tw // mentioning social issue, religion topics, death
POV : Yoga
Nasi Tumpeng
***
Sepulang mengaji di malam itu, aku berlari menuju rumahku yang jaraknya cukup jauh dari tajuk, karena turun hujan. Saudaraku yang lain sudah lebih dahulu sampai di rumah, karena lari mereka lebih cepat dariku.
“hati-hati, nak! awas licin!”
Teriak Bapak tepat di depan pintu rumah, menungguku sambil memegangi gagang pintu yang sudah longgar dari daunnya. Begitu aku sampai, beliau segera menutup pintunya.
Masuk ke dalam rumah sepetak milik kami, aku lihat kedelapan saudaraku yang lain sedang mengeringkan tubuh mereka menggunakan handuk. Semuanya sudah duduk di meja makan.
Sedangkan sikembar Erik-Sunan yang masih berusia lima tahun dan belum ikut mengaji, hanya bermain dengan tetesan-tetesan air hujan yang menembus atap di beberapa titik rumah kami. Pemandangan yang selalu kulihat setiap kali turun hujan.
“Kak Yoga, kakinya cuci dulu! Itu di sandalnya banyak lumpur!” sahut Juna yang membuatku refleks menunduk melihat kakiku.
“Iyaa!” responku.
Aku tak melepas sandalku, karena rumah kami yang masih beralaskan tanah.
Sandal jepitku yang sudah kupakai setahun ini sebetulnya sudah putus sebulan yang lalu, namun Bapak perbaiki dengan mengaitkannya paku. “Bapak belum punya uang untuk beli sandal baru!”.
“sini duduk, nak!”
Ibu memintaku duduk bersama saudaraku yang lain di meja makan. Meja makan yang Bapak rakit sendiri dari papan tripleks dan kayu yang Bapak kumpulkan dari sisa-sisa pembangunan rumah orang lain. Tentunya beliau sudah mendapat izin.
Ibu membagi rata air yang baru saja beliau didihkan untuk menghangatkan tubuh kami. Dibagi ke dalam tiga belas cangkir séng.
Hanya air bening, bukan teh hijau, bukan juga susu coklat. Kami bisa dengan jelas melihat dasar gelas séng yang sudah menguning itu ketika meminum airnya.
Malam itu kami tidak mengerjakan PR bersama seperti biasanya, karena malam minggu. Bapak bilang malam minggu itu waktu untuk keluarga.
“tadi di sekolah, temen Cani sama Camin ada yang rayakan ulang tahun lho, Bu, Pak!” ucap Cani memulai obrolan.
“terus, terus! kalian dikasih nasi tumpeng?” tanya Kakak tertua, Kak Sangga dengan antusias.
Cani menggelengkan kepalanya.
“lho.. kenapa gitu, dek?” Kak Jaka heran setelah melihat respon Cani.
“Aku sama Cani gak ngasih kado, jadinya kita nggak kebagian!” Camin menjelaskan dengan wajah penuh kekecewaan.
Di keluarga kami, ada dua pasang anak kembar, Cani-Camin dan Sunan-Erik. Mereka berempat adalah penghidup suasana terbaik di rumah kami. Cani-Camin yang selalu bercekcok karena hal-hal kecil, sedangkan Sunan-Erik yang tak pernah kehabisan energi bermain berlarian kesana kemari.
“Camin juga mau rayakan ulang tahun, Pak, Bu!” Camin menatap Bapak dan Ibu dengan penuh harap, matanya sudah berair.
Tiba-tiba menjadi hening, hanya terdengar suara rintik hujan yang menimpa atap rumah dan semilir angin yang menggoyangkan dinding anyaman bambu di sekeliling kami.
“Ulang tahun kalian di tahun ini kan udah kelewat, dek! tahun depan aja! Bapak sama Ibu cari uang dulu” ucapku sambil mengusap lengan Camin yang duduk di sebelahku.
“nanti kakak kasih kado yang keren buat Cani sama Camin, ya?” Hyuda tersenyum ke arah keduanya.
Yang lain pun ikut tersenyum, namun aku bisa dengan jelas melihat di wajah Bapak dan Ibu hanya ada kenelangsaan.
Kebun Jagung
***
Bapak kami adalah seorang buruh tani. Beliau bekerja serabutan dari sawah ke sawah, dari kebun ke kebun, tidak menetap di satu pemilik saja. Bapak hanya diberi upah paling banyak lima puluh ribu per harinya.
Jika bukan musim panen atau musim tanam, Bapak akan bekerja menjadi kuli panggul, menjadi kondektur angkot, atau jika ada acara pesta pernikahan dan sunatan, Bapak akan menawarkan diri menjadi pengangkut piring kotor.
