sunlixie

radwimps


Erin tidak berbohong kalau dirinya benar-benar ingin menjaga jarak dari Eric. Menurutnya, urusannya dengan Eric sudah selesai tapi anehnya lelaki itu terus-menerus menerornya. Bagi Erin, Eric jelas sekali ingin modus padanya. Atau mungkin ia hanya terlalu percaya diri saja.

Makanya setelah kelasnya selesai, Erin langsung kabur dari fakultasnya menuju fakultas ilmu budaya. Ia juga tidak mengerti mengapa kakinya melangkah ke sana, yang jelas ia ingin menghilang dari jangkauan Eric.

“Dor, mau ngapain hayo.”

Erin kaget melihat sosok laki-laki di hadapannya. Lelaki itu tersenyum melihat Erin yang sedari tadi celingukan kayaknya orang hilang. Erin mengamati dan mengambil kesimpulan bahwa lelaki itu pasti anak fakultas FIB, melihat almamater yang ia gunakan.

“Sebentar, lo Erin bukan, sih?” Erin terkejut namun tetap mengangguk, “pas banget, gue lagi nyariin lo.”

Lelaki itu melepas headset-nya, mencari sesuatu di dalam tasnya sedangkan Erin memasang wajah penasaran.

“Ini kunci motor lo.”

Demi apapun Erin bahagia sekali, “YA AMPUN AKHIRNYA MOTOR GUEEEEEE! Eh, lo temennya Kak Eric, ya, Kak?” seketika Erin teringat.

“Iya, gue Ares, jurusan sastra Jepang,” Ares mengulurkan tangan yang langsung dijabat oleh Erin, “kemarin Eric nitipin motor lo ke gue. Sori ya, lama. Jarang diservis ya motor lo?”

Erin meringis lalu mengangguk, “eh iya, Kak, biayanya berapa? Biar gue ganti.”

Ares buru-buru menolak ketika Erin sudah bersiap mengeluarkan uang, “gue gak ngeluarin sepeserpun. Semuanya ditanggung Eric jadi ... lo ketemu dia aja, ya,” Ares menahan senyum ketika Erin langsung cemberut mendengar nama Eric.

“Ck, pinter banget nyari alasan buat ketemu gue,” gerutu Erin.

“Gimana, Rin?” Ares pura-pura tidak mendengar. Ia hanya ingin menggoda gadis di depannya saja.

“Oh, engga, hehe,” Erin tertawa paksa, “makasih ya, Kak. Btw, itu ... sori kalau lancang, lo dengerin Radwimps ya barusan?”

“Lo tau Radwimps?” Ares terlihat amat senang apalagi ketika Erin mengangguk antusias, “ih, sumpah, lagunya bagus-bagus banget gak, sih?”

Tanpa disadari, keduanya kini berjalan beriringan, saling mengobrol menuju parkiran. Memang kalau sudah sefrekuensi bikin lupa dunia, ya.

hari beres-beres


Meski dengan cemberut di wajah, Sunwoo—dengan Eric tentunya—akhirnya berhasil menyelesaikan pekerjaan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci piring, hingga mencuci baju. Iya, hari ini mereka tidak menitipkan baju di laundry karena kebetulan laundry sedang tutup, entah mengapa.

Tugas terakhir mereka adalah menjemur baju di lantai dua. Eric tidak mau menjemur baju di halaman mengingat kaosnya pernah menjadi korban keteledoran Sunwoo. Sunwoo dan Eric bekerja sama mengangkat keranjang yang dua kali lebih berat karena berisi baju basah ke lantai dua. Sempat Sunwoo khawatir lantaran cidera di tangan Eric namun lelaki itu bersikeras bahwa dirinya bisa.

Sebenarnya Eric mana tega membiarkan Sunwoo mengangkut jemuran sendirian.

“Tidur jam berapa lo semalem?” Eric bertanya sambil mulai menjemur.

“Habis lo tepar karena capek joget-joget pokoknya,” Sunwoo menjawab, “lo agak kurang ajar, ya, tidur di kasur gue gitu aja. Melintang pula badan lo. Gue sampai gak tau mau tidur di mana.”

