injunoona

anti

Housemates.


Alunan musik Potter Waltz milik Patrick Doyle sebagai alarm hp gue baru saja berbunyi di pukul delapan pagi. Biasanya gue akan mematikan alarm dan kembali tidur, tapi hari ini berbeda.

Hari ini gue akan pergi ke suatu tempat bersama Ethan. Dia yang mengajak gue.. jam 2 dini hari tadi, sewaktu kita makan mie di ruang tv.

“Let's go to Oxford this morning!”

PFFFFT” —iya, kuah mie yang lagi gue seruput nyembur ke Ethan.

“Izza yaampun...”

“OMG, sorry sorry gue refleks!!”

Ethan mengusap-usap bajunya yang terkena cipratan tadi, tanpa menjawab permintaan maaf dari gue.

“Ethan...”

why?

Matanya menatap ke arah gue seolah tak ada yang salah.

“itu tadi gue minta maaf udah nyemburin kuah mie.. kok gak direspon?”

“hah? oh.. hahahaha, it's okay! bukan masalah besar”

Gue tersenyum, menghargai kebaikan Ethan. Gue pikir dia akan melakukan hal yang sama terhadap gue, menyembur gue balik misalnya. -gue orangnya se-nethink-an itu.

“jadi besok jam berapa, Than?”

“sembilan?.. kepagian gak?”

of course not. gue bangun jam lima pagi pun bisa, kalo mau ke Oxford!!”

Ethan hanya geleng-geleng kepala sambil terkekeh menanggapi ucapan gue yang gue sadari sangat amat norak itu.

Setelah selesai bincang-bincang dan tukar cerita tentang pengetahuan kami soal Oxford, akhirnya gue dan Ethan kembali ke kamar masing-masing di pukul 3 pagi.

Waktu cepat berlalu, sekarang gue sudah membuka mata dengan tubuh masih terlentang di atas ranjang setelah bunyi alarm.

“huhhhhhh” sekali...

“hhhuabbbr” dua kali...

“HUAAAAAA” tiga kali gue menghela napas dengan tenaga ekstra.

Sebetulnya, magnet yang ditimbulkan kasur gue sangat kuat.. tapi semangat gue untuk bangun dan bersiap pergi ke Oxford jauh lebih dahsyat kuatnya.

“Izza, are you ready?” suara Ethan samar-samar di balik pintu kamar gue.

“IYAA SEBENTAR LAGII! LO BOLEH DULUAN KE BAWAH!”

“how energetic you are”

Di dalam kamar gue bisa mendengarnya terkekeh karena antusiasme gue. Gue se-semangat itu.

Langkah gue menuruni tangga agak tergesa karena tak mau Ethan menunggu terlalu lama.

sorry Ethan, tadi gue nyari masker gue dulu!”

Ethan mengangguk dua kali.

“lo gak pake masker? biasanya lo selalu pake masker kalo keluar rumah..” lanjut gue.

“itu kalo saya sendirian.. I didn't have anyone to talk with.. now I'm with you, I want to talk with you freely. Jadi saya gak perlu pakai masker”

Kalau saja sekarang ini gue hidup dalam dunia komik, ilustrator cerita ini akan menambahkan ratusan kupu-kupu berterbangan di sekitar tubuh gue. Speechless. Tapi gue tak boleh terlihat lemah. “oh, gitu.. oke”.

Semilir angin masuk ke dalam rumah saat Ethan membuka pintu. Memang cuaca pagi ini agak dingin dan lembab, tapi gue meyakini siang nanti akan menjadi cerah dan panas.

Ethan sesekali mengecek jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya ketika kami berjalan menuju stasiun.

“kenapa, Than?”

“kereta nya udah mau dateng, Izza.. is it okay if we run?

Lelaki jangkung itu bertanya dengan hati-hati seolah berlari adalah hal yang besar.

“yaudah, ayo lari!”

Sebelum Ethan membuka suara lagi, gue berlari mendahului dia. Tapi karena kaki-kaki panjangnya, ia dengan mudah mendahului gue.

“jangan ngebut-ngebut, Than! ihhh!!!”

Ethan menghentikan langkahnya dan menunggu gue yang tertinggal cukup jauh.

Setelah gue berdiri tepat di depan dia, tanpa aba-aba ia meraih tangan gue untuk menarik gue agar berlari lebih cepat. Menyesuaikan kecepatan dengannya.

“kalau kamu lari kaya tadi... kita tetep ketinggalan kereta, Izza” gue gak berkutik sama sekali.

Hanya tubuh gue yang sedang berlari lebih cepat karena kendali Ethan, namun jiwa gue sepertinya melayang entah kemana.

*** “bills on me!” katanya sambil merebut Oyster Card yang akan gue tempelkan pada tap scanner dan memasukkan nya ke dalam saku jaketnya. Kemudian ia mengeluarkan kartu miliknya dari dompet coklatnya lalu men-tap dua kali pada scanner.

Thank you!

Ya.. gue kehabisan ide untuk menanggapi kejadian barusan selain mengucapkan terima kasih.

Gerbong kereta pagi ini sangat penuh dan berdesakkan. Gue memaklumi hal ini karena pagi hari pukul 9 memang waktu warga lokal memulai kegiatan mereka.

“kalo tanganmu pegal pegang handstrap, you can lean on me, Izza!”

Ethan berbisik di telinga kanan gue, membuyarkan fokus gue yang sedang beradaptasi dengan atmosfer gerbong.

i'm fine!

.... fine...

Tapi tubuh gue terombang-ambing ketika kecepatan kereta melambat di setiap pemberhentian. ... Fine apanya.

Meski tak begitu jelas terlihat, gue bisa tahu kalau Ethan terkekeh menertawakan gue yang susah payah berpegangan ke hand strap dengan kedua tangan gue.

Satu jam perjalanan dari London menuju Oxford, satu jam juga tangan gue menggenggam erat hand strap.

Coba saja gue bisa mengenyampingkan gengsi, mungkin yang akan gue genggam selama satu jam itu adalah lengan Ethan. Bercanda.

I still can believe it... I'm at Oxford right now..

Gue berjalan dengan bahagia, menghirup oksigen Oxford dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan karbondioksida seolah semua beban di diri gue menghilang.

cekrek!!

cekrekk!!

Ini akan kedengaran norak.. tapi kenyataannya, gue benar-benar memotret dan mengabadikan setiap sudut jalanan Oxford yang gue lalui setelah keluar dari stasiun.

“Izza, coba berdiri di sebelah sana.. biar saya foto!”

Fokus gue yang sedang memotret langit menjadi teralihkan.

“gapapa nih kalo ada foto gue di kamera lo?”

“ya gapapa... memang apa yang salah?”

“menuhin memori tauuu!”

“lebay!!!”

Gue berpose di depan perpustakaan Duke Humfrey's, —salah satu tempat impian yang selama ini ingin gue datangi. Tempat iconic di film favorit gue, yang bahkan sempat gue sangka hanya ada di dunia fiksi atau editan green screen belaka. Tapi nyatanya gue sekarang berpijak disini.

Siapa sangka gue datang kemari ditemani Ethan yang belum lama ini gue kenal, dan bahkan Ethan juga menanggung semua biaya perjalanan gue. Terharu.

... “Good morning, Sir and Maam.. we have some free matches bracelets for every couple at Duke Humfrey's today! this is for you!“ ...

Dua orang remaja yang gue asumsikan adalah mahasiswa, tiba-tiba menghadang jalan gue dan Ethan sebelum masuk ke dalam perpustakaan. Asumsi lain dari gue: gelang-gelang yang mereka berikan adalah project dari kampusnya.

I'm sorry, but we're not coupl—

Owww Thank you! my girlfriend must be loved it! isn't it, sweetheart?”

Ethan memotong kalimat gue dan kemudian meneruskan dengan kalimatnya. Apa maksudnya.. —sweetheart?!!!!! yang bener aja lu bro?!

Setelah dua remaja itu berlalu..

“maksud lo apa? sweetheart sweetheart” ucap gue dengan nada mengejek.

“lumayan Izza, dapet gelang gratis! nih..” Ethan terkekeh dan menyerahkan salah satu gelangnya pada gue.

Gue memang meledek, tapi akhirnya gue terima juga gelangnya. Hehe.

Tak ada momen spesial dan kejadian menarik selama gue dan Ethan di dalam perpustakaan. Ethan yang mengambil video di setiap sudut ruangan, dan gue yang mengekori sambil sesekali mengambil gambar. Terus begitu sampai sore hari.

Kami juga berjalan-jalan di luar perpustakaan untuk sekadar 'mampang-mumpung' dan makan siang setelahnya.

“ya udah kalo memang lo masih harus ngerjain video, gue cabut duluan yaa karena harus ke tempat kerja..” gue melihat ke arah jam dinding restoran yang sudah menunjukkan pukul 4 sore.

is it okay if you go there alone?” tanya nya setelah menyeruput latte dan matanya tetap fokus pada laptop.

“tenang aja kali... gue gini-gini udah bisa bikin KTP kewarganegaraan Inggris!”

Ethan hanya menggelengkan kepala, sudah tak heran akan sikap gue.

see u at home, Ethan! thanks traktiran hari ini!”