Semuanya Bapak lakukan, demi Istri dan kesebelas anaknya.
Ibu kami pun bukan Ibu yang hanya duduk diam menunggu suaminya pulang membawa pundi-pundi uang. Ibu adalah seorang pekerja keras.
Biasanya Ibu akan menjadi buruh cuci di rumah tetangga kami. Meski bekerja sambil menggendong anaknya, Ibu tak mengeluh.
Selama 18 tahun pernikahan, Ibu sudah melahirkan sebelas anak. Usia kami hanya terpaut satu sampai dua tahun saja. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelahnya Ibu kami yang sedang menyusui, namun sudah mengandung lagi?.
Rendahnya pengetahuan tentang program 'keluarga berencana', dan tak ada biaya untuk menemui dokter, Ibu seringkali menyadari kehamilannya di usia 4 atau 5 bulan, ketika perutnya sudah membesar.
Semua anak-anak Ibu dan Bapak, terlahir di rumah gubuk kami. Bapak hanya mampu membayar dukun beranak yang tinggal di lingkungan desa, dan syukurnya kesebelas persalinan berlangsung lancar tanpa kendala yang membuat Ibu dilarikan ke rumah sakit.
***
Ditengah malam, setelah obrolan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, aku terbangun.
Dengan pandangan yang masih buram, aku melihat Ibu dan Bapak duduk di meja makan.
Kulihat ke arah jam dinding yang sudah usang di dekat pintu, pukul 1 pagi.
“maafkan Bapak ya, Bu!”
Aku bisa mendengar Ibu yang terisak.
“Bapak sepertinya gagal ya, Bu?...”
Ibu tak menjawab, beliau masih terisak.
Aku tak bangun, aku pura-pura menutup mataku.
“Biar Bapak cari uang lagi, untuk rayakan ulang tahun, untuk masak nasi tumpeng!”.
“kasihan ya, Pak.... kasihan anak-anak, karena terlahir menjadi anak kita”
“Bu...”
Aku yang saat itu masih berusia 15 tahun, tak tahu harus melakukan apa, selain menangis.
Kedua tanganku membungkam mulutku agar Ibu dan Bapak tak mendengar isakku.
Malam itu adalah salah satu malam yang paling menyakitkan untukku, untuk Ibu dan Bapak juga.
***
Setiap pagi, pukul setengah lima, Ibu dan Bapak selalu membangunkan kami. Untuk mengajak shalat subuh berjamaah.
Kami memiliki kebiasaan yang sama, yaitu duduk sejenak di atas kasur sebelum kemudian bangkit dan mengambil wudhu.
Akan terlihat sangat lucu, bagaimana kami yang tidur di kasur yang sama berjejer mengumpulkan tenaga. Biasanya Ibu dan Bapak akan menertawakan kami karena hal itu. “mirip ikan di pasar, berjejer” kata mereka.
Setelah shalat subuh, seperti kebanyakan kegiatan leluarga di pagi hari.
Ibu menyiapkan sarapan, biasanya kami makan di pagi hari dengan menu ubi kukus, ubi pemberian pemilik kebun belakang rumah kami. Sedangkan Bapak mengajak bermain adik-adik yang masih kecil, diikuti tawa bahagia mereka.
Tak pernah sehari pun kami tidak berkumpul di meja makan, untuk makan bersama, untuk berbincang bersama. Bapak yang selalu memberikan nasihat, Ibu yang selalu menjadi pengingat. Keluarga kami sangat hangat, walau orang-orang selalu menghina kami melarat.
Satu pagi di hari minggu, aku dan semua saudaraku ikut bekerja bersama Bapak di kebun jagung. Ibu juga ikut menemani kami.
Jika anak-anak lain seusia kami melakukan perjalanan liburan bersama keluarga mereka ke pantai, ke taman bermain, ke kebun binatang dan lainnya. Sedangkan kami akan menganggap bekerja bersama Bapak di kebun sebagai rekreasi yang menyenangkan.
Bukan semena-mena, pemilik kebun tentu saja mengizinkan Bapak membawa kami. Asalkan tidak mengacau.
Kak Sangga, Kak Jaka, aku dan Hyuda akan membantu Bapak memanen jagung. Sedangkan yang lain hanya akan bermain berlarian di sekitar kebun, diawasi oleh Ibu dari gubuk panggung di samping kebun.
Suara tawa adik-adikku terdengar seperti penenang di telingaku...
Sunan dan Eric yang berlari dikejar oleh Haksa dalam permainan 'tangkap-kucing', dan ditertawai oleh Cani dan Camin sebagai penonton.
