injunoona


“You know you really love someone, when you can't hate them for breaking your heart”

Via's POV *** “gue aja yang bawa, Vi!”

Seungkwan meraih kedua koper yang aku dorong keluar dari rumah ternak. Ia berdiri diambang pintu dengan pakaiannya yang tebal.

Sekarang pukul dua pagi, tentu saja angin berhembus kencang masuk ke dalam rumah ternak dari semenjak kubuka pintunya.

you okay?” Seungkwan melihatku dengan tatapan khawatir.

“eh? oh, gak papa. I'm good!” aku tersenyum menunjukkan gigiku padanya.

srettt— suara resleting mantel yang kupakai terdengar sangat jelas, karena dini hari ini memang sangat sunyi. Bahkan suara semilir angin yang menggerakkan pohon pun terdengar nyaring.

Aku perlahan berjalan keluar, memerhatikan setiap sudut ruangan rumah ternak yang sudah aku bereskan. Melihat rumah yang aku tinggali selama enam bulan ini dengan perasaan yang... hampa? kosong?. Melihat rumah ini, untuk yang terakhir kali....

*** Seungkwan berjalan di depanku sambil mengeret kedua koperku.

Kami berjalan di jalanan desa yang biasa kami lalui. Jalan yang sama seperti yang kami lewati saat kali pertama aku datang ke Jeju, enam bulan lalu.

Sunyi, hanya ada kami. Ya, karena sekarang pukul dua pagi.

Melewati rumah megah Haknyeon, aku hanya menunduk. Tak mau melihat, tak mau mencari tahu lagi apakah Haknyeon sudah pulang atau masih menghilang.

Jika kamu penasaran, aku sudah bertanya dimana keberadaan Haknyeon pada Ibu Kim sehari sebelun hari ini, sambil berpamitan.

Namun nihil, semua orang sudah Haknyeon ajak kerja sama, untuk tidak memberi tahuku dimana dia berada.

“Hei, Vi! lo udah pamit ke Haknyeon?” Seungkwan bertanya tanpa menoleh.

nope. dia bahkan gak baca chat gue”

“gue beneran nggak tau dia ada dimana, asli!”

“Iya, Seungkwan. Udah, gue gak papa!”

Kalau boleh jujur, sekarang aku sangat mengharapkan Haknyeon tiba-tiba muncul dan memanggil namaku out of nowhere. Seperti cerita-cerita romantis di film layar lebar, seperti Cinta yang mengejar Rangga ke Bandara di film AADC.

Tapi tidak, Haknyeon tidak muncul dari mana pun.

Aku menerka-nerka dalam lamunanku. Apakah aku hanya kisah selintas bagi Haknyeon? atau aku memang sudah tak ia anggap ada lagi setelah ia bilang bahwa ia sudah merelakan aku pergi?.

Seburuk itu kah aku bagi Haknyeon, karena aku tidak mau mengiyakan permintaannya? atau....

“Via! Vi! kenapa ngelamun?”

Tangan kanan Seungkwan menepuk bahuku dengan tangan kirinya menggenggam kemudi mobil.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, kemudian kembali menyandar ke jendela untuk mengamati lampu jalan.


“Lo pulang aja, Seungkwan. gue take off jam 5, masih lama!”

it's okay, Vi! gue nemenin lo disini sampe masuk pesawat”

Seungkwan kembali membuka ponselnya, dan tak ada obrolan lagi di antara kami.

Yang aku lakukan sambil menunggu adalah tidur. Aku sudah memasang alarm pukul 5 di ponselku, jadi tak perlu khawatir.

masih saja.. isi kepalaku hanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan untuk Haknyeon. Dimana dia? dengan siapa? dia kenapa? apa dia baca semua pesanku? atau dia sama sekali sudah tak peduli? dan rentetan pertanyaan lain.

“Oh bener! Seungkwan, minjem hp lo!”

Seungkwan sedikit terkejut karena aku tiba-tiba membuka mataku dan setengah meneriakinya.

“kaget buset! mau ngapain?” ia menyerahkan ponselnya.

“ini nomor Indonesia gue. Pokoknya nanti lo harus simpen, ya? awas kalo dihapus! awas kalo lo cuekkin chat gue!” kataku sambil mengetik nomor teleponku.

“iyaa gak akan buset galak banget!”

you can tell Haknyeon... if he ask..

Seungkwan lagi-lagi menatapku dengan tatapan iba.

“Vi.. Haknyeon pasti punya alesan kenapa dia kaya begini”

“maksudnya?”

“dia ngilang, dia nggak muncul di sisa waktu lo disini... pasti ada maksud dan tujuannya”

“Gue gak masalah, Seungkwan. Dia juga gak wajib buat selalu ada di sekitar gue kok!”

“maksud gue tuh.... ah, lo paham lah maksud gue. karena gue udah kenal Haknyeon dari sejak dia bayi, gue tau betul kalo dia bukan orang yang bisa bikin skenario jahat... lo paham kan maksud gue? lo jangan jadi benci sama dia..”

ia menunduk, aku tahu betul bahwa ia sangat merasa bersalah atas Haknyeon.

you know..

Seungkwan kembali menoleh ke arahku,

you know you really love someone, when you can't hate them for breaking your heart..” lanjutku.

Sengkwan mengacak rambutnya asal, ia sangat kesal.

“Seungkwan, lo tau kalo gue udah ada ditahap sayang banget sama Haknyeon tapi I'm stuck! gue beneran gak bisa kalo harus menuhin ekspektasi dia!”

Seungkwan menghela napasnya kasar.

“dan gue gak mungkin bisa benci sama Haknyeon. Cause I love him. I really do

“Vi..”

“tadinya gue harap bisa peluk dia buat yang terakhir kali, tapi kayaknya it's too hard for him, for me as well. so... yeah... Kayaknya kalo kita ketemu dulu, dan gue liat Haknyeon, gue bakal semakin gak mau ninggalin Jeju!”

aku tersenyum, “Jadi ya udah, mending kaya begini aja. Kita jadi bisa melepas satu sama lain dengan ikhlas.. semoga aja”

Alarm di ponselku berdering, dan pintu pesawatku telah dibuka.

Thank you Seungkwan, for everything!

Seungkwan menyerahkan koperku, kamudian merentangkan tangannya untuk memberikan pelukan perpisahan.

“Semoga lo bisa mampir lagi kesini, kapan-kapan!”

I wish I could!


Langit pagi yang kulihat dari jendela pesawat, sama sekali tak membuat perasaanku membaik.

Pulau Jeju, peternakan, pantai, pasar, bukit, dan rumah-rumah kecil yang tersusun rapi terlihat sangat kecil dari atas sini.

see you again, Jeju” batinku.

Aku membuka ransel kecil yang kusimpan di pangkuanku. Mengeluarkan buku tebal berwarna merah dari sana —album yang Haknyeon berikan di hari ulang tahunnya.

Ingat kan ia menyelipkan secarik kertas di dalam sana?, akan kubuka sekarang.

*** Dear, Via♡

Gila, waktu nggak kerasa banget ya? tiba-tiba kamu udah 6 bulan aja disini. hehehehe

Vi, aku nulis ini sesudah mandi. Kita baru jalan ke pantai tadi! Rambutku masih basah, tapi isi kepalaku cuma kamu doang. Ini bukan surat aneh-aneh kok, bakal langsung ke inti!

Aku tau, hari itu bakal tiba. Mau sekuat apapun aku menghindar, kita pasti bakal facing that day. Kamu yang pulang ke Indonesia, dan aku yang jadi selebriti..

I don’t know what to do now that we’re apart. I don’t know how to live without you beside me...

Tapi kayaknya kamu akan selalu baik-baik aja. Aku harap gitu..

Don’t put the sadness on your face cause you know that you have me who feels happy by your smile..

Aku gak tau nanti malem kita bakal ngobrol apa, dan ngelakuin apa.. tapi aku tau kita bakal bahas ini, hahaha

aku juga bakal omongin semua yang ada di kepalaku, nanti malem

dan aku yakin... kamu bakal nolak permintaan aku, hehe

Vi, nanti aku bakal minta kamu buat baca ini kalau udah di Indonesia. Sekarang kamu udah di Indonesia? gimana? Semuanya tetep sama, kan?

Be Happy, Via!

Semoga kita bisa ketemu lagi, ya? semoga.

ps: karena aku udah ngasih kamu album, kamu harus join fandom the boyz. namanya deobi♡

ps 2: jangan naksir member lain!!!! ***

Dadaku sesak, pipiku basah. Harusnya aku menuruti permintaan Haknyeon untuk membaca ini di Indonesia.

Sekarang orang yang duduk disebelahku bertanya kenapa aku menangis. Tentu saja aku menangis karena Haknyeon. Bukan, maksudku karena aku dan Haknyeon, dan takdir kita.

We started with a simple hello but ended with a complicated goodbye.


#injunoona


“You know you really love someone, when you can't hate them for breaking your heart”

Via's POV *** “gue aja yang bawa, Vi!”

Seungkwan meraih kedua koper yang aku dorong keluar dari rumah ternak. Ia berdiri diambang pintu dengan pakaiannya yang tebal.

Sekarang pukul dua pagi, tentu saja angin berhembus kencang masuk ke dalam rumah ternak dari semenjak kubuka pintunya.

you okay?” Seungkwan melihatku dengan tatapan khawatir.

“eh? oh, gak papa. I'm good!” aku tersenyum menunjukkan gigiku padanya.

srettt— suara resleting mantel yang kupakai terdengar sangat jelas, karena dini hari ini memang sangat sunyi. Bahkan suara semilir angin yang menggerakkan pohon pun terdengar nyaring.

Aku perlahan berjalan keluar, memerhatikan setiap sudut ruangan rumah ternak yang sudah aku bereskan. Melihat rumah yang aku tinggali selama enam bulan ini dengan perasaan yang... hampa? kosong?. Melihat rumah ini, untuk yang terakhir kali....

*** Seungkwan berjalan di depanku sambil mengeret kedua koperku.

Kami berjalan di jalanan desa yang biasa kami lalui. Jalan yang sama seperti yang kami lewati saat kali pertama aku datang ke Jeju, enam bulan lalu.

Sunyi, hanya ada kami. Ya, karena sekarang pukul dua pagi.

Melewati rumah megah Haknyeon, aku hanya menunduk. Tak mau melihat, tak mau mencari tahu lagi apakah Haknyeon sudah pulang atau masih menghilang.

Jika kamu penasaran, aku sudah bertanya dimana keberadaan Haknyeon pada Ibu Kim sehari sebelun hari ini, sambil berpamitan.

Namun nihil, semua orang sudah Haknyeon ajak kerja sama, untuk tidak memberi tahuku dimana dia berada.

“Hei, Vi! lo udah pamit ke Haknyeon?” Seungkwan bertanya tanpa menoleh.

nope. dia bahkan gak baca chat gue”

“gue beneran nggak tau dia ada dimana, asli!”

“Iya, Seungkwan. Udah, gue gak papa!”

Kalau boleh jujur, sekarang aku sangat mengharapkan Haknyeon tiba-tiba muncul dan memanggil namaku out of nowhere. Seperti cerita-cerita romantis di film layar lebar, seperti Cinta yang mengejar Rangga ke Bandara di film AADC.

Tapi tidak, Haknyeon tidak muncul dari mana pun.

Aku menerka-nerka dalam lamunanku. Apakah aku hanya kisah selintas bagi Haknyeon? atau aku memang sudah tak ia anggap ada lagi setelah ia bilang bahwa ia sudah merelakan aku pergi?.

Seburuk itu kah aku bagi Haknyeon, karena aku tidak mau mengiyakan permintaannya? atau....

“Via! Vi! kenapa ngelamun?”

Tangan kanan Seungkwan menepuk bahuku dengan tangan kirinya menggenggam kemudi mobil.

Aku hanya menggelengkan kepalaku, kemudian kembali menyandar ke jendela untuk mengamati lampu jalan.


“Lo pulang aja, Seungkwan. gue take off jam 5, masih lama!”

it's okay, Vi! gue nemenin lo disini sampe masuk pesawat”

Seungkwan kembali membuka ponselnya, dan tak ada obrolan lagi di antara kami.

Yang aku lakukan sambil menunggu adalah tidur. Aku sudah memasang alarm pukul 5 di ponselku, jadi tak perlu khawatir.

masih saja.. isi kepalaku hanya diisi oleh pertanyaan-pertanyaan untuk Haknyeon. Dimana dia? dengan siapa? dia kenapa? apa dia baca semua pesanku? atau dia sama sekali sudah tak peduli? dan rentetan pertanyaan lain.

“Oh bener! Seungkwan, minjem hp lo!”

Seungkwan sedikit terkejut karena aku tiba-tiba membuka mataku dan setengah meneriakinya.

“kaget buset! mau ngapain?” ia menyerahkan ponselnya.

“ini nomor Indonesia gue. Pokoknya nanti lo harus simpen, ya? awas kalo dihapus! awas kalo lo cuekkin chat gue!” kataku sambil mengetik nomor teleponku.

“iyaa gak akan buset galak banget!”

you can tell Haknyeon... if he ask..

Seungkwan lagi-lagi menatapku dengan tatapan iba.

“Vi.. Haknyeon pasti punya alesan kenapa dia kaya begini”

“maksudnya?”

“dia ngilang, dia nggak muncul di sisa waktu lo disini... pasti ada maksud dan tujuannya”

“Gue gak masalah, Seungkwan. Dia juga gak wajib buat selalu ada di sekitar gue kok!”

“maksud gue tuh.... ah, lo paham lah maksud gue. karena gue udah kenal Haknyeon dari sejak dia bayi, gue tau betul kalo dia bukan orang yang bisa bikin skenario jahat... lo paham kan maksud gue? lo jangan jadi benci sama dia..”

ia menunduk, aku tahu betul bahwa ia sangat merasa bersalah atas Haknyeon.

you know..

Seungkwan kembali menoleh ke arahku,

you know you really love someone, when you can't hate them for breaking your heart..” lanjutku.

Sengkwan mengacak rambutnya asal, ia sangat kesal.

“Seungkwan, lo tau kalo gue udah ada ditahap sayang banget sama Haknyeon tapi I'm stuck! gue beneran gak bisa kalo harus menuhin ekspektasi dia!”

Seungkwan menghela napasnya kasar.

“dan gue gak mungkin bisa benci sama Haknyeon. Cause I love him. I really do

“Vi..”

“tadinya gue harap bisa peluk dia buat yang terakhir kali, tapi kayaknya it's too hard for him, for me as well. so... yeah... Kayaknya kalo kita ketemu dulu, dan gue liat Haknyeon, gue bakal semakin gak mau ninggalin Jeju!”

aku tersenyum, “Jadi ya udah, mending kaya begini aja. Kita jadi bisa melepas satu sama lain dengan ikhlas.. semoga aja”

Alarm di ponselku berdering, dan pintu pesawatku telah dibuka.

