injunoona

injunoona

!!! contains lovely things yang akan membuat jomblo iri dengki !!!


Pukul delapan pagi, tanggal 31 Desember 2021. Deliana sampai di McDonald’s Simpang Dago diantar oleh Ayahnya.

Ia sudah membuat janji dengan teman-temannya (termasuk pacarnya) di group chat sehari sebelumnya untuk berkumpul di McD jam delapan lebih tiga puluh, namun Deliana datang lebih awal untuk membeli bubur ayam di restoran cepat saji itu sebagai menu sarapannya.

Ia masuk ke dalam restoran yang hanya terdapat beberapa orang saja di dalamnya. Ransel hitam yang cukup besar menambah beban tubuhnya, lebih lagi ditambah dengan tangan kirinya yang menenteng helm. Ia tetap nekat membawa helm itu meski Tsanny menolak untuk memboncengnya di trip pagi ini.

“Bubur ayamnya satu” ucap Deliana sambil mengacungkan jari telunjuknya di depan order table.

“ditambah telurnya, kak?” tanya lelaki bertopi hitam dengan kemeja abu-abu itu pada Deliana.

“gak usah, kak”

“minumnya?”

“air mineral aja”

“saya ulangi pesanannya ya, kak! satu bubur ayam McD dan satu air mineral. Ada tambahan lain?”

Belum juga Deliana membuka bibirnya untuk menjawab, ada suara lain yang memotong di belakangnya,

“dibikin masing-masing dua aja kang pesenannya” ternyata itu Tsanny, entah sejak kapan ia berdiri di belakang Deliana. —kang : ‘kakak laki-laki’ dalam Bahasa Sunda.

Lelaki yang tadi mencatat pesanan di layar monitor menatap Deliana penuh tanya, meminta konfirmasi.

“saya pacarnya, kang!” Tsanny berkata menjelaskan eksistensinya.

“ya udah, kak. Pesen dua aja masing-masing” ucap Deliana tak mau panjang Lebar.

“Baik, saya ulangi lagi pesanannya. Dua bubur ayam McD dan dua air mineral ya, kak! Totalnya jadi lima puluh lima ribu rupiah”

Detik itu juga Deliana membuka resleting tas selempang kecilnya untuk mengambil uang dari sana. Namun Tsanny lebih cekatan, lelaki itu menyerahkan debit card miliknya kepada pegawai sebelum Deliana berhasil mengeluarkan uangnya.

“pake ini aja bayarnya”

“Nanti uangnya aku ganti ya, Tsann” Deliana memasukkan kembali dompetnya ke dalam tas.

Tsanny tak merespon, ia hanya fokus pada pembayaran sarapan mereka dan memasukkan pin kartu debitnya.

“Ditunggu 5-10 menit ya, kak!”

“Makasih” balas kedua sejoli itu bersamaan.

Mereka memutar badan dan kali ini menatap satu persatu meja yang kosong yang akan mereka tempati.

“Mau duduk dimana, Tsann?”

“gimana kamu aja, Del”

Deliana melihat satu-persatu meja yang kosong dan akhirnya memilih meja yang tersinari cahaya matahari paling banyak, sekalian berjemur pikirnya.

“di sana aja, Tsann” ia menunjuk.

“Yuk!”

Belum ada selangkah mereka melaju, “Sini helmnya aku bawain!”. tanpa konfirmasi Deliana, lelaki jangkung itu langsung merebut helm yang dijinjing oleh pacarnya. Tentu saja membuat pacarnya terkaget-kaget. * * *** “kamu kok tiba-tiba ada di belakang aku, Tsann? Gimana ceritanya?”

Tsanny yang hendak menyuapkan satu sendok penuh bubur ke mulutnya, menjauhkan kembali sendoknya. Memilih untuk menjawab pertanyaan wanitanya terlebih dahulu.

“ada sinyal” jawabnya singkat, lalu menyuapkan buburnya yang tadi tertunda.

“sinyal gimana?”

“gak tahu, kayaknya memang aku selalu dapet sinyal keberadaan kamu deh, Del! Jadi aku selalu tahu kamu ada dimana” ucapnya asal.

“ngarang!”

“emang ngarang”

Tsanny berbicara tanpa menatap Deliana sama sekali. Ia melihat ke arah jendela, memperhatikan kendaraan yang lalu lalang di Jalanan yang semakin ramai di sebelah kanannya. Atau singkatnya, Tsanny menghindari kontak mata dengan Deliana.

“Kamu masih marah ya? gara-gara kemarin?” Deliana bertanya dengan ragu, ia khawatir topik ini akan menciptakan suasana canggung, tapi ia akan sangat penasaran jika tidak ditanyakan.

Tsanny hanya diam. Benar-benar diam.

Oh, Tsanny gak mau bahas ini. * *** Sesuai perjanjian, mereka berdelapan akhirnya sudah berkumpul di halaman McD Simpang Dago pada pukul delapan lebih tiga puluh.

“Jadi siapa aja yang ikut mobil gue?” tanya Farhan sambil memasukkan ransel teman-temannya ke dalam bagasi Pajero Sport hitamnya.

“Cewek-cewek tuh!” Jawab Yudha yang sudah ready memegang kemudi motornya.

“Oh berarti Wineu, Gladis sama Kiara, ya? Ya udah langsung masuk aja! Satu orang duduknya di jok depan please!!” perintah Farhan kepada teman-teman perempuannya yang langsung mereka lakukan saat itu juga. Kiara di depan, Wineu dan Gladis di belakang.

“Deliana juga ikut mobil lo, Han!” suara Tsanny terdengar sangat jelas seperti penuh penekanan.

“Lho? Kok gak bareng lo, Tsann?” tanya Gilang yang duduk di motor yang sama dengan Yudha.

Tsanny dan Deliana sama-sama tak menjawab pertanyaan dari Gilang yang tentu saja membuat teman-temannya paham akan situasi ini, sedang ada keributan.

Tanpa membuka suara, Deliana menyimpan helm dan ranselnya di bagasi mobil kemudian masuk ke dalam mobil bergabung dengan Wineu dan Gladis di kursi belakang.

“anak orang lo cuekkin! Gimana sih, Tsann!” celetuk Yudha tepat setelah pintu mobil ditutup oleh Deliana dari dalam.

“biasanya lo paling utamain cewek lo, kok sekarang begini?” lanjut Gilang.

“namanya juga hubungan, ya wajar kalo berantem” Farhan yang baru menutup bagasi mobilnya menengahi pernyataan teman-temannya yang seperti menyudutkan Tsanny.

“Tapi kan nanti jadi canggung kalo ada yang berantem, Han!” protes Yudha.

Gilang yang berada di belakang Yudha menepuk punggung temannya, seolah memberi isyarat untuk tidak memperpanjang lagi topik ini.

“udah biarin aja cewek-cewek di mobil biar gak pegel” Tsanny membuka suara dengan ketus.

Tanpa menunggu lagi, mereka memutuskan untuk segera berangkat menuju Ranca Upas yang bertempat di Ciwidey, Bandung Selatan. Butuh waktu selama dua jam di perjalanan untuk bisa sampai ke sana.

“Lagi berantem ya lo sama Tsanny?”

Suara Wineu memecah keheningan dalam mobil setelah beberapa menit melaju. Deliana yang duduk di sebelah kirinya menghela napas kasar.

“ya gitu lah.. salah di gue sih sebenernya, Win”

“lo melakukan kesalahan apa emang?” tanya Gladis tanpa pikir panjang.

“Gladiiiis… you crossed the line!” Kiara yang duduk di kursi depan menatap Gladis dari kaca spion tengah dan langsung membuat Gladis menutup mulutnya.

sorry sorry hehe”

“santai ajaa” Deliana menengahi.

Farhan terkekeh karena teman-teman perempuannya itu, “udah gak usah dibahas, nanti juga mereka baikan lagi! Lagian kan aneh juga kalo mereka rukun terus selama pacaran.. hambar atuh!” ucapnya.

Kemudian dalam mobil itu kembali hening… Wineu, Deliana dan Gladis satu persatu tertidur di kursi belakang, menyisakan Kiara dan Farhan di jajaran depan yang mau tak mau harus tetap sadar.

“lo jangan tidur, Ra! Nanti gue ngantuk kalo gak ada temen!”

“iyeee! Gue kan memang selalu ada buat lo, Han!”

“Idiiiih gak ikhlas lo?”

Keduanya tertawa lalu kembali fokus pada urusan masing-masing. Farhan menyetir – Kiara menonton video TikTok di ponselnya. * *** Deliana, Tsanny dan teman-temannya merupakan pengurus inti himpunan mahasiswa jurusan pendidikan geografi di kampus mereka. Dalam rangka pelepasan jabatan, diadakan pesta kecil-kecilan dengan kemah satu malam. Bukan kegiatan resmi himpunan, tapi hanya direncanakan oleh mereka sebagai wujud syukur karena sudah tidak akan berurusan lagi dengan kegiatan himpunan yang menyesakkan. Sekaligus tahun baruan juga, sih.

Farhan yang usianya dua tahun lebih tua dari yang lainnya merupakan ketua, dan Kiara sebagai wakilnya. Farhan Kiara terpilih menjadi ketua dan wakil ketua himpunan dengan perolehan suara 92%. Disamping keahlian mereka yang selalu bisa menyelesaikan masalah dengan tenang, mereka juga sama-sama Idola kampus karena wajah mereka yang menawan.

Deliana dan Wineu merupakan sekretaris I dan II, Gilang adalah bendahara, Gladis sebagai ketua departemen kerohanian, Tsanny ketua departemen sosial budaya dan Yudha adalah ketua departemen pendidikan di himpunan mereka.
* *


Sehari sebelumnyaakhirnya terjadi badai di hubungan kita yang damai— *** Sore hari pukul 5, Deliana menerima panggilan masuk dari Tsanny saat ia sedang mengeringkan rambut ikalnya menggunakan hair dryer. Ia baru selesai mandi.

”Halo, Del! Keluar dulu sebentar doang!”

“mau ngapain? Kamu ada di luar?” Ia mengintip dari kaca jendela kamar di lantai dua rumahnya, dan benar ada Tsanny di depan gerbang rumahnya.

”Iya aku di luar! Bentar aja ih keburu hujan”

“Iyaa!”

Deliana menyisir rambut setengah basahnya asal, kemudian cepat-cepat menghampiri Tsanny.

“Kenapa, Tsann? Kamu habis dari mana? Kok gak bilang mau pergi?”

Tanya Deliana bertubi-tubi pada Tsanny yang masih duduk di motor vario hitamnya dan masih menggunakan helmya. tandanya Tsanny gak akan lama-lama.

“itu tadi nemenin Yudha ke BIP, beli sleeping bag buat besok” Suaranya agak tertahan karena terhalangi oleh masker berwarna hijau yang Tsanny pakai, masker medis 3 lapis sesuai anjuran pemerintah. — BIP : Bandung Indah Plaza, nama mall.

“Iya atuh

“nih aku beliin ini buat kamu tadi di Indomaret, buat bekel besok camping!” Tsanny menyerahkan satu kantong plastik besar berwarna putih pada Deliana.

“apaan itu?”

“Cemilan, vitamin, lotion nyamuk, koyo, minyak angin”

“sebanyak itu?” Deliana terkejut, kantong plastik di tangan Tsanny masih belum ia terima juga.

“Iya ih ini cepet ambil aja atuh!” Tsanny menjulurkan tangannya agar kantong plastik yang ia pegang segera diambil alih oleh Deliana.

“Kamu beli ini abis berapa? Aku gantiin uangnya” Deliana akhirnya mengambilnya.

“gak usah diganti atuh lah! Kan aku beliin buat kamu, kamu kan pacar aku!”

“iya tapi aku gak enak, ini banyak banget. Nanti uang kamu buat kebutuhan yang lain jadi berkurang gara-gara aku!”

“Del…” mata Tsanny yang bulat menatap ke arah Deliana. walau wajahnya tertutup masker, dari matanya saja Deliana bisa melihat ada kekecewaan.

“Aku ini sebenernya kamu anggep apa sih, Del?”

Deliana benar-benar terkejut dengan pertanyaan Tsanny barusan. Ditambah lagi dengan intonasi suara yang rendah, membuatnya paham bahwa Tsanny sedang sangat serius kali ini.

Selama tujuh bulan berpacaran, tak pernah sekali pun Tsanny seperti ini. Biasanya lelaki itu akan merespon dengan ”ya udah, gimana Deliana aja”, ngalah terus.

Tsanny selalu terima jika pacarnya itu berkata ”biar aku ganti” setelah kencan mereka. Kali ini sepertinya lelaki itu mulai lelah.

“Del, aku kan pacar kamu… wajar aja aku ngasih sesuatu buat kamu kayak gini” intonasi suaranya masih rendah.

“tapi Tsann, aku gak enak”

“mau sampe kapan kamu gak enakkan kayak gini?”

“aku cuma gak mau ngerepotin kamu, Tsanny”

“gak sama sekali! Udah itu ambil aja ya?”

“beneran nanti aku ganti aja uangnya, Tsann!!”

“Del…”

Deliana menatap ke arah Tsanny sambil membuka matanya lebar-lebar,

“ya udah, siniin aja!” Tsanny merebut kembali kantong plastik tadi, “kamu bisa beli sendiri ke Indomaret kalo memang mau bayar mah. Aku pulang”.

Tsanny melajukan motornya tanpa menunggu respon dari Deliana. Wanitanya hanya membatu di gerbang rumahnya, dan ia semakin merasa tidak enak pada pacarnya.

“Siapa tadi? Kok kenceng banget ngegas motornya?” tanya Ibunya Deliana di ambang pintu rumah.

“Tsanny, Bu! buru-buru dia takut hujan” jawabnya bohong sambil berjalan kembali masuk ke rumah.

“Lho kok gak disuruh masuk?”

“kan tadi Del udah bilang, Bu! Tsanny nya buru-buru”

“oh gitu.. kirain lagi marahan”

Deliana tak menggubris dan kembali ke kamarnya, memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ini pertengkaran pertama mereka dari sejak awal berpacaran.

Malamnya Deliana memberanikan diri untuk bertanya pada pacarnya melalui perantara ponsel, sebagai bentuk usahanya mencairkan suasana.

Deliana : Tsann.. kamu marah ya? Aku minta maaf Tsanny : gak papa, gak usah dibahas lagi Deliana : :’’( kamu lagi ngapain? Tsanny : lagi mikirin gimana caranya biar kamu mau nerima aku Deliana : Ih aku nerima kamu kok!! Tsanny : hahaha bercanda. Tidur aja kamu biar besok gak telat.

Deliana pikir lelakinya sudah benar-benar melupakan kejadian sore hari tadi. Namun nyatanya tidak, keesokan paginya Tsanny tetap menghindar. Bahkan Tsanny menolak kala Deliana meminta untuk memboncenginya menuju Ranca Upas. ini bencana besar. * * *** Karena jalanan yang padat akibat dari liburan akhir tahun, mobil Farhan baru tiba di Ranca Upas pukul 2 siang. Sedangkan Tsanny, Yudha dan Gilang sudah sampai dari pukul 11 karena hambatan yang mereka lalui di jalanan lebih sedikit.

“pegel banget pantat gue!” celetuk Gladis sesaat setelah turun dari mobil.

“lo mah enak bisa tidur, gue dari tadi melek” Kiara protes, adu nasib.

“Yeeeeu! Ngeluh aja bisanya, gue nyetir lebih cape! Pegel kaki gue nih, nanti pijetin awas aja!”

Deliana dan Wineu hanya terkekeh menyaksikan perdebatan ketiga temannya itu.

“eh, Yudha Gilang sama Tsanny telfon dong! Tanyain mereka dimana!” Farhan berkata sambil membuka bagasi mobilnya.

“lo aja telfon Tsanny, Del!” ucap Gladis.

Deliana terdiam.

“Udah udah gue aja yang telfon” Wineu akhirnya mengalah karena tahu bahwa Deliana sedang tak mau mengganggu Tsanny.

- ”Halo? halo Gilang! lo dimana?”

”oh gitu? Ya udah ini kita baru sampe. Masih di parkiran”

”oke” -

“mereka aja yang ke sini katanya, Han! Mereka udah sewa tenda sama kompor, jadi udah booking tempat di camping ground nya”

“ohh, syukur kalo gitu” ucap Farhan merasa lega, “nih bawa barang kalian masing-masing!” lanjutnya. Yang lainnya otomatis menngambil barang bawaan mereka.

“Han, helm gue taro disini aja ya?” izin Deliana.

“Iya simpen aja”

“Tuh mereka datang juga!” Kiara menunjuk ke arah ketiga teman lelakinya yang berjalan mendekat.

“lama banget kalian, anjir!” protes Yudha.

“Lo protes mulu, nyet! Nanti pulangnya gue yang bawa motor, lo naik mobil mau?” balas Gladis.

“GAKKKKK!”

“ya udah gak usah ngomel yeeeeeu!”

Yang lainnya hanya geleng-geleng kepala karena perkelahian Gladis dan Yudha sudah sangat sering terjadi. * * ** “Han, tolong dong! ini tanahnya agak keras, susah nancepnya!” Wineu setengah berteriak ke arah Farhan.

Farhan yang mendengar itu tentu saja langsung menghentikan kegiatannya yang sedang mengeluarkan barang-barang dari ranselnya di dalam tendanya.

Tenda milik Farhan dan ketiga teman lelakinya sudah tegak berdiri lebih dulu.

“gue aja, Han! Lo istirahat aja, dari tadi lo mulu!” ucap Tsanny yang kepalanya tiba-tiba muncul dari luar.

“ANJING KAGET GUA!! Kenapa lu nongol begitu Tsanny gelo!”

Yang diomeli hanya tertawa dan kemudian berlari ke arah tenda teman-teman perempuannya.

Ramai sekali orang yang datang untuk berkemah di Camping ground yang sangat luas ini, terlebih hari ini adalah hari terakhir di tahun 2021.

Tenda Tsanny, Deliana dan teman-temannya berdiri di ujung dekat ke arah parkiran. Yudha yang memilih, biar gak nyasar dan gak jauh ngangkat barang, katanya.

Tsanny setengah berlari ke arah tenda teman-teman wanitanya. Jarak tendanya dan tenda yang akan dihuni pacarnya itu tak terlalu jauh, hanya sekitar lima meter. Mereka setting kedua tenda itu untuk saling berhadapan agar memudahkan jika terjadi hal yang tidak terduga.

“loh kok malah lo yang kesini, Tsann?” tanya Kiara.

“Kasian Farhan kerja mulu, hahaha” jawabnya diikuti dengan tawa teman-temannya.

“Ih rame banget di toiletnya, jadi lama!” ucap Deliana, yang langsung terhenti kala melihat Tsanny yang sedang sibuk menolong Wineu memasang tenda.

“bersih gak toiletnya, Del?” tanya Gladis penasaran.

“Lumayan” jawab Deliana singkat.

“nahhh, kelar! Selamat beristirahat di istana kalian!” celetuk Tsanny setelah berhasil menancapkan frame dan pasak terakhir di tanah yang wineu bilang keras itu. Yang mendengarnya sontak tertawa.