Juna dan Kevin yang membuat pistol-pistolan dari daun jagung, yang dikumpulkan di gubuk panggung kemudian dibawa pulang untuk bermain di lain waktu.
Kebahagiaan yang kami ciptakan sendiri, sederhana namun akan kami kenang dan simpan dalam memori.
“Sesampainya di laut,
kukabarkan semuanya..
Kepada karang, kepada ombak, kepada matahari
Tetapi semua diam tetapi semua bisu
Tinggal aku sendiri terpaku menatap langit
Barangkali di sana ada jawabnya..
Mengapa di tanahku terjadi bencana?
Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita?
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita?
Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”
Lagu Ebiet G. Ade yang berjudul 'Berita kepada Kawan', dinyanyikan oleh Bapak sambil memetik satu persatu jagung yang kemudian dimasukkan ke dalam karung.
“kalian tahu nak, pesan dari lagu ini luar biasa!”
Kami mulai mendengarkan Bapak dengan seksama.
“kita hidup di bumi, nggak semata-mata hanya hidup, bernapas, makan, tidur...”
“kita juga harus peduli pada sesama.. bukan hanya manusia, namun semua elemen yang ada di bumi. Hewan dan tumbuhan pun juga harus kalian jaga”
“Ingat ya nak, kalian harus tetap hidup sebagai manusia berbudi luhur. Jika kalian diremehkan oleh orang lain.. jangan balas, jangan marah. Biarkan Allah yang lakukan”
”... jadi kalau kalian mau disayangi oleh Allah, ibadahnya jangan terlewat. Shalat dan mengaji harus diingat!”
“Bapak selalu berdoa agar kalian jadi orang yang berguna. Di masa depan, kalian harus lebih bahagia dari pada kalian yang sekarang” ucap Bapak sambil mengusap kepala empat anaknya termasuk aku satu persatu.
“Sangga sebagai kakak tertua, harus bisa mengawasi dan menjadi contoh yang baik bagi adik-adikmu!” Bapak mengusap lengan kak Sangga sambil tersenyum.
“Jaka juga.. kamu mulailah berbagi cerita, nak! Ceritakan lah masalah kamu sama kakakmu, sama adikmu. Jangan melulu dipendam sendirian!” Kak Jaka hanya mengangguk-angguk.
“Yoga... Bapak tahu kamu anak yang kuat! menangis itu nggak menandakan kamu lemah, kok!” aku tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigiku.
“Hyuda tahun depan sudah masuk SMA, sudah harus bisa bedakan mana yang baik dan yang gak baik ya, nak?”.
Wejangan-wejangan seperti ini rutin Bapak berikan pada kami, untuk mengajarkan makna kehidupan. Agar menjadi penguat bagi pilar-pilar diri kami, yang belum sepenuhnya kokoh menopang beban.
***
Matahari sudah mulai meredup, suhu udara mulai menurun, tanda hari akan segera berakhir.
Tujuh buah jagung kami bakar di gubuk panggung, sebagai penutup 'rekreasi' hari ini. Tujuh buah jagung yang Bapak potong masing-masingnya menjadi dua bagian, agar semua terbagi rata.
Kami semua berbincang sambil tertawa dengan wajah kami yang sudah kusam dan berkeringat. Menyantap makanan kami, yaitu jagung bakar.
“Bapak... Haksa masih mau jagungnya lagi..” Haksa yang memiliki 'perut elastis' di keluarga kami, merengek dengan wajah yang memelas.
Kak Sangga menyodorkan sisa jagung miliknya pada Haksa, begitu pun kak Jaka dan aku. Yang akhirnya ditertawakan oleh semua, karena Haksa yang dengan bahagia mengambil ketiga jagung yang disodorkan padanya.
“makan ini, nak! masih ada sisa satu! kembalikan lagi jagung punya kakakmu” kata Bapak sambil menghampiri Haksa dan memberinya jagung.
“yang lain nggak apa-apa kalau Haksa makan dua?” Bapak bertanya dengan hati-hati dan kami semua menyetujui dengan senang hati.
Bukan ingin kami terlahir miskin
***
Wajah Ibu dan Bapak pucat di malam itu. Sudah pukul 11, namun Kevin dan Kak Jaka belum kunjung pulang.
Sepulang mengaji, kami pikir mereka berdua menonton televisi di rumah Pak Gani seperti biasanya. Namun ketika Bapak bertanya kepada Pak Gani, beliau bilang tidak melihat Kevin dan Kak Jaka.
