sunlixie

permintaan ketiga.


Eric menatap hasil jerih payahnya dengan puas. Untuk seseorang yang hanya handal memasak mi instan, sup rumput laut buatan Eric ini terlihat oke. Meng saja mengakui dengan mengendus masakan Eric hingga akhirnya Eric terpaksa harus mengusir kucing itu sebelum masakannya habis dimakan oleh Meng.

“Oke, sekarang gue harus apa, nih?” Eric kebingungan.

Dimakan, Ric.”

“BAJINGAN!” Eric memasang gestur hendak menonjok Sunwoo saking terkejutnya, “permisi dulu kenapa, sih. Kaget gue anjir.”

Sunwoo tertawa, “yaelah gue kira lo udah terbiasa.”

“Ya jangan tiba-tiba gitu, dong,” balas Eric, “btw ini beneran boleh gue makan?”

Ya boleh, lah, kan lo yang masak,” Sunwoo duduk di seberang Eric, “met makan.”

Eric mengangguk kemudian mulai menyuap supnya. Rasanya rupanya tidak mengecewakan dan Eric tambah merasa puas. Mungkin lain kali ia harus mencoba memasak makanan selain mi instan. Siapa tahu skill memasaknya bisa meningkat drastis.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo tiba-tiba nyuruh gue masak ini?” Eric bertanya dengan mulut penuh.

Telen dulu tuh isi mulut lo,” balas Sunwoo sebelum berjalan menuju kulkas.

Eric menerka-nerka ketika Sunwoo kembali membawa sebuah kotak. Kegiatan makannya seketika berhenti ketika Sunwoo mengeluarkan sebuah kue dari dalam kotak tersebut. Ditatapnya Sunwoo yang sibuk memasang lilin dan kini berusaha menyalakannya.

Kue ini dikirim dari Han,” Sunwoo menyodorkan kue tersebut, “selamat ulang tahun ke dua puluh tiga, Ric_.”

Eric masih terpaku di tempatnya, tidak percaya dengan matanya sendiri. Ia kemudian tersenyum kecil. Astaga, ia bahkan lupa dengan ulang tahunnya sendiri saking lamanya ia tidak merayakannya.

Dengan cepat, Eric menangkupkan tangannya, berdoa sebelum meniup lilin, berharap semua keinginannya bisa terwujud.

Semoga semua yang lo inginkan bisa terwujud ya, Ric,” ucap Sunwoo setelah lilin padam, “semoga permintaan ketiga gue juga bisa terwujud.”

“Lah iya,” Eric baru teringat, “permintaan ketiga lo apa?”

Sunwoo tersenyum, “gak muluk-muluk, kok. Gue cuma minta mulai sekarang, di umur lo yang ke dua puluh tiga ini, lo makan yang teratur, jangan mi instan terus. Dulu lo selalu marah-marah ke gue karena gue jarang banget makan makanan sehat. Nah, sekarang giliran gue yang marahin lo. Mumpung gue masih dikasih kesempatan buat ketemu lo, gue pingin lo lebih merhatiin badan lo sendiri karena kalau bukan lo, siapa lagi? Jadi gue harap, lo bisa kabulin permintaan gue yang ketiga ini.”

Eric terdiam sejenak, “oke. Gue bakal berusaha atur pola makan gue lagi, demi lo.”

Jangan demi gue,” Sunwoo menggeleng, “lakuin ini demi diri lo sendiri baru gue bisa bahagia.”

Kalimat Sunwoo membuat Eric tak bisa berkata-kata lagi. Hanya anggukan dengan tatapan mantap yang Eric berikan kepada Sunwoo sebagai jawaban. Lagipula sebenarnya ia sedang amat terharu sampai mau menangis rasanya. Selama beberapa tahun belakangan ini, setelah ia memutuskan pindah dari rumah bahkan kota tempat ia menghabiskan masa-masa SMA-nya, Eric selalu merasa kesepian. Namun dengan keberadaan Sunwoo, sedikit demi sedikit rasa sepi itu hilang meski Eric tidak tahu akan bertahan sampai kapan.

permintaan ketiga.


Eric menatap hasil jerih payahnya dengan puas. Untuk seseorang yang hanya handal memasak mi instan, sup rumput laut buatan Eric ini terlihat oke. Meng saja mengakui dengan mengendus masakan Eric hingga akhirnya Eric terpaksa harus mengusir kucing itu sebelum masakannya habis dimakan oleh Meng.

“Oke, sekarang gue harus apa, nih?” Eric kebingungan.

Dimakan, Ric.”

“BAJINGAN!” Eric memasang gestur hendak menonjok Sunwoo saking terkejutnya, “permisi dulu kenapa, sih. Kaget gue anjir.”

