa.
“Shafira telat? Saya juga sama” rupanya itu Lee Juyeon, teman sekelasku. Ia tinggal di gang yang sama dengan rumah kost ku dan hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama. Ia mensejajarkan larinya denganku, tapi aku yakin langkahnya bisa lebih cepat dari itu.
“hari ini bolos aja, Fira”
“udah gila?”
“Dosennya galak. Kamu mau dimarahi?”
“Juyeon, aku gak ada waktu untuk ngobrol”
“itu karena langkah kamu lambat”
Tanpa aba-aba Juyeon menarik tanganku dan ia berlari dengan kencang sehingga aku pun berlari dengan kecepatan yang sama dengannya. Aku tak protes, karena ini memang menguntungkan untuk mempercepat lariku.
Aku bersyukur ketika kami sampai di halte, bus tujuan kampusku sudah datang dan kami bisa langsung berangkat tanpa menunggu lebih lama lagi.
Seperti hari-hari biasanya, dalam bus kota di pagi hari selalu penuh penumpang. Aku dan Juyeon selalu tidak kebagian tempat duduk dan berujung kami berdiri.
Terdengar obrolan-obrolan penumpang dalam bus yang membicarakan kerusuhan yang terjadi di Medan satu hari yang lalu. Unjuk rasa mahasiswa terhadap pemerintahan karena perokonomian yang semakin memburuk dan berujung ricuh.
“Mahasiswa jaman sekarang loh kok anarkis-anarkis” celetuk lelaki tua yang duduk di jok belakang dan membuat aku dan Juyeon saling menatap.
“Loh, Pak! Mahasiswa hanya minta solusi saja pada pemerintah. wong mana ada rakyat yang bisa tahan hidup kalau sekarang harga makanan saja tidak masuk akal. Bapak mau orang-orang Indonesia banyak yang mati kelaparan karena harga bahan pokok melambung? sedangkan mereka masih terjerat kemiskinan?” Seorang Ibu muda yang menggendong bayi memberi argumennya membalas celetukkan lelaki tua tadi.
“Sebetulnya warga Indonesia belum sepenuhnya merdeka sekarang. Kita masih dijajah! Lihat saja orang-orang Cina itu, orang Tionghoa yang menguasai ekonomi Indonesia sekarang. Malah mereka yang kaya raya di negeri kita, dan kita pribumi terjerat kemiskinan di negeri sendiri” sanggah seorang lelaki muda yang usianya aku pikir sudah memasuki kepala tiga.
“Iya nih, lihat disini juga ada nih. Lihat matanya sipit” seorang lelaki yang kurasa seumuran denganku tiba-tiba saja menyudutkan Juyeon sambil menunjuk-nunjukkan jarinya pada wajah Juyeon.
“Pak, maaf jangan rasis. Jangan bikin suasana malah semakin ricuh” Aku menepis tangan lelaki yang sedang menunjuk ke arah Juyeon itu agar ia tidak melewati batas.
Juyeon merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan uang koin dari sana. Ia mengetuk kaca jendela bus dengan koin itu untuk menghentikan laju bus.
Setelah bus berhenti, ia menarik tanganku dan kami pun keluar dari tempat yang penuh dengan orang-orang menyeramkan itu.
“Shafira, hati-hati. Saat ini emosi orang-orang sangat tidak stabil karena perekonomian yang berantakkan. Bisa saja mereka hilang kendali”
“tapi Juyeon, mau dalam kondisi bagaimana pun, rasis itu sama sekali gak boleh dimaklumi”
“tidak masalah, Fira. Orang-orang di gang Hatta (nama gang tempat tinggal kami) juga menyebut saya dan Baba (Ayah) saya sipit, tapi itu gak masalah”
“tetep aja itu gak bener. Kalo aku jadi kamu, aku bakal marah”
“loh memang mata saya sipit, kenapa harus marah? Hahaha”
“ini kita kok turun disini? kan kampus masih disana, Juyeon” aku menunjuk ke arah gedung kampus kami, gedungnya sudah terlihat, namun tidak begitu dekat.
“dari pada kita terus terkurung di dalam bus itu, lebih baik kita turun. Tak apa Fira, kita bolos saja hari ini. Kita sudah tidak bisa masuk kelas, karena terlalu telat”
“tapi aku bakal tetap pergi ke kampus, aku belum sarapan. Makan di kantin kampus aja supaya murah”
“kita naik bus lagi?”
“Jalan kaki aja, kalau naik bus nanggung. baru naik, udah turun lagi karena terlalu dekat”
“Hahahaha oke”
“kamu ikut juga, Juyeon?”
“saya juga belum sarapan”
Kami berjalan menyusuri trotoar yang cukup ramai menuju kampus. Dari kiri-kanan telingaku orang-orang masih membahas tentang kerusuhan di Medan serta mengkritik pemerintah tentang ekonomi saat ini.
Tak sedikit pula mata yang menatap sinis pada Juyeon saat mereka melihatnya. Wajah Asia Timur memang sangat melekat pada Juyeon, terlebih matanya yang sangat sipit membuat orang-orang pribumi langsung tahu bahwa Juyeon bukan orang asli Indonesia.
“Biarkan saja, Fira. Saya lihat kamu dari tadi terlalu peduli dengan komentar orang lain”
“Kamu harus berani marah, Juyeon. Mereka sedang menyudutkan kamu. Padahal kan kamu tidak salah apa-apa”
“saya tidak masalah”
“ dasar, kamu jadi orang terlalu baik”.
.
.
.
***
.
.
Aku dan Juyeon saling mengenal sejak semester pertama kuliah kami, tiga tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama berusia 17 tahun. Juyeon yang membantuku mencari kamar kost kala itu, “kamu dari Bandung datang sendirian? biar saya dan Baba saya bantu pindahan kamu”.