Thank you Seungkwan, for everything!

Seungkwan mebyerahkan koperku, kamudian merentangkan tangannya untuk memberikan pelukan perpisahan.

“Semoga lo bisa mampir lagi kesini, kapan-kapan!”

I wish I could!


Langit pagi yang kulihat dari jendela pesawat, sama sekali tak membuat perasaanku membaik.

Pulau Jeju, peternakan, pantai, pasar, bukit, dan rumah-rumah kecil yang tersusun rapi terlihat sangat kecil dari atas sini.

see you again, Jeju” batinku.

Aku membuka ransel kecil yang kusimpan di pangkuanku. Mengeluarkan buku tebal berwarna merah dari sana —album yang Haknyeon berikan di hari ulang tahunnya.

Ingat kan ia menyelipkan secarik kertas di dalam sana?, akan kubuka sekarang.

*** Dear, Via♡

Gila, waktu nggak kerasa banget ya? tiba-tiba kamu udah 6 bulan aja disini. hehehehe

Vi, aku nulis ini sesudah mandi. Kita baru jalan ke pantai tadi! Rambutku masih basah, tapi isi kepalaku cuma kamu doang. Ini bukan surat aneh-aneh kok, bakal langsung ke inti!

Aku tau, hari itu bakal tiba. Mau sekuat apapun aku menghindar, kita pasti bakal facing that day. Kamu yang pulang ke Indonesia, dan aku yang jadi selebriti..

I don’t know what to do now that we’re apart. I don’t know how to live without you beside me...

Tapi kayaknya kamu akan selalu baik-baik aja. Aku harap gitu..

Don’t put the sadness on your face cause you know that you have me who feels happy by your smile..

Aku gak tau nanti malem kita bakal ngobrol apa, dan ngelakuin apa.. tapi aku tau kita bakal bahas ini, hahaha

aku juga bakal omongin semua yang ada di kepalaku, nanti malem

dan aku yakin... kamu bakal nolak permintaan aku, hehe

Vi, nanti aku bakal minta kamu buat baca ini kalau udah di Indonesia. Sekarang kamu udah di Indonesia? gimana? Semuanya tetep sama, kan?

Be Happy, Via!

Semoga kita bisa ketemu lagi, ya? semoga.

ps: karena aku udah ngasih kamu album, kamu harus join fandom the boyz. namanya deobi♡

ps 2: jangan naksir member lain!!!!


#injunoona


“mix it all in one!”

tw // kiss *** Via terburu-buru setelah keluar dari kamar mandi karena Haknyeon sudah memanggil namanya sedari tadi.

“haduh itu anak cepet amat baliknya” batinnya.

“Iyaaa bentar!!”

Ia segera menggunakan pakaiannya dan kemudian membukakan pintu untuk Haknyeon.

Lelaki itu masih sama sepertinya, selesai mandi sore. Rambutnya basah, wajahnya sudah segar kembali. Tak seperti saat terakhir Via melihatnya sepulang dari pantai tadi.

Haknyeon tersenyum, menampakkan giginya. Sedangkan Via menggelengkan kepala.

“gue kira lo kesini nya mau malem? gue bahkan belum keringin rambut!” Ia menunjuk ke atas kepalanya yang dibalut handuk.

Haknyeon cengar-cengir.

“Vi, lo liat rambut gue juga masih basah”

“lah terus kenapa buru-buru kesini?!”

Haknyeon mengangkat kedua tangannya yang menggenggam dua kantong besar yang entah apa isinya.

“gue nggak sabar bawa ini buat lo!”

“ya udah sini dulu!”

Via menarik Haknyeon masuk ke dalam rumah. Dan kemudian....


“aww! Vi jangan ke telinga ih!”

Via cekikikan,

“Iya!! maaf maaf, abisnya itu masih basah!”

“panas bgt hair dryer nya apa gak bisa dikecilin apa anginnya?”

Via lagi-lagi hanya tertawa.

“Ini bentar lagi kelar Haknyeon! jangan protes muluuu!” lalu mengacak-acak rambut pria bermarga Ju itu.

Haknyeon tersenyum. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa mengeringkan rambut bisa membuatnya menjadi se-bahagia ini.

“Nah, udah selesai! lo tunggu dulu disini. Sekarang giliran gue yang keringin rambut”

“lho... sekarang gue bantuin lo! biar adil, Vi!”

“nggak! gue bisa sendiri, lo diem aja duduk!”

Padahal Via tahu.. kalau Haknyeon membantunya, detak jantungnya akan semakin tak karuan.

*** “nih liat deh, Vi! sinii!”

Haknyeon terlihat sangat bersemangat, melambai ke arah Via.

Via mendekat dan kemudian duduk di sebelah Haknyeon.

Ia mengeluarkan banyak makanan dari dalam bungkusan yang satu, sedangkan dalam kantong yang lain berisi buku-buku berwarna mencolok yang Haknyeon bilang itu adalah albumnya.

“gue bawa album-album ini khusus buat lo! dan udah gue kasih tanda tangan”

Via tersenyum, Haknyeon tampak sangat menggemaskan di matanya saat ini. Ingin mencubit pipinya namun ia tak berani.

“Oh!! dan ini ada lagi!!”

Via memperhatikan gerakkan Haknyeon yang kembali merogoh sesuatu dalam bungkusan besar tadi,

“ini lightstick The Boyz, Vi! lo juga harus punya ini! biar nanti kalo lo udah pulang ke Ind...”

Haknyeon menghentikan ucapannya.

Ia menghela napas,

“Vi, jangan pulang...”

tukk —Via memukul lengan Haknyeon yang sedikit membuatnya mengernyit.

“kenapa gue dipukul?”

“jangan bahas itu!!”

Haknyeon menunduk, helaan napasnya terdengar jelas oleh telinga Via.

Happy Birthday!!

Kepala yang menunduk perlahan terangkat kemudian menatap Via lekat-lekat.

“Vi? lo tau hari ini my birthday?

“tau dong!”

“kenapa gak ngucapin dari tadi?! tau gak sih, Via?”

Via terkejut karena sekarang kedua tangan Haknyeon memegang bahunya.

“tadi, gue nangis di pantai, itu gak semata-mata gue takut lo pulang. Tapi, gue juga mau diucapin selamat ulang tahun!”

Haknyeon cemberut. Via tak merespon apa-apa setelah beberapa detik. Kemudian ia tertawa.

“ih kenapa? lo ngetawain gue?”

Via menutup wajahnya dengan kedua telapaknya.

“Haknyeon, lo lucu banget!”

“hah? apa Via? gue gak bisa denger jelas suara lo! lepas dulu tangan lo nya!!!”

Via melepaskan tangannya, namun tetap kembali tertawa.

“Ih! Viaaa!!!!”

Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu melipat kedua tangannya di dadanya. Yang semakin membuat Via gemas dibuatnya.

“Bukan apa-apa, Haknyeon! sekarang, ayo jelasin itu apa yang lo bawa!” ia mengacak-acak rambut Haknyeon yang ia bantu keringkan beberapa saat lalu.

“Oh, ini!!”

Haknyeon menyerahkan album-albumnya pada Via.

“Gue udah siapin ini dari jauh-jauh hari. Semoga ini bisa jadi kenang-kenangan, dari gue.. buat lo!”

Via tersenyum, “kenang-kenangan?”

Haknyeon mengangguk.

“eh! gue nulis sesuatu di albumnya, tapi lo jangan baca sekarang!”

“kenapa jangan baca sekarang?” Via menatap Haknyeon dengan tatapan meledek.

Ia mengusili Haknyeon, berpura-pura akan membuka albumnya agar Haknyeon panik.

“gue baca sekarang, ahh!!”

“jangan!!!”

“ya udah nggak.. nggak!”

“lo baca nya kalo udah di Indonesia aja, ya?”

Via terdiam. Ia tahu bahasan ini akan selamanya menjadi menyedihkan diantara dirinya dan Haknyeon.

“eh, itu makanan nya boleh dimakan sekarang nggak?” Via mengalihkan topik pembicaraan.

“boleh.. makan aja!”

Via mengambil asal makanan yang Haknyeon bawa.

“pelan-pelan, Vi! gue nggak akan minta kok!”

Perempuan itu hanya terkekeh.


Langit sudah gelap, Haknyeon dan Via menyalakan tungku di depan rumah ternak dan membakar jagung bersama.

Ingat, kan? Haknyeon ingin menghabiskan waktu di hari ulang tahunnya bersama Via?.

“kalo kaya begini udah mateng belum, sih?”

“belum, Vi! itu masih mentah!”

“Ih lama banget perasaan!”

“pokoknya kalo yang mateng itu cirinya biji jagungnya mengkilat!”

“tapi ini udah ada gosongnya, Haknyeon! gimana mau dimakan?!!”

“itu gapapa, Via! ih!”

Diskusi kecil kedua pembakar jagung di pulau Jeju itu menjadi satu-satunya suara manusia. Sisanya hanya semilir angin dan derik jangkrik.

*** “kok rasanya aneh ya, Hak?”

Haknyeon terkekeh namun tetap melanjutkan mengunyah jagungnya.

“gara-gara kelamaan gak sih ngebakar jagungnya?”

“Udah, Via.. makan aja udah!”

“Ya udah, ini dimakan”

Mereka ujung-ujungnya tetap menertawakan jagung bakar hasil karya mereka.

“Oh iya, Vi! lo pulang ke Indonesia 10 hari lagi, kan?”

no, seminggu lagi”

Haknyeon hanya mengangguk-angguk. Memahami situasi, mengontrol emosi.

“kenapa?”

“seminggu masih lama.. I guess

Via tersenyum.

“lo mau ikut, ke Indonesia?”

Can I

you must be kidding me!” Via terkekeh lalu kemudian mengigit beberapa biji jagung bakar yang ia pegang.

“gue serius!” ucap Haknyeon yang refleks membuat Via berhenti mengunyah. “gue bisa pergi kemana aja asal ada lo! atau lo aja yang disini! kita bangun bisnis keluarga gue sama-sama!”

“Haknyeon...”

“gue bisa kok berhenti jadi idol, asal bisa bareng sama lo!”

“heii...”

“gue bisa ngelakuin apa pun, Vi!”

“Haknyeon! stop!”

“oh... I see karena dia ya, Vi?”

no! udah stop jangan kaya gini! it's your day! you must be happy, okay?!

“Via... kalo gue bisa, gue akan berhenti dari lama. Tapi gue gak pernah bisa kontrol diri gue!”

Haknyeon menghela napasnya,

“gue tau... gue sadar betul... gue sama lo itu nggak bisa.. tapi, gue ngeyel! gue nggak pernah berhenti buat jatuh lagi sama lo!”

Via mengusap punggung Haknyeon untuk menenangkannya.

“Udah malem, lo sebaiknya pulang!”

Haknyeon bangkit dari duduknya,

“Via, can I tell you something?

sure” Via mendongak untuk melihat ke arah Haknyeon.

I Love you!” I really do

Via ikut berdiri lalu tersenyum pada Haknyeon.

I already knew, Hak!” ucap Via yang spontan membuat Haknyeon membisu, “cause I also do love you” lanjutnya.

Deg— Haknyeon tak berkutik sama sekali setelah mendengarnya langsung dari Via. Terlebih Via yang tiba-tiba mengecup pipinya, membuatnya kehilangan akal.

Ia mematung beberapa saat sambil memegang pipinya yang mulai memerah.

Via yang sudah memasuki rumah lebih dulu hanya cengengesan.

“eh, ini albumnya gue simpen dulu ya ke lemari!”

Via mengambil tiga album yang terletak di atas meja lipat di ruang tengah rumah ternak dengan tangan kirinya.

Dan tergelincir. Satu album yang berwarna merah terjatuh, dan mengeluarkan secarik kertas putih yang dilipat.

“eh itu jangan dibuka!”

Haknyeon melompat ke arah Via yang membuat mereka terjatuh bersamaan.

“Via.. you love me.. since when?” tanya Haknyeon sambil terengah-engah.

Sekarang mereka berdua tak berjarak. Keduanya terbaring menyamping dan saling berhadapan.

“udah lama kok..”

Mata mereka menatap dan saling mengunci.

thank you.. Via

for what

“kukira selama ini aku cuma suka kamu sendirian!”

Via tersenyum.

our stories through three seasons are sooooo precious for me, Haknyeon!

Haknyeon mengusap puncak kepala Via lembut, tersenyum dengan penuh arti. entah ia bahagia, entah ia sudah rela.

actualy, if I'm with you... waktu kerasa singkat banget, Vi! Jujur, tiga musim aku lewati nggak pernah terasa sesingkat ini!”

you can say it as one season then!

what do you mean?” Haknyeon mengernyitkan dahinya.

we met in auntumn, and being friends.. then we fell in love in winter.. then we making memories in spring!

“terus?”

you can mix it all in one! it's 'our season'!” ucap Via yang matanya tak lepas dari milik Haknyeon.

Haknyeon tersenyum dan mengiyakan semua yang Via ucapkan.

“Via..”

“hmm?”

Haknyeon kembali mengusap puncak kepala Via dan tatapan mereka tak lepas satu sama lain, namun kali ini, Haknyeon menarik Via mendekat padanya.

Sekarang mereka berhenti menatap, mata mereka berdua tertutup.

Dengan lembut, Haknyeon mencium bibir Via. Tak ada penolakan, Via pun melakukan hal yang sama.

Deru napas mereka berdua berat, detak jantung mereka terasa satu sama lain.

Kedua tangan Via berada pada pipi Haknyeon dan ia sesekali mengusapnya dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Haknyeon membuka matanya dan melepas tautannya dengan Via. Ia menjauhkan Via darinya.

“Via.. kamu nangis?”

Via hanya terdiam.

“udah malem, Vi! aku, eh gue pulang dulu!”

Haknyeon tergesa-gesa membawa ponselnya, menggunakan sepatunya kemudian setengah berlari meninggalkan Via sendirian.


#injunoona


“mix it all at one!”

tw // kiss *** Via terburu-buru setelah keluar dari kamar mandi karena Haknyeon sudah memanggil namanya sedari tadi.

“haduh itu anak cepet amat baliknya” batinnya.

“Iyaaa bentar!!”

Ia segera menggunakan pakaiannya dan kemudian membukakan pintu untuk Haknyeon.

Lelaki itu masih sama sepertinya, selesai mandi sore. Rambutnya basah, wajahnya sudah segar kembali. Tak seperti saat terakhir Via melihatnya setelah pulang dari pantai tadi.

Haknyeon tersenyum, menampakkan giginya. Sedangkan Via menggelengkan kepala.

“gue kira lo kesini nya mau malem? gue bahkan belum keringin rambut!” Ia menunjuk ke atas kepalanya yang dibalut handuk.

Haknyeon cengar-cengir.

“Vi, lo liat rambut gue juga masih basah”

“lah terus kenapa buru-buru kesini?!”