Lelaki itu mengangguk dua kali dan tersenyum “anytime

Gue bangkit dari duduk dan meninggalkan Ethan sendiri disana. Tidak sepenuhnya meninggalkan sih, soalnya ia bilang setelah kopinya habis, ia akan pergi bekerja di studio nya yang entah dimana..


“kenapa lo ada disini?” ucap gue bisik-bisik pada Ethan yang sudah duduk manis di restoran tempat gue bekerja. Sekarang pukul sebelas malam.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa gue akan didatangi Ethan pada waktu bekerja. Yang nota bene nya gue sedang berada di kondisi terburuk gue.. kucel, tidak enak dipandang, beraroma masakan, seperti tak mandi sebulan. Gue juga heran kenapa tiba-tiba gue peduli akan pandangan Ethan terhadap gue.

Semuanya gara-gara Oyster Card yang tertinggal di saku jaket Ethan.

“ya saya kesini mau makan?” ia menjawab dengan asal.

Gue menatap Ethan dengan tajam, tak puas dengan jawaban lelaki itu.

“kan mau jemput kamu? udah kita obrolin di imessage

huhhhhhbikin gila aja.

...

“piringnya ditaruh di rak atas, kan?”

“sini kantong sampahnya, pasti berat.. I'll do this!”

“sini Izza, saya bantu lap meja! kamu mandi aja dulu supaya gak buang waktu”

Gue berani bersumpah, gue sama sekali tidak meminta dia buat melakukan pekerjaan gue. Dia yang menawarkan, dia yang berinisiatif.

Gue dan Ethan akhirnya keluar dari restoran yang nyaris tak terlihat dari kemegahan kota London itu. Tentunya setelah pegawai pengganti shift datang.

“kamu kerja setiap hari kayak gitu.. gak cape?”

Suara Ethan tak terlalu terdengar jelas karena suara arus jalanan, namun gue bisa langsung menangkap maksudnya.

“hhhh.. memangnya ada ya kerja yang gak cape, Than?”

“gak ada, sih.. basa basi aja..”

Gue merespon kalimatnya dnegan tepukan kecil di lengan kirinya, “gak asik lo..”

Biasanya gue selalu pulang dengan bis kota, namun karena hari ini gue bisa pulang lebih awal karena bantuan Ethan. —jadi kami masih bisa mengejar kereta terakhir.

“sepi banget gerbongnya.. gak kaya tadi pagi” ucap gue sesaat setelah kereta melaju.

Ethan yang duduk di sebelah gue mengangguk dua kali, “let's see..”

Di stasiun pemberhentian berikutnya.. rombongan orang datang tanpa ampun sehingga membuat gerbong yang tadinya sangat lengang menjadi padat.

“gue tarik lagi omongan gue tadi..” ucap gue yang spontan membuat Ethan terkekeh renyah. Entah kenapa membuat gue salah tingkah.

“awas hati-hati ada copet..” bisik Ethan.

“loh di UK juga suka ada copet?”

“justru disini malah lebih expert! tas kamu amankan..”

Gue refleks memindahkan tas selempang gue ke atas pangkuan.

“copet orang juga ada!”

“hah?”

“culik, Izza..”

“ngarang lo!”

“serius.. coba amankan..”

“amankan apanya?”

“kamunya!”

Ethan meraih tangan gue dan menggenggamnya. Ia masukkan tangan kami yang berpegangan ke dalam kantong jaketnya.

“biar gak ilang” ucapnya tanpa beban.

Anehnya gue percaya atas kalimatnya. Yang lebih anehnya, gue tidak protes atas tindakannya. Gue kenapa?.

Pintu kereta tertutup dan kereta kembali melaju. Hening antara gue dan Ethan, namun tangan kami masih berpegangan.

Gue melepas genggaman tangan itu setelah beberapa saat dan membuka ponsel untuk sekadar menghubungi Lucy, agar tidak terlalu canggung karena keheningan bersama Ethan.

“ayo berdiri, Izza.. kita turun sesudah pemberhentian ini!”

Gue yang asalnya menunduk fokus kepada ponsel, refleks berdiri dan mengikuti Ethan berjalan ke arah pintu.

Stasiun terakhir sebelum pemberhentian kami. Penumpang satu persatu turun dan diganti dengan penumpang baru. Tak ada yang aneh sama sekali buat gue, namun Ethan mematung kala itu.

Matanya terfokus pada seorang pria yang berdiri di luar pintu. Pria itu hendak masuk ke dalam kereta, namun ia urungkan dan malah berlari setelah ia melihat Ethan.

“Izza, saya turun disini.. kamu pulang sendiri, ya? Hati-hati!” ucapnya kemudian mengusap lengan gue pelan dan berlari mengejar pria tadi.

“Damar!!” samar-samar gue dengar, namun gue yakin Ethan menyebut nama itu.

“is he... his brother?!”


Pukul satu...

pukul dua....

pukul tiga.....

Ethan tak kunjung pulang.

Gue mengambil selimut dari kamar setelah berganti pakaian dan merebahkan tubuh sambil menyalakan televisi untuk menunggu Ethan.

Gue merasa harus, gue merasa perlu untuk menunggunya dan untuk menaruh perhatian padanya. Alasannya klise, kami tinggal serumah.

Apa yang terjadi pada Ethan dan pria yang ia kira kakaknya di luar sana? apakah akhirnya mereka berbincang dan menemukan titik terang?

Gue belum tahu.. dan mungkin gue tidak akan pernah tahu karena posibilitas Ethan bercerita tentang hal ini adalah kecil.

Dengan sekuat tenaga gue menahan kantuk dan bertekad untuk tidak tidur sebelum Ethan pulang.. namun karena hari ini cukup menguras tenaga gue, gue gagal.

Sebelum benar-benar terlelap, gue berdoa kepada tuhan.

“dimana pun Ethan berada, aku harap ia selalu Engkau lindungi.. Amin”

Memang klise, namun gue tak tahu harus berbuat apa lagi..

Memang lebay, namun gue merasa takut jika terjadi hal buruk pada Ethan..

Memang aneh, kenapa gue merasa Ethan adalah satu-satunya orang yang gue punya disini.. orang yang bisa gue andalkan.. orang yang menjadi rumah bagi gue.


#anti

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas wisuda sarjana Stefani.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harus nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani yang besar.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau rasa sakit masih ada sedikit tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan saja, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun ia disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia berikan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tidak bisa hadir.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! kita menikah di hari yang sama, Wir! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan buat papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Ia menyaksikan dengan matanya sendiri, Jeremy yang malam itu berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu..

Benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas wisuda sarjana Stefani.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harud nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau sedikit sakit masih ada tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan tasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia lakukan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tak bisa datang.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan bikin papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Jeremy yang berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu.. benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti

two sides of jeremy


Hujan yang turun tanpa aba-aba pada sore hari di awal bulan september 1994, membasahi bumi Yogyakarta.

Yasawirya yang berteduh di halte bus, melinting celana abu-abu nya agar tak terbasahi oleh bulir air yang jatuh.

“Iya, Pap! Stefani juga ngerti.. tapi kan aku baru kelas tiga SMA, Papi mau aku buru-buru nikah tuh gimana ceritanya sih, Pap!!”

Suara perempuan dari bilik telepon umum di halte itu terdengar samar-samar oleh Wirya. Ia awalnya sama sekali tidak mau tahu dan tak mau ikut campur, namun wanita yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya itu berjalan mendekatinya.

“Mas! punya uang koin lebih, enggak? aku masih harus bicara di telepon!”

Gadis itu tersenyum padanya. Dengan mata coklatnya yang indah, rambut hitam panjangnya yang dikepang, dan suaranya yang lembut... membuat Wirya hanyut dalam senyumannya.

“Mas? kok ngelamun? aku boleh minjem dulu uang koin nya?”

Wirya mengerjap dan cepat-cepat meraba seluruh saku kantong di pakaiannya.

“oh! ini ada, Kak!” ia serahkan beberapa koin itu.

Stefani mengerutkan dahinya karena Wirya yang memanggilnya dengan 'kak', namun terjawab oleh satu strip hitam di lengan kanan baju seragamnya, “oh, dia kelas satu”.

“Sebentar ya, Mas.. kamu jangan kemana-mana!”

Setelah sesi telepon berakhir, gadis itu kembali menghampiri dan berdiri di sampingnya.

“ini uangnya aku ganti” ucapnya sambil mengulurkan tangan dengan selembar uang kertas di genggamannya.

“eh? gak usah gak usah, Kak! aku ikhlas bantuin”

“lho kok begitu... mas nya nanti punya ongkos untuk pulang?”

“ada kok..”

“ya sudah, kapan-kapan saya jajanin mie ayam depan sekolah, ya? kita satu sekolah, kan?”

Wirya mengangguk, ia senang kala mendengar kata “kapan-kapan”, yang berarti ia akan bertemu lagi dengan gadis itu.

“aku Wirya, Yasawirya!” ia mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan.

“aku Stefani!” dengan senyumnya lagi, ia menjabat tangan Wirya.

Tak banyak obrolan di sore itu, hanya basa-basi biasa layaknya dua insan yang baru saja berkenalan.

“tulis nomor telepon rumah kamu!”

Stefani menyerahkan buku telepon kecil dan pena pada Wirya, yang langsung lelaki itu turuti.