Semenjak hari itu, setelah pindahanku ke kamar kost yang berada di gang yang sama dengan rumah Juyeon, aku dan Juyeon menjadi sangat dekat. Bahkan Baba nya (Baba Lee Ong Seok, atau yang orang-orang gang Hatta panggil sebagai Baba Liong) pun sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.
Juyeon dan Baba Liong memiliki bisnis sembako di gang Hatta. Rumah mereka berada di atas tokonya, sehingga bisa dibilang mereka tinggal di sebuah ruko (rumah toko).
Setiap sore hari ketika aku dan Juyeon pulang dari kampus, Baba Liong pasti sedang duduk di kursi rotan depan toko sambil membaca Koran dan meminum segelas kopi menggunakan gelas séng. Dan ia selalu berkata “Juyeon dan Shafira anak-anakku, ayo makan malam dulu”.
Keluargaku sendiri bahkan tidak pernah memperlakukanku selayaknya Baba Liong. Di rumahku, bahkan makan di atas satu meja pun tidak pernah. Ibu dan Ayahku tidak pernah damai. Mereka berdua tetap mempertahankan pernikahan karena reputasi. Bahkan saat aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta pun mereka tidak peduli dan aku benar-benar pergi sendiri.
Aku selalu merasakan kehangatan setiap berada disekitar Juyeon dan Baba. Maka dari itu, aku tentu saja akan marah bahkan sangat marah ketika ada segelintir orang-orang yang bahkan tidak tahu apapun tentang Juyeon dan Baba Liong namun dengan mudahnya menyakiti perasaan mereka.
.
.
***
.
.
.
Aku dan Juyeon sudah memasuki wilayah kampus dan berjalan menuju kantin fakultas kami. Aku sudah memprediksi bahwa suasana kampus akan sangat menegangkan. Ada segelintir himpunan mahasiswa yang melakukan orasi. Juyeon tetap mengingatkanku untuk tidak menggubris itu dan jangan tersulut emosi.
Sampai di kantin pun masih banyak yang ber-orasi, berteriak-teriak untuk mengajak seluruh mahasiswa kampus kami melakukan pergerakkan. Orang-orang itu naik ke atas meja kantin dan berteriak di depan pengeras suara, sehingga mereka menjadi pusat perhatian seisi kantin.
“Kalau bukan kita, siapa lagi?!”
“Semua mahasiswa diharapkan ikut andil dalam reformasi”
“Pemerintahan orde baru harus berakhir disini”
“Hari ini juga kita adakan rapat besar-besaran untuk rencana demonstrasi. Semua orang harus berkumpul di Aula utama”
Begitu lah inti yang bisa aku simpulkan dari teriakkan mereka.
“Fira! Makan!” Juyeon menyenggol tanganku agar aku kembali fokus kepada makananku, karena aku terlalu memperhatikan orasi tadi.
“Juyeon, kamu mau ikut?”
“ikut? Demo?”
“iya”
“ikut”
“Juyeon, kamu jangan ikut-ikutan deh”
“tapi Fira, ini demi kita semua. Kamu lupa kalo Baba saya punya bisnis sembako? Kalau harga bahan pokok masih melambung, bisa-bisa bisnis keluarga saya gulung tikar”
“tapi aku khawatir. Di kota Medan saja unjuk rasa berakhir ricuh”
“saya percaya kali ini tidak akan berakhir begitu” Ia tersenyum hingga membuat kedua matanya tertutup.
“kita gak bisa prediksi, Juyeon!”
“saya juga mau Indonesia cepat kembali seperti semula”
“tapi ini bahaya loh”
“Shafira, walaupun tidak ada darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh saya, saya akan tetap rela bertumpah darah demi negeri ini”
“kamu ngomong jangan sembarangan! Ngapain bawa-bawa darah segala!”
“itu biar kayak puisi karya Chairil Anwar”
Aku hanya menggelengkan kepalaku, tidak mau menerima kata-kata Juyeon tadi. Aku rasa ia berlebihan karena membahas darah-darahan.
“Lanjut makan saja, Fira. Kamu dari tadi belum mulai makan. Mau saya suapi?” Juyeon menyodorkan satu potong daging padaku.
“ih kayak Baba aja ngerayu pake cara suap-suapan hahaha” aku menertawakan Juyeon karena ia bertingkah seperti Baba Liong setiap kali aku atau Juyeon tidak nafsu makan.
“ya sudah setelah makan ini kamu pulang ke kost, saya pergi ke Aula”
“gak mau”
“loh?”
“aku juga akan ikut demo”
“jangan, Fira. Kamu perempuan”
“loh jangan anggap aku lemah ya! Aku bisa, kok”
.
.
**
.
.
Saat memasuki Aula utama, ternyata baru ada aku dan Juyeon saja. Mungkin yang lainnya masih belajar di kelas.
“Fira, tunggu. Saya ke toilet dulu”
Aku hanya mengangguk menanggapinya, dan tak lama dari itu Juyeon sudah kembali lagi dengan penampilan yang berbeda. Ia mengenakan setelah jas yang sangat rapi. Aku berasumsi mungkin tadi pakaian jas nya itu disimpan di dalam tas ransel besarnya.
“kenapa diganti bajunya?”
“ini baju harusnya saya pakai saat presentasi tadi di kelas. Tapi karena saya bolos, jadi gak dipakai”
“terus sekarang kenapa tetap dipakai?”
“nanti Baba marah. Soalnya saya paksa-paksa buat dipinjamkan baju pernikahannya ini. Kalau tidak ada bukti, nanti dia marah”
“hahahaha”
“Fira tolong ambil foto saya” Juyeon menyerahkan kamera digital miliknya,
“satu.. dua… tiga…”
“udah, Fira”
“loh, gak mau difoto sekali lagi?”
“gak usah, saya malu” ia tersenyum lagi-lagi.