Haknyeon mengangkat kedua tangannya yang menggenggam dua kantong besar yang entah apa isinya.

“gue nggak sabar bawa ini buat lo!”

“ya udah sini dulu!”

Via menarik Haknyeon masuk ke dalam rumah. Dan kemudian....


“aww! Vi jangan ke telinga ih!”

Via cekikikan,

“Iya!! maaf maaf, abisnya itu masih basah!”

“panas bgt hair dryer nya apa gak bisa dikecilin apa anginnya?”

Via lagi-lagi hanya tertawa.

“Ini bentar lagi kelar Haknyeon! jangan protes muluuu!” lalu mengacak-acak rambut pria bermarga Ju itu.

Haknyeon tersenyum. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa mengeringkan rambut bisa membuatnya menjadi se-bahagia ini.

“Nah, udah selesai! lo tunggu dulu disini. Sekarang giliran gue yang keringin rambut”

“lho... sekarang gue bantuin lo! biar adil, Vi!”

“nggak! gue bisa sendiri, lo diem aja duduk!”

Padahal Via tahu.. kalau Haknyeon membantunya, detak jantungnya akan semakin tak karuan.

*** “nih liat deh, Vi! sinii!”

Haknyeon terlihat sangat bersemangat, melambai ke arah Via.

Via mendekat dan kemudian duduk di sebelah Haknyeon.

Ia mengeluarkan banyak makanan dari dalam bungkusan yang satu, sedangkan dalam kantong yang lain berisi buku-buku berwarna mencolok yang Haknyeon bilang itu adalah albumnya.

“gue bawa album-album ini khusus buat lo! dan udah gue kasih tanda tangan”

Via tersenyum, Haknyeon tampak sangat menggemaskan di matanya saat ini. Ingin mencubit pipinya namun ia tak berani.

“Oh!! dan ini ada lagi!!”

Via memperhatikan gerakkan Haknyeon yang kembali merogoh sesuatu dalam bungkusan besar tadi,

“ini lightstick The Boyz, Vi! lo juga harus punya ini! biar nanti kalo lo udah pulang ke Ind...”

Haknyeon menghentikan ucapannya.

Ia menghela napas,

“Vi, jangan pulang...”

tukk —Via memukul lengan Haknyeon yang sedikit membuatnya mengernyit.

“kenapa gue dipukul?”

“jangan bahas itu!!”

Haknyeon menunduk, helaan napasnya terdengar jelas oleh telinga Via.

Happy Birthday!!

Kepala yang menunduk perlahan terangkat kemudian menatap Via lekat-lekat.

“Vi? lo tau hari ini my birthday?

“tau dong!”

“kenapa gak ngucapin dari tadi?! tau gak sih, Via?”

Via terkejut karena sekarang kedua tangan Haknyeon memegang bahunya.

“tadi, gue nangis di pantai, itu gak semata-mata gue takut lo pulang. Tapi, gue juga mau diucapin selamat ulang tahun!”

Haknyeon cemberut. Via tak merespon apa-apa setelah beberapa detik. Kemudian ia tertawa.

“ih kenapa? lo ngetawain gue?”

Via menutup wajahnya dengan kedua telapaknya.

“Haknyeon, lo lucu banget!”

“hah? apa Via? gue gak bisa denger jelas suara lo! lepas dulu tangan lo nya!!!”

Via melepaskan tangannya, namun tetap kembali tertawa.

“Ih! Viaaa!!!!”

Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu melipat kedua tangannya di dadanya. Yang semakin membuat Via gemas dibuatnya.

“Bukan apa-apa, Haknyeon! sekarang, ayo jelasin itu apa yang lo bawa!” ia mengacak-acak rambut Haknyeon yang ia bantu keringkan beberapa saat lalu.

“Oh, ini!!”

Haknyeon menyerahkan album-albumnya pada Via.

“Gue udah siapin ini dari jauh-jauh hari. Semoga ini bisa jadi kenang-kenangan, dari gue.. buat lo!”

Via tersenyum, “kenang-kenangan?”

Haknyeon mengangguk.

“eh! gue nulis sesuatu di albumnya, tapi lo jangan baca sekarang!”

“kenapa jangan baca sekarang?” Via menatap Haknyeon dengan tatapan meledek.

Ia mengusili Haknyeon, berpura-pura akan membuka albumnya agar Haknyeon panik.

“gue baca sekarang, ahh!!”

“jangan!!!”

“ya udah nggak.. nggak!”

“lo baca nya kalo udah di Indonesia aja, ya?”

Via terdiam. Ia tahu bahasan ini akan selamanya menjadi menyedihkan diantara dirinya dan Haknyeon.

“eh, itu makanan nya boleh dimakan sekarang nggak?” Via mengalihkan topik pembicaraan.

“boleh.. makan aja!”

Via mengambil asal makanan yang Haknyeon bawa.

“pelan-pelan, Vi! gue nggak akan minta kok!”

Perempuan itu hanya terkekeh.


Langit sudah gelap, Haknyeon dan Via menyalakan tungku di depan rumah ternak dan membakar jagung bersama.

Ingat, kan? Haknyeon ingin menghabiskan waktu di hari ulang tahunnya bersama Via?.

“kalo kaya begini udah mateng belum, sih?”

“belum, Vi! itu masih mentah!”

“Ih lama banget perasaan!”

“pokoknya kalo yang mateng itu cirinya biji jagungnya mengkilat!”

“tapi ini udah ada gosongnya, Haknyeon! gimana mau dimakan?!!”

“itu gapapa, Via! ih!”

Diskusi kecil kedua pembakar jagung di pulau Jeju itu menjadi satu-satunya suara manusia. Sisanya hanya semilir angin dan derik jangkrik.

*** “kok rasanya aneh ya, Hak?”

Haknyeon terkekeh namun tetap melanjutkan mengunyah jagungnya.

“gara-gara kelamaan gak sih ngebakar jagungnya?”

“Udah, Via.. makan aja udah!”

“Ya udah, ini dimakan”

Mereka ujung-ujungnya tetap menertawakan jagung bakar hasil karya mereka.

“Oh iya, Vi! lo pulang ke Indonesia 10 hari lagi, kan?”

no, seminggu lagi”

Haknyeon hanya mengangguk-angguk. Memahami situasi, mengontrol emosi.

“kenapa?”

“seminggu masih lama.. I guess

Via tersenyum.

“lo mau ikut, ke Indonesia?”

Can I

you must be kidding me!” Via terkekeh lalu kemudian mengigit beberapa biji jagung bakar yang ia pegang.

“gue serius!” ucap Haknyeon yang refleks membuat Via berhenti mengunyah. “gue bisa pergi kemana aja asal ada lo! atau lo aja yang disini! kita bangun bisnis keluarga gue sama-sama!”

“Haknyeon...”

“gue bisa kok berhenti jadi idol, asal bisa bareng sama lo!”

“heii...”

“gue bisa ngelakuin apa pun, Vi!”

“Haknyeon! stop!”

“oh... I see karena dia ya, Vi?”

no! udah stop jangan kaya gini! it's your day! you must be happy, okay?!

“Via... kalo gue bisa, gue akan berhenti dari lama. Tapi gue gak pernah bisa kontrol diri gue!”

Haknyeon menghela napasnya,

“gue tau... gue sadar betul... gue sama lo itu nggak bisa.. tapi, gue ngeyel! gue nggak pernah berhenti buat jatuh lagi sama lo!”

Via mengusap punggung Haknyeon untuk menenangkannya.

“Udah malem, lo sebaiknya pulang!”

Haknyeon bangkit dari duduknya,

“Via, can I tell you something?

sure” Via mendongak untuk melihat ke arah Haknyeon.

I Love you!” I really do

Via ikut berdiri lalu tersenyum pada Haknyeon.

I already knew, Hak!” ucap Via yang spontan membuat Haknyeon mebisu, “cause I also do love you” lanjutnya.

Deg— Haknyeon tak berkutik sama sekali setelah mendengarnya langsung dari Via. Terlebih Via yang tiba-tiba mengecup pipinya, membuatnya kehilangan akal.

Ia mematung beberapa saat sambil memegang pipinya yang mulai memerah.

Via yang sudah memasuki rumah lebih dulu hanya cengengesan.

“eh, ini albumnya gue simpen dulu ya ke lemari!”

Via mengambil tiga album yang terletak di atas meja lipat di ruang tengah rumah ternak dengan tangan kirinya.

Dan tergelincir. Satu album yang berwarna merah terjatuh, dan mengeluarkan secarik kertas putih yang dilipat.

“eh itu jangan dibuka!”

Haknyeon melompat ke arah Via yang membuat mereka terjatuh bersamaan.

“Via.. you love me.. since when?” tanya Haknyeon sambil terengah-engah.

Sekarang mereka berdua tak berjarak. Keduanya terbaring menyamping dan saling berhadapan.

“udah lama kok..”

Mata mereka menatap dan saling mengunci.

thank you.. Via

for what

“kukira selama ini aku cuma suka kamu sendirian!”

Via tersenyum.

our stories through three seasons are sooooo precious for me, Haknyeon!

Haknyeon mengusap puncak kepala Via lembut, tersenyum dengan penuh arti. entah ia bahagia, entah ia sudah rela.

actualy, if I'm with you... waktu kerasa singkat banget, Vi! Jujur, tiga musim aku lewati nggak pernah terasa sesingkat ini!”

you can say it as one season then!

what do you mean?” Haknyeon mengernyitkan dahinya.

we met in auntumn, and being friends.. then we fell in love in winter.. then we making memories in spring!

“terus?”

you can mix it all at one! it's 'our season'!” ucap Via yang matanya tak lepas dari milik Haknyeon.

Haknyeon tersenyum dan mengiyakan semua yang Via ucapkan.

“Via..”

“hmm?”

Haknyeon kembali mengusap puncak kepala Via dan tatapan mereka tak lepas satu sama lain, namun kali ini, Haknyeon menarik Via mendekat padanya.

Sekarang mereka berhenti menatap, mata mereka berdua tertutup.

Dengan lembut, Haknyeon mencium bibir Via. Tak ada penolakan, Via pun melakukan hal yang sama.

Deru napas mereka berdua berat, detak jantung mereka terasa satu sama lain.

Kedua tangan Via berada pada pipi Haknyeon dan ia sesekali mengusapnya dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Haknyeon membuka matanya dan melepas tautannya dengan Via. Ia menjauhkan Via darinya.

“Via.. kamu nangis?”

Via hanya terdiam.

“udah malem, Vi! aku, eh gue pulang dulu!”

Haknyeon tergesa-gesa membawa ponselnya, menggunakan sepatunya kemudian setengah berlari meninggalkan Via sendirian.


#injunoona

#Our Season


“mix it all at one!”

tw // kiss *** Via terburu-buru setelah keluar dari kamar mandi karena Haknyeon sudah memanggil namanya sedari tadi.

“haduh itu anak cepet amat baliknya” batinnya.

“Iyaaa bentar!!”

Ia segera menggunakan pakaiannya dan kemudian membukakan pintu untuk Haknyeon.

Lelaki itu masih sama sepertinya, selesai mandi sore. Rambutnya basah, wajahnya sudah segar kembali. Tak seperti saat terakhir Via melihatnya setelah pulang dari pantai tadi.

Haknyeon tersenyum, menampakkan giginya. Sedangkan Via menggelengkan kepala.

“gue kira lo kesini nya mau malem? gue bahkan belum keringin rambut!” Ia menunjuk ke atas kepalanya yang dibalut handuk.

Haknyeon cengar-cengir.

“Vi, lo liat rambut gue juga masih basah”

“lah terus kenapa buru-buru kesini?!”

Haknyeon mengangkat kedua tangannya yang menggenggam dua kantong besar yang entah apa isinya.

“gue nggak sabar bawa ini buat lo!”

“ya udah sini dulu!”

Via menarik Haknyeon masuk ke dalam rumah. Dan kemudian....


“aww! Vi jangan ke telinga ih!”

Via cekikikan,

“Iya!! maaf maaf, abisnya itu masih basah!”

“panas bgt hair dryer nya apa gak bisa dikecilin apa anginnya?”

Via lagi-lagi hanya tertawa.

“Ini bentar lagi kelar Haknyeon! jangan protes muluuu!” lalu mengacak-acak rambut pria bermarga Ju itu.

Haknyeon tersenyum. Tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa mengeringkan rambut bisa membuatnya menjadi se-bahagia ini.

“Nah, udah selesai! lo tunggu dulu disini. Sekarang giliran gue yang keringin rambut”

“lho... sekarang gue bantuin lo! biar adil, Vi!”

“nggak! gue bisa sendiri, lo diem aja duduk!”

Padahal Via tahu.. kalau Haknyeon membantunya, detak jantungnya akan semakin tak karuan.

*** “nih liat deh, Vi! sinii!”

Haknyeon terlihat sangat bersemangat, melambai ke arah Via.

Via mendekat dan kemudian duduk di sebelah Haknyeon.

Ia mengeluarkan banyak makanan dari dalam bungkusan yang satu, sedangkan dalam kantong yang lain berisi buku-buku berwarna mencolok yang Haknyeon bilang itu adalah albumnya.

“gue bawa album-album ini khusus buat lo! dan udah gue kasih tanda tangan”

Via tersenyum, Haknyeon tampak sangat menggemaskan di matanya saat ini. Ingin mencubit pipinya namun ia tak berani.

“Oh!! dan ini ada lagi!!”

Via memperhatikan gerakkan Haknyeon yang kembali merogoh sesuatu dalam bungkusan besar tadi,

“ini lightstick The Boyz, Vi! lo juga harus punya ini! biar nanti kalo lo udah pulang ke Ind...”

Haknyeon menghentikan ucapannya.

Ia menghela napas,

“Vi, jangan pulang...”

tukk —Via memukul lengan Haknyeon yang sedikit membuatnya mengernyit.

“kenapa gue dipukul?”

“jangan bahas itu!!”

Haknyeon menunduk, helaan napasnya terdengar jelas oleh telinga Via.

Happy Birthday!!

Kepala yang menunduk perlahan terangkat kemudian menatap Via lekat-lekat.

“Vi? lo tau hari ini my birthday?

“tau dong!”

“kenapa gak ngucapin dari tadi?! tau gak sih, Via?”

Via terkejut karena sekarang kedua tangan Haknyeon memegang bahunya.

“tadi, gue nangis di pantai, itu gak semata-mata gue takut lo pulang. Tapi, gue juga mau diucapin selamat ulang tahun!”

Haknyeon cemberut. Via tak merespon apa-apa setelah beberapa detik. Kemudian ia tertawa.

“ih kenapa? lo ngetawain gue?”

Via menutup wajahnya dengan kedua telapaknya.

“Haknyeon, lo lucu banget!”

“hah? apa Via? gue gak bisa denger jelas suara lo! lepas dulu tangan lo nya!!!”

