injunoona

anti

Sunwoo as Kalvin


“gue udah sejuta kali bilang sama lo ya, Kal! udah saatnya lo lupain si Adelia Adelia itu!” ucap Eric setengah berteriak pada Kalvin yang duduk di sampingnya, namun matanya tetap fokus pada layar monitor televisi.

“gak segampang itu, Ric.. lo gak tau seberapa berharganya Adel buat gue” jawabnya beberapa saat kemudian. Kalvin kemudian menyimpan joystick yang ia pegang ke meja di depannya. “gue curiga inti saraf di otak lu tuh bukan nucleus tapi Adelia-us” respon Eric ngasal.

“cocot lu!!!” Kalvin menarik bantal yang asalnya menjadi sandaran punggungnya kemudian memukul wajah Eric dengan itu... “eh iya iya ampun ampun gue bercanda Kalvinnn!!!”

Duel di atas ring tinju [dalam playstation] telah berakhir, kali ini hanya suara detak jam dinding yang memenuhi kamar kost dua sekawan itu di pukul 2 pagi. Seakan tahu arah lamunan Kalvin, Eric cepat-cepat mencairkan suasana.

“kenapa ya, Kal?”

“apanya yang kenapa?”

“kenapa kok lo bisa se-begitu cintanya sama Adelia? bahkan setelah dia udah jadi milik orang lain?”

Kalvin hanya terdiam, tubuhnya membeku. Tak tahu apa yang harus ia ungkapkan pada sahabatnya sebagai jawaban, Ia sendiri pun tak tahu kenapa ia sangat mencintai Adelia...

Apakah karena pertemuan pertama mereka di sekolah menengah enam tahun lalu, ketika mereka sama-sama duduk di kelas sepuluh?. Kalvin melihat Adelia untuk yang pertama kalinya, gadis itu menunduk lesu bersama siswi lain di ruang bimbingan konseling. Entah ada angin dari mana, Kalvin tiba-tiba memusatkan perhatiannya pada Adelia, gadis berambut ikal dan berkulit sawo matang yang memohon agar liptint nya dikembalikan.

Atau mungkin kah karena ambisinya yang sangat menggebu ingin memiliki Adelia kala itu? • Setiap upacara bendera, Kalvin akan mencari Adelia di ramainya baris ratusan siswa. —dan Kalvin selalu bisa menemukannya. • Kemudian entah bagaimana mereka bisa menjadi teman satu kelompok belajar bersama di perpustakaan. —dan agenda ini tak pernah sehari pun membuat Kalvin benar-benar belajar. • Hingga hari-hari Kalvin yang tak hentinya mengungkapkan perasaan pada Adelia. —dan berkali-kali mendapatkan penolakan pula.

Mungkinkah alasan Kalvin begitu mencintai Adelia karena terlalu terbiasa?

Ia melewati masa-masa SMA nya bersama Adelia, hanya Adelia yang paling bersinar di matanya. Bagaimana mereka menghabiskan waktu di jam istirahat makan siang, hingga berpegangan tangan selama kunjungan wisata ke candi borobudur kala itu. “Kalvin, ayo!” , “ayo apa, Del?”, “ayo pacaran”. Hanya dua kata yang Adelia ucapkan, namun berhasil membuat hari itu menjadi hari paling bahagia bagi Kalvin.

Hari-hari setelah kunjungan wisata, juga sama membahagiakannya. Karena ia sudah bisa mengenalkan Adelia kepada seluruh dunia sebagai kekasihnya. Sederhana saja, pada setiap susu kotak yang ia berikan pada Adelia di setiap jam istirahat, akan selalu ada: “buat pacar saya, Bang! Adelia namanya”, ia dengan kekehannya memberi informasi meskipun abang penjaga koperasi tak bertanya sama sekali.

Kebersamaan dua sejoli itu pun sudah menjadi tontonan lumrah bagi warga sekolah.. dimana ada Adelia, disitu pasti ada Kalvin. Kala pembagian buku rapor, Adelia dan Kalvin akan mempertemukan orang tua mereka untuk sekedar saling menyapa. Di hari kelulusan, Adelia dan Kalvin duduk bersebelahan dan menghabiskan detik-detik terakhir masa SMA mereka dengan merekam foto dan video bersama. ya, di dunia Kalvin hanya ada Adelia.