“ya sudah, nanti kalau sudah dicetak, aku mau lihat”
“gak boleh” ia merebut kameranya.
“hahaha iyaaa deh terserah”
“nanti saya pakai juga baju ini di hari pernikahan saya”
“iyaa, pakai lah. Bagus dipakai sama kamu”
“kalau kamu gimana, Fira?”
“aku? Aku akan pakai kebaya yang cantik”
“kamu nya juga pasti cantik”
“hahaha”
“saya mau berdiri disebelahmu nanti”
“nanti kapan? waktu demo?”
Juyeon menghela napasnya kasar “iya, Shafira. Iya”
Aku menertawakan Juyeon karena ia memasang raut wajah yang memelas. Aku tahu persis maksud Juyeon adalah ia akan berdiri disebelahku saat hari pernikahanku, namun aku lebih baik menghindar karena khawatir setelah ini akan menjadi canggung.
Setelah percakapan kami tadi, segerombolan orang akhirnya memasuki Aula dan rapat dimulai tak lama dari itu. Beberapa petinggi kampus seperti para dekan pun ikut hadir di rapat demonstrasi kali ini, yang berarti demonstrasi ini adalah hal yang sangat serius.
Setelah mendapat persetujuan dari kampus dan pihak kepolisian, kami akan melakukan demonstrasi pada tanggal 15 Mei 1998.
Semua mahasiswa setuju dan kami dihimbau untuk tetap menjaga kesehatan kami hingga hari demo. Karena bagaimana pun keselamatan tetap nomor satu.
.
.
***
.
.
Aku dan Juyeon memasuki gang hatta pada pukul 4 sore sepulang dari kampus. Juyeon masih mengenakan setelan jas nya saat ini, ia bilang terlalu malas jika harus mengganti pakaian lagi. Aku berjalan beriringan dengan Juyeon seperti anak yang sedang berjalan dengan ayahnya yang baru pulang dari kantor hahaha.
Hal yang tidak biasa terjadi, Baba Liong tak ada di kursi rotannya ketika kami mulai berjalan belok memasuki jajaran rumah kami. Sontak membuat Juyeon berlari menuju toko dan mencari Baba nya, aku mengikuti dari belakang.
“Baba!!” Juyeon berteriak ketika melihat ayahnya yang sedang menangis sambil berjongkok di dalam toko.
“Juyeon, Shafira” Wajah Baba memelas, pasti hatinya sedang tersakiti amat sangat.
Aku melangkah memasuki toko dan melihat beberapa barang jualan Baba seperti tidak tersimpan pada tempatnya. Ada yang mengacak-acak.
“Kenapa, Ba?” Juyeon membantu Baba berdiri lalu memeluknya.
Aku hanya menyaksikan kejadian itu sambil menahan tangis, meski belum mengetahui sebab jelas apa yang terjadi pada Baba.
“tadi ada beberapa orang yang datang kemari lalu marah-marah. Mereka bilang toko saya pembawa sial. Mereka bilang orang seperti saya tidak boleh mencari uang di negeri ini” air matanya terus bercucuran seraya ia menjelaskan.
“tenang… tenang…” Juyeon mengusap-usap punggung Baba bermaksud untuk menenangkannya. Air mataku semakin deras mengalirnya.
“Baba, mulai besok jangan dulu buka toko sampai keadaan membaik” Juyeon melepas pelukannya dengan Baba kemudian membereskan barang-barang yang berantakkan. Aku akhirnya membantu Juyeon.
Setelah itu, aku kembali ke kamar kost ku dan membersihkan badanku. Hari ini sangat berat. Banyak hal yang terjadi. Namun, aku yakin setelah ini akan lebih banyak lagi kejutan-kejutan yang sangat tidak terduga.
.
.
***
.
.
kriiiiiing kriiiiiiing
pukul 8 pagi, telepon di kamar kost ku berdering.
“Halo?”
“Fira, ini Ayah! Pulang nak, Jakarta sedang tidak aman sekarang”
“setelah tiga tahun, baru kali ini Ayah minta Fira pulang. Fira gak mau”
“disana bahaya, nak. Ayo pulang”
“enggak, yah. 3 hari lagi Fira mau ikut demo. Fira gak pulang”
KLIK Aku menutup telepon dari Ayahku tanpa aba-aba.
Hari ini tanggal 12 Mei 1998, tiga hari sebelum tanggal demonstrasi sesuai hasil rapat demo.
Beberapa hari ke belakang banyak hal terjadi. Baba Liong tidak mau keluar rumah sama sekali karena ada keributan setiap hari. Juyeon menggunakan topinya setiap kali ia pergi ke luar rumah bahkan menuju kampus, demi menutupi wajahnya yang akan dikenali orang-orang sebagai non pribumi.
Keributan terjadi setiap hari di kampus. Awalnya aku tidak mau datang ke kampus setelah hari rapat demo, namun kegiatan belajar masih tetap dilaksanakan sehingga mau tak mau aku harus tetap datang ke kampus. Begitu pun Juyeon.
Setelah hari rapat, Aku tidak pernah membiarkan Juyeon pergi ke kampus sendirian. Aku sangat khawatir hal-hal yang tidak terduga terjadi padanya.
“Fira!! Shafira!!!” seseorang mengetuk pintu kamarku dan refleks aku langsung membuka pintu.
“kenapa?” ternyata itu adalah Dewi, teman satu kost ku.
“Toko Baba Liong diacak-acak lagi!!”
Tanpa aba-aba aku langsung berlari menuju kesana.
.
.
***
.
.
“saya sudah berhenti berjualan! Saya tidak akan membuka toko lagi”
Aku lihat Baba berlutut dihadapan seseorang sambil berkata hal yang tidak mengenakkan hati.