Sunwoo tertawa, “yaelah gue kira lo udah terbiasa.”

“Ya jangan tiba-tiba gitu, dong,” balas Eric, “btw ini beneran boleh gue makan?”

Ya boleh, lah, kan lo yang masak,” Sunwoo duduk di seberang Eric, “met makan.”

Eric mengangguk kemudian mulai menyuap supnya. Rasanya rupanya tidak mengecewakan dan Eric tambah merasa puas. Mungkin lain kali ia harus mencoba memasak makanan selain mi instan. Siapa tahu skill memasaknya bisa meningkat drastis.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo tiba-tiba nyuruh gue masak ini?” Eric bertanya dengan mulut penuh.

Telen dulu tuh isi mulut lo,” balas Sunwoo sebelum berjalan menuju kulkas.

Eric menerka-nerka ketika Sunwoo kembali membawa sebuah kotak. Kegiatan makannya seketika berhenti ketika Sunwoo mengeluarkan sebuah kue dari dalam kotak tersebut. Ditatapnya Sunwoo yang sibuk memasang lilin dan kini berusaha menyalakannya.

Kue ini dikirim dari Han,” Sunwoo menyodorkan kue tersebut, “selamat ulang tahun ke dua puluh tiga, Ric_.”

Eric masih terpaku di tempatnya, tidak percaya dengan matanya sendiri. Ia kemudian tersenyum kecil. Astaga, ia bahkan lupa dengan ulang tahunnya sendiri saking lamanya ia tidak merayakannya.

Dengan cepat, Eric menangkupkan tangannya, berdoa sebelum meniup lilin, berharap semua keinginannya bisa terwujud.

Semoga semua yang lo inginkan bisa terwujud ya, Ric,” ucap Sunwoo setelah lilin padam, “semoga permintaan ketiga gue juga bisa terwujud.”

“Lah iya,” Eric baru teringat, “permintaan ketiga lo apa?”

Sunwoo tersenyum, “gak muluk-muluk, kok. Gue cuma minta mulai sekarang, di umur lo yang ke dua puluh tiga ini, lo makan yang teratur, jangan mi instan terus. Dulu lo selalu marah-marah ke gue karena gue jarang banget makan makanan sehat. Nah, sekarang giliran gue yang marahin lo. Mumpung gue masih dikasih kesempatan buat ketemu lo, gue pingin lo lebih merhatiin badan lo sendiri karena kalau bukan lo, siapa lagi? Jadi gue harap, lo bisa kabulin permintaan gue yang ketiga ini.”

Eric terdiam sejenak, “oke. Gue bakal berusaha atur pola makan gue lagi, demi lo.”

Jangan demi gue,” Sunwoo menggeleng, “lakuin ini demi diri lo sendiri baru gue bisa bahagia.”

Kalimat Sunwoo membuat Eric tak bisa berkata-kata lagi. Hanya anggukan dengan tatapan mantap yang Eric berikan kepada Sunwoo sebagai jawaban. Lagipula sebenarnya ia sedang amat terharu sampai mau menangis rasanya. Selama beberapa tahun belakangan ini, setelah ia memutuskan pindah dari rumah bahkan kota tempat ia menghabiskan masa-masa SMA-nya, Eric selalu merasa kesepian. Namun dengan keberadaan Sunwoo, sedikit demi sedikit rasa sepi itu hilang meski Eric tidak tahu akan bertahan sampai kapan.

maaf


“Rin, maaf, ya.”

Serius, Erin rasanya jengah sekali mendengar Eric yang sedari awal menemuinya di klinik hingga kini di depan kosnya terus berkata maaf. Padahal Erin sama sekali tidak menyalahkan Eric karena kecerobohannya ini. Ya salahnya sendiri tidak makan siang lalu minum kopi pemberian Eric karena saking senangnya.

“Terus aja terus bilang maaf,” balas Erin, “udah gue bilang bukan salah lo, Kak. Ini murni salahnya gue karena gue sendiri yang teledor. Lo cuma niat baik ngasih gue kopi.”

“Ya tetep aja, Rin,” Eric menghela napas, mengacak-acak rambutnya, “harusnya gue tanya dulu lo udah makan atau belum. Atau gak ya minimal gue tau lo punya maag.”

Erin tersenyum, “yaelah, bukan kewajiban lo buat tau itu semua, Kak. Udah, ya, gak usah ngerasa bersalah lagi. Yang penting, kan, sekarang lo udah tau. Lo juga udah ngajakin gue makan tadi sampai gue kekenyangan gini. Lo juga udah nganter gue sampai kos. Makasih, ya.”

