Menjadi Dewasa
Two Sides of Jeremy
TW // kekerasan
*** “aduh om om! itu jangan dulu lari kesitu om, nanti dihadang sama team lawan om! yahhhhhh...”
Jeremy merebahkan tubuhnya di karpet abu-abu ruang tengah rumah Syahla sambil menghela napas panjang. Setelah tim sepak bolanya bersama dengan Ayah Syahla kalah di pertandingan play station, karena kecerobohan Ayah Syahla yang salah mengambil strategi.
Ayah Syahla hanya tertawa hingga kedua matanya tertutup kelopak matanya.
“Ya udah ya udah maaf, Jer! kita main aja satu babak lagi! kali ini pasti menang!”
“Udah malem deh, Om! minggu depan aja aku main lagi kesini!”
Syahla yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya melirik ke arah ayahnya dan Jeremy, ia juga mendapati Syahril yang ternyata sudah tertidur di sofa.
“Ya sudah, om antar pulang ya?”
“gapapa gapapa om, nggak perlu repot-repot aku bisa pesen gojek kok!”
“loh nggak ngerepotin sama sekali! bentar ya, om ambil kunci mobil dulu di kamar!”
Jeremy hanya mengangguk, kemudian membereskan play station yang baru saja ia mainkan bersama dengan Ayah Syahla.
“Jer!”
Jeremy sedikit terperanjat kala mendapati Syahla sudah berdiri di dekatnya.
“Nih, jaket lo!” Ia menyodorkan jaket yang kemarin Jeremy pinjamkan sepulang pentas seni.
“eh, oh.. iya! oke!”
Lelaki itu menerima jaketnya tanpa menatap ke arah Syahla, karena salah tingkah. Tapi Syahla tetap mengartikan sikap Jeremy sebagai sikap menghindar.
“Thanks ya, buat kemarin, Jer!”
“kemarin? emangnya gue ngapain, La?”
“ya pokoknya gue mau bilang makasih aja!”
“o—okay!”
Keduanya terdiam, tak ada lagi percakapan. Suara yang terdengar hanya deru napas Syahril yang sedang tertidur. Bukan suara dengkur, tapi suara napas yang agak berat dari biasanya.
“Ayo, Jer!” sahut Ayah Syahla.
“Ayah pulangnya jangan kemana-mana dulu, ya? Bunda kan bentar lagi pulang arisan!”
“Iya, Kak! Ayah langsung pulang!”
“bentar Om! ini PS nya belum selesai diberesin”
Jeremy kembali menggulung kabel, kemudian menata joystick untuk kemudian ia masukkan ke dalam boks play station yang masih sangat baru itu.
“Ayah anter Jeremy dulu ya! kamu jagain tuh adekmu yang tidur di sofa! takutnya jatuh ke bawah!”
“Iya Ayaaah!”
“gue pulang ya, La!”
Jeremy tersenyum ke arah Syahla. Dan untuk pertama kalinya di hari itu matanya bisa menatap milik Syahla.
“Okay! see you, Jer!”
Ayah Syahla berjalan terlebih dahulu yang kemudian diekori oleh Jeremy.
tiit— Suara kunci pintu otomatis terdengar oleh Syahla, yang berarti Jeremy dan ayahnya telah keluar dari rumah.
Syahla menyandarkan punggungnya ke sofa yang menjadi tempat tidur Syahril, ia masih memikirkan Jeremy yang tiba-tiba menjadi seperti orang asing, padahal belum 24 jam sejak ia memeluknya. “padahal gue kira, lo peluk gue karena lo peduli dan wanna get closer with me. But NO?!”.
“eh?!”
Syahla bangkit dari duduknya kemudian berlari keluar rumah, sambil membawa jaket Jeremy yang ternyata tertinggal.
“gimana sih? kok bisa ketinggalan!”
“ini gue udah gamau merasa berhutang lagi sama lo, jadi please masih ada di parkiran please!”
Gumam Syahla di dalam lift yang perlahan turun menuju lantai basement.
ting!— Pintu lift terbuka, namun ia tak menemukan tanda-tanda Jeremy dan ayahnya.
“Ya elah!!”
Ia membuang napasnya kasar kemudian menekan tombol lift lagi untuk kembali ke rumahnya.
*** “Kakak? kok ada disini, nak?”
Suara Bunda nya terdengar saat ia masih berdiri di depan lift.
“Bunda?!!! loh, kok Bunda sendirian? Pak Aji mana?”
“itu!” Bunda menunjuk ke arah Pak Aji yang sedang membersihkan sisa air hujan di mobil milik Bunda.
