injunoona

injunoona


it feels like I found a long lost old friend

***

“Loh kita ke Pasar?” tanya Via sambil memarkirkan sepedanya di tempat parkir sepeda sebelah kanan Pasar.

Haknyeon yang melakukan kegiatan serupa hanya mengangguk.

“emang kenapa kalo ke Pasar?” Haknyeon penasaran.

“gue harus gimana soal uang lo yang tadi?” tanya Via. Ia masih belum mengerti maksud Haknyeon membawanya ke sini.

“ya nanti di dalem, bayarin semua yang gue mau” Haknyeon menjawab tanpa beban.

Mata Via refleks melotot setelah mendegar jawaban itu. “gini ya, Haknyeon. kalo lo mikir gue ini orang kaya, lo salah besar”.

Haknyeon hanya tertawa menanggapinya dan kemudian berjalan mendahului Via.

“gue juga tau batasan kali?. cepetan jalan, lo mau diomelin Ibu gue karena telat? lo belom sarapan juga kan? yaudah ayo”

Haknyeon menggenggam pergelangan tangan kanan Via dan menariknya untuk berjalan memasuki pasar yang terlihat cukup ramai.

“Haknyeon jangan tarik dong! lo ngapain?!”

“lo liat, di dalem itu banyak orang. takut lo ketinggalan. gak usah baper”

“gak baper!??”


Pasar yang cukup besar ini, berjarak 20 menit dengan menggunakan sepeda dari desa tempat Haknyeon tinggal. Pasar ini berlokasi tidak jauh dari pantai, sehingga banyak sekali hasil laut yang dijual disini. Namun, barang lain seperti pakaian dan makanan siap saji pun banyak yang menjual.

Via mengeluarkan ponselnya untuk kemudian mengabadikan momen langka ini. Ya, dengan tangan tangan kirinya. Tangan kanannya tetap Haknyeon genggam.

“Lo mau beli sarapan apa?” tanya Haknyeon.

“ngikut aja, kan gue gak tau yang enak apa”

“Pancake mau?”

“boleh”

“tapi ini pancake khas korea. isinya sayuran”

“Iyaaaa Haknyeon, apa aja” Via menghela napas kasar.

“oke dehhh”

Tanpa menjawab lagi, Haknyeon langsung menarik tangan Via ke arah yang sepertinya sudah ia ketahui.

“nih” kata Haknyeon setelah mereka berada di depan penjual pancake.

“yaudah tolong pesenin, nanti biar gue yang bayar”

“Ok”

Setelah Haknyeon memesan, mereka berdua menjadi hening. Via hanya fokus merekam pemandangan di depannya lewat kamera ponsel, dan Haknyeon hanya memerhatikan penjual pancake menyiapkan pesanan mereka.

“Tau gak? dulu waktu kecil, gue sering rebutan pancake sama Seungkwan. Ibu Seungkwan emang paling jago soal bikin makanan kayak gini” Haknyeon membuka percakapan.

“oooh, gituu”

“gue selalu menang. Seungkwan selalu kalah. hahaha”

“hahaha” Via tertawa canggung.

“mereka bertiga adalah keluarga yang sempurna di mata gue” Haknyeon berkata sambil menampakkan raut wajah yang sedih.

“setuju” tambah Via

how about you?” Haknyeon menjadi penasaran tentang keluarga Via setelah percakapan tadi.

not that bad” jawab perempuan berkaos hitam itu.

me too

***

Penjual pancake menyerahkan pesanan kita kepada Haknyeon, dan lelaki itu mengulurkan tangan pada Via “mana uangnya?” seperti bocah es de yang meminta jatah jajan kepada Ibunya. Via memberi Haknyeon uang senilai 10.000 won sesuai jumlah yang Haknyeon bilang.

Via mendecak menatap sinis kepada Haknyeon.

“lo gak salah beli 4 biji buat dimakan sendiri?”

Via terkejut saat 5 pancake yang diserahkan oleh penjual hanya diserahkan satu buah pada Via, sisanya milik Haknyeon.

“gak salah” Haknyeon mulai melahap pancake nya.

“bener bener” Via menggelengkan kepalanya tak percaya.


“Kenapa lo gak masuk?” Ketika mereka berjalan menuntun sepeda melewati rumah mewah Haknyeon. Karena untuk menuju rumah ternak harus berjalan sedikit lebih jauh lagi.

“ngikutin gue ke rumah ternak?” lanjutnya

“bukan ngikutin”

“terus?”

“nganterin”

.......

Via tak bisa menjawab apa-apa lagi kepada Haknyeon setelah kalimat itu keluar dari lelaki bermarga Ju itu.

Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Haknyeon dan Via berjalan beriringan menuntun sepeda masing-masing memasuki halaman rumah ternak.

first of all, gue minta maaf sama lo ya. gue terlalu buruk sangka. Jadi gue harap kita bisa jadi temen” kata Via

“gak perlu minta maaf soal itu, gue juga paham” jawab Haknyeon.

“yaudah, nih bawa sepeda lo” Via mengarahkan sepeda pada Haknyeon.

“pake dulu aja selama lo ada disini. biar lo kalo mau kemana-mana gak perlu cape jalan kaki” jawab Haknyeon dan hanya dibalas dengan ucapan “ok, makasih”.

anyway, Via”

“kenapa?” Via melihat ke arah Haknyeon yang membuat mereka sekarang saling menatap.

Haknyeon sedikit tersentak, ia terlihat terkejut ketika Via menatapnya tepat di matanya.

“ummm... gue bakal seneng kalo lo mau jadi temen gue” Haknyeon tersenyum.

“gue juga” kali ini Via membalas senyuman Haknyeon.

“gue kira lo bakal nolak”

“gue gak sejahat itu kalii”

“Thank you, Via”

“kenapa lagi? thank you for what?” Via heran,

it feels like I found my long lost old friend. gue seneng aja karena sebelumnya belum pernah kayak gini, selain sama Seungkwan. Lo bisa terima gue sebagai manusia biasa”

“Haknyeon, sekarang lo pulang aja deh. omongan lo ngawur. emang gue harus nganggep lo manusia luar biasa? kan emang lo manusia biasa”

Haknyeon hanya tersenyum dan memutar sepedanya untuk kemudian pulang ke rumah. “see you di peternakan 10 menit lagi, Via*“. Ia melambaikan tangannya kepada Via yang sudah resmi menjadi temannya beberapa menit yang lalu.


#injunoona


I'm not mad at you

***

Via mengganti pakaiannya terlebih dulu dengan yang lebih nyaman dibandingkan dengan pakaian milik Haknyeon yang tadi ia pinjam. Ia juga memperhatikan 'menstrual starter pack' nya, tidak seperti tadi pagi.

Benar saja, setelah lima menit ia muncul dari balik pintu rumah berlantai kayu itu. Menggenggam uang senilai lima puluh ribu won di tangan kanannya.

“mau kemana?” Via keheranan melihat Haknyeon yang sedang berdiri di antara dua sepeda.

“ke tempat yang harus lo datengin” jawab Haknyeon.

“tiba-tiba? nih gue kan mau balikin uang lo buat beli makanan tadi” Via menyodorkan uang yang ia genggam.

“tapi gue gak minta diganti, Via”

“tadi lo bilang di chat... apa dong? nih buktinya masih ada kalo lo nyuruh gue keluar buat ganti uang lo” Via membuka kunci layar ponselnya dan membuka roomchat dari Haknyeon.

Haknyeon menghela napas kasar “beliin gue makanan juga” ucap lelaki itu.

“hah?”

“gak usah lebay, nih lo bawa sepeda nya satu. kita beli makanan bareng” Haknyeon mendorong sepeda sebelah kanannya untuk kemudian dipindah alihkan kepada Via.

“kemana?” Via megerutkan dahinya.

“lo tinggal ikutin gue aja Viaa. bisa naik sepeda kan?”

“bisa sih, tapi gue belom percaya sepenuhnya sama lo”

“tuhkan lo masih marah sama gue ya, Vi?”

“gue gak bilang gue marah. gue cuman bilang gue gak percaya”

“yaudah sekarang gue bakal bikin lo percaya sama gue. buruan naik, waktu lo ke peternakan tinggal bentar lagi” Haknyeon menepuk-nepuk sadel sepeda yang kini Via pegang handlebar nya.

Via mendecak, “yaudah. buruan jalan”.

Haknyeon hanya tersenyum kepada Via, walau tak Via lihat sama sekali.


Haknyeon's POV

Aku mengayuh sepeda yang sudah lama tak aku gunakan. Via berada di belakangku. Wajahnya terlihat muram. Aku tahu betul ia tidak suka jika aku berada di sekitarnya, tapi malah membuatku lebih ingin mendekatinya

Menyusuri jalanan sepi desaku, aku memimpin laju sepeda Via untuk menuju tempat dimana ia bisa mengganti uangku.