Eric menatap Erin lama, “gimana perasaan lo sekarang? Masih sakit?”

“Udah mendingan, kok,” jawab Erin mantap, “tinggal tidur aja paling besok udah sembuh.”

“Kalau besok masih sakit, jangan diporsir,” kata Eric tegas, “gue gak mau lo tumbang.”

“Idih idih, kayak pahlawan aja tumbang,” sahut Erin sambil tertawa.

Melihat tawa Erin, Eric jadi sedikit lega.

“Rin?”

Panggilan Eric membuat Erin berhenti tertawa, “iya, Kak?”

“Gue ... boleh peluk lo?”

Jantung Erin rasanya melorot mendengar permintaan Eric. Gadis itu hanya bisa terpaku di tempatnya, tidak langsung memberi Eric jawaban.

“Sori, kayaknya gue terlalu cross the line banget,” Eric mengusap tengkuknya.

Erin tersenyum, “kata siapa? Boleh, kok.”

Giliran Eric yang terpaku ketika Erin merengkuhnya. Tak membutuhkan waktu cukup lama bagi Eric untuk membalas pelukan Erin, menyembunyikan wajahnya di bahu gadis itu.

“Jangan ... sakit lagi, ya, Rin? Gue bener-bener sedih liat lo sakit,” tutur Eric lirih.

“Iya, iya,” Erin mengusap pelan punggung Eric, “lo juga jangan sampai sakit ya, Kak.”

permintaan kedua.


Jujur Eric sempat terkejut ketika Sunwoo menampakkan dirinya di tengah keramaian. Namun sepertinya ucapan Sunwoo kala itu benar bahwa hanya Eric-lah yang dapat melihatnya. Terbukti orang-orang di sekitar Sunwoo tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka melihat lelaki itu.

Sunwoo membawa Eric menaiki bis menuju suatu tempat. Ketika mereka sampai, Eric tambah terkejut lagi melihat pemandangan di depannya.

“Warung sop?” Eric menoleh ke arah Sunwoo, “lo mau nyuruh gue ngapain sekarang?”

Sunwoo terlihat celingukan, mencari seseorang, “nah, itu, Ric.”

Eric mengikuti telunjuk Sunwoo. Ia melihat seorang wanita yang mungkin berusia sekitar 60 tahun sedang melayani pelanggan. Eric kembali melihat sekeliling. Warung di hadapannya tidak terlihat megah, sangat sederhana dengan pelanggan yang dapat dihitung dengan jari.

Permintaan kedua gue,” Eric refleks menahan napas ketika Sunwoo berbicara, “samperin bibi itu dan bilang kalau lo temen gue.”

“Udah gitu aja?” Eric menoleh tidak percaya, “gue kira lo bakal nyuruh gue buat bantu jualan.”

Sunwoo tersenyum kecil, “kalau lo gak keberatan, kenapa enggak?”

Cukup lama Eric bertatapan dengan Sunwoo hingga akhirnya lelaki itu menghela napas, berjalan menuju sang bibi dan langsung menawarkan bantuan. Memang pelanggan yang datang tidak banyak namun di usianya bibi itu tampak cukup kewalahan. Makanya bibi itu senang sekali ketika Eric menawarkan bantuan.

“Terima kasih ya, nak,” akhirnya semua pekerjaan selesai, “ngomong-ngomong, kamu datang dari mana? Bibi rasanya gak pernah liat kamu.”

Eric melirik ke arah Sunwoo yang duduk di samping sang bibi, “saya temannya Sunwoo, Bi. Bibi kenal Sunwoo?”

Raut wajah sang bibi berubah secara signifikan, “kenal, tentu saja bibi kenal. Sunwoo itu anak laki-laki yang selalu datang ke sini sepulang sekolah.”

“Dia selalu kesini, Bi?” Eric jadi penasaran.

“Iya. Sejak awal dia nyoba makan sop di sini, besoknya dia selalu datang. Dia selalu bantuin bibi kalau warung lagi ramai. Kadang juga dia inisiatif sendiri buat promosiin warung bibi padahal bibi sama sekali gak minta,” sang bibi tertawa, “Sunwoo itu anak yang baik.”

Bisa dilihat dari sudut mata Eric bahwa Sunwoo berdiri, beranjak pergi. Nampaknya ia sedang salah tingkah sekarang.

“Tapi sekarang Sunwoo di mana, ya, nak?” sang bibi menatap Eric lekat-lekat, “dia udah kayak anak bibi sendiri. Makanya waktu dia tiba-tiba hilang, bibi sempet nyariin dia kemana. Bibi kangen banget sama Sunwoo.”