Eric nyengir, “maaf-maaf. Kemarin gue lagi mood swing banget.”

“Keliatan,” Sunwoo menjepit baju-baju yang telah dijemur Eric agar tidak terbang saat ada angin. Tidak lucu jika celananya terbang dan mendarat di rumah tetangga begitu saja, “kemarin hari yang buruk buat lo, ya?”

Eric menghela napas berat lalu mengangguk, “banyak kejadian ga enak—sebenarnya cuma dua, sih, tapi bikin gue stress berat.”

Sunwoo manggut-manggut, “ada kaitannya sama Jeno, ya? Gak usah dijawab gak papa kalau lo gak nyaman.”

“Yah, lo tau sendiri,” Eric sudah tidak terkejut jika tebakan Sunwoo benar. Sudah terbiasa, “posisi ace gue tiba-tiba diganti dan itu semua gara-gara privilege.”

Sunwoo melotot, “hah, Jeno punya privilege? Wah parah, anjir.”

Sunwoo adalah orang yang paling tidak suka jika seseorang mendapatkan sesuatu dengan instan. Rasanya tidak adil saja.

“Papi gue—eh, sekarang udah jadi ayahnya Jeno—yang bikin coach nuker posisi gue dengan Jeno. Alasannya karena cidera tangan gue,” Eric tersenyum masam kemudian mengulurkan tangannya ke Sunwoo, “padahal lo liat, kan? Tangan gue udah oke-oke aja.”

Dengan wajah sedih, Sunwoo menepuk bahu Eric, memberinya semangat.

“Ini lo gak ngelap kan?” Eric malah curiga.

“YAELAH BOCAH. ENGGAK, LAH!” Sunwoo emosi, “dikit, sih.”

Tawa Sunwoo keluar ketika Eric langsung mengomel, memeriksa kaosnya, “sedih dan marah boleh, Ric, tapi secukupnya aja. Siapa tau ada yang lebih baik nunggu lo di depan sana. Ya gak?”

Menjemur baju terakhir, Eric mengangguk. Selama tinggal dengan Sunwoo, dirinya banyak belajar tentang cara penguasaan emosi. Sunwoo adalah sosok yang jenius dalam mengendalikan emosinya dan Eric banyak mencontoh lelaki itu. Entahlah Eric tidak tahu tetapi yang pasti dirinya mulai berubah menjadi pribadi yang amat baik.

Gue harus berterimakasih sama Sunwoo gak, sih? Eric berpikir, menatap Sunwoo, rasanya gue udah banyak berubah sedikit demi sedikit sejak gue berbagi rumah sama dia.

“Apaan liat-liat?” Sunwoo mengernyitkan dahi, “naksir?”

Eric melempar kaos kaki basah milik Sunwoo yang tepat mengenai wajah lelaki itu.

“ERIC SINTING SOHN!”

“APA, KIM GAK WARAS SUNWOO?”

dua piring nasi goreng


Eric dan Erin saat ini sedang berada di tenda penjual nasi goreng. Hari sudah mulai malam dan keduanya lapar setelah puas bermain game bersama. Oh iya, siapa yang menang? Surprisingly, Erin.

“Lo tuh, kenapa ketuk-ketuk helm gue mulu?” sedari dirinya membonceng Erin, Eric sebenarnya ingin bertanya.

Erin tersenyum kecil sambil mengaduk es jeruknya, “gue gemes banget tau sama elmo. Tangan gue reflek aja ngetuk elmo yang di helm lo, Kak.”

Eric geleng-geleng kepala, tak habis pikir namun mau bagaimana lagi? Kepribadian Erin sukar untuk ditebak.

“Nasi goreng tiga, dua sedeng, satu ga pedes.”

Eric kira Mang Adit salah memberikan pesanan tetapi ketika Erin menarik dua piring di hadapannya, Eric tak bisa menahan senyumnya.

“Laper banget, bos?” Eric menyeletuk geli.

“Kenapa? Ga boleh?” nada suara Erin galak, “aneh gitu liat cewek makannya banyak?”

Oke, tawa Eric lepas. Gadis di depannya ini suka sekali berprasangka buruk kepada dirinya.