“*Thanks, Tsann” ucap Kiara.

Melihat tenda telah berdiri tegak, Deliana berinisiatif untuk memasukkan ranselnya dan milik teman-temannya ke dalam tenda. Tapi langsung diinterupsi oleh Tsanny. Lelaki itu selalu mengambil alih setiap barang yang Deliana angkat. tanpa obrolan dan bahkan Tsanny tak menoleh ke arah Deliana sama sekali. Yang lain hanya geleng-geleng kepala, padahal kedua sejoli itu sedang saling putus asa.

“Nah sekarang udah, kan? Gue balik ke tenda gue lagi ya!” ucap Tsanny setelah semua barang sudah masuk ke dalam tenda.

“Aman!! makasih ya, Tsann!” ucap Wineu.

“Thank you, tsann!” Gladis dan Kiara bersamaan.

Sebelum kembali ke tendanya, Tsanny mendekati Deliana yang sedang merapikan barang dalam tenda. Ia mengusap pucuk kepala wanitanya itu pelan lalu benar-benar kembali ke tenda miliknya. Yang diusap kepalanya terheran-heran.

Kejadian barusan sangat jelas dapat disaksikan oleh teman-temannya, karena tenda tidak ditutup.

“apa-apaan sih! Yang uwu-uwu dilarang kelihatan oleh mataku!” celetuk Gladis yang sedang menyapu daun-daun kering yang berserakan di depan tenda.

“iri lo, Dis? Hahaha” balas Kiara yang sedang memeriksa kekuatan tancapan frame tendanya.

Wineu yang sedang mengambil foto untuk kenang-kenangan di ponselnya hanya terkekeh. * ** “eh, liat rusa yuk disana!!” ajak Gladis bersemangat setelah mereka selesai dengan urusan membangun tenda dan beres-beresnya. Kini mereka sedang berjejer merebahkan tubuh mereka di dalam tenda.

“mager ah!” jawab Kiara.

“mager juga! Cape guee!” tambah Wineu.

“kalo lo gimana, Del? Ayo dong please!! Kapan lagi kita kesini coba? Masa Cuma mau goleran doang!” ia menatap ke arah Deliana penuh harap.

“Ya udah, ayooo!” Deliana dan sifat gak enakkan nya.

Mereka berdua akhirnya bangkit, keluar dari tenda merah itu kemudian berjalan menuju penangkaran rusa yang tak jauh dari sana.

“eh mau kemana lo berdua?” teriak Gilang di depan tendanya pada Gladis dan Deliana.

“Mau liat rusa!!” jawab Gladis yang juga berteriak.

“dasar cewek! Rusa doang diliatin!” celetuknya. **

BUGHH

“aw sakit anjir, Tsann! Lo mau kemana lagian rusuh amat, jadi nubruk gue!” Gilang meringis kesakitan mengusap-usap bahunya.

sorry hehehe!” Tsanny yang berjalan sambil memakai hoodie nya jelas membuat ia tak bisa melihat jalan di depannya dengan baik.

“mau kemana gue tanya?! Liat rusa juga?”

“Liat cewek cakep yang lagi liat rusa!” ucapnya sambil berlalu menjauh dari hadapan Gilang.

gelo aing merinding! Bucin ih amit-amit!”

Pukul tiga sore di penangkaran rusa tidak terlalu ramai. Maksudnya tidak seramai di camping ground. Gladis dan Deliana membeli wortel terlebih dulu seharga lima ribu per-ikatnya. Yang kemudian akan masuk ke perut rusa-rusa yang Gladis bilang cute di dalam penangkaran sana.

“Eh, Del! Pacar lo tuh!” Gladis menyenggol Deliana dan berbisik saat melihat Tsanny yang tiba-tiba ada di sana juga, membeli wortel untuk makan rusa.

“Cuek aja, dia nya juga pasti bakal cuekkin gue”

“cuekkin gimana? Orang tadi ngusap-ngusap kepala gitu!”

“dia mah memang gitu! Mau semarah apa pun tetep kayak gitu”

“ah anjir, salah nih gue malah membuka topik ini”

“lah emang kenapa?”

“iri dengki nih, darah gue mulai panas”

“ngasal banget!” keduanya terkekeh. * ** Meskipun mereka berada di tempat yang sama dan melakukan kegiatan yang sama, Tsanny tetap terlihat jelas menghindar dari Deliana.

Deliana berkali-kali memergoki iris mata pacarnya yang sedang tertuju ke arahnya, namun setelah ketahuan, Tsanny akan berpura-pura melihat ke arah lain seolah sedang tidak memerhatikan wanitanya. Padahal jelas banget lagi ngeliatin.

“Eh awas, Del! Lo mau ditubruk!” Gladis setengah berteriak saat melihat ada satu rusa yang tiba-tiba mendekat ke arah Deliana.

“aaaaa” Deliana refleks berlari sambil tertawa.

Dari kejauhan, Tsanny hanya tersenyum melihat kejadian tadi. Sebenernya sih mau ngehalangin rusa itu supaya gak usah deket-deket sama pacarnya. Tapi gengsi.

“Coba ajakin si Tsanny gabung deh, Del! Dia merhatiin mulu dari tadi, tapi gak mau gabung”

“hahaha, ya udah gue chat dia nih sekarang!”

Gladis hanya mangut-mangut dan kembali melanjutkan kegiatan memberi makannya.

“ah tetep gak mau orangnya!” ucap Deliana sambil menekuk wajahnya dan kemudian memasukkan ponselnya ke dalam kantong jaketnya kembali.

“Ya udah, sabar aja yaa anak muda!”

Deliana menghela napas kasar. Pasrah. * * ** Pukul 5 sore mereka bertiga kembali lagi ke tenda. Dengan formasi yang sama. Gladis dan Deliana berjalan terlebih dahulu dan Tsanny mengekori mereka.

Saat mereka sudah hampir sampai, Tsanny berlari mendahului Gladis dan Deliana karena melihat Farhan dan Yudha sedang bermain bulu tangkis di halaman tenda, ditonton oleh Gilang dari dalam tenda yang terbuka. Tsanny mau bergabung.

Deliana dan Gladis tentu saja kembali ke tenda mereka. **

“dapet raket dari mana?” Tsanny bingung karena memang tak ada yang membawa raket dari rumah.

“nyewa” jawab Gilang singkat.

“mau ikutan dong, gue!!”

“nyewa aja sepasang lagi! Jadi kita main ganda putera!” ucap Gilang.

“males ah! Giliran aja ah elah!” protes Tsanny.

“yeeeu lo mah gak mau ngemodal!” Yudha kali ini yang bersuara.

“gak gitu ya anjir!”

“ya udah nih nih pake punya gue, Tsann!” Farhan menyerahkan raketnya kepada Tsanny.

“lo memang teman aing yang paling baik, Han!”

Dari dalam tenda, Deliana tersenyum mendengar percakapan barusan. Yudha salah besar kalau bilang Tsanny orang yang ‘gak modal’, karena faktanya kebalikannya.

Sejak hari pertama pacaran, bahkan sebelum pacaran pun Tsanny adalah orang yang selalu rela menggunakan uangnya. Sebanyak apa pun, asal dirinya bisa membuat orang disekitarnya tidak kesulitan, ia akan rela.

Pernah satu waktu, ada anggota departemen Tsanny yang ditugaskan mencetak spanduk acara himpunan dan orang tersebut melakukan kesalahan. Tsanny lah yang rela mengeluarkan uang untuk mengganti kerugian kas himpunan atas kesalahan anggotanya.

Di waktu berbeda, ketika ia melihat kakek-kakek rentan penjual koran melintas di hadapannya yang sedang memesan nasi goreng di pinggir jalan. Tsanny dengan hati-hati bertanya apakah kakek tersebut sudah makan atau belum. Dengan hati yang ikhlas, Tsanny memberikan makanannya kepada sang kakek padahal hanya itu bekal uangnya yang tersisa.

Itu Love language nya, giving gifts dan act of service.

Dan yang terakhir tentu saja yang ia rasakan sendiri. Tsanny yang selalu siap sedia memberikan apa pun yang ia kira dibutuhkan oleh Deliana. Padahal wanitanya tak pernah meminta, dan berujung uangnya diganti karena Deliana merasa merepotkannya.

Itulah mengapa Tsanny dan love languagenya selalu kewalahan ketika harus menghadapi Deliana yang tidak enakkan. * * ** Pukul 11 malam, api unggun sudah menyala selama 3 jam. Ke-8 rekan himpunan sekaligus sahabat itu telah banyak berbincang, tentu saja setelah mereka makan malam.

“Inget banget gue waktu awal masuk hima, si Farhan nangis waktu diospek sama kating kita yang galak itu, tuh!” Yudha kembali membuka kenangan mereka di masa lalu.

Semuanya tertawa, bahkan Farhan juga tertawa.

“gak kerasa banget ya, udah 3 tahun” kata Gilang, justru membuat mereka semua menjadi terharu.

“eh eh, jangan pada nangis, dong!!” Kiara menatap satu persatu temannya.

“ENGGAK!” semuanya serentak mengelak.

“iya sih 3 tahun, tapi yang cinlok Cuma sepasang!” celetuk Gladis.

“Ya udah, sekarang kita main jujur-jujuran aja!” usul Wineu.

“maksudnya gimana?”

“ya apaa gitu.. main truth or dare kek, apa kek!”

“basi ah” protes Tsanny.

“jangan gitu ah! Kasih kesan-kesan aja masing-masing.. selama kabinet kerja gue sama Kiara, kesan kalian gimana?” Farhan menengahi.

Semuanya terdiam, memproses ingatan mereka masing-masing. Mengingat kembali kenangan masa-masa selama mengabdi di himpunan.

“gue mah gak bisa merangkai kata!” celetuk Gilang.

“ya udah yang mau ngomong aja, siapa?”

“gak ada!” ucap semuanya serentak.

“ah gue mah nyerah aja dah, capek banget ngadepin lo semua!” ucap Farhan yang membuat semuanya tertawa.

“nyanyi aja nyanyi buru!”

“nyanyi tanpa alat musik?” tanya Tsanny.

“gak papa, pake rekaman musik di hp gue aja, Tsann!” kata Kiara.

“ya udah, puter sekarang”

“Asiiiiik!!” Gilang dan Yudha bersorak, pun yang lainnya. Akhirnya api unggun malam ini tak hening lagi.

Malam tahun baru terasa sangat panjang.

Setelah Tsanny menyanyikan satu lagu, akhirnya yang lain pun ikut bergabung dan tak terasa mereka bernyanyi sepanjang malam sambil sesekali diselipkan obrolan ringan.

Di tenda yang lain pun sama, semuanya bercengkrama. Menanti pergantian tahun dengan suka cita bersama orang-orang tercinta.

Suara ledakan kembang api menjadi backsound di pukul 00.00 malam itu. Langit menjadi warna-warni, semua orang tersenyum seri.

Tsanny yang duduk di sebelah kekasihnya tiba-tiba mendekat dan berbisik “Happy new year, Del” di telinga kiri Deliana. Wanitanya menoleh ke arahnya dan tersenyum. Tsanny hanya mengangguk-angguk, mengisyaratkan bahwa setelah ini semuanya akan baik-baik saja.

Lelaki itu tiba-tiba menggenggam tangan Deliana,

“dingin ya?”

“dikit”

“banyak, ah”

“ih maksa”

Tsanny terkekeh, “coba tangannya deketin ke api! Kayak gini” ia membuka kedua telapak tangannya dan mendekatkannya ke api unggun. Deliana mengikuti.

“kalo nanti di dalem tenda dingin, tiup aja telapak tangannya, Del!”

“tau aku juga, atuh!”

“tiupnya jangan ‘HUUUUU’, tapi ‘HAHHH HAHHH’” ucapnya sambil meniup telapak tanyannya.

Deliana hanya menertawakannya.

“kalo kayak gini tuh jadi inget waktu aku pertama kali ke rumah kamu!”

“loh emang kamu ngapain waktu itu?”

“aku gak ngapa-ngapain, sih! Inget aja we atuh!”

“ih random banget kamu!!”

“aku kan memang ingetnya tentang kamu terus, Del!” * *


Hari pertama Tsanny ke Rumah DelianaTarawih Buddy— *** Malam itu pukul 8 malam, di pertengahan bulan ramadhan.

“Assalamualaikum!” Tsanny mengucap salam setengah berteriak di depan gerbang rumah Deliana.

Namun setelah sekian lama mengucap salam, tetap tak ada respon.

“Ih belegug pisan Tsanny! Ini ada bel padahal!” ucapnya memaki diri sendiri kemudian langsung memencet bel nya.

Seorang Ibu yang menggunakan jilbab warna coklat keluar dari dalam rumah dan membukakan pintu untuk Tsanny. “siapa?” tanya Ibu tersebut.

Tsanny tersenyum memperlihatkan gummy smile nya kemudian salim kepada wanita paruh baya itu, Ibunya Deliana.

“kenalin tante, saya Tsanny!”

“iya Tsanny, ada keperluan apa ya? Ayo masuk dulu!” wanita itu tersenyum ramah menyambut Tsanny.

“ini saya bawa kurma, buat takjil” ucapnya sambil menyerahkan satu kantong plastik yang berisi tiga boks kurma yang ia beli di super market di perjalanan tadi.

“Alhamdulillah, terima kasih ya, nak! Ayo masuk masuk!”

“gak papa tante disini aja, Deliana nya ada?”

“ohh kamu temannya Deliana? Anaknya lagi buka puasa bersama di luar, belum pulang”

Tsanny hanya mangut-mangut mendengar penjelasan dari Ibu Deliana.

“Ayo masuk dulu atuh sambil nungguin!, nah duduk di kursi teras aja!”

Akhirnya Tsanny menurut dan benar-benar duduk di teras rumah Deliana, perempuan yang ia kagumi selama 2 tahun ke belakang.

“kayaknya Del masih lama deh, Tsanny. Kamu udah coba telfon?”

“gak papa deh tante, Tsanny pulang aja sekarang! Niatnya saya kesini memang mau ketemu sama tante”

“loh? Ada apa memangnya?”

“gini tante… saya temen Deliana di himpunan. Dari awal saya kenal sama Del, saya selalu kagum sama dia. Dia selalu bantuin saya di himpunan, bantuin tugas kuliah saya juga, dan banyak lagi”

“Alhamdulillah kalau Deliana baik ke temannya” sambil diiringi dengan senyuman.

“Saya sekalian silaturahmi kesini, mau minta izin ke tante.. boleh gak kalau saya mendekati Deliana?”

Lawan bicara Tsanny saat ini membeku. Beliau terkejut atas kalimat yang diucapkan pemuda berusia dua puluh tahun di hadapannya itu. ”kenapa gak tanya langsung aja ke anaknya?”, batinnya.

“Nak Tsanny… saya memang Ibunya Deliana, tapi yang lebih berhak buat kasih izin kamu itu anak tante sendiri. Tante gak akan larang-larang kalian, kalian boleh berteman dan saling mengenal satu sama lain. Tapi tetap ingat batasannya ya, nak!”

Tsanny mendengarkan kalimat itu dengan seksama sambil mengangguk-angguk.

“kamu habis dari mana? Sengaja datang kesini, nak?”

“enggak tante, tadi saya habis pulang dari rumah temen, buka puasa bersama disana”

“ohh gitu… rumah kamu di mana?”

“deket tante, di blok sebelah. Jadi saya mampir dulu sebentar buat ngasih kurma, hehe”

Ibu Deliana hanya mangut-mangut sambil tersenyum kepada Tsanny, membuat Tsanny tidak merasa canggung sama sekali.

“Ya sudah tante, saya pamit pulang aja! Kasian Mama saya nunggu!” ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman lagi.

“Anak baik kamu, nak!”

“hehe, makasih tan! Saya pamit, Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam”

Tsanny berjalan menuju gerbang dengan hati yang setengah bahagia dan setengah khawatir. Ia senang karena diterima dengan baik oleh Ibu dari wanita impiannya, namun di sisi lain ia khawatir jika tindakannya kali ini tidak tepat. Tapi ia bersungguh-sungguh, kala berkata bahwa ia mau mendekati Deliana.

Ia kembali duduk di atas motornya yang masih terparkir di depan gerbang rumah Deliana dan menggunakan helmnya.

“Siapa kamu?!”

Suara berat itu mengagetkan Tsanny yang akan melajukan motornya. Tsanny terkejut dan kedua tangannya refleks menutup mulutnya.

“kenapa kamu nutup mulut begitu? Kaget?”

“eh? Bukan om, ini dingin jadi saya tiup-tiup telapak tangan saya! HAHHH HAHHH” ia berbohong. —ini yang tadi Tsanny bilang “kalo kayak gini tuh jadi inget waktu aku pertama kali ke rumah kamu!”.

“kamu siapa? Kenapa parkir di depan rumah saya?”

Oh, ini ayahnya Deliana.

“iya om, tadi habis mampir”

“gak shalat tarawih kamu?”

“hehehe, enggak om”

“besok-besok kalo mau bertamu itu, harus tahu waktu! Jam segini itu waktunya Ibadah!”

Tsanny hanya terdiam, tak tahu harus merespon seperti apa.

“ya sudah, saya masuk! Assalamualaikum!”

“iya om, Waalaikumsalam”

celaka, kayaknya Ayah dia gak suka sama gue”. ** Setelah Deliana kembali ke rumahnya,

“tadi ada temenmu tuh, bawa kurma banyak banget!” ucap Ibunya yang sedang mengupas wortel di meja makan.

“lho? Siapa? Gak ada yang bilang mau datang, kok!”

“Tsanny namanya! Mau dekati kamu, katanya!”

“HAHHHH? Tsanny? Yang idungnya mancung?”

“iya, yang pake anting-anting tuh!” jelas sang Ibu.

“HAHAHAHA! tiba-tiba banget!” Deliana masih terkejut dengan kenyataan yang sedang ia hadapi ini, padahal Tsanny dan dirinya sama sekali belum membicarakan hal yang menjurus ke arah pendekatan.

“Ayah mana, Bu?”

“udah tidur, Del”

Sang anak hanya mengangguk-angguk.

“kalau Tsanny anaknya baik, dan kamu memang suka dia. Terima saja, nak!”

“Ih Ibu!! Jadi malu akuuu”

“Tuh kan berarti kamu juga naksir!!”

“Dikit, sih! Soalnya anaknya perhatian banget… tapi Del kira dia baik ke semua orang gitu loh, Bu! Makanya Del gak baper”

“Ganteng juga, ya?”

“Ibuuuu ih!”

Ibunya menertawakan tingkah anaknya yang jelas-jelas salah tingkah itu. ** Hari setelah Tsanny datang ke rumah Deliana, Ayah Deliana pulang tarawih dengan wajah yang ceria.

“Kenapa sih, Ayah?” tanya anaknya.

“Itu tadi orang di sebelah Ayah lucu banget”

“Gimana emang, yah?”

“Dia bilang, Ayah mirip Dude Herlino!”