Banyak orang bilang bahwa rasa jenuh akan datang bila sepasang kekasih terlalu lama bersama. Tapi yang Kalvin rasakan adalah cinta yang semakin hari semakin memuncak, menggunung, melangit. Ia hanya akan semakin menyayangi Adelia setiap harinya, hanya akan mendahulukan Adelia di setiap okasi, hanya akan membela Adelia di semua kondisi.

“Kalvin, maaf..” “gapapa sayang, gaperlu minta maaf”.

“Kalvin.. semoga kamu betah kuliah di luar kota nya ya, sayang!” “I'll be fine.. pacarku kan kamu, Adelia baik sedunia, aku oasti semangat selalu!”

Bahkan di hari yang paling menyakitkan bagi dirinya pun.... Kalvin dengan senyumannya, “jadi kapan, Del? kamu jangan nunduk begitu dong!” Kalvin mengangkat dagu Adelia dan menyeka air mata dari wajah wanitanya. “kalo memang kamu lebih pilih dia, aku gapapa... Kalvin gapapa, Del”.

Adelia gagal, Adelia merobohkan cinta yang telah Kalvin bangun setinggi langit. Adelia membakar semua catatan harapan yang Kalvin tulis dalam angannya. Adelia menjatuhkan kepercayaan Kalvin yang digantungkan sepenuhnya padanya.

“rasa cinta aku buat kamu kayanya semakin memudar, Kal.. karena kita tinggal di beda kota dan jarang ketemu. Aku gak tau, aku bingung kenapa bisa jatuh cinta sama dia”

Lagi-lagi Kalvin dibuat ingin mati. Hati yang telah ia isi sepenuhnya dengan cerita bersama Adelia, dalam waktu sepersekian detik retak dan ambruk. Kalvin sama sekali bukan orang yang akan menangis di hadapan orang lain, ia memilih tersenyum untuk meredakan rasa sakitnya.

“Adel.. tapi bolehkah untuk yang terakhir kalinya.. aku peluk kamu?”

kemudian seraya dengan usapan tangan Adelia pada punggung Kalvin, lelaki itu menangis sejadi-jadinya. Ia mempertanyakan pengorbanannya selama ini yang ternyata tak berarti di mata wanitanya sama sekali.. “apa cuma aku disini yang mencintai sepenuh hati?”.

“maaf... Kalvin” and yes with all the sadness and disappointment lelaki itu menjawab.. “aku harap Adel bahagia, gak sama aku pun gapapa..”.

-Hari itu akan ia ingat selamanya.

“kalo lo gamau jawab gapapa sih, Kal.. alesan orang bisa jatuh cinta kan gak selalu bisa diketahui” ucap Eric kembali memecah lamunan Kalvin.

Kalvin hanya mengangguk, setuju dengan pendapat sahabatnya.

“tapi tuh.. yang bisa gue lihat dari lo adalah.. lo sayang sama Adelia dengan segenap hati lo. Lo pikir kisah cinta lo akan berakhir di dia, jadi lo pake semua kuota cinta di diri lo abis-abisan.. buktinya lo sama sekali gak bisa berhenti sayang bahkan setelah dia dinikahin orang”

“ngomong apa sih lo, Ric?”

“cinta lo habis di orang yang sama, dan orangnya adalah Adelia. Dan akibat dari patah hati lo yang luar biasa itu adalah...”

“apa?”

“ada dua kemungkinan. lo akan susah percaya atau lo akan mati rasa! pikir aja tuh lo masuk kategori mana?”

Kalvin terkekeh. Menyadari dirinya yang sangat menutup diri dengan kedatangan orang baru, entah ingin menetap atau pun hanya sekedar singgah. Kalvin kira Adelia masih mengisi hatinya.

** Hingga sampai di hari ini.. Adelia yang tiga hari lalu menghubungi Kalvin sambil menangis dibalik sambungan telepon, sekarang berada tepat di hadapannya.

“Kalvin.. suamiku... dia pergi sama wanita lain, aku bingung harus cerita ke siapa lagi kalo bukan ke kamu.. I lost all my friends..” air mata membasahi pipi wanita itu dengan deras.

“Del.. jujur aku bingung harus kaya gimana” —ngasih peluk pun aku udah gak bisa, Del.. gak pantes.

“Kalvin.. aku minta maaf, setelah setahun nikah.. aku jadi tau kalo yang paling sayang aku di dunia ini cuma kamu.. please maafin aku.. terima aku lagi”

Melihat Adelia-nya seperti itu, entah kenapa ia tak merasakan 'sakit' seperti yang ia duga. Ia sama sekali tak merasa marah dan ingin memarahi orang yang membuat Adel menangis. Perasaan apa ini?.. Bertemu dengan Adelia bahkan tak membuatnya menggebu-gebu seperti dahulu.