“Senang bisa ngobrol sama kamu, Wir! sampe ketemu lagi ya!”

Stefani masuk ke dalam mobil yang dikemudikan oleh supir pribadi keluarganya.

Dan Wirya.. walau hujan sudah reda, walau bus tujuannya sudah ada, namun ia tetap mematung di halte itu... Memikirkan bagaimana caranya kembali pulang, sedangkan ia tak memegang uang sepeser pun.

*** “Mas Wirya? kenapa pulangnya malam-malam begini?” tanya salah satu adik perempuan nya yang berdiri di ambang pintu.

“tadi mas pulangnya jalan kaki, dek!” ia tersenyum hingga matanya membentuk sabit, membuka sepatunya satu persatu sambil berjongkok di teras.

“lho? kenapa nggak naik bus toh, le?” kali ini wanita paruh baya yang Wirya panggil 'Ibu' yang bertanya.

“tadi aku ketinggalan bus nya, Bu!”

Sang Ibu hanya ber-oh dan kembali masuk ke dalam setelah memintanya untuk mandi terlebih dulu sebelum makan malam.

Yasawirya tak punya pilihan lain selain berbohong. Kalau dirinya berkata bahwa ia tak punya uang untuk ongkos pulang, tentunya akan melukai hati sang Ibu.


Wirya mengerjapkan matanya beberapa kali, kala ia melihat Stefani melambaikan tangan padanya di depan kedai mie ayam depan sekolah.

“dia... melambai ke arah aku, kan?” batinnya.

setelah meyakinkan diri dengan menengok ke belakang dan tak ada manusia lain selain dirinya, akhirnya ia yakin lambaian itu adalah untuknya.

“hai, Kak!!”

Stefani hanya tersenyum sekilas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.

“ada waktu satu jam sebelum jemputanku datang, Wir! mau makan mie ayam?”

Yasawirya terdiam... ia heran kenapa tubuhnya bereaksi berlebihan. Jantung yang berdetak lebih cepat, hembusan napas yang berderu lebih kencang... hanya karena ajakan makan mie ayam bersama?

“Wirya? kok diem?”

“eh? oh itu, anu.. boleh”

“ayo!”

Gadis cantik itu menarik tangan Wirya tanpa penyesalan masuk ke dalam kedai.

“tenang, Wir! yang bayar biar aku aja!” Stefani tersenyum sambil membenarkan posisi rambutnya ke belakang telinga. Wirya yang duduk dihadapannya terkesima.

Sambil menunggu mie ayam pesanan mereka, obrolan kecil terus mengalir. Seperti menanyakan teman sekelas, kegiatan ekstrakurikuler dan segelintir topik ringan seperti guru matematika yang dikenal suka berbagi camilan, hingga petugas kebersihan yang sering ketiduran di semak-semak.

“nama kakak bagus, lho! Stefani Clarion.. kayak nama bule” Wirya tiba-tiba membahas nama, sedetik setelah membaca bordiran yang terukir di kemeja Stefani.

“hahahahaha”

“kenapa ketawa?” ia mengernyitkan dahinya.

“Clarion itu nama keluargaku.. Papi ku memang bukan orang Indonesia, tapi udah tinggal disini lamaaaa banget!”

“oalaaah...”

“namamu juga bagus, Wir! Ar-Rasyiid.. diturunkan dari bapakmu juga, ya?” gadis itu penasaran.

Diluar dugaan, Yasawirya terdiam beberapa saat hingga akhirnya ia kembali membuka suara.

“aku... nggak punya bapak dan ibu, Kak!”

“hah? oh? eh sorry sorry aku nggak tahu...” Stefani mengusap tangan Wirya yang berada di atas meja, menunjukkan rasa bersalahnya.

“gak masalah Kak, kan kamu nggak tahu..” ia tersenyum sampai matanya membentuk sabit, “Ar-Rasyiid itu nama panti asuhanku, semua anak yang tinggal disana.. nama panjangnya Ar-Rasyiid, Kak!”

“sodara mu ada berapa disana, Wir?”

“ada 15, Kak! hahaha.. aku tertua kedua!”

“woaaaa banyak banget! aku cuma punya kakak satu orang”

Obrolan mereka terpotong setelah dua mangkuk mie ayam datang dan kemudian dilanjutkan makan bersama dengan tenang.

Entah apa yang ada pada diri Stefani, ia mampu menghipnotis Wirya hanya dalam waktu sekejap. Yasawirya yang sebelumnya hanya seorang pemalu dan tidak bisa membuka diri pada orang baru, berubah menjadi pribadi yang terbuka dan santai ketika bersamanya.

Hari itu sangat menyenangkan bagi keduanya, walau mie ayam yang mereka nikmati tak termakan habis karena Stefani yang harus pulang tepat setelah supirnya datang. . .


Hari berganti hari, minggu berganti minggu.. tak sehari pun Yasawirya tak memikirkan Stefani. Ia bisa saja menghampiri gadis itu ke kelasnya, atau menyapa di kantin ketika makan siang, atau menulis surat kaleng yang kemudian ia tempel di mading sekolah seperti yang banyak orang lakukan. Namun ia tak se-berani itu.

Melihat Stefani yang selalu bergelimang kemewahan, dan dikelilingi teman-teman yang populer membuat Yasawirya kembali menjadi dirinya yang pemalu dan minderan.

“harus tahu diri ya, Wirya” batinnya setiap kali ia mengurungkan niat untuk menyapa Stefani.

Ia pikir... Stefani yang meminta nomor telepon nya dan Stefani yang mentraktirnya mie ayam adalah gadis yang ingin lebih dekat dengannya, tapi ternyata tidak sama sekali.

“Mas Wirya!! ada telepon!”

Wirya yang malam itu sedang mengerjakan latihan soal pada buku LKS, terperanjat dari duduknya dan refleks berlari menuju ruang telepon tepat setelah teriakkan salah satu adiknya.

“halo? Wirya?”

“iya.. ini siapa?”

“ini aku, Stefani”

Yasawirya terdiam beberapa saat. Senyumnya merekah, menandakan bahwa ia merasa senang setelah nama itu disebutkan.

Rasa senangnya semakin menggebu, karena Stefani yang mengajaknya bertemu di taman dekat panti asuhan nya.

Namun setelah ia melihat pujaan hatinya secara langsung, semuanya runtuh.

“Kak... kenapa nangis?”

Stefani bergetar, ia tak kuasa menahan tangisnya.

“Wirya.. tolong aku...”

“kenapa?”

“aku mau dijodohkan sama papi ku, aku bingung harus lari kemana aku nggak tahu lagi harus ngehubungin siapa aku takut” ucapan nya yang tergesa-gesa, matanya yang terus mengeluarkan air mata, membuat Wirya semakin panik.

“Kak... sekarang Kakak tarik napas..”

Stefani menurut.

“kakak kan masih sekolah.. kok dijodohkan?”

“aku baru disuruh kenalan doang, kata papi kita nikahnya 5 tahun lagi!”

Yasawirya kehabisan kata. Atmosfer yang awalnya mencekam karena ternyata wanita impiannya akan dijodohkan, berubah menjadi menggelikan.

“ih! kok ketawa sih, Wir?!”

“lucu, Kak! yaudah panik nya nanti aja 5 tahun lagi!”

“IHHHHH!”

“ya terus sekarang Kakak mau ngapain?”

“aku mau kabur dari rumah..”

“kemana?”

“boleh gak, aku nginep di panti asuhan kamu?”

Wirya terbelalak. Ia kaget setengah mati mendengar pertanyaan Stefani yang tanpa aba-aba itu. Tapi tetap ia jawab dengan “boleh, masih ada kasur kosong di kamar perempuan”.

Memang benar malam itu ia menginap di panti asuhan, berkenalan dan bercengkrama dengan seluruh keluarga Yasawirya. Namun esoknya ia kembali pulang ke rumah karena khawatir papi nya semakin memarahinya. Mohon dimaklumi karena remaja memang labil.


Wirya bisa mengingat dengan jelas, hari itu pukul 7 malam. Stefani tiba-tiba mengajaknya makan malam bersama, setelah sekian lama tidak bertemu karena kesibukan perkuliahan mereka.

“selamat ya, Kak! emang kakak udah kenal dia dari lama, ya?”

“baru 5 bulan, sih! nanti aku ajakin dia ya? biar kamu kenal dia.. biar dia kenal sama kamu, yang udah aku anggap sebagai adik sendiri!”

Binar mata Stefani ketika menceritakan kekasihnya pada Yasawirya, membuat lelaki yang duduk di hadapannya kini tak bisa berbuat apa-apa selain mengucap kata selamat.

Berteman bertahun-tahun, saling bercerita dan menjadi tempat berkeluh kesah... ternyata tak membuat Stefani membuka hati untuknya. Ia tetap hanya seorang adik di mata gadis itu.

“tapi...” Stefani menghela napas kemudian menunduk.

“tapi apa, kak?”

“papi ku..”

“pacar kakak... apa udah ketemu sama Papi?”

Stefani menggelengkan kepalanya.

“saranku, kakak harus terbuka sama hal ini. Siapa tau, kalau kakak bilang udah punya pacar... Papi akan batalin buat jodihin kakak sama anak temennya?”

Stefani menghela napasnya, kemudian mengangguk.