Angin terasa sangat menusuk, aku lupa memberi tau Via hal itu sehingga ia tak menggunakan pakaian tebal untuk menjaga suhu tubuhnya.

“lelet banget sih!” Via berkata setengah berteriak di sebelah kananku, “lo kalo ngayuh sepeda kayak gitu entar ketabrak dari belakang”. Sekarang gadis itu melaju melewatiku dan menjadi berada di depanku.

Aku tersenyum kepadanya, yang lagi-lagi tak ia lihat.

Aku mengayuh sepeda lebih cepat dan sekarang kami menjadi sejajar kembali.

“Via, apa lo gak dingin?” aku bertanya dengan nada suara yang tinggi.

“enggakkkk” ia menjawab dengan berteriak juga.

“pake aja jaket guee!”

“gak mauuuu”

“seriusannn??”

“iyaaaa, buruan lo maju duluan”

Aku akhirnya kembali berada di depan Via setelah percakapan bising itu.

Perjalanan setelah itu hanya ditemani suara semilir angin yang melewati kami.


#injunoona


thank you for helping me

***

Via menghela napas kasar setelah membaca pesan yang sudah ia ketahui pengirimnya, Haknyeon.

“ngapain si minta maaf segala” katanya sambil merapikan ikatan rambutnya.

Wanita yang menggunakan setelan training warna nude itu kemudian berdiri, melihat ke arah luar jendela.

“kayaknya kalo jalan-jalan pagi, pikiran gue bakal lebih fresh deh”.

Ia akhirnya menuju ke pintu utama rumah ternak untuk kemudian keluar dan berkeliling.

Daun-daun yang gugur membuat jalanan menjadi sangat berantakkan, Via sesekali menendang daun-daun jatuh itu.

Berjalan tanpa tujuan, ia hanya ingin menyegarkan pikirannya dengan menghirup oksiger pagi yang menyegarkan. Berjalan tanpa melihat ke depan dan terus fokus kepada suara 'srekk srekk' yang ia ciptakan dari gesekan sepatunya dengan daun-daun kering.

BRUKK

Seseorang yang muncul dari belokan arah kanan bertabrakan dengan Via.

“awwww” Via mengusap keningnya karena itu bagian tubuhnya yang menabrak pejalan kaki tadi.

Tanpa melihat wajah orang tersebut, Via hanya membungkuk-bungkuk. Mengisyaratkan permintaan maaf, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, tanpa melihat orang yang ada di depannya sekarang.

you have to say 'joesonghamnida'” suaranya sedikit tak asing di telinga Via, yang refleks membuatnya mendongak untuk melihat wajah orang yang ia tabrak beberapa detik lalu.

“Haknyeon??” Via membelalakkan mata dan langsung memutar badannya untuk menghindari Haknyeon.

Via berjalan dengan cepat seolah-olah dikejar oleh ketakutan terbesarnya atau apakah ia sekarang mengidap 'Haknyeon Phobic'?.

“Via!!” Suara Haknyeon tak henti memanggil Via yang semakin menjauh.

“Via STOP!” sekarang Via benar-benar berhenti, tangannya berhasil menangkap lengan Via.

WHYYYY?” Via berteriak pada Haknyeon,

let's go to my house” spontan membuat Via melotot.

WHAT?” emosi wanita yang sedang berada dimasa pms nya itu semakin meluap.

I don't know how to tell you” lanjut Haknyeon,

about what?

ummm... it's.. ummmm” Haknyeon menggigit bibir bagian bawahnya, ia terlihat sangat gelisah saat ini.

you wasting my time, Haknyeon!” Via melepaskan genggaman tangan Haknyeon di lengannya.

“Oh!!!” Haknyeon melepas jaket hitamnya lalu ia menyodorkannya kepada Via “you can have it”.

why should I? I'm okay, It's not cold at all now

your..” Haknyeon dengan perlahan menunjuk ke arah bagian tubuh sensitif milik Via.

what are you talking ab..” Via lagi-lagi terkejut, ia menutup mulutnya dan berlari mundur menjauhi lelaki yang saat ini sedang merasa sangat kikuk itu.

Via kemudian mengikatkan jaket milik Haknyeon di pinggangnya, dan begitu jaket Haknyeon terikat sempurna, ia memutar badannya dan berlari dengan normal.

(Via berlari mundur agar Haknyeon tidak melihat lagi darah menstruasi yang membekas di bagian belakang celananya).

shit. rese banget shit

anjing lah muka gue mau ditaro di mana

Disisi lain, Haknyeon terus memanggil Via.

Via you should go to my house!. You don't have water in yours

Mendengar itu, kaki Via seketika membeku. Ia berhenti dan kemudian membalikan badannya untuk melihat Haknyeon.

Haknyeon... can you pretend that you don't see anything after this?” Via menunduk.

I'm not gonna tell anyone about this. don't worry. now let's go to my house and you have to clean yourself” Haknyeon menepuk pundak Via yang sekarang berada di depannya.

I mean, no. I'm not saying you are dirty or something like yesterday” lanjut pria berambut coklat itu. “Sorry

Via hanya tersenyum, ternyata Haknyeon tipe orang yang suka overthinking.

I'm okay Haknyeon. Thank you for helping me

I have to” Haknyeon tersenyum.

Via akhirnya membersihkan dirinya di rumah Ibu Kim, dipaksa olwh Haknyeon.

Kalau Seungkwan tahu kejadian tadi, dia pasti akan bahagia.


#injunoona


No. I can survive!

***

Hari demi hari di minggu pertama berhasil Via lewati di peternakan sapi. Memeriksa pakan, kebersihan peternakan, berkomunikasi dengan perusahaan-perusahaan pengolah hasil ternak (perusahaan kornet, dendeng dan daging mentah) yang dibantu oleh Seungkwan dan dibimbing Pak Jodi.

Tak hanya perihal peternakan, keluarga Pak Jodi juga berperan atas isi perut Via selama seminggu ini. Sarapan kentang rebus, makan siang bersama di peternakan, dan makan malam bersama di rumah Pak Jodi.

Ada rasa mengganjal pada hati Via, ia merasa membebani orang lain. Padahal Via sudah sudah bilang pada Ibunya Seungkwan kalau dia akan menambah uang belanja untuk makanannya, tapi keluarga itu menolak.

Selama satu minggu pertama pula, Via merasa kesepian setelah pulang makan malam dari rumah Pak Jodi. Ia sendirian. Sebelum tidur ia memang ditemani video call oleh Yohan, Lia dan Aisha, tante Yuna kemudian Ibu, namun tetap saja berbeda. Ia merindukan rumahnya.


Via's POV

Hari pertama di minggu kedua. Cuaca menjadi lebih dingin dari minggu sebelumnya, aku sekarang selalu menggunakan kaos kaki kemana pun pergi.

Aku menyalakan tungku api yang berada di dapur rumah ternak, merebus ubi yang diberi oleh Ibu Kim melalui perantara Seungkwan kemarin.

Hari ini Seungkwan bilang tidak akan bisa menemaniku seperti hari-hari sebelumnya, karena ada urusan lain katanya. Jadi ia bilang aku akan ditemani oleh orang yang bekerja di peternakan babi.

gak ada yang bisa bahasa Indonesia di sana, jadi lo bisa mengumpat sepuasnya

Ibu Kim bakal sering dateng ke sana. Lo siap-siap aja

“siap-siap apa? dia galak?”

bukan, siap-siap aja disuruh makan terus

“serius?”

serius. dia adalah orang tajir ter-dermawan yang gue kenal

Begitulah obrolanku dengan Seungkwan kemarin malam saat dia datang ke rumah ternak untuk memberikan ubi yang sedang aku rebus sekarang.

Aku duduk lesehan di teras, mengupas dua ubi dan kemudian menikmati udara pagi ini.

“huhhhhh” aku menghela napas kasar.

“kok makin hari makin home sick ya gue” aku memeluk kedua kakiku yang ditekuk.

“padahal udah seminggu, kok gue masih gak bisa beradaptasi sih” lagi-lagi aku menghela napas lalu menggaruk asal betisku, yang sudah banyak luka gigitan nyamuk disana.

“apa gue nyerah aja kali ya?”

“enggak enggak! Via kan kuat!!”


Kegiatanku di peternakan babi hari ini sudah berakhir, aku memeriksa ponselku untuk melihat waktu. Sudah pukul empat sore.

Hari ini aku ditemani oleh Pak Dong. Ia bilang aku bisa memanggilnya dengan “ahjussi”. Karena Pak Dong tidak bisa berbahasa Inggris, aku dan beliau berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh, yang sesekali membuat kami menertawakan satu sama lain.

