sunlixie

perpustakaan


Eric menggerutu. Rasanya ia ingin sekali mengajak semua orang bertengkar saat ini. Bisa-bisanya dari dua puluh murid di kelas, ia yang disuruh untuk menata buku di perpustakaan. Sendirian. Semua ini karena musuh bebuyutannya, Kim Sunwoo.

Ingatan Eric bergulir ketika Heejin, petugas perpustakaan, bersama dengan guru datang ke kelas, meminta sukarelawan untuk membantu merapikan perpustakaan. Tentu tidak ada yang mau mengajukan diri sampai semua mata dengan terharu menatap Sunwoo, yang berani mengangkat tangannya. Bahkan Eric hampir bertepuk tangan melihat niat baik Sunwoo.

“Saya rekomendasikan Eric Sohn, Bu,” rahang Eric jatuh bebas ketika mendengarnya, “dia yang paaaaaling jago dalam urusan beres-beres.”

Tatkala Eric ingin mendebat, sialnya seisi kelas malah menyetujui Sunwoo. Biar cepat pulang.

“Dadah, sayang,” begitu ujar Sunwoo ketika melihat wajah emosi Eric yang hendak menuju perpustakaan.

Tawa jahat Sunwoo masih bergema di kepala Eric, membuatnya dengan segera menggeleng. Hari makin sore dan ia tak mau terus menerus terjebak di dalam perpustakaan, menata satu demi satu buku yang amat membosankan. Sebenarnya seharusnya ia bekerja bersama Heejin, namun gadis itu tiba-tiba berkata kalau ia harus pergi ke suatu tempat. Eric yang tidak tega menolak akhirnya dengan heroik berkata bahwa ia akan menyelesaikan semua pekerjaan Heejin.

Sengaja, mau modus juga.

Begitulah cerita bagaimana ia berakhir sendirian. Setiap menyusun buku, bibirnya tak ada hentinya menyumpahi Sunwoo. Kesal, pokoknya ia amat kesal.

Ponsel Eric tiba-tiba berbunyi dan wajahnya tambah cemberut melihat nama yang menelponnya. Kim Sunwoo. Entah mau apa lagi bocah tengil itu.

“Mau apa lo?”

“Eits, santai dong, bro,” Sunwoo menjawab, “lo sendirian di perpus?”

Eric mengeryit, “kok lo tau?”

“Gue liat Heejin lagi di lapangan.”

Jawaban Sunwoo membuat mata Eric membulat, “KOK? NGAPAIN DIA?”

“Gue kira lo tau,” jawab Sunwoo, “lagi teriak-teriak nyemangatin Jeno, nih—EH UPS GUE LUPA LO NAKSIR HEEJIN AHAHAHAHAHAHA.”

Bahu Eric merosot mendengar perkataan Sunwoo. Bagus, ia merasa harinya semakin suram. Sudah membereskan perpustakaan sendirian, ditambah dengan sang pujaan hati yang rupanya mendambakan orang lain. Nasib, nasib.

“Ga usah nangis lo di perpus,” puas tertawa jahat, akhirnya Sunwoo kembali berbicara.

“Siapa yang nangis, dih,” balas Eric tidak terima, “mending lo tutup telponnya. Gue mau balik beres-beres.”

“Ututu kasian banget yang lagi patah hati,” di ujung sana terdengar Sunwoo yang pura-pura sedang menyedot ingus, “hati-hati di perpus. Anak kelas sebelah bilang, kalau udah mulai gelap dan jam udah nyentuh di angka enam, lo bakal denger suara cewek lagi nangis. Terus kalau lo jalan ke belakang—”

“UDAH DONG, HEH. GUE KUNCI JUGA LO DI PERPUS!”

Sebentar, ide bagus. Eric tertawa jahat dalam hati.

kiriman


Sunwoo sedang asik menonton film di kamarnya ketika telinganya mendengar keributan di lantai satu. Lebih tepatnya di ruang makan. Sunwoo kira itu ayah dan bundanya lagi namun ia terkejut ketika menjumpai Eric sedang duduk di kursi ruang makannya, mengobrol dengan bunda.

“Ngapain lo?” Sunwoo bertanya dengan sebelah alis terangkat.