Kepanikan bertambah lagi setelah mendengar kabar dari ketua RT kami, bahwa ada tanah yang longsor di desa sebelah. Pikiran kami kalut dan membayangkan skenario terburuk.
Bapak bergegas mengenakan jaketnya dan pergi bersama Kak Sangga untuk mencari Kevin dan Kak Jaka.
Adik-adikku yang lain sudah tertidur saat itu.
“Duduk, Bu! jangan mondar-mandir begitu.. nanti Ibu capek..”
“Yoga.. Kevin dan Jaka pasti baik-baik aja kan, nak?” raut kegelisahannya masih jelas terlihat.
“iya Bu, sekarang Ibu duduk, ya?”
Ibu akhirnya duduk di sebelahku. Di bangku kayu yang disimpan di depan rumah.
Malam itu sangat hening. Suara jangkrik dari kebun dan sawah terdengar sangat jelas. Pun suara detak jantung Ibu, aku bisa mendengarnya.
Kevin dan Kak Jaka, keduanya sangat menyukai pertunjukkan. Film, musik, teater, tari, dan semua hal tentang seni itu.
Kevin bahkan sering ikut menonton di rumah tetangga yang memiliki televisi. Menonton dari sela-sela jendela atau pintu yang terbuka.
Kemudian Kak Jaka, yang diam-diam mempelajari gitar di sekolah, dengan mengandalkan pengajar ekstrakurikuler nya.
Setelah beberapa saat, jam dinding menunjukkan pukul dua belas. Dari kejauhan, kulihat dua orang berjalan mendekat. Semakin mendekat, semakin jelas bahwa itu Kevin dan Kak Jaka.
“kalian dari mana saja, nak?” Ibu refleks berlari menghampiri mereka.
Mereka terdiam dan saling melirik.
“itu Bu... anu... tadi aku dan Kevin nonton acara wayang kulit di kantor kecamatan” Kak Jaka menjawab sambil menunduk. Kevin pun sama, menunduk dengan penuh rasa bersalah.
“Ya Allah... kalian tahu gimana khawatirnya Ibu, Bapak dan adik kakak kalian? kenapa nggak minta izin dulu?”
“takut Ibu dan Bapak marah” kali ini Kevin yang menjawab, namun masih menunduk.
“biasanya kalian nonton di rumah Pak Gani, bukannya acara nya tayang di TVRI?” aku bertanya untuk menghilangkan rasa penasaran.
Kak Jaka pelan-pelan mengangkat wajahnya, melihat ke arahku, menatap mataku.
“kami.... diusir” kemudian Kak Jaka menunduk lagi.
“Pak Gani bilang, orang miskin kayak kita mana tahu mahalnya tagihan listrik karena televisi” Kevin yang saat itu masih berusia sebelas tahun, membuka suara.
Ibu tersentak tepat setelah Kevin selesai bicara.
“ya sudah... kalian masuk! udah malem, ayo tidur”
Aku bisa dengan jelas membaca, bagaimana perasaan Ibu saat itu. Hatinya pasti hancur, namun Ibu berusaha untuk selalu terlihat baik-baik saja.
***
“Ibu Darmawan, saya kan sudah bilang kalau utang Ibu ke warung saya udah banyak. masa mau ngutang lagi?”
“tolong satu kali lagi aja, Bu! anak saya Camin lagi demam tinggi.. saya harus kasih dia nasi sama lauk yang bernutrisi, supaya bisa cepet sehat lagi”
“makanya kerja supaya dapet duit!” ucap pemilik warung sembako, tanpa memikirkan perasaan Ibu.
Aku menyaksikannya sendiri, melihat dari kejauhan. Menggenggam tali tas ranselku kuat-kuat, menahan amarahku.
Yang kulakukan saat itu hanya... menangis. Aku menunduk berdiam diri di tempat. Menatap celana abu-abu yang sudah lusuh, meneteskan air mata ke atas sepatu canvas hitam yang sudah banyak robekkan.
Aku sangat marah, namun tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanyalah siswa kelas satu SMA kala itu.
***
“Bu Darmawan, anakmu si Hyuda pukul anakku tadi di sekolah! kasih pelajaran dong anakmu... makanya punya anak jangan kebanyakan, jadi gak terdidik, kan?” bentak Ibunya Soni, teman sekelas Juna. Soni yang ayahnya merupakan seorang juragan tanah dan tersohor paling kaya di desa kami.
Saat Ibu menanyakan kebenarannya pada Hyuda dan Juna, ternyata benar saja...
“tadi Juna dipukul sama Soni. makanya aku pukul Soni, Bu!” pengakuan Hyuda.
“betul itu, Juna?”