“Via!” aku lihat Ibu Kim berdiri di depan gerbang peternakan saat aku berjalan menuju kesana untuk pulang. Ia melambaikan tangan mengisyaratkan agar aku mendekatinya.

Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa, karena aku tidak bisa berkomunikasi dengan baik berbahasa korea. Jadi aku hanya tersenyum.

Ia memberi dua buah jeruk kepadaku, “kamsahamnida” kataku.

Beberapa saat aku dan Ibu Kim hanya diam. Aku tak tahu cara meminta ijin pulang bagaimana. Jadi aku mengupas satu jeruk lalu memakannya agar tidak terlalu kikuk.

Ibu Kim menepuk pundakku, membuatku terkejut. Ia menunjuk ke arah seorang laki-laki tua yang berjalan menghampiri kita. Aku tak tahu mereka berbicara apa, tapi ia mebawa keranjang rotan berisikan lima ekor anak babi disana.

Ibu Kim tersenyum lebar dan mengambil keranjang itu, lalu pria yang membawanya kemari kemudian pergi.

Ibu Kim tersenyum kepadaku. Matanya melihat ke arahku, kemudian ke arah anak babi dan berulang.

apanih? gue disurung ngelus-ngelus babi nya?

gue harus apa Ya Tuhann

Karena khawatir aku terlihat tidak bersahabat, akhirnya aku memutuskan untuk mengelus-elus satu persatu bola-bola pink kenyal bernyawa itu.

PLAKKKK

Seseorang memukul tangan kananku yag sedang mengelus anak babi itu.

Lelaki itu datang bersama Seungkwan tanpa aku sadari karena kesibukanku menyambut anak-anak babi.

Lelaki berambut coklat itu melotot kepadaku dan berbicara dalam bahasa korea, yang aku tak tahu artinya. Namun dari raut wajahnya aku melihat jelas bahwa dia sedang memarahiku.

Aku melihat ke arah Seungkwan yang sekarang sedang cekikikan, sama halnya dengan Ibu Kim.

“Dia bilang, 'liat tangan lo kotor. kok pegang-pegang anak babi punya dia'”

Aku dengan spontan menyembunyikan kedua tanganku di belakang tubuhku. Melihat ke arah Seungkwan dengan raut wajah meminta pertolongan.

“Dia anaknya Ibu Kim, namanya Ju Haknyeon” lanjut Seungkwan.

Aku semakin kaget.

aduh berarti ini dia anak bos

anjir gue harus ngapain sekarang

Otak Via memutar menyusun skenario.

“KAMSAHAMNIDA!!!!”

teriakku kepada lelaki yang Seungkwan bilang bernama Haknyeon itu sambil membungkukkan badanku 90°.

Pria bertubuh bongsor itu tertawa terbahak-bahak, begitu pun Seungkwan dan Ibu Kim (Ibu Kim tertawa tidak terbahak-bahak seperti Haknyeon dan Seungkwan).

“Vi, 'kamsahamnida' itu artinya 'terima kasih' bukan 'minta maaf'” kata Seungkwan sambil masih terkekeh.

Seungkwan menepuk lengan Haknyeon sambil masih tertawa dan Haknyeon menggelengkan kepalanya. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan, yang jelas aku sangat malu. Wajahku pasti memerah.

Ibu Kim pergi menuju ke dalam peternakan sambil membawa keranjang babi yang tadi. Raut wajahnya masih terlihat seperti menertawakanku.

“Seungkwan gue maluuu, gimana dong” aku menutup wajahku dengan telapak tangan.

“Santai aja Vi, dia temen gue kok. gak perlu lo aggep dia bos. oh, dan dia bisa bahasa Inggris” kata Seungkwan.

sorry, I just.. scared..” aku berkata sambil tetap menutup wajahku.

It's okay. don't touch your face. You have sooo dirty hands right now” kata Haknyeon

Aku kemudian melepas tanganku,

ewww but your face looks more dirty actually” ia mengerutkan alisnya mengejekku.

Aku mendengus kesal dan melemparkan satu buah jeruk di tanganku kepadanya kemudian berjalan ke luar peternakan untuk kembali ke rumah ternak.

***

“Lo bikin nangis anak orang tuh, Ju” kata Seungkwan.

“I don't. dia cuman kesel doang. dadanya pasti dipenuhi amarah, tapi gak akan sampe nangis”

“lo orang gila”

“dari dulu”.


#injunoona


Pak Jodi sedang menyapu halaman rumah ternak ketika Via keluar rumah setelah selesai mandi.

“Pagi, neng Via! mau pergi sekarang?” tanya pria paruh baya yang Via taksir umurnya mungkin sekitar 50-an.

“Iya pak, ayoo. lebih cepat lebih baik”.

Awal bulan oktober ini merupakan pertengahan musim gugur di Korea. Udaranya dingin, namun masih bisa Via tahan dengan hanya menggunakan sweater tipis tanpa mantel.

Peternakan sapi, babi dan ayam yang akan Via datangi tidak berada di satu lokasi yang sama. Pak Jodi berkata “kalau peternakan sapi di atas bukit sana, peternakan babi di belakang rumah Ibu Kim dan peternakan ayam berada di sebelah peternakan babi”.

Via hanya mangut-mangut mendengar cerita Pak Jodi. Sambil berjalan, sesekali ia menunduk memainkan daun-daun yang gugur di jalanan karena merasa kikuk terhadap Pak Jodi yang tidak banyak bicara seperti anaknya.

Setelah berjalan menanjak kurang lebih lima belas menit, mereka sampai di peternakan sapi. Peternakan yang sangat besar. Via bisa langsung tahu setelah melihat pagar tinggi, bangunan-bangunan untuk kandang sapi yang besar, halaman yang luas serta para pekerja yang berada di setiap sudut peternakan terlihat mulai sibuk dengan pekerjaannya masing-masing (jumlahnya banyak, bikin Via kaget).

“Neng Via kalau mau keliling-keliling dulu silahkan, nanti saya ada di sana”

Pak Jodi menunjuk satu bangunan yang terlihat kokoh, namun lebih kecil dari bangunan di sekitarnya. Via yakini itu adalah ruang kerja Pak Jodi sebagai penanggungjawab peternakan sapi.

“Iya pak” jawab Via singkat dan kemudian Pak Jodi berjalan menuju bangunan tadi meninggalkan Via yang meneliti sudut demi sudut peternakan.

“Viaa!”

Panggil seseorang yang suaranya sudah Via kenali. Iya, itu Seungkwan.

Via menoleh dan tersenyum kepada lelaki itu.

“lo udah sarapan?” tanya Seungkwan to the point.

Via menggeleng.

“nih” Seungkwan memberinya sebuah kentang yang sudah direbus, otomatis membuat Via tersenyum.

Thanks

“oh iya, sorry sekarang kerjaan gue lagi banyak. lo bisa kan liat-liat dulu sendirian? mungkin satu jam lagi gue kasih tau lo apa aja yang bakal lo perluin buat penelitian”

“kok lo perhatian gini sih?” Via malah menggoda Seungkwan yang kemudian membuat lelaki itu mendengus kesal.

“Itu kerjaan gue keleus! gak usah baper. Lo makan aja dulu, nanti telfon gue kalo ada apa-apa!”

Tanpa menunggu jawaban Via, ia langsung membalikkan badannya dan kembali melakukan pekerjaannya.

Via akhirnya berjalan ke tempat yang menarik perhatiannya dari awal ia sampai di peternakan. Ladang rumput. Ada beberapa sapi yang sedang makan rumput-rumput liar disana, Via meyakini hal itu dilakukan untuk membuat sapi-sapi tetap sehat dan tidak stress.

Wanita itu duduk di lesehan di depan pagar ladang. Ia mengupas kentang rebusnya lalu memakannya sambil menikmati pemandangan yang menyegarkan di depan matanya.

woaaaa, this is the best view I've ever seen


#injunoona


I don't want it, but I have to do it

***

Via's POV

Pukul 10 pagi, aku dan tante Yuna kembali mendatangi tempat yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Hanya berdua saja, tetap sama seperti kemarin. Namun, hari ini mood tante Yuna tidak baik. Ia terlihat murung dan aku tahu betul penyebabnya adalah aku. Tante belum ingin berpisah denganku.

Om Lee pergi bekerja pagi sekali, pukul 6. Ia bilang ada situasi mendesak yang harus diselesaikan. Hal itu juga menyebabkan tante Yuna semakin murung, ia pikir kita bertiga bisa menghabiskan waktu bersama sebelum aku pergi ke Jeju. Namun suaminya sangat sibuk.

“tante jangan sedih dooong” aku menggenggam kedua tangan tante Yuna dengan kedua tanganku.

“masa tante gak sedih sihh, kan kita pisahh!!” ia menekuk wajahnya.