Istri dan anaknya menahan tawa mendengar pernyataan barusan.

“Terus dia bisa nebak jumlah cicak di dalem masjid, dong! dan jumlahnya bener!”

“Ayah ih gak merhatiin yang ceramah!” ucap Deliana.

“Itu ngobrol bentar doang, atuh!”

“Siapa emangnya, Yah?” tanya sang Istri.

“Tsanny namanya”

Deliana dan Ibunya terkejut.

“kemarin teh Ayah liat dia di depan rumah, katanya abis mampir. Terus barusan pas di jalan pulang, dia Ayah ajakin mampir lagi, tapi gak mau!”

“Oh iya, Ibu lupa bilang! Itu loh, Yah. Kurma yang tiga boks itu tuh dari dia”

“oooh”

“kok gak mau mampir dia, Yah? Kenapa katanya?” tanya Deliana.

“belum siap katanya”

Diakhiri dengan tawa dari ketiganya.

Sebetulnya, Deliana memang sudah tertarik oleh Tsanny sejak awal. Namun, bukan ketertarikan yang menjurus ke arah pacaran. Hanya sekedar menyukai kepribadiannya saja.

Tsanny yang ramah kepada siapa saja, Tsanny yang selalu bisa mencairkan suasana, Tsanny yang punya seribu cara untuk mendapatkan apa yang dia mau, Tsanny yang memiliki rasa peduli yang tinggi pada orang lain.

Walau penampilannya yang nyentrik (anting-anting yang tak pernah ia lepas, kalung rantai yang selalu melingkar di lehernya dan rambut panjang yang tumbuh hingga melewati matanya). Tetap saja, Tsanny adalah orang yang sangat baik di mata Deliana.

Di hari yang sama saat Tsanny membawakan kurma ke rumah Deliana, lelaki itu meminta izin padanya.

Tsanny : Del? Deliana : Iya Tsann? Makasih ya, kurmanya! Tsanny : Sama-sama, gimana Del? Deliana : gimana apanya? Tsanny : boleh gak, aku jadi orang yang setiap hari ngucapin “selamat pagi” ke kamu?

Tepat setelah membaca pesan itu, Deliana terkekeh geli. ”cringe bangeeet!”, tapi tetap saja, ia merasa salah tingkah.

Namun pertanyaan Tsanny tak ia jawab saat itu juga, Deliana tetap meminta waktu untuk berpikir. ** Hari-hari setelahnya, Ayah Deliana dan Tsanny selalu pergi tarawih bersama. Kedua orang tua Deliana perlahan mulai menyukai Tsanny karena kepribadiannya yang menyenangkan.

Hari-hari itu juga, Deliana semakin jatuh dan jatuh kepada Tsanny karena elaki itu bersungguh-sungguh padanya. Hingga akhirnya.. setelah pertanyaan Tsanny digantung selama satu minggu,

Deliana : aku mau, Tsann. Tsanny : mau? Deliana : Iya! mulai besok, ucapin selamat pagi buat aku setiap hari, ya?!

* *


Pukul empat pagi, Deliana terbangun karena perlu buang air kecil. Ketiga temannya tertidur dan ia tak mungkin membangunkan mereka untuk mengantarnya ke toilet, terlebih mereka baru 3 jam yang lalu kembali ke tenda untuk beristirahat. Ia sama sekali tak masalah pergi ke toilet sendirian karena di luar tenda masih ramai orang-orang yang berkeliaran.

Tak lama, hanya 10 menit waktu yang ia butuhkan hingga kembali lagi ke tenda. Ia merebahkan tubuhnya kembali untuk kembali tidur, namun tertahan ketika mendapatkan pesan dari Tsanny yang memintanya untuk menunggu di depan tenda.

“Kenapa, Tsann?” tanya Deliana saat Tsanny sudah ada di hadapannya.

“kan tadi aku bilang, aku mau ngobrol”

“Iyaa.. ayoo!”

“di sana aja!” Ia menunjuk ke arah belakang tenda milik Deliana. Posisinya di pojok camping ground. Jangan salah paham, bukan tempat yang gelap dan tinggi semak-semak, kok!.

“Sini!” kata Tsanny setelah ia duduk di tanah, mengajak Deliana duduk di sampingnya. Dan wanitanya menurut.

Hening beberapa menit. Tsanny bingung harus memulai obrolannya dari mana.

“Kenapa, Tsann”

“Gak papa… aku rasa kita emang jarang banget kayak gini. Iya gak, sih?”

“Iyaaa..”

“Aku minta maaf yaa, Del”

“kenapa?”

“kita jarang banget tukeran cerita, kita cuma sibuk himpunan aja setiap hari”

“kamu kenapa kok jadi overthinking, Tsann?”

“aku seharian kemarin mikirin ini loh… apa Deliana udah gak mau kali ya sama aku?”

“hus! Kok gitu bilangnya!!”

“ya kan itu cuma ada di otakku aja, Del!”

“aku selama ini cuma apa ya, Tsann…”

“kamu gak enakkan!”

“aku takut banget ngerepotin kamu, beneran deh. Kamu itu baik banget, Tsanny!!”

“terus aku harus jadi jahat, gitu?”

“Ih gak gituuuuu!” keduanya tertawa.

“Namaku kan Tsanny”

“Iya aku tahu nama kamu Tsanny!”

“tapi kalo diucapin, itu bakal jadi kayak sunny. Aku suka namaku. artinya cerah, bercahaya!”

“Iyaaaa Tsann, aku juga suka nama kamu!”

“kayak matahari! Cerahh!”

Deliana tersenyum mendengarkan ocehan pacarnya dengan seksama.

“coba kamu anggap aku matahari!”

“kenapa matahari?”

“Matahari setiap hari ngasih cahaya buat bumi, apa dia capek?”

“enggak lah, kan bumi yang mengelilingi matahari! Masa kamu kuliah geografi gak paham, Tsann!”

“Nahhh.. justru itu!”

“gimana?”

“Aku gak akan pernah capek ngasih semua yang aku punya buat kamu, kayak matahari yang gak pernah capek ngasih cahayanya buat bumi” Ucapnya sambil menatap mata Deliana, “Asalkan kamu selalu ada di sekitar aku, kayak bumi yang selalu berotasi mengelilingi matahari” lanjutnya.

Degggg! Jantung Deliana berdetak menjadi lebih cepat, walau sudah sering kata-kata seperti itu diucapkan oleh Tsanny, namun kali ini ia rasa berbeda. Lelakinya itu sangat bersungguh-sungguh.

Katakanlah Deliana bucin alias budak cinta karena mudah terayu oleh kata-kata puitis buatan pacarnya, memang iya. Deliana luluh lantak, melebur, hatinya berantakkan.

Untung saja saat itu hari masih gelap, Tsanny tak akan melihat pipi pacarnya yang memerah bagai tomat yang siap dilahap.

“kamu bisa berhenti gak enakkan mulai sekarang!”

Deliana hanya terdiam, ia masih tersipu.

“aku minta maaf, gak boncengin kamu kemarin..” Tsanny tiba-tiba meraih kedua tangan Deliana kemudian menggenggamnya. “padahal aku pengen banget boncengin kamu, tapi aku gengsi”.

“Ih nyebelin bangett! Padahal aku udah bawa helm”

“iyaa, maaf! Nanti pulangnya kamu bareng aku, jangan ikut Farhan!”

“beneran?” tanyanya memastikan dengan intonasi yang tinggi, kesenengan.

“Iyaa” lelaki itu mengusap-usap lengan Deliana sambil tersenyum.

Dini hari di tahun baru, mereka habiskan berdua. Berbincang tentang banyak hal dan meluruskan selisih paham dalam hubungan mereka.

Saat matahari mulai sedikit demi sedikit menampakkan dirinya, kedua sejoli itu masih duduk di tempat yang sama. ”duduk aja disini, kita liat sunrise”, kata Tsanny satu jam yang lalu.

“Del..”

“apa?”

“aku tahu ini bakal jadi bencana”

“apa yang bencana?” Deliana terkejut mendengar ucapan Tsanny yang tiba-tiba.

“Kalo matahari bertabrakkan sama bumi, kan bakal jadi bencana besar!”

“terus?!” Deliana masih belum paham.

“Eh lo berdua ngapain disitu?!” Suara Yudha berteriak dan berniat menghampiri sepasang kekasih itu.

“Jangan liat ke sini Yudh!” teriak Tsanny. Yudha langsung memutar tubuhnya dan kembali ke tenda.

Saat itu juga, tiba-tiba saja Tsanny mengecup pucuk kepala Deliana singkat.

“Itu, Del! Barusan matahari tabrakkan sama bumi! let me be your sun from now on!” ia mengusap kepala Deliana dengan lembut.

Matahari mulai menampakkan seluruh bagiannya, sudah bulat sempurna keluar dari persembunyiannya. Di hari pertama tahun baru, Deliana dan Tsanny memulai hari yang baru. Sudah sepakat untuk saling terbuka satu sama lain dan saling membantu satu sama lain layaknya sepasang kekasih.

Memang mereka tak bisa memprediksi masa depan, bisa saja ada badai lain menerjang. Namun selama matahari dan bumi tidak lelah, keduanya tak akan pernah menyerah.


#injunoona


“Until your last day here, I'll be by your side.”

*** Satu detik setelah membaca pesan dari Haknyeon, Via refleks bangun dari posisinya yang sedang merebahkan tubuh dan berlari ke luar.

Ia mendongakkan wajahnya ke langit di halaman rumah ternak dengan hati yang sangat bahagia.

“woaaaah! gue bisa pegang salju..”

Via menutup mulutnya seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. butiran-butiran es halus turun dari langit, yang belum pernah ia saksikan dengan matanya sendiri. sebelumnya cuma liat di TV— film home alone.

“gue harus mengabadikan ini”

Ia membuka kamera di ponselnya lalu ngarahkan kameranya ke langit dan mengambil posisi berlutut, indah.

“lo ngapain duduk di bawah begitu, Vi?”

“ngambil video” jawab Via tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

“ini dingin Via! lo gak pake jaket?” Haknyeon yang memegang payung menutupi Via yang rambutnya sudah mulai dipenuhi butiran es.

“Ih minggir, payungnya ngehalangin!”

Via mendorong kaki Haknyeon hingga lelaki itu menjauh tiga langkah darinya. Kemudian ia kembali sibuk dengan kamera ponselnya.

astaga gak ngerti romantisme banget —batin Haknyeon.

“demi tuhan, Via!! ini dingin. masuk!!”

Via mendongak ke arah Haknyeon karena sekarang posisinya sedang jongkok.

“galak banget!”

Haknyeon melangkah dan kembali memposisikan payungnya di atas kepala Via.

“bukan gitu, kalo lo sakit nanti harus gue gendong lagi! berat tau!” bohong. aslinya memang khawatir.

“iyaaaa” Via berdiri dan melangkah ke teras rumah, diikuti Haknyeon.

Sekarang mereka berdiri di teras rumah ternak, membersihkan butiran-butiran es yang tersisa di tubuh masing-masing.

“lo mau ngapain kesini?” tanya Via sambil menepuk-nepuk rambutnya, membersihkan es yang tersisa di sana.

“nih balikin tas lo” Haknyeon menunjukkan tas putih milik Via.

“kan gue udah bilang nanti aja besok”

“gak papa ini gue inisiatif”

“lebay banget, padahal isinya juga gak penting. gak dibutuhin sekarang”

“kalo gue bilang gue mau ketemu lo, gimana?”

“jangan ngarang”

“loh serius, Via”

“gue mau bilang sesuatu”

deggg

Tak dapat dipungkiri, seluruh tubuh Via seketika membeku.

Via sangat amat tahu jika Haknyeon adalah seorang yang tidak kenal basa basi, tapi tetap saja ia selalu terkejut.

“mau bilang apa?”

“gue sayang sama lo, please stay with me” —enggak. Haknyeon gak bilang gitu, itu cuman isi hatinya doang.

Via, let's spend your 4 month left here with me

Via terdiam, dia masih memproses kalimat yang akan ia keluarkan untuk menjawab ajakan Haknyeon.

“maksudnya?”

“selama lo disini, gue mau manfaatin waktu itu, Vi. Gue gak mau nyesel. Gue bener-bener mau sama lo”

Tempo detak jantung Via mendadak menjadi cepat. “anjir maksudnya tuh dia confess apa gimana sih?”

I'll be your tour guide! lo mau kemana aja? bakal gue temenin. Jangan sia-siain waktu lo disini! Jangan sekedar rumah ternak-peternakan, peternakan-rumah ternak doang. lo harus eksplor Jeju! Sampai hari terakhir lo disini, gue bakal ada disamping lo”

“Haknyeon..”

“kenapa Vi? lo kedinginan lagi?”

Haknyeon menempelkan punggung tangannya di dahi Via.

“ih bukan!”

“terus kenapa? eh bener harusnya lo masuk! maaf gue malah ngomong di teras. masuk-masuk!”

Tubuh yang lebih kecil didorong oleh yang lebih besar masuk ke dalam rumah, tapi yang mendorong tetap di teras.

“udah malem, Via. gue pulang aja. nih tas lo! lain kali jangan lupa lagi!”

Haknyeon menyodorkan tas milik Via yang sedari tadi ia pegang erat.

Setelah tas itu sudah berada di tangan sang empunya, Haknyeon memutar tubuhnya dan berjalan menjauh dari Via.

“kok lo pergi, sih?”

Haknyeon refleks menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Via.

“kenapa, Vi?” Haknyeon setengah teriak karena sekarang ia dan Via cukup berjarak.

“lo biasanya selalu mau tau jawaban gue, tapi kok sekarang lo malah pergi?”

Haknyeon menatap Via dengan tatap yang penuh harap.

“gak tau, Vi. gue deg-degan”

Via tertawa kecil. Haknyeon tetaplah Haknyeon yang blak-blakan.

“yaudah, Hak”

“apa?”

“ayo!”

“apa Via? yang jelas!”

“be my tour guide!”

Haknyeon tersenyum ke arah Via dan di balas dengan senyuman lagi.

Akhirnya sang lelaki yang masih memegang payung itu kembali berjalan menjauh dari Via, namun ia menoleh kembali setelah beberapa langkah, “see you tomorrow, then!

Via hanya mengangguk dan kemudian masuk setelah Haknyeon pergi dari hadapannya.


#injunoona

*** Setelah menyelesaikan berkas untuk penelitiannya di peternakan hari ini, pukul empat sore, Via bergegas berjalan menuju rumah Haknyeon yang jaraknya tak jauh dari peternakan babi.

Entah kenapa, langkahnya terasa sangat ringan dan cepat. Via tak bisa memungkiri bahwa ia sangat senang hari ini. Setelah 10 hari tak bertemu dengan Haknyeon, karena Ibu Kim melarang anaknya berkeliaran setelah pulang dari klinik.

Hari ini, setelah gips di jempol kaki Haknyeon dilepas, akhirnya Via bisa melihat Haknyeon lagi.


“Hai Via!!”

Haknyeon melambaikan kedua tangannya ke arah Via yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Jarak keduanya masih lumayan jauh, tapi Via sudah bisa merasakan aura positif yang diberikan Haknyeon padanya.

“Hai, hak! gimana sekarang?” maksud pertanyaan Via adalah merujuk pada kakinya.

“udah sembuh dong gue, nih liat”

Haknyeon melompat-lompat kecil di hadapan Via, yang sedetik kemudian disenyumi oleh wanita berhoodie hitam itu.

Haknyeon terdiam tak mengucap kata apapun setelah loncatannya.

“kenapa lo ngelamun?”

“bukan, gue lagi merasakan diri”

“merasakan diri gimana deh?”

“detak jantung sama aliran darah gue kayaknya jadi nambah cepet”

“random banget”

“enggak, ini beneran”

“itu efek samping karena jempol lo keinjek sapi kali”

“ih bukan... itu karena..”,

belum selesai kalimat Haknyeon, Via menghindar dan berlari mendekati Seungkwan yang sedang duduk di teras rumah dengan earphone yang menggantung di telinganya.

“itu karena gue seneng bisa ketemu lo lagi setelah dua minggu, Vi!” gumam Haknyeon setelah Via berjalan menjauh.

Dengan wajah kusutnya, Haknyeon mengikuti Via kemudian bergabung bersama Seungkwan.

“Seungkwan lo lagi ngapain”

“jangan ganggu gue, gue lagi healing” Seungkwan dengan ciri khas nya yang selalu jutek mengangguk-angguk, sepertinya mengikuti alunan musik yang ia dengar.

“ihhh! gue sama Haknyeon sekarang mau buat seblak, mau join?”

“apaan tuh seblak?”

“makanan” Via menjawab spontan.

“makanan yang gimana?”

“enak pokonya”

Seungkwan melepas sebelah earphone nya kemudian melirik ke arah Haknyeon.

Haknyeon yang berdiri di belakang Via menggeleng-gelengkan kepalanya, mengisyaratkan agar Seungkwan menolak ajakan Via.

Seungkwan memutar bola mata nya dan kemudian berdiri.

“gak deh, sorry ya guys gue balik dulu”

“eh kenapa?” Via kecewa.

“yahhhh... gak seru dong kalo gak ada lo, Kwan” —tentu saja ucapan Haknyeon yang ini bohong dan hanya basa basi

“mau bermalas-malasan di rumah, bye!”

Seungkwan berjalan menjauh dari Via dan Haknyeon yang masih berdiri di teras rumah.

“yahhhh” Via semakin kecewa,

Di sisi lain Haknyeon merasa puas atas bantuan temannya yang membiarkannya berduaan dengan Via.

“ya udah, Hak. kita beli bahan-bahannya dulu yuk!”

“udah ada kok di dapur gue”

“beneran?”

Haknyeon mengangguk.

“ya udah ayo!”


“eh bentar deh, Hak. gue agak lupa bumbu nya itu bawang putih, bawang merah, cabe terus ada satu lagi... jahe gitu?”

“iya jahe, gue inget kan waktu itu gue nonton vlog”

“yang bener ah?”

“bener, Vi”

Percakapan tentang bumbu seblak di depan kompor di dapur Haknyeon menjadi satu-satunya sumber suara sore ini, mengingat tak ada siapa pun di rumah Haknyeon kecuali mereka.

“bentar deh, Hak. gue tanyain temen gue dulu”

googling aja kali!”

“oh bener”

Via mengeluarkan ponselnya dan mencari “resep seblak” di search tab.

“ih lemot! sinyalnya jelek bangettt!”

“udah lah bener jahe, Vi”

“ya udah lah. masukin ke blender bumbunya semua”

Haknyeon melakukan semua yang Via instruksikan.

*** Via sekuat tenaga menahan tawanya agar tak dilihat oleh Haknyeon. Rasa seblak yang mereka buat sangat aneh.

“Kenapa lo, Vi? kok gak dimakan?” Haknyeon bertanya sambil mengunyah.

“kata lo ini enak gak?”

“enak kok” Haknyeon menjawab dengan yakin.