“I.. Iya, Bu”
“kenapa Soni pukul kamu?”
“tadi Juna mau pinjem kalkulator punya Soni.. tapi Soni bilang tangan Juna kotor, tangan orang miskin... dan tangan Juna dipukul..”
“Hyuda marah, Bu! Hyuda gak suka adik Hyuda dihina dan dipukul!” Hyuda membuka suara lagi.
Ibu menghela napasnya kasar. Lagi-lagi, atas dasar status ekonomi, keluarga kami dihina dan dicaci maki.
“Hyuda minta maaf ya, Bu?”
Ibu tak menjawab, beliau hanya memeluk Juna dan Hyuda kemudian menangis. Membuat kedua anak yang berada dipelukannya keheranan.
***
“Assalamualaikum! Ibu, Kak Yoga, Kak Camin, aku pulang!!!” Haksa berteriak ketika mulai melangkah memasuki rumah.
Hari itu aku sedang libur sekolah karena kepentingan rapat para guru, sedangkan Camin tidak masuk sekolah karena sakit.
“Waalaikumsalam” responku dan Ibu serempak.
“itu kamu lagi makan apa, Hak?” tanyaku yang fokus memperhatikan plastik digenggaman Haksa, yang entah apa isinya.
“ini batagor, Kak Yoga! mau?”
“engga.. tapi kamu dapat batagor dari mana? kamu kan gak dikasih bekal uang sama Ibu?”
“tadi diberi temanku, Kak”
“teman yang mana?”
“temanku yang rumahnya di samping mesjid itu, Kak!”
Aku mengangguk, memahami setiap kata yang keluar dari Haksa. Ia masih sangat lucu kala itu, masih kelas satu.
“tadi dia kenyang, jadi diberikan ke Haksa”
“kamu.... makan bekas dia?”
Ia mengangguk, dan tetap fokus mengunyah. Terlihat sangat bahagia.
“Haksa senang bisa makan batagor”
“Haksa...”
Aku menoleh ke arah Ibu, beliau sedang mengompres kening Camin yang tidur, dan Ibu pun menoleh ke arahku.
“nak, jadi kamu makan sisa punya temanmu?” Ibu bertanya dengan hati-hati.
“Iya, Bu! memangnya kenapa?”
“ndak apa-apa, habiskan saja”
Kuperhatikan Ibu yang menunduk, mengusap kepala Camin sambil sesekali menghapus air mata di pipinya yang mulai keriput.
***
bugh bugh bugh
“Pak Darmawan!! buka pintunya!!!”
Kami yang berada di dalam rumah serempak menoleh ke arah pintu yang dipukul dengan keras itu, bertanya-tanya apa yang terjadi.
“Pak Darmawan, anakmu si Sangga mengacau di toko saya itu!!”
Ia berteriak tepat di depan wajah Bapak, padahal pintu baru saja dibuka. Dia adalah Bang Tori, pemilik toko beras di desa kami.
“Sangga? anak saya tadi pamit kerja kelompok di rumah temannya, Bang!”
“bohong anakmu! dia sedari pagi jadi kuli panggul di toko saya, Pak!”
Bapak membeku, beliau tak membalas ucapan Bang Tori.
“tadi anakmu tumpahkan beras di tokoku! gimana itu ganti lah!!”
“Iya maaf, Bang! biar saya ganti seharga berasnya”
Bang Tori dengan tidak basa-basi berlalu pergi, berdecak di depan Bapak, tanpa peduli sopan santun dan norma.
Malamnya, Kak Sangga datang pada Bapak dengan wajah lesu, tangannya menggenggam uang dua puluh ribu.
“untuk Bapak, untuk biaya Camin ke dokter”
Bapak tak menggubris, masih ingin mendengar lebih dari Kak Sangga.
“aku minta maaf ya, Pak..”
“minta maaf untuk apa?”
“karena bohong.. Sangga cuma mau bantu Bapak dan Ibu... Camin udah dua minggu sakit, dia harus dibawa ke dokter, Pak!”
“Bapak minta maaf”
Kak Sangga mengernyitkan dahinya, ia heran.
“Bapak enggak perlu minta maaf! kan aku yang salah, Pak!”
“Bapak hanya ingin minta maaf..”
***
Ada pemadaman listrik di desa sehabis magrib waktu itu. Kami memilih keluar dari rumah untuk mendapatkan pencahayaan dari obor yang dinyalakan oleh Kak Sangga dan Kak Jaka.
Sedangkan Ibu tetap di dalam, menemani Camin yang tidur.
“DORRR DORRR!!”