Eric tersenyum tipis. Pandangannya kini beralih kepada Sunwoo di ujung ruangan. Lelaki itu mengangguk, memberi isyarat pada Eric untuk menjawab semua pertanyaan sang bibi.

“Sunwoo udah pergi, Bi,” Eric menggenggam erat tangan sang bibi, “jauh, ke tempat yang lebih baik.”

Dan ya, tangis sang bibi keluar bersama dengan ceritanya yang rupanya sudah berkali-kali ditinggalkan oleh sanak keluarganya. Eric paham, sang bibi pasti sangat kesepian dan kedatangan Sunwoo secara perlahan mengusir semua rasa sepi itu. Ia juga menjadi paham mengapa Sunwoo memintanya kemari.

“Bibi jangan sedih, ya. Sunwoo sedih kalau liat bibi sedih begini,” Eric mengusap lembut bahu sang bibi, “sebagai gantinya Sunwoo, mulai besok saya bakal sering ke sini nemenin bibi.”

Sesuai dengan harapannya, tatapan sang bibi kembali menjadi bahagia. Kemudian tubuh Eric direngkuh, dibawa ke pelukan hangat sang bibi, membuat lelaki itu terkejut.

Eric ... sudah lama tidak dipeluk seperti ini.

“Jangan ngambek tadi gue cuma bercanda,” Ares meletakkan ponselnya kemudian menopang dagu, menatap gadis di depannya yang masih membuang muka, “lagian lo udah tau kalau orang di kamar mandi ngapain masih aja nanya.”

“Ya gue kira lo beneran muntah, anjir,” Asla menusuk takoyakinya dengan penuh emosi, “kali aja lo eneg ngerjain TKA jadi muntah.”

Ares tertawa, “enggak lah, ya kali. Gini-gini gue jagoan.”

Gerakan mengunyah Asla memelan. Persahabatannya dengan Ares sudah terhitung lama sampai-sampai ia tahu bahwa ada hal yang disembunyikan oleh Ares. Asla tahu betul bahwa lelaki itu sedang memikirkan sesuatu. Dari awal ia bertemu Ares setelah selesai UTBK, Asla sadar bahwa wajah Ares cukup pucat. Pun lelaki itu acap kali melamun ketika mengajak dirinya makan bersama.

Asla menghela napas, “ada yang lo khawatirin, ya?”

Diamnya Ares menjadi jawaban untuk Asla.

“Nangis aja kalau emang pingin. Gak gue ketawain, paling gue rekam,” lanjut Asla santai.

“Sialan,” Ares jadi tertawa, “gue ... ngerasa tadi gak maksimal ngerjainnya.”

Asla mengangguk, “terus?”

“Gue takut hasilnya gak sesuai sama apa yang gue harapkan,” Ares memainkan sedotannya, “takut ngecewain orang tua gue juga.”

“Hmm,” Asla mengunyah takoyaki terakhir, “lo udah berusaha semaksimal lo, Res. Mau gimana nanti hasilnya, kita cuma bisa serahin sama yang di atas. Mau baik atau enggak pasti ada hikmahnya masing-masing.”

Ares menghela napas, “gitu ya?”

“Iya dong,” balas Asla, “kan lo sendiri yang selalu ngomong begitu ke gue kalau gue takut sama hasil ulangan gue. Ayo semangat yok, anak muda.”

Perlahan raut khawatir Ares hilang. Kedua sudut bibirnya kini terangkat.

“Temen gue emang keren banget, dah,” tangan Ares terulur, mengacak rambut Asla, “habis ini mau ke Jogja beneran gak?”

“HAH? LO SERIUS WAKTU ITU?” Asla sangat terkejut hingga meninggikan intonasi tanpa sadar.

“Loh ya serius, dong. Emang kapan, sih, gue gak serius sama lo?” Ares menjawab santai, “gas gak?”

“GASLAH YA KALI ENGGAK!”


Ini pertama kali bagi Eric melangkahkan kakinya memasuki bar. Tak heran jika sekarang dirinya persis seperti anak ayam kehilangan induk, linglung sebelum akhirnya memilih duduk di dekat bartender.

Katanya bar bisa menghilangkan stress makanya Eric ingin mencoba. Namun dirinya sekarang kebingungan. Ia tidak pernah mencicipi minuman alkohol, sama sekali tidak pernah. Bartender sudah berulang-ulang menagih pesanan namun Eric masih gelagapan sebelum memutuskan bir sebagai pilihannya.

“Aduh,” begitu reaksi Eric ketika satu tegukan berhasil masuk ke tubuhnya. Rasanya amat aneh dan Eric langsung mengernyit.