“goblok! Situ cuman numpang di Indonesia dasar sipit! Balik lagi ke Negara mu sana!!! Tolol!” Lelaki yang berdiri di depan Baba menendang Baba hingga tersungkur ke lantai. Menyaksikan itu tentu saja aku tak bisa tinggal diam.
“PAK! CUKUP PAK!” lelaki itu menoleh ke arahku.
“Kamu siapa?” ia melotot padaku.
“jangan main hakim sendiri, Pak. Bapak kan sudah dengar barusan, beliau sudah mau berhenti berjualan. Jadi tolong bapak pergi dari toko ini atau saya panggil polisi?”
Lelaki itu tak membalas ucapanku namun ia langsung berlari meninggalkanku dan Baba.
“Baba gak kenapa-kenapa?” aku membantu Baba bangkit.
“Terima Kasih, Fira. Saya tidak apa-apa” Baba menepuk-nepuk celananya bagian belakangnya.
“Juyeon kemana?”
“Dia pergi ke kampus. Katanya hari ini demo”
“Loh? Bukannya demo 3 hari lagi?”
“dia bilang dimajukan”
“loh kok gak cerita ke Fira”
Baba hanya menggeleng tidak menjawab apapun. Aku langsung berlari ke kamarku, membawa jas almamater dan perlengkapan lain lalu langsung menuju ke halte bus.
.
.
***
.
.
Sesampainya di kampus, memang sudah banyak rekan-rekan mahasiswa yang sudah siap untuk melakukan demonstrasi, mahasiswa dari luar kampusku pun berkumpul disini dengan banner dan slogan-slogan di tangan mereka. Seperti “1998 REFORMASI”, “GULINGKAN PRESIDEN!!”, “KITA INI MAKAN NASI BUKAN MAKAN JANJI” dan lain sebagainya.
Aku berlari menuju arah gedung fakultasku untuk mencari keberadaan Juyeon. Aku panik, sangat panik. Ditambah lagi dengan teriakan-teriakan orang yang berorasi membuat aku menjadi semakin panik dan takut.
“Fira!! Shafira!!!” Suara yang sangat aku kenali itu, memanggil namaku. Itu Juyeon, namun aku sulit mencari keberadaannya.
“Juyeon! Kamu dimana?” aku berteriak namun tentu saja teriakkan ku tak ada apa-apanya dibandingkan dengan suara dari orang-orang yang menggunakan alat pengeras.
“Hei!” Juyeon menepuk pundakku dari belakang dan membuatku spontan berbalik.
“Juyeon!!!”
“Fira, kamu kenapa kesini!”
“Kamu kenapa gak cerita kalau demo nya jadi hari ini?”
“Saya gak mau Fira ikut”
“aku akan tetap ikut”
“Pulang aja, Shafira”
“Gak!!! Aku akan pulang kalau kamu juga pulang, Juyeon”
“ya sudah sini”
Juyeon menarik tanganku dan membawaku ke tempat yang tidak terlalu ramai.
“Fira, kamu harus janji sama saya kalau kamu akan tetap baik-baik saja sampai semua ini selesai” Juyeon berkata sambil mengoleskan pasta gigi di bawah mataku.
“ini supaya mata kamu tidak perih. Nanti pasti akan banyak api, asapnya bisa perih dimata. Nanti juga mungkin akan ada penembakkan gas air mata, ini bisa buat matamu tidak terlalu perih”.
Aku hanya menonggak melihat ke arah Juyeon yang lebih tinggi dariku. Wajahnya tertutup topi dan ia juga menggunakan pasta gigi sepertiku di bawah matanya.
“Juyeon, kamu juga harus janji”
“Iya, Shafira. Saya janji akan selalu ada disamping kamu dan saya janji akan baik-baik saja sampai akhir”
Ia menatapku lalu memelukku hanya sebentar. Karena orang-orang sudah mulai bersiap untuk pergi memulai perjalanan menuju Gedung Nusantara (Gedung DPR/MPR/DPD) dan melakukan demonstrasi disana.
.
.
***
.
.
“INDONESIA PERLU REFORMASI!”
“TURUNKAN PRESIDEN! TURUNKAN PRESIDEN!”
Kata-kata yang kami sorakkan selama berjalan beriringan menuju Gedung Nusantara menjadi latar suara peristiwa hari ini. Aku berjalan di sebelah Juyeon, ia sesekali menggenggam tanganku untuk memberiku kekuatan.
Demonstrasi berlangsung dengan tertib awalnya hingga ada beberapa oknum yang membakar ban, merusak fasilitas umum, bahkan membakar kendaraan-kendaraan yang berada di sekitar Gedung Nusantara yang akhirnya menimbulkan kericuhan.
Aku sangat ketakutan. Ini sudah tidak bisa dikendalikan. Benar saja apa kata Juyeon, gas air mata ditembakkan dan membuat para mahasiswa peserta demonstrasi mundur dan berhamburan kemana-mana.
Ditambah lagi dengan banyaknya oknum polisi dan oknum mahasiswa yang terlibat perkelahian, membuat segalanya menjadi tidak terkendali.
Kami akhirnya berlari berbalik kembali menuju kampus kami untuk berlindung disana.
Juyeon menggenggam tanganku sambil berlari. Sesuai apa dengan apa yang ia katakana tempo hari “Saya mau berdiri disebelahmu”. Aku yang ketakutan saat ini setidaknya merasa sedikit aman karena ada Juyeon yang menjadi tamengku.
Setelah sampai di gedung kampus kami, aku kira situasi akan menjadi aman. Namun ternyata tidak sama sekali.
Polisi mengejar kami hingga gedung kampus dan kembali menembakkan gas air mata. Situasi semakin ricuh karena para mahasiswa yang berlari berhamburan kesana kemari. karena banyak yang berlarian dan bertubrukkan, tanganku terlepas dari genggaman tangan Juyeon.
“Fira, sembunyi!”