“makan Via... abisin! lo itu gak boleh buang-buang makanan. apalagi buatan sendiri, kan sayang”

“tapi gue gak bisa abisin ini”

“kenapa deh?”

“bentar bentar”

Via kembali membuka ponselnya, sekarang sinyal internetnya sudah kembali membaik.

“tahan Viaa.. jangan ketawa” dalam hati Via, ketika melihat ternyata jahe tak ada di daftar resep seblak. Yang betul adalah kencur.

“sini gue abisin, Vi!”

Haknyeon menarik mangkuk milik Via ke hadapanya.


#injunoona


!!mencantumkan kekerasan, darah, kecelakaan!!


Pengirim pesan misterius's POV

Aku berada disamping Abimanyu dari semenjak ia dilahirkan ke bumi. Dia masih sangat kecil dan lucu saat itu.

Ketika Suster Fina memeluk Abimanyu dan melangkah keluar dari ruang persalinan di rumah sakit yang tak jauh dari panti asuhan, aku sangat bahagia. Anak itu selamat.

*** Mobil hitam yang berasap dengan kondisi yang sudah berantakkan ditemukan oleh suster Fina yang melintas di jalanan sepi dan turun hujan malam itu, 23 tahun yang lalu. Mobil itu menabrak pohon besar di pinggir jalan.

Suster Fina dengan cepat memeriksa ke dalam mobil itu dan ia sangat terkejut kala melihat seorang wanita yang berlumuran darah di wajahnya. Terkejutnya ditambah lagi dengan kenyataan bahwa wanita itu sedang hamil besar. Ia segera menelepon ambulans, dan Ibu hamil itu bisa segera mendapat pertolongan.

Namun sayangnya, yang selamat hanya bayinya.

Bayi laki-laki yang suara tangisnya masih jelas terdengar ditelingaku hingga detik ini, kala itu dipeluk dengan penuh tangis oleh Suster Fina. Ia diberi nama Abimanyu.

Aku juga ikut menangis kala itu, aku menangis karena bahagia Abimanyu bisa selamat dari kecelakaan maut itu. Namun disisi lain, aku juga menangis karena menerima kenyataan bahwa bukan aku yang memeluk Abimanyu, anakku sendiri.

*** Malam itu aku merasakan sakit yang sangat dahsyat di perutku. Aku melaju membawa mobilku sendiri, karena aku pikir masih bisa menyetir mobil mengingat jarak rumahku menuju rumah sakit terhitung dekat.

Aku hidup sebatang kara. Orang tuaku menelantarkanku ketika aku menikahi lelaki pilihanku. dan ketika suamiku meninggal dunia saat usia kandunganku memasuki 3 bulan, saat itulah aku benar-benar hidup sendirian.

Jalanan sangat sepi kala itu karena hujan. Aku sudah sangat hati-hati mengontrol laju mobilku, namun naas nasib baik tak sedang berada dipihakku.

Tiba-tiba saja rasa sakit perutku menjadi semakin kuat. Hingga aku mengernyit dan kakiku tak sengaja menginjak pedal gas mobil dengan kuat dan membuat laju mobilku menjadi sangat cepat dan hilang kendali. Saat itulah terakhir kali aku bisa merasakan tubuhku.

Aku menangis menyaksikan dengan mataku sendiri tubuhku yang berlumuran darah, berharap ada yang melintas untuk memberikan pertolongan padaku dan bayiku, menjadi penyelamat bagi kami. Suster Fina lah orang nya.


Senyuman bahagia terpancar dari wajah suster Fina kala bibir kecil Abimanyu yang berusia satu tahun mulai bisa menggumamkan “suster”, tapi Abi malah mengucapnya dengan “sus-se”. Sangat menggemaskan.

Namun aku yang tak terlihat oleh mereka menangis, sakit hatiku menerima kenyataan bahwa bukan kata “Ibu” yang anakku bisa ucapkan pertama kali.


Abimanyu yang berusia 4 tahun sangat bahagia kala mendapat teman baru yang bernama Kaivan.

Kaivan dipindahkan dari luar kota karena panti asuhan tempat ia tinggal dulu sudah tidak bisa beroperasi.

Aku lega, akhirnya Abimanyu memiliki teman yang seusianya. Mengingat beberapa anak disini kebanyakan sudah bersekolah, Abimanyu jadi sendirian ketika anak-anak lain pergi sekolah. Kehadiran Kaivan membuat Abi-ku tak kesepian lagi.


Memasuki kelas satu sekolah dasar, Abimanyu dan Kaivan yang berusia lima tahun duduk bersampingan.

Mereka kebingungan saat melihat teman-teman yang lain diantar oleh Ibu atau Ayahnya dengan kecupam dan pelukkan. namun Abi dan Kai tak protes atau bahkan saling bertanya “Ibu dan Ayah kita dimana?”.

Lagi-lagi aku yang tak terlihat oleh mereka tidak bisa menahan tangis. Aku menyalahkan diriku sendiri. Andai saja aku bisa menahan rasa sakitku malam itu, atau andai saja malam itu aku memilih menelepon ambulans dari pada nekat menyetir, mungkin Abimanyu sedang tersenyum dipelukanku sekarang.


Abimanyu yang berusia 12 tahun mulai menyukai olah raga basket. Ia mengumpulkan uang jajan sekolah yang diberi dari kepala panti untuk membeli bola dan ring basket.

Ia hampir setiap hari sepulang sekolah bermain di halaman panti asuhan. Ditemani Kaivan yang duduk di dekatnya sambil menggambar.

Aku sangat bersemangat melihat Abimanyu semakin akrab dengan bolanya. Aku bahkan selalu bersorak kala ia berhasil memasukkan bola ke dalam ring, “horeeee! hebat! Abi hebat!”, “ayo masukkin lagi kamu pasti bisa!!”.

Teriakkanku sangat nyaring di telingaku, namun tetap tak terdengar oleh Abimanyu dan Kaivan.


Di kelas 10 sekolah menengah, Abi dan Kai lagi-lagi bersekolah di sekolah yang sama. Dan lagi-lagi dibiayai oleh beasiswa.

Abi memang sudah bertekad untuk masuk ekstrakurikuler basket, ia mengganti cita-citanya; “ingin menjadi atlet basket” saat kelas 8 SMP.

Namun duniaku sekan runtuh dan meledak. Saat putraku diperlakukan dengan tidak manusiawi oleh orang yang bahkan ia sempat idolakan.

Tubuhku yang berdiri tepat di depan tubuh Abimanyu tak terlihat oleh mereka dan tak mampu menghalangi pukulan yang didaratkan oleh anak-anak bertubuh besar itu, tubuhku bisa ditembus. Sekuat tenaga aku melindungi Abi, namun tak berguna sama sekali.

Pukulan-pukulan itu menembus tubuhku dan tetap menyakiti Abimanyu. anakku yang malang disiksa di depan mataku sendiri.

Aku menyaksikan bagaimana tubuh lemah Abimanyu yang diseret oleh lima orang berandalan menuju gudang sekolah.

Abimanyu ditelanjangi. Ia difoto oleh kamera ponsel Gibran dan kemudian foto anakku yang telanjang dada itu dicetak dan ditempel di semua mading sekolah. hatiku seperti disayat sayat lalu kemudian ditetesi air keras. sangat menyakitkan.

Aku menemani Abimanyu ketika ia tergeletak di lantai dingin gudang sekolah hingga larut malam. Aku memanggil-manggil namanya sekuat tenagaku namun percuma saja, aku tak kedengaran.

Hingga ketika Abimanyu sadarkan diri, aku tahu ia menahan sakit dan hancur hatinya. Aku tahu ia sangat ketakutan berada di ruangan gelap itu sendirian.

“tak apa Abi, menangislah” ucapku disamping Abimanyu.

Aku sangat terkejut ketika melihat layar ponsel Abimanyu yang retak menampilkan pesan yang entah dari siapa, namun isi pesannya sama persis dengan apa yang baru saja aku katakan.

Aku membungkam mulutku, apakah Tuhan memberiku kesempatan untuk bisa berkomunikasi dengan putraku?


Hari-hari setelah Abimanyu dipukuli, ia tetap menderita. Foto-foto dirinya tetap ada di mading sekolah setiap hari.

Kaivan sampai rela datang sangat pagi demi merobek semua foto Abi di mading sekolah, agar yang melihat tidak terlalu banyak. Namun tetap saja, semua orang sudah tidak menyukai Abi.

Hari-hari dimana uang Abimanyu dipalak oleh Gibran dan teman-temannya, hari-hari dimana Abi disiskriminasi karena dirinya yang yatim piatu, hari-hari ketika Abimanyu menahan lapar di sekolah karena tak punya uang jajan, aku selalu ada disampingnya.

Aku sangat ingin memeluknya, namun aku tak pernah kelihatan.

Pesan-pesan yang aku sampaikan pada Abimanyu yang entah bagaimana bisa menjadi bubble chat itu kadang membuatnya takut. Aku ingin berhenti, namun aku tak tahu bagaimana carannya.

Abimanyu pernah tidak menyalakan ponselnya seharian untuk menghindariku, melempar ponselnya, memblokir room chatku. Namun nihil, pesanku tetap sampai padanya.


Abimanyu sangat bahagia, terpancar dari wajahnya. Ketika ia dan Kaivan akhirnya lulus dan bisa meninggalkan sekolah SMA mereka yang bagaikan neraka.

Kaivan dan Abimanyu bisa melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas karena ada Suster Fina yang rela banting tulang demi mendapatkan beasiswa untuk mereka berdua.

Ucapan selamat yang aku berikan dalam bentuk bubble chat, tak Abimanyu tanggapi.


Di hari pertama Abimanyu bekerja menjadi penyiar radio, lagi-lagi aku mengucapkan selamat dan pesanku tak ia hiraukan.

Abi-ku sudah tumbuh menjadi pria dewasa yang sangat tampan. Ia mandiri dan mudah bergaul, ia sudah tidak diremehkan lagi oleh orang lain.


Abimanyu sangat marah saat aku mengomelinya karena ia tak makan sama sekali di hari ini karena sibuk bekerja.

Ia kira aku penguntit, bahkan ia melaporkan chat ku ke kantor polisi. Namun polisi tak dapat melacaknya.

Aku menangis menatap putraku yang telah tumbuh dengan baik ini. “maaf, Ibu mau berhenti kirimi kamu pesan tapi gak bisa, Ibu gak bisa kontrol kapan dan apa aja pesan yang bisa sampai ke kamu. maafkan Ibu, nak”.

permintaan maafku tak digubris, karena aku tak terlihat dan suaraku tak terdengar.


Tatapan Abimanyu pada Larasati hari itu berbeda. Di hari pertama Larasati masuk kerja, Abimanyu sudah menyukainya.

Aku terus memberinya saran untuk menyatakan perasaannya pada Laras, namun ia sama sekali tak menghiraukan pesanku di ponselnya.

Hingga setelah 8 bulan pertemuannya dengan Laras, Abimanyu baru berani menyatakan perasaannya.

Malam itu aku sangat bahagia, aku kira mulai sekarang aku bisa pergi ke tempatku yang seharusnya.

Abimanyu telah tumbuh dewasa dan memiliki dambaan hatinya, lantas apalagi yang aku inginkan di dunia ini?.


Selama delapan tahun, pesanku yang

“Ini Ibu”,

“aku Ibu kamu”,

“jangan marah Abi, pesan ini dikirim oleh Ibumu”

dan pesan-pesan pengakuan lainnya, tidak pernah satupun sampai ke ponsel Abimanyu. Entah kenapa, mungkin Tuhan mencegahnya dan saat itu bukan waktu yang tepat?.

Namun hari ini, pesan pengakuan itu Abi terima. Bersamaan dengan menghilangnya aku di bumi, menghilangnya aku dari sisi Abi.


#injunoona


Lelaki setinggi 175 cm yang memakai sneakers berwarna nude itu kini berlari sambil sesekali melihat penanda waktu di pergelangan tangan kirinya, ia hampir terlambat.

Tangan kanan Abi merogoh kantong celananya untuk mengambil dompet ber-material leather yang sudah ia gunakan selama setahun penuh, ia membutuhkan kartu identitas pegawai yang akan digunakan sebagai kunci elevator gedung 20 lantai di tengah kota Jakarta ini. Studio siaran radio tempatnya bekerja berada di lantai 7.

Sudah setahun Abimanyu bekerja menjadi penyiar radio. Setelah 6 bulan bekerja, ia baru dipercayai untuk mengisi acara tetap yang disiarkan setiap pukul 4 sore setiap harinya.

Tentang Kaivan, sekarang ia sudah menjadi seorang designer assistant di perusahaan sepatu. Namun ia selalu menyebut dirinya 'pembantu' dari pada 'asisten'.

*** “Abi!”

Perempuan bersurai hitam sebahu yang dikuncir asal berlari menghampiri Abimanyu yang berdiri tepat di depan lift. Itu Larasati.

Abimanyu tersenyum,

“Eh, ras! tumben lo telat juga?”

“iya ih tadi MRT nya agak telat, katanya ada kesalahan teknis. Tau gitu gue pake taksi aja tadi, terus mana di jalan tadi gue jatoh! nih liat rok gue robek” ia menunjukkan robekkan kecil di bagian lutut roknya.

tingg — pintu lift terbuka,

Abimanyu spontan masuk ke dalam lift, diikuti Laras.

Tiba-tiba hening. hanya ada mereka berdua di dalam lift sore ini.

“eh, sorry ya Abi. kayaknya gue kebanyakan ngomong dan too much information” ucap Laras ketika layar LED lift menunjukkan angka 2, yang berarti mereka baru naik satu lantai.

“eh santai aja, ras! tapi itu lo gak kenapa-napa, kan? soalnya sampe robek gitu?”

“gapapa gapapa, cuma gini doang mah gak kerasa!” Laras tersenyum pada Abi, menampilkan giginya yang terdapat satu gingsul di jajaran atas.

Bagi Larasati, senyuman itu hanya sekedar senyuman. Namun bagi Abimanyu, itu bagaikan peningkat hormon serotonin nya, ia merasa tenang dan nyaman.

Larasati baru 8 bulan bekerja sebagai Redaktur Musik dan kebetulan ia bekerja di acara yang sama dengan Abimanyu. Selama 6 bulan ini ia tak pernah menyadari, bahwa Abimanyu menyimpan rasa padanya.

tingg

Sudah di lantai 7 Abimanyu keluar terlebih dahulu, namun netranya tetap memperhatikan langkah kaki Larasati yang ternyata sedikit tersengal-sengal.

“lo beneran gapapa, ras?” Abimanyu membuka obrolan sambil mereka berjalan menuju studio siaran.

“bener, Abi! lo kenapa deh kayak gak percaya banget!”

“tapi jalan lo kayak gitu”

“kayak gimana?”

“pincang sedikit”

emang sakit, dikit -batin Laras.

“gapapa kok, Abi!” Laras bohong.

“kita prepare siaran bisa cepet kali ya? lo obatin dulu lukanya”

“gue gapapa yaampun!”

Tanpa menggubris Laras, Abi menarik tangan wanita ber-rok hitam yang panjangnya hingga betis itu dan memaksanya duduk di kursi koridor menuju studio.

“eh lo mau ngapain?”

Laras terkejut ketika Abimanyu tiba-tiba berlutut di depannya yang duduk di kursi koridor.

sorry, coba lo liat luka di lutut lo!”

Laras membeku, ia kaget dengan perilaku Abi yang mendadak menjadi sedikit blak-blakan. Ia mengangkat roknya hingga lutut, dan luka di lutut kirinya kini terlihat jelas oleh Abimanyu.

Abimanyu meringis, luka di lutut Laras ternyata lumayan parah.

“lo bilang ini gapapa?”

Laras hanya terdiam sambil kembali menutup luka itu dengan rok nya.

“udah Abi, kita telat” Laras berdiri dengan tergesa dan berjalan cepat menuju studio.

Abimanyu menghela napasnya kasar, Larasati memang sangat keras kepala. Namun sifatnya yang keras kepala dan suka bercerita itu lah yang membuat Abi bisa jatuh hati.

Ia sedikit berlari menyamakan kecepatan dengan Larasati.

“lo emang ya, batu banget!”

Abimanyu berlari lebih cepat dan akhirnya ia sampai di studio lebih dulu.

***

“Larasati, kakimu cedera ya?” tanya Calvin, produser siaran.

“eh, enggak kak. cuman jatuh dikit doang tadi”

“udah bersihin dulu sana, obatin!” lanjut Calvin.

“tapi kak” belum selesai ia bicara, Calvin memotongnya.

“Abimanyu katanya bisa handle kerjaan kamu buat prepare siaran. kita masih ada waktu 20 menit”

“oke deh, kak. saya bersihin dulu” Laras pasrah sambil melirik ke arah Abimanyu yang sedang mengacungkan jempol padanya. kok perhatian banget -batinnya.

***

Pukul 6 sore, Abimanyu menghubungi Kaivan untuk mengabari bahwa ia telah selesai bekerja. Sambil berjalan keluar dari studio, ia tetap fokus pada ponselnya.

“awas nabrak tembok! fokus ke hape mulu!”

Larasati meledek Abimanyu yang kemudian hanya direspon dengan senyuman.

“lagsung pulang, bi?”

“enggak, ras. gue ada janji makan malem”

“ooooh.. sama pacar?”

“enggak! sama temen!”

“yaudah gak usah sambil ngegas dong”

“eh gue barusan ngegas ya? sorry sorry

“santai”

“lo gimana, ras?”

“gak tau, kalo langsung pulang gue bakal gabut. gue gabung makan malem sama kalian boleh, gak? kalo gak boleh gapapa kok! gue bisa pesen taksi online aja dari sekarang”

“gue belom jawab, Larasati!”

“ehehehe”

“ayo kalo mau gabung”

“beneran?”

Abimanyu mengangguk, yang kemudian dibalas dengan senyuman Larasati serta loncatan kegirangan. hati Abimanyu berantakkan melihatnya.


Kaivan dan pacarnya Hilma tersenyum meledek kala melihat Abimanyu ternyata datang bersama Larasati.

“Hai!!” Laras dengan ciri khas nya yang ceria menyapa Kaivan dan Hilma terlebih dahulu.

“haii!” balas Kaivan dan Hilma serentak.

“aduh sorry banget ya gue ikutan gabung, soalnya gue gabut banget kalo pulang! gue Laras”

Larasati dan sifat suka berceritanya, mengulurkan tangan kanannya kepada Kai dan Hilma.

“gapapa santai aja, ras! kita malah seneng kalo lo ikut gabung! gue Kaivan” sambil tersenyum seraya menjabat tangan Laras.

“gue Hilma”

“Hilma cantik banget!” Laras tersenyum dan tertegun melihat paras Hilma yang memang sangat cantik, hingga tidak sadar ia terus menggoyangkan tangan mereka yang masih berpegangan.

“makasih, ras! lucu banget deh, kamuu!”

“udah kali, ras pegangannya!” celetuk Abimanyu.

“eh eh iya maaf, abisnya speechless” ia langsung melepas jabatan tangannya dengan Hilma.