“Hus, kok galak kayak gitu?” bunda mengingatkan, “Eric mampir nih, ngasih kue buat kita.”

Sunwoo justru menatap tajam musuh bebuyutannya yang sedang cengir-cengir inosen. Memang Eric ini seperti punya dua muka. Kalau di depan orang lain ramah luar biasa tetapi ketika di depan Sunwoo tengil luar biasa.

“Ini kue bikinan sendiri, Tante. Kebetulan mama lagi pingin bikin kue jadi tadi Eric ikut bantu, hehe.”

CIH PENCITRAAN BETUL, Sunwoo benar-benar sebal sekarang. Kentara sekali bundanya kini terlihat amat kagum dengan Eric.

“Wah, Eric ikut bantuin?” nah kan, bundanya menatap Sunwoo sekarang, “Sunwoo mana mau ikutan bikin kue begini. Maunya terima jadi.”

“Bunda,” Sunwoo sedikit menggeram namun bunda mana peka.

Selanjutnya Sunwoo hanya bisa menopang dagu mendengar bunda dan Eric yang saling mengobrol. Terkadang terselip di antara obrolan mereka pujian untuk Eric serta membandingkan antara dirinya dengan lelaki itu.

Hadeh, Sunwoo bosan sekali. Kapan, sih, Eric pulang?


Seisi sekolah tahu siapa lelaki anggota tim sepak bola yang bernomor punggung dua belas. Namanya Kim Sunwoo, anak kelas sebelah yang sangat ramah serta humoris. Kepiawaiannya dalam bermain sepak bola jangan pernah ditanyakan. Ia adalah anggota yang sangat dibanggakan, baik oleh pelatih maupun timnya. Kalau diibaratkan, ia seperti Messi-nya sekolahku.

Hampir 90 persen siswi di sekolahku menyukai Sunwoo—aku masuk ke dalam 90 persen itu—dan 87 persennya sudah pernah ditolak olehnya secara halus. Tidak, untuk kali ini aku masuk ke 3 persennya. Aku mana berani mengungkapkan perasaanku kepada Sunwoo. Aku dengannya tidak dekat, hanya sekali bertegur sapa itupun karena kami secara tidak sengaja mengincar susu kotak yang sama. Setelahnya sama sekali tidak ada interaksi dan ya begitulah, aku hanya berada di titik pengagum rahasianya saja.

Karena Sunwoo aku betah duduk di lapangan, menonton pertandingannya meski tidak terlalu paham apa saja aturan dalam dunia sepak bola. Jujur, Sunwoo sangat keren dengan bola dikakinya. Jika kalian lihat dengan seksama, ketika Sunwoo sudah turun ke lapangan, kedua matanya berbinar, terlihat jelas bahwa sepak bola adalah dunianya.

Tetapi sayangnya, hari ini dunianya runtuh. Diambil sepenuhnya oleh Yang Maha Kuasa.


Genap seminggu Sunwoo dirawat di rumah sakit semenjak kecelakaan yang dialaminya tempo hari. Aku sempat syok ketika diberi tahu bahwa kakinya sudah tidak bisa berfungsi seperti dulu. Meski tidak mengalaminya sendiri, jujur saja aku sangat sedih. Bagaimana Sunwoo bisa kembali menggiring bola jika berdiri saja tidak mampu?

Detik ini aku sedang berada di depan kamar tempat Sunwoo dirawat, ragu ingin masuk atau tidak. Biar bagaimanapun, aku ingin sekali menyemangati lelaki itu tetapi di satu sisi aku takut akan penolakannya—mengingat kami tidak dekat sama sekali. Namun baru saja ibu Sunwoo keluar dan menemukan presensiku. Beliau dengan ramah mempersilakanku masuk bahkan meyakinkan bahwa Sunwoo akan senang dengan kehadiranku.

“Hai,” senyum Sunwoo masih cerah ketika menyapaku.

“Hai,” balasku, memaksa senyum, “gue dari kelas sebelah.”

“Gue inget lo, kok,” rambut kriwil Sunwoo sedikit bergoyang ketika ia mengangguk. Lucu, “di kantin kita pernah ngambil susu caramel bareng, kan?”

Tawaku jadi keluar. Rupanya Sunwoo masih ingat, “iya. Ngomong-ngomong, gimana kabar lo?”