Via melepaskan tangannya, namun tetap kembali tertawa.

“Ih! Viaaa!!!!”

Lelaki yang lebih tua satu tahun darinya itu melipat kedua tangannya di dadanya. Yang semakin membuat Via gemas dibuatnya.

“Bukan apa-apa, Haknyeon! sekarang, ayo jelasin itu apa yang lo bawa!” ia mengacak-acak rambut Haknyeon yang ia bantu keringkan beberapa saat lalu.

“Oh, ini!!”

Haknyeon menyerahkan album-albumnya pada Via.

“Gue udah siapin ini dari jauh-jauh hari. Semoga ini bisa jadi kenang-kenangan, dari gue.. buat lo!”

Via tersenyum, “kenang-kenangan?”

Haknyeon mengangguk.

“eh! gue nulis sesuatu di albumnya, tapi lo jangan baca sekarang!”

“kenapa jangan baca sekarang?” Via menatap Haknyeon dengan tatapan meledek.

Ia mengusili Haknyeon, berpura-pura akan membuka albumnya agar Haknyeon panik.

“gue baca sekarang, ahh!!”

“jangan!!!”

“ya udah nggak.. nggak!”

“lo baca nya kalo udah di Indonesia aja, ya?”

Via terdiam. Ia tahu bahasan ini akan selamanya menjadi menyedihkan diantara dirinya dan Haknyeon.

“eh, itu makanan nya boleh dimakan sekarang nggak?” Via mengalihkan topik pembicaraan.

“boleh.. makan aja!”

Via mengambil asal makanan yang Haknyeon bawa.

“pelan-pelan, Vi! gue nggak akan minta kok!”

Perempuan itu hanya terkekeh.


Langit sudah gelap, Haknyeon dan Via menyalakan tungku di depan rumah ternak dan membakar jagung bersama.

Ingat, kan? Haknyeon ingin menghabiskan waktu di hari ulang tahunnya bersama Via?.

“kalo kaya begini udah mateng belum, sih?”

“belum, Vi! itu masih mentah!”

“Ih lama banget perasaan!”

“pokoknya kalo yang mateng itu cirinya biji jagungnya mengkilat!”

“tapi ini udah ada gosongnya, Haknyeon! gimana mau dimakan?!!”

“itu gapapa, Via! ih!”

Diskusi kecil kedua pembakar jagung di pulau Jeju itu menjadi satu-satunya suara manusia. Sisanya hanya semilir angin dan derik jangkrik.

*** “kok rasanya aneh ya, Hak?”

Haknyeon terkekeh namun tetap melanjutkan mengunyah jagungnya.

“gara-gara kelamaan gak sih ngebakar jagungnya?”

“Udah, Via.. makan aja udah!”

“Ya udah, ini dimakan”

Mereka ujung-ujungnya tetap menertawakan jagung bakar hasil karya mereka.

“Oh iya, Vi! lo pulang ke Indonesia 10 hari lagi, kan?”

no, seminggu lagi”

Haknyeon hanya mengangguk-angguk. Memahami situasi, mengontrol emosi.

“kenapa?”

“seminggu masih lama.. I guess

Via tersenyum.

“lo mau ikut, ke Indonesia?”

Can I

you must be kidding me!” Via terkekeh lalu kemudian mengigit beberapa biji jagung bakar yang ia pegang.

“gue serius!” ucap Haknyeon yang refleks membuat Via berhenti mengunyah. “gue bisa pergi kemana aja asal ada lo! atau lo aja yang disini! kita bangun bisnis keluarga gue sama-sama!”

“Haknyeon...”

“gue bisa kok berhenti jadi idol, asal bisa bareng sama lo!”

“heii...”

“gue bisa ngelakuin apa pun, Vi!”

“Haknyeon! stop!”

“oh... I see karena dia ya, Vi?”

no! udah stop jangan kaya gini! it's your day! you must be happy, okay?!

“Via... kalo gue bisa, gue akan berhenti dari lama. Tapi gue gak pernah bisa kontrol diri gue!”

Haknyeon menghela napasnya,

“gue tau... gue sadar betul... gue sama lo itu nggak bisa.. tapi, gue ngeyel! gue nggak pernah berhenti buat jatuh lagi sama lo!”

Via mengusap punggung Haknyeon untuk menenangkannya.

“Udah malem, lo sebaiknya pulang!”

Haknyeon bangkit dari duduknya,

“Via, can I tell you something?

sure” Via mendongak untuk melihat ke arah Haknyeon.

I Love you!” I really do

Via ikut berdiri lalu tersenyum pada Haknyeon.

I already knew, Hak!” ucap Via yang spontan membuat Haknyeon mebisu, “cause I also do love you” lanjutnya.

Deg— Haknyeon tak berkutik sama sekali setelah mendengarnya langsung dari Via. Terlebih Via yang tiba-tiba mengecup pipinya, membuatnya kehilangan akal.

Ia mematung beberapa saat sambil memegang pipinya yang mulai memerah.

Via yang sudah memasuki rumah lebih dulu hanya cengengesan.

“eh, ini albumnya gue simpen dulu ya ke lemari!”

Via mengambil tiga album yang terletak di atas meja lipat di ruang tengah rumah ternak dengan tangan kirinya.

Dan tergelincir. Satu album yang berwarna merah terjatuh, dan mengeluarkan secarik kertas putih yang dilipat.

“eh itu jangan dibuka!”

Haknyeon melompat ke arah Via yang membuat mereka terjatuh bersamaan.

“Via.. you love me.. since when?” tanya Haknyeon sambil terengah-engah.

Sekarang mereka berdua tak berjarak. Keduanya terbaring menyamping dan saling berhadapan.

“udah lama kok..”

Mata mereka menatap dan saling mengunci.

thank you.. Via

for what

“kukira selama ini aku cuma suka kamu sendirian!”

Via tersenyum.

our stories through three seasons are sooooo precious for me, Haknyeon!

Haknyeon mengusap puncak kepala Via lembut, tersenyum dengan penuh arti. entah ia bahagia, entah ia sudah rela.

actualy, if I'm with you... waktu kerasa singkat banget, Vi! Jujur, tiga musim aku lewati nggak pernah terasa sesingkat ini!”

you can say it as one season then!

what do you mean?” Haknyeon mengernyitkan dahinya.

we met in auntumn, and being friends.. then we fell in love in winter.. then we making memories in spring!

“terus?”

you can mix it all at one! it's 'our season'!” ucap Via yang matanya tak lepas dari milik Haknyeon.

Haknyeon tersenyum dan mengiyakan semua yang Via ucapkan.

“Via..”

“hmm?”

Haknyeon kembali mengusap puncak kepala Via dan tatapan mereka tak lepas satu sama lain, namun kali ini, Haknyeon menarik Via mendekat padanya.

Sekarang mereka berhenti menatap, mata mereka berdua tertutup.

Dengan lembut, Haknyeon mencium bibir Via. Tak ada penolakan, Via pun melakukan hal yang sama.

Deru napas mereka berdua berat, detak jantung mereka terasa satu sama lain.

Kedua tangan Via berada pada pipi Haknyeon dan ia sesekali mengusapnya dengan lembut.

Setelah beberapa saat, Haknyeon membuka matanya dan melepas tautannya dengan Via. Ia menjauhkan Via darinya.

“Via.. kamu nangis?”

Via hanya terdiam.

“udah malem, Vi! aku, eh gue pulang dulu!”

Haknyeon tergesa-gesa membawa ponselnya, menggunakan sepatunya kemudian setengah berlari meninggalkan Via sendirian.


#injunoona

tw // mentioning social issue, religion topics, death


POV : Yoga


Nasi Tumpeng

*** Sepulang mengaji di malam itu, aku berlari menuju rumahku yang jaraknya cukup jauh dari tajuk, karena turun hujan. Saudaraku yang lain sudah lebih dahulu sampai di rumah, karena lari mereka lebih cepat dariku.

“hati-hati, nak! awas licin!”

Teriak Bapak tepat di depan pintu rumah, menungguku sambil memegangi gagang pintu yang sudah longgar dari daunnya. Begitu aku sampai, beliau segera menutup pintunya.

Masuk ke dalam rumah sepetak milik kami, aku lihat kedelapan saudaraku yang lain sedang mengeringkan tubuh mereka menggunakan handuk. Semuanya sudah duduk di meja makan.

Sedangkan sikembar Erik-Sunan yang masih berusia lima tahun dan belum ikut mengaji, hanya bermain dengan tetesan-tetesan air hujan yang menembus atap di beberapa titik rumah kami. Pemandangan yang selalu kulihat setiap kali turun hujan.

“Kak Yoga, kakinya cuci dulu! Itu di sandalnya banyak lumpur!” sahut Juna yang membuatku refleks menunduk melihat kakiku.

“Iyaa!” responku.

Aku tak melepas sandalku, karena rumah kami yang masih beralaskan tanah.

Sandal jepitku yang sudah kupakai setahun ini sebetulnya sudah putus sebulan yang lalu, namun Bapak perbaiki dengan mengaitkannya paku. “Bapak belum punya uang untuk beli sandal baru!”.

“sini duduk, nak!”

Ibu memintaku duduk bersama saudaraku yang lain di meja makan. Meja makan yang Bapak rakit sendiri dari papan tripleks dan kayu yang Bapak kumpulkan dari sisa-sisa pembangunan rumah orang lain. Tentunya beliau sudah mendapat izin.

Ibu membagi rata air yang baru saja beliau didihkan untuk menghangatkan tubuh kami. Dibagi ke dalam tiga belas cangkir séng.

Hanya air bening, bukan teh hijau, bukan juga susu coklat. Kami bisa dengan jelas melihat dasar gelas séng yang sudah menguning itu ketika meminum airnya.

Malam itu kami tidak mengerjakan PR bersama seperti biasanya, karena malam minggu. Bapak bilang malam minggu itu waktu untuk keluarga.

“tadi di sekolah, temen Cani sama Camin ada yang rayakan ulang tahun lho, Bu, Pak!” ucap Cani memulai obrolan.

“terus, terus! kalian dikasih nasi tumpeng?” tanya Kakak tertua, Kak Sangga dengan antusias.

Cani menggelengkan kepalanya.

“lho.. kenapa gitu, dek?” Kak Jaka heran setelah melihat respon Cani.

“Aku sama Cani gak ngasih kado, jadinya kita nggak kebagian!” Camin menjelaskan dengan wajah penuh kekecewaan.

Di keluarga kami, ada dua pasang anak kembar, Cani-Camin dan Sunan-Erik. Mereka berempat adalah penghidup suasana terbaik di rumah kami. Cani-Camin yang selalu bercekcok karena hal-hal kecil, sedangkan Sunan-Erik yang tak pernah kehabisan energi bermain berlarian kesana kemari.

“Camin juga mau rayakan ulang tahun, Pak, Bu!” Camin menatap Bapak dan Ibu dengan penuh harap, matanya sudah berair.

Tiba-tiba menjadi hening, hanya terdengar suara rintik hujan yang menimpa atap rumah dan semilir angin yang menggoyangkan dinding anyaman bambu di sekeliling kami.

“Ulang tahun kalian di tahun ini kan udah kelewat, dek! tahun depan aja! Bapak sama Ibu cari uang dulu” ucapku sambil mengusap lengan Camin yang duduk di sebelahku.

“nanti kakak kasih kado yang keren buat Cani sama Camin, ya?” Hyuda tersenyum ke arah keduanya.

Yang lain pun ikut tersenyum, namun aku bisa dengan jelas melihat di wajah Bapak dan Ibu hanya ada kenelangsaan.


Kebun Jagung

*** Bapak kami adalah seorang buruh tani. Beliau bekerja serabutan dari sawah ke sawah, dari kebun ke kebun, tidak menetap di satu pemilik saja. Bapak hanya diberi upah paling banyak lima puluh ribu per harinya.

Jika bukan musim panen atau musim tanam, Bapak akan bekerja menjadi kuli panggul, menjadi kondektur angkot, atau jika ada acara pesta pernikahan dan sunatan, Bapak akan menawarkan diri menjadi pengangkut piring kotor.

Semuanya Bapak lakukan, demi Istri dan kesebelas anaknya.

Ibu kami pun bukan Ibu yang hanya duduk diam menunggu suaminya pulang membawa pundi-pundi uang. Ibu adalah seorang pekerja keras.

Biasanya Ibu akan menjadi buruh cuci di rumah tetangga kami. Meski bekerja sambil menggendong anaknya, Ibu tak mengeluh.

Selama 18 tahun pernikahan, Ibu sudah melahirkan sebelas anak. Usia kami hanya terpaut satu sampai dua tahun saja. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelahnya Ibu kami yang sedang menyusui, namun sudah mengandung lagi?.

Rendahnya pengetahuan tentang program 'keluarga berencana', dan tak ada biaya untuk menemui dokter, Ibu seringkali menyadari kehamilannya di usia 4 atau 5 bulan, ketika perutnya sudah membesar.

Semua anak-anak Ibu dan Bapak, terlahir di rumah gubuk kami. Bapak hanya mampu membayar dukun beranak yang tinggal di lingkungan desa, dan syukurnya kesebelas persalinan berlangsung lancar tanpa kendala yang membuat Ibu dilarikan ke rumah sakit.

*** Ditengah malam, setelah obrolan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, aku terbangun.

Dengan pandangan yang masih buram, aku melihat Ibu dan Bapak duduk di meja makan.

Kulihat ke arah jam dinding yang sudah usang di dekat pintu, pukul 1 pagi.

“maafkan Bapak ya, Bu!”

Aku bisa mendengar Ibu yang terisak.

“Bapak sepertinya gagal ya, Bu?...”

Ibu tak menjawab, beliau masih terisak.

Aku tak bangun, aku pura-pura menutup mataku.

“Biar Bapak cari uang lagi, untuk rayakan ulang tahun, untuk masak nasi tumpeng!”.

“kasihan ya, Pak.... kasihan anak-anak, karena terlahir menjadi anak kita”

“Bu...”

Aku yang saat itu masih berusia 15 tahun, tak tahu harus melakukan apa, selain menangis.

Kedua tanganku membungkam mulutku agar Ibu dan Bapak tak mendengar isakku.

Malam itu adalah salah satu malam yang paling menyakitkan untukku, untuk Ibu dan Bapak juga.

*** Setiap pagi, pukul setengah lima, Ibu dan Bapak selalu membangunkan kami. Untuk mengajak shalat subuh berjamaah.

Kami memiliki kebiasaan yang sama, yaitu duduk sejenak di atas kasur sebelum kemudian bangkit dan mengambil wudhu.

Akan terlihat sangat lucu, bagaimana kami yang tidur di kasur yang sama berjejer mengumpulkan tenaga. Biasanya Ibu dan Bapak akan menertawakan kami karena hal itu. “mirip ikan di pasar, berjejer” kata mereka.

Setelah shalat subuh, seperti kebanyakan kegiatan leluarga di pagi hari.