“kamu dimana?” aku kebingungan tak bisa melihat Juyeon karena asap yang membuatku sulit melihat.
“Shafira, sembunyi! Tolong sembunyi! Jangan tunggu saya!”
“Juyeon!!” seluruh tubuhku gemetar dan aku berlari menuju tempat yang sepi, kemudian bersembunyi di bawah tangga dimana tempat barang-barang perlengkapan Mahasiswa Mapala disimpan. Aku sembunyi ditutupi tas gunung yang sangat besar. Tapi aku tetap tidak merasa aman, aku ketakutan.
DUARRR, DUARRRR. suara tembakkan terdengar jelas di telingaku. Polisi menembak berkali-kali. Aku tidak tahu berapa kali tepatnya, tapi aku yakin itu lebih dari lima tembakkan. Setelah tembakkan yang berulang-ulang pun ada satu kali lagi tembakan lainnya.
Suara teriakkan orang-orang yang sama ketakutannya denganku terdengar sangat nyaring. Aku menutup telingaku dan semakin gemetar. Aku menangis namun aku tahan suara tangisanku agar tak ada yang mengetahui keberadaanku.
“Pak! Woy polisi! Pelurumu kena teman saya!!”
“Darah darah!!”
“Dia pingsan!”
“Tidak, dia mati!”
“POLISI BERHENTI!!!!!”
Aku mendengar suara itu samar-samar karena aku menutup kedua telingaku rapat-rapat. Tapi aku bisa dengar bahwa ada seseorang yang mati. Tidak, mungkin lebih dari satu orang.
Suara-suara semakin bising di telingaku, semua orang tak terkendali. Sangat ricuh, semua orang marah.
Badanku gemetar, pikiranku tak karuan. Semua hal-hal buruk yang bisa saja terjadi terus berputar di kepalaku. Aku mengkhawatirkan Juyeon, apakah dia sekarang berada di tempat yang aman? atau dia berada dikerumunan yang ricuh itu? atau bahkan ia yang tertembak?. Aku menepis pikiran itu jauh-jauh dan membungkam mulutku dengan tanganku yang gemetar agar suara tangisku tidak terdengar oleh orang lain.
.
.
***
.
.
Juyeon berlari menjauh dari kerumunan saat ia menyuruh Shafira untuk bersembunyi. Namun larinya terhenti ketika suara-suara tembakkan itu jelas terdengar di telinganya. Ia refleks mengambil posisi jongkok dan menutup telinganya.
Suara-suara teriakkan yang mengatakan bahwa ada yang tertembak membuatnya gemetar, Juyeon tidak ragu berteriak kepada polisi yang berada disekitarnya.
“STOP WOY! KALIAN LIHAT ITU ADA YANG TERTEMBAK!”
Tapi polisi-polisi itu seakan tidak peduli dan tidak menghiraukan teriakannya. Sebagian polisi juga malah sibuk menyeret beberapa orang mahasiswa karena disangka sebagai “dalang” dari kerusuhan hari ini.
“kamu diam saja! Kamu bahkan bukan orang Indonesia” seorang lelaki berseragan mendekati Juyeon dan berkata itu tepat di depan wajahnya.
“memangnya kenapa?! Saya tinggal disini berarti saya berhak menuntut kemakmuran negeri ini!”
“alah gak usah sok baik. Kami semua disini tahu kalau orang cina seperti kamu hanya mencari kekayaan di Negara kami!”
“anda seorang polisi tapi bahkan tidak bisa bersikap netral dan mengayomi? Miris”
Juyeon berdecak, membuat polisi itu kehabisan kata dan tak bisa mengontrol emosi. Ia menodongkan senjata apinya ke dahi Juyeon yang sudah berkeringat.
“kenapa? Anda mau tembak saya?” Juyeon menantang dan melotot ke arah polisi itu.
“dengar ya, sipit! Orang-orang seperti kamu malah yang membuat kerusuhan di Negara ini!”
“Saya berani sumpah demi Tuhan, anda jauh lebih buruk dan hina dibandingkan orang sipit seperti saya. Anda arogan, sombong, bertindak tanpa berpikir. Lalu anda kira anda masih pantas memakai seragam ini? Tidak!” Juyeon mendorong polisi itu, namun polisi itu melawan dengan memukul wajah Juyeon menggunakan pistolnya sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.
BUGGH!
“aaagh” Juyeon memegang ujung bibirnya kesakitan dan ternyata berdarah karena robek cukup besar akibat pukulan tadi.
“sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah menang di negeri orang lain!” ia menatap Juyeon sinis.
Polisi itu menarik pelatuknya dan mengarahkannya ke tanah namun pelurunya memantul ke arah lain dan mengenai salah satu mahasiswa yang sedang berada di dekatnya.
“Polisi Woy! Pelurumu kena teman saya!”
“darah darah!”
Seseorang yang tertembak itu seketika tergeletak tak sadarkan diri dan banyak darah keluar dari dada kirinya.
Menyaksikan itu Juyeon langsung memukul polisi dihadapannya dengan kepalan tangan besarnya hingga polisi itu terjatuh.
“sekarang anda sadar? Siapa yang menjadi dalang kerusuhan? Ya orang-orang seperti anda!” Juyeon menendang badan polisi itu hingga ia tergeletak dan tidak melawan lagi.
Juyeon membalikkan badan dan menghampiri orang yang tertembak tadi, tubuhnya gemetar melihat rekannya bersimpah darah tak sadarkan diri. Beberapa orang mengerumuni orang itu sambil menangis, mungkin itu teman dekatnya.
“Juyeon!” seseorang menepuk pundak Juyeon dari belakang. Itu Firman, teman satu kelas Juyeon.
