perpustakaan
Eric menggerutu. Rasanya ia ingin sekali mengajak semua orang bertengkar saat ini. Bisa-bisanya dari dua puluh murid di kelas, ia yang disuruh untuk menata buku di perpustakaan. Sendirian. Semua ini karena musuh bebuyutannya, Kim Sunwoo.
Ingatan Eric bergulir ketika Heejin, petugas perpustakaan, bersama dengan guru datang ke kelas, meminta sukarelawan untuk membantu merapikan perpustakaan. Tentu tidak ada yang mau mengajukan diri sampai semua mata dengan terharu menatap Sunwoo, yang berani mengangkat tangannya. Bahkan Eric hampir bertepuk tangan melihat niat baik Sunwoo.
“Saya rekomendasikan Eric Sohn, Bu,” rahang Eric jatuh bebas ketika mendengarnya, “dia yang paaaaaling jago dalam urusan beres-beres.”
Tatkala Eric ingin mendebat, sialnya seisi kelas malah menyetujui Sunwoo. Biar cepat pulang.
“Dadah, sayang,” begitu ujar Sunwoo ketika melihat wajah emosi Eric yang hendak menuju perpustakaan.
Tawa jahat Sunwoo masih bergema di kepala Eric, membuatnya dengan segera menggeleng. Hari makin sore dan ia tak mau terus menerus terjebak di dalam perpustakaan, menata satu demi satu buku yang amat membosankan. Sebenarnya seharusnya ia bekerja bersama Heejin, namun gadis itu tiba-tiba berkata kalau ia harus pergi ke suatu tempat. Eric yang tidak tega menolak akhirnya dengan heroik berkata bahwa ia akan menyelesaikan semua pekerjaan Heejin.
Sengaja, mau modus juga.
Begitulah cerita bagaimana ia berakhir sendirian. Setiap menyusun buku, bibirnya tak ada hentinya menyumpahi Sunwoo. Kesal, pokoknya ia amat kesal.
Ponsel Eric tiba-tiba berbunyi dan wajahnya tambah cemberut melihat nama yang menelponnya. Kim Sunwoo. Entah mau apa lagi bocah tengil itu.
“Mau apa lo?”
“Eits, santai dong, bro,” Sunwoo menjawab, “lo sendirian di perpus?”
Eric mengeryit, “kok lo tau?”
“Gue liat Heejin lagi di lapangan.”
Jawaban Sunwoo membuat mata Eric membulat, “KOK? NGAPAIN DIA?”
“Gue kira lo tau,” jawab Sunwoo, “lagi teriak-teriak nyemangatin Jeno, nih—EH UPS GUE LUPA LO NAKSIR HEEJIN AHAHAHAHAHAHA.”
Bahu Eric merosot mendengar perkataan Sunwoo. Bagus, ia merasa harinya semakin suram. Sudah membereskan perpustakaan sendirian, ditambah dengan sang pujaan hati yang rupanya mendambakan orang lain. Nasib, nasib.
“Ga usah nangis lo di perpus,” puas tertawa jahat, akhirnya Sunwoo kembali berbicara.
“Siapa yang nangis, dih,” balas Eric tidak terima, “mending lo tutup telponnya. Gue mau balik beres-beres.”
“Ututu kasian banget yang lagi patah hati,” di ujung sana terdengar Sunwoo yang pura-pura sedang menyedot ingus, “hati-hati di perpus. Anak kelas sebelah bilang, kalau udah mulai gelap dan jam udah nyentuh di angka enam, lo bakal denger suara cewek lagi nangis. Terus kalau lo jalan ke belakang—”
“UDAH DONG, HEH. GUE KUNCI JUGA LO DI PERPUS!”
Sebentar, ide bagus. Eric tertawa jahat dalam hati.