“Gue baik,” balas Sunwoo.

Aku sebenarnya sangat heran karena sejak awal aku masuk ke dalam kamar, senyum cerah Sunwoo sama sekali tidak pernah luntur. Kesannya seperti ia tidak sedih sama sekali setelah dunianya direnggut.

“Gue minta maaf sebelumnya tapi ... lo gak sedih? Setelah apa yang terjadi?” aku bertanya perlahan sembari mengamati raut wajah Sunwoo.

Masih dengan senyum yang sama, Sunwoo menatap kakinya sejenak baru menatapku dalam, “awalnya sedih. Banget. Tapi setelahnya sama sekali enggak.”

“Kenapa?” aku tidak puas, “dunia lo baru aja direnggut. Padahal lo suka banget sama sepak bola tapi semesta ngambil semuanya dari lo. Gak adil.”

“Sst, jangan bilang gak adil,” Sunwoo menyelaku, “gue percaya setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, pasti ada hadiah yang disiapkan Tuhan buat gue setelah cobaan-Nya. If the hurt comes, so will the happiness.

Padahal yang mengalami semuanya adalah Sunwoo tetapi anehnya justru aku yang menangis. Entahlah, tiba-tiba saja semua emosiku keluar ketika mendengar kalimat Sunwoo. Maksudku, bagaimana bisa lelaki di hadapanku ini begitu optimis, begitu lapang dada?

“Jangan nangis,” jika saja situasinya tidak seperti ini, mungkin aku sudah kejang-kejang ketika Sunwoo mengelus pelan kepalaku, “gue gak papa, kok. Memang mungkin gue gak bisa balik lagi ke lapangan tapi gue yakin ada hal lain yang bisa jadi dunia baru gue.”

Susah payah, akhirnya tangisanku berhenti. Jujur malu sekali menangis seperti ini di hadapan Sunwoo.

“Lo pantas bahagia, Nu,” ucapku tulus. Benar-benar tulus, “semoga apa yang lo bilang tadi jadi kenyataan. Semoga lo nemuin dunia baru lo secepatnya.”

“Amin,” balasnya, “tapi maaf ya, lo jadi gak bisa ngapel lagi ke lapangan.”

Aku menatapnya sinis, “memangnya gue ke lapangan buat liat lo?”

Meski raut wajahnya terkejut, Sunwoo tetap tersenyum, “bukannya memang iya? Udah ratusan kali gue mergokin lo lagi natep gue.”

Bagus, sekarang aku gelagapan, berusaha mencari ribuan sangkalan yang dibalas oleh tawa lebar dari Sunwoo.

Ketawa terus ya, Sunwoo. Lo berhak bahagia sekarang, besok, dan selamanya.

interogasi


Erin, Asla, dan Melvin kini sedang berada di warung nasi goreng andalan mereka bertiga. Ketiganya merasa amat lapar setelah berjam-jam menghabiskan waktu untuk bersenang-senang.

“Lama banget rasanya gak ngumpul kayak begini,” ucap Asla seraya mengucir rambutnya.

“Ya iyalah,” dengan mulut penuh, Melvin menyahut, “itu tuh, si tuan putri Erin sibuk mulu sama pangerannya.”

Erin melotot kemudian tinjunya mendarat di bahu Melvin, “jangan sembarangan kalau ngomong.”

Asla tertawa. Gadis itu menyeruput kuah bakminya lalu mencondongkan badannya ke arah Erin, “gimana perkembangan hubungan lo sama Kak Eric?”

Erin menatap Asla tak percaya, tak habis pikir bahwa gadis itu memiliki pikiran yang sama dengan Melvin: suka menggodanya. Lagipula memang ada perkembangan antara hubungannya dengan Eric? Kalau dihitung-hitung paling hanya sepersekian persen.

“Perkembangan apaan emang janin?” balas Erin, “yah, paling sedikit, sih. Cuma jadi sering ngobrol aja.”

“Cie cie,” sahut Melvin, “eh, tapi waktu kemarin lo ngapain aja sama Bang Eric? Yang kalian saling nge-tweet foto satu sama lain.”

Kemudian mengalirlah cerita Erin mulai dari Eric yang mengajaknya mencicipi kue serta frappe red velvet hingga dirinya yang kagum dengan sifat Eric yang tanggap memberi seorang anak kecil kue.