“saya lihat toko-toko di pinggir jalan itu banyak yang diacak-acak dan dirampok oleh warga yang mengamuk! Banyak wanita Tionghoa yang dilecehkan menangis di jalanan. Saya bahkan gemetar saat berlari menuju sini”
Juyeon hanya terdiam. Ia terkejut dan tidak menyangka bahwa kekacauan akan menjadi separah ini.
“Pulanglah Juyeon. Kamu perlu tahu kondisi keluargamu”
“tapi saya..” Juyeon melihat ke arah rekannya yang tertembak tadi.
“rekan-rekan yang luka akan dibawa ke rumah sakit secepatnya setelah ambulans datang. Kamu harus pulang, keluarga kamu bisa saja dalam bahaya”
Juyeon menepuk lengan Firman kemudian berlari untuk pulang. Ia terus-terusan menyentuh luka di ujung bibirnya yang berdarah karena terasa sakit. Kepalanya pun terasa pusing karena benturan yang sangat keras tadi. Namun tak ia pedulikan karena ia khawatir akan Ayahnya.
Lelaki bertubuh tinggi itu berlari dari gedung kampus menuju rumahnya tanpa kenal lelah, meski tubuhnya sudah lemas. Sedangkan jarak dari kampus menuju rumah itu cukup jauh jika harus berlari.
Di sepanjang jalan ia berlari, pemandangan yang ia lihat bukan seperti Jakarta pada hari-hari biasanya. Mobil terbakar, toko yang diobrak-abrik, orang-orang berkelahi, orang-orang yang tergeletak kesakitan. bahkan ada satu orang perempuan yang Juyeon yakini sebagai non pribumi menghampirinya meminta pertolongan, karena ia telah dilecehkan oleh sekelompok orang.
Juyeon berkali-kali jatuh karena tersandung objek yang berada di depannya, seperti bambu yang digunakan demonstran sebagai alat perlindungan diri, bahkan terjatuh karena bertabrakan dengan orang lain yang sama paniknya dengan dia.
“Fira maaf, saya harus pulang duluan. Saya yakin kamu bersembunyi di tempat yang aman. setelah saya membawa Baba ke tempat yang aman, saya akan jemput kamu”
Luka-luka disekujur tubuhnya serta goresan di hatinya membuat ia tak kuasa menahan tangisannya.
“tapi untuk kali ini, saya tidak bisa berjanji. Maaf, Shafira”
Memasuki Gang Hatta dan menuju tokonya, benar saja apa yang dikatakan Firman toko Baba sangat kacau. Kaca jendela depannya pecah dan berceceran pecahan kaca dimana-mana. Barang dagangan Baba juga banyak yang hilang, dan banyak yang rusak.
“Baba!!” Juyeon berteriak mencari keberadaan Ayahnya, ia kemudian naik ke lantai atas memasuki rumahnya
“Baba!!”
Saat menginjak anak tangga paling atas, ia sangat terkejut karena terdapat bercak darah disana. Ia panik dan menelusuri semua ruangan mencari Baba.
“Juyeon! Kamu sudah pulang?” Suara Baba lemah. Ia terbaring di tempat tidurnya.
Juyeon segera berlai menghampirinya dan meneliti tubuh Baba, untuk mencari sumber dari darah yang berceceran di anak tangga tadi. Dan benar saja, ada pecahan kaca yang sangat besar tertancap di lengan kanan ayahnya.
“nak, kenapa bibir kamu berdarah? Kenapa sikut dan lututmu juga berdarah?”
Bukannya menjawab, Juyeon malah menangis lebih keras. Bagaimana bisa Ayahnya mengkhawatirkan dirinya? sedangkan Baba memiliki luka yang lebih serius di lengannya.
“Saya tidak apa-apa, Ba. Ayo kita pergi ke rumah sakit, tangan Baba berdarah”
“saya tidak mau, nak. Saya takut. Semua orang membenci kita”
Juyeon semakin menangis “tidak, Baba. Tidak ada yang benci kita. Ayo kita pergi ke rumah sakit”
“padahal saya dan anak saya begitu mencintai negeri ini. Padahal anak saya rela terjatuh dan berdarah-darah demi menuntut kemakmuran negeri ini. Tapi kenapa orang-orang selalu memandang saya dan anak saya sebagai pemicu kerusuhan disini?” air mata Baba akhirnya keluar setelah sedari tadi beliau tahan.
“anak saya bahkan sejak lahir sudah ada disini dan begitu mencintai Negara ini”
“Baba…”
Baba bangun dari posisi baringnya. “ayo nak, kita pergi dari sini”
Juyeon tak merespon, hatinya terlalu sakit untuk menerima kenyataan ini.
“kemasi barang-barangmu. Kita pergi sekarang”
“tapi tangan Baba terluka, Ba”
“Sakit dilengan ini tak seberapa dibandingkan rasa sakit saya selama tinggal disini”
“Saya sangat suka tinggal disini, Baba. Disini ada Shafira. Shafira sedang ketakutan disana, bagaimana bisa saya pergi meninggalkan dia sendiri?”
.
.
***
.
.
Situasi berangsur-angsur menjadi tenang. Suara-suara teriakan dan amarah dari orang-orang sudah tak terdengar lagi. Mungkin sekarang sudah tengah malam. Aku belum berani untuk keluar dari persembunyian ini. Tubuhku lemas, aku lapar dan pegal-pegal karena sudah berjam-jam menekuk tubuhku.
“Kak! Kamu sedang apa disini?” Seorang lelaki menarik tas yang menghalangiku dan mengulurkan tangannya, bermaksud membantuku. Mungkin dia adik tingkatku atau mahasiswa dari kampus lain, karena aku tidak mengenalnya.
Aku terkejut dan menggelengkan kepalaku. Aku masih terlalu takut untuk keluar.
“tak apa kak, sekarang situasinya sudah aman. polisi sudah pergi. Sekarang hanya tinggal kita”. *Kita = para mahasiswa peserta demonstrasi.
