My journey starts from here
“I don't want it, but I have to do it“
***
Via's POV
Pukul 10 pagi, aku dan tante Yuna kembali mendatangi tempat yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Hanya berdua saja, tetap sama seperti kemarin. Namun, hari ini mood tante Yuna tidak baik. Ia terlihat murung dan aku tahu betul penyebabnya adalah aku. Tante belum ingin berpisah denganku.
Om Lee pergi bekerja pagi sekali, pukul 6. Ia bilang ada situasi mendesak yang harus diselesaikan. Hal itu juga menyebabkan tante Yuna semakin murung, ia pikir kita bertiga bisa menghabiskan waktu bersama sebelum aku pergi ke Jeju. Namun suaminya sangat sibuk.
“tante jangan sedih dooong” aku menggenggam kedua tangan tante Yuna dengan kedua tanganku.
“masa tante gak sedih sihh, kan kita pisahh!!” ia menekuk wajahnya.
“oh!! gimana kalo tante ikut aja ke Jeju?!” wajahnya menjadi antusias.
aku hanya mengerutkan dahiku, tak percaya tanteku bisa mengucapkan kalimat tadi dengan begitu mudahnya.
“gak deh, nanti kamu jadi risih” ia menekuk kembali wajahnya.
“tanteee, aku kan tetep bisa main ke Seoul kalau udah selesai penelitian”
“Iyaa, tante cuman sedih aja. semua orang ninggalin tante sendirian” air mata mulai menetes di pipi kananya.
Aku yang tidak tahu harus merespon apa atas kalimatnya, hanya bisa memeluknya. Seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“kalau sudah sampai Jeju, kabari tante yaaa. tante bakal telfon kamu setiap hari!” ia mengusap-usap punggungku.
“iyaaa”
Sekarang aku percaya atas ucapan Ibu tempo hari, “waktu kamu lahir, kayaknya lebih bahagia tante Yuna dari pada Ayah dan Ibu”. Aku merasakannya sekarang, tante Yuna sangat penyayang. Bahkan dalam waktu singkat, dia bisa sangat menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.
Dalam waktu kurang lebih 80 menit, aku telah sampai di Bandara Internasional Jeju. Kali ini aku tidak merasakan apapun, tidak mual dan tidak linglung. Sebuah kemajuan bukan?.
Aku membuka note dari ponselku. Aku telah mengetik intruksi yang diberikan oleh Om Lee malam tadi,
“kamu cari gerbang selatan, dan tunggu disana. Nanti ada yang jemput kamu pakai mobil pick up warna hitam”.
Kamu bertanya-tanya kan? kenapa aku dijemput menggunakan mobil pick up? Akupun tak tahu jawabannya. Rasanya terlalu cerewet jika bertanya alasannya, sedangkan aku sudah cukup merepotkan 'Om Korea' ku itu.
“south gate mana sih south gate” aku menarik koper hitamku sambil menelusuri sudut bandara untuk menemukan kata south gate. Dan tak butuh waktu lama, aku bisa menemukannya.
Aku berjalan menuju kesana. Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku rasa ini awal dari semuanya. Aku tidak mengenal siapapun setelah ini. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri.
Sekarang aku berdiri tepat di luar south gate. Mataku mencari keberadaan mobil pick up hitam sesuai intruksi dari Om Lee, namun setelah 30 menit pun aku tidak menemukannya.
Angin cukup kencang siang ini, daun-daun kering banyak berserakan di jalanan. Ya, musim gugur sedang berlangsung sekarang.
drrt drrrt ponselku berdering memunculkan notifikasi telfon masuk. Namun bukan dari nomor yang sudah kusimpan.
“Halo” aku membuka suara.
“where are you?” suara pria yang melengking dari balik telepon itu sedikit mengejutkanku.
“who are you” tanyaku.
“I'm the black pick up guy“
“who?” aku kembali bertanya, memastikan.
“I'm the black pick up guy“
“how can I trust you?” aku tidak ingin langsung percaya, mengingat banyaknya tindak kriminal penipuan belakangan ini.
“Your name is Via. Your uncle's name is Donghae Lee. I even have your photo on my phone” dia menjelaskan dengan tegas dan tidak terbata-bata.
“where are you” tanyaku.
“behind you”.
Dengan spontan aku memutar tubuhku dan benar saja pria itu ada di belakangku.
Aku membelalakkan mataku saat melihat pria berkaos dan bertopi abu-abu itu. Kantung matanya lumayan besar, ia terlihat sangat lelah.
“why don't you just call my name if you stand here? right behind me?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.
“it's up to me” jawabnya dengan ketus dan kemudian ia mencoba mengambil alih membawa koperku.
“stop it! don't touch! are you a thief or something?!” aku menepis tangannya setelah menuduhnya sebagai seorang pencuri.
“ANJIR!” lelaki itu mendengus kesal.
“heh! lo bisa bahasa Indonesia?!” aku terkejut.
“what? I can't understand! what are you talking about?” ia menggerakkan bola matanya kesana kemari, sangat jelas kalau dia sedang berbohong.
“wanna know what I just said before?” aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya “lo jelek”.
“emang feeling gue dari awal udah gak enak. gue dari awal juga gak mau jemput orang Indonesia di bandara” laki-laki itu membalas menatapku.