“Oke, cukup interogasinya,” Melvin sok-sokan memegang dagu layaknya detektif, “kesimpulan gue sih, lo sekarang naksir Bang Eric.”

“Apaan, sih?” meski begitu, Erin tak bisa menyembunyikan senyum.

Asla yang sadar langsung menepuk tangannya heboh, “Erin senyum! Fix-lah ini kalau kata gue.”

Erin menghela napas panjang, berusaha menutupi. Sebenarnya dirinya juga masih belum yakin apakah perasaannya hanyalah sebatas kagum atau memang sudah berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Yang jelas, akhir-akhir ini Erin jadi sering memperhatikan Eric jika lelaki itu muncul di pandangannya.

“Jadian! Jadian!” Melvin mulai kompor.

Erin menggeleng, “enggak, dih. Lagian mending gue sama Kak Ares, anak FIB. Baik banget anaknya, kocak gitu.”

Sorakan Melvin langsung berhenti, “Bang Ares, kan—”

Ucapan Melvin tiba-tiba berhenti, membuat alis Erin terangkat, “Kak Ares kenapa?”

“Gak kenapa-napa,” malah Asla yang menjawab, “sekarang jawab jujur ke gue, Kak Eric atau Kak Ares?”

Erin diam sejenak, meneguk es jeruknya, “Kak Ares, lah.”

Asla menatap lama Erin sebelum akhirnya mengangguk, kembali menghabiskan bakmi kuah miliknya sedangkan Melvin diam-diam melirik Erin dan Asla.

iya


Erin tidak bohong ketika mengatakan bahwa ia akan mengabaikan Ares selama dirinya menyelesaikan tugas. Kasihan Ares, ia hanya bisa menopang dagu, melihat sekeliling sembari menyeruput caramel macchiato-nya.

“Rin, lo mau di sini sampai jam berapa?” Ares bertanya.

”...hah? Iya,” tuh kan, Erin kalau sudah fokus di satu pekerjaan pasti susah fokus di hal lain.

Ares melongo sejenak kemudian tertawa kecil. Sebuah ide mampir di otaknya, membuat senyum liciknya terbit.

“Lo sibuk banget nugas, ya?” tanya Ares lagi.

”...iya.”

“Kuenya enak gak?”

”...hooh.”

“Suasana cafenya enak banget gak, sih? Apa cuma gue aja yang ngerasa?”

“Iya.”

“Lo naksir Eric ya?”

“Iya.”

Mendengar Ares yang tertawa terbahak-bahak membuat Erin kaget. Dirinya kemudian berpikir apa yang menjadi sebab Ares tertawa.

“SEBENTAR, GAK GITU MAKSUD GUE!” Erin panik ketika dirinya berhasil mengingat, “lo ih, udah tau gue lagi fokus malah ditanya begitu.”

Ares puas sekali, “ya gak papa lagian kalau emang lo naksir Eric. Tenang, gue gak cepu, kok.”

“Bukan masalah cepu atau enggak,” Erin melotot, menyesap kopi susunya, “gue emang gak naksir.”

Senyum tengil Ares kembali terbit. Ia menatap Erin, sengaja menaik-turunkan alisnya, menggoda gadis di depannya yang semakin salah tingkah.

“Gue gaplok ya lo, kak,” Erin mengangkat tinjunya, “gue gak naksir enggak. Cuma....”

“Cuma apa tuh, kok gantung?” Ares semakin gencar menggoda.

Erin menghela napas, “oke, sedikit tertarik aja.”

“Jiakh,” Ares menyandarkan punggung, “akhirnya ada kemajuan.”

“Gak ah, gue pikir-pikir lagi aja,” sambar Erin, “mending sama lo kayaknya daripada sama kak Eric.”

“Yah, gue emang menarik banget, ya,” semakin dipuji, Ares memang semakin menjadi-jadi, “btw, gue ke kampus dulu, ya. Barusan ada kabar dari asdos kalau ada kelas dadakan.”

Erin hanya mengamati Ares yang bersiap-siap pergi, “masih galau?”

Ares tersenyum, memakai tasnya, “hmm, lumayanlah udah gak terlalu. Gue pergi dulu, ya? Itu tas lo dijagain, takut ada yang nyamber.”