Telinganya menangkap tawa. Ketika ia menoleh, ia menjumpai seorang lelaki yang sedang menatapnya geli sambil tersenyum.

First time?” begitu ujarnya dan Eric langsung mengangguk.

“Itu ... keliatan enak,” Eric menunjuk minuman si lelaki.

“Jangan, ini kadar alkoholnya tinggi,” larang si lelaki, “lo mau berakhir mabok terus di bawa sama om-om?”

Eric serta merta menggeleng. Takut, ia kembali meneguk birnya, “gue Eric.”

Si lelaki memicingkan mata mendengar Eric mengenalkan dirinya, “oke ... gue Sunwoo.”

“Aneh, ya, main ngenalin diri kayak gitu?” Eric rasanya bisa membaca ekspresi Sunwoo.

“Sedikit,” jawab Sunwoo setelah terdiam cukup lama, “ngomong-ngomong, sendirian aja?”

“Iya,” balas Eric, “katanya bar bisa ngilangin stress tapi kayaknya gue malah tambah stress habis ini.”

Sunwoo tertawa, “musiknya kekencangan, ya?”

Eric menjawab pertanyaan Sunwoo dengan anggukan karena sekarang dirinya sedang sibuk meneguk bir, “ini juga rasanya aneh,” balasnya sambil mengangkat gelasnya.

“Karena lo baru pertama kali,” ucap Sunwoo, tersenyum geli, “kalau udah sering juga nanti biasa.”

Eric manggut-manggut, sudut matanya menangkap sesuatu, “lo gak ngerokok?”

Pandangan Sunwoo jatuh pada bungkus rokok miliknya, “nanti aja habis minum. Lagian kalau gue ngerokok sekarang ntar lo pergi.”

Alis Eric terangkat, “kok?”

“Lo gak tahan asap rokok, kan?” tebakan Sunwoo tepat sasaran.

“Kok lo tau, sih?”

“Keliatan,” Sunwoo kembali meneguk minumannya, “lo keliatan anak baik-baik.”

Eric mencibir, “lo sering kesini?”

“Hmm lumayan,” jawab Sunwoo, “kayak kata lo tadi, bisa ngilangin stress.”

“Jangan sering-sering,” ucap Eric, “kasian lambung lo.”

Sebelah alis mata Sunwoo terangkat, “tapi sekarang lo lagi minum alkohol?”

Eric tertawa, “ya ini percobaan pertama gue. Semoga gue gak sering-sering, deh.”

Sunwoo diam sejenak menatap Eric lalu menghela napas, “iya, semoga.”

Berjam-jam berlalu dan Eric masih saja betah mengobrol bersama Sunwoo. Lelaki itu rupanya memiliki pandangan hidup yang sangat luas, membuat Eric acap kali terkesima ketika saling bertukar pemikiran dengannya. Sunwoo juga pintar menyelipkan humor dalam obrolan sehingga pembicaraan mereka tidak terlalu berat.

“Udah jam satu, lo gak pulang?” setelah mengobrol panjang, akhirnya Sunwoo menutup pembicaraannya.

“Hah?” Eric langsung melihat ponselnya, “mampus, gue dicariin abang gue.”

“Udah sana pergi,” Sunwoo bangkit dari kursinya.

“Lo juga mau pulang?”

“Gue mau ke atap. Ngerokok,” balas Sunwoo.

Eric mengangguk, “anyway, it's nice to see you, Sunwoo. Gue baru pertama kali kenalan sama orang yang asik banget diajak ngobrol kayak lo.”

Sunwoo tersenyum kecil, “beneran pertama kali?”

“Iya beneran,” Eric mengangguk antusias, “pada akhirnya bir gue gak habis tapi stress gue lumayan berkurang.”

Sunwoo mendengus, “bagus kalau begitu. Udah sana pulang. Hati-hati di jalan.”

“Gue duluan,” Eric melambaikan tangan, “makasih udah nemenin gue, ya! Pengalaman pertama gue yang berharga.”

Sunwoo kembali tersenyum kecil, melambai hingga presensi Eric hilang dari pandangannya. Barulah saat itu Sunwoo menghela napas amat berat, menatap sedih gelas bir Eric yang belum dibereskan oleh sang bartender.

“Padahal ini bukan yang pertama kali, Ric.”

permintaan pertama.


Eric kira permintaan Sunwoo sangat sulit diwujudkan hingga lelaki itu meminta bantuannya namun rupanya permintaan Sunwoo amatlah sederhana. Seperti sekarang, permintaan pertamanya adalah memberi makan kucing yang biasa tidur di sekitar stasiun. Ini pertama kali bagi Eric melakukannya. Ia bahkan baru pertama kali pergi ke pet shop. Untung saja Sunwoo memberi tahunya jenis makanan apa yang harus ia beli.