Ibu menyiapkan sarapan, biasanya kami makan di pagi hari dengan menu ubi kukus, ubi pemberian pemilik kebun belakang rumah kami. Sedangkan Bapak mengajak bermain adik-adik yang masih kecil, diikuti tawa bahagia mereka.

Tak pernah sehari pun kami tidak berkumpul di meja makan, untuk makan bersama, untuk berbincang bersama. Bapak yang selalu memberikan nasihat, Ibu yang selalu menjadi pengingat. Keluarga kami sangat hangat, walau orang-orang selalu menghina kami melarat.

Satu pagi di hari minggu, aku dan semua saudaraku ikut bekerja bersama Bapak di kebun jagung. Ibu juga ikut menemani kami.

Jika anak-anak lain seusia kami melakukan perjalanan liburan bersama keluarga mereka ke pantai, ke taman bermain, ke kebun binatang dan lainnya. Sedangkan kami akan menganggap bekerja bersama Bapak di kebun sebagai rekreasi yang menyenangkan.

Bukan semena-mena, pemilik kebun tentu saja mengizinkan Bapak membawa kami. Asalkan tidak mengacau.

Kak Sangga, Kak Jaka, aku dan Hyuda akan membantu Bapak memanen jagung. Sedangkan yang lain hanya akan bermain berlarian di sekitar kebun, diawasi oleh Ibu dari gubuk panggung di samping kebun.

Suara tawa adik-adikku terdengar seperti penenang di telingaku...

Sunan dan Eric yang berlari dikejar oleh Haksa dalam permainan 'tangkap-kucing', dan ditertawai oleh Cani dan Camin sebagai penonton.

Juna dan Kevin yang membuat pistol-pistolan dari daun jagung, yang dikumpulkan di gubuk panggung kemudian dibawa pulang untuk bermain di lain waktu.

Kebahagiaan yang kami ciptakan sendiri, sederhana namun akan kami kenang dan simpan dalam memori.

“Sesampainya di laut, kukabarkan semuanya.. Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari Tetapi semua diam tetapi semua bisu Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit

Barangkali di sana ada jawabnya.. Mengapa di tanahku terjadi bencana?

Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita? Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Lagu Ebiet G. Ade yang berjudul 'Berita kepada Kawan', dinyanyikan oleh Bapak sambil memetik satu persatu jagung yang kemudian dimasukkan ke dalam karung.

“kalian tahu nak, pesan dari lagu ini luar biasa!”

Kami mulai mendengarkan Bapak dengan seksama.

“kita hidup di bumi, nggak semata-mata hanya hidup, bernapas, makan, tidur...”

“kita juga harus peduli pada sesama.. bukan hanya manusia, namun semua elemen yang ada di bumi. Hewan dan tumbuhan pun juga harus kalian jaga”

“Ingat ya nak, kalian harus tetap hidup sebagai manusia berbudi luhur. Jika kalian diremehkan oleh orang lain.. jangan balas, jangan marah. Biarkan Allah yang lakukan”

”... jadi kalau kalian mau disayangi oleh Allah, ibadahnya jangan terlewat. Shalat dan mengaji harus diingat!”

“Bapak selalu berdoa agar kalian jadi orang yang berguna. Di masa depan, kalian harus lebih bahagia dari pada kalian yang sekarang” ucap Bapak sambil mengusap kepala empat anaknya termasuk aku satu persatu.

“Sangga sebagai kakak tertua, harus bisa mengawasi dan menjadi contoh yang baik bagi adik-adikmu!” Bapak mengusap lengan kak Sangga sambil tersenyum.

“Jaka juga.. kamu mulailah berbagi cerita, nak! Ceritakan lah masalah kamu sama kakakmu, sama adikmu. Jangan melulu dipendam sendirian!” Kak Jaka hanya mengangguk-angguk.

“Yoga... Bapak tahu kamu anak yang kuat! menangis itu nggak menandakan kamu lemah, kok!” aku tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigiku.

“Hyuda tahun depan sudah masuk SMA, sudah harus bisa bedakan mana yang baik dan yang gak baik ya, nak?”.

Wejangan-wejangan seperti ini rutin Bapak berikan pada kami, untuk mengajarkan makna kehidupan. Agar menjadi penguat bagi pilar-pilar diri kami, yang belum sepenuhnya kokoh menopang beban.

*** Matahari sudah mulai meredup, suhu udara mulai menurun, tanda hari akan segera berakhir.

Tujuh buah jagung kami bakar di gubuk panggung, sebagai penutup 'rekreasi' hari ini. Tujuh buah jagung yang Bapak potong masing-masingnya menjadi dua bagian, agar semua terbagi rata.

Kami semua berbincang sambil tertawa dengan wajah kami yang sudah kusam dan berkeringat. Menyantap makanan kami, yaitu jagung bakar.

“Bapak... Haksa masih mau jagungnya lagi..” Haksa yang memiliki 'perut elastis' di keluarga kami, merengek dengan wajah yang memelas.

Kak Sangga menyodorkan sisa jagung miliknya pada Haksa, begitu pun kak Jaka dan aku. Yang akhirnya ditertawakan oleh semua, karena Haksa yang dengan bahagia mengambil ketiga jagung yang disodorkan padanya.

“makan ini, nak! masih ada sisa satu! kembalikan lagi jagung punya kakakmu” kata Bapak sambil menghampiri Haksa dan memberinya jagung.

“yang lain nggak apa-apa kalau Haksa makan dua?” Bapak bertanya dengan hati-hati dan kami semua menyetujui dengan senang hati.


Bukan ingin kami terlahir miskin

*** Wajah Ibu dan Bapak pucat di malam itu. Sudah pukul 11, namun Kevin dan Kak Jaka belum kunjung pulang.

Sepulang mengaji, kami pikir mereka berdua menonton televisi di rumah Pak Gani seperti biasanya. Namun ketika Bapak bertanya kepada Pak Gani, beliau bilang tidak melihat Kevin dan Kak Jaka.

Kepanikan bertambah lagi setelah mendengar kabar dari ketua RT kami, bahwa ada tanah yang longsor di desa sebelah. Pikiran kami kalut dan membayangkan skenario terburuk.

Bapak bergegas mengenakan jaketnya dan pergi bersama Kak Sangga untuk mencari Kevin dan Kak Jaka.

Adik-adikku yang lain sudah tertidur saat itu.

“Duduk, Bu! jangan mondar-mandir begitu.. nanti Ibu capek..”

“Yoga.. Kevin dan Jaka pasti baik-baik aja kan, nak?” raut kegelisahannya masih jelas terlihat.

“iya Bu, sekarang Ibu duduk, ya?”

Ibu akhirnya duduk di sebelahku. Di bangku kayu yang disimpan di depan rumah.

Malam itu sangat hening. Suara jangkrik dari kebun dan sawah terdengar sangat jelas. Pun suara detak jantung Ibu, aku bisa mendengarnya.

Kevin dan Kak Jaka, keduanya sangat menyukai pertunjukkan. Film, musik, teater, tari, dan semua hal tentang seni itu.

Kevin bahkan sering ikut menonton di rumah tetangga yang memiliki televisi. Menonton dari sela-sela jendela atau pintu yang terbuka.

Kemudian Kak Jaka, yang diam-diam mempelajari gitar di sekolah, dengan mengandalkan pengajar ekstrakurikuler nya.

Setelah beberapa saat, jam dinding menunjukkan pukul dua belas. Dari kejauhan, kulihat dua orang berjalan mendekat. Semakin mendekat, semakin jelas bahwa itu Kevin dan Kak Jaka.

“kalian dari mana saja, nak?” Ibu refleks berlari menghampiri mereka.

Mereka terdiam dan saling melirik.

“itu Bu... anu... tadi aku dan Kevin nonton acara wayang kulit di kantor kecamatan” Kak Jaka menjawab sambil menunduk. Kevin pun sama, menunduk dengan penuh rasa bersalah.

“Ya Allah... kalian tahu gimana khawatirnya Ibu, Bapak dan adik kakak kalian? kenapa nggak minta izin dulu?”

“takut Ibu dan Bapak marah” kali ini Kevin yang menjawab, namun masih menunduk.

“biasanya kalian nonton di rumah Pak Gani, bukannya acara nya tayang di TVRI?” aku bertanya untuk menghilangkan rasa penasaran.

Kak Jaka pelan-pelan mengangkat wajahnya, melihat ke arahku, menatap mataku.

“kami.... diusir” kemudian Kak Jaka menunduk lagi.

“Pak Gani bilang, orang miskin kayak kita mana tahu mahalnya tagihan listrik karena televisi” Kevin yang saat itu masih berusia sebelas tahun, membuka suara.

Ibu tersentak tepat setelah Kevin selesai bicara.

“ya sudah... kalian masuk! udah malem, ayo tidur”

Aku bisa dengan jelas membaca, bagaimana perasaan Ibu saat itu. Hatinya pasti hancur, namun Ibu berusaha untuk selalu terlihat baik-baik saja.

*** “Ibu Darmawan, saya kan sudah bilang kalau utang Ibu ke warung saya udah banyak. masa mau ngutang lagi?”

“tolong satu kali lagi aja, Bu! anak saya Camin lagi demam tinggi.. saya harus kasih dia nasi sama lauk yang bernutrisi, supaya bisa cepet sehat lagi”

“makanya kerja supaya dapet duit!” ucap pemilik warung sembako, tanpa memikirkan perasaan Ibu.

Aku menyaksikannya sendiri, melihat dari kejauhan. Menggenggam tali tas ranselku kuat-kuat, menahan amarahku.

Yang kulakukan saat itu hanya... menangis. Aku menunduk berdiam diri di tempat. Menatap celana abu-abu yang sudah lusuh, meneteskan air mata ke atas sepatu canvas hitam yang sudah banyak robekkan.

Aku sangat marah, namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah siswa kelas satu SMA kala itu.

*** “Bu Darmawan, anakmu si Hyuda pukul anakku tadi di sekolah! kasih pelajaran dong anakmu... makanya punya anak jangan kebanyakan, jadi gak terdidik, kan?” bentak Ibunya Soni, teman sekelas Juna. Soni yang ayahnya merupakan seorang juragan tanah dan tersohor paling kaya di desa kami.

Saat Ibu menanyakan kebenarannya pada Hyuda dan Juna, ternyata benar saja...

“tadi Juna dipukul sama Soni. makanya aku pukul Soni, Bu!” pengakuan Hyuda.

“betul itu, Juna?”

“I.. Iya, Bu”

“kenapa Soni pukul kamu?”

“tadi Juna mau pinjem kalkulator punya Soni.. tapi Soni bilang tangan Juna kotor, tangan orang miskin... dan tangan Juna dipukul..”

“Hyuda marah, Bu! Hyuda gak suka adik Hyuda dihina dan dipukul!” Hyuda membuka suara lagi.

Ibu menghela napasnya kasar. Lagi-lagi, atas dasar status ekonomi, keluarga kami dihina dan dicaci maki.

“Hyuda minta maaf ya, Bu?”

Ibu tak menjawab, beliau hanya memeluk Juna dan Hyuda kemudian menangis. Membuat kedua anak yang berada dipelukannya keheranan.

*** “Assalamualaikum! Ibu, Kak Yoga, Kak Camin, aku pulang!!!” Haksa berteriak ketika mulai melangkah memasuki rumah.

Hari itu aku sedang libur sekolah karena kepentingan rapat para guru, sedangkan Camin tidak masuk sekolah karena sakit.

Waalaikumsalam” responku dan Ibu serempak.

“itu kamu lagi makan apa, Hak?” tanyaku yang fokus memperhatikan plastik digenggaman Haksa, yang entah apa isinya.

“ini batagor, Kak Yoga! mau?”

“engga.. tapi kamu dapat batagor dari mana? kamu kan gak dikasih bekal uang sama Ibu?”

“tadi diberi temanku, Kak”

“teman yang mana?”

“temanku yang rumahnya di samping mesjid itu, Kak!”

Aku mengangguk, memahami setiap kata yang keluar dari Haksa. Ia masih sangat lucu kala itu, masih kelas satu.

“tadi dia kenyang, jadi diberikan ke Haksa”

“kamu.... makan bekas dia?”

Ia mengangguk, dan tetap fokus mengunyah. Terlihat sangat bahagia.

“Haksa senang bisa makan batagor”

“Haksa...”

Aku menoleh ke arah Ibu, beliau sedang mengompres kening Camin yang tidur, dan Ibu pun menoleh ke arahku.

“nak, jadi kamu makan sisa punya temanmu?” Ibu bertanya dengan hati-hati.

“Iya, Bu! memangnya kenapa?”

ndak apa-apa, habiskan saja”

Kuperhatikan Ibu yang menunduk, mengusap kepala Camin sambil sesekali menghapus air mata di pipinya yang mulai keriput.

*** bugh bugh bugh

“Pak Darmawan!! buka pintunya!!!”

Kami yang berada di dalam rumah serempak menoleh ke arah pintu yang dipukul dengan keras itu, bertanya-tanya apa yang terjadi.

“Pak Darmawan, anakmu si Sangga mengacau di toko saya itu!!”

Ia berteriak tepat di depan wajah Bapak, padahal pintu baru saja dibuka. Dia adalah Bang Tori, pemilik toko beras di desa kami.

“Sangga? anak saya tadi pamit kerja kelompok di rumah temannya, Bang!”

“bohong anakmu! dia sedari pagi jadi kuli panggul di toko saya, Pak!”

Bapak membeku, beliau tak membalas ucapan Bang Tori.

“tadi anakmu tumpahkan beras di tokoku! gimana itu ganti lah!!”

“Iya maaf, Bang! biar saya ganti seharga berasnya”

Bang Tori dengan tidak basa-basi berlalu pergi, berdecak di depan Bapak, tanpa peduli sopan santun dan norma.

Malamnya, Kak Sangga datang pada Bapak dengan wajah lesu, tangannya menggenggam uang dua puluh ribu.

“untuk Bapak, untuk biaya Camin ke dokter”

Bapak tak menggubris, masih ingin mendengar lebih dari Kak Sangga.

“aku minta maaf ya, Pak..”

“minta maaf untuk apa?”

“karena bohong.. Sangga cuma mau bantu Bapak dan Ibu... Camin udah dua minggu sakit, dia harus dibawa ke dokter, Pak!”

“Bapak minta maaf”

Kak Sangga mengernyitkan dahinya, ia heran.

“Bapak enggak perlu minta maaf! kan aku yang salah, Pak!”

“Bapak hanya ingin minta maaf..”

*** Ada pemadaman listrik di desa sehabis magrib waktu itu. Kami memilih keluar dari rumah untuk mendapatkan pencahayaan dari obor yang dinyalakan oleh Kak Sangga dan Kak Jaka.

Sedangkan Ibu tetap di dalam, menemani Camin yang tidur.

“DORRR DORRR!!”