Erin mengangguk lalu melambai kepada Ares, “hati-hati di jalan, Kak!”

Acungan jempol Ares membalas ucapan Erin.

kalau semesta mengizinkan, kita pasti bertemu lagi


Sedari tadi Eric memilih menatap Sunwoo dari kejauhan. Ia membiarkan Sunwoo menghabiskan waktunya berpamitan dengan omnya dan Juyeon. Terlihat sekali omnya itu bangga dengan Sunwoo, terbukti dengan matanya yang berkaca-kaca serta dirinya yang terus menerus memeluk keponakan kesayangannya itu. Juyeon terlihat lebih santai, hanya memeluk singkat, menepuk bahu Sunwoo sembari memberi beberapa nasihat untuknya bertahan hidup di negara orang.

Barulah setelahnya pandangan Sunwoo jatuh pada Eric. Dari gesturnya, Eric bisa menerka bahwa Sunwoo sedang izin kepada om dan abangnya untuk menghampirinya. Sedikit berlari, Sunwoo datang lalu berdiri tepat di samping Eric, tersenyum mengejek.

“Jangan nangis,” nada suara Sunwoo tengil sekali, “ntar dikira kesurupan, gue lagi yang berabe.”

Eric mendengus lalu memamerkan tinjunya, “bentar lagi masuk boarding room, ya?”

Sunwoo tidak menjawab, hanya menatap Eric cukup lama lalu menghela napas, “sekarang gue serius. Jangan sedih, Ric.”

“Dibilang begitu justru gue tambah sedih, nyet,” Eric menggerutu, “tapi gue sadar, sih, kalau ada pertemuan ya pasti ada perpisahan.”

“Tiga tahun ternyata gak lama, ya,” sahut Sunwoo.

“Gak lama tapi berharga,” sanggah Eric, “kalau diinget gue pasti langsung sesek, sedih campur gimana gitu. Campur aduk.”

Sunwoo merangkul Eric, “jangan sampai lo lupain, ya. Gue marah kalau lo lupa.”

“Lupa aja, ah, lupaaa,” Eric bergurau, “kalau ada cara buat lupa, kasih tau gue.”

“Netnot, empat kosong empat not found,” jawab Sunwoo lalu tertawa.

Eric ikut tertawa. Lalu dirinya melepaskan diri dari rangkulan Sunwoo.

“Hati-hati di jalan, hati-hati juga di sana ya, Nu,” ucap Eric, “gue yakin nanti lo pasti ketemu temen-temen baru yang lebih asik dari gue di sana tapi jangan sampai lupa sama gue, ya? Gue jadiin lo tumbal proyek kalau lo lupa sama gue.”

Sunwoo tersenyum, “gue gak bakal lupa sama lo. Lo juga baik-baik kuliahnya. Kurangin ceroboh lo, gengsi lo juga. Kalau semesta mengizinkan, kita pasti bertemu lagi.”

Eric memeluk Sunwoo, menepuk punggungnya untuk terakhir kali, “good luck, Sunwoo. See you when I see you.

Good luck juga buat lo, Ric,” Sunwoo ikut menepuk punggung Eric, “see you on top.”

memori


“Gak percaya bentar lagi kita lulus.”

Eric membuka percakapan di tengah makan malam. Sunwoo yang sedang menyeruput mi dengan khidmat, mengangkat kepalanya, menatap Eric kemudian mengangguk.

“Sekarang tinggal wisuda, ujian masuk, terus ... ya udah,” lanjut Eric, “eh iya, lo gimana? Udah apply ke Cambridge?”

Sunwoo tersenyum kecil, “udah. Kan semuanya diurus sekolah.”

“Terus gimana? Kapan pengumumannya?” Eric penasaran.

“Barengan sama wisuda,” Sunwoo mendorong mangkoknya yang sudah kosong, “keterima plis, gue mau bikin bangga om sama bang Juyeon.”

Eric tersenyum melihat Sunwoo yang mengatupkan kedua tangannya, berdoa. Ia kemudian kembali menyantap makan malamnya yang tinggal sedikit dengan padangan menerawang.