Kaki Eric mengikuti Sunwoo yang kini sudah menampakkan dirinya. Langkah Sunwoo terlihat mantap, seakan sudah tahu dimana saja sayang-sayangnya (kucing) berada.

Udah gue duga mereka di sini.

Barulah mereka berhenti di dekat tempat sampah di mana seekor kucing meringkuk di sana. Rahang Eric hampir saja jatuh. Ia membeli tiga pak besar makanan kucing karena ia kira kucing yang harus diberi makan cukup banyak namun rupanya hanya satu saja.

“Cuma satu?” Eric protes, “anjir, gue beli banyak banget ini.”

Berbeda dengan Eric yang sewot, Sunwoo justru tersenyum kecil, “bukan cuma satu, Ric. Tinggal satu.

Barulah Eric bungkam. Ia menatap Sunwoo yang berjongkok di hadapan kucing kecil itu, hanya menatap, tidak mampu mengelus. Kemudian pandangan Sunwoo beralih ke Eric. Paham dengan kode yang diberikan, Eric langsung menyobek kecil kemasan makanan kucingnya lalu mengisi penuh mangkuk bekas yang entah sejak kapan berada di sana.

Ini namanya Meng,” ucap Sunwoo, “dulu mereka ada lima, yang satu gede banget, kayaknya kakaknya. Dulu gue kasih nama mereka Mang, Ming, Mung, Mong, sama yang paling kecil ini Meng.

Eric ikut jongkok di sebelah Sunwoo, mendengarkan.

Akhir-akhir ini, gue ketemu sama mereka. Bertahap, dari Mang dulu sampai Mong. Disitu gue sadar kalau mereka satu persatu mati. Gue gak tau kenapa, mungkin diserang predator atau malah yang paling parah dibunuh sama orang,” Sunwoo melanjutkan, “gue yakin Meng masih di sini makanya permintaan pertama gue ini, Ric.

“Lo pingin mastiin Meng baik-baik aja?” Eric memastikan.

Sunwoo mengangguk, “gue juga gak mau mereka merasa ditinggal sama gue. Eh, gak taunya mereka nyusul gue.

Eric melirik Sunwoo yang tertawa kecil. Ia hanya diam mendengarkan Sunwoo yang kini berceloteh tentang Meng yang sudah amat besar hingga tentang kucing-kucingnya yang selalu ia beri makan dulu ketika masih hidup.

Yang Eric tahu, Sunwoo memang suka sekali keluyuran setelah sekolah usai. Eric kira kegiatan Sunwoo saat keluyuran itu kalau tidak main futsal, ya mengajak sekolah lain untuk tawuran. Namun rupanya semua tebakan Eric itu terbukti ngawur. Rupanya Sunwoo lebih dari sekedar rivalnya yang senang berbuat onar di sekolah.

Rupanya hati Sunwoo sangat hangat.

Eh, Meng suka sama lo.

Lamunan Eric buyar ketika ia merasa ada yang berjalan di sela kakinya, “ini dia ngapain anjir?” maklum, Eric tidak biasa.

Itu tanda sayang,” Sunwoo tertawa lalu berdiri, “kayaknya dia bakal ngikutin lo sampai rumah.

Eric menghela napas, menatap Sunwoo lama sebelum meraih Meng ke dalam pelukannya.

Mau lo bawa pulang?” Sunwoo bertanya.

“Gue mau jaga dia,” jawab Eric, “buat lo.”

bantuan


Meski benar alasan Erin menolak ajakan Melvin semata untuk menghindar dari Asla, sebenarnya Erin memang memiliki tugas untuk dikerjakan. Buktinya dirinya kini sedang berjalan menuju perpustakaan kampus untuk mencari referensi tugasnya.

Karena akhir minggu, perpustakaan cukup sepi. Sesampainya di sana, Erin langsung bergegas menuju tempat duduk favoritnya, hendak meletakkan barangnya terlebih dahulu sebelum mencari buku. Namun, sedikit lagi sebelum ia sampai, matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya langsung saja berbalik.

Anjir, kok ada Kak Ares, Erin menggerutu di dalam hati. Iya, selain Asla, dirinya juga sedikit menjauh dari Ares.

“Oh, sekarang lo juga ngehindar dari gue.”

Kalimat Ares mau tak mau menghentikan langkah Erin. Dirinya terpaku di tempat sampai lelaki itu kini berdiri di hadapannya, tersenyum kemudian menggelengkan kepala.