“Kalvin?”

Kalvin terperanjat dari lamunannya... “Sorry Adel, I can't”

“why?”

“kamu masih nanya kenapa?” Kalvin memberi penekanan pada kalimatnya, membuat Adel menunduk karenanya. “Adel, memang benar I do love you, aku beri semuanya buat kamu dulu and I'm shattered.. kamu yang robohkan semuanya, dan kamu habiskan semuanya” lanjutnya.

“Kalvin....”

“aku gak bisa buka hatiku buat orang lain, dan aku belum bisa sepenuhnya lupain kamu. Tapi bukan berarti aku mau memulai lagi kisah sama kamu, Del... aku sekarang cuma manusia yang lagi berpikir gimana caranya supaya aku bisa jatuh cinta lagi, dan bukan sama orang yang bikin aku trauma sama cinta”

Kalvin menghapus air mata di kedua pipi Adelia “Ini terakhir kali kita ketemu ya, Del.. tolong, aku bukan cuma mau jatuh cinta lagi.. tapi aku juga mau lupain kamu”

end*

#anti

Sunwoo as Kalvin


“gue udah sejuta kali bilang sama lo ya, Kal! udah saatnya lo lupain si Adelia Adelia itu!” ucap Eric setengah berteriak pada Kalvin yang duduk di sampingnya, namun matanya tetap fokus pada layar monitor televisi.

“gak segampang itu, Ric.. lo gak tau seberapa berharganya Adel buat gue” jawabnya beberapa saat kemudian. Kalvin kemudian menyimpan joystick yang ia pegang ke meja di depannya. “gue curiga inti saraf di otak lu tuh bukan nucleus tapi Adelia-us” respon Eric ngasal.

“cocot lu!!!” Kalvin menarik bantal yang asalnya menjadi sandaran punggungnya kemudian memukul wajah Eric dengan itu... “eh iya iya ampun ampun gue bercanda Kalvinnn!!!”

Duel di atas ring tinju [dalam playstation] telah berakhir, kali ini hanya suara detak jam dinding yang memenuhi kamar kost dua sekawan itu di pukul 2 pagi. Seakan tahu arah lamunan Kalvin, Eric cepat-cepat mencairkan suasana.

“kenapa ya, Kal?”

“apanya yang kenapa?”

“kenapa kok lo bisa se-begitu cintanya sama Adelia? bahkan setelah dia udah jadi milik orang lain?”

Kalvin hanya terdiam, tubuhnya membeku. Tak tahu apa yang harus ia ungkapkan pada sahabatnya sebagai jawaban, Ia sendiri pun tak tahu kenapa ia sangat mencintai Adelia...

Apakah karena pertemuan pertama mereka di sekolah menengah enam tahun lalu, ketika mereka sama-sama duduk di kelas sepuluh?. Kalvin melihat Adelia untuk yang pertama kalinya, gadis itu menunduk lesu bersama siswi lain di ruang bimbingan konseling. Entah ada angin dari mana, Kalvin tiba-tiba memusatkan perhatiannya pada Adelia, gadis berambut ikal dan berkulit sawo matang yang memohon agar liptint nya dikembalikan.

Atau mungkin kah karena ambisinya yang sangat menggebu ingin memiliki Adelia kala itu? • Setiap upacara bendera, Kalvin akan mencari Adelia di ramainya baris ratusan siswa. —dan Kalvin selalu bisa menemukannya. • Kemudian entah bagaimana mereka bisa menjadi teman satu kelompok belajar bersama di perpustakaan. —dan agenda ini tak pernah sehari pun membuat Kalvin benar-benar belajar. • Hingga hari-hari Kalvin yang tak hentinya mengungkapkan perasaan pada Adelia. —dan berkali-kali mendapatkan penolakan pula.

Mungkinkah alasan Kalvin begitu mencintai Adelia karena terlalu terbiasa?

Ia melewati masa-masa SMA nya bersama Adelia, hanya Adelia yang paling bersinar di matanya. Bagaimana mereka menghabiskan waktu di jam istirahat makan siang, hingga berpegangan tangan selama kunjungan wisata ke candi borobudur kala itu. “Kalvin, ayo!” , “ayo apa, Del?”, “ayo pacaran”. Hanya dua kata yang Adelia ucapkan, namun berhasil membuat hari itu menjadi hari paling bahagia bagi Kalvin.