Erik mengarahkan sapu lidi yang digunakan untuk menyapu kasur ke arahku, berimajinasi seolah itu pistol yang besar.
“AAAAAA” aku menjatuhkan tubuhku ke tanah, berlakon menjadi korban tembakan.
“awas kak, Sunan punya pedang!!!!” kali ini Sunan yang menodongkan sutil kayu ke arahku, sutil yang ia sebut pedang.
“kakak cape, dek!” aku bangkit dan kemudian duduk di bangku depan rumah.
“Kak Yoga, waktu kecil pernah main ke pasar malam? naik kuda berputar?”
“Erik kenapa tahu pasar malam?”
“Kak Cani bilang mau ajak aku dan Sunan ke pasar malam, naik kuda berputar”
Aku tersenyum lalu mengusap surainya yang berwarna kemerahan karena sering terbakar matahari, kemudian membersihkan cairan yang keluar dari lubang hidung kecilnya.
“Kak Yoga belum pernah..”
“nanti ikut aja sama aku dan Erik, Kak!” kali ini Sunan yang mendekat dengan senyum cerahnya.
“Iya..”
Mereka berlari menjauh dan saling kejar, melanjutkan kegiatan perangnya. Dan aki menjadi penonton sambil sesekali tertawa karena tingkah mereka berdua.
“Yoga, sudah wudhu? sebentar lagi isya“
Entah sejak kapan Bapak berdiri di depanku sambil membawa cangkul di bahunya.
“belum, Pak! barusan keburu mati listrik, terus main sama Sunan Erik”
“ya sudah ambil wudhu dulu, habis itu kita ke masjid!”
“mereka lucu ya, Pak? main pakai properti seadanya”
Aku terkekeh, Bapak juga.
“maksud kamu seadanya gimana?”
“iya itu, mereka main tembak-tembakkan pakai sapu dan sutil.. sedangkan anak lain bakal merengek-rengek minta pistol mainan yang mahal ke orang tua”
“kan menyesuaikan, nak”
“orang kaya hidupnya pasti senang dan mudah ya, Pak?” aku bertanya tanpa pikir panjang”
“kamu betul.. tapi tidak semua orang kaya punya yang kita punya” Bapak duduk disampingku, menjelaskan sambil berhati-hati.
“maksud Bapak?”
“tak apa jadi orang miskin harta. Setidaknya kamu masih punya Bapak, Ibu dan kesepuluh saudaramu! cinta kita yang kaya, nak!”
Bagian dari kami yang hilang
***
Cani tak melepas pelukannya dari Camin sejak siang tadi. Ia terus saja mengusap wajah saudara kembarnya sambil berkata “ayo sembuh, ayo bangun”.
Anggota keluarga kami, yang sudah 3 bulan terbaring di tempat tidur itu beberapa hari ini napasnya semakin tersedak. Kami tak tahu sakit apa yang ia derita, karena tak pernah membawanya berobat ke tempat yang layak. Lagi-lagi terkendala oleh biaya.
Klinik di desa kami tak memiliki fasilitas dan sumber daya manusia yang memadai untuk membantu mengobatinya. Camin hanya didiagnosa 'flu' waktu terakhir kami membawanya kesana sebulan yang lalu.
Sejak kemarin, Camin sama sekali tidak membuka matanya. Ia hanya terbaring lemas, napasnya tidak beraturan.
Bapak sejak kemarin berkeliling meminta bantuan, berharap ada yang akan meminjamkannya uang untuk biaya pengobatan. Walaupun Bapak sudah tahu, tak akan ada yang mau membantu.
Tersisa kami di rumah berkumpul, berdoa untuk kesembuhan Camin.
Aku tak kuasa menahan air mataku. Kali ini mengalir sangat deras, seperti air terjun di kala hujan lebat.
Tak henti-hentinya kupanjatkan doa pada sang maha kuasa. “Ya Allah, untuk kali ini.. aku mohon... tolong..”
***
Waktu menunjukkan pukul 8 malam, kami masih gelisah karena Bapak tak kunjung pulang membawa segenggam harapan. Apakah ada orang berhati baik yang menolong kami?... Tidak, tidak ada.
“Ibu.... udah gak ada..”
Suara Cani memecah hening, menjadi menyesakkan. Ia yang sedari tadi memeluknya, merasakan setiap deru napasnya, menyadari bahwa kini sudah tak ada hembusannya lagi.
“Ibu... Camin..”
Suaranya menjadi semakin lemas, ia bangkit, menjauh dari saudara kembarnya yang sudah tak bernapas, sudah tak bernyawa, tinggal tersisa raga.