“Aku pergi sama Pak Aji, boleh?”
“loh kemana?”
“Nyusulin Ayah!”
Syahla berlari ke arah Pak Aji, sang Bunda hanya keheranan.
“Pak, tunggu sebentar disini ya? Aku bentar aja kok, cuma ngasihin jaket!”
Izin Syahla pada Pak Aji setelah mobil terparkir tak jauh di rumah Jeremy. Syahla sengaja tidak mau berhenti tepat di depan rumah karena takut mengganggu.
“oke, neng! mau lama juga gak masalah!”
Syahla setengah berlari menuju rumah Jeremy.
Jemarinya yang akan menekan tombol bel terhenti, ketika mendengar suara keributan dari dalam rumah Jeremy.
“udah aku bilang kan, mas? gak perlu libatin Jeremy disini. Dia masih anak-anak!”
“kamu bilang anak-anak?! liat dia bahkan lebih tinggi dari aku!”
“tapi aku gak mau Jeremy ikut-ikutan kayak kamu! aku gak mau Jeremy terjerumus ke jalan yang salah!”
PLAKKKK
“jalan yang salah? selama ini kamu kira aku ngapain? aku cari nafkah!”
“sumpah demi Tuhan, aku gak pernah nerima sepeser pun nafkah itu! aku selama ini kerja sendirian! Jeremy juga bahkan cari uang sendiri! kamu bilang kamu cari nafkah?”
PLAKKK
Lagi-lagi suara tamparan terdengar jelas oleh Syahla dari balik pintu.
“denger ya, mas! kalau bukan karena Papaku, aku juga gak bakal mau menikah sama kamu! kamu itu cuma preman!”
“STOP!!!! UDAH UDAH!!! Aku capek liat Mommy sama Ayah berantem terus! Ayah stop jangan pukul Mommy lagi!”
“Emy! masuk ke kamar kamu, nak!”
“nggak mau! Emy mau disini, Emy gak akan biarin Ayah pukul Mommy lagi!”
“Liat? anak kamu bahkan udah berani ngebantah, Stef?”
“jangan pernah sekali pun kamu komentarin Jeremy!”
“loh kenapa? Jeremy anakku juga kan?”
“dia gak akan pernah jadi anak kamu, cuihhh!”
“berani ya kamu ngeludahin aku? mulai berani?”
“Ayah jangan, Yah! stop yah!!”
Di luar rumah, Syahla bisa merasakan getaran Jeremy dari suara lelaki itu yang mulai melemah karena tangis.
“Emy masuk aja ke kamar, nak! Mommy mohon!”
Tak ada jawaban dari Jeremy, kemudian tak terdengar lagi suara saling meneriaki.
Beralih ke suara gebrakkan pintu dari lantai dua, yang bisa Syahla lihat sendiri.
Jeremy yang menekuk lututnya kemudian membenamkan wajahnya disana. Ia menangis di balkon rumahnya.
“ssst! ssst!”
Syahla berupaya memanggil Jeremy dengan suara sekecil mungkin. Namun tak direspon.
Tanpa pikir panjang, ia mengambil kerikil kecil di dekatnya kemudian melemparnya ke arah Jeremy.
Dan benar saja, Jeremy langsung menyadari kehadirannya.
Syahla mengangkat ponselnya sesaat setelah Jeremy melihat ke arahnya. “buka HP lo!”. Jeremy menurut.
Syahla : u okay? Jeremy : Idk Syahla : mau barter? Jeremy : barter? Syahla : you help me last night, so let me help you now Jeremy : wkwkwkwk Syahla : lo lagi nangis, malah wkwkwkwk Jeremy : so, you wanna gimme a hug? Syahla : yes. for my friend! Jeremy : ya udah, gue turun sekarang Syahla : pelan-pelan, nanti nyokap bokap lo denger
Impas. Syahla tak merasa berhutang lagi pada Jeremy.
Karena malam ini ia berhasil menjadi penenang lelaki yang sedang (selalu) diterpa badai dalam rumahnya.
Namun Syahla memeluk Jeremy tak hanya semata-mata untuk balas budi. Ia tulus, pelukan itu tulus.
Syahla justru bersyukur, dengan kehadiran Jeremy. Karena akhirnya mereka bisa bertukar kisah, walau tak secara langsung.
Mereka saling merangkul, dan selalu ada setiap kali yang satu diterpa masalah.
Tidak apa-apa, ini proses yang indah, perjalanan hidup menjadi dewasa. Tanda-tanda kita mulai memasuki fase dewasa adalah dengan banyaknya masalah, bukan?