“Ga ada yang bilang kayak gitu, ya,” balas Eric, “lagian gue seneng liatnya. Tandanya lo suka, lo bahagia. Makan yang banyak biar tinggi lo ga sesiku gue, ya.”

Erin melotot kemudian memukul lengan Eric, “SEMBARANGAN!”

marah


Setelah menghela napas amat panjang, Eric dengan penuh emosi di dadanya berjalan menuju gerbang rumahnya.

“Mau apa lo di sini?” nada suaranya sengit, membuat kedua orang yang sedang berbincang terkejut.

“Ric...”

Iya, tamunya adalah Jeno, sosok yang sedang tidak ingin ia lihat. Kentara sekali Jeno kini sedang merasa amat bersalah. Lelaki itu juga nampaknya ingin menjelaskan beberapa hal kepada Eric namun Eric tidak peduli. Ia sudah terlalu marah.

Sunwoo yang sadar betul bahwa Eric susah berpikir jernih ketika marah berusaha menenangkan, “ayo masuk dulu. Kita bahas ini semua di dalem aja.”

“Gak,” Eric menolak tegas, tatapannya sempat tertuju pada Sunwoo, “gak ada yang perlu dibahas jadi mending lo pergi dari sini, Jen.”

“Ric, gue bener-bener minta maaf. Gue juga kaget waktu Papa—”

“—udah plis, gue gak mau denger alasan lo apapun itu,” Eric menyela, “congrats karena lo udah masuk tim basket dari awal lo pindah ke sekolah. Congrats karena lo ditunjuk jadi ace gantiin gue. Congrats juga karena—”

Lidah Eric rasanya pahit untuk melanjutkan. Ia mengalihkan pandangan ke langit, berusaha menahan isaknya, “—karena lo lebih beruntung dari gue.”

Wajah Jeno semakin sedih begitu juga dengan Sunwoo. Ia tahu betul apa yang sudah teman serumahnya lalui selama ini. Meski tidak terlalu tahu rasanya, Sunwoo bisa ikut merasakan kesedihan yang disimpan rapat-rapat oleh Eric.

“Mending lo pergi,” Eric kembali menatap Jeno tajam, “pergi dari sini.”

Sunwoo dengan cepat melerai ketika Eric mendorong Jeno kasar, “Ric, gak usah kasar begini. Coba lo dinginkan pikiran lo, lo liat dari sisinya Jeno juga.”

Eric menatap Sunwoo tidak percaya kemudian tawanya keluar, keras sekali memecah heningnya malam.

“Liat dari sisinya Jeno juga, ya?” Eric tersenyum miring, “lo lebih belain Jeno padahal lo tau persis gimana masa lalu gue ya, Nu. Ya udah, mending sekalian aja lo pergi dari sini. Sana ikut aja Jeno sekalian.”

“Eric!” Sunwoo refleks berteriak, “bukan itu maksud gue.”

“Halah udahlah,” Eric melambaikan tangan, “semuanya sama aja. Gue udah gak peduli. Mending kalian semua pergi dari sini.”

Kepalanya rasanya sudah ingin meledak karena emosi. Tanpa menoleh, Eric langsung memasuki rumahnya, membanting pintu keras-keras. Panggilan Sunwoo yang berusaha menghentikannya tak ia dengar. Ia sungguh sudah muak dengan semuanya, dengan semesta.

“Oalah beneran sakit ternyata.”

Ares terbangun ketika merasakan tangan Asla di dahinya. Kemudian matanya mengekori pergerakan gadis itu yang sedang mempersiapkan sesuatu. Rupanya Asla benar-benar membeli sup untuknya.

“Bangun dulu bisa, gak?” Asla sudah mengambil posisi untuk membantu Ares.

Sup yang dibeli Asla membuat tubuh Ares rasanya sedikit ringan. Pusing yang ia rasa setengahnya menguap. Ares menolak untuk disuapi sehingga Asla memilih untuk menyalakan playstation milik Ares.

Ares sendiri memilih mengamatinya Asla yang sudah fokus. Gadis itu mirip dengannya: kalau sudah bermain benar-benar tidak bisa diganggu. Asla juga merupakan pemain yang hebat, Ares saja kadang kalah.