“eh ayo mau pesen apa? gue sama Kai udah pesen duluan tadi” Hilma menyodorkan buku menu pada Abimanyu dan Larasati.

***

“emang disini lumayan lama ya nunggunya?” tanya Laras karena mereka sudah menunggu makanan cukup lama.

“enggak juga, ini kebetulan aja jam pulang kerja. jadi banyak yang makan” jawab Kaivan yang sudah sering makan di restoran ini.

“oh bener juga” Laras mangut-mangut dan kemudian hening kembali.

Larasati memperhatikan Abimanyu yang selalu mengabaikan notifikasi yang muncul pada layar ponselnya.

“Bi, kenapa lo biarin? gak dibaca?”

“gak penting”

“gue sering liat lo kayak gini, gak baca chat masuk”

“iya. itu emang gak penting, Laras....”

“kok tau gak penting padahal belum liat isi chat nya?”

spam itu mah, orang yang nawarin pinjaman online

“oooh hahaha. kalo ada notifikasi dari gue, lo bakal anggurin jug-?”

“enggak dong” Abi menjawabnya bahkan sebelum Laras menyelesaikan kalimatnya.

“widihhh” Larasati tertawa sementara Abi salah tingkah karena menyesali perbuatan bodohnya barusan yang sangat menunjukkan antusiasmenya pada Laras.

“Abi, ada gitar tuh disana! nyanyi gih biar ini restoran gak sepi-sepi amat!” kata Kaivan sambil menunjuk ke arah sudut kanan ruangan restoran yang lumayan luas ini.

“gak ah malu”

“dih, lo kan biasanya juga suka nyanyi dari dulu waktu kerja di Sederhana!” Sederhana —nama rumah makan tempat Abimanyu bekerja waktu SMA.

“ya tapi kan sekarang beda!” mata Abi memberi isyarat pada Kai untuk tidak bertingkah karena saat ini ada Larasati. Hilma terkekeh dibuatnya.

“mas, ini temen saya mau nyanyi katanya. boleh gak itu gitarnya dipake?” celetuk Laras tiba-tiba setelah menghentikan langkah pelayan yang lewat di depan meja mereka.

“oh boleh silahkan, kak!” jawab pelayan tersebut.

Abimanyu, Kaivan dan Hilma terkejut menyaksikan tindakan Larasati.

Abimanyu: terkejut karena ia mau tak mau harus maju dan bernyanyi, Kaivan & Hilma: terkejut karena Laras sangat peka mencerna situasi.

“Laras!” protes Abi.

“udah maju aja lah, gabut gue!” balasnya.

Abi menghela napas kasar dan kemudian bangkit dan melangkah ke arah music corner. note; karena Larasati yang menyuruh. kalau Kaivan, dia ogah.

***

“lagu ini gue dedikasikan buat teman-teman yang lagi galau dan sulit menyatakan perasaan, padahal kesempatan sudah lapang di depan mata. Akulah Dia, dari Drive

Sorak sorai pengunjung restoran merespon Abi membuat suasana tak hening lagi, semuanya tertuju pada suara merdu Abimanyu.

Abi yang berbicara santai di depan banyak orang sangat mencerminkan dirinya yang seorang penyiar, ia sudah lihai.

Senar-senar gitar itu ia petik hingga mengalunkan suara yang merdu.

Tak pernah berhenti Mencari cinta Selalu saja ada Yang tak kamu suka Terlalu jauh Engkau melihat Coba rasakan yang ada di sekitarmu..

Sesungguhnya dia ada di dekatmu Tapi kau tak pernah menyadari itu Dia slalu menunggumu Untuk nyatakan cinta

Sesungguhnya dia adalah diriku Lebih dari sekedar teman dekatmu Berhentilah mencari Karna kau t'lah menemukannya

Suara tepuk tangan pengunjung restoran mengapresiasi nyanyian Abimanyu memenuhi seisi ruangan. Semuanya merasa terhibur dengan lagu tadi.

Namun ada seorang yang rupanya malah tertegun, mencerna setiap lirik yang dinyanyikan oleh Abimanyu. Merasa ada hal tersirat dalam lagu itu. Ia terdiam ditengah sorak keramaian, ia Larasati.

Abimanyu kembali ke mejanya lagi tepat saat makanan yang mereka pesan tiba.

Selama makan malam, Abi merasakan ada hal yang berbeda pada Laras. Ia agak sedikit canggung.


#injunoona

!!mengandung kata kasar, kekerasan, konflik keluarga, darah!!


Abimanyu tersenyum setelah mematikan ponsel barunya seusai mengirim pesan pada Kaivan. Ia baru saja memiliki ponsel itu selama dua hari terhitung dengan hari ini, didapat dengan menabung dari penghasilannya menjadi pelayan di Rumah Makan Padang setiap hari minggu.

Ia meneguk air mineral dari botol plastik di warung Mang Imam yang berada di depan sekolah setelah selesai memakan satu porsi mie ayamnya. Ia berjalan kembali masuk ke dalam bangunan sekolah untuk bertemu dengan Gibran, kakak kelasnya yang mengajak ia bertemu untuk membicarakan ekstrakurikuler basket yang sangat Abi minati.

“Abimanyu!!” Gibran memanggil Abi dari balkon lantai atas sekolah. Lelaki itu bertubuh tinggi dan kekar,Jauh lebih besar dari Abimanyu. Ia melambai kepada Abi mengisyaratkan agar Abi menghampirinya.

tok tok Abimanyu mengetuk pintu kelas yang jelas-jelas sudah terbuka. Ia pikir itu akan terkesan lebih sopan mengingat yang berada di dalam kelas adalah kakak kelas yang sangat ia hormati dan menjadi role model baginya dalam hal bermain basket.

“Masuk aja”

Siswa SMA kelas 10 yang menggendong tas biru di punggungnya itu tersenyum simpul sambil mangut-mangut kemudian masuk ke ruang kelas yang terdapat 5 orang siswa kelas 12 di dalamnya, termasuk Gibran sang ketua team.

Abimanyu yang sudah terlihat sangat lelah karena seharian penuh bergelut dengan bukunya, mengumpulkan kembali energi untuk bisa terliat bersemangat karena Gibran di hari sebelumnya mengatakan bahwa hari ini akan menjadi hari interview untuk Abimanyu sebelum masuk ekskul Basket.

“oke Abi, disini gue gak mau banyak basa-basi” Gibran membuka pembicaraan tepat setelah Abi duduk di hadapannya dan keempat temannya. Abi hanya mendengarkan dengan seksama.

“lo tau kan ekskul basket sekolah kita ini udah terkenal sebagai team yang kuat dan berprestasi bahkan sampai tingkat nasional?” lanjut Gibran.

“Iya tau, kak”

“Jadi kalo lo mau gabung ke team kita, lo harus lolos seleksi”

“jadi gue harus tanding dulu ya kak?”

Rupanya pertanyaan Abimanyu itu dianggap lelucon oleh kelima kakak kelasnya, karena mereka terlihat terkekeh dibuatnya.

“lo ini polos atau gimana, sih?” seorang yang menggunakan vest hijau membuka suara.

“gini Abimanyu, kita kan kelas 12 udah mulai sibuk ngerjain latihan-latihan soal buat ujian, sedangkan kita masih harus aktif di basket satu semester lagi. Lo disini kan posisinya masih di kelas 10, gimana kalo lo yang kerjain tugas-tugas sekolah kita? Kan jadinya sama-sama enak. Kita ngebantu lo masuk ke ekskul, dan lo bantuin kita urusin tugas sekolah”

Abimanyu mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Gibran dan ia rasa ini tidak beres. Ini bukan interview masuk ekskul, tetapi ini perundungan. Abi menunduk merangkai kata dalam otaknya memikirkan bagaimana cara ia menolak hal bodoh ini.

sorry kak, kayaknya kalo gitu gue gak bisa”

“loh, jadi lo gak minat lagi masuk basket?” kali ini lelaki berambut ikal yang berbicara.

“bukan gitu, kak. Tadi kan Kak Gibran bilang kalo syarat masuk basket harus nge-handle tugas sekolah kalian, sedangkan gue gak bisa. Gue aja baru sebulan jadi siswa SMA, mana bisa gue kerjain tugas murid kelas 12. Iya kan?”

“serius lo gak akan nyesel udah bilang gitu?”

“iya, kak. Gue kayaknya harus pulang, udah mau hujan”

Abi bangkit dari duduknya kemudian melangkah ke luar setelah memandangi satu persatu kakak kelasnya yang kini tak lagi ia jadikan panutan.

“pulang, lo bilang?” suara Gibran menghentikan langkah Abimanyu yang sudah berdiri di depan pintu.

“lo bahkan gak punya rumah. Lo tinggal di panti asuhan kan?”

“lo masuk ke sekolah ini juga gratis. Gak usah belagu”

“wahhhh… gratis? Kayaknya bukan gratis deh, tapi duit kita yang dipake buat biayain dia”

“lo tau kan, Abimanyu? Kalo bokapnya Gibran itu donatur terbesar sekolah ini? Nah itu, duit yang dibilang beasiswa itu tuh duit dari bokapnya Gibran”

Ucapan-ucapan jahat itu ditembakkan satu per satu kepada Abimanyu dari mulut kelima kakak kelasnya yang masih duduk di tempatnya. Abi membeku di ambang pintu. Wajahnya memerah karena ia menahan marah. Ia benci berada disituasi ini.

by the way kenapa deh lo tinggal di panti asuhan? Lo dibuang ke tempat sampah?” ucap lelaki yang berkaca mata.

“anjing lo! Jangan sembarangan, kayaknya nyokapnya jadi TKW ke luar negeri, makanya dia disimpen di halaman panti asuhan” Gibran berucap sambil melipat kedua tangan di dadanya.

“hahahaha” gelak tawa dari kelima orang di dalam kelas pada ucapan yang sama sekali tidak lucu bagi Abimanyu.

Abimanyu menggenggam erat jahitan celana abu-abu yang ia kenakan dengan kedua tangannya. Ia marah. Seumur hidupnya sama sekali tak pernak ada yang menghinanya sejahat ini, ini yang pertama kali. Lebih menyakitkan lagi karena semua kata jahat itu terlontar dari orang yang sebelumnya bahkan ia idolakan. “brengsek”, ucapnya dalam hati.

Setelah menghela napas kasar, Abi memutuskan untuk melangkah lagi ke luar. Meninggalkan Gibran dan komplotannya. Ia tak mau memperpanjang masalah.

“atau jangan-jangan lo itu anak haram? Makanya lo dibuang ke panti asuhan sama orang tua lo”

Entah siapa yang mengatakannya, Abi sudah berada di luar kelas dan tak melihatnya. Namun kalimat itu membuat amarahnya meledak, ia kembali masuk ke dalam kelas dan menendang pintu kayu yang dicat warna putih itu dengan seluruh tenaga kakinya yang tersisa.

BRAKKK

Abimanyu yang sudah tak dapat menahan amarahnya, sekarang berdiri di hadapan kelima kakak kelasnya yang terlihat cukup terkejut dengan kejadian ini.

“lo semua boleh hina gue! hina gue sesuka kalian, sejahat apapun bakal gue terima. Tapi jangan sekali pun lo semua buat asumsi gila tentang orang tua gue! Lo semua anjing! Kata-kata tadi itu cuman omongan yang bakal diucapin sama orang brengsek. Dan lo semua itu brengsek!”

Suara napas Abimanyu terdengar hingga satu ruangan kelas. Tak terdengar suara lain selain deruan suara oksigen yang bertukar dengan karbondioksida yang dikeluarkan oleh sistem pernapasan Abimanyu. Ia sangat marah.

BRAKKK

Gibran bangkit dari duduknya setelah memukul meja menggunakan kepalan tangan kanannya, lalu menghampiri Abimanyu yang masih berdiri di depan kelas, diikuti keempat temannya yang lain.

“brengsek? Lo bilang kita brengsek?” ucap Gibran yang sekarang berada di hadapan Abimanyu, ia menyeringai seolah-olah meremehkan Abimanyu.

Abimanyu hanya terdiam, ia tak tahu kenapa tiba-tiba tubuhnya termasuk bibirnya membeku.

“hajar aja, Gib!”

“kurang ajar, gak tau malu. Dia pikir bisa ngomong seenak jidat sama kakak kelas?”

“pegangin” tatapan Gibran masih tak ia lepaskan kepada Abimanyu, ia menatap Abi dengan penuh kebencian.

Kedua teman Gibran yang menghampiri Abimanyu lalu memegang kedua tangan Abi di masing-masing sisi. Dan Abimanyu lagi-lagi membeku, ia tak melakukan perlawanan sama sekali.

bughh bughh dua pukulan didaratkan oleh Gibran di perut Abimanyu yang tentu saja membuatnya kesakitan napasnya sesak seketika.

“lo bilang gue brengsek? Gak tau terima kasih” bughh pukulan lain didaratkan Gibran pada pipi kiri Abimanyu yang otomatis membuat pipinya merah.

Keempat teman Gibran seolah puas melihat kejadian ini, mereka bersorak setiap kali melihat Abimanyu kesakitan. Bahkan ada seorang yang merekam kejadian mengerikan bagi Abimanyu ini dengan ponselnya.

“lo tau siapa yang bayar sekolah lo? Bokap gue!” bughhh kali ini kepalan tanngan Gibran mendarat kembali di perut Abi.

“awww” Abimanyu terlihat sangat kesakitan, “stop kak! Stop! Sakit!”

“aduuuuh anak suster kesakitan” suara itu tepat terdengar oleh telinga kiri Abimanyu.

“denger ya, A bi ma nyu! Lo itu gak akan ada di sekolah ini kalo bukan karena gue. Lo nyari gara-gara sama gue, selamanya lo gak akan tenang”

Abimanyu hanya menatap Gibran dengan tatapan memelas, ia hanya ingin ini semua berakhir.

“apa? Kenapa lo liatin gue?! Mau gue jotos lagi?!”

“stop kak!” suara Abimanyu kali ini terdengar sangat lemas.

“yaudah, nih stop” bughhh kali ini kepalan besar itu Gibran daratkan ke dagu Abimanyu, pukulan yang lebih bertenaga dari pada yang sebelumnya.

Darah segar mengalir dari hidung Abimanyu. Ia sudah tak dapat berucap lagi kali ini, pandangannya kabur, buram, kemudian menjadi gelap dan hitam.

“eh! Pingsan dia goblok!”

“aduh gimana ini”

“lemah anjing, padahal gue mukul gak pake tenaga”

“gimana dong ini, Gib?”


Jika kamu pikir bahwa Gibran akan berhenti sampai disini, kamu salah. Setelah hari ini Gibran dan teman-temannya tak pernah berhenti mengganggu Abimanyu, dan mereka sukses membuat Abi dipandang rendah oleh semua orang di sekolah, bahkan guru.


#injunoona


it's from him

*** Via tidak tahu pasti bagaimana ia mendeskripsikan kegelisahannya saat ini. Ia merenung, takut.

Ketakutan yang Via rasa adalah takut pada dirinya sendiri. Apakah ia bisa menahan perasaannya pada Haknyeon? yang semakin hari semakin membuatnya merasa nyaman berada didekatnya, Haknyeon yang tak pernah ragu menunjukkan perhatiannya pada Via.

Ia menangis malam ini. Ketakutan lain yang menghampiri Via adalah, lelakinya Yohan yang berada jauh darinya. Apakah Via akan menyakiti perasaan lelakinya? jika ia mengetahui bahwa mulai tumbuh rasa sayang kepada lelaki lain dalam hati Via-nya?.

Tangisnya semakin kencang, Via merasa sangat bersalah.

“gue enggak semangat, Haknyeon. lo bilang video dari lo bakal jadi penyemangat? tapi kok gue malah nangis. gue takut”

***

Via terkejut saat seseorang mengetuk pintu rumah ternak.

Ia lekas mengusap sisa-sisa air mata di wajahnya, kemudian membuka pintu.

“Seungkwan? lo ngapain kesini malem-malem?”

“nih” ia menyodorkan plastik besar berwarna putih pada Via.

“apa?”

“kan tadi siang gue bilang bakal traktir lo makan”

“kok banyak banget?”

“liat dulu dong isi plastiknya”

Via membelalakkan matanya ketika mendapati satu kotak makanan dan tiga kotak hot pack dalam plastik besar itu.

“makanan nya gue yang beli, kalo hot pack itu dari Haknyeon”

Via membeku saat itu juga. Ternyata Haknyeon benar-benar memperhatikan Via.

Dua hari yang lalu saat Via tak tahu bahwa terjadi kecelakaan menimpa Haknyeon, ia meminta hot pack pada Haknyeon. Itu pun jika ada stok tersisa di rumah Haknyeon, bukan meminta untuk dibelikan.

Namun melihat ini, Via kembali lagi... semakin takut.

“lo gak papa, Vi? kok ngelamun”

“oh, gak papa gak papa”

“ya udah gue balik ya, Vi”

“makasih, Seungkwan”

Setelah Seungkwan pergi meninggalkan rumah ternak, Via kembali melanjutkan kegiatan menangisnya.


#injunoona


Haknyeon tersenyum ketika matanya bertemu dengan milik Via yang berdiri di ambang pintu kamar rawat inap di klinik.

“Hai, Via!” dengan penuh makanan di mulutnya, ia tetap bersemangat menyapa Via. Yang disapa hanya tersenyum.

“gue gak disapa?” Seungkwan yang berdiri di belakang Via bersuara.

“cemburu yaaaa?”

“ih najis”

“bentar guys, gue makan dulu. kalian jangan ganggu”

“ya udah kalo gue sama Seungkwan ganggu, kita pulang aja”

“ya udah, yuk Via kita pulang aja”

“JANGANNNNNN”

** Klinik ini berada tidak jauh dari desa. Haknyeon dilarikan kesini karena jarak rumah sakit besar terlalu jauh. mengingat kondisinya kemarin cukup parah, jika dibawa ke sana akan memakan waktu yang lama.

Untungnya fasilitas disini cukup memadai untuk menangani kasus retak tulang seperti yang Haknyeon alami. **

“kata dokter gue gak bakal bisa jalan 2 minggu”

“syukur deh” celetuk Seungkwan sambil tetap fokus mengupas jeruk.

“KOK SYUKUR?!”

“ya syukur lah. lo mau gak bisa jalan seumur hidup? ya syukur dua minggu doang”

“udah ih jangan berantem mulu deh”

“dia yang mulai, Vi” Haknyeon menatap Via dengan tatapan yang memelas seakan minta pertolongan. Yang ditatap malah terdiam.

“ngaduan deh” balas Seungkwan.

“yang kena nya cuma kaki lo doang ya?” tanya Via

“maksudnya?”

“lo bilang kan sapi nya marah, serius lo cuma keinjek itu doang? yang lain baik-baik aja kan?”

“Via... lo khawatir sama gue?”

lelaki itu tersenyum dengan mata berbinarnya tertuju ke arah Via.

“lo mau gue pukul?”

Via mengepalkan tangannya dan di angkat ke arah Haknyeon seolah akan memukulnya.