“oh!! gimana kalo tante ikut aja ke Jeju?!” wajahnya menjadi antusias.

aku hanya mengerutkan dahiku, tak percaya tanteku bisa mengucapkan kalimat tadi dengan begitu mudahnya.

“gak deh, nanti kamu jadi risih” ia menekuk kembali wajahnya.

“tanteee, aku kan tetep bisa main ke Seoul kalau udah selesai penelitian”

“Iyaa, tante cuman sedih aja. semua orang ninggalin tante sendirian” air mata mulai menetes di pipi kananya.

Aku yang tidak tahu harus merespon apa atas kalimatnya, hanya bisa memeluknya. Seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“kalau sudah sampai Jeju, kabari tante yaaa. tante bakal telfon kamu setiap hari!” ia mengusap-usap punggungku.

“iyaaa”

Sekarang aku percaya atas ucapan Ibu tempo hari, “waktu kamu lahir, kayaknya lebih bahagia tante Yuna dari pada Ayah dan Ibu”. Aku merasakannya sekarang, tante Yuna sangat penyayang. Bahkan dalam waktu singkat, dia bisa sangat menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.


Dalam waktu kurang lebih 80 menit, aku telah sampai di Bandara Internasional Jeju. Kali ini aku tidak merasakan apapun, tidak mual dan tidak linglung. Sebuah kemajuan bukan?.

Aku membuka note dari ponselku. Aku telah mengetik intruksi yang diberikan oleh Om Lee malam tadi,

kamu cari gerbang selatan, dan tunggu disana. Nanti ada yang jemput kamu pakai mobil pick up warna hitam”.

Kamu bertanya-tanya kan? kenapa aku dijemput menggunakan mobil pick up? Akupun tak tahu jawabannya. Rasanya terlalu cerewet jika bertanya alasannya, sedangkan aku sudah cukup merepotkan 'Om Korea' ku itu.

south gate mana sih south gate” aku menarik koper hitamku sambil menelusuri sudut bandara untuk menemukan kata south gate. Dan tak butuh waktu lama, aku bisa menemukannya.

Aku berjalan menuju kesana. Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku rasa ini awal dari semuanya. Aku tidak mengenal siapapun setelah ini. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri.

Sekarang aku berdiri tepat di luar south gate. Mataku mencari keberadaan mobil pick up hitam sesuai intruksi dari Om Lee, namun setelah 30 menit pun aku tidak menemukannya.

Angin cukup kencang siang ini, daun-daun kering banyak berserakan di jalanan. Ya, musim gugur sedang berlangsung sekarang.

drrt drrrt ponselku berdering memunculkan notifikasi telfon masuk. Namun bukan dari nomor yang sudah kusimpan.

“Halo” aku membuka suara.

where are you?

suara pria yang melengking dari balik telepon itu sedikit mengejutkanku.

who are you” tanyaku.

I'm the black pick up guy

who?” aku kembali bertanya, memastikan.

I'm the black pick up guy

how can I trust you?” aku tidak ingin langsung percaya, mengingat banyaknya tindak kriminal penipuan belakangan ini.

Your name is Via. Your uncle's name is Donghae Lee. I even have your photo on my phone

dia menjelaskan dengan tegas dan tidak terbata-bata.

where are you” tanyaku.

behind you”.

Dengan spontan aku memutar tubuhku dan benar saja pria itu ada di belakangku.

Aku membelalakkan mataku saat melihat pria berkaos dan bertopi abu-abu itu. Kantung matanya lumayan besar, ia terlihat sangat lelah.

why don't you just call my name if you stand here? right behind me?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

it's up to me” jawabnya dengan ketus dan kemudian ia mencoba mengambil alih membawa koperku.

stop it! don't touch! are you a thief or something?!” aku menepis tangannya setelah menuduhnya sebagai seorang pencuri.

“ANJIR!” lelaki itu mendengus kesal.

“heh! lo bisa bahasa Indonesia?!” aku terkejut.

what? I can't understand! what are you talking about?” ia menggerakkan bola matanya kesana kemari, sangat jelas kalau dia sedang berbohong.

wanna know what I just said before?” aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya “lo jelek”.

“emang feeling gue dari awal udah gak enak. gue dari awal juga gak mau jemput orang Indonesia di bandara” laki-laki itu membalas menatapku.

“KANNN! LO ORANG INDONESIA ANJIRRR! GUE MAU NANGIS AJA!!!” aku merasa lega, sangat lega. Aku mengkhawatirkan bahasa Korea ku yang sangat buruk. Ditambah desas desus kalau di Korea masih sedikit yang terbiasa berbahasa Inggris.

“biasa aja kaliii! lagian gue bukan orang Indonesia. gue juga gak pernah ke Indonesia” jawabnya.

“terus?” aku terheran.

“siniin koper lo, biar gue yang bawa. kita ngobrol di mobil aja. gue pegel anjir”

“Idihhhh. yaudah nihhh!” aku akhirnya memberikan koperku padanya.


Selama perjalanan dari bandara menuju peternakan, lelaki yang kini mengemudikan mobil pick up hitam, yang duduk di sebelahku tidak berhenti bercerita.

Ia bilang, ia adalah anak dari penanggungjawab peternakan sapi yang akan aku teliti. Namanya Boo Seungkwan Permana.

Ayahnya adalah orang Indonesia, yang merantau ke Korea di usianya yang masih sangat muda dulu dan berakhir berkeluarga disini. Ia bilang ayahnya tidak akan kembali ke Indonesia, karena memang beliau tidak mempunyai siapa pun disana.

“soal tadi yang gue bilang lo pencuri, gue minta maaf. gue cuman takut aja, takut dihipnotis or something” aku meminta maaf padanya karena khawatir jika ia akan menyimpan dendam.

“santai aja, gue ngerti kok. gue juga bohong waktu tadi bilang punya foto lo” jawabnya singkat dan dibalas dengan anggukan singkat olehku.

Seungkwan berusia 2 tahun lebih tua dariku, tapi saat aku memanggilnya 'kak' ia tidak mau. “aneh banget anjir” katanya.

Perjalanan selama 3 jam tentu saja sangat panjang. Tidak heran banyak hal yang bisa aku dan Seungkwan ceritakan.

Aku jadi tahu, Seungkwan adalah anak yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Ia bilang, ia bekerja di peternakan setelah lulus dari SMA karena Ayahnya tidak memiliki biaya yang cukup untuk kuliah. “gue gak mau kayak gini, tapi gue harus” katanya sambil sedikit tertawa. mendengar kisahnya, membuatku bersyukur masih bisa diberi kesempatan duduk di bangku kuliah.


Aku dan Seungkwan turun dari mobil pick up hitam setelah mobil itu terparkir di basemen yang cukup luas. Aku bisa tebak, ini adalah tempat parkir umum penduduk yang tinggal disini.

Seungkwan menurunkan koperku yang disimpan di bak mobil. Wajahnya memang terlihat lelah, tapi aku yakini tenaganya masih sangat kuat.

“lo liat tangga disana?” Seungkwan menujuk ke arah sebelah kananku, aku mengangguk.

“kita kesana, gak ada akses jalan buat mobil” lanjutnya, “kita ke peternakan jalan kaki, naik tangga”.

“okeey” kataku sambil berjalan mendahului Seungkwan menuju tangga yang tadi ia tunjuk.

Karena waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 4 sore, udaranya cukup dingin. Aku memeluk diriku sendiri saat angin berhembus melewati tubuhku yang sedang menaiki anak tangga demi anak tangga.

“mau istirahat dulu?” tanya Seungkwan dibelakangku.

“gak usah, ngapain” jawabku.

Saat berjalan semakin ke atas, aku bisa melihat pemandangan pedesaan dan pegunungan. Terlihat sangat tenang, oksigen yang kuhirup terasa lebih bersih. Ya, dibandingkan dengan oksigen Kota Bandung yang penuh polusi.

Tak lama, kita akhirnya sampai. Bukan di peternakan, tapi di rumah yang aku yakini sebagai rumah pemilik peternakan.

“Eh nak Via sudah sampai!” seseorang menyapaku seketika aku dan Seungkwan membuka gerbang.

aku hanya tersenyum, “bokap gue” kata Seungkwan. Aku hanya mengangguk.

“kenalin, nama bapak Jodi. Jodi Permana” beliau mengulurkan tangan padaku.

“Via, pak” aku menerima uluran tangannya.

“ayo masuk, udah ditungguin sama Ibu Kim” Pak Jodi menunjukkan arah masuk dengan jari jempolnya. sangat sopan.

Aku dan Pak Jodi berjalan menuju rumah Ibu Kim, halamannya sangat luas. Aku lihat beberapa hewan di halamannya. Seperti kelinci, anak babi, bahkan kancil. Pak Jodi Bilang itu semua hewan liar.