Tubuh adikku yang terkulai lemas dibawa ke pangkuan Ibu. Beliau belai wajahnya yang pucat itu sambil menangis.
“maafkan Ibu ya sayang, maafkan Ibu”
Tak lama, Bapak datang. Langkahnya lunglai, seperti sudah tahu apa yang terjadi. Bapak berlutut di hadapan Camin yang masih berada dipangkuan Ibu. Beliau menciumi wajahnya, mengusap surainya, kemudian meletakkan pergelangan tangannya ke atas perutnya. Bapak tak menangis, Bapak hanya menatap putranya yang berusia sembilan tahun itu dengan tatapan penuh penyesalan.
Tubuh Camin yang kurus kering diangkat oleh Bapak ke atas kasur, kemudian beliau tutup menggunakan selimut hingga ujung kepalanya.
“innalillahi wa inna ilaihi raji'un”
Ucap Bapak yang kemudian diikuti oleh tangisan dari kami.
Aku sangat membenci hari itu. Aku benci melihat Ibu menangis, benci melihat Bapak yang merasa bersalah, benci melihat Cani yang linglung tak berekspresi. Aku Benci.
***
Hari-hari berikutnya, rumah kami terasa sangat hampa. Kami tak saling bercerita dan menyapa, karena masih dalam suasana berduka.
“udah shalat ashar?” tanyaku pada Cani yang duduk sendirian di luar rumah.
“udah”
“berdoa?”
Ia mengangguk, “berdoa setiap hari... untuk Camin”
Aku tersenyum, namun Cani tetap tak menunjukkan ekspresi apapun semenjak hari itu.
“Camin pasti senang disana, karena Cani berdoa buat dia setiap hari”
Ia tetap diam, tatapannya kosong.
“Cani mau dipeluk?”
Perlahan ia menoleh ke arahku, dengan ragu ia mengangguk kemudian menjatuhkan dirinya dipelukanku.
Tak kusangka, ia menangis.
Menangis sejadi-jadinya, seolah-olah semua air dari kelenjar air matanya dikeluarkan.
“Camin bilang, dia mau hadiah gitar kalau ulang tahun, supaya bisa belajar sama Kak Jaka”
“Camin bilang Kak Hyuda akan belikan, karena Kak Hyuda udah janji”
“Camin bilang, dia mau main ke pasar malam di hari ulang tahun”
“Dia juga bilang kalau Sunan dan Erik harus diajak”
“Camin bilang, nasi tumpengnya mau dia hias sendiri.. dan harus besar, supaya Kak Haksa bisa makan sampai kenyang!”
Ku eratkan pelukanku padanya, aku biarkan dia melepaskan semua rasa sakit yang ia tahan selama ini.
Menyakitkan. Harapan-harapan sederhana yang adikku bangun... tak akan pernah tercapai, karena maut lebih dahulu menjemputnya.
Aku sempat membenci takdir, aku sempat membenci Tuhan, tapi Bapak selalu mengingatkanku untuk senantiasa beristigfar.
Terbiasa karena waktu
***
Berhari-hari tanpa Camin, kami terkadang masih memanggil namanya di rumah, terutama Cani.
Berminggu-minggu tanpa Camin, Ibu masih belum terbiasa. Beliau masih menyiapkan 13 potong ubi untuk sarapan kami.
Berbulan-bulan tanpa Camin, bantal yang berjejer di atas kasur menjadi 12 buah. Gelas séng di atas meja juga ada 12 buah.
Berbulan-bulan tanpa Camin, Cani merayakan ulang tahun nya sendirian. Walau dengan nasi tumpeng dan kado ulang tahun, Cani tidak terlihat bahagia.
Berbulan-bulan tanpa Camin, namanya sudah tidak tercantum lagi di daftar absensi sekolah.
Berbulan-bulan tanpa Camin, kami perlahan mulai bisa tertawa pada lelucon-lelucon kecil yang kami ciptakan sendiri.
Bertahun-tahun tanpa Camin, kami akhirnya terbiasa.
Akhirnya kami menerima takdir, akhirnya kami bisa berdamai dengan segalanya.
***
Kak Sangga bekerja ke luar kota setelah lulus SMA, demi memperbaiki ekonomi keluarga.
Perlahan-lahan, kami mulai bangkit. Kak Sangga dapat membantu Ibu dan Bapak secara finansial, hingga kami dapat hidup layak.
Setelah Kak Jaka dan aku lulus SMA, kami pun bekerja di luar kota, sama seperti Kak Sangga.
Semakin meningkat perekonomian, kami perlahan merenovasi rumah gubuk kami agar menjadi lebih layak. Membahagiakan Bapak dan Ibu, dan mengangkat derajat mereka.