Sebentar lagi ia dan Sunwoo akan pergi dari rumah ini. Eric pun tidak tahu apakah setelah ini dirinya dan Sunwoo akan tetap berhubungan. Cambridge itu jauh dan dengan sibuknya kegiatan kuliah, Eric cukup yakin mereka akan sibuk di jalan mereka masing-masing.

Tiba-tiba gue sedih, Eric menatap Sunwoo yang entah berceloteh apa, tiga tahun kalau gak dirasa ternyata cepet, ya.

“Oh iya, rumah ini gimana?” Sunwoo bertanya, melihat sekeliling.

Eric tersadar dari lamunannya, “mami balikin ke pemiliknya. Ini rumah sewa.”

“Oh iya,” Sunwoo menghela napas, “agaknya gue bakal kangen sama rumah ini.”

“Rumah ini atau sama memorinya?” Eric tertawa kecil.

Sunwoo ikut tertawa, “semuanya, lah.”

“Dulu pas lo dateng kesini, first impression gue ke lo tuh, lo anaknya sangar, tengil, semaunya sendiri—”

“—kok jelek banget?” Sunwoo menyela, cemberut.

“Ya memang kenyataannya begitu,” balas Eric, “tapi setelah tinggal bareng tiga tahun, pandangan gue ke lo berubah kecuali di poin tengilnya. Lo ternyata anaknya baik banget, positif, pekerja keras tapi ya gitu, TENGIL.”

Sunwoo menyumpal mulut Eric ketika lelaki itu menegaskan kata tengil, “kalau gue, pertama kali liat lo tuh, bawaannya kek apa ya? 'Waduh, ni anak bersihan banget pasti gak cocok sama gue'. Tapi ternyata lama-lama kita cocok juga, ya.”

“Agak merinding dengernya,” Eric memeluk diri sendiri, menatap Sunwoo ngeri.

“Ya pokoknya gitu, deh,” Sunwoo merebahkan diri di karpet ruang tengah, “tapi kalau boleh jujur, gue seneng bisa dikasih kesempatan buat ketemu dan kenal sama lo.”

Eric ikut merebahkan diri, tersenyum, “gue juga.”

obrolan bersama papi


Setelah perbincangan yang cukup lama, akhirnya semuanya selesai meski tetap membuat luka karena mendengar kenyataan namun ada suatu kelegaan yang timbul. Bagaimana tidak, semua pertanyaan dari setiap kepala yang hadir sudah terjawab. Semua sudah diutarakan oleh ayah Eric tanpa ada rahasia lagi. Meski pada akhirnya tonjokkan Hyunjae melayang juga, namun kini keempatnya sudah bisa saling tersenyum.

“Sebuah keputusan yang berani bawa papi kamu pulang ke sini, nak,” suara lembut mami mengalun ketika menghampiri Eric yang duduk sendiri di taman, di atas ayunan yang dulu dibuat oleh ayahnya, “memang bawa luka tapi mami senang kamu ngambil langkah itu.”

Eric sedikit bergeser, membiarkan sang mami duduk di sebelahnya. Mata Eric tetap memandang ke arah ayah dan abangnya yang sedang mengobrol berdua. Keduanya tampak lebih tenang.

“Maaf kalau Eric kesannya seenaknya ya, Mi,” ucap Eric, “Eric cuma mikir ini kesempatan satu-satunya mumpung Eric ketemu sama papi di sekolah.”

Mami mengangguk, paham betul, “ternyata kamu udah sering ketemu papi, ya. Kamu kenapa gak cerita kalau anak angkatnya papi temen kamu di sekolah?”

“Eric gak mau bikin Mami sama abang kepikiran,” Eric menghela napas panjang, “tapi antara Eric sama anaknya papi udah baik-baik aja, kok, Mi. Dia baik banget, Eric yang jahat.”

Mami menggeleng, mengusap rambut anak bungsunya lembut, “Eric gak pernah jahat. Semuanya terjadi karena takdir dari Tuhan dan pasti ada pembelajarannya.”

Eric diam, mengangguk. Pandangannya mengikuti sang papi yang kini berjalan ke arahnya.

“Papi mau ngomong sama Eric,” papi melirik mami, “boleh?”

“Boleh lah, ini kan anak kamu juga,” mami bangkit dari duduknya, “have fun.”