Setelah beberapa minggu dari hari itu, Wirya datang ke rumah Stefani untuk mengucapkan selamat atas kelulusannya.

“Papi bilang apa? Giano itu gak pantas buatmu? kenapa susah banget sih buat nurut? kalau papi bilang kamu harud nikah sama lelaki pilihan papi, ya nurut!”

“Pap... aku bisa pilih calon pendampingku sendiri!”

Wirya yang mematung beberapa menit di ambang pintu, tak sepenuhnya percaya diri.. namun ia tetap memberanikan diri masuk dan bergabung dalam obrolan panas itu.

“om, saya Yasawirya.. teman kak Stefani”

Baik Stefani dan papi nya terkejut karena Wirya yang datang tanpa permisi.

Wirya berlutut di hadapan papi Stefani “Kak Stefani bahagia bersama pilihannya, Om!.. bukan maksud saya ikut campur urusan keluarga om, tapi saya merasa berhak memperjuangkan kebahagiaan teman saya.. Kak Stefani yang selalu saya anggap sebagai Kakak saya sendiri

Lelaki paruh baya itu tak membuka mulutnya, ia hanya mendengus dan meraih telepon di sebelahnya “security tolong bawa anak gak tahu diri ini keluar!”

Stefani terkejut bukan main. Ia menahan Yasawirya dengan susah payah namun tenaga nya terlalu lemah jika dibandingkan security rumahnya.

Wirya.. aku minta maaf..” adalah kalimat yang terakhir kali Wirya baca dari gerak bibir Stefani. Setelah itu mereka tak pernah bertemu lagi..


* * Binar mata yang sama, masih ada pada mata wanita itu. Saat netra nya tak sengaja bertemu dengan milik Wirya, di rest area Tasikmalaya pertengahan tahun 2004.

“udah berapa bulan, kak?” tanya Wirya penasaran.. setelah melihat perut Stefani.

“lima, Wir!”

Yasawirya tersenyum untuk menyampaikan rasa bahagianya, walau sedikit sakit masih ada tertinggal.

“maaf aku gak ngundang kamu ke pernikahanku...”

Awalnya lelaki itu ingin mengiyakan, namun ia tidak ingin dihantui pertanyaan “kenapa, kak? kenapa aku nggak diundang?”

Stefani diam sejenak, “aku dan Giano.. nikah siri”

Yasawirya menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya, ia tak bisa menyembunyikan tasa terkejutnya.

“seenggaknya, aku dan dia berakhir bersama..” Stefani tersenyum sambil mengusap perutnya.

“Kak, aku boleh minta nomor hp kakak?” ia menyodorkan ponselnya.

“tunangan mu.. gak akan marah kalo kamu minta-minta nomor perempuan lain, Wir?”

“lho? aku belum cerita aku udah tunangan!”

“aku bisa liat cincin di jari kamu!”

Keduanya hanya tersenyum canggung, saling bertukar nomor, kemudian berpisah dan kembali menjadi orang asing.

Beberapa bulan setelah itu, Yasawirya mendapat kabar bahwa Giano meninggal dunia... sehari sebelum Stefani melahirkan putranya.

Bukan tak ingin datang menghibur Stefani, namun disibukkan dengan persiapan pernikahannya. Hanya ucapan belasungkawa via sms yang bisa ia lakukan.

Sehari sebelum hari pernikahan Yasawirya, Stefani berkata bahwa ia tak bisa datang.. dengan alasan gila yang membuat Wirya tak dapat mengontrol emosinya.

“aku tetap dinikahkan dengan lelaki pilihan Papi, besok aku ke Batam buat menikah! :D aku fikir, statusku yang seorang janda dan seorang Ibu, akan bikin papi berhenti.. nyatanya enggak! Btw selamat buat pernikahanmu!”

Satu sms itu sukses membuat Wirya kesal dan marah pada dunia, tapi ia bisa apa...

Setelah itu.. benar-benar tak ada lagi Yasawirya dan Stefani sebagai dua insan yang saling bergantung.... mereka sudah terpisahkan sepenuhnya oleh takdir.


Tertegun, terkejut bukan main... kala Yasawirya menemukan kembali binar mata itu..

“om, jangan lempar kesitu bola nya! yah payah banget!!!”

Atmosfer yang diciptakan oleh anak bernama Jeremy itu pun, mengingatkannya pada masa lalu nya.

“makasih ya om, udah anterin pulang!”

Jeremy yang berlari masuk ke rumahnya kemudian disambut oleh sang Ibu.. benar saja, firasatnya benar. Jeremy adalah putra Stefani.


#anti

two sides of jeremy


“kok wajahnya ditekuk begitu? enggak seneng ya ketemu aku, La?”

Syahla dengan jelas dapat membaca tatapan nanar dari sorot mata Jeremy, seperti menyimpan setumpuk cerita yang sulit tersampaikan.

“aku tuh bingung aja sama kamu, kok bisa-”

“naik dulu aja, abis ini kamu gak akan bingung” Jeremy menepuk jok motornya mengisyaratkan agar Syahla segera duduk disana.

“kamu oke kan, Jer?”

“aku?..... boleh peluk dulu gak biar aku jadi oke?”

Syahla menghela napasnya, meluapkan segala kekesalan yang ada pada dirinya, dan mengalah pada ego nya.

“sini” ia membuka kedua tangannya di hadapan Jeremy yang masih duduk di motornya, yang sedetik kemudian lelaki itu bangkit dan masuk ke dalam peluk yang selalu ia rindukan.

“aku takut, La...”

Syahla mengusap punggung Jeremy pelan, menyalurkan rasa empati pada kekasihnya yang ketakutan, meskipun ia tak tahu apa penyebabnya.

“gapapa, ada aku disini”


Hari rabu kala itu, ketika Jeremy berkumpul bersama teman-teman ekstrakurikuler PMR, satu panggilan masuk dari Hitto membuatnya terkejut bukan main.

“Jer, tante Stefani pingsan”

Mau tak mau, suka tak suka, ia lari terbirit menuju motornya yang terparkir. Ia ingin segera berada di samping sang Ibu.

Kekesalannya membuncah kala mendapati Stela yang muncul entah dari mana dan meminta tumpangan.

“Jer, please tolongin aku.. anterin aku pulang. aku lagi mens, terus nembus”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya, “gue juga lagi buru-buru Stel!”

“sebentar aja, Jer..”

Jeremy dengan rasa tidak tegaan nya “yaudah”

Helaan napas kasar Jeremy sudah pasti terdengar oleh Stela, namun gadis itu tak peduli.

“gue bakal ngebut, lo jangan protes. kalo protes, gue turunin di tengah jalan!”

“iya iyaaa Jeremyyyy”

Tak ada kejadian spesial antara Jeremy dan Stela di hari itu. Sebatas penumpang dan yang memberi tumpangan, tak lebih. Hanya saja kekesalan Jeremy membuat beban motornya menjadi lebih berat, dan lajunya melambat. “helm itu gue beli khusus buat Ala” gerutu nya dalam hati.

Dan rasa menyesal karena tidak jadi membelikan Syahla seporsi batagor malam itu, mengganjal di hati nya hingga sekarang.


Detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar samar-samar, karena sudah mulai sepi pembesuk. Syahla membiarkan Jeremy bercerita, tanpa protes dan tanpa bertanya.

“malem itu, mommy dibawa ke rumah sakit..”

Syahla tak menanggapi, ia hanya dengan seksama mendengarkan, sambil sesekali mengusap punggung Jeremy yang duduk di samping kirinya.

“di perjalanan ke rs, hp ku jatuh.. hilang... aku enggak bisa ngabarin kamu lagi sehabis itu”

Syahla menghela napasnya, merasa lega.

“kok kamu kaya yang seneng abis denger hp ku ilang, La?”

“bukan seneng, cuman aku lega aja.. aku pikir aku udah gak berharga buat kamu, makanya aku engga dikabarin”

“enggak lah sayang...”

“terus terus”

“ya gitu, aku mau beli hp baru belum sempet karena mommy masih harus selalu didamping”

Syahla hanya merespon dengan anggukkan.

“mommy....” Jeremy menunduk, ia tak tahu harus memulai ceritanya dari mana.

“kalo kamu belum bisa cerita, kamu gak perlu ceritain.. ngeliat kamu sekarang aja udah bikin aku tenang. Aku gak perlu tau lebih jauh lagi”

Jeremy bangkit dari duduknya, diulurkan tangan kanannya pada Syahla. Ia mengajak wanita nya ke tempat lain.

“dokter masih belum ngerti tentang sakit mommy, apalagi aku.. dokter bilang masih harus dilakuin x-ray scan ke kepala mommy..”

Syahla menatap iba lewat kaca pintu ruang inap pada Stefani yang tertidur dengan infusan menancap di tangan kirinya.

“sepulang dari Batam terakhir kali, mommy jadi suka ngelamun. Dan parahnya.. beberapa hari sebelum di bawa ke sini, mommy jadi suka teriak-teriak tanpa sebab. Mommy bahkan suka bahas kematian gitu La, aku takut..”

Digenggamnya tangan Jeremy, untuk menyalurkan kekuatan pada kasihnya itu.

“kenapa kamu gak bilang lebih awal? aku kan bisa nemenin kamu disini”

“aku.. aku gak bisa mikir.. aku cuma fokus ke mommy doang.. maaf ya La”

Lelaki itu menunduk dengan rasa bersalah yang teramat banyak membebani nya.