“Gimana seminggu jauh dari gue?”

Pertanyaan Ares membuat fokus Asla sedikit teralihkan. Pikirannya pun jadi bercabang. Rupanya Ares sadar bahwa mereka saling menjauh, dikira hanya Asla saja yang sadar.

“Ya gak gimana-gimana, lah,” Asla menjawab, “Eric yang bawel. Katanya aneh liat lo sama cewek lain.”

Meski tenggorokannya sakit, Ares tetap tertawa keras-keras sebelum batuk, “Eric rese banget, ih. Seneng banget ngurusin hidup orang.”

“Katanya aneh lo gak nempel sama gue,” ucap Asla seadanya, “soalnya dari dulu kelas sepuluh kita kemana-mana selalu bareng.”

Ares menghela napas, tersenyum kecil, “dari SD kita satu sekolah ya, La.”

“Satu sekolahnya memang dari SD,” Asla mengangguk, “tapi dari jaman bayi kita udah main bareng.”

“Ih, gue merinding,” Ares sok-sokan memeluk dirinya sendiri, “kok bisa gue awet deket-deket sama lo.”

Menunggu loading untuk babak selanjutnya, Asla menatap sinis Ares, “ya udah, gih, jauh-jauh aja sana.”

Sadar bahwa sahabatnya sedang pura-pura ngambek, Ares menahan tawanya. Ia kembali menyuap sup yang tinggal sedikit ke dalam mulutnya.

“La.”

“Apa?”

Asla kira Ares ingin bertanya sesuatu yang serius namun lelaki itu hanya terus-menerus memanggil namanya. Ia sudah terbiasa makanya sedari tadi Asla hanya mendiamkan Ares yang semakin menjadi-jadi.

“Udah terbiasa belum jauh dari gue?”

Barulah pertanyaan yang meluncur dari bibir Ares membuat pergerakan Asla berhenti seketika. Cukup lama otaknya memproses hingga akhirnya ia sampai pada satu kesimpulan. Iya, ini tentang Ares dan mimpinya. Sebentar lagi, tak kurang dari enam bulan, dirinya dan Ares akan berpisah—Ares dengan ITB, dan Asla dengan ... entahlah ia belum memutuskan. Mungkin selama ini Ares sedang melatih dirinya agar terbiasa tidak berada di sisi lelaki itu.

Jelas gak terbiasa, lah, Asla ingin menjawab jujur. Ia menoleh, menatap Ares yang sedang menanti jawabannya.

“Terbiasa, lah. Gue, kan, jagoan,” pada akhirnya Asla berbohong kemudian kembali menatap game-nya.

Telinga Asla dengan jelas menangkap helaan napas dari Ares. Entah jenis helaan napas apa Asla tidak tahu. Ia sedari tadi sibuk menenangkan diri yang rasanya ingin menangis keras-keras. Tidak lucu jika ia tiba-tiba menangis di hadapan Ares. Terlihat lemah sekali.

“Bagus, deh,” ucap Ares, beringsut masuk ke dalam selimut, “tapi, La, gue yang gak terbiasa.”

bintang jatuh


Sunwoo bersidekap, memandang tajam Eric yang kini sedang diobati oleh tetangga mereka yang seorang mahasiswa kedokteran. Iya, setelah Eric jatuh begitu saja dari tangga, lelaki itu mengaduh bahwa tangannya sakit namun menolak ketika Sunwoo mengajaknya ke rumah sakit.

“Gue mau liat bintang jatuh di rumah,” begitu kata Eric tadi.

Alhasil, Sunwoo buru-buru pergi mengetuk rumah tetangga sebelah yang untungnya sempat berkenalan dengan dirinya.

“Beruntung banget ga parah,” Chan namanya, berkata, “tapi mungkin bakal sakit kalau dibuat ngelakuin aktivitas berat. Besok-besok hati-hati, ya.”

Eric cengengesan sewaktu diberi nasihat seperti itu. Berbeda dengan Sunwoo yang mendecak kesal kemudian mengucap terima kasih kepada Chan dan mengantarnya pergi.