Setelah berbicara seperti itu, mami beranjak masuk, menemui Hyunjae. Keheningan lama terjadi setelah papi duduk di sebelah Eric, mungkin beliau bingung mau mulai dari mana karena Eric juga begitu.

“Pi,” akhirnya Eric dulu yang membuka pembicaraan, “Papi bangga gak sama Eric?”

Mungkin pertanyaan Eric cukup membuat papi terkejut karena pria itu menoleh cepat ke putranya.

“Tentu papi bangga,” jawab papi, “dari awal kamu lahir ke dunia, papi udah bangga sama kamu, nak. Papi tau papi brengsek banget dengan bersikap kasar sama kamu, mami, abang, bahkan sampai meninggalkan kalian begitu saja. Jujur, kalau kalian gak mau maafin papi, papi bakal paham, kok.”

Tangan papi hendak mengelus rambut Eric namun niatnya beliau urungkan, “sudah lama papi pingin ketemu kamu semenjak Jeno cerita kalau dia satu sekolah sama kamu. Tapi memang betul apa kata Hyunjae, papi pengecut. Papi gak berani liat muka kamu padahal papi pingin peluk kamu.”

Eric masih bungkam, hanya tersenyum kecil mendengarnya.

“Sewaktu papi minta coach basket kamu buat tuker posisi kamu sama Jeno sebenarnya karena papi gak tega liat tangan kamu yang cidera begitu. Tapi pulangnya Jeno marah-marah dan waktu itu papi sadar kalau tindakan papi malah bikin kamu terluka lagi,” papi menghela napas, “maafin papi, ya.”

Eric melamun menatap ujung kakinya setelah mendengar semua penjelasan papi. Satu hal yang ia dapat adalah papi sebenarnya masih menyayanginya hanya saja karena perbuatan beliau di masa lalu membuat beliau ragu untuk menemuinya. Memang cara beliau salah namun begitulah papi dengan gengsinya.

“Maafin papi buat semuanya ya, nak,” papi kembali membuka suara, “kamu gak harus maafin papi. Setelah ini juga kalau kamu gak mau ketemu papi, papi paham, kok.”

Akhirnya Eric menoleh, menatap sang ayah, “memang awalnya sulit tapi Eric udah maafin papi, kok. Tapi maaf, karena banyak luka yang udah papi kasih, Eric gak bakal lupa sama semua perbuatan papi. Biar begitu Eric udah gak punya rasa marah atau dendam baik ke papi atau ke keluarga baru papi—”

“—dan kalau papi bener-bener nyesel,” kata-kata Eric disambar oleh Hyunjae yang entah sejak kapan sudah berada di taman, “jaga baik-baik keluarga papi yang sekarang. Jangan ulangi kesalahan yang sama.”

Malam itu adalah pertama kali dalam hidupnya Eric merasa dunianya kembali tertata. Membutuhkan bertahun-tahun untuknya mendapatkan semua itu namun Eric tak mempersalahkannya karena pada akhirnya semuanya menjadi semakin baik-baik saja.

“Kenapa tuh, kok cemberut?”

Atensi Ares beralih pada Asla yang baru kembali dari toilet. Gadis itu kemudian duduk di sebelahnya, menatap layar bioskop yang masih putih bersih, belum memutar apapun.

“Biasalah, Eric,” Ares menggoyangkan ponselnya, “gak penting, sih. Lo lama banget ke toilet btw.”

Asla meraih popcorn di samping tubuh Ares. Aroma vanilla dari Asla jelas sekali menguar, memasuki indera penciuman Ares.

“Ke toilet tuh, antre, Res,” jawab Asla, dengan santai menyantap popcorn tanpa tahu Ares sedang pusing sendiri dengan gadis di sampingnya.

Memang betul yang dikatakan Eric, Asla saat ini benar-benar amat cantik. Jujur Ares sempat terkejut sendiri sewaktu dirinya menjemput Asla di rumahnya. Padahal dandanan Asla biasa saja, hanya menggunakan celana kain hitam panjang, kaos putih dan blazer coklat namun berhasil membuat beberapa orang melihat ke arahnya dan Ares sadar akan hal itu.

“Lo beli milk tea gak sih?” pertanyaan Asla membuyarkan lamunan Ares. Dengan segera ia mengoper minuman kesukaan Asla yang langsung diterima dengan gembira oleh gadis itu.