Erik mengarahkan sapu lidi yang digunakan untuk menyapu kasur ke arahku, berimajinasi seolah itu pistol yang besar.

“AAAAAA” aku menjatuhkan tubuhku ke tanah, berlakon menjadi korban tembakan.

“awas kak, Sunan punya pedang!!!!” kali ini Sunan yang menodongkan sutil kayu ke arahku, sutil yang ia sebut pedang.

“kakak cape, dek!” aku bangkit dan kemudian duduk di bangku depan rumah.

“Kak Yoga, waktu kecil pernah main ke pasar malam? naik kuda berputar?”

“Erik kenapa tahu pasar malam?”

“Kak Cani bilang mau ajak aku dan Sunan ke pasar malam, naik kuda berputar”

Aku tersenyum lalu mengusap surainya yang berwarna kemerahan karena sering terbakar matahari, kemudian membersihkan cairan yang keluar dari lubang hidung kecilnya.

“Kak Yoga belum pernah..”

“nanti ikut aja sama aku dan Erik, Kak!” kali ini Sunan yang mendekat dengan senyum cerahnya.

“Iya..”

Mereka berlari menjauh dan saling kejar, melanjutkan kegiatan perangnya. Dan aki menjadi penonton sambil sesekali tertawa karena tingkah mereka berdua.

“Yoga, sudah wudhu? sebentar lagi isya

Entah sejak kapan Bapak berdiri di depanku sambil membawa cangkul di bahunya.

“belum, Pak! barusan keburu mati listrik, terus main sama Sunan Erik”

“ya sudah ambil wudhu dulu, habis itu kita ke masjid!”

“mereka lucu ya, Pak? main pakai properti seadanya”

Aku terkekeh, Bapak juga.

“maksud kamu seadanya gimana?”

“iya itu, mereka main tembak-tembakkan pakai sapu dan sutil.. sedangkan anak lain bakal merengek-rengek minta pistol mainan yang mahal ke orang tua”

“kan menyesuaikan, nak”

“orang kaya hidupnya pasti senang dan mudah ya, Pak?” aku bertanya tanpa pikir panjang”

“kamu betul.. tapi tidak semua orang kaya punya yang kita punya” Bapak duduk disampingku, menjelaskan sambil berhati-hati.

“maksud Bapak?”

“tak apa jadi orang miskin harta. Setidaknya kamu masih punya Bapak, Ibu dan kesepuluh saudaramu! cinta kita yang kaya, nak!”


Bagian dari kami yang hilang

*** Cani tak melepas pelukannya dari Camin sejak siang tadi. Ia terus saja mengusap wajah saudara kembarnya sambil berkata “ayo sembuh, ayo bangun”.

Anggota keluarga kami, yang sudah 3 bulan terbaring di tempat tidur itu beberapa hari ini napasnya semakin tersedak. Kami tak tahu sakit apa yang ia derita, karena tak pernah membawanya berobat ke tempat yang layak. Lagi-lagi terkendala oleh biaya.

Klinik di desa kami tak memiliki fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai untuk membantu mengobatinya. Camin hanya didiagnosa 'flu' waktu terakhir kami membawanya kesana sebulan yang lalu.

Sejak kemarin, Camin sama sekali tidak membuka matanya. Ia hanya terbaring lemas, napasnya tidak beraturan.

Bapak sejak kemarin berkeliling meminta bantuan, berharap ada yang akan meminjamkannya uang untuk biaya pengobatan. Walaupun Bapak sudah tahu, tak akan ada yang mau membantu.

Tersisa kami di rumah berkumpul, berdoa untuk kesembuhan Camin.

Aku tak kuasa menahan air mataku. Kali ini mengalir sangat deras, seperti air terjun di kala hujan lebat.

Tak henti-hentinya kupanjatkan doa pada sang maha kuasa. “Ya Allah, untuk kali ini.. aku mohon... tolong..”

*** Waktu menunjukkan pukul 8 malam, kami masih gelisah karena Bapak tak kunjung pulang membawa segenggam harapan. Apakah ada orang berhati baik yang menolong kami?... Tidak, tidak ada.

“Ibu.... udah gak ada..”

Suara Cani memecah hening, menjadi menyesakkan. Ia yang sedari tadi memeluknya, merasakan setiap deru napasnya, menyadari bahwa kini sudah tak ada hembusannya lagi.

“Ibu... Camin..”

Suaranya menjadi semakin lemas, ia bangkit, menjauh dari saudara kembarnya yang sudah tak bernapas, sudah tak bernyawa, tinggal tersisa raga.

Tubuh adikku yang terkulai lemas dibawa ke pangkuan Ibu. Beliau belai wajahnya yang pucat itu sambil menangis.

“maafkan Ibu ya sayang, maafkan Ibu”

Tak lama, Bapak datang. Langkahnya lunglai, seperti sudah tahu apa yang terjadi. Bapak berlutut di hadapan Camin yang masih berada dipangkuan Ibu. Beliau menciumi wajahnya, mengusap surainya, kemudian meletakkan pergelangan tangannya ke atas perutnya. Bapak tak menangis, Bapak hanya menatap putranya yang berusia sembilan tahun itu dengan tatapan penuh penyesalan.

Tubuh Camin yang kurus kering diangkat oleh Bapak ke atas kasur, kemudian beliau tutup menggunakan selimut hingga ujung kepalanya.

“innalillahi wa inna ilaihi raji'un”

Ucap Bapak yang kemudian diikuti oleh tangisan dari kami.

Aku sangat membenci hari itu. Aku benci melihat Ibu menangis, benci melihat Bapak yang merasa bersalah, benci melihat Cani yang linglung tak berekspresi. Aku Benci.

*** Hari-hari berikutnya, rumah kami terasa sangat hampa. Kami tak saling bercerita dan menyapa, karena masih dalam suasana berduka.

“udah shalat ashar?” tanyaku pada Cani yang duduk sendirian di luar rumah.

“udah”

“berdoa?”

Ia mengangguk, “berdoa setiap hari... untuk Camin”

Aku tersenyum, namun Cani tetap tak menunjukkan ekspresi apapun semenjak hari itu.

“Camin pasti senang disana, karena Cani berdoa buat dia setiap hari”

Ia tetap diam, tatapannya kosong.

“Cani mau dipeluk?”

Perlahan ia menoleh ke arahku, dengan ragu ia mengangguk kemudian menjatuhkan dirinya dipelukanku.

Tak kusangka, ia menangis.

Menangis sejadi-jadinya, seolah-olah semua air dari kelenjar air matanya dikeluarkan.

“Camin bilang, dia mau hadiah gitar kalau ulang tahun, supaya bisa belajar sama Kak Jaka”

“Camin bilang Kak Hyuda akan belikan, karena Kak Hyuda udah janji”

“Camin bilang, dia mau main ke pasar malam di hari ulang tahun”

“Dia juga bilang kalau Sunan dan Erik harus diajak”

“Camin bilang, nasi tumpengnya mau dia hias sendiri.. dan harus besar, supaya Kak Haksa bisa makan sampai kenyang!”

Ku eratkan pelukanku padanya, aku biarkan dia melepaskan semua rasa sakit yang ia tahan selama ini.

Menyakitkan. Harapan-harapan sederhana yang adikku bangun... tak akan pernah tercapai, karena maut lebih dahulu menjemputnya.

Aku sempat membenci takdir, aku sempat membenci Tuhan, tapi Bapak selalu mengingatkanku untuk senantiasa beristigfar.


Terbiasa karena waktu

*** Berhari-hari tanpa Camin, kami terkadang masih memanggil namanya di rumah, terutama Cani.

Berminggu-minggu tanpa Camin, Ibu masih belum terbiasa. Beliau masih menyiapkan 13 potong ubi untuk sarapan kami.

Berbulan-bulan tanpa Camin, bantal yang berjejer di atas kasur menjadi 12 buah. Gelas séng di atas meja juga ada 12 buah.

Berbulan-bulan tanpa Camin, Cani merayakan ulang tahun nya sendirian. Walau dengan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, Cani tidak terlihat bahagia.

Berbulan-bulan tanpa Camin, namanya sudah tidak tercantum lagi di daftar absensi sekolah.

Berbulan-bulan tanpa Camin, kami perlahan mulai bisa tertawa pada lelucon-lelucon kecil yang kami ciptakan sendiri.

Bertahun-tahun tanpa Camin, kami akhirnya terbiasa.

Akhirnya kami menerima takdir, akhirnya kami bisa berdamai dengan segalanya.

*** Kak Sangga bekerja ke luar kota setelah lulus SMA, demi memperbaiki ekonomi keluarga.

Perlahan-lahan, kami mulai bangkit. Kak Sangga dapat membantu Ibu dan Bapak secara finansial, hingga kami dapat hidup layak.

Setelah Kak Jaka dan aku lulus SMA, kami pun bekerja di luar kota, sama seperti Kak Sangga.

Semakin meningkat perekonomian, kami perlahan merenovasi rumah gubuk kami agar menjadi lebih layak. Membahagiakan Bapak dan Ibu, dan mengangkat derajat mereka.

Semuanya kami lakukan, demi membahagiakan manusia-manusia yang paling berharga bagi kami.


Roda berputar

*** Lima belas tahun setelah kepergian Camin, bumi masih berputar.

Kak Sangga kini sibuk menjadi pimpinan pondok pesantren kecil yang ia bangun sendiri, membawa Bapak dan Ibu tinggal disana bersamanya.

Kak Jaka membuka bisnis sewa alat musik untuk acara pernikahan.

Aku dan Hyuda menjadi karyawan biasa di perseroan terbatas. Kami menetap di perkotaan dan sangat jauh dari rumah.

Juna berhasil menjadi seorang PNS yang ditugaskan di luar pulau.

Kevin bekerja sebagai komposer di perusahaan entertainment. Dam Cani sebagai designer di salah satu perusahaan sepatu Ibu kota.

Sedangkan Haksa, Sunan dan Erik masih berstatus sebagai mahasiswa.

Rumah kami ditempati oleh Kak Jaka, karena ia masih bekerja di sekitaran desa.

Kami akan berkumpul dua kali dalam setahun. Di hari raya idul fitri, dan di hari ulang tahun Cani Camin.

Sekarang, jika kami berkumpul, akan banyak makanan lezat yang dulu tak mampu kami beli. Rasa syukur ku tak pernah henti karena hal itu.

Senyum di wajah keluargaku adalah obat terampuh untuk melepas segala penat yang menumpuk akibat pekerjaanku. Aku sangat mencintai mereka.


Hilang, tinggal kenangan

*** Sudah nyaris satu tahun, sejak petugas pembangunan jalan tol datang mengetuk pintu rumah Kami. Kebetulan saat itu kami sedang berkumpul untuk merayakan hari ulang tahun Cani Camin.

“rumah dan tanah ini akan kami beli, demi pembangunan negara”

Bertambah lagi, hari yang kubenci. Aku juga membenci hari itu. Dimana kami saling bercekcok karena pro kontra. Aku sama sekali tidak mau menyerahkan rumah kami kepada siapa pun. Rumah ini harus tetap menjadi milik kami.

Namun sekuat apapun aku menahan, nyatanya semua saudaraku bahkan Bapak dan Ibu menyetujui itu. Mereka semua menandatangani surat persetujuan untuk merobohkan rumah.

*** Dengan langkah yang berat, aku masuk ke dalam rumah. Ku tarik napas dalam-dalam, merasakan setiap oksigen yang kuhirup.

“bau nya tetap sama, ini rumah”

Aku berkeliling, menelusuri setiap inchi dari rumah ini. Rumah yang menjadi saksi pahitnya kehidupan keluargaku, rumah dimana kami saling menyayangi.

Foto-foto yang berjejer rapi di dinding, membuat air mataku jatuh.

Foto ketika Kak Sangga mulai membuka pesantren, foto Kak Jaka dengan satu set alat musik pertamanya, dan foto kami semua sesuai kegiatan kami masing-masing. Tak lupa juga foto keluarga di saat Juna wisuda sarjana, semuanya tertata rapi. Tapi tak afa foto Camin disana.

“kamu kenapa? nangis?”

Entah sejak kapan Kak Jaka duduk manis di ruang tamu sambil memegang teh kotak di tangan kanannya.

Aku cepat-cepat mengusap air mataku.

“kapan nyampe?” tanyaku.

“barusan”

Aku hanya mangut-mangut.

“mana berkas yang harus aku tanda tangan?”

“Yoga... kamu serius?”

“aku serius!” helaan napasku menjeda dialog, “betul apa kata Kak Sangga, pembangunan negeri ini jug penting! lagi pula, semua kenangan, semua memori tentang keluarga kita, tentang Camin akan tetap tersimpan disini!”

Aku menunjuk dadaku, meyakinkan Kak Jaka bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.

Ia menepuk lenganku kemudian mengambil berkas yang perlu ku tanda tangani.

Aku yakin.. kemana pun nanti kami pulang, jika kami tetap bersama, namanya tetap rumah.

“Camin, mungkin ini hari terakhir kita ada disini sebagai pemilik rumah. Tapi percaya ya, dek.. kita gak meninggalkan kamu, kita gak akan melupakan kamu bersamaan dengan runtuhnya rumah ini. Kamu akan selamanya kami cintai!”

Dan Camin kecil tersenyum padaku di sudut ruangan dekat aquarium, melambaikan tangannya, kemudian perlahan menghilang.

end


#anti


“can't we just stay like this for awhile?”

*** Via's POV

Tanpa kata, Haknyeon datang hanya dengan suara motornya yang nyaring. Oh, tentu saja dengan senyuman lebarnya dibalik kaca helm yang tak berwarna itu.

Aku yang menunggunya sambil duduk di teras rumah ternak refleks bangkit dan melambaikan tangan ke arahnya. Sangat menunjukkan kebahagiaan. Sedetik kemudian aku menyadari bahwa tindakanku barusan mungkin berlebihan, terlalu exited, mungkin akan membuat Haknyeon risih.

“ngapain, sih! ngapain dadah-dadah segala?!” batinku.

Haknyeon turun dari motornya kemudian mengangkat kaca helmnya.

Morning, Vi!”

Aku hanya membalas dengan senyum.

“nih, pake helm demi keamanan”

Ia menyodorkan helm padaku, tapi ketika aku mengulurkan tanganku..

“mau pake helm di tangan?” ucapnya.

“di kepala, lah!”

“ya udah, siniin kepalanya!”

Aku hanya terdiam, aku tahu betul apa maksud Haknyeon. Namun aku memilih tak berkutik.

Haknyeon berjalan mengitari motor birunya agar bisa berdiri tepat di depanku tanpa terhalangi.

Ia menyimpan helm di atas jok motornya, kemudian merogoh kantong celananya, aku tak tahu apa yang hendak ia ambil.

Ia tiba-tiba merapikan rambutku yang terurai ke belakang telingaku. Tentu saja organ dalam tubuhku tak baik-baik saja diperlakukan seperti itu.