“Lo tuh, ya,” Sunwoo membuat gerakan seakan ingin mengoyak Eric, “hadeeeeh. Gue udah capek banget liat lo ceroboh mulu.”

Eric menatap tangannya yang terbalut, kembali tertawa inosen. Sunwoo yang melihatnya tak bisa berbuat banyak, ia memilih menyodorkan waffle yang ia janjikan kepada Eric, membuat senyuman terbit di bibir lelaki itu.

“Dari tadi gue nungguin bintangnya ga muncul-muncul, tau,” Eric mengoceh sembari mengambil waffle-nya. Sedikit mengaduh karena tangannya masih berdenyut setelah menjadi tumpuan ketika ia terjatuh.

“Mungkin bintangnya nunggu gue,” jawab Sunwoo kelewat percaya diri, “ngomong-ngomong, lo harus hati-hati. Inget, lo masih ada final basket.”

Gerakan mengunyah Eric terhenti, “ga papa, masih tiga minggu lagi. Ga parah-parah amat juga, kok.”

Sunwoo menggeleng pasrah, “ya udah, deh. Terserah lo aja.”

Tak lama mata Eric menangkap sesuatu yang bercahaya di langit, membuat dirinya cepat-cepat berdiri, menunjuk objek yang menarik perhatiannya sembari menepuk punggung Sunwoo. Sunwoo sama antusiasnya karena hal yang selama ini ia lihat di anime akhirnya bisa ia lihat secara langsung.

“Dapet ga?” Sunwoo merapat, melihat hasil jepretan Eric.

“Dapet,” kemudian Eric merenggangkan tangannya tinggi-tinggi, “yuhu! Akhirnya gue bisa—ANJIR SAKIT!”

“PELAN-PELAN KENAPA, SIH!”

“YA UDAH GA USAH NGEGAS.”

Pada akhirnya keinginan Eric terwujud juga meski lengannya yang menjadi korban. Biar begitu sakitnya tidak terlalu terasa mengingat bintang jatuh hari ini terlalu indah membuat sakitnya tersembuhkan.


“Mau sampai kapan lo muter lagu itu, Cal?”

Bayu, sosok yang Calvin pilih sebagai teman sambatnya bertanya. Ditanya begitu Calvin memilih bungkam, fokus dengan lagu berjudul sama yang kembali terputar entah sudah kesekian kalinya. Bayu hanya menghela napas melihat bungkamnya Calvin. Dirinya memang bukan cenayang namun sebenarnya ia bisa menebak kondisi hati Calvin sekarang ini. Biar begitu, Bayu memilih diam, menunggu Calvin sendiri yang cerita.

“Gue bodoh banget gak, sih, Bang, kalau baru nyesel sekarang?” di pertengahan lagu, barulah Calvin membuka suara.

“Setelah dua tahun?” Bayu menyandarkan punggung pada kursi taman, “menurut lo aja gimana?”

“Kok jadi nanya balik?” Calvin menghela napas, “ini alasan kenapa gue males banget cinta-cintaan. Kirino sama Ayis kok kuat, ya?”

Bayu tertawa, “karena nasib cinta lo aja yang begini jadi lo males. Coba kalau dulu lo gak terlalu nurut sama ego lo, mungkin sekarang lo udah kayak Ino—jangan Ino deh, dia aneh. Ayis aja, Ayis.”

Perkataan Bayu lumayan menerbitkan tawa, “gue masih inget Kirino nitip tumpengan ke lo. Gak waras.”

“Jalan pikirnya dia aja yang unik,” timpal Bayu, “saking uniknya kadang gue gak ngerti.”

Alis Calvin mengeryit, “ini pengalihan biar gue gak cerita, ya?”

“Loh, gak gitu,” masih dengan tawa renyah, Bayu menjawab, “tadi lo bawa-bawa Ino. Gue, mah, nimpalin aja.”

Iya deh, Calvin menyerah. Pikirannya sekarang terlalu rumit karena tadi pagi sosok mantannya tiba-tiba lewat di depan matanya. Calvin kira dirinya berhasil move on namun ternyata selama ini ia hanya pura-pura menyibukkan diri agar lupa padahal rasa itu masih ada. Mantannya terlihat tetap sama namun lebih kurus dan ya