Semuanya kami lakukan, demi membahagiakan manusia-manusia yang paling berharga bagi kami.
Roda berputar
***
Lima belas tahun setelah kepergian Camin, bumi masih berputar.
Kak Sangga kini sibuk menjadi pimpinan pondok pesantren kecil yang ia bangun sendiri, membawa Bapak dan Ibu tinggal disana bersamanya.
Kak Jaka membuka bisnis sewa alat musik untuk acara pernikahan.
Aku dan Hyuda menjadi karyawan biasa di perseroan terbatas. Kami menetap di perkotaan dan sangat jauh dari rumah.
Juna berhasil menjadi seorang PNS yang ditugaskan di luar pulau.
Kevin bekerja sebagai komposer di perusahaan entertainment. Dam Cani sebagai designer di salah satu perusahaan sepatu Ibu kota.
Sedangkan Haksa, Sunan dan Erik masih berstatus sebagai mahasiswa.
Rumah kami ditempati oleh Kak Jaka, karena ia masih bekerja di sekitaran desa.
Kami akan berkumpul dua kali dalam setahun. Di hari raya idul fitri, dan di hari ulang tahun Cani Camin.
Sekarang, jika kami berkumpul, akan banyak makanan lezat yang dulu tak mampu kami beli. Rasa syukur ku tak pernah henti karena hal itu.
Senyum di wajah keluargaku adalah obat terampuh untuk melepas segala penat yang menumpuk akibat pekerjaanku. Aku sangat mencintai mereka.
Hilang, tinggal kenangan
***
Sudah nyaris satu tahun, sejak petugas pembangunan jalan tol datang mengetuk pintu rumah Kami. Kebetulan saat itu kami sedang berkumpul untuk merayakan hari ulang tahun Cani Camin.
“rumah dan tanah ini akan kami beli, demi pembangunan negara”
Bertambah lagi, hari yang kubenci. Aku juga membenci hari itu. Dimana kami saling bercekcok karena pro kontra. Aku sama sekali tidak mau menyerahkan rumah kami kepada siapa pun. Rumah ini harus tetap menjadi milik kami.
Namun sekuat apapun aku menahan, nyatanya semua saudaraku bahkan Bapak dan Ibu menyetujui itu. Mereka semua menandatangani surat persetujuan untuk merobohkan rumah.
***
Dengan langkah yang berat, aku masuk ke dalam rumah. Ku tarik napas dalam-dalam, merasakan setiap oksigen yang kuhirup.
“bau nya tetap sama, ini rumah”
Aku berkeliling, menelusuri setiap inchi dari rumah ini. Rumah yang menjadi saksi pahitnya kehidupan keluargaku, rumah dimana kami saling menyayangi.
Foto-foto yang berjejer rapi di dinding, membuat air mataku jatuh.
Foto ketika Kak Sangga mulai membuka pesantren, foto Kak Jaka dengan satu set alat musik pertamanya, dan foto kami semua sesuai kegiatan kami masing-masing. Tak lupa juga foto keluarga di saat Juna wisuda sarjana, semuanya tertata rapi. Tapi tak afa foto Camin disana.
“kamu kenapa? nangis?”
Entah sejak kapan Kak Jaka duduk manis di ruang tamu sambil memegang teh kotak di tangan kanannya.
Aku cepat-cepat mengusap air mataku.
“kapan nyampe?” tanyaku.
“barusan”
Aku hanya mangut-mangut.
“mana berkas yang harus aku tanda tangan?”
“Yoga... kamu serius?”
“aku serius!” helaan napasku menjeda dialog, “betul apa kata Kak Sangga, pembangunan negeri ini jug penting! lagi pula, semua kenangan, semua memori tentang keluarga kita, tentang Camin akan tetap tersimpan disini!”
Aku menunjuk dadaku, meyakinkan Kak Jaka bahwa semuanya pasti akan baik-baik saja.
Ia menepuk lenganku kemudian mengambil berkas yang perlu ku tanda tangani.
Aku yakin.. kemana pun nanti kami pulang, jika kami tetap bersama, namanya tetap rumah.
“Camin, mungkin ini hari terakhir kita ada disini sebagai pemilik rumah. Tapi percaya ya, dek.. kita gak meninggalkan kamu, kita gak akan melupakan kamu bersamaan dengan runtuhnya rumah ini. Kamu akan selamanya kami cintai!”
Dan Camin kecil tersenyum padaku di sudut ruangan dekat aquarium, melambaikan tangannya, kemudian perlahan menghilang.
end
#anti