“hahaha bercanda. gak ada Vi, gue langsung lari kemarin. itu pun pas sampe depan gerbang peternakan gue jatoh lagi, karena gak bisa berdiri”

“kok gue gak tau sih? emang kejadiannya jam berapa?”

“pas lo udah balik, dia nyari-nyari anak sapi. aneh” celetuk Seungkwan. “lo nyari anak sapi mau ngapain sih?”

Haknyeon hanya tersenyum, Via juga sama. Karena mereka berdua sama-sama sudah tahu jawaban pertanyaan Seungkwan itu.

“dih? lo berdua nyembunyiin apa dari gue? apaan nih senyum-senyum?”

“gak ada ih, apa sih” Via melotot ke arah Seungkwan.

“ada. gue emang lagi nyembunyiin sesuatu dari lo” ledek Haknyeon.

Seungkwan mendelik menatap Haknyeon sinis.

“jadi lo sekarang sahabatnya sama Via? gue gak dianggap lagi?”

“Liat, Vi. ada yang lagi cemburu”

Haknyeon dan Via tertawa bersama, sedangkan Seungkwan hanya menggelengkan kepala menghadapi perilaku temannya.


Sekarang pukul tujuh malam, Seungkwan sudah pulang pukul 6 sore tadi. Via akan menemani Haknyeon sampai pukuk 9 malam disini sebelum diganti kembali oleh Ibu Kim.

Via membawa notebook nya agar bisa tinggal disini dengan tetap menyelesaikan tugasnya.

“Via, lampunya mau diterangin?”

Lampu kamar inap yang Haknyeon tempati bisa diatur kecerahannya. Saat ini nyalanya redup karena memang diatur oleh Haknyeon sejak kemarin.

“gapapa, segini cukup” Haknyeon hanya mengangguk-angguk

“Via, iket rambut lo bagus”

“makasih” Via masih fokus kepada notebook nya.

“kalo lampu redup gini, gue jadi inget dulu waktu gue masih trainee” Haknyeon tetap mengajak Via mengobrol meski Via tetap tidak menatapnya dan fokus kepada tugasnya.

Bukan berarti Via tidak menghargai Haknyeon, tetapi Haknyeon dan Via sudah sepakat satu sama lain sebelumnya “gue mau lanjutin laporan gue, lo tidur aja” & “gue mau ngobrol ih. gak papa lo gak respon, asal dengerin aja”.

“emang lo trainee gimana?”

“kamar kita gelap. bukan karena kecerahan lampu yang bisa diatur, tapi karena perusahaan sengaja pake lampu redup biar gak mahal bayar listriknya”

“gue jadi kangen member gue.. eh enggak deng, gak kangen sama Sunwo. dia nyebelin”

“kalo kangen ya telfon lah” balas Via yang masih tetap fokus ke laporannya.

“udah kok tadi, tapi mereka malah ngetawain waktu gue bilang gue diinjek sapi”

“kasiaaan”

“gue kemaren sebenernya takut”

“kenapa?”

“takut kaki gue ternyata parah, dah gue gak bisa nari lagi. gue takut usaha gue selama ini lenyap gitu aja karena sapi”

Via mengurungkan niatnya untuk tertawa ketika mendengar suara isak tangis Haknyeon di sebelahnya.

“eh? lo nangis?”

Via menghampiri Haknyeon dan tanpa ia sadari ia membawa Haknyeon ke pelukannya untuk menenangkannya.

it's okay it's okay! kan dokter bilang lo bakal sembuh 2 minggu lagi. lo tetep bakal jadi Haknyeon yang bersinar di atas panggung kok!”

Thank you, Via. and sorry

sorry kenapa?”

“baju lo jadi basah”

Via ingin tertawa sangat keras, namun berakhir menjadi gemas karena wajah yang ia lihat di depannya sangat memelas.


#injunoona


I want to hold your hand

*** Via sebetulnya tidak tidur lagi setelah Haknyeon meninggalkan kamar tamu pukul tiga pagi tadi. Kebetulan Yohan juga terjaga saat itu, jadi ia menemani Via dengan saling mengirim pesan.

Pukul tujuh pagi Via bermaksud untuk kembali pulang ke rumah ternak, namun ditahan oleh Ibu Kim dan berakhir dengan mereka memasak pancake bersama.

Via dan Ibu Kim berkomunikasi dengan bahasa isyarat seperti tempo hari sata mereka berdua pertama kali bertemu. Ibu Kim sebetulnya bisa berbahasa Inggris, tapi pasif dan hanya basic saja, sehingga tetap kesulitan untuk berkomunikasi dengan Via.

Setelah pancake selesai dimasak, Via dan Ibu Kim sarapan bersama di meja makan yang sama. Ibu Kim tidak mengajak Haknyeon karena beliau bilang takut mengganggu tidurnya. Ibu yang sangat baik.

Via dapat melihat jajaran foto keluarga yang dipajang rapi di dinding. Foto saat Haknyeon dan kakaknya masih kecil, foto pernikahan kakaknya, bahkan foto member grupnya ketika berkunjung ke rumah ini pun dipajang.

Ketika pancake pertama telah Via makan separuhnya, terdengar suara nyanyian yang sangat nyaring dari lantai dua. Via awalnya terkejut dan hampir tersedak, namun Ibu Kim memberitahunya jika Haknyeon memang selalu seperti ini.

And when I touch you I feel happy inside It's such a feelin' that my love I can't hide I can't hide I can't hide Yeah, you got that somethin' I think you'll understand When I say that somethin' I want to hold your hand I want to hold your hand I want to hold your hand

Haknyeon bernyanyi dengan suara yang sangat lantang dan keras. Via bahkan menghawatirkan pita suara temannya itu, takut-takut putus.

Ibu Kim menggeleng-gelengkan kepalanya, menghela napasnya kasar saat mendengar suara anaknya itu. Mungkin beliau sudah lelah.

*** Via naik ke lantai dua setelah sarapan selesai. Ibu Kim memintanya untuk menyuruh Haknyeon turun dan sarapan.

“Haknyeon! Haknyeon!” ia memanggil sambil mengetuk pintu kamar Haknyeon.

tak menunggu lama, pintu kamar Haknyeon dibuka dan sang pemilik kamar sekarang sudah berdiri di hadapan Via.

“kenapa?”

“Ibu lo nyuruh lo turun dan sarapan”

Via tak mau berpanjang lebar. Ia bahkan membalik badannya untuk menuju kamar tamu, tepat setelah menyampaikan pesan itu.

“emm.. itu, Vi!”

“apa?” Via menengok ke arah Haknyeon.

“lo.. lo denger tadi gue nyanyi?”

Via mengangguk.

“gue aneh ya?” Haknyeon menggaruk canggung lengan kirinya.

“eh? kenapa itu plesternya gak dicopot? kan udah lama itu?” Via baru menyadari plester luka yang ia pasang di tangan kanan Haknyeon dua hari lalu masih menempel disana.

Haknyeon refleks menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Tanpa ia sadari kedua pipinya memerah.

“ih! udah lo pulang aja, Vi!”

“lo ngusir gue nih ceritanya?”

“bukan ngusir!”

“terus apa dong?”

“ya pokoknya gak ngusir. tapi lebih baik lo gak ada di rumah gue dulu”

Haknyeon masuk kembali ke dalam kamarnya dan menutup pintu dari dalam.

“lo aneh banget, Haknyeon!”

“pergi aja Via”

Di luar kamar Via hanya tertawa karena ia sepenuhnya menyadari bahwa Haknyeon sedang salah tingkah karena dirinya.

Akhirnya Via pulang ke rumah ternak setelah merapikan kamar tamu, untuk kemudian memulai kembali penelitiannya di peternakan sapi.


#injunoona

** !!! mencantumkan kata kasar, rasisme, darah, kematian, konflik keluarga, konflik negara !!!


Minggu kedua di bulan Oktober tahun 2021, aku dan keluargaku akan memulai kehidupan yang baru. Suamiku yang berprofesi sebagai TNI AD dipindahtugaskan ke Jakarta, sehingga kami yang sudah bertahun-tahun tinggal di Bandung harus beradaptasi kembali di tempat tinggal yang baru.

Tahun ini, usiaku memasuki 43 tahun. Hahaha sudah banyak waktu yang kulalui. Aku bahkan sudah mempunyai seorang putri cantik berusia 13 tahun, putri yang tinggi badan dan ukuran kakinya hampir sama denganku. Jihan namanya, ia memiliki senyum yang banyak orang bilang mirip dengan senyumku. Aku senang mendengarnya, karena senyum Jihan cantik. Itu berarti senyumku juga cantik, bukan?.

“Ma, kamar Jihan sebelah mana?”

“Ma, kaos kaki Papa yang warna hijau disimpan dimana ya?”

“Jihan lupa charger HP Jihan masih dipinjem sama temen yang di Bandung. Gimana dong ma?”

“Ma, tadi driver mobil box yang bantu angkat barangnya udah dikasih bayaran belum ya? Papa lupa”

Selain yang di atas, masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan oleh Jihan dan Papanya di hari pindahan kami. Ya betul, mereka selalu mengira bahwa aku tahu semua hal. Padahal kan tidak, aku juga kadang pelupa dan tak tahu apa-apa.

***

Aku menghirup udara dan meresapi setiap oksigen yang masuk ke dalam rongga hidungku ketika membuka jendela kamar baruku di Jakarta.

“setelah 23 tahun akhirnya kamu kembali lagi kesini, Fir”

“ada yang beda atau enggak ya? Kayaknya oksigen disini sih agak beda, soalnya polusi Jakarta udah parah banget sekarang hahaha”

Aku kembali kepada kegiatanku lagi, membereskan baju-baju dan memasukkannya ke lemari di rumah ini. Senyuman sesekali tertoreh di wajah yang sudah mulai terdapat kerutan-kerutan halus ini kala melihat seragam-seragam dinas milik suamiku.

“gak nyangka, ternyata kita bisa sama-sama sampai 16 tahun ya, Pa. Semoga sampai puluhan tahun bahkan ratusan tahun pun kita tetap bersama” gumamku dalam hati sambil mengusap name tag yang bertuliskan ‘Indra Sanjaya’ itu.

“Ma! Ma!” suara Jihan mendekat dan tak lama sosoknya muncul di hadapanku.

“kenapa, nak?”

“aku nemu ini, ini punya pemilik rumah yang lama mungkin ya?”

“apa itu?”

Jihan menyerahkan selembar foto yang sudah usang kepadaku. Aku tersenyum,

“bukan punya penghuni rumah yang lama, ini punya Mama”

“oh ya? Itu siapa memangnya?”

“teman mama. Dulu, dimasa kuliah”

Aku pandangi kembali foto itu, namun kali ini bukan senyuman yang kutorehkan. Aku menangis, yang sontak membuat Jihan heran dan penuh tanda tanya.

“loh Mama kenapa? Kok nangis?” tangannya yang mungil membawa tubuhku ke dalam pelukannya.

“Jihan mau dengar cerita?” tanyaku sambil mengusap surai hitam milik anakku. Ia hanya merespon dengan anggukkan.


Kembali ke 1998

Aku bergegas mengikat tali sepatuku dan berlari meninggalkan kamar kost ku.

Waktu sudah menunjukkan pukul 9:25 pagi, dan kelasku dimulai lima menit lagi. Sedangkan perjalanan dari kamar kost menuju kampus adalah 10 menit dengan bus kota, belum lagi waktu yang ditempuh untuk perjalanan dari gerbang kampus menuju ruang kelas yang cukup jauh.

“Shafira!!” panggil seseorang di belakangku yang tak aku gubris karena aku sangat buru-buru, tak ada waktu bertegur sapa.

“Shafira telat? Saya juga sama” rupanya itu Lee Juyeon, teman sekelasku. Ia tinggal di gang yang sama dengan rumah kost ku dan hampir setiap hari kami pergi ke kampus bersama. Ia mensejajarkan larinya denganku, tapi aku yakin langkahnya bisa lebih cepat dari itu.

“hari ini bolos aja, Fira”

“udah gila?”

“Dosennya galak. Kamu mau dimarahi?”

“Juyeon, aku gak ada waktu untuk ngobrol”

“itu karena langkah kamu lambat”

Tanpa aba-aba Juyeon menarik tanganku dan ia berlari dengan kencang sehingga aku pun berlari dengan kecepatan yang sama dengannya. Aku tak protes, karena ini memang menguntungkan untuk mempercepat lariku.

Aku bersyukur ketika kami sampai di halte, bus tujuan kampusku sudah datang dan kami bisa langsung berangkat tanpa menunggu lebih lama lagi.

Seperti hari-hari biasanya, dalam bus kota di pagi hari selalu penuh penumpang. Aku dan Juyeon selalu tidak kebagian tempat duduk dan berujung kami berdiri.

Terdengar obrolan-obrolan penumpang dalam bus yang membicarakan kerusuhan yang terjadi di Medan satu hari yang lalu. Unjuk rasa mahasiswa terhadap pemerintahan karena perokonomian yang semakin memburuk dan berujung ricuh.

“Mahasiswa jaman sekarang loh kok anarkis-anarkis” celetuk lelaki tua yang duduk di jok belakang dan membuat aku dan Juyeon saling menatap.

“Loh, Pak! Mahasiswa hanya minta solusi saja pada pemerintah. wong mana ada rakyat yang bisa tahan hidup kalau sekarang harga makanan saja tidak masuk akal. Bapak mau orang-orang Indonesia banyak yang mati kelaparan karena harga bahan pokok melambung? sedangkan mereka masih terjerat kemiskinan?” Seorang Ibu muda yang menggendong bayi memberi argumennya membalas celetukkan lelaki tua tadi.

“Sebetulnya warga Indonesia belum sepenuhnya merdeka sekarang. Kita masih dijajah! Lihat saja orang-orang Cina itu, orang Tionghoa yang menguasai ekonomi Indonesia sekarang. Malah mereka yang kaya raya di negeri kita, dan kita pribumi terjerat kemiskinan di negeri sendiri” sanggah seorang lelaki muda yang usianya aku pikir sudah memasuki kepala tiga.

“Iya nih, lihat disini juga ada nih. Lihat matanya sipit” seorang lelaki yang kurasa seumuran denganku tiba-tiba saja menyudutkan Juyeon sambil menunjuk-nunjukkan jarinya pada wajah Juyeon.

“Pak, maaf jangan rasis. Jangan bikin suasana malah semakin ricuh” Aku menepis tangan lelaki yang sedang menunjuk ke arah Juyeon itu agar ia tidak melewati batas.

Juyeon merogoh saku celana jeans nya dan mengeluarkan uang koin dari sana. Ia mengetuk kaca jendela bus dengan koin itu untuk menghentikan laju bus.

Setelah bus berhenti, ia menarik tanganku dan kami pun keluar dari tempat yang penuh dengan orang-orang menyeramkan itu.

“Shafira, hati-hati. Saat ini emosi orang-orang sangat tidak stabil karena perekonomian yang berantakkan. Bisa saja mereka hilang kendali”

“tapi Juyeon, mau dalam kondisi bagaimana pun, rasis itu sama sekali gak boleh dimaklumi”

“tidak masalah, Fira. Orang-orang di gang Hatta (nama gang tempat tinggal kami) juga menyebut saya dan Baba (Ayah) saya sipit, tapi itu gak masalah”

“tetep aja itu gak bener. Kalo aku jadi kamu, aku bakal marah”

“loh memang mata saya sipit, kenapa harus marah? Hahaha”

“ini kita kok turun disini? kan kampus masih disana, Juyeon” aku menunjuk ke arah gedung kampus kami, gedungnya sudah terlihat, namun tidak begitu dekat.

“dari pada kita terus terkurung di dalam bus itu, lebih baik kita turun. Tak apa Fira, kita bolos saja hari ini. Kita sudah tidak bisa masuk kelas, karena terlalu telat”

“tapi aku bakal tetap pergi ke kampus, aku belum sarapan. Makan di kantin kampus aja supaya murah”

“kita naik bus lagi?”

“Jalan kaki aja, kalau naik bus nanggung. baru naik, udah turun lagi karena terlalu dekat”

“Hahahaha oke”

“kamu ikut juga, Juyeon?”

“saya juga belum sarapan”

Kami berjalan menyusuri trotoar yang cukup ramai menuju kampus. Dari kiri-kanan telingaku orang-orang masih membahas tentang kerusuhan di Medan serta mengkritik pemerintah tentang ekonomi saat ini.

Tak sedikit pula mata yang menatap sinis pada Juyeon saat mereka melihatnya. Wajah Asia Timur memang sangat melekat pada Juyeon, terlebih matanya yang sangat sipit membuat orang-orang pribumi langsung tahu bahwa Juyeon bukan orang asli Indonesia.

“Biarkan saja, Fira. Saya lihat kamu dari tadi terlalu peduli dengan komentar orang lain”

“Kamu harus berani marah, Juyeon. Mereka sedang menyudutkan kamu. Padahal kan kamu tidak salah apa-apa”

“saya tidak masalah”

“ dasar, kamu jadi orang terlalu baik”. . . .

*** . . Aku dan Juyeon saling mengenal sejak semester pertama kuliah kami, tiga tahun yang lalu ketika kami masih sama-sama berusia 17 tahun. Juyeon yang membantuku mencari kamar kost kala itu, “kamu dari Bandung datang sendirian? biar saya dan Baba saya bantu pindahan kamu”.

Semenjak hari itu, setelah pindahanku ke kamar kost yang berada di gang yang sama dengan rumah Juyeon, aku dan Juyeon menjadi sangat dekat. Bahkan Baba nya (Baba Lee Ong Seok, atau yang orang-orang gang Hatta panggil sebagai Baba Liong) pun sudah menganggapku seperti anaknya sendiri.

Juyeon dan Baba Liong memiliki bisnis sembako di gang Hatta. Rumah mereka berada di atas tokonya, sehingga bisa dibilang mereka tinggal di sebuah ruko (rumah toko).

Setiap sore hari ketika aku dan Juyeon pulang dari kampus, Baba Liong pasti sedang duduk di kursi rotan depan toko sambil membaca Koran dan meminum segelas kopi menggunakan gelas séng. Dan ia selalu berkata “Juyeon dan Shafira anak-anakku, ayo makan malam dulu”.

Keluargaku sendiri bahkan tidak pernah memperlakukanku selayaknya Baba Liong. Di rumahku, bahkan makan di atas satu meja pun tidak pernah. Ibu dan Ayahku tidak pernah damai. Mereka berdua tetap mempertahankan pernikahan karena reputasi. Bahkan saat aku memutuskan untuk kuliah di Jakarta pun mereka tidak peduli dan aku benar-benar pergi sendiri.

Aku selalu merasakan kehangatan setiap berada disekitar Juyeon dan Baba. Maka dari itu, aku tentu saja akan marah bahkan sangat marah ketika ada segelintir orang-orang yang bahkan tidak tahu apapun tentang Juyeon dan Baba Liong namun dengan mudahnya menyakiti perasaan mereka. . . *** . . . Aku dan Juyeon sudah memasuki wilayah kampus dan berjalan menuju kantin fakultas kami. Aku sudah memprediksi bahwa suasana kampus akan sangat menegangkan. Ada segelintir himpunan mahasiswa yang melakukan orasi. Juyeon tetap mengingatkanku untuk tidak menggubris itu dan jangan tersulut emosi.