Hari-hari setelah kunjungan wisata, juga sama membahagiakannya. Karena ia sudah bisa mengenalkan Adelia kepada seluruh dunia sebagai kekasihnya. Sederhana saja, pada setiap susu kotak yang ia berikan pada Adelia di setiap jam istirahat, akan selalu ada: “buat pacar saya, Bang! Adelia namanya”, ia dengan kekehannya memberi informasi meskipun abang penjaga koperasi tak bertanya sama sekali.

Kebersamaan dua sejoli itu pun sudah menjadi tontonan lumrah bagi warga sekolah.. dimana ada Adelia, disitu pasti ada Kalvin. Kala pembagian buku rapor, Adelia dan Kalvin akan mempertemukan orang tua mereka untuk sekedar saling menyapa. Di hari kelulusan, Adelia dan Kalvin duduk bersebelahan dan menghabiskan detik-detik terakhir masa SMA mereka dengan merekam foto dan video bersama. ya, di dunia Kalvin hanya ada Adelia.

Banyak orang bilang bahwa rasa jenuh akan datang bila sepasang kekasih terlalu lama bersama. Tapi yang Kalvin rasakan adalah cinta yang semakin hari semakin memuncak, menggunung, melangit. Ia hanya akan semakin menyayangi Adelia setiap harinya, hanya akan mendahulukan Adelia di setiap okasi, hanya akan membela Adelia di semua kondisi.

“Kalvin, maaf..” *“gapapa sayang, gaperlu minta maaf”.

“Kalvin.. semoga kamu betah kuliah di luar kota ya, sayang!” “I'll be fine.. orang pacarku kamu, Adelia baik sedunia”

Bahkan di hari yang paling menyakitkan bagi dirinya pun.... Kalvin dengan senyumannya, “jadi kapan, Del? kamu jangan nunduk begitu dong!” Kalvin mengangkat dagu Adelia dan menyeka air mata dari wajah wanitanya. “kalo memang kamu lebih pilih dia, aku gapapa... Kalvin gapapa, Del”.

Adelia gagal, Adelia merobohkan cinta yang telah Kalvin bangun setinggi langit. Adelia membakr semua catatan harapan yang Kalvin tulis dalam angannya. Adelia menjatuhkan kepercayaan Kalvin yang digantungkan sepenuhnya padanya.

“rasa cinta aku buat kamu kayanya semakin memudar, Kal.. karena kita tinggala di beda kota dan jarang ketemu. Aku gak tau, aku bingung kenapa bisa jatuh cinta sama dia”

Lagi-lagi Kalvin dibuat ingin mati. Hati yang telah ia isi sepenuhnya dengan cerita bersama Adelia, dalam waktu sepersekian detik retak dan ambruk. Kalvin sama sekali bukan orang yang akan menangis di hadapan orang lain, ia memilih tersenyum untuk meredakan rasa sakitnya.

“Adel.. tapi bolehkah untuk yang terakhir kalinya.. aku peluk kamu?”

kemudian seraya dengan usapan tangan Adelia pada punggung Kalvin, lelaki itu menangis sejadi-jadinya. Ia mempertanyakan pengorbanannya selama ini yang ternyata tak berarti di mata wanitanya.. “apa cuma aku disini yang mencintai sepenuh hati?”.

“maaf... Kalvin” and yes with all the sadness and disappointment.. “aku harap Adel bahagia, gak sama aku pun gapapa..”.

-Hari itu akan ia ingat selamanya.

“kalo lo gamau jawab gapapa sih, Kal.. alesan orang bisa jatuh cinta kan gak selalu bisa diketahui” ucap Eric kembali memecah lamunan Kalvin.

Kalvin hanya mengangguk, setuju dengan pendapat sahabatnya.

“tapi tuh.. yang bisa gue lihat dari lo adalah.. lo sayang sama Adelia dengan segenap hati lo. Lo pikir cinta lo akan berakhir di dia, jadi lo pake semua kuota cinta di diri lo abis-abisan.. buktinya lo sama sekali gak bisa berhenti sayang bahkan setelah dia dinikahin orang”

“ngomong apa sih lo, Ric?”

“cinta lo habis di orang yang sama, dan orangnya adalah Adelia. Dan akibat dari patah hati lo yang luar biasa itu adalah...”