“Gue udah tau semuanya dari Asla,” Ares melanjutkan kalimatnya, “tapi gue mau denger dari sudut pandang lo juga. Jadi, jangan lari. Hadapin semua masalah lo dan ayo kita ngobrol.”

Kalau sudah begini mau bagaimana lagi. Erin menghela napas lelah kemudian mengangguk, mengikuti langkah Ares.


Erin dan Ares kini berada di kantin kampus. Dari awal mereka duduk sampai dua piring nasi goreng berada di hadapan mereka, Erin masih bungkam, tidak mau berbicara. Pun nampaknya Ares ingin gadis itu yang memulai pembicaraan sehingga Ares juga memilih diam.

“Jangan geer ya, Kak,” akhirnya Erin membuka suara, “waktu itu gue cuma asal ceplos aja.”

Menyuap nasinya, Ares tersenyum, “gue tau, kok, lo cuma asal ceplos.”

“Terus ... tanggapannya Asla gimana?” Erin bertanya takut-takut.

“Hmm, gimana, ya?” Ares tersenyum jahil, “harusnya lo nanya langsung ke dia gak, sih?”

Erin cemberut.

“Gak usah cemberut gitu,” lanjut Ares, “spoiler dikit, Asla sempet ngira lo bener-bener naksir gue.”

“TUH KAN!” Erin tanpa sadar berteriak, “terus gimana, Kak?”

“Lanjutannya lo tanya sendiri dong, sama Asla,” Ares menjawab santai, “kalau gue semua yang jawab, ntar lo gak bakal mau ketemu sama dia.”

Erin bungkam. Ares benar juga.

“Sebenarnya lo gak seratus persen salah, sih. Gue sama Asla emang milih back street, jadi cuma beberapa temen aja yang tau,” Ares melanjutkan, “tapi ... sebagai temen, gue kira lo tau.”

“Gue sama Asla jarang bahas ke ranah sana soalnya,” Erin menghela napas, “kenapa juga ya gue gak pernah nanya siapa pacar dia.”

“Itu dia yang bikin gue bingung,” Ares menjentikkan jari, “tapi ya udahlah, udah lewat juga. Sekarang mending lo temuin pacar gue, selesaiin semua masalah lo sama dia.”

Erin menopang dagu, “pacar gue,” Erin malah menggoda Ares.

“Iyalah bener pacar gue,” Ares tersenyum bangga, “btw, lo gak perlu takut. Asla gak marah sama sekali ke lo. Dia lebih ke sedih aja karena lo ngejauh dari dia.”

Erin menusuk ketimunnya, “besok gue ajak dia ketemuan. Doain gue ya, Kak.”

“Doain apa, ya? Kan, udah gue bilang dia gak marah. Dia kangen aja sama lo,” tiba-tiba Ares cemberut, “gue kapan, ya, dikangenin sama dia.”

Erin tertawa lebar, “bucin banget.”

Terima kasih kepada Ares, Erin kini merasa lebih tenang.

pertemuan.


Kalau boleh jujur, Eric sedikit takut karena perkataan Han. Namun dirinya memilih untuk tidak membesar-besarkan rasa takutnya dan kembali menata pakaiannya di lemari. Agar suasana tidak terlalu sepi, sesekali Eric menyenandungkan lagu kesukaannya.

Gerakannya berhenti ketika ia menangkap sesuatu yang bergerak dari ekor matanya. Sontak saja dirinya merinding dan perkataan Han terputar jelas di otaknya. Meski begitu, sebenarnya bukan hal yang jarang bagi Eric ketika dirinya ditampakkan hal-hal gaib. Ia sudah sering berhadapan dengan hantu namun tetap saja ia was-was. Takut bahwa yang mendatanginya hari ini memiliki maksud buruk.

Perlahan dengan mata yang terpejam, Eric menoleh. Setelah berhasil menoleh dengan sempurna, Eric menghitung dalam hati kemudian membuka kedua matanya.

“FAK!” sontak Eric berteriak ketika melihat sosok yang tak asing di hadapannya, “SUNWOO ANJIR BIKIN KAGET AJA!”

Iya, sosok di hadapannya sama sekali tidak asing bagi Eric. Bahkan ia sudah mengenalnya sangat baik. Namanya Kim Sunwoo, teman sekaligus rivalnya ketika mereka masih duduk di bangku SMA.

Merasa sudah aman, Eric kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, “kok lo bisa masuk, sih? Emang ya, masih suka main nyelonong aja.”

Eric terus berceloteh dan Sunwoo memilih bungkam. Eric tidak mempersalahkan diamnya Sunwoo karena hal tersebut sudah biasa. Selama tiga tahun mereka bersama, bukan hal yang aneh jika Eric terus berbicara dan Sunwoo mendengarkan.