Sampai di kantin pun masih banyak yang ber-orasi, berteriak-teriak untuk mengajak seluruh mahasiswa kampus kami melakukan pergerakkan. Orang-orang itu naik ke atas meja kantin dan berteriak di depan pengeras suara, sehingga mereka menjadi pusat perhatian seisi kantin.

“Kalau bukan kita, siapa lagi?!”

“Semua mahasiswa diharapkan ikut andil dalam reformasi”

“Pemerintahan orde baru harus berakhir disini”

“Hari ini juga kita adakan rapat besar-besaran untuk rencana demonstrasi. Semua orang harus berkumpul di Aula utama”

Begitu lah inti yang bisa aku simpulkan dari teriakkan mereka.

“Fira! Makan!” Juyeon menyenggol tanganku agar aku kembali fokus kepada makananku, karena aku terlalu memperhatikan orasi tadi.

“Juyeon, kamu mau ikut?”

“ikut? Demo?”

“iya”

“ikut”

“Juyeon, kamu jangan ikut-ikutan deh”

“tapi Fira, ini demi kita semua. Kamu lupa kalo Baba saya punya bisnis sembako? Kalau harga bahan pokok masih melambung, bisa-bisa bisnis keluarga saya gulung tikar”

“tapi aku khawatir. Di kota Medan saja unjuk rasa berakhir ricuh”

“saya percaya kali ini tidak akan berakhir begitu” Ia tersenyum hingga membuat kedua matanya tertutup.

“kita gak bisa prediksi, Juyeon!”

“saya juga mau Indonesia cepat kembali seperti semula”

“tapi ini bahaya loh”

“Shafira, walaupun tidak ada darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh saya, saya akan tetap rela bertumpah darah demi negeri ini”

“kamu ngomong jangan sembarangan! Ngapain bawa-bawa darah segala!”

“itu biar kayak puisi karya Chairil Anwar”

Aku hanya menggelengkan kepalaku, tidak mau menerima kata-kata Juyeon tadi. Aku rasa ia berlebihan karena membahas darah-darahan.

“Lanjut makan saja, Fira. Kamu dari tadi belum mulai makan. Mau saya suapi?” Juyeon menyodorkan satu potong daging padaku.

“ih kayak Baba aja ngerayu pake cara suap-suapan hahaha” aku menertawakan Juyeon karena ia bertingkah seperti Baba Liong setiap kali aku atau Juyeon tidak nafsu makan.

“ya sudah setelah makan ini kamu pulang ke kost, saya pergi ke Aula”

“gak mau”

“loh?”

“aku juga akan ikut demo”

“jangan, Fira. Kamu perempuan”

“loh jangan anggap aku lemah ya! Aku bisa, kok” . . ** . . Saat memasuki Aula utama, ternyata baru ada aku dan Juyeon saja. Mungkin yang lainnya masih belajar di kelas.

“Fira, tunggu. Saya ke toilet dulu”

Aku hanya mengangguk menanggapinya, dan tak lama dari itu Juyeon sudah kembali lagi dengan penampilan yang berbeda. Ia mengenakan setelah jas yang sangat rapi. Aku berasumsi mungkin tadi pakaian jas nya itu disimpan di dalam tas ransel besarnya.

“kenapa diganti bajunya?”

“ini baju harusnya saya pakai saat presentasi tadi di kelas. Tapi karena saya bolos, jadi gak dipakai”

“terus sekarang kenapa tetap dipakai?”

“nanti Baba marah. Soalnya saya paksa-paksa buat dipinjamkan baju pernikahannya ini. Kalau tidak ada bukti, nanti dia marah”

“hahahaha”

“Fira tolong ambil foto saya” Juyeon menyerahkan kamera digital miliknya,

“satu.. dua… tiga…”

“udah, Fira”

“loh, gak mau difoto sekali lagi?”

“gak usah, saya malu” ia tersenyum lagi-lagi.

“ya sudah, nanti kalau sudah dicetak, aku mau lihat”

“gak boleh” ia merebut kameranya.

“hahaha iyaaa deh terserah”

“nanti saya pakai juga baju ini di hari pernikahan saya”

“iyaa, pakai lah. Bagus dipakai sama kamu”

“kalau kamu gimana, Fira?”

“aku? Aku akan pakai kebaya yang cantik”

“kamu nya juga pasti cantik”

“hahaha”

“saya mau berdiri disebelahmu nanti”

“nanti kapan? waktu demo?”

Juyeon menghela napasnya kasar “iya, Shafira. Iya”

Aku menertawakan Juyeon karena ia memasang raut wajah yang memelas. Aku tahu persis maksud Juyeon adalah ia akan berdiri disebelahku saat hari pernikahanku, namun aku lebih baik menghindar karena khawatir setelah ini akan menjadi canggung.

Setelah percakapan kami tadi, segerombolan orang akhirnya memasuki Aula dan rapat dimulai tak lama dari itu. Beberapa petinggi kampus seperti para dekan pun ikut hadir di rapat demonstrasi kali ini, yang berarti demonstrasi ini adalah hal yang sangat serius.

Setelah mendapat persetujuan dari kampus dan pihak kepolisian, kami akan melakukan demonstrasi pada tanggal 15 Mei 1998.

Semua mahasiswa setuju dan kami dihimbau untuk tetap menjaga kesehatan kami hingga hari demo. Karena bagaimana pun keselamatan tetap nomor satu. . . *** . . Aku dan Juyeon memasuki gang hatta pada pukul 4 sore sepulang dari kampus. Juyeon masih mengenakan setelan jas nya saat ini, ia bilang terlalu malas jika harus mengganti pakaian lagi. Aku berjalan beriringan dengan Juyeon seperti anak yang sedang berjalan dengan ayahnya yang baru pulang dari kantor hahaha.

Hal yang tidak biasa terjadi, Baba Liong tak ada di kursi rotannya ketika kami mulai berjalan belok memasuki jajaran rumah kami. Sontak membuat Juyeon berlari menuju toko dan mencari Baba nya, aku mengikuti dari belakang.

“Baba!!” Juyeon berteriak ketika melihat ayahnya yang sedang menangis sambil berjongkok di dalam toko.

“Juyeon, Shafira” Wajah Baba memelas, pasti hatinya sedang tersakiti amat sangat.

Aku melangkah memasuki toko dan melihat beberapa barang jualan Baba seperti tidak tersimpan pada tempatnya. Ada yang mengacak-acak.

“Kenapa, Ba?” Juyeon membantu Baba berdiri lalu memeluknya.

Aku hanya menyaksikan kejadian itu sambil menahan tangis, meski belum mengetahui sebab jelas apa yang terjadi pada Baba.

“tadi ada beberapa orang yang datang kemari lalu marah-marah. Mereka bilang toko saya pembawa sial. Mereka bilang orang seperti saya tidak boleh mencari uang di negeri ini” air matanya terus bercucuran seraya ia menjelaskan.

“tenang… tenang…” Juyeon mengusap-usap punggung Baba bermaksud untuk menenangkannya. Air mataku semakin deras mengalirnya.

“Baba, mulai besok jangan dulu buka toko sampai keadaan membaik” Juyeon melepas pelukannya dengan Baba kemudian membereskan barang-barang yang berantakkan. Aku akhirnya membantu Juyeon.

Setelah itu, aku kembali ke kamar kost ku dan membersihkan badanku. Hari ini sangat berat. Banyak hal yang terjadi. Namun, aku yakin setelah ini akan lebih banyak lagi kejutan-kejutan yang sangat tidak terduga. . . *** . . kriiiiiing kriiiiiiing pukul 8 pagi, telepon di kamar kost ku berdering.

“Halo?”

Fira, ini Ayah! Pulang nak, Jakarta sedang tidak aman sekarang

“setelah tiga tahun, baru kali ini Ayah minta Fira pulang. Fira gak mau”

disana bahaya, nak. Ayo pulang

“enggak, yah. 3 hari lagi Fira mau ikut demo. Fira gak pulang”

KLIK Aku menutup telepon dari Ayahku tanpa aba-aba.

Hari ini tanggal 12 Mei 1998, tiga hari sebelum tanggal demonstrasi sesuai hasil rapat demo.

Beberapa hari ke belakang banyak hal terjadi. Baba Liong tidak mau keluar rumah sama sekali karena ada keributan setiap hari. Juyeon menggunakan topinya setiap kali ia pergi ke luar rumah bahkan menuju kampus, demi menutupi wajahnya yang akan dikenali orang-orang sebagai non pribumi.

Keributan terjadi setiap hari di kampus. Awalnya aku tidak mau datang ke kampus setelah hari rapat demo, namun kegiatan belajar masih tetap dilaksanakan sehingga mau tak mau aku harus tetap datang ke kampus. Begitu pun Juyeon.

Setelah hari rapat, Aku tidak pernah membiarkan Juyeon pergi ke kampus sendirian. Aku sangat khawatir hal-hal yang tidak terduga terjadi padanya.

Fira!! Shafira!!!” seseorang mengetuk pintu kamarku dan refleks aku langsung membuka pintu.

“kenapa?” ternyata itu adalah Dewi, teman satu kost ku.

“Toko Baba Liong diacak-acak lagi!!”

Tanpa aba-aba aku langsung berlari menuju kesana. . . *** . . “saya sudah berhenti berjualan! Saya tidak akan membuka toko lagi

Aku lihat Baba berlutut dihadapan seseorang sambil berkata hal yang tidak mengenakkan hati.

goblok! Situ cuman numpang di Indonesia dasar sipit! Balik lagi ke Negara mu sana!!! Tolol!” Lelaki yang berdiri di depan Baba menendang Baba hingga tersungkur ke lantai. Menyaksikan itu tentu saja aku tak bisa tinggal diam.

“PAK! CUKUP PAK!” lelaki itu menoleh ke arahku.

“Kamu siapa?” ia melotot padaku.

“jangan main hakim sendiri, Pak. Bapak kan sudah dengar barusan, beliau sudah mau berhenti berjualan. Jadi tolong bapak pergi dari toko ini atau saya panggil polisi?”

Lelaki itu tak membalas ucapanku namun ia langsung berlari meninggalkanku dan Baba.

“Baba gak kenapa-kenapa?” aku membantu Baba bangkit.

“Terima Kasih, Fira. Saya tidak apa-apa” Baba menepuk-nepuk celananya bagian belakangnya.

“Juyeon kemana?”

“Dia pergi ke kampus. Katanya hari ini demo”

“Loh? Bukannya demo 3 hari lagi?”

“dia bilang dimajukan”

“loh kok gak cerita ke Fira”

Baba hanya menggeleng tidak menjawab apapun. Aku langsung berlari ke kamarku, membawa jas almamater dan perlengkapan lain lalu langsung menuju ke halte bus. . . *** . . Sesampainya di kampus, memang sudah banyak rekan-rekan mahasiswa yang sudah siap untuk melakukan demonstrasi, mahasiswa dari luar kampusku pun berkumpul disini dengan banner dan slogan-slogan di tangan mereka. Seperti “1998 REFORMASI”, “GULINGKAN PRESIDEN!!”, “KITA INI MAKAN NASI BUKAN MAKAN JANJI” dan lain sebagainya.

Aku berlari menuju arah gedung fakultasku untuk mencari keberadaan Juyeon. Aku panik, sangat panik. Ditambah lagi dengan teriakan-teriakan orang yang berorasi membuat aku menjadi semakin panik dan takut.

“Fira!! Shafira!!!” Suara yang sangat aku kenali itu, memanggil namaku. Itu Juyeon, namun aku sulit mencari keberadaannya.

“Juyeon! Kamu dimana?” aku berteriak namun tentu saja teriakkan ku tak ada apa-apanya dibandingkan dengan suara dari orang-orang yang menggunakan alat pengeras.

“Hei!” Juyeon menepuk pundakku dari belakang dan membuatku spontan berbalik.

“Juyeon!!!”

“Fira, kamu kenapa kesini!”

“Kamu kenapa gak cerita kalau demo nya jadi hari ini?”

“Saya gak mau Fira ikut”

“aku akan tetap ikut”

“Pulang aja, Shafira”

“Gak!!! Aku akan pulang kalau kamu juga pulang, Juyeon”

“ya sudah sini”

Juyeon menarik tanganku dan membawaku ke tempat yang tidak terlalu ramai.

“Fira, kamu harus janji sama saya kalau kamu akan tetap baik-baik saja sampai semua ini selesai” Juyeon berkata sambil mengoleskan pasta gigi di bawah mataku.

“ini supaya mata kamu tidak perih. Nanti pasti akan banyak api, asapnya bisa perih dimata. Nanti juga mungkin akan ada penembakkan gas air mata, ini bisa buat matamu tidak terlalu perih”.

Aku hanya menonggak melihat ke arah Juyeon yang lebih tinggi dariku. Wajahnya tertutup topi dan ia juga menggunakan pasta gigi sepertiku di bawah matanya.

“Juyeon, kamu juga harus janji”

“Iya, Shafira. Saya janji akan selalu ada disamping kamu dan saya janji akan baik-baik saja sampai akhir”

Ia menatapku lalu memelukku hanya sebentar. Karena orang-orang sudah mulai bersiap untuk pergi memulai perjalanan menuju Gedung Nusantara (Gedung DPR/MPR/DPD) dan melakukan demonstrasi disana. . . *** . . “INDONESIA PERLU REFORMASI!

TURUNKAN PRESIDEN! TURUNKAN PRESIDEN!

Kata-kata yang kami sorakkan selama berjalan beriringan menuju Gedung Nusantara menjadi latar suara peristiwa hari ini. Aku berjalan di sebelah Juyeon, ia sesekali menggenggam tanganku untuk memberiku kekuatan.

Demonstrasi berlangsung dengan tertib awalnya hingga ada beberapa oknum yang membakar ban, merusak fasilitas umum, bahkan membakar kendaraan-kendaraan yang berada di sekitar Gedung Nusantara yang akhirnya menimbulkan kericuhan.

Aku sangat ketakutan. Ini sudah tidak bisa dikendalikan. Benar saja apa kata Juyeon, gas air mata ditembakkan dan membuat para mahasiswa peserta demonstrasi mundur dan berhamburan kemana-mana.

Ditambah lagi dengan banyaknya oknum polisi dan oknum mahasiswa yang terlibat perkelahian, membuat segalanya menjadi tidak terkendali.

Kami akhirnya berlari berbalik kembali menuju kampus kami untuk berlindung disana.

Juyeon menggenggam tanganku sambil berlari. Sesuai apa dengan apa yang ia katakana tempo hari “Saya mau berdiri disebelahmu”. Aku yang ketakutan saat ini setidaknya merasa sedikit aman karena ada Juyeon yang menjadi tamengku.

Setelah sampai di gedung kampus kami, aku kira situasi akan menjadi aman. Namun ternyata tidak sama sekali.

Polisi mengejar kami hingga gedung kampus dan kembali menembakkan gas air mata. Situasi semakin ricuh karena para mahasiswa yang berlari berhamburan kesana kemari. karena banyak yang berlarian dan bertubrukkan, tanganku terlepas dari genggaman tangan Juyeon.

“Fira, sembunyi!”

“kamu dimana?” aku kebingungan tak bisa melihat Juyeon karena asap yang membuatku sulit melihat.

“Shafira, sembunyi! Tolong sembunyi! Jangan tunggu saya!”

“Juyeon!!” seluruh tubuhku gemetar dan aku berlari menuju tempat yang sepi, kemudian bersembunyi di bawah tangga dimana tempat barang-barang perlengkapan Mahasiswa Mapala disimpan. Aku sembunyi ditutupi tas gunung yang sangat besar. Tapi aku tetap tidak merasa aman, aku ketakutan.

DUARRR, DUARRRR. suara tembakkan terdengar jelas di telingaku. Polisi menembak berkali-kali. Aku tidak tahu berapa kali tepatnya, tapi aku yakin itu lebih dari lima tembakkan. Setelah tembakkan yang berulang-ulang pun ada satu kali lagi tembakan lainnya.

Suara teriakkan orang-orang yang sama ketakutannya denganku terdengar sangat nyaring. Aku menutup telingaku dan semakin gemetar. Aku menangis namun aku tahan suara tangisanku agar tak ada yang mengetahui keberadaanku.

Pak! Woy polisi! Pelurumu kena teman saya!!

Darah darah!!

Dia pingsan!

Tidak, dia mati!

POLISI BERHENTI!!!!!

Aku mendengar suara itu samar-samar karena aku menutup kedua telingaku rapat-rapat. Tapi aku bisa dengar bahwa ada seseorang yang mati. Tidak, mungkin lebih dari satu orang.

Suara-suara semakin bising di telingaku, semua orang tak terkendali. Sangat ricuh, semua orang marah.

Badanku gemetar, pikiranku tak karuan. Semua hal-hal buruk yang bisa saja terjadi terus berputar di kepalaku. Aku mengkhawatirkan Juyeon, apakah dia sekarang berada di tempat yang aman? atau dia berada dikerumunan yang ricuh itu? atau bahkan ia yang tertembak?. Aku menepis pikiran itu jauh-jauh dan membungkam mulutku dengan tanganku yang gemetar agar suara tangisku tidak terdengar oleh orang lain. . . *** . . Juyeon berlari menjauh dari kerumunan saat ia menyuruh Shafira untuk bersembunyi. Namun larinya terhenti ketika suara-suara tembakkan itu jelas terdengar di telinganya. Ia refleks mengambil posisi jongkok dan menutup telinganya.

Suara-suara teriakkan yang mengatakan bahwa ada yang tertembak membuatnya gemetar, Juyeon tidak ragu berteriak kepada polisi yang berada disekitarnya.

“STOP WOY! KALIAN LIHAT ITU ADA YANG TERTEMBAK!”

Tapi polisi-polisi itu seakan tidak peduli dan tidak menghiraukan teriakannya. Sebagian polisi juga malah sibuk menyeret beberapa orang mahasiswa karena disangka sebagai “dalang” dari kerusuhan hari ini.

“kamu diam saja! Kamu bahkan bukan orang Indonesia” seorang lelaki berseragan mendekati Juyeon dan berkata itu tepat di depan wajahnya.

“memangnya kenapa?! Saya tinggal disini berarti saya berhak menuntut kemakmuran negeri ini!”

“alah gak usah sok baik. Kami semua disini tahu kalau orang cina seperti kamu hanya mencari kekayaan di Negara kami!”

“anda seorang polisi tapi bahkan tidak bisa bersikap netral dan mengayomi? Miris”

Juyeon berdecak, membuat polisi itu kehabisan kata dan tak bisa mengontrol emosi. Ia menodongkan senjata apinya ke dahi Juyeon yang sudah berkeringat.

“kenapa? Anda mau tembak saya?” Juyeon menantang dan melotot ke arah polisi itu.