“apa?”

“ada dua kemungkinan. lo akan susah percaya atau lo akan mati rasa! pikir aja tuh lo masuk kategori mana?”

Kalvin terkekeh. Menyadari dirinya yang sangat menutup diri dengan kedatangan orang baru, entah ingin menetap atau pun hanya sekedar singgah. Kalvin pikir Adelia masih mengisi hatinya.

Hingga sampai di saat ini.. Adelia yang tiga hari lalu menghubungi Kalvin sambil menangis dibalik sambungan telepon, sekarang berada tepat di hadapannya.

“Kalvin.. suamiku... dia pergi sama wanita lain, aku bingung harus cerita ke siapa lagi kalo bukan ke kamu.. I lost all my friends..” air mata membasahi pipi wanita itu dengan deras.

“Del.. jujur aku bingung harus kaya gimana” —*ngasih peluk pun aku udah gak bisa, Del.. gak pantes.

“Kalvin.. aku minta maaf, setelah empat bulan nikah.. aku jadi tau kalo yang paling sayang aku di dunia ini cuma kamu.. please maafin aku.. terima aku lagi”

Melihat Adelia-nya seperti itu, entah kenapa ia tak merasakan 'sakit' seperti yang ia duga. Ia sama sekali tak merasa marah dan ingin memarahi orang yang membuat Adel menangis.

“Kalvin?”

Kalvin terperanjat dari lamunannya... “Sorry Adel, I can't”

“why?”

“kamu masih nanya kenapa?” Kalvin memberi penekanan pada kalimatnya, membuat Adel menunduk karenanya. “Adel, memang benar I do love you, aku beri semuanya buat kamu dulu and I'm shattered.. kamu yang robohkan semuanya, dan kamu habiskan semuanya” lanjutnya.

“Kalvin....”

“aku gak bisa buka hatiku buat orang lain, dan aku belum bisa sepenuhnya lupain kamu. Tapi bukan berarti aku mau memulai lagi kisah sama kamu, Del... aku sekarang cuma manusia yang lagi berpikir gimana caranya supaya aku bisa jatuh cinta lagi, dan bukan sama orang yang bikin aku trauma sama cinta”

Kalvin menghapus air mata di kedua pipi Adelia “Ini terakhir kali kita ketemu ya, Del.. tolong, aku bukan cuma mau jatuh cinta lagi.. tapi aku juga mau lupain kamu”

end*

#anti


I don't need a dream dating list or else, all I need is Lee Sangyeon


Selamat pagi sayang” disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mereka mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami dan banyak cara yang kami lakukan untuk kembali berbaikan.

Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” pada bubble whatsapp yang kemudian akan menciptakan kekehan dariku. Tak lupa Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja”.

Selalu ada cara. ya, selalu...

Beberapa tahun lalu ketika kami pertama kali bertemu. Tanganku bergetar di depan meja kasir Alfamart kala itu..... “maaf mbak, dompet saya gak ada.. saya gak jadi beli aja deh, maaf yaa maaf banget!” namun dengan sigap, Sangyeon mendekat dan menawarkan bantuan. Bayar saja lain waktu ucapnya setelah kami sama-sama berada di luar toko, dan benar saja selalu ada lain waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama. Meski hanya sekadar membeli kwetiaw atau mie tektek di depan komplek, sudah kubilang... selalu ada cara bagi Sangyeon. Selalu.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku gak punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang kecil-kecilan di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.


“Halo sayang!! apa kabar?” Ibu Sangyeon mengusap kepalaku pelan sesaat setelah membuka pintu, kemudian kita saling bertukar peluk.

“Baik, Bu.. Ibu gimana?”

“sekarang Ibu jadi happy sehabis lihat calon mantu!”

“Ibu bisa ajaa...”

Kemudian basa-basi lain yang entah bagaimana mengantarkanku sekarang di kursi ruang tamu dengan kotak hadiah yang kudekap.

“Ibu mau pergi arisan dulu ya, cantik! tunggu disini aja, Sangyeon nya lagi mandi”

“Iya bu!”

Atmosfer menjadi canggung seketika, menyisakan aku dan detik jam dinding serta suara aliran air yang diciptakan oleh Sangyeon di dalam kamar mandi sana.

lima menit...

enam menit...

Setelah sebelas menit duduk sendirian dalam keheningan, Sangyeon akhirnya muncul dengan kaos putih polos, celana hitam pendek dan rambutnya masih basah.