Aku dan Pak Jodi bertemu dengan Ibu Kim di ruang tamu rumah mewah ini. Tak banyak yang kami bicarakan. Intinya Ibu Kim memberikan semangat padaku dan jangan sungkan jikalau membutuhkan sesuatu (menggunakan bahasa Korea yang diterjemahkan oleh Pak Jodi).

Beliau juga bilang, selama disini aku akan diberikan tempat tinggal sendiri (Pak Jodi menyebutnya 'Rumah Ternak') atau dengan kata lain rumah peternak. Beberapa peneliti sebelum aku dari berbagai negara juga tinggal disana.


#injunoona


I don't want it, but I have to do it

***

Via's POV

Pukul 10 pagi, aku dan tante Yuna kembali mendatangi tempat yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Hanya berdua saja, tetap sama seperti kemarin. Namun, hari ini mood tante Yuna tidak baik. Ia terlihat murung dan aku tahu betul penyebabnya adalah aku. Tante belum ingin berpisah denganku.

Om Lee pergi bekerja pagi sekali, pukul 6. Ia bilang ada situasi mendesak yang harus diselesaikan. Hal itu juga menyebabkan tante Yuna semakin murung, ia pikir kita bertiga bisa menghabiskan waktu bersama sebelum aku pergi ke Jeju. Namun suaminya sangat sibuk.

“tante jangan sedih dooong” aku menggenggam kedua tangan tante Yuna dengan kedua tanganku.

“masa tante gak sedih sihh, kan kita pisahh!!” ia menekuk wajahnya.

“oh!! gimana kalo tante ikut aja ke Jeju?!” wajahnya menjadi antusias.

aku hanya mengerutkan dahiku, tak percaya tanteku bisa mengucapkan kalimat tadi dengan begitu mudahnya.

“gak deh, nanti kamu jadi risih” ia menekuk kembali wajahnya.

“tanteee, aku kan tetep bisa main ke Seoul kalau udah selesai penelitian”

“Iyaa, tante cuman sedih aja. semua orang ninggalin tante sendirian” air mata mulai menetes di pipi kananya.

Aku yang tidak tahu harus merespon apa atas kalimatnya, hanya bisa memeluknya. Seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“kalau sudah sampai Jeju, kabari tante yaaa. tante bakal telfon kamu setiap hari!” ia mengusap-usap punggungku.

“iyaaa”

Sekarang aku percaya atas ucapan Ibu tempo hari, “waktu kamu lahir, kayaknya lebih bahagia tante Yuna dari pada Ayah dan Ibu”. Aku merasakannya sekarang, tante Yuna sangat penyayang. Bahkan dalam waktu singkat, dia bisa sangat menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.


Dalam waktu kurang lebih 80 menit, aku telah sampai di Bandara Internasional Jeju. Kali ini aku tidak merasakan apapun, tidak mual dan tidak linglung. Sebuah kemajuan bukan?.

Aku membuka note dari ponselku. Aku telah mengetik intruksi yang diberikan oleh Om Lee malam tadi,

kamu cari gerbang selatan, dan tunggu disana. Nanti ada yang jemput kamu pakai mobil pick up warna hitam”.

Kamu bertanya-tanya kan? kenapa aku dijemput menggunakan mobil pick up? Akupun tak tahu jawabannya. Rasanya terlalu cerewet jika bertanya alasannya, sedangkan aku sudah cukup merepotkan 'Om Korea' ku itu.

south gate mana sih south gate” aku menarik koper hitamku sambil menelusuri sudut bandara untuk menemukan kata south gate. Dan tak butuh waktu lama, aku bisa menemukannya.

Aku berjalan menuju kesana. Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku rasa ini awal dari semuanya. Aku tidak mengenal siapapun setelah ini. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri.

Sekarang aku berdiri tepat di luar south gate. Mataku mencari keberadaan mobil pick up hitam sesuai intruksi dari Om Lee, namun setelah 30 menit pun aku tidak menemukannya.

Angin cukup kencang siang ini, daun-daun kering banyak berserakan di jalanan. Ya, musim gugur sedang berlangsung sekarang.

drrt drrrt ponselku berdering memunculkan notifikasi telfon masuk. Namun bukan dari nomor yang sudah kusimpan.

“Halo” aku membuka suara.

where are you?“ suara pria yang melengking dari balik telepon itu sedikit mengejutkanku.

who are you” tanyaku.

I'm the black pick up guy

who?” aku kembali bertanya, memastikan.

I'm the black pick up guy

how can I trust you?” aku tidak ingin langsung percaya, mengingat banyaknya tindak kriminal penipuan belakangan ini.

Your name is Via. Your uncle's name is Donghae Lee. I even have your photo on my phone” dia menjelaskan dengan tegas dan tidak terbata-bata.

where are you” tanyaku.

behind you”.

Dengan spontan aku memutar tubuhku dan benar saja pria itu ada di belakangku.

Aku membelalakkan mataku saat melihat pria berkaos dan bertopi abu-abu itu. Kantung matanya lumayan besar, ia terlihat sangat lelah.

why don't you just call my name if you stand here? right behind me?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

it's up to me” jawabnya dengan ketus dan kemudian ia mencoba mengambil alih membawa koperku.

stop it! don't touch! are you a thief or something?!” aku menepis tangannya setelah menuduhnya sebagai seorang pencuri.

“ANJIR!” lelaki itu mendengus kesal.

“heh! lo bisa bahasa Indonesia?!” aku terkejut.

what? I can't understand! what are you talking about?” ia menggerakkan bola matanya kesana kemari, sangat jelas kalau dia sedang berbohong.

wanna know what I just said before?” aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya “lo jelek”.

“emang feeling gue dari awal udah gak enak. gue dari awal juga gak mau jemput orang Indonesia di bandara” laki-laki itu membalas menatapku.

“KANNN! LO ORANG INDONESIA ANJIRRR! GUE MAU NANGIS AJA!!!” aku merasa lega, sangat lega. Aku mengkhawatirkan bahasa Korea ku yang sangat buruk. Ditambah desas desus kalau di Korea masih sedikit yang terbiasa berbahasa Inggris.

“biasa aja kaliii! lagian gue bukan orang Indonesia. gue juga gak pernah ke Indonesia” jawabnya.

“terus?” aku terheran.

“siniin koper lo, biar gue yang bawa. kita ngobrol di mobil aja. gue pegel anjir”

“Idihhhh. yaudah nihhh!” aku akhirnya memberikan koperku padanya.


Selama perjalanan dari bandara menuju peternakan, lelaki yang kini mengemudikan mobil pick up hitam, yang duduk di sebelahku tidak berhenti bercerita.

Ia bilang, ia adalah anak dari penanggungjawab peternakan sapi yang akan aku teliti. Namanya Boo Seungkwan Permana.

Ayahnya adalah orang Indonesia, yang merantau ke Korea di usianya yang masih sangat muda dulu dan berakhir berkeluarga disini. Ia bilang ayahnya tidak akan kembali ke Indonesia, karena memang beliau tidak mempunyai siapa pun disana.

“soal tadi yang gue bilang lo pencuri, gue minta maaf. gue cuman takut aja, takut dihipnotis or something” aku meminta maaf padanya karena khawatir jika ia akan menyimpan dendam.

“santai aja, gue ngerti kok. gue juga bohong waktu tadi bilang punya foto lo” jawabnya singkat dan dibalas dengan anggukan singkat olehku.

Seungkwan berusia 2 tahun lebih tua dariku, tapi saat aku memanggilnya 'kak' ia tidak mau. “aneh banget anjir” katanya.

Perjalanan selama 3 jam tentu saja sangat panjang. Tidak heran banyak hal yang bisa aku dan Seungkwan ceritakan.

Aku jadi tahu, Seungkwan adalah anak yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Ia bilang, ia bekerja di peternakan setelah lulus dari SMA karena Ayahnya tidak memiliki biaya yang cukup untuk kuliah. “gue gak mau kayak gini, tapi gue harus” katanya sambil sedikit tertawa. mendengar kisahnya, membuatku bersyukur masih bisa diberi kesempatan duduk di bangku kuliah.


Aku dan Seungkwan turun dari mobil pick up hitam setelah mobil itu terparkir di basemen yang cukup luas. Aku bisa tebak, ini adalah tempat parkir umum penduduk yang tinggal disini.

Seungkwan menurunkan koperku yang disimpan di bak mobil. Wajahnya memang terlihat lelah, tapi aku yakini tenaganya masih sangat kuat.

“lo liat tangga disana?” Seungkwan menujuk ke arah sebelah kananku, aku mengangguk.

“kita kesana, gak ada akses jalan buat mobil” lanjutnya, “kita ke peternakan jalan kaki, naik tangga”.