“KANNN! LO ORANG INDONESIA ANJIRRR! GUE MAU NANGIS AJA!!!” aku merasa lega, sangat lega. Aku mengkhawatirkan bahasa Korea ku yang sangat buruk. Ditambah desas desus kalau di Korea masih sedikit yang terbiasa berbahasa Inggris.
“biasa aja kaliii! lagian gue bukan orang Indonesia. gue juga gak pernah ke Indonesia” jawabnya.
“terus?” aku terheran.
“siniin koper lo, biar gue yang bawa. kita ngobrol di mobil aja. gue pegel anjir”
“Idihhhh. yaudah nihhh!” aku akhirnya memberikan koperku padanya.
Selama perjalanan dari bandara menuju peternakan, lelaki yang kini mengemudikan mobil pick up hitam, yang duduk di sebelahku tidak berhenti bercerita.
Ia bilang, ia adalah anak dari penanggungjawab peternakan sapi yang akan aku teliti. Namanya Boo Seungkwan Permana.
Ayahnya adalah orang Indonesia, yang merantau ke Korea di usianya yang masih sangat muda dulu dan berakhir berkeluarga disini. Ia bilang ayahnya tidak akan kembali ke Indonesia, karena memang beliau tidak mempunyai siapa pun disana.
“soal tadi yang gue bilang lo pencuri, gue minta maaf. gue cuman takut aja, takut dihipnotis or something” aku meminta maaf padanya karena khawatir jika ia akan menyimpan dendam.
“santai aja, gue ngerti kok. gue juga bohong waktu tadi bilang punya foto lo” jawabnya singkat dan dibalas dengan anggukan singkat olehku.
Seungkwan berusia 2 tahun lebih tua dariku, tapi saat aku memanggilnya 'kak' ia tidak mau. “aneh banget anjir” katanya.
Perjalanan selama 3 jam tentu saja sangat panjang. Tidak heran banyak hal yang bisa aku dan Seungkwan ceritakan.
Aku jadi tahu, Seungkwan adalah anak yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Ia bilang, ia bekerja di peternakan setelah lulus dari SMA karena Ayahnya tidak memiliki biaya yang cukup untuk kuliah. “gue gak mau kayak gini, tapi gue harus” katanya sambil sedikit tertawa. mendengar kisahnya, membuatku bersyukur masih bisa diberi kesempatan duduk di bangku kuliah.
Aku dan Seungkwan turun dari mobil pick up hitam setelah mobil itu terparkir di basemen yang cukup luas. Aku bisa tebak, ini adalah tempat parkir umum penduduk yang tinggal disini.
Seungkwan menurunkan koperku yang disimpan di bak mobil. Wajahnya memang terlihat lelah, tapi aku yakini tenaganya masih sangat kuat.
“lo liat tangga disana?” Seungkwan menujuk ke arah sebelah kananku, aku mengangguk.
“kita kesana, gak ada akses jalan buat mobil” lanjutnya, “kita ke peternakan jalan kaki, naik tangga”.
“okeey” kataku sambil berjalan mendahului Seungkwan menuju tangga yang tadi ia tunjuk.
Karena waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 4 sore, udaranya cukup dingin. Aku memeluk diriku sendiri saat angin berhembus melewati tubuhku yang sedang menaiki anak tangga demi anak tangga.
“mau istirahat dulu?” tanya Seungkwan dibelakangku.
“gak usah, ngapain” jawabku.
Saat berjalan semakin ke atas, aku bisa melihat pemandangan pedesaan dan pegunungan. Terlihat sangat tenang, oksigen yang kuhirup terasa lebih bersih. Ya, dibandingkan dengan oksigen Kota Bandung yang penuh polusi.
Tak lama, kita akhirnya sampai. Bukan di peternakan, tapi di rumah yang aku yakini sebagai rumah pemilik peternakan.
“Eh nak Via sudah sampai!” seseorang menyapaku seketika aku dan Seungkwan membuka gerbang.
aku hanya tersenyum, “bokap gue” kata Seungkwan. Aku hanya mengangguk.
“kenalin, nama bapak Jodi. Jodi Permana” beliau mengulurkan tangan padaku.
“Via, pak” aku menerima uluran tangannya.
“ayo masuk, udah ditungguin sama Ibu Kim” Pak Jodi menunjukkan arah masuk dengan jari jempolnya. sangat sopan.
Aku dan Pak Jodi berjalan menuju rumah Ibu Kim, halamannya sangat luas. Aku lihat beberapa hewan di halamannya. Seperti kelinci, anak babi, bahkan kancil. Pak Jodi Bilang itu semua hewan liar.
Aku dan Pak Jodi bertemu dengan Ibu Kim di ruang tamu rumah mewah ini. Tak banyak yang kami bicarakan. Intinya Ibu Kim memberikan semangat padaku dan jangan sungkan jikalau membutuhkan sesuatu (menggunakan bahasa Korea yang diterjemahkan oleh Pak Jodi).
Beliau juga bilang, selama disini aku akan diberikan tempat tinggal sendiri (Pak Jodi menyebutnya 'Rumah Ternak') atau dengan kata lain rumah peternak. Beberapa peneliti sebelum aku dari berbagai negara juga tinggal disana.