“hai sayang! udah lama?” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan handuk biru di tangannya.

“engga kok, baru bentarr”

Sangyeon duduk di sebelahku lalu mengecup keningku singkat.

“lucu banget sih pake mau nyamperin segala.. ini yang kamu bilang sesuatu itu?” ia menunjuk kotak yang ada di tanganku, aku mengangguk.

“ada apaan ini? kok tiba-tiba banget ngado ngado gini?” senyumnya merekah sampai matanya membentuk sabit.

“hari ini kan...”

“apa? aku gak lagi ulang tahun, sayang” alisnya menukik.

“ihhh hahaha! hari ini national boyfriend's day tauuu! nih buat kamu!” kotak yang kupegang dari tadi kini berpindah tangan.

Sangyeon terkekeh, “lucu banget”

“gak suka, ya?”

“ih apa sih! besok langsung aku pake ini mah.. makasih yaa cintaku” ia menatap kotak itu dengan mata berbinar.

“kamu mah hiperbola doang ah!”

Sangyeon kembali tertawa atas hal yang tidak lucu sama sekali bagiku...

“sayang..”

Tanpa aba-aba ia melingkarkan tangannya dipinggangku dan meletakkan dagunya di bahuku, “mau kamu ngasih permen satu biji pun, aku akan seneng.. apalagi ini” —cup, lagi-lagi tanpa fafifu ia menjadi dirinya yang clingy.

“Sangyeon!!”

“hehehehe! sayang, aku belum gajian, tapi di dompetku masih ada uang seratus ribu.. kamu mau jajan apa?”

“ih simpen aja ah, lusa kan kamu baru gajian! nanti selama dua hari kamu gak pegang uang sama sekali, gitu?”

“ih lucu banget marah-marah!” —cup, kecupan kedua.

“simpen aja, aku lagi ga pengen apa-apa.. pengennya kamu doang” jawabku asal.

“eh tapi beneran loh.. walaupun uang di dompetku tinggal sisa lima ribu, aku bakal tetep jajanin kamu!” ucapnya sambil menempelkan hidungnya di pipiku.

“eh tapi beneran juga lohh.. kalo aku mau apa-apa aku bilang..”

“iyaaa sayaaaang!” yang ketiga kali —cup, “karena ini national boyfriend's day, I'll be super boyfriend until 23:59!”

Aku terkekeh yang otomatis menggetarkan Sangyeon juga.

“kamu wangi ih” lagi-lagi ia memujiku.

“udah ah jangan nempel-nempel, ruang tamu ini malah nanti ganti nama jadi ruang cuddle

“HAHAHAHAHA KAMU IH! yaudah pindah aja ke kamar!”

“SANGYEONNNNN!!!!”

-tamat-


#anti


I don't need a dream dating list or else, all I need is Lee Sangyeon


Selamat pagi sayang” disertai dengat emoji hati merah adalah pesan pertama yang akan aku baca di setiap pagi ketika membuka mataku. Awalnya aku mengira bahwa itu adalah hal sepele, namun ketika Sangyeon melewatkannya barang sekali pun akan menjadi janggal bagiku. loh? lupa ngabarin kah?, wifi di rumah Sangyeon putus kali, ya?, apa Sangyeon belum bangun? dan pikiran aneh lainnya. Sebuah foto dirinya bersama sang keponakan menjadi jawaban, dan kurespon dengan gemesnyaaa sedetik kemudian.

Aku bangkit dari tempat tidurku kemudian mendekati meja kerja di kamarku, memperhatikan setiap inchi kotak hadiah yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Isi dalam kotak itu tak seberapa harganya, tapi aku yakin Sangyeon akan menerimanya dengan segudang kalimat hiperbola.

Seperti hari-hari biasanya, “kamu ganti warna lipstik, ya? cantik banget” yang kurespon dengan gelengan. Kemudian hari berikutnya, “sayang, tadi kan client ku liatin contoh sketsa mata gitu buat produk baru perusahaan... terus aku mikir, gambar matanya cantik, tapi gak secantik mata pacarku” yang membuat tawa kami pecah di ruangan televisi sore itu. Lalu hari setelahnya “gapapa gapapa, aku jatoh dari sepeda doang ih.. cuma lecet lutut dikit! gak akan sesakit kalo ditinggalin kamu!” yang dengan instan membuat tangisanku berubah menjadi kekehan.