Syahla lagi-lagi mengusap tangan Jeremy dan berkata bahwa ia tak marah, dan meyakinkan lelakinya itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dua sejoli itu masuk ke ruangan kala Stefani membuka perlahan matanya dan memanggil nama Jeremy perlahan.

“Emy disini, mom”

“sayang, sudah makan?”

Jeremy mengangguk, kemudian ditariknya Syahla mendekat pada sang Ibu.

“ini Syahla.. yang sering Emy ceritain...”

“cantiknya anak mommy!”

Syahla tersenyum, mengelus telapak tangan Stefani yang lemas sebagai tanda salam.

“semoga lekas sembuh ya... mommy?”

“makasih sayang..” ia belai lembut surai coklat milik Syahla sambil menatapnya dengan penuh rasa syukur.

Ruangan itu hening beberapa saat, bahkan suara deru napas Stefani yang lemah bisa dengan jelas terdengar.

“Mommy, aku anter Syahla pulang dulu ya udah malem banget” ucap Jeremy memecah keheningan.

“gak usah, Jer! aku udah minta tolong dijemput Ayah”

“aku udah janji bakal anterin kamu pulang ke Ayah lohh..”

“kamu pasti cape.. tidur aja yaa? istirahat, besok aku kesini lagi!”

Syahla keluar dari ruangan itu setelah berpamitan dan sedikit debat kecil dengan Jeremy.

“loh? Ayah kok ada disini?”

Pupilnya melebar kala mendapati sang ayah yang duduk di kursi tepat di depan ruang inap Stefani.

“kan Ayah mau jemput kakak”

“aku kan gak bilang ruangan tante Stefani disini?”

“Jeremy yang ngasih tau Ayah nomor kamarnya..”

Syahla hanya mengangguk paham, kemudian menggandeng tangan ayahnya dan kembali pulang ke rumah.


#anti

two sides of jeremy


“kok wajahnya ditekuk begitu? enggak seneng ya ketemu aku, La?”

Syahla dengan jelas dapat membaca tatapan nanar dari sorot mata Jeremy, seperti menyimpan setumpuk cerita yang sulit tersampaikan.

“aku tuh bingung aja sama kamu, kok bisa-”

“naik dulu aja, abis ini kamu gak akan bingung” Jeremy menepuk jok motornya mengisyaratkan agar Syahla segera duduk disana.

“kamu oke kan, Jer?”

“aku?..... boleh peluk dulu gak biar aku jadi oke?”

Syahla menghela napasnya, meluapkan segala kekesalan yang ada pada dirinya, dan mengalah pada ego nya.

“sini” ia membuka kedua tangannya di hadapan Jeremy yang masih duduk di motornya, yang sedetik kemudian lelaki itu bangkit dan masuk ke dalam peluk yang selalu ia rindukan.

“aku takut, La...”

Syahla mengusap punggung Jeremy pelan, menyalurkan rasa empati pada kekasihnya yang ketakutan, meskipun ia tak tahu apa penyebabnya.

“gapapa, ada aku disini”


Hari rabu kala itu, ketika Jeremy berkumpul bersama teman-teman ekstrakurikuler PMR, satu panggilan masuk dari Hitto membuatnya terkejut bukan main.

“Jer, tante Stefani pingsan”

Mau tak mau, suka tak suka, ia lari terbirit menuju motornya yang terparkir. Ia ingin segera berada di samping sang Ibu.

Kekesalannya membuncah kala mendapati Stela yang muncul entah dari mana dan meminta tumpangan.

“Jer, please tolongin aku.. anterin aku pulang. aku lagi mens, terus nembus”

Lelaki itu mengernyitkan dahinya, “gue juga lagi buru-buru Stel!”

“sebentar aja, Jer..”

Jeremy dengan rasa tidak tegaan nya “yaudah”

Helaan napas kasar Jeremy sudah pasti terdengar oleh Stela, namun gadis itu tak peduli.

“gue bakal ngebut, lo jangan protes. kalo protes, gue turunin di tengah jalan!”

“iya iyaaa Jeremyyyy”

Tak ada kejadian spesial antara Jeremy dan Stela di hari itu. Sebatas penumpang dan yang memberi tumpangan, tak lebih. Hanya saja kekesalan Jeremy membuat beban motornya menjadi lebih berat, dan lajunya melambat. “helm itu gue beli khusus buat Ala” gerutu nya dalam hati.

Dan rasa menyesal karena tidak jadi membelikan Syahla seporsi batagor malam itu, mengganjal di hati nya hingga sekarang.


Detak jam dinding di ruang tunggu rumah sakit terdengar samar-samar, karena sudah mulai sepi pembesuk. Syahla membiarkan Jeremy bercerita, tanpa protes dan tanpa bertanya.

“malem itu, mommy dibawa ke rumah sakit..”

Syahla tak menanggapi, ia hanya dengan seksama mendengarkan, sambil sesekali mengusap punggung Jeremy yang duduk di samping kirinya.

“di perjalanan ke rs, hp ku jatuh.. hilang... aku enggak bisa ngabarin kamu lagi sehabis itu”

Syahla menghela napasnya, merasa lega.

“kok kamu kaya yang seneng abis denger hp ku ilang, La?”

“bukan seneng, cuman aku lega aja.. aku pikir aku udah gak berharga buat kamu, makanya aku engga dikabarin”

“enggak lah sayang...”

“terus terus”

“ya gitu, aku mau beli hp baru belum sempet karena mommy masih harus selalu didamping”

Syahla hanya merespon dengan anggukkan.

“mommy....”

“kalo kamu belum bisa cerita, kamu gak perlu ceritain.. ngeliat kamu sekarang aja udah bikin aku tenang. Aku gak perlu tau lebih jauh lagi”

Jeremy bangkit dari duduknya, diulurkan tangan kanannya pada Syahla. Ia mengajak wanita nya ke tempat lain.

“dokter masih belum ngerti, apalagi aku.. dokter bilang masih harus dilakuin x-ray scan ke kepala mommy..”

Syahla menatap iba lewat kaca pintu ruang inap pada Stefani yang tertidur dengan infusan menancap di tangan kirinya.

“sepulang dari Batam terakhir kali, mommy jadi suka ngelamun. Dan parahnya beberapa hari sebelum di bawa ke sini, mommy jadi suka teriak-teriak tanpa sebab..”

Digenggamnya tangan Jeremy, untuk menyalurkan kekuatan pada kasihnya itu.

“kenapa kamu gak bilang lebih awal? aku kan bisa nemenin kamu disini”

“aku.. aku gak bisa mikir.. aku cuma mikirin mommy aja.. maaf ya”

Lelaki itu menunduk dengan rasa bersalah yang teramat banyak membebani nya.

Syahla lagi-lagi mengusap tangan Jeremy dan berkata bahwa ia tak marah, dan meyakinkan lelakinya itu bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Dua sejoli itu masuk ke ruangan kala Stefani membuka perlahan matanya dan memanggil nama Jeremy pelan.

“Emy disini, mom”

“sayang, sudah makan?”

Jeremy mengangguk, kemudian ditariknya Syahla mendekat pada sang Ibu.

“ini Syahla.. yang sering Emy ceritain...”

“cantiknya anak mommy!”

Syahla tersenyum, mengelus telapak tangan Stefani yang lemas sebagai tanda salam.

“semoga lekas sembuh ya, tante”

“makasih sayang..”

Ruangan itu hening beberapa saat, bahkan suara deru napas Stefani yang lemah bisa dengan jelas terdengar.

“Mommy, aku anter Syahla pulang dulu ya udah malem banget” ucap Jeremy memecah keheningan.

“gak usah, Jer! aku udah minta tolong dijemput Ayah”

“aku udah janji bakal anterin kamu pulang ke Ayah lohh..”

“kamu cape.. tidur aja yaa istirahat, besok aku kesini lagi!”

Syahla keluar dari ruangan itu setelah berpamitan..

“loh? Ayah kok ada disini?”

Pupilnya melebar kala mendapati sang ayah yang duduk di kursi tepat di depan ruang inap.

“kan Ayah nungguin kakak”

“aku kan gak bilang ruangan tante Stefani disini?”

“Jeremy yang ngasih tau Ayah nomor kamarnya..”

Syahla hanya mengangguk paham, kemudian menggandeng tangan ayahnya dan kembali pulang ke rumah.


#anti

two sides of Jeremy


Ada banyak hal yang menyenangkan di bumi, dari sekedar bersilaturahmi hingga menikmati pedasnya kuah indomie. Namun bagi Syahla saat ini, tak ada yang lebih menyenangkan dari pada kehadiran sosok Jeremy.

Siswa yang namanya banyak tertulis di 'buku hitam' sekolah itu, sama sekali tak pernah membuat Syahla muram. Kebalikannya, Jeremy justru selalu mewarnai hari-hari Syahla belakangan ini.

Sekadar Jeremy yang menyapanya dari pagi ke pagi, menunggunya di atas jok motor walau terkena paparan sinar mentari, dan kiriman camilan siang yang Jeremy titipkan pada KM kelas Syahla setiap hari. Lebih dari cukup untuk membuktikan kesungguhan hati lelakinya, dan ia selalu bersyukur tentang itu.