“dengar ya, sipit! Orang-orang seperti kamu malah yang membuat kerusuhan di Negara ini!”

“Saya berani sumpah demi Tuhan, anda jauh lebih buruk dan hina dibandingkan orang sipit seperti saya. Anda arogan, sombong, bertindak tanpa berpikir. Lalu anda kira anda masih pantas memakai seragam ini? Tidak!” Juyeon mendorong polisi itu, namun polisi itu melawan dengan memukul wajah Juyeon menggunakan pistolnya sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

BUGGH!

“aaagh” Juyeon memegang ujung bibirnya kesakitan dan ternyata berdarah karena robek cukup besar akibat pukulan tadi.

“sampai kapan pun, kamu tidak akan pernah menang di negeri orang lain!” ia menatap Juyeon sinis.

Polisi itu menarik pelatuknya dan mengarahkannya ke tanah namun pelurunya memantul ke arah lain dan mengenai salah satu mahasiswa yang sedang berada di dekatnya.

“Polisi Woy! Pelurumu kena teman saya!”

“darah darah!”

Seseorang yang tertembak itu seketika tergeletak tak sadarkan diri dan banyak darah keluar dari dada kirinya.

Menyaksikan itu Juyeon langsung memukul polisi dihadapannya dengan kepalan tangan besarnya hingga polisi itu terjatuh.

“sekarang anda sadar? Siapa yang menjadi dalang kerusuhan? Ya orang-orang seperti anda!” Juyeon menendang badan polisi itu hingga ia tergeletak dan tidak melawan lagi.

Juyeon membalikkan badan dan menghampiri orang yang tertembak tadi, tubuhnya gemetar melihat rekannya bersimpah darah tak sadarkan diri. Beberapa orang mengerumuni orang itu sambil menangis, mungkin itu teman dekatnya.

“Juyeon!” seseorang menepuk pundak Juyeon dari belakang. Itu Firman, teman satu kelas Juyeon.

“saya lihat toko-toko di pinggir jalan itu banyak yang diacak-acak dan dirampok oleh warga yang mengamuk! Banyak wanita Tionghoa yang dilecehkan menangis di jalanan. Saya bahkan gemetar saat berlari menuju sini”

Juyeon hanya terdiam. Ia terkejut dan tidak menyangka bahwa kekacauan akan menjadi separah ini.

“Pulanglah Juyeon. Kamu perlu tahu kondisi keluargamu”

“tapi saya..” Juyeon melihat ke arah rekannya yang tertembak tadi.

“rekan-rekan yang luka akan dibawa ke rumah sakit secepatnya setelah ambulans datang. Kamu harus pulang, keluarga kamu bisa saja dalam bahaya”

Juyeon menepuk lengan Firman kemudian berlari untuk pulang. Ia terus-terusan menyentuh luka di ujung bibirnya yang berdarah karena terasa sakit. Kepalanya pun terasa pusing karena benturan yang sangat keras tadi. Namun tak ia pedulikan karena ia khawatir akan Ayahnya.

Lelaki bertubuh tinggi itu berlari dari gedung kampus menuju rumahnya tanpa kenal lelah, meski tubuhnya sudah lemas. Sedangkan jarak dari kampus menuju rumah itu cukup jauh jika harus berlari.

Di sepanjang jalan ia berlari, pemandangan yang ia lihat bukan seperti Jakarta pada hari-hari biasanya. Mobil terbakar, toko yang diobrak-abrik, orang-orang berkelahi, orang-orang yang tergeletak kesakitan. bahkan ada satu orang perempuan yang Juyeon yakini sebagai non pribumi menghampirinya meminta pertolongan, karena ia telah dilecehkan oleh sekelompok orang.

Juyeon berkali-kali jatuh karena tersandung objek yang berada di depannya, seperti bambu yang digunakan demonstran sebagai alat perlindungan diri, bahkan terjatuh karena bertabrakan dengan orang lain yang sama paniknya dengan dia.

Fira maaf, saya harus pulang duluan. Saya yakin kamu bersembunyi di tempat yang aman. setelah saya membawa Baba ke tempat yang aman, saya akan jemput kamu

Luka-luka disekujur tubuhnya serta goresan di hatinya membuat ia tak kuasa menahan tangisannya.

tapi untuk kali ini, saya tidak bisa berjanji. Maaf, Shafira

Memasuki Gang Hatta dan menuju tokonya, benar saja apa yang dikatakan Firman toko Baba sangat kacau. Kaca jendela depannya pecah dan berceceran pecahan kaca dimana-mana. Barang dagangan Baba juga banyak yang hilang, dan banyak yang rusak.

“Baba!!” Juyeon berteriak mencari keberadaan Ayahnya, ia kemudian naik ke lantai atas memasuki rumahnya

“Baba!!”

Saat menginjak anak tangga paling atas, ia sangat terkejut karena terdapat bercak darah disana. Ia panik dan menelusuri semua ruangan mencari Baba.

“Juyeon! Kamu sudah pulang?” Suara Baba lemah. Ia terbaring di tempat tidurnya.

Juyeon segera berlai menghampirinya dan meneliti tubuh Baba, untuk mencari sumber dari darah yang berceceran di anak tangga tadi. Dan benar saja, ada pecahan kaca yang sangat besar tertancap di lengan kanan ayahnya.

“nak, kenapa bibir kamu berdarah? Kenapa sikut dan lututmu juga berdarah?”

Bukannya menjawab, Juyeon malah menangis lebih keras. Bagaimana bisa Ayahnya mengkhawatirkan dirinya? sedangkan Baba memiliki luka yang lebih serius di lengannya.

“Saya tidak apa-apa, Ba. Ayo kita pergi ke rumah sakit, tangan Baba berdarah”

“saya tidak mau, nak. Saya takut. Semua orang membenci kita”

Juyeon semakin menangis “tidak, Baba. Tidak ada yang benci kita. Ayo kita pergi ke rumah sakit”

“padahal saya dan anak saya begitu mencintai negeri ini. Padahal anak saya rela terjatuh dan berdarah-darah demi menuntut kemakmuran negeri ini. Tapi kenapa orang-orang selalu memandang saya dan anak saya sebagai pemicu kerusuhan disini?” air mata Baba akhirnya keluar setelah sedari tadi beliau tahan.

“anak saya bahkan sejak lahir sudah ada disini dan begitu mencintai Negara ini”

“Baba…”

Baba bangun dari posisi baringnya. “ayo nak, kita pergi dari sini”

Juyeon tak merespon, hatinya terlalu sakit untuk menerima kenyataan ini.

“kemasi barang-barangmu. Kita pergi sekarang”

“tapi tangan Baba terluka, Ba”

“Sakit dilengan ini tak seberapa dibandingkan rasa sakit saya selama tinggal disini”

“Saya sangat suka tinggal disini, Baba. Disini ada Shafira. Shafira sedang ketakutan disana, bagaimana bisa saya pergi meninggalkan dia sendiri?” . . *** . . Situasi berangsur-angsur menjadi tenang. Suara-suara teriakan dan amarah dari orang-orang sudah tak terdengar lagi. Mungkin sekarang sudah tengah malam. Aku belum berani untuk keluar dari persembunyian ini. Tubuhku lemas, aku lapar dan pegal-pegal karena sudah berjam-jam menekuk tubuhku.

“Kak! Kamu sedang apa disini?” Seorang lelaki menarik tas yang menghalangiku dan mengulurkan tangannya, bermaksud membantuku. Mungkin dia adik tingkatku atau mahasiswa dari kampus lain, karena aku tidak mengenalnya.

Aku terkejut dan menggelengkan kepalaku. Aku masih terlalu takut untuk keluar.

“tak apa kak, sekarang situasinya sudah aman. polisi sudah pergi. Sekarang hanya tinggal kita”. *Kita = para mahasiswa peserta demonstrasi.

Aku menerima uluran tangannya dan berjalan jongkok untuk keluar dari persembunyian. Saat aku mencoba berdiri, kakiku terasa sangat kaku. Aku tidak bisa merasakan kakiku karena terlalu lama ditekuk di dalam sana.

“duduk dulu kak, saya ambilkan minum dulu” ia berlari menjauh dariku yang sekarang sedang duduk meluruskan kaki dan bersandar pada tangga.

Pemandangan di depan mataku sekarang adalah orang-orang yang terbaring lemas. Ada beberapa orang tua yang datang untuk menjemput anak mereka. Aku sedikit iri, mereka keluarga yang saling menyayangi.

Tak lama, lelaki yang menolongku tadi datang dan memberiku satu botol plastik yang berisi air mineral lalu duduk di sebelahku.

“Terima kasih”

“sama-sama. Kakak butuh obat pegal untuk kakinya?”

“tidak usah, saya tidak apa-apa. Sekarang pukul berapa?”

“pukul 2 pagi”

Aku menghela napasku kasar. “tadi… yang tertembak, siapa?”

“saya kurang tahu siapa saja kak, tapi ada empat orang dan sekarang sudah ditangani di rumah sakit”

Aku mengangguk-angguk memahami situasinya. “kamu lihat Juyeon?”

“Juyeon?”

“iya, Lee Juyeon”

“ohh kakak Korea itu?”

“iya”

Ia menggelengkan kepalanya. Aku mengangguk-angguk lagi.

“saya tinggal dulu ya, kak. Saya harus keliling ke yang lain”

“iya silahkan. Terima kasih, ya!”

“sama-sama, kak” ia tersenyum lalu pergi meninggalkanku sendirian.

Setelah beberapa saat, aku mencoba bangun dan meregangkan kakiku. Saat terasa kembali normal, aku kemudian berjalan berkeliling untuk mencari Juyeon. Semua orang satu-persatu aku tanyai, namun tetap tak ada yang mengetahui keberadaannya.

Juyeon kamu dimana?....

Pukul lima pagi, aku pulang ke kost ku diantar oleh salah satu peserta demonstran yang membawa sepeda motor. Aku mencari Juyeon ke rumahnya namun yang ku temukan hanya rumah yang berantakan dan toko yang kacau.

Aku tak bisa berpikir. Apakah Juyeon sudah pulang? atau ia masih terjebak di kerusuhan sana?. Namun yang paling aku takutkan adalah bagaimana jika Juyeon adalah orang yang tertembak?.

“Baba!!” aku menelusuri satu persatu ruangan namun tak aku temukan Juyeon dan Baba Liong. Aku menangis sejadi-jadinya memikirkan kejadian terburuk dikepalaku terlebih lagi aku melihat bercak-bercak darah di beberapa titik di rumah ini.

Pagi harinya, berita-berita di televisi dan radio menginformasikan mengenai kerusuhan kemarin. Sudah dipastikan 4 orang tertembak peluru tajam di hari itu dan puluhan lainnya luka berat dan luka ringan. 4 nama mahasiswa tewas yang disebutkan di berita semuanya tak aku kenali.

Aku bergegas membersihkan diri dan kembali pergi ke kampus untuk meminta daftar orang-orang yang luka-luka dan dibawa ke rumah sakit. Namun tetap tak ada nama Lee Juyeon pada daftar itu.

Jika kamu berpikir bahwa kerusuhan sudah berakhir, nyatanya tidak. Semua orang semakin marah dan membenci pemerintah saat ini terlebih lagi ada korban jiwa. Aku sudah tak peduli lagi dengan orang-orang anarkis yang ada di depan mataku. Aku hanya mencari Juyeon dan Baba. Orang-orang yang sangat aku sayangi.

Sore harinya Ayah datang menjemputku. Aku harus pulang ke Bandung karena Jakarta benar-benar sedang tak aman. Sebanyak apapun alasan aku menolak untuk tidak pulang, Ayah tetap kekeh dan mau tak mau aku akhirnya pulang ke Bandung.

Sampai di Bandung pun, aku tak pernah absen mencari Juyeon. Aku menelepon ke nomor ruko namun tak pernah ada jawaban setiap harinya. Aku terus bertanya-tanya. Dimana mereka sebenarnya? Kenapa mereka menghilang tanpa pamit?.

Setelah satu minggu aku tinggal di Bandung, Indonesia kembali digemparkan dengan pengunduran diri Presiden dan era Orde Baru berakhir kemudian diganti dengan era Reformasi. Unjuk rasa yang memakan korban jiwa beberapa hari lalu ternyata membuahkan hasil.

Satu hari setelah kemunduran Presiden, aku memohon kepada Ayah dan Ibuku untuk kembali ke Jakarta. Aku tetap mau mencari Juyeon dan Baba. Meskipun tidak bisa kembali lagi seperti dulu, setidaknya aku tahu keberadaan mereka.

Aku memutuskan untuk masuk ke rumah Juyeon terlebih dahulu sebelum ke kamar kost ku. Aku memasuki rumah ini dengan hati yang masih sakit. Tetap tak ada tanda-tanda kehidupan disini, posisi tempat tidur yang berantakkan bahkan masih sama seperti kali terakhir aku datang kesini.

Aku bereskan kekacauan ini. Merapikan perabotan ke tempatnya semula. Aku bahkan lebih hapal tata letak rumah ini dibandingkan rumahku sendiri. Aku tak kuasa menahan tangis saat melihat beberapa foto Baba dan Juyeon yang tertempel di dinding dengan rapi.

Melihat senyum mereka, momen-momen dalam foto yang seakan berbicara bahwa Juyeon dan Baba adalah keluarga yang paling bahagia di dunia.

Langkahku gontai saat menuju kamar kost ku. Gang Hatta sepi, orang-orang mungkin pulang ke kampung halamannya masing-masing karena menghindari Jakarta yang semakin hari semakin mencekam ini.

Aku memutar kunci pada pintu kamarku kemudian masuk ke kamar kost yang sudah 3 tahun aku tempati ini. Langkahku terhenti ketika aku menginjak sesuatu di lantai kamarku, ada satu amplop putih di sana dengan perangko yang tertempel di atasnya. Dengan tergesa-gesa aku langsung mengambil lalu membukanya.

Tangisku tak terbendung lagi ketika aku mengeluarkan kertas-kertas dalam amplop itu. Ada 2 foto dan satu kertas yang dilipat tidak rapi di dalamnya. Aku buka kertas itu terlebih dahulu dan disana tertulis:

Shafira, saya akan pergi jauh. Maaf. Maaf karena mulai sekarang saya tidak bisa lagi berdiri disampingmu. Maaf saya pergi tanpa menggenggam tangan kamu. Saya sangat menyayangi kamu, meski saya tidak pernah berucap demikian. Saya mohon, bahagia lah selalu. 12 Mei 1998, Lee Juyeon

Tetesan air mata jatuh pada kertas putih itu. Aku hanya menangis, tak dapat berkata apapun.

Jika saja saat itu aku tahu akan menjadi hari terakhir pertemuan kami, aku akan memeluknya lebih lama. Jika saja aku tahu Juyeon akhirnya akan pergi, aku tidak akan lari ke bawah tangga dan bersembunyi. Jika saja aku tahu, aku akan dengan lantang berkata aku juga mau berdiri disampingnya ketika ia mengenakan baju pernikahannya.

2 lembar foto tadi adalah foto yang aku ambil saat hari rapat demo, dimana Juyeon mengenakan setelan Jas Baba Liong. dan satu lagi adalah fotoku di hari itu juga yang mungkin Juyeon ambil diam-diam.

Di belakang fotoku tertulis; “Shafira, yang akan berdiri disamping saya kelak

Dan di belakang fotonya tertulis;
saya akan pakai ini di pernikahan saya” (merujuk pada setelan jas nya).

Tak dapat aku tahan lagi tangisku. Hari-hari tanpa Juyeon adalah hari yang sangat menyakitkan untukku. Tak pernah sekali pun aku membayangkan akan ditinggalkan oleh Juyeon dan Baba, yang entah kemana mereka perginya. Apakah mereka terbang melintasi awan atau berlayar melalui lautan. Aku bahkan tidak tahu.

Aku sudah tidak bisa membayangkan bagaimana hariku selanjutnya tanpa Baba dan Juyeon yang bagaikan rumah untukku.

Shafira!” Seseorang memanggilku dari balik pintu kamar.

“siapa?”

Dewi

“masuk aja”

Dewi masuk ke dalam kamarku dan tanpa bertanya ia langsung memelukku.

“aku khawatir denger kamu nangis”

Aku tak merespon, hanya menangis dipelukan Dewi.

“tiga hari lalu ada tukang pos yang antar surat itu, karena kamu di Bandung jadi aku masukin aja lewat sela-sela pintu”

“itu dari Juyeon” aku berkata sambil terisak.

Dewi mengusap-usap punggungku seolah mengerti apa yang terjadi, dan tangisanku semakin kencang dibuatnya. . . *** . . Aku pulang ke Bandung setelah berkemas dan merapikan kamar kost ku. Kuliahku tak aku lanjutkan karena Ayah memintaku untuk berhenti saja, mengingat kondisiku yang semakin hari-semakin terpuruk tinggal di Jakarta dengan bayang-bayang Juyeon. Aku mengikuti kursus make up dan mulai menjadi perias pengantin di Bandung pada usiaku yang ke-24 tahun (tahun 2002).

Ayahku menikahkan aku dengan lelaki pilihannya yang merupakan anak dari sahabatnya diusiaku yang ke-27 tahun (tahun 2005). Awalnya aku tidak mau karena aku masih terbayang-bayangi oleh Juyeon, namun karena lelaki yang menjadi suamiku ini ternyata memiliki hati yang baik dan sangat menyayangiku, akhirnya aku mulai bisa menerimanya dan kami dikaruniai putri cantik setelah tiga tahun menikah (2008).

Saat sosial media mulai ramai digunakan orang-orang, aku sempat ingin mencari Juyeon melalui media itu. Namun aku urungkan niatku karena menghargai suamiku dan putriku, sehingga aku memilih untuk menyimpan Juyeon hanya di dalam memoriku tanpa menggali nya kembali.


Jihan mengusap air mataku yang ternyata tanpa aku sadari jatuh lagi, “maaf Mama cengeng, nak”

“enggak, Ma! Jihan mengerti” ia memelukku lagi.

“sekarang Juyeon sudah jadi kenangan buat Mama”

“Juyeon juga pasti bahagia dimana pun dia berada, Ma”

Aku mengangguk dan mengecup kening putriku.

“Mama juga harus bahagia disini agar Juyeon bahagia”

“ada apa nih peluk-pelukkan tanpa ajak Papa?” Suamiku yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu kamar tiba-tiba menginterupsi.

“Ini Mama nih Pa!”

“Mama kenapa?”

“Mama bahagia karena punya kalian! Sini Papa ikut pelukan juga!” Aku merentangkan tanganku.

Kami berpelukkan di sore hari ini. Aku harap kesedihan-kesedihan yang aku alami di masa lalu tidak dialami oleh putriku. Aku akan memperlakukannya dengan versi terbaikku dan membuat Jihan selalu dikelilingi oleh kebahagiaan.

“Maaf Juyeon, aku tidak berdiri disampingmu saat aku pakai baju pernikahanku. Namun sekarang aku disini, aku bahagia. Aku harap kamu juga” -Shafira 2021


#injunoona