Anjir.

Ares ingin mengumpat ketika tiba-tiba Asla merebahkan kepalanya di bahunya. Padahal film belum saja dimulai namun Asla sudah mengambil posisi ternyaman di bahu Ares.

“Gue gak mau nonton sama orang tidur,” Ares menggerakkan bahunya agar Asla tidak nyaman.

“Bentar doang, ah. Diem,” sahut Asla sembari menepuk lutut Ares.

Yah, mau tak mau Ares diam, memilih mengamati layar bioskop yang mulai menayangkan iklan-iklan sampai trailer film-film yang akan datang.

“Gue kayaknya ambil sastra, Res,” masih bersandar di bahunya, tiba-tiba bobot pembicaraan Asla menjadi berat, “wish me luck buat SBMPTN.”

Ares tersenyum. Dengan satu tangannya yang bebas, ia meraih puncak kepala Asla, sedikit mengacak rambut gadis itu sebelum ia rapikan kembali, “gue selalu berharap yang terbaik buat lo, La.”

Hyunjae


Sunwoo sedikit emosi dengan mesin soda yang sedari tadi menolak uangnya. Ia sudah mencoba dengan uang koin hingga kertas namun tetap saja sia-sia, selalu ditolak. Ia juga sudah mencoba membuat uang kertasnya tidak lecek namun hasilnya tetap saja sama.

“Sunwoo?”

Kegiatan memarahi mesin soda Sunwoo terhenti dan dirinya menoleh. Ia menyipitkan mata, mengingat-ingat sosok yang berdiri di depannya. Rasanya ia pernah lihat di suatu tempat namun ia lupa.

“Hyunjae, abangnya Eric,” barulah saat lelaki itu mengenalkan diri, mulut Sunwoo terbuka lebar-lebar, ia ingat.

“Iya Bang, gue Sunwoo,” Sunwoo mengajak Hyunjae berjabat tangan, “lo ngapain kesini, Bang? Eric bilang dia bakal pulang sendiri nanti.”

“Iya, Eric juga bilang ke gue buat gak usah dijemput tapi guenya pingin aja liat lingkungannya Eric,” kemudian Hyunjae mengamati Sunwoo dengan teliti, “lo persis banget sama apa yang Eric ceritain.”

“Eric cerita apa tuh?” Sunwoo jadi penasaran.

Hyunjae tersenyum, “lo anaknya pekerja keras, punya aura positif, pinter nahan emosi, agak ngeselin tapi baik banget, terus—”

“—oke, Bang. Stop,” bisa gawat kalau Hyunjae melanjutkan, nanti Sunwoo jadi tambah salah tingkah.

Selanjutnya Hyunjae menanyakan keberadaan Eric yang langsung ditunjukkan oleh Sunwoo. Keduanya berjalan menuju lapangan indoor tempat final basket dilaksanakan. Sempat Hyunjae terkejut karena ia tahu bahwa Eric tidak akan ikut final namun setelah Sunwoo menceritakan semuanya, Hyunjae paham.

“Loh, tadi dia di sini,” Sunwoo celingukan ketika tidak menjumpai Eric di bangku mereka tadi.

“Apa Eric pergi?” Hyunjae ikut menoleh kesana kemari, “atau jadi cadangan?”

Sunwoo menggeleng kemudian mengecek ponselnya, “kalau iya harusnya dia bilang ke gue, Bang.”

Mendengar itu Hyunjae tersenyum. Rupanya adiknya dan Sunwoo sudah amat akrab, ya. Ia jadi tidak bisa membayangkan bagaimana nanti jika mereka berdua harus berpisah setelah lulus dari SMA. Hyunjae sudah pernah merasakannya dan jujur saja ia sedih sekali. Kalau saja gengsinya tidak tinggi, mungkin ia sudah mengajak housemate-nya dulu untuk bertemu.

“Abang?”

Suara familiar membuat Sunwoo dan Hyunjae berbalik. Benar saja, Eric berdiri di sana bersama dengan seorang pria yang tak Sunwoo kenal. Namun melihat bagaimana ekspresi Hyunjae berubah, Sunwoo bisa menerka sendiri.

Pria itu adalah ayah mereka.