“Ayah pernah bilang, kalo ada yang nyakitin perasaan aku.. aku harus laporan”

“Alhamdulillah kalo gitu, La. aku gak akan pernah dilaporin”

“emangnya kamu yakin, Jer? kamu yakin gak akan nyakitin aku?”

“loh kamu lupa isi notes di mawar putih yang tempo hari aku simpen di atas meja kelas kamu?”

“LOH ITU DARI KAMUU?!!!!”

“hehehehehe”

“tapi aku gak kaget sih, Jer”

“kok gak kaget?”

“karena aku udah nebak itu dari kamu”

“yahh gak surprise dong”

“gapapa gak surprise juga! Aku tetep salting kok, Jer”

kemudian tangan Syahla ditarik oleh Jeremy agar melingkari pinggangnya, yang duduk di belakangnya tidak protes sama sekali.

Mereka tertawa bersama sepulang sekolah sore itu, bersamaan dengan langit yang mulai menggelap. Namun di atas motor vario hitam itu tetap bersinar. karena helm mereka yang berwarna kuning, seperti bebek kembar.

Usapan tangan Jeremy di pucuk kepala Syahla setiap sore hari di depan lobi apartemen, adalah hal yang paling Syahla sukai sekaligus ia benci.. karena itu tanda bahwa Jeremy akan berlalu pergi, untuk kemudian bertemu lagi di esok hari.

*** “Jer! kamu kalo memang mau pacaran sama Syahla, om gak masalah... asalkan dijaga baik-baik aja”

Yang kemudian hening setelahnya. Jeremy dan Syahril yang menggenggam joystick malam itu fokusnya menjadi buyar, mereka saling menatap dan Syahril tak dapat membendung tawanya.

Sang Ayah kebingungan dan spontan bertanya pada anak bungsunya itu.

“loh kenapa dek? memangnya Ayah salah bicara, ya?”

“bukan gitu, Ayah! tapi ya gatau lah.. tanya aja ke Ala sana!”

“aku sama Jeremy memang udah pacaran, Ayah”

Celetuk Syahla tanpa pikir panjang lalu menyeruput coklat panas di genggamannya.

“lohhhh.... kok ga cerita sih, Kak?” sahut sang Bunda yang sedang memotong buah persik di dapurnya.

“ya gapapa, toh Ayah sama Bunda juga udah tau Jeremy kaya gimana..”

Rasanya bukan main.

Seperti ada ribuan semut yang merayap di dalam tubuh Jeremy. Merinding.

“aduh ini gue harus ngapain sekarang”

“aduh Ala kenapa nyeletuk begitu sih!!”

“DENGAN MENYEBUT NAMA ALLAH TUHAN YANG MAHA ESA”

Jeremy bangkit dari duduknya. Ia berdiri di hadapan Ayah dan Bunda lalu berlutut

“Saya Jeremy Briliandy, di hadapan Om dan Tante, di hadapan Syahril dan Syahla. Saya tidak bisa berjanji untuk tidak menyakiti Syahla, namun saya berjanji... akan menjadi versi terbaik diri saya untuk menjaganya”

hening....

“tapi kalo beliin Syahla lamborghini, saya belum mampu”

Ia menunduk sambil ber-orasi di hadapan satu keluarga itu, yang membuat semuanya tertawa terbahak bukan main.

“udah-udah!! nih semuanya makan dulu buahnya, udah Bunda potongin..”

Jeremy masih di posisinya, tak berkutik. Hingga akhirnya Ayah menghampiri dan merangkulnya.

“panggil Ayah Bunda aja, jangan Om Tante, ya?”

“i.. iya” tubuhnya bergetar dari tumit sampai ubun-ubun.

Malam itu menjadi malam yang melegakan sekaligus menguji adrenalin bagi Jeremy.

*** “Ala, mau nonton film apa?”

“udah ada disini aku malah bingung, Jer”

“yaudah pilih aja ayo, keburu tayang nih”

“kok kamu terus nyuruh aku buat pilih film nya sih, Jer! kan yang mau nonton kita berdua?”

Jeremy terdiam... untuk pertama kalinya Syahla meninggikan suara padanya, di lorong bioskop XXI Braga City Walk malam minggu itu.

Ia meraih tangan Syahla lalu mengusapnya pelan..

“ya udah.. aku minta maaf ya? gimana kalo kita nonton film ini aja?”

Dengan berhati-hati ia menatap Syahla, dan wanitanya luluh juga.

“Jer... aku gak maksud buat bentak kamu.. aku gak sengaja”

“gapapa.. nanti pulangnya beli kiranti dulu, ya?”

“IHHHHH!!!!”

“bercanda atuh sayang...”

Usilnya sambil mencubit kedua pipi Syahla, tanpa menghiraukan orang lain yang berlalu lalang.

“sakit ihhh!!!”

“hahaha, aku pesen dulu tiket ya? kamu duduk aja disini”

“mau ikut pesen juga”

“gak usah, pegel nanti kamunya.. liat antriannya panjang, kamu duduk aja”

Sebelum Syahla membuka suara, Jeremy berlari masuk ke antrian dan menoleh satu menit sekali untuk mengecek pacarnya sambil tersenyum.

Jeremine🧡 gak usah senyum balik, nanti banyak yg naksir

Usaha Jeremy gagal, yang duduk di seberang sana malah semakin menjadi senyumnya.

*** Hari pertama sebagai siswa kelas sebelas, mereka datang ke sekolah dengan hati menggebu-gebu dan semangat baru. Tapi tetap saja ada hal yang terlewatkan.

“teman-teman kalian yang berdiri di depan ini adalah contoh siswa yang tidak peduli pada diri sendiri, yang rasa tanggung jawabnya masih minim sekali! semoga di masa depan kalian bisa jauh lebih baik!”

Ucap pembina upacara pada orasi di hari pertama masuk sekolah.

Syahla menghela napas panjang, karena Jeremy juga ada di depan sana.

Setelah ia tanya apa penyebab Jeremy berdiri disana, lelaki itu hanya menjawab “aku gak bisa kalo biarin Helmi sama Leo berdiri disana tanpa aku” dengan tanpa penyesalan.

“aku bawa topi.. tapi harga diriku gak penting kalo temen-temenku gak ada disampingku, Ala!”

Karena terlalu terbiasa menghadapi Jeremy yang sopan dan lembut, Syahla kadang lupa. Lupa kalau Jeremy tetaplah Jeremy. Yang berjiwa muda, yang menggebu-gebu, yang selalu menempatkan orang lain di atas dirinya, dan yang tak takut akan hukuman.

Helaan napas Syahla yang lain di hari pertama sekolah adalah ketika semua orang di koridor menatapnya dengan menghakimi.

“oh ini pacarnya Jeremy

“Kok Jeremy mau sama dia”

“kirain Jeremy deketnya sama yang itu”

“anak baik-baik gak sih kayaknya? Jeremy kan bandel.. kok mau”

dan masih banyak lagi.

Ia memilih tak menggubris hal itu, karena sama sekali tidak mempengaruhi hidupnya serta hubungannya dengan Jeremy.

“aku gak peduli sama itu, Jer! kamu yang apa adanya udah lebih dari cukup”

*** Syahla bersama dengan seorang kakak kelasnya mengangkat karung berisikan pupuk, untuk disimpan kembali ke tempatnya.

“habis ini boleh istirahat dulu ya, Syahla”

“oke, kak!”

“gabung pecinta lingkungan mah memang gini ya.. angkat-angkat pupuk, kalau engga ya nyiram di taman. hehehe”

“gapapa kak, aku fine aja kok.. sekalian olah raga”

Mereka berpencar setelah menyimpan buntelan yang berbau tak sedap itu di gudang.

Syahla berjalan kembali ke ruang ekskul melewati auditorium, dan netranya menangkap sang pacar tengah tertawa bersama teman-temannya sambil membuat tandu. Jeremy yang mengenakan kaos hitam, kalung rantai dan topi baseball yang dipakai backwards, sangat mencolok dibandingkan dengan yang lain di lapangan.

Lelaki itu melambai dan melompat-lompat kala melihat Syahla. energi nya tak pernah habis.

Berjalan sambil tersenyum layaknya remaja kasmaran yang terbius atmosfer cinta pertama, bahkan jika tersungkur pun tak akan Syahla rasakan sakit. Tak tahu merek pembius apa yang Jeremy gunakan, sampai-sampai membuatnya sangat bahagia meski hanya di ajak makan batagor sepulang kegiatan ekstrakurikuler.

“Syahla! itu bukannya pacar lo, ya?”

Suara di sudut ruangan ekskul yang jendela nya menghadap ke kedai bakso arip —tempat Jeremy memarkirkan motornya—, membuat Syahla dan semua orang yang ada di ruangan itu melihat eksistensi Jeremy. Lelaki itu menyerahkan helm kuning, yang ia bilang khusus untuk Syahla.. kepada orang lain.

“katanya mau makan batagor bareng, Jer...”

Sebetulnya, hatinya sangat remuk, ia sangat marah, dan cemburu. Terlebih karena orang lain yang memakai helm nya adalah Stela, yang selalu berusaha mengambil Jeremy darinya.