“okeey” kataku sambil berjalan mendahului Seungkwan menuju tangga yang tadi ia tunjuk.

Karena waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 4 sore, udaranya cukup dingin. Aku memeluk diriku sendiri saat angin berhembus melewati tubuhku yang sedang menaiki anak tangga demi anak tangga.

“mau istirahat dulu?” tanya Seungkwan dibelakangku.

“gak usah, ngapain” jawabku.

Saat berjalan semakin ke atas, aku bisa melihat pemandangan pedesaan dan pegunungan. Terlihat sangat tenang, oksigen yang kuhirup terasa lebih bersih. Ya, dibandingkan dengan oksigen Kota Bandung yang penuh polusi.

Tak lama, kita akhirnya sampai. Bukan di peternakan, tapi di rumah yang aku yakini sebagai rumah pemilik peternakan.

“Eh nak Via sudah sampai!” seseorang menyapaku seketika aku dan Seungkwan membuka gerbang.

aku hanya tersenyum, “bokap gue” kata Seungkwan. Aku hanya mengangguk.

“kenalin, nama bapak Jodi. Jodi Permana” beliau mengulurkan tangan padaku.

“Via, pak” aku menerima uluran tangannya.

“ayo masuk, udah ditungguin sama Ibu Kim” Pak Jodi menunjukkan arah masuk dengan jari jempolnya. sangat sopan.

Aku dan Pak Jodi berjalan menuju rumah Ibu Kim, halamannya sangat luas. Aku lihat beberapa hewan di halamannya. Seperti kelinci, anak babi, bahkan kancil. Pak Jodi Bilang itu semua hewan liar.

Aku dan Pak Jodi bertemu dengan Ibu Kim di ruang tamu rumah mewah ini. Tak banyak yang kami bicarakan. Intinya Ibu Kim memberikan semangat padaku dan jangan sungkan jikalau membutuhkan sesuatu (menggunakan bahasa Korea yang diterjemahkan oleh Pak Jodi).

Beliau juga bilang, selama disini aku akan diberikan tempat tinggal sendiri (Pak Jodi menyebutnya 'Rumah Ternak') atau dengan kata lain rumah peternak. Beberapa peneliti sebelum aku dari berbagai negara juga tinggal disana.


#injunoona


I don't want it, but I have to do it

***

Via's POV

Pukul 10 pagi, aku dan tante Yuna kembali mendatangi tempat yang sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Hanya berdua saja, tetap sama seperti kemarin. Namun, hari ini mood tante Yuna tidak baik. Ia terlihat murung dan aku tahu betul penyebabnya adalah aku. Tante belum ingin berpisah denganku.

Om Lee pergi bekerja pagi sekali, pukul 6. Ia bilang ada situasi mendesak yang harus diselesaikan. Hal itu juga menyebabkan tante Yuna semakin murung, ia pikir kita bertiga bisa menghabiskan waktu bersama sebelum aku pergi ke Jeju. Namun suaminya sangat sibuk.

“tante jangan sedih dooong” aku menggenggam kedua tangan tante Yuna dengan kedua tanganku.

“masa tante gak sedih sihh, kan kita pisahh!!” ia menekuk wajahnya.

“oh!! gimana kalo tante ikut aja ke Jeju?!” wajahnya menjadi antusias.

aku hanya mengerutkan dahiku, tak percaya tanteku bisa mengucapkan kalimat tadi dengan begitu mudahnya.

“gak deh, nanti kamu jadi risih” ia menekuk kembali wajahnya.

“tanteee, aku kan tetep bisa main ke Seoul kalau udah selesai penelitian”

“Iyaa, tante cuman sedih aja. semua orang ninggalin tante sendirian” air mata mulai menetes di pipi kananya.

Aku yang tidak tahu harus merespon apa atas kalimatnya, hanya bisa memeluknya. Seolah mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“kalau sudah sampai Jeju, kabari tante yaaa. tante bakal telfon kamu setiap hari!” ia mengusap-usap punggungku.

“iyaaa”

Sekarang aku percaya atas ucapan Ibu tempo hari, “waktu kamu lahir, kayaknya lebih bahagia tante Yuna dari pada Ayah dan Ibu”. Aku merasakannya sekarang, tante Yuna sangat penyayang. Bahkan dalam waktu singkat, dia bisa sangat menunjukkan rasa sayangnya kepadaku.


Dalam waktu kurang lebih 80 menit, aku telah sampai di Bandara Internasional Jeju. Kali ini aku tidak merasakan apapun, tidak mual dan tidak linglung. Sebuah kemajuan bukan?.

Aku membuka note dari ponselku. Aku telah mengetik intruksi yang diberikan oleh Om Lee malam tadi,

kamu cari gerbang selatan, dan tunggu disana. Nanti ada yang jemput kamu pakai mobil pick up warna hitam”.

Kamu bertanya-tanya kan? kenapa aku dijemput menggunakan mobil pick up? Akupun tak tahu jawabannya. Rasanya terlalu cerewet jika bertanya alasannya, sedangkan aku sudah cukup merepotkan 'Om Korea' ku itu.

south gate mana sih south gate” aku menarik koper hitamku sambil menelusuri sudut bandara untuk menemukan kata south gate. Dan tak butuh waktu lama, aku bisa menemukannya.

Aku berjalan menuju kesana. Entah kenapa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku rasa ini awal dari semuanya. Aku tidak mengenal siapapun setelah ini. Aku hanya mengandalkan diriku sendiri.

Sekarang aku berdiri tepat di luar south gate. Mataku mencari keberadaan mobil pick up hitam sesuai intruksi dari Om Lee, namun setelah 30 menit pun aku tidak menemukannya.

Angin cukup kencang siang ini, daun-daun kering banyak berserakan di jalanan. Ya, musim gugur sedang berlangsung sekarang.

drrt drrrt ponselku berdering memunculkan notifikasi telfon masuk. Namun bukan dari nomor yang sudah kusimpan.

“Halo” aku membuka suara.

where are you?” suara pria yang melengking dari balik telepon itu sedikit mengejutkanku.

who are you” tanyaku.

I'm the black pick up guy

who?” aku kembali bertanya, memastikan.

I'm the black pick up guy

how can I trust you?” aku tidak ingin langsung percaya, mengingat banyaknya tindak kriminal penipuan belakangan ini.

Your name is Via. Your uncle's name is Donghae Lee. I even have your photo on my phone” dia menjelaskan dengan tegas dan tidak terbata-bata.

where are you” tanyaku.

behind you”.

Dengan spontan aku memutar tubuhku dan benar saja pria itu ada di belakangku.

Aku membelalakkan mataku saat melihat pria berkaos dan bertopi abu-abu itu. Kantung matanya lumayan besar, ia terlihat sangat lelah.

why don't you just call my name if you stand here? right behind me?” tanyaku dengan nada sedikit tinggi.

it's up to me” jawabnya dengan ketus dan kemudian ia mencoba mengambil alih membawa koperku.

stop it! don't touch! are you a thief or something?!” aku menepis tangannya setelah menuduhnya sebagai seorang pencuri.

“ANJIR!” lelaki itu mendengus kesal.

“heh! lo bisa bahasa Indonesia?!” aku terkejut.

what? I can't understand! what are you talking about?” ia menggerakkan bola matanya kesana kemari, sangat jelas kalau dia sedang berbohong.

wanna know what I just said before?” aku mendekatkan wajahku dengan wajahnya “lo jelek”.

“emang feeling gue dari awal udah gak enak. gue dari awal juga gak mau jemput orang Indonesia di bandara” laki-laki itu membalas menatapku.

“KANNN! LO ORANG INDONESIA ANJIRRR! GUE MAU NANGIS AJA!!!” aku merasa lega, sangat lega. Aku mengkhawatirkan bahasa Korea ku yang sangat buruk. Ditambah desas desus kalau di Korea masih sedikit yang terbiasa berbahasa Inggris.

“biasa aja kaliii! lagian gue bukan orang Indonesia. gue juga gak pernah ke Indonesia” jawabnya.

“terus?” aku terheran.

“siniin koper lo, biar gue yang bawa. kita ngobrol di mobil aja. gue pegel anjir”

“Idihhhh. yaudah nihhh!” aku akhirnya memberikan koperku padanya.


Selama perjalanan dari bandara menuju peternakan, lelaki yang kini mengemudikan mobil pick up hitam, yang duduk di sebelahku tidak berhenti bercerita.

Ia bilang, ia adalah anak dari penanggungjawab peternakan sapi yang akan aku teliti. Namanya Boo Seungkwan Permana.

Ayahnya adalah orang Indonesia, yang merantau ke Korea di usianya yang masih sangat muda dulu dan berakhir berkeluarga disini. Ia bilang ayahnya tidak akan kembali ke Indonesia, karena memang beliau tidak mempunyai siapa pun disana.