Aku menerima uluran tangannya dan berjalan jongkok untuk keluar dari persembunyian. Saat aku mencoba berdiri, kakiku terasa sangat kaku. Aku tidak bisa merasakan kakiku karena terlalu lama ditekuk di dalam sana.
“duduk dulu kak, saya ambilkan minum dulu” ia berlari menjauh dariku yang sekarang sedang duduk meluruskan kaki dan bersandar pada tangga.
Pemandangan di depan mataku sekarang adalah orang-orang yang terbaring lemas. Ada beberapa orang tua yang datang untuk menjemput anak mereka. Aku sedikit iri, mereka keluarga yang saling menyayangi.
Tak lama, lelaki yang menolongku tadi datang dan memberiku satu botol plastik yang berisi air mineral lalu duduk di sebelahku.
“Terima kasih”
“sama-sama. Kakak butuh obat pegal untuk kakinya?”
“tidak usah, saya tidak apa-apa. Sekarang pukul berapa?”
“pukul 2 pagi”
Aku menghela napasku kasar. “tadi… yang tertembak, siapa?”
“saya kurang tahu siapa saja kak, tapi ada empat orang dan sekarang sudah ditangani di rumah sakit”
Aku mengangguk-angguk memahami situasinya. “kamu lihat Juyeon?”
“Juyeon?”
“iya, Lee Juyeon”
“ohh kakak Korea itu?”
“iya”
Ia menggelengkan kepalanya. Aku mengangguk-angguk lagi.
“saya tinggal dulu ya, kak. Saya harus keliling ke yang lain”
“iya silahkan. Terima kasih, ya!”
“sama-sama, kak” ia tersenyum lalu pergi meninggalkanku sendirian.
Setelah beberapa saat, aku mencoba bangun dan meregangkan kakiku. Saat terasa kembali normal, aku kemudian berjalan berkeliling untuk mencari Juyeon. Semua orang satu-persatu aku tanyai, namun tetap tak ada yang mengetahui keberadaannya.
“Juyeon kamu dimana?....”
…
Pukul lima pagi, aku pulang ke kost ku diantar oleh salah satu peserta demonstran yang membawa sepeda motor. Aku mencari Juyeon ke rumahnya namun yang ku temukan hanya rumah yang berantakan dan toko yang kacau.
Aku tak bisa berpikir. Apakah Juyeon sudah pulang? atau ia masih terjebak di kerusuhan sana?. Namun yang paling aku takutkan adalah bagaimana jika Juyeon adalah orang yang tertembak?.
“Baba!!” aku menelusuri satu persatu ruangan namun tak aku temukan Juyeon dan Baba Liong. Aku menangis sejadi-jadinya memikirkan kejadian terburuk dikepalaku terlebih lagi aku melihat bercak-bercak darah di beberapa titik di rumah ini.
Pagi harinya, berita-berita di televisi dan radio menginformasikan mengenai kerusuhan kemarin. Sudah dipastikan 4 orang tertembak peluru tajam di hari itu dan puluhan lainnya luka berat dan luka ringan. 4 nama mahasiswa tewas yang disebutkan di berita semuanya tak aku kenali.
Aku bergegas membersihkan diri dan kembali pergi ke kampus untuk meminta daftar orang-orang yang luka-luka dan dibawa ke rumah sakit. Namun tetap tak ada nama Lee Juyeon pada daftar itu.
Jika kamu berpikir bahwa kerusuhan sudah berakhir, nyatanya tidak. Semua orang semakin marah dan membenci pemerintah saat ini terlebih lagi ada korban jiwa. Aku sudah tak peduli lagi dengan orang-orang anarkis yang ada di depan mataku. Aku hanya mencari Juyeon dan Baba. Orang-orang yang sangat aku sayangi.
…
Sore harinya Ayah datang menjemputku. Aku harus pulang ke Bandung karena Jakarta benar-benar sedang tak aman. Sebanyak apapun alasan aku menolak untuk tidak pulang, Ayah tetap kekeh dan mau tak mau aku akhirnya pulang ke Bandung.
Sampai di Bandung pun, aku tak pernah absen mencari Juyeon. Aku menelepon ke nomor ruko namun tak pernah ada jawaban setiap harinya. Aku terus bertanya-tanya. Dimana mereka sebenarnya? Kenapa mereka menghilang tanpa pamit?.
…
Setelah satu minggu aku tinggal di Bandung, Indonesia kembali digemparkan dengan pengunduran diri Presiden dan era Orde Baru berakhir kemudian diganti dengan era Reformasi. Unjuk rasa yang memakan korban jiwa beberapa hari lalu ternyata membuahkan hasil.
Satu hari setelah kemunduran Presiden, aku memohon kepada Ayah dan Ibuku untuk kembali ke Jakarta. Aku tetap mau mencari Juyeon dan Baba. Meskipun tidak bisa kembali lagi seperti dulu, setidaknya aku tahu keberadaan mereka.
Aku memutuskan untuk masuk ke rumah Juyeon terlebih dahulu sebelum ke kamar kost ku. Aku memasuki rumah ini dengan hati yang masih sakit. Tetap tak ada tanda-tanda kehidupan disini, posisi tempat tidur yang berantakkan bahkan masih sama seperti kali terakhir aku datang kesini.
Aku bereskan kekacauan ini. Merapikan perabotan ke tempatnya semula. Aku bahkan lebih hapal tata letak rumah ini dibandingkan rumahku sendiri. Aku tak kuasa menahan tangis saat melihat beberapa foto Baba dan Juyeon yang tertempel di dinding dengan rapi.
Melihat senyum mereka, momen-momen dalam foto yang seakan berbicara bahwa Juyeon dan Baba adalah keluarga yang paling bahagia di dunia.