Namun ia tetap berusaha tenang. “iya, itu pacar gue.. lagi ada perlu kayanya”

Dan topik itu diakhiri sampai disana. Mereka kembali melanjutkan kegiatan ekskul yang sebetulnya hampir selesai itu.

*** “maaf aku gak bilang dulu kalo harus pulang duluan..”

“urgent, Ala.. aku gak bisa kalo gak pergi”

“soal Stela.. maaf yaaa.. besok aku beli lagi helm baru”

Namun tak ia jelaskan sama sekali, apa yang terjadi dibalik “urgent” nya itu.

Setelah pertengkaran malam itu, hingga besoknya, hingga lusa nya.. Jeremy tak menghubungi Syahla sama sekali.

“Jeremy gak masuk” “hari ini juga Jeremy gak masuk sekolah” Ucap Syahril selama dua hari itu tanpa Syahla tanya.

Apa sangat sulit bagi Jeremy sekadar memberi tahu apa yang terjadi? atau sesimple memberi tahu keberadaan nya sekarang dan apakah ia baik-baik saja?. lelaki itu sukses besar membuatnya cemas.

Skenario buruk tak henti-henti Syahla bayangkan. Ia berimajinasi tentang sang kekasih yang membuat hatinya sakit sekarang, namun tak sampai harus dilaporkan kepada Ayahnya. Ia masih bisa menahan.

“Jer, apa aku ada salah?”


#anti

Housemates.


Adalah hal yang sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk menjalin hubungan yang disebut 'pertemanan' bersama orang lain. Saya tidak bisa berbasa-basi, saya takut menyinggung perasaan orang lain, saya takut dianggap sok akrab.

Tiga tahun lebih menetap di London, saya sama sekali tidak memiliki sosok itu. Banyak orang silih berganti tinggal serumah dengan saya, namun tak pernah ada obrolan dengan mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sama kuper nya seperti saya.

Hingga akhirnya Izza datang.

“Ethan, sarapan”

“Ethan, tolong”

“good morning, my super handsome Ethan...”

“gue buatin buat lo, ya?”

“gue masakin, ya?”

dan masih banyak lagi celotehan yang menempatkan dirinya seolah sangat bergantung pada saya, mempercayai saya, dan sangat peduli pada saya.

Sempat saya merasa risih di hari-hari pertama, karena tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Namun karena si dia yang selalu bergerak, selalu memulai, selalu protes akan sikap saya yang tidak responsif.. saya perlahan mulai membuka diri.

Malam itu saya berlari dengan hati yang gelisah dari stasiun kereta menuju rumah, karena Izza berkata bahwa ada orang lain bersamanya disana. Kegelisahan itu berlanjut dengan saya yang menunggu kepulangan Izza dari tempat kerja di hari-hari berikutnya, dan di minggu-minggu berikutnya dan kemudian menjadi rutinitas saya.

Saya bahkan memberi pukulam dan meninggalkan bekas memar di wajah pemabuk jalanan yang melecehkan Izza. Kenapa saya jadi se-peduli ini?.

“apa dia pulang dengan selamat?”

“apa dia butuh bantuan?”

“bukannya ini jam dia pulang kerja?”

Konyol, saya melakukan kegiatan itu setiap hari seolah Izza adalah tanggung jawab saya, seolah saya adalah penjaganya.

“lo ngapain berdiri disitu tiap hari?” yang kemudian hanya akan saya acuhkan, lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

“lo serius bayar gue 20 pounds buat sekali nyuci? gak kebanyakan emang?” yang kemudian hanya akan saya balas dengan gelengan kepala.

“EXPECTO PETRONUM!! WINGARDIUM LEVIOSA! gue udah bisa masuk hogwarts belum?” yang kemudian akan saya tampilkan wajah meringis padanya.

“Ethan, gue itu udah rela jalan ke tempat pizza demi beliin lo. demi share uang gaji gue.. kok malah gue juga yang makan pizza nya?”

“that's fine, Izza. you still can give me anything next month”

Sering kali saya mendapati wajah Izza yang kebingungan kala saya memulai percakapan dengannya. Bisa saya lihat dari matanya yang melotot, atau tiba-tiba ketikannya yang disetting dengan keyboard capslock.

“udah lama berdiri disitu?”

“lumayan”

“lo kenapa senyum-senyum?”

“cause I finally can see you again.. after a day long?”

“apasih?!”

mata si dia melotot lagi, ditambah dengan tangan dinginnya yang memukul lengan saya dengan pelan.

“katanya mau take a walk? ayo!”

Kami berjalan di tengah dinginnya malam kota London tanpa tujuan. Beriringan dengan para pencari nafkah yang akhirnya kembali pulang ke rumah, bersama dengan para pemabuk yang sudah menjadi pemandangan lumrah, dan ada juga beberapa tupai liar menyapa kami dengan ramah.

“Izza, kamu sebelum dateng ke UK, pernahkah kepikiran tinggal disini? satu rumah sama orang asing kayak saya.. dan kebetulan orang Indonesia?”

“lo serius mau bahas ginian?”

“aneh ya saya bahas begini... kan saya pernah bilang waktu kita nonton tv bareng tempo hari..”

“apa? “saya mau mencoba jadi manusia yang membuka topik obrolan lebih dulu”, yang itu?”

Saya hanya merespon nya dengan anggukkan.

“ini apa jangan-jangan udah lo siapkan matang-matang kayak sidang skripsi?”

“enggak!”

Kami tertawa terbahak bersama, di atas kursi besi jalanan dan diterpa angin malam.

Saya lupa kapan terakhir kali bercengkrama seperti ini.. beberapa tahun ke belakang, yang saya lakukan hanyalah mengucap “terima kasih, maaf dan tolong” kepada sopir bus, kepada pelayan restoran, kepada penjual es krim di pinggir jalan.. Bahkan saya pernah tidak mengucap sepatah kata pun seharian penuh. menyedihkan.

“ummm... gue.. gue mah hidup dibiarkan mengalir apa adanya aja, Than! lagian gue ke UK juga karena kabur”

Saya mengernyitkan dahi saya, masih mencerna kalimat yang keluar dari bibir Izza.

“Ethan, gue dihantui telunjuk mami gue kalo tinggal di Indonesia”

“oh iya?”

“gue mau dijodohin sama anak kolega bisnisnya”

“pfft—”

“Ethan?! lo ngetawain gue?!!”

“enggak!!”

“gue juga bisa liat ya!!!”

“sama kalo gitu... saya juga pergi kesini karena kabur”

“kabur dari apa?”

“harta warisan”

“hah? gimana?”

my dad passed away 4 years ago.. and I'm here looking for my biological brother.. he went to London since long time ago, and he never come back. dia yang lebih layak dapet warisan karena anak tertua.. tapi masalahnya adalah..”

“adalah?”

“apa saya bisa percaya kamu..?”

“eh? it's up to you..

“kakak kedua saya, dia gak rela kalo warisan kita dibagi ke kakak sulung kami. Dia bilang, si sulung udah gak layak dapat harta papa karena he leave us? padahal I don't think dia melarikan diri tanpa kabar setelah kuliah.. mungkin ada kendala yang terjadi..”

“ow.. it's complicated”

“same as you, Izza”

“not really, Ethan”

“but kinda”

“kalo lo gimana?”

“gimana yang mana?”

“soal serumah sama gue?”

“oh.. saya awalnya males, karena kamu berisik”

Izza melotot ke arah saya untuk yang kesekian kalinya.

“tapi semakin hari semakin seneng.... soalnya ada yang cuciin baju”

“HEHHH!!!!”

Izza terkekeh lagi setelahnya..

“so, Ethan.. since we have same background and promblems, can we talk often from now on?”

“memang tujuan saya ngajak kamu ngobrol itu adalah ini, Izza”

“ini? yang mana?”

“yang talk often with you

“mantap! kalo gitu, boleh ga bayaran laundry nya jadi 30 pounds?”

“IZZA!!!”


#anti

Housemates.


Adalah hal yang sulit, bahkan sangat sulit bagi saya untuk menjalin hubungan yang disebut 'pertemanan' bersama orang lain. Saya tidak bisa berbasa-basi, saya takut menyinggung perasaan orang lain, saya takut dianggap sok akrab.

Tiga tahun lebih menetap di London, saya sama sekali tidak memiliki sosok itu. Banyak orang silih berganti tinggal serumah dengan saya, namun tak pernah ada obrolan dengan mereka. Mungkin mereka adalah orang-orang yang sama kuper nya seperti saya.

Hingga akhirnya Izza datang.

“Ethan, sarapan”

“Ethan, tolong”

“good morning, my super handsome Ethan...”

“gue buatin buat lo, ya?”

“gue masakin, ya?”

dan masih banyak lagi celotehan yang menempatkan dirinya seolah sangat bergantung pada saya, mempercayai saya, dan sangat peduli pada saya.

Sempat saya merasa risih di hari-hari pertama, karena tak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Namun karena si dia yang selalu bergerak, selalu memulai, selalu protes akan sikap saya yang tidak responsif.. saya perlahan mulai membuka diri.

Malam itu saya berlari dengan hati yang gelisah dari stasiun kereta menuju rumah, karena Izza berkata bahwa ada orang lain bersamanya disana. Kegelisahan itu berlanjut dengan saya yang menunggu kepulangan Izza dari tempat kerja di hari-hari berikutnya, dan di minggu-minggu berikutnya dan kemudian menjadi rutinitas saya.