“soal tadi yang gue bilang lo pencuri, gue minta maaf. gue cuman takut aja, takut dihipnotis or something” aku meminta maaf padanya karena khawatir jika ia akan menyimpan dendam.

“santai aja, gue ngerti kok. gue juga bohong waktu tadi bilang punya foto lo” jawabnya singkat dan dibalas dengan anggukan singkat olehku.

Seungkwan berusia 2 tahun lebih tua dariku, tapi saat aku memanggilnya 'kak' ia tidak mau. “aneh banget anjir” katanya.

Perjalanan selama 3 jam tentu saja sangat panjang. Tidak heran banyak hal yang bisa aku dan Seungkwan ceritakan.

Aku jadi tahu, Seungkwan adalah anak yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya. Ia bilang, ia bekerja di peternakan setelah lulus dari SMA karena Ayahnya tidak memiliki biaya yang cukup untuk kuliah. “gue gak mau kayak gini, tapi gue harus” katanya sambil sedikit tertawa. mendengar kisahnya, membuatku bersyukur masih bisa diberi kesempatan duduk di bangku kuliah.


Aku dan Seungkwan turun dari mobil pick up hitam setelah mobil itu terparkir di basemen yang cukup luas. Aku bisa tebak, ini adalah tempat parkir umum penduduk yang tinggal disini.

Seungkwan menurunkan koperku yang disimpan di bak mobil. Wajahnya memang terlihat lelah, tapi aku yakini tenaganya masih sangat kuat.

“lo liat tangga disana?” Seungkwan menujuk ke arah sebelah kananku, aku mengangguk.

“kita kesana, gak ada akses jalan buat mobil” lanjutnya, “kita ke peternakan jalan kaki, naik tangga”.

“okeey” kataku sambil berjalan mendahului Seungkwan menuju tangga yang tadi ia tunjuk.

Karena waktu sudah menunjukkan kurang lebih pukul 4 sore, udaranya cukup dingin. Aku memeluk diriku sendiri saat angin berhembus melewati tubuhku yang sedang menaiki anak tangga demi anak tangga.

“mau istirahat dulu?” tanya Seungkwan dibelakangku.

“gak usah, ngapain” jawabku.

Saat berjalan semakin ke atas, aku bisa melihat pemandangan pedesaan dan pegunungan. Terlihat sangat tenang, oksigen yang kuhirup terasa lebih bersih. Ya, dibandingkan dengan oksigen Kota Bandung yang penuh polusi.

Tak lama, kita akhirnya sampai. Bukan di peternakan, tapi di rumah yang aku yakini sebagai rumah pemilik peternakan.

“Eh nak Via sudah sampai!” seseorang menyapaku seketika aku dan Seungkwan membuka gerbang.

aku hanya tersenyum, “bokap gue” kata Seungkwan. Aku hanya mengangguk.

“kenalin, nama bapak Jodi. Jodi Permana” beliau mengulurkan tangan padaku.

“Via, pak” aku menerima uluran tangannya.

“ayo masuk, udah ditungguin sama Ibu Kim” Pak Jodi menunjukkan arah masuk dengan jari jempolnya. sangat sopan.

Aku dan Pak Jodi berjalan menuju rumah Ibu Kim, halamannya sangat luas. Aku lihat beberapa hewan di halamannya. Seperti kelinci, anak babi, bahkan kancil. Pak Jodi Bilang itu semua hewan liar.

Aku dan Pak Jodi bertemu dengan Ibu Kim di ruang tamu rumah mewah ini. Tak banyak yang kami bicarakan. Intinya Ibu Kim memberikan semangat padaku dan jangan sungkan jikalau membutuhkan sesuatu (menggunakan bahasa Korea yang diterjemahkan oleh Pak Jodi).

Beliau juga bilang, selama disini aku akan diberikan tempat tinggal sendiri (Pak Jodi menyebutnya 'Rumah Ternak') atau dengan kata lain rumah peternak. Beberapa peneliti sebelum aku dari berbagai negara juga tinggal disana.


#injunoona


can I survive?

***

Via berjalan sempoyongan ke luar pesawat dan memasuki bandara sambil menarik koper hitamnya. Bisa dibilang ia mengalami jet lag.

Ia memperhatikan semua sudut Bandara Internasional Incheon untuk mencari keberadaan toilet. setelah menemukannya, ia setengah berlari untuk menuju kesana.

“anjir ini gue harus kemana”

“oh nyalain hp dulu”

“loh wifi airport langsung nyambung? korea gak medit wifi ternyata”

“tarik napas... buang napas...”

kalimat-kalimat tadi Via ucapkan dalam bilik toilet, ia duduk di atas kloset sambil menenangkan dirinya.

Setelah sekian menit, ia rasa tubuhnya sudah mulai stabil. Via berjalan ke luar dan membuka room chat dari tante Yuna.

“loh kok gak dibales terus”

Rasa khawatir mulai merasuki dirinya. Ia takut, tak tahu harus melangkahkan kakinya kemana. Ini bukan wilayahnya, ia tak tahu apa-apa. Via menghampiri kursi tunggu yang paling dekat dengannya dari posisi sebelumnya, “duduk dulu sampe ada balesan dari tante Yuna”

Memang benar Via sudah melakukan research mengenai Korea Selatan terlebih dahulu. seperti bagaimana tata cara transportasi, pembayaran dan lain sebagainya. Namun begitu ia sampai, pengetahuannya luntur seketika dikalahkan oleh rasa paniknya.

drrt drrrt

“ehh!” notifikasi telfon masuk membuyarkan rasa khawatirnya. Kontak bernamakan “Kak Yohan💛” muncul pada layar.

“Hai Vi. gimana perjalanannya?”

“aku agak pusing ih kak”

“yaudah aku temenin. bangun dong kamunya, nyari tante Yuna nya sambil aku temenin di call

“Iya kak” Via bangkit dari duduknya dan kembali berjalan mencari keberadaan tantenya.

Tangan kanan Via diberatkan oleh koper, tangan kirinya disibukkan pula dengan ponselnya yang sedang menampilkan wajah tampan pacarnya. Ia terlihat sangat kelelahan, ditambah backpack kecil yang menggantung di pundaknya.

“coba kamu cari orang-orang yang lagi nunggu, siapa tau ada tantemu disana”

Via tidak merespon.

“maksud aku tuh yang berdiri”

Via tetap tidak merespon.

“OH ITU TANTE YUNA KAK!!” Via menyipitkan matanya untuk memastikan, apakah wanita yang memegang white board kecil bertuliskan “Via Cantik” adalah tantenya atau bukan.

“aku matiin dulu yaa”

“okaay! hati-hati Vi!”


Tante Yuna terlihat sangat kebingungan sambil mengangkat white board nya. Wanita yang sekarang berjarak kurang lebih 50 meter dari Via juga sesekali melihat layar ponselnya, yang Via yakini sedang menunggu notifikasi darinya.

Via setengah berlari menghampiri tantenya, wajah kelelahannya sedikit berkurang karena sekarang ia tersenyum cerah. Merasa lega karena telah menemukan tantenya.

“Tante!!” panggil Via setelah berjarak kurang lebih 10 meter dari Yuna.

Bukannya menjawab, Yuna hanya menampakkan wajah haru. Kornea nya membesar seperti melihat harta karun yang sudah lama ia cari.

Yuna membuka lengannya lebar mengisyaratkan agar Via masuk ke pelukannya.

“ya ampun, tante khawatir banget tadi! kok kamu gak bisa dihubungi?”

“aku gak tahu tante, soalnya sinyalnya putus-putus. aku pake wifi airport”

“lohh, iya bener. ayo beli dulu sim card. ke sana yuk”

Yuna mengambil alih menarik koper milik Via. Keponakannya menolak, tapi Yuna tetap tidak mengizinkan Via-nya kelelahan.


Cukup melelahkan dari mulai saling mencari keberadaan masing-masing, kemudian membeli sim card, dan mereka juga menyempatkan sarapan bersama di salah satu restoran yang berada di bandara.

Kini mereka berdua berada dalam Hyundai Tucson milik Yuna. yang Via yakini mobil ini berharga sangat tinggi.

Di perjalanan menuju rumah Yuna, ia tak henti-hentinya bercerita. Mulai dari ia yang tadi pagi bangun dari pukul 3 karena tak sabar ingin bertemu Via, hingga membahas objek-objek yang mereka lewati di jalanan kota Seoul. Via hanya mengangguk-angguk. bukan tidak tertarik atas cerita tantenya, namun ia hanya terlalu lelah.