“lo, hari ini gak iket rambut? biasanya rambut lo selalu diiket?”

“eh, oh.. itu anu”

Aku mendadak sangat sulit bicara. Bayangkan saja, bagaimana otakku bisa mengirim sinyal pada bibirku untuk berucap jika...

“eh? lo ngapain?”

Mataku terbelalak, Haknyeon melingkarkan kedua tangannya di leherku. Ia mengikat rambutku saat itu juga, dengan ikat rambut yang ia ambil di kantong celananya.

“kalo gak diiket, nanti gerah, Vi!”

Setelah itu ia memasangkan helm di kepalaku. Mataku melirik kearahnya, dan berakhir dengan kita yang saling bertatapan.

klikk— helm sudah sepenuhnya Haknyeon pasang di kepalaku.

“lo cantik!” matanya tetap menatap ke arahku.

Demi Tuhan, aku merasa seperti diterbangkan tiada henti. Ini bahkan belum 15 menit dari sejak pertemuan kita hari ini. Masih ada sisa waktu 15 jam menuju pergantian hari, semoga jiwa dan ragaku kuat.

Aku hanya tersenyum. karena memang tak tahu harus bagaimana menanggapinya, terlanjur melebur.


Semilir angin menghembus ke arah kami yang duduk berdua di atas motor, Haknyeon sesekali bernyanyi lagu yang tak aku ketahui. Namun aku tetap ikut mengangguk-anggukkan kepalaku mengikuti irama nyanyian Haknyeon.

Haknyeon bercerita tentang gambaran pantai nanti, bagaimana ombaknya, bagaimana aromanya. Ia sangat banyak berbicara. Aku suka mendengarnya.

Aku merentangkan kedua tanganku meresapi semilir angin. Jalanan sangat sepi, hanya ada kami. Jadi Haknyeon tak protes saat aku melakukan itu.

Entah kenapa, hari ini Haknyeon sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Oh! tidak, Maksudku ia tetap Haknyeon, tapi ia hari ini lebih berani dan penuh kejutan.

Sepertinya jika aku punya riwayat sakit jantung, hari ini aku akan meninggal di tempat karena terkejut tanpa henti.


Sepeda motor kami tinggalkan di sebuah garasi kecil dipinggir jalan raya yang memang disewakan untuk pengunjung pantai. Untuk menuju ke pantai, kami harus berjalan menurun melewati jalanan pemukiman. Haknyeon bilang jalanan itu sangat sejuk dan aku pasti akan menyukainya.

Benar saja! udaranya sangat sejuk. Sepertinya kualitas oksigen disini adalah yang terbaik, dibandingkan dengan oksigen yang telah kuhirup sebelumnya.

Aku bahkan tak jarang berjalan sambil melompat-lompat karena terlalu bahagia. Dengan Haknyeon yang terus-terusan mengomeli

“awas jatoh!”

Dan aku selalu tersenyum mendengar kepeduliannya.

Suara ombak semakin jelas terdengar. Bukan ombak yang besar dan tinggi. Namun ombak kecil yang tenang.

Senyumku merekah kala menyadari bahwa kakiku sudah berpijak di atas pasir, tandanya pantai semakin dekat.

Aku berlari menuju perbatasan daratan dan lautan itu. Air laut yang dibawa oleh gelombang ombak menyapa kedua kakiku yang sudah tak beralas.

Pantai ini sepi.. tak ada orang lain selain aku dan Haknyeon. Ini bukan pantai yang merupakan destinasi wisata favorit, bukan pantai dimana kapal-kapal berlabuh. Pantai ini menyatu dengan pemukiman, di ujung pulau Jeju.

Haknyeon benar soal aroma pantai yang menyegarkan, karena nyatanya demikian. Aku tak henti-henti menarik napas dan kemudian menghembuskannya kembali dengan sengaja.

*** “gimana Jeju, sejauh ini?” tanya Haknyeon.

Aku menghela napasku sambil merangkai kalimat di kepalaku.

“gue suka, selalu suka”

Haknyeon yang duduk di sebelahku sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk, menoleh,

including me?

of course. always

Haknyeon tersenyum.

“dulu, pas minggu awal gue di Jeju, gue sempet mau banget pulang ke Indonesia!”

Aku memainkan pasir di dekat kakiku, melukis asal dengan jari telunjuk.

“dan itu karena lo!”

“lo mau pulang ke Indonesia, karena gue?”

Ia meletakkan telapak tangannya di dadanya. Suara seraknya sangat lantang, ia seperti memarahiku.

Aku mengangguk.

I'm so sorry

“eh, gak kok! gak usah minta maaf” aku terkekeh, “dan semenjak lo waktu itu nolongin gue... lo inget waktu itu...”

“oh waktu lo berdarah”

“ih!” aku menepuk lengannya pelan.

“iya kan waktu itu?, semenjak itu apa?”

“iya.. semenjak itu gue sadar. Kalo lo bukan orang yang judes dan galak kayak stereotipe yang gue ciptain sendiri!”

Haknyeon terkekeh, “padahal gue kan aslinya baik!”

“Iya, Haknyeon! gue kan udah klarifikasi barusan”

“iya iyaaa!”

“nah, mulai dari situ lah.. gue punya alesan buat tetep stay disini! tetep kuat disini! karena ternyata ada yang peduli sama gue!”

Haknyeon merapikan rambutku yang terkena angin. Lagi-lagi aku terkejut.

so am I, Vi!

Aku menatapnya lekat-lekat, membaca raut wajahnya yang menjadi agak murung.

“lo?..”

“sebenernya gue bukan tipe orang yang suka pulang kampung! gue bisa bertahan tinggal di Jeju, biasanya paling lama cuma sebulan! sometimes gue liburan panjang juga gak pernah balik ke Jeju dan tetep stay di asrama grup gue!”

seriously?

Ia mengangguk.

“karena ada lo disini, gue jadi betah!”

“Haknyeon...”

Haknyeon terdiam cukup lama, hanya menyisakan suara deru ombak danburung laut, sesekali suara semilir angin juga ikut menjadi backsound.

Ia meraih tangan kananku dan kemudian menggenggamnya dengan kedua tangannya.

because of this warmth, I can get the happiest version of me! because of you...

Ia menatap ke arahku dan tak melanjutkan lagi ucapannya. Matanya mulai berair, dan kini tak terbendung lagi. Haknyeon menangis, sambil menggenggam tanganku.

can't you just stay here a little bit longer? can't we just stay like this, for awhile?

Ia menunduk, air matanya jatuh lagi menitik di pasir putih bawah kakinya.

three seasons have passed since I met you..

Ia terisak, tangan kirinya mengusap air mata di pipinya.

and I'm in love with you every single day

“Haknyeon..”

Haknyeon tak berkutik, ia tetap menunduk.

Aku menarik tubuhnya untuk kemudian memeluknya. Kemudian menangis bersamanya.

Menyebalkan memang. Sangat menyebalkan. Seolah-olah kita adalah dua sejoli yang tidak diizinkan sama sekali untuk bersama. Benteng pembatas kami terlalu kokoh.

Sorry, Haknyeon

“Via, jangan pulang!”

Ia mengeratkan pelukannya dan bisa kurasakan isakkannya.

But I have to!

Hening sesaat hingga akhirnya Haknyeon melepaskan pelukan kami.

“Via, hari ini aku mau seharian bareng kamu!”

Aku mengusap pelan kedua pipi Haknyeon, pipi yang basah itu kini sudah tak terlalu basah. Setidaknya Haknyeon tak terlihat sudah menangis.

Aku tersenyum dan mengangguk, meng-iyakan ajakannya.

“oke! ayo kita sama-sama sampe pergantian hari!”

Haknyeon akhirnya tersenyum. Aku tak yakin senyum itu menghapus sisa rasa sedih sepenuhnya atau tidak, namun tak apa asal aku bisa melihat ia tersenyum kembali.


by the way, Hak! lo sadar gak sih kalo baju kita mirip?”

“sadar!” ia tersenyum.

“lo ngikutin gue, ya?!”

“engga ih kebetulan doang!!”

Aku hanya terkekeh,

“kalo tiba-tiba ada papparazzi gimana, Hak?”

“maksud lo?”

“iya, kalo tiba-tiba kesebar gosip kalo lo jalan sama cewe dan pelukan di pantai... gimana?”

“gak gimana-gimana”

“loh?”

“soalnya gue gak peduli. gue tetep bakal ada di pihak lo, dan ngebela lo!”

freeze— terkejut dan blushing untuk ke-192728 kali.


#injunoona


“can't we just stay like this for awhile?”

*** Via's POV

Tanpa kata, Haknyeon datang hanya dengan suara motornya yang nyaring. Oh, tentu saja dengan senyuman lebarnya dibalik kaca helm yang tak berwarna itu.

Aku yang menunggunya sambil duduk di teras rumah ternak refleks bangkit dan melambaikan tangan ke arahnya. Sangat menunjukkan kebahagiaan. Sedetik kemudian aku menyadari bahwa tindakanku barusan mungkin berlebihan, terlalu exited, mungkin akan membuat Haknyeon risih.

“ngapain, sih! ngapain dadah-dadah segala?!” batinku.

Haknyeon turun dari motornya kemudian mengangkat kaca helmnya.

Morning, Vi!”

Aku hanya membalas dengan senyum.

“nih, pake helm demi keamanan”

Ia menyodorkan helm padaku, tapi ketika aku mengulurkan tanganku..

“mau pake helm di tangan?” ucapnya.

“di kepala, lah!”

“ya udah, siniin kepalanya!”

Aku hanya terdiam, aku tahu betul apa maksud Haknyeon. Namun aku memilih tak berkutik.

Haknyeon berjalan mengitari motor birunya agar bisa berdiri tepat di depanku tanpa terhalangi.

Ia menyimpan helm di atas jok motornya, kemudian merogoh kantong celananya, aku tak tahu apa yang hendak ia ambil.

Ia tiba-tiba merapikan rambutku yang terurai ke belakang telingaku. Tentu saja organ dalam tubuhku tak baik-baik saja diperlakukan seperti itu.

“lo, hari ini gak iket rambut? biasanya rambut lo selalu diiket?”

“eh, oh.. itu anu”

Aku mendadak sangat sulit bicara. Bayangkan saja, bagaimana otakku bisa mengirim sinyal pada bibirku untuk berucap jika...

“eh? lo ngapain?”

Mataku terbelalak, Haknyeon melingkarkan kedua tangannya di leherku. Ia mengikat rambutku saat itu juga, dengan ikat rambut yang ia ambil di kantong celananya.

“kalo gak diiket, nanti gerah, Vi!”

Setelah itu ia memasangkan helm di kepalaku. Mataku melirik kearahnya, dan berakhir dengan kita yang saling bertatapan.

klikk— helm sudah sepenuhnya Haknyeon pasang di kepalaku.

“lo cantik!” matanya tetap menatap ke arahku.

Demi Tuhan, aku merasa seperti diterbangkan tiada henti. Ini bahkan belum 15 menit dari sejak pertemuan kita hari ini. Masih ada sisa waktu 15 jam menuju pergantian hari, semoga jiwa dan ragaku kuat.

Aku hanya tersenyum. karena memang tak tahu harus bagaimana menanggapinya, terlanjur melebur.


Semilir angin menghembus ke arah kami yang duduk berdua di atas motor, Haknyeon sesekali bernyanyi lagu yang tak aku ketahui. Namun aku tetap ikut mengangguk-anggukkan kepalaku mengikuti irama nyanyian Haknyeon.

Haknyeon bercerita tentang gambaran pantai nanti, bagaimana ombaknya, bagaimana aromanya. Ia sangat banyak berbicara. Aku suka mendengarnya.

Aku merentangkan kedua tanganku meresapi semilir angin. Jalanan sangat sepi, hanya ada kami. Jadi Haknyeon tak protes saat aku melakukan itu.

Entah kenapa, hari ini Haknyeon sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Oh! tidak, Maksudku ia tetap Haknyeon, tapi ia hari ini lebih berani dan penuh kejutan.

Sepertinya jika aku punya riwayat sakit jantung, hari ini aku akan meninggal di tempat karena terkejut tanpa henti.


Sepeda motor kami tinggalkan di sebuah garasi kecil dipinggir jalan raya yang memang disewakan untuk pengunjung pantai. Untuk menuju ke pantai, kami harus berjalan menurun melewati jalanan pemukiman. Haknyeon bilang jalanan itu sangat sejuk dan aku pasti akan menyukainya.

Benar saja! udaranya sangat sejuk. Sepertinya kualitas oksigen disini adalah yang terbaik, dibandingkan dengan oksigen yang telah kuhirup sebelumnya.

Aku bahkan tak jarang berjalan sambil melompat-lompat karena terlalu bahagia. Dengan Haknyeon yang terus-terusan mengomeli

“awas jatoh!”

Dan aku selalu tersenyum mendengar kepeduliannya.

Suara ombak semakin jelas terdengar. Bukan ombak yang besar dan tinggi. Namun ombak kecil yang tenang.

Senyumku merekah kala menyadari bahwa kakiku sudah berpijak di atas pasir, tandanya pantai semakin dekat.

Aku berlari menuju perbatasan daratan dan lautan itu. Air laut yang dibawa oleh gelombang ombak menyapa kedua kakiku yang sudah tak beralas.

Pantai ini sepi.. tak ada orang lain selain aku dan Haknyeon. Ini bukan pantai yang merupakan destinasi wisata favorit, bukan pantai dimana kapal-kapal berlabuh. Pantai ini menyatu dengan pemukiman, di ujung pulau Jeju.

Haknyeon benar soal aroma pantai yang menyegarkan, karena nyatanya demikian. Aku tak henti-henti menarik napas dan kemudian menghembuskannya kembali dengan sengaja.

*** “gimana Jeju, sejauh ini?” tanya Haknyeon.

Aku menghela napasku sambil merangkai kalimat di kepalaku.

“gue suka, selalu suka”

Haknyeon yang duduk di sebelahku sambil memeluk kedua kakinya yang ditekuk, menoleh,

including me?

of course. always

Haknyeon tersenyum.

“dulu, pas minggu awal gue di Jeju, gue sempet mau banget pulang ke Indonesia!”

Aku memainkan pasir di dekat kakiku, melukis asal dengan jari telunjuk.

“dan itu karena lo!”

“lo mau pulang ke Indonesia, karena gue?”

Ia meletakkan telapak tangannya di dadanya. Suara seraknya sangat lantang, ia seperti memarahiku.

Aku mengangguk.

I'm so sorry

“eh, gak kok! gak usah minta maaf” aku terkekeh, “dan semenjak lo waktu itu nolongin gue... lo inget waktu itu...”

“oh waktu lo berdarah”

“ih!” aku menepuk lengannya pelan.

“iya kan waktu itu?, semenjak itu apa?”