Aku kembali teringat pada hari dimana Sangyeon jatuh dari sepeda di acara workshop perusahaan tempatnya bekerja. Sedetik setelah ia memberi tahuku tragedi itu, tanpa pikir panjang aku berlari menemuinya. Kuingat dengan jelas bagaimana Sangyeon yang terus-terusan menghiburku dan meyakinkanku bahwa luka yang ia dapat tak parah sama sekali. “utututuuu sayangnya akuuu.. sini sini nangisnya sambil aku peluk” ia dengan wajah merajuknya mengusap rambutku kemudian menarik tubuhku ke atas ranjang dan memberiku sebuah peluk... “I'm good.. phisically and mentally, kaki aku langsung sembuh karena obatnya dipeluk kamu”.

Sangyeon memang terkenal sebagai pribadi yang pekerja keras, teman-teman kantornya sering kali menunjuknya sebagai ketua team karena hal itu. Ia tegas, berwawasan luas dan disegani. Tentu saja akan menjadi berita besar jika mereka mengetahui bahwa Sangyeon seringkali datang ke rumahku dan merengek, “aku takut.. perkembangan projeknya gak keliatan stabil” ucapnya sambil membenamkan wajahnya di bahuku. Tak jarang juga ia tiba-tiba datang dan menangis setiap kali kesulitan datang padanya... I love him just the way he is, but I love him more if he's being himsef when he with me only. Kemudian rengekan kemanjaan nya akan hilang seketika jika ada suara langkah kaki mendekat, harus jaga image katanya.

Selama bertahun-tahun berpacaran dengannya, bohong jika kubilang bahwa Sangyeon tak pernah membuatku kesal. Kami sering bertengkar karena hal-hal kecil dan kami anggap itu sebagai 'bumbu' dalam hubungan kami dan banyak cara yang kami lakukan untuk kembali berbaikan.

Mulai dari sekadar sate taichan goreng yang tiba-tiba sampai di rumahku melalui perantara driver aplikasi restoran online, diiringi dengan “kesukaan kamu, makan yaa.. biar ada tenaga buat ngomelin akunya” pada bubble whatsapp yang kemudian akan menciptakan kekehan dariku. Tak lupa Sangyeon yang membuat video singkat dirinya mengucapkan maaf disertai alasan-alasan kenapa aku harus memaafkannya. Hingga ciuman panas kami berdua di bawah tangga rumahku, setelah ia mengucapkan “serius gamau makan apa-apa? plis deh jangan bad mood di jam makan malem... atau, yaudah makan aku aja”.

Selalu ada cara. ya, selalu...

Beberapa tahun lalu ketika kami pertama kali bertemu. Tanganku bergetar di depan meja kasir Alfamart kala itu..... “maaf mbak, dompet saya gak ada.. saya gak jadi beli aja deh, maaf yaa maaf banget!” namun dengan sigap, Sangyeon mendekat dan menawarkan bantuan. Bayar saja lain waktu ucapnya setelah kami sama-sama berada di luar toko, dan benar saja selalu ada lain waktu bagi kami untuk menghabiskan waktu bersama. Meski hanya sekadar membeli kwetiaw atau mie tektek di depan komplek, sudah kubilang... selalu ada cara bagi Sangyeon. Selalu.

Sangyeon bukan tipe lelaki yang mengucapkan “maaf ya aku cuma pegawai biasa, aku gak punya apa-apa..” tapi dia selalu dengan bangga berkata “aku bakal selalu semangat buat jadi lebih baik”. Terbukti dengan dia yang mengajakku berdagang kecil-kecilan di online market place. Kami bangun bisnis itu bersama-sama dan hasilnya kami kumpulkan untuk masa depan.


“Halo sayang!! apa kabar?” Ibu Sangyeon mengusap kepalaku pelan sesaat setelah membuka pintu, kemudian kita saling bertukar peluk.

“Baik, Bu.. Ibu gimana?”

“sekarang Ibu jadi happy sehabis lihat calon mantu!”

“Ibu bisa ajaa...”

Kemudian basa-basi lain yang entah bagaimana mengantarkanku sekarang di kursi ruang tamu dengan kotak hadiah yang kudekap.

“Ibu mau pergi arisan dulu ya, cantik! tunggu disini aja, Sangyeon nya lagi mandi”

“Iya bu!”

Atmosfer menjadi canggung seketika, menyisakan aku dan detik jam dinding serta suara aliran air yang diciptakan oleh Sangyeon di dalam kamar mandi sana.

lima menit...

enam menit...