”....lo ngapain coba di sini?” akhirnya celotehan panjang Eric selesai. Lelaki itu memutar badan, menatap Sunwoo yang masih terpaku di tempatnya.

Dari raut wajahnya yang datar, Eric sempat menangkap keraguan di mata Sunwoo, “udahlah, ngomong aja,” maka dari itu Eric mendesak Sunwoo.

“Gue mau minta tolong ke lo,” suara Sunwoo lirih, “cuma lo yang bisa gue mintain tolong saat ini.”

Eric menyipitkan mata, “serius? Setelah dua tahun kita gak ketemu?”

Sunwoo tidak membalas. Air mukanya berubah menjadi tidak enak.

“Enggak, gue bercanda,” Eric tertawa kecil, “lo mau minta tolong apa? Kalau aneh gue betot.”

Sunwoo tersenyum kecil, “gue mau minta tolong ke lo buat ngabulin sepuluh permintaan gue.”

Eric terkejut mendengarnya, “hah, kenapa gue? Permintaan lo ini waras gak? Gue ada trust issue ke lo dulu, ya, gara-gara lo minta tolong gue buat nyolong mangga. Udah gitu gue gak dapet jatah pula.”

Tawa Sunwoo terdengar sendu di telinga Eric, “tenang aja, kali ini permintaan gue sederhana bin waras, kok. Btw lo masih inget aja masalah mangga itu.”

“GUE YANG DIKEJAR ANJINGNYA PAK SUHO YA, SEMPAK!” meski berteriak kesal, Eric tertawa. Habisnya lucu juga kalau diingat-ingat, “lo mah, enak waktu itu berhasil ngumpet.”

Sunwoo kembali tertawa, “lucu juga lo. Jadi gimana? Bisa?”

“Gue yakin kalau gue nolak, lo bakal balik lagi ke sini buat minta hal yang sama,” Eric bersidekap ketika Sunwoo mengangguk, “ya udah, I'll help you.”

Senyum lega Sunwoo terulas, “syukur, deh. Makasih, Ric.”

“Ngomong-ngomong, lo juga tinggal di apartemen ini?” tanpa alasan, pandangan Eric mengamati kamarnya, “lo unit berapa?”

Bibir Sunwoo terkatup mendengar pertanyaan Eric, sepeti enggan menjawab. Pun nampaknya semesta juga tidak mengizinkan Sunwoo menjawab dengan perut Eric yang tiba-tiba sakit, memaksa lelaki itu untuk bergegas ke toilet.

Ketika Eric keluar dari toilet, Sunwoo telah pergi, hilang entah kemana.

aneh


Untung saja hari ini jadwal Erin, Melvin, dan Asla tidak sama sehingga Erin bisa leluasa istirahat di kantin fakultasnya tanpa perlu memikirkan seribu alasan untuk menolak ajakan Asla. Iya, sudah kurang lebih tiga hari Erin menarik diri dari kedua temannya. Rasanya ia sudah tidak bisa lagi menunjukkan wajah di hadapan Asla.

Sembari menyuap bakso ke mulutnya, Erin menatap layar ponselnya. Lebih tepatnya menggulir chatroom dirinya dan Eric. Baru saja ia mengajak Eric untuk makan bakso bersama. Erin bahkan menawarkan traktiran karena lelaki itu tak kunjung membalas pesannya.

“Idih anjir dibaca doang chat gue,” Erin menggerutu, “pasti ngambek gara-gara semalem.”

Mengunci layar ponselnya, Erin kembali menusuk baksonya kuat-kuat. Ia sedikit kesal dengan Eric. Yah, sebenarnya memang kesalahannya, sih, tidak membalas pesan Eric semalam namun seharusnya Eric jangan ngambek begitu, dong?

“Oh gue ngerti,” Erin berdecak, “ngerjain gue, nih, pasti tu cowok. Awas aja nanti kalau ketemu, gue sikat.”

Panjang umur. Mata Erin menangkap sosok Eric yang berjalan memasuki kantin. Ia tidak sendirian, di sisinya ada beberapa teman—dua laki-laki, satu perempuan. Ketika pandangan mereka bertemu, Erin mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan bibirnya yang menggumamkan nama Eric.

Namun, tangan Erin perlahan turun ketika Eric justru mengalihkan pandangannya dari Erin, tidak membalas sapaannya sama sekali dan memilih berjalan di sisi teman perempuannya.

Aneh, Erin diam. Tiba-tiba saja baksonya terasa hambar, kenapa gue sedih?