“iya.. semenjak itu gue sadar. Kalo lo bukan orang yang judes dan galak kayak stereotipe yang gue ciptain sendiri!”

Haknyeon terkekeh, “padahal gue kan aslinya baik!”

“Iya, Haknyeon! gue kan udah klarifikasi barusan”

“iya iyaaa!”

“nah, mulai dari situ lah.. gue punya alesan buat tetep stay disini! tetep kuat disini! karena ternyata ada yang peduli sama gue!”

Haknyeon merapikan rambutku yang terkena angin. Lagi-lagi aku terkejut.

so am I, Vi!

Aku menatapnya lekat-lekat, membaca raut wajahnya yang menjadi agak murung.

“lo?..”

“sebenernya gue bukan tipe orang yang suka pulang kampung! gue bisa bertahan tinggal di Jeju, biasanya paling lama cuma sebulan! sometimes gue liburan panjang juga gak pernah balik ke Jeju dan tetep stay di asrama grup gue!”

seriously?

Ia mengangguk.

“karena ada lo disini, gue jadi betah!”

“Haknyeon...”

Haknyeon terdiam cukup lama, hanya menyisakan suara deru ombak danburung laut, sesekali suara semilir angin juga ikut menjadi backsound.

Ia meraih tangan kananku dan kemudian menggenggamnya dengan kedua tangannya.

because of this warmth, I can get the happiest version of me! because of you...

Ia menatap ke arahku dan tak melanjutkan lagi ucapannya. Matanya mulai berair, dan kini tak terbendung lagi. Haknyeon menangis, sambil menggenggam tanganku.

can't you just stay here a little bit longer? can't we just stay like this, for awhile?

Ia menunduk, air matanya jatuh lagi menitik di pasir putih bawah kakinya.

three seasons have passed since I met you..

Ia terisak, tangan kirinya mengusap air mata di pipinya.

and I'm in love with you every single day

“Haknyeon..”

Haknyeon tak berkutik, ia tetap menunduk.

Aku menarik tubuhnya untuk kemudian memeluknya. Kemudian menangis bersamanya.

Menyebalkan memang. Sangat menyebalkan. Seolah-olah kita adalah dua sejoli yang tidak diizinkan sama sekali untuk bersama. Benteng pembatas kami terlalu kokoh.

Sorry, Haknyeon

“Via, jangan pulang!”

Ia mengeratkan pelukannya dan bisa kurasakan isakkannya.

But I have to!

Hening sesaat hingga akhirnya Haknyeon melepaskan pelukan kami.

“Via, hari ini aku mau seharian bareng kamu!”

Aku mengusap pelan kedua pipi Haknyeon, pipi yang basah itu kini sudah tak terlalu basah. Setidaknya Haknyeon tak terlihat sudah menangis.

Aku tersenyum dan mengangguk, meng-iyakan ajakannya.

“oke! ayo kita sama-sama sampe pergantian hari!”

Haknyeon akhirnya tersenyum. Aku tak yakin senyum itu menghapus sisa rasa sedih sepenuhnya atau tidak, namun tak apa asal aku bisa melihat ia tersenyum kembali.


“*by the way, Hak! lo sadar gak sih kalo baju kita mirip?”

“sadar!” ia tersenyum.

“lo ngikutin gue, ya?!”

“engga ih kebetulan doang!!”

Aku hanya terkekeh,

“kalo tiba-tiba ada papparazzi gimana, Hak?”

“maksud lo?”

“iya, kalo tiba-tiba kesebar gosip kalo lo jalan sama cewe dan pelukan di pantai... gimana?”

“gak gimana-gimana”

“loh?”

“soalnya gue gak peduli. gue tetep bakal ada di pihak lo, dan ngebela lo!”

freeze— terkejut dan blushing untuk ke-192728 kali.


#injunoona


“it feels like there's a new me inside myself”

*** Malam-malam yang dingin sudah terlewati. Tak ada lagi hot pack bekas menumpuk di tempat sampah rumah ternak. Memasuki musim semi di awal bulan maret, Via sudah bisa tidur dengan nyaman karena udara mulai menghangat.

Selama lima bulan tinggal di Jeju, Via telah melewati banyak hal. Mulai dari pertemuannya dengan Seungkwan di bandara yang ia anggap keajaiban, kejadian-kejadian seru di peternakan, makan malamnya di rumah keluarga Seungkwan, dan ia yang mulai berteman dengan beberapa pegawai peternakan walau berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Tak lupa, dirinya yang semakin hari semakin jatuh hati pada sosok Haknyeon yang merupakan idola para remaja.

Haknyeon semakin hari semakin menjadi. Maksudnya, tak sehari pun ia menghilang dari pandangan Via. Selama musim dingin....

Haknyeon selalu ada di depan pintu rumah ternak setiap pagi, menunggu Via untuk berjalan bersama menuju peternakan. Padahal Via tahu, Haknyeon kedinginan.

Haknyeon yang selalu membawakan bekal makan siang, dan tak jarang ia sengaja menunggu Via menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu agar bisa makan bersama. Yang berakhir mereka makan siang di jam mendekati sore. Via tahu Haknyeon menahan lapar, namun Haknyeon tak pernah mengeluh.

Haknyeon yang selalu menggenggam tangan Via saat berjalan pulang menuju rumah ternak.

Haknyeon yang selalu menanyakan persediaan hot pack yang Via miliki, untuk kemudian membelikannya lagi.

Haknyeon yang setiap malam menanyakan keadaan Via lewat telepon kabel yang ia pasang. “malem ini dingin banget, gak? jangan lupa mantelnya dipake ya, Vi! “Iya bawel!”

Haknyeon yang selalu menjaga Via.

Haknyeon yang tak pernah mau membahas tentang kepulangan Via ke Indonesia...

Udara musim dingin memang terasa menusuk tubuh Via, namun rasa dinginnya sangat berkurang karena kehadiran Haknyeon. Memang terasa klise, namun faktanya demikian.


“Viaaa!!! Viaaa!!”

Suara husky yang sudah sangat Via kenal membangunkannya di pagi hari minggu.

“Via bangunnn!!!”

bugh bugh bugh!—lelaki itu mengetuk pintu rumah ternak dengan sekuat tenaga.

Tentu saja Via kesal. Hari minggu nya sangat terganggu, padahal ia berencana tidur seharian.

“kenapa sih?!!!!” Protesnya sambil bangkit dan bergegas membukakan pintu.

“kenapa, Haknyeon? this is sunday!!!!

Haknyeon hanya tersenyum lebar ketika Via mengomelinya sambil mengucek matanya yang belum sepenuhnya terbuka itu.

“malah ketawa! ada apa?”

“lo lucu banget”

“hah?”

“lo lucu banget, Via!”

“ya... oke.. makasih! tapi LO MAU NGAPAIN PAGI-PAGI DI HARI MINGGU GEDOR-GEDOR PINTU KAYA BARUSAN?!”

“gue mau liat lo!”

“hah?”

“iya.. mau liat lo aja... gak boleh?”

Via menghela napasnya kasar, kemudian menutup kembali pintu dan membiarkan Haknyeon berdiri di tempatnya.

“Via!!!”

“pulang aja Haknyeon! gue mau tidur lagi!!!”

Tak ada jawaban.

Via tahu betul, Haknyeon sudah menyimpan rasa padanya dari sejak lama. Namun ia sama sekali tak mau mendengar ungkapan dan validasi apapun dari Haknyeon. Ia selalu menghindar setiap kali Haknyeon memulai pembahasan percintaan.

Seperti kala itu, di akhir bulan Januari. Saat salju turun dengan lebat dan Haknyeon tertahan di rumah ternak.

“Vi, it's so cold! can I borrow your jacket?” “sure” “what if your hugs?” “sure!” “what if your heart-” “eh liat deh saljunya udah agak reda! lo bisa pake payung gue aja!” sigh

Via tak mau segalanya malah menjadi berantakan. Via tak mau Haknyeon yang sekarang, Haknyeon yang sudah sedekat nadi dengannya, akan kembali menjauh.

Terlebih, ia harus teguh dengan komitmen nya bersama kak Yohan yang setia menunggunya setiap hari di Indonesia. Yang setia menjaga Ibunya dengan penuh cinta.

Semuanya terasa rumit.

Ia juga sebenarnya tak mau berbohong pada dirinya sendiri. Ia menyukai Haknyeon. Namun, ia tak pernah sama sekali membayangkan jika ia dan Haknyeon akan menjadi lebih dari sebatas teman. Sayangnya, Haknyeon menginginkan kebalikannya.

“Via!!! ih malah dikunci pintunya!”

“ya lo nya gak jelas! lo mau ngapain?”

“nanti hari rabu, kita ke pantai yuuu!”

Langkah Via menuju tempat tidurnya terhenti setelah mendengar ucapan Haknyeon.

Ia memutar tubuhnya dan membukakan kembali pintu untuk Haknyeon.

“ke pantai?”

Haknyeon mengangguk.

“Ayo!”

“hari minggu, lo mau ngapain?” Haknyeon tersenyum.

“mau tidur!!!”

Sekarang Haknyeon terkekeh, “ya udah! sleep well, then!

Haknyeon mengusap pelan kedua pipi Via dengan kedua tangannya, kemudian pergi meninggalkan pelataran rumah ternak.

Yang ditinggalkan mematung beberapa detik. Wajah Via memerah. Ia salah tingkah.


#injunoona


“it feels like there's a new me inside myself”

*** Malam-malam yang dingin sudah terlewati. Tak ada lagi hot pack bekas menumpuk di tempat sampah rumah ternak. Memasuki musim semi di awal bulan maret, Via sudah bisa tidur dengan nyaman karena udara mulai menghangat.

Selama lima bulan tinggal di Jeju, Via telah melewati banyak hal. Mulai dari pertemuannya dengan Seungkwan di bandara yang ia anggap keajaiban, kejadian-kejadian seru di peternakan, makan malamnya di rumah keluarga Seungkwan, dan ia yang mulai berteman dengan beberapa pegawai peternakan walau berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Tak lupa, dirinya yang semakin hari semakin jatuh hati pada sosok Haknyeon yang merupakan idola para remaja.

Haknyeon semakin hari semakin menjadi. Maksudnya, tak sehari pun ia menghilang dari pandangan Via. Selama musim dingin....

Haknyeon selalu ada di depan pintu rumah ternak setiap pagi, menunggu Via untuk berjalan bersama menuju peternakan. Padahal Via tahu, Haknyeon kedinginan.

Haknyeon yang selalu membawakan bekal makan siang, dan tak jarang ia sengaja menunggu Via menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu agar bisa makan bersama. Yang berakhir mereka makan siang di jam mendekati sore. Via tahu Haknyeon menahan lapar, namun Haknyeon tak pernah mengeluh.

Haknyeon yang selalu menggenggam tangan Via saat berjalan pulang menuju rumah ternak.

Haknyeon yang selalu menanyakan persediaan hot pack yang Via miliki, untuk kemudian membelikannya lagi.

Haknyeon yang setiap malam menanyakan keadaan Via lewat telepon kabel yang ia pasang. “malem ini dingin banget, gak? jangan lupa mantelnya dipake ya, Vi! “Iya bawel!”

Haknyeon yang selalu menjaga Via.

Haknyeon yang tak pernah mau membahas tentang kepulangan Via ke Indonesia...

Udara musim dingin memang terasa menusuk tubuh Via, namun rasa dinginnya sangat berkurang karena kehadiran Haknyeon. Memang terasa klise, namun faktanya demikian.


“Viaaa!!! Viaaa!!”

Suara husky yang sudah sangat Via kenal membangunkannya di pagi hari minggu.

“Via bangunnn!!!”

bugh bugh bugh!—lelaki itu mengetuk pintu rumah ternak dengan sekuat tenaga.

Tentu saja Via kesal. Hari minggu nya sangat terganggu, padahal ia berencana tidur seharian.

“kenapa sih?!!!!” Protesnya sambil bangkit dan bergegas membukakan pintu.

“kenapa, Haknyeon? this is sunday!!!!

Haknyeon hanya tersenyum lebar ketika Via mengomelinya sambil mengucek matanya yang belum sepenuhnya terbuka itu.

“malah ketawa! ada apa?”

“lo lucu banget”

“hah?”

“lo lucu banget, Via!”

“ya... oke.. makasih! tapi LO MAU NGAPAIN PAGI-PAGI DI HARI MINGGU GEDOR-GEDOR PINTU KAYA BARUSAN?!”

“gue mau liat lo!”

“hah?”

“iya.. mau liat lo aja... gak boleh?”

Via menghela napasnya kasar, kemudian menutup kembali pintu dan membiarkan Haknyeon berdiri di tempatnya.

“Via!!!”

“pulang aja Haknyeon! gue mau tidur lagi!!!”

Tak ada jawaban.

Via tahu betul, Haknyeon sudah menyimpan rasa padanya dari sejak lama. Namun ia sama sekali tak mau mendengar ungkapan dan validasi apapun dari Haknyeon. Ia selalu menghindar setiap kali Haknyeon memulai pembahasan percintaan.

Seperti kala itu, di akhir bulan Januari. Saat salju turun dengan lebat dan Haknyeon tertahan di rumah ternak.

“Vi, it's so cold! can I borrow your jacket?” “sure” “what if your hugs?” “sure!” “what if your heart-” “eh liat deh saljunya udah agak reda! lo bisa pake payung gue aja!” sigh

Via tak mau segalanya malah menjadi berantakan. Via tak mau Haknyeon yang sekarang, Haknyeon yang sudah sedekat nadi dengannya, akan kembali menjauh.

Terlebih, ia harus teguh dengan komitmen nya bersama kak Yohan yang setia menunggunya setiap hari di Indonesia. Yang setia menjaga Ibunya dengan penuh cinta.

Semuanya terasa rumit.

Ia juga sebenarnya tak mau berbohong pada dirinya sendiri. Ia menyukai Haknyeon. Namun, ia tak pernah sama sekali membayangkan jika ia dan Haknyeon akan menjadi lebih dari sebatas teman. Sayangnya, Haknyeon menginginkan kebalikannya.

“Via!!! ih malah dikunci pintunya!”

“ya lo nya gak jelas! lo mau ngapain?”

“nanti hari rabu, kita ke pantai yuuu!”

Langkah Via menuju tempat tisurnya terhenti setelah mendengar ucapan Haknyeon.

Ia memutar tubuhnya dan membukakan kembali pintu untuk Haknyeon.

“ke pantai?”

Haknyeon mengangguk.

“Ayo!”

“Sekarang hari minggu, lo mau ngapain?” Haknyeon tersenyum.

“mau tidur!!!”

Sekarang Haknyeon terkekeh.

“ya udah! sleep well, then!”

Haknyeon mengusap pelan pipi Via dengan kedua tangannya, kemudian pergi meninggalkan pelataran rumah ternak.

Yang ditinggalkan mematung beberapa detik. Wajah Via memerah. Ia salah tingkah.


#injunoona