Saya bahkan memberi pukulam dan meninggalkan bekas memar di wajah pemabuk jalanan yang melecehkan Izza. Kenapa saya jadi se-peduli ini?.

“apa dia pulang dengan selamat?”

“apa dia butuh bantuan?”

“bukannya ini jam dia pulang kerja?”

Konyol, saya melakukan kegiatan itu setiap hari seolah Izza adalah tanggung jawab saya, seolah saya adalah penjaganya.

“lo ngapain berdiri disitu tiap hari?” yang kemudian hanya akan saya acuhkan, lalu berjalan mendahuluinya masuk ke dalam rumah.

“lo serius bayar gue 20 pounds buat sekali nyuci? gak kebanyakan emang?” yang kemudian hanya akan saya balas dengan gelengan kepala.

“EXPECTO PETRONUM!! WINGARDIUM LEVIOSA! gue udah bisa masuk hogwarts belum?” yang kemudian akan saya tampilkan wajah meringis padanya.

“Ethan, gue itu udah rela jalan ke tempat pizza demi beliin lo. demi share uang gaji gue.. kok malah gue juga yang makan pizza nya?”

“that's fine, Izza. you still can give me anything next month”

Sering kali saya mendapati wajah Izza yang kebingungan kala saya memulai percakapan dengannya. Bisa saya lihat dari matanya yang melotot, atau tiba-tiba ketikannya yang disetting dengan keyboard capslock.

“udah lama berdiri disitu?”

“lumayan”

“lo kenapa senyum-senyum?”

“cause I finally can see you again.. after a day long?”

“apasih?!”

mata si dia melotot lagi, ditambah dengan tangan dinginnya yang memukul lengan saya dengan pelan.

“katanya mau take a walk? ayo!”

Kami berjalan di tengah dinginnya malam kota London tanpa tujuan. Beriringan dengan para pencari nafkah yang akhirnya kembali pulang ke rumah, bersama dengan para pemabuk yang sudah menjadi pemandangan lumrah, dan ada juga beberapa tupai liar menyapa kami dengan ramah.

“Izza, kamu sebelum dateng ke UK, pernahkah kepikiran tinggal disini? satu rumah sama orang asing kayak saya.. dan kebetulan orang Indonesia?”

“lo serius mau bahas ginian?”

“aneh ya saya bahas begini... kan saya pernah bilang waktu kita nonton tv bareng tempo hari..”

“apa? “saya mau mencoba jadi manusia yang membuka topik obrolan lebih dulu”, yang itu?”

Saya hanya merespon nya dengan anggukkan.

“ini apa jangan-jangan udah lo siapkan matang-matang kayak sidang skripsi?”

“enggak!”

Kami tertawa terbahak bersama, di atas kursi besi jalanan dan diterpa angin malam.

Saya lupa kapan terakhir kali bercengkrama seperti ini.. beberapa tahun ke belakang, yang saya lakukan hanyalah mengucap “terima kasih, maaf dan tolong” kepada sopir bus, kepada pelayan restoran, kepada penjual es krim di pinggir jalan.. Bahkan saya pernah tidak mengucap sepatah kata pun seharian penuh. menyedihkan.

“ummm... gue.. gue mah hidup dibiarkan mengalir apa adanya aja, Than! lagian gue ke UK juga karena kabur”

Saya mengernyitkan dahi saya, masih mencerna kalimat yang keluar dari bibir Izza.

“Ethan, gue dihantui telunjuk mami gue kalo tinggal di Indonesia”

“oh iya?”

“gue mau dijodohin sama anak kolega bisnisnya”

“pfft—”

“Ethan?! lo ngetawain gue?!!”

“enggak!!”

“gue juga bisa liat ya!!!”

“sama kalo gitu... saya juga pergi kesini karena kabur”

“kabur dari apa?”

“harta warisan”

“hah? gimana?”

my dad passed away 4 years ago.. and I'm here looking for my biological brother.. he went to London since we were kids, and he never come back. dia yang lebih layak dapet warisan karena anak tertua.. tapi masalahnya adalah..”

“adalah?”

“apa saya bisa percaya kamu..?”

“eh? it's up to you..

“kakak kedua saya, dia gak rela kalo warisan kita dibagi..”

“ow.. it's complicated”

“same as you”

“not really”

“but kinda”

“kalo lo gimana?”

“gimana yang mana?”

“soal serumah sama gue?”

“oh.. saya awalnya males, karena kamu berisik”

Izza melotot ke arah saya untuk yang kesekian kalinya.

“tapi semakin hari semakin seneng.... soalnya ada yang cuciin baju”

“HEHHH!!!!”

Izza terkekeh lagi setelahnya..

“so, Ethan.. since we have same background and promblems, can we talk often from now on?”

“memang tujuan saya ngajak kamu ngobrol itu adalah ini, Izza”

“ini? yang mana?”

“yang talk often with you

“mantap! kalo gitu, boleh ga bayaran laundry nya jadi 30 pounds?”

“IZZA!!!”


#anti

Housemates.


tw || sexual assault

Lampu jalanan malam di London memang gak pernah gagal bikin gue takjub. Gue selalu terbuai dan berimajinasi seolah-olah masuk dunia sihir dan sekolah di Hogwarts, tepok jidat.

Ya lagian apa sih yang bisa diharapkan dari gue?, “kamu itu bisa apa sih?” —kalo kata mami gue.

Jadi siswa di Hogwarts dan punya kekuatan sihir, emang salah satu impian gue. Katakanlah gue gila, delulu, you named it. Semisal impian itu tercapai, gue akan gunakan kemampuan gue dengan bijak. Gue akan pakai mantra 'obliviate' —mantra penghilang ingatan, ke diri gue sendiri.

Biar gue lupa. Lupa jati diri gue, lupa kalo gue gak bahagia.

Supaya gue gak marah melihat orang-orang yang detik ini jalan beriringan di trotoar bareng gue. Orang lain yang bisa tertawa bahagia bareng teman mereka, bareng pasangan mereka, bareng keluarga mereka. Gue marah, gue iri. Karena gue gak punya semua itu.

Hampir setahun pindah ke UK, gue pikir akan bikin gue lupa gimana kacau nya hidup gue di Jakarta. Tapi nyatanya enggak sama sekali.

Raga gue sekarang sedang berjalan dan menapak disini, namun setengah jiwa gue masih ada di tengah hiruk pikuk Jakarta.

“hei asian girl, lemme see your nuts.. I wanna ride you all night!”

“diem deh lu ah gak usah pegang-pegang gue bangsat!”

Bau alkohol menyengat, masuk ke rongga pernapasan gue. Benar aja apa kata Ethan, banyak drunk men di jalanan ini. Ada yang tiduran di trotoar, ada yang kencing sembarangan, dan ada juga yang ganggu pedestrian seperti gue.

“stay away from me!!”

Gue lari, bukan karena gue takut. Tapi karena dia bau banget bangsattt.

“heiii come on girl”

Bajingan itu ngejar gue sambil lari sempoyongan. “hhh, bule problematik”.

Gue memberanikan diri untuk berhenti dan muter balik buat berhadapan sama dia.

“okay okay. what do you want from me, uncle?”

“ayyyy, don't call me like that.. I'm a young man” ucap dia sambil goyangin pinggulnya ke depan-belakang. Such a shitty.

“ewwwww, look at your dick! it's sooo small!!”

“really?” dia nunduk liat kepunyaan dia. Terus menatap gue sambil senyum, matanya teler.

Gue ngangguk, sambil menelan ludah.

Melotot mata gue waktu dia tiba-tiba turunin celananya dan gue 100% bisa liat itunya.

“hahhhaaha, looks like a ten years old boy's dick! so small”

“noopee I have such a big dick”

“hahahahaha”

Gue ketawa di depan muka dia, terus lari lagi. Kali ini gue lari sekuat tenaga gue.

Jarak ke rumah tinggal beberapa puluh meter tapi rasanya seperti ratusan kilo meter.

Bajingan itu sekarang udah gak mengejar gue. Langkah gue sedikit lebih ringan sekarang.

Dari jarak kurang lebih 10 meter, gue bisa lihat Ethan yang berdiri di halaman rumah sambil menunduk melihat ke kamera miliknya. Dia mendongak waktu gue lewat di depan dia, tapi gue sama sekali tidak menyapa. Pengen cepet-cepet sampe ke kamar.

Tangis gue pecah, sedetik setelah gue masuk ke dalam kamar. Bukan, bukan karena hal tidak menyenangkan barusan... Gue hanya merasa sedih, karena sebagian besar orang yang pernah gue temui menganggap gue rendahan.

Gue hanya, merasa gagal luar dan dalam.

Melarikan diri ke UK dengan harapan bisa jadi manusia lebih baik, tapi nyatanya malah semakin gila. Gue seperti dikejar-kejar masalah setiap hari.

Disaat satu masalah sudah bisa gue selesaikan, masalah baru akan dengan sendirinya datang tanpa gue minta.

Gak ada waktu buat gue untuk memperbaiki diri jadi lebih baik. Yang ada hanya gue yang sibuk menyelesaikan masalah tanpa gue tahu apa pelajaran yang bisa gue ambil dari masalah itu.

Worst. My life is the worst.


#anti