Langkahku gontai saat menuju kamar kost ku. Gang Hatta sepi, orang-orang mungkin pulang ke kampung halamannya masing-masing karena menghindari Jakarta yang semakin hari semakin mencekam ini.
Aku memutar kunci pada pintu kamarku kemudian masuk ke kamar kost yang sudah 3 tahun aku tempati ini. Langkahku terhenti ketika aku menginjak sesuatu di lantai kamarku, ada satu amplop putih di sana dengan perangko yang tertempel di atasnya. Dengan tergesa-gesa aku langsung mengambil lalu membukanya.
Tangisku tak terbendung lagi ketika aku mengeluarkan kertas-kertas dalam amplop itu. Ada 2 foto dan satu kertas yang dilipat tidak rapi di dalamnya. Aku buka kertas itu terlebih dahulu dan disana tertulis:
“Shafira, saya akan pergi jauh. Maaf. Maaf karena mulai sekarang saya tidak bisa lagi berdiri disampingmu. Maaf saya pergi tanpa menggenggam tangan kamu. Saya sangat menyayangi kamu, meski saya tidak pernah berucap demikian. Saya mohon, bahagia lah selalu. 12 Mei 1998, Lee Juyeon”
Tetesan air mata jatuh pada kertas putih itu. Aku hanya menangis, tak dapat berkata apapun.
Jika saja saat itu aku tahu akan menjadi hari terakhir pertemuan kami, aku akan memeluknya lebih lama. Jika saja aku tahu Juyeon akhirnya akan pergi, aku tidak akan lari ke bawah tangga dan bersembunyi. Jika saja aku tahu, aku akan dengan lantang berkata aku juga mau berdiri disampingnya ketika ia mengenakan baju pernikahannya.
2 lembar foto tadi adalah foto yang aku ambil saat hari rapat demo, dimana Juyeon mengenakan setelan Jas Baba Liong. dan satu lagi adalah fotoku di hari itu juga yang mungkin Juyeon ambil diam-diam.
Di belakang fotoku tertulis;
“Shafira, yang akan berdiri disamping saya kelak”
Dan di belakang fotonya tertulis;
“saya akan pakai ini di pernikahan saya” (merujuk pada setelan jas nya).
Tak dapat aku tahan lagi tangisku. Hari-hari tanpa Juyeon adalah hari yang sangat menyakitkan untukku. Tak pernah sekali pun aku membayangkan akan ditinggalkan oleh Juyeon dan Baba, yang entah kemana mereka perginya. Apakah mereka terbang melintasi awan atau berlayar melalui lautan. Aku bahkan tidak tahu.
Aku sudah tidak bisa membayangkan bagaimana hariku selanjutnya tanpa Baba dan Juyeon yang bagaikan rumah untukku.
“Shafira!” Seseorang memanggilku dari balik pintu kamar.
“siapa?”
“Dewi”
“masuk aja”
Dewi masuk ke dalam kamarku dan tanpa bertanya ia langsung memelukku.
“aku khawatir denger kamu nangis”
Aku tak merespon, hanya menangis dipelukan Dewi.
“tiga hari lalu ada tukang pos yang antar surat itu, karena kamu di Bandung jadi aku masukin aja lewat sela-sela pintu”
“itu dari Juyeon” aku berkata sambil terisak.
Dewi mengusap-usap punggungku seolah mengerti apa yang terjadi, dan tangisanku semakin kencang dibuatnya.
.
.
***
.
.
Aku pulang ke Bandung setelah berkemas dan merapikan kamar kost ku. Kuliahku tak aku lanjutkan karena Ayah memintaku untuk berhenti saja, mengingat kondisiku yang semakin hari-semakin terpuruk tinggal di Jakarta dengan bayang-bayang Juyeon. Aku mengikuti kursus make up dan mulai menjadi perias pengantin di Bandung pada usiaku yang ke-24 tahun (tahun 2002).
Ayahku menikahkan aku dengan lelaki pilihannya yang merupakan anak dari sahabatnya diusiaku yang ke-27 tahun (tahun 2005). Awalnya aku tidak mau karena aku masih terbayang-bayangi oleh Juyeon, namun karena lelaki yang menjadi suamiku ini ternyata memiliki hati yang baik dan sangat menyayangiku, akhirnya aku mulai bisa menerimanya dan kami dikaruniai putri cantik setelah tiga tahun menikah (2008).
Saat sosial media mulai ramai digunakan orang-orang, aku sempat ingin mencari Juyeon melalui media itu. Namun aku urungkan niatku karena menghargai suamiku dan putriku, sehingga aku memilih untuk menyimpan Juyeon hanya di dalam memoriku tanpa menggali nya kembali.
Jihan mengusap air mataku yang ternyata tanpa aku sadari jatuh lagi, “maaf Mama cengeng, nak”
“enggak, Ma! Jihan mengerti” ia memelukku lagi.
“sekarang Juyeon sudah jadi kenangan buat Mama”
“Juyeon juga pasti bahagia dimana pun dia berada, Ma”
Aku mengangguk dan mengecup kening putriku.
“Mama juga harus bahagia disini agar Juyeon bahagia”
“ada apa nih peluk-pelukkan tanpa ajak Papa?” Suamiku yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu kamar tiba-tiba menginterupsi.
“Ini Mama nih Pa!”
“Mama kenapa?”
“Mama bahagia karena punya kalian! Sini Papa ikut pelukan juga!” Aku merentangkan tanganku.
Kami berpelukkan di sore hari ini. Aku harap kesedihan-kesedihan yang aku alami di masa lalu tidak dialami oleh putriku. Aku akan memperlakukannya dengan versi terbaikku dan membuat Jihan selalu dikelilingi oleh kebahagiaan.
“Maaf Juyeon, aku tidak berdiri disampingmu saat aku pakai baju pernikahanku. Namun sekarang aku disini, aku bahagia. Aku harap kamu juga” -Shafira 2021
#injunoona