Kurang lebih 45 menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di rumah yang cukup besar. Yang Via yakini, ini adalah rumah tantenya. Halamannya luas, bersih dan tertata dengan rapi. Membuat Via menulis skenario-skenario kecil di otaknya.

suami tante Yuna kaya banget

waduh ini gue gak bakal diusir nih masuk ke rumah mewah

TANTE GUE TAJIRR WOYY

dan lain sebagainya.


“Ayo masuk sayang” Yuna membuka seat belt nya dan kemudian keluar dari mobil. Via pun melakukan hal yang sama.

“eh, gak usah! nanti aja diambilin sama Goo Ahjussi” Yuna mencegah Via yang akan membuka bagasi mobil untuk mengambil kopernya.

“Oh, hehehe. iya tantee” Via langsung mengerti, kalau Goo Ahjussi adalah seseorang yang tantenya pekerjakan di rumah ini. Kalimat lain muncul dipikirannya “di rumah mah gue ngangkat galon aja sendiri, tan”.

“Ayo sayang” Yuna membuka pintu utama rumah dan mereka bersama masuk, dengan sepatu yang tetap dipakai. “waduh masuk rumah pake sepatu. kalo di rumah Ibu, udah abis gue”.

“tunggu disini yaa” Yuna memberikan intruksi kepada Via untuk menunggu di kursi ruangan TV nya. Via hanya terkagum-kagum dengan interior rumah yang serba hitam putih. tema monokrom.

“yeobo!! yeoboo!” Yuna meneriakkan kata yang sama sekali tidak Via mengerti.

Tak lama, seorang lelaki datang bersama Yuna menghampiri Via. Perawakannya sangat tinggi, wajahnya cerah dengan kulit yang sehat. “omg, ini om korea gue”.

“Hai Viaa!!” lelaki itu datang dan tiba-tiba mengusap kepala Via lembut. Ia tersenyum kepada Via, membuatnya merasa sangat disambut di rumah ini.

Via hanya mangut-mangut karena tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

“Tante kamu udah cerita banyak soal Via, jadi gak usah kenalan lagi” Ia sedikit tertawa setelah kalimatnya itu.

“loh aku kira om gak bisa Bahasa Indonesia” Via terkejut.

I spent my 23 years with your aunt, masa gak bisa” ia lagi-lagi mengusap kepala Via.

“jadi gimana? Via mau penelitian dimana??” lelaki itu mengakhiri basa-basinya.

“apa gak terlalu cepet? kok kamu udah nanya gitu ih!. aku kan mau kangen-kangenan dulu sama ponakanku!” Yuna memutar bola matanya.

Pria bernama Lee Donghae itu tersenyum. “Iya kan aku cuma nanya ajaa. yaudah deh jangan dulu bahas itu”, ia kemudian mengusap kepala istrinya.

“maaf tadi om gak ikut jemput, tiba-tiba ada telfon penting. Padahal udah ambil cuti hari ini khusus buat jemput Via”

“gak papa om!! Via gak mau repotin” Via merasa tidak enak akan ucapan omnya itu.

“tapi tante, om, Via memang gak bisa lama-lama. Via harus cepat-cepat mulai penelitiannya” lanjutnya.

“Yahhhhh” Yuna merebahkan badannya di sofa dan menampakkan wajah kecewanya.

“Udah disampaikan kan sama tantemu soal 3 pilihan peternakan rekomendasi dari om?. Peternakan Sapi di Seoul, dekat dari sini tapi tidak terlalu besar. Yang kedua di Jeju yang terbesar, dan yang terakhir di Daegu. kamu mutusin milih yang mana?”

“Aku pilih yang di Jeju om. aku lihat di website yang tante kirim, ternyata disana ada peternakan babi sama ayam juga. Via mungkin bisa teliti semuanya”

“hah?! semuanya??” Yuna menegakkan badannya karena terkejut, “apa kamu gak cape?!”

“Kamu jangan gitu doong, harusnya kasih semangat keponakannya” Donghae terkekeh atas tingkah istrinya.

“gak papa tante, justru kalau gak diteliti semuanya Via yang rugi. kesempatan bagus soalnya”


#injunoona

I said, everything is gonna be ok


no matter what happen, I will always stay by your side

Yohan's POV

Aku membuka pintu gerbang rumah Via dengan tangan kananku, dan tangan kiriku menenteng plastik hitam berisikan roti bakar yang kubeli di depan gang komplek rumah Via. aku harap beberapa potong roti bakar bisa sedikit meningkatkan mood nya.

Saat aku membuka sepatuku, pintu rumah Via terbuka, dan aku melihat wanitaku dibaliknya. Wajahnya muram, tapi tetap berusaha tersenyum untuk menyambut kedatanganku.

“apa itu kak?” tanya Via dimaksudkan kepada plastik hitam yang kubawa.

“roti bakar, nih” aku mengulurkan tanganku untuk memberikannya pada Via.

Tanpa basa basi, Via mengambil plastik itu dan memutar badannya untuk kembali masuk ke dalam rumah.

“dih, akunya dicuekkin. rotinya doang yang dipeduliin”

Via terlihat sedikit tertawa setelah mendengar ucapanku.

“yaudah si tinggal masuk aja, kayak presiden aja harus dipersilahkan masuk” Via duduk di kursi ruang tamu yang masih bisa kulihat dari teras.

Aku sedikit merasa lega. ternyata Via tidak se-sedih itu. Buktinya dia tetap bisa menanggapi candaanku dengan santai.

“Ibu kemana?” tanyaku, aku duduk di sebelah Via

“di toko” jawabnya kemudian ia melahap roti bakar yang kubawa.

“ohh okee.. jadi kita cuma berdua nih”

Mendengar ucapanku tadi, Via langsung melotot ke arahku yang diikuti oleh kekehan kita berdua.


Author's POV

Bisnis yang dijalankan oleh keluarga Via adalah toko telur ayam. Ibu Yuni mempekerjakan 5 karyawan di toko itu.

Dulu ketika orang tua Via berada di puncak kejayaan, Ayah Via memiliki peternakan ayam petelur. Telur yang dijual di toko keluarga, berasal dari peternakan keluarga juga.

Namun beberapa tahun yang lalu, setelah Ayah Via meninggal, peternakan itu dengan terpaksa ditutup dan membuat Ibu susah payah mencari supplier telur lain.

Masa-masa sulit itu telah terlewati. Sekarang Ibu Yuni telah sukses menjalankan bisnisnya.


Yohan dan Via sedari tadi hanya saling diam, fokus kepada ponselnya masing-masing.

Suasana hati Via sedang tak baik-baik saja. Bagaimana tidak, ia banting tulang berhari-hari namun mendapatkan hasil yang tidak memuaskan.

Disamping itu, Yohan kebingungan membuka topik pembicaraan. Ia takut jika perkataannya mungkin akan menyinggung perasaan Via yang sedang sensitif.

“Via” Yohan mulai membuka suara.

Via hanya menoleh sehingga membuat mereka berdua saling menatap.

“apa?”

Yohan membuka kedua tangannya lebar, mengisyaratkan agar Via masuk ke dalam pelukannya.

Via terkekeh, “oh jadi bawa roti bakar tuh buat sogokan?”

“ih gak gitu!” Yohan kembali melipat tangannya,

“bercandaaa!” Via akhirnya melepas lipatan tangan Yohan dan kemudian memeluk lelakinya itu.

“Makasih ya” ucap Yohan sambil mengusap-usap surai hitam wanitanya.

“kok bilang makasih?” Via mengerutkan dahinya,

“ya makasih, kamu udah mau berjuang. gak nyerah”

because I have to” tegas Via

“gak ada yang salah kok, kamu gak terpilih buat berangkat ke Korea juga itu bukan salahmu. gak perlu nyalahin diri sendiri. perjuangan kamu gak sia-sia kok” Yohan berusaha keras menenangkan Via.

“Makasih kak, karena selalu ada buat aku”

“aku bakal selalu ada buat kamu, Vi. apapun yang terjadi”

Via menjauhkan diri dari Yohan untuk melihat wajah pacarnya itu.

“geli banget ngomong begitu”

“hahahahaha, gak papa. yang penting kamu tau kalo semuanya bakal baik-baik aja!”

Via tersenyum dan kembali memeluk Yohan-nya.

ting ting ting

ponsel Via berdenting berkali-kali yang membuat dia melepaskan pelukannya dari Yohan.

“bentar kak, aku baca dulu”

Via membuka matanya lebar-lebar setelah memeriksa ponselnya, sehingga membuat Yohan terheran.

“kenapa??”

“AAAAAAAAAAAAAAA” Via berteriak dan melompat memeluk Yohan tanpa memberi tahu apa yang terjadi. Sehingga lelakinya itu semakin heran.

“KAK AKU KETERIMAAA!!!” Via berteriak tepat di depan wajah Yohan.

sore itu berakhir dengan dua sejoli yang berpelukan sambil meloncat-loncat karena bahagia.


#injunoona