Setelah sebelas menit duduk sendirian dalam keheningan, Sangyeon akhirnya muncul dengan kaos putih polos, celana hitam pendek dan rambutnya masih basah.

“hai sayang! udah lama?” ucapnya sambil mengacak-acak rambutnya dengan handuk biru di tangannya.

“engga kok, baru bentarr”

Sangyeon duduk di sebelahku lalu mengecup keningku singkat.

“lucu banget sih pake mau nyamperin segala.. ini yang kamu bilang sesuatu itu?” ia menunjuk kotak yang ada di tanganku, aku mengangguk.

“ada apaan ini? kok tiba-tiba banget ngado ngado gini?” senyumnya merekah sampai matanya membentuk sabit.

“hari ini kan...”

“apa? aku gak lagi ulang tahun, sayang” alisnya menukik.

“ihhh hahaha! hari ini national boyfriend's day tauuu! nih buat kamu!” kotak yang kupegang dari tadi kini berpindah tangan.

Sangyeon terkekeh, “lucu banget”

“gak suka, ya?”

“ih apa sih! besok langsung aku pake inimah.. makasih yaa cintaku” ia menatap kotak itu dengan mata berbinar.

“kamu mah hiperbola doang ah!”

Sangyeon kembali tertawa atas hal yang tidak lucu sama sekali bagiku...

“sayang..”

Tanpa aba-aba ia melingkarkan tangannya dipinggangku dan meletakkan dagunya di bahuku, “mau kamu ngasih permen satu biji pun, aku akan seneng.. apalagi ini” —cup, lagi-lagi tanpa fafifu ia menjadi dirinya yang clingy.

“Sangyeon!!”

“hehehehe! sayang, aku belum gajian, tapi di dompetku masih ada uang seratus ribu.. kamu mau jajan apa?”

“ih simpen aja ah, lusa kan kamu baru gajian! nanti selama dua hari kamu gak pegang uang sama sekali, gitu?”

“ih lucu banget marah-marah!” —cup, kecupan kedua.

“simpen aja, aku lagi ga pengen apa-apa.. pengennya kamu doang” jawabku asal.

“eh tapi beneran loh.. walaupun uang di dompetku tinggal sisa lima ribu, aku bakal tetep jajanin kamu!” ucapnya sambil menempelkan hidungnya di pipiku.

“eh tapi beneran lohh kalo aku mau apa-apa aku juga bilang..”

“iyaaa sayaaaang!” yang ketiga kali —cup, “karena ini national boyfriend's day, I'll be super boyfriend until 23:59!”

Aku terkekeh yang otomatis menggetarkan Sangyeon juga.

“kamu wangi ih” lagi-lagi ia memujiku.

“udah ah jangan nempel-nempel, ruang tamu ini malah nanti ganti nama jadi ruang cuddle

“HAHAHAHAHA KAMU IH! yaudah pindah aja ke kamar!”

“SANGYEONNNNN!!!!”

-tamat-


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan kemudian mengisi perut setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dengan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet manusia juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, dengan posisi tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah stasiun ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Di stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami, penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi.. untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya itu di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada Tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang terkesan terlalu mendramatisir keadaan, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh.. namun faktanya, Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.

Setelah itu, hilang kesadaran.. dan terpejam.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan kemudian mengisi perut setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can't believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” ucap gue di anak tangga terakhir sambil membetulkan posisi rambut gue. Namun fokus gue teralihkan oleh Ethan yang berdiri di depan pintu..

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperbolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkung, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari lamunan gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat.

“hah? oh enggakk.. ini bingung tadi posisi rambut gue agak aneh..” —alasan tak masuk akal.

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

Sumpah demi Tuhan, jika gue boleh hiperlolis saat ini.. gue ingin mengatakan bahwa Ethan adalah salah satu wujud kesempurnaan yang Tuhan ciptakan.

Tubuhnya yang jangkunh, lehernya yang jenjang.. dibalut dengan sweater crewneck hitam.. membuat gue gelagapan dan mematung di anak tangga terbawah.

“kamu kenapa, Izza? ngelamun?” shit dia menyadari te-takjub-an gue.

Gue menepis semua lamunan dan memutar otak untuk merangkai kalimat

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!” —basa-basi klasik

Ethan mengangguk dua kali, dia tidak memperpanjang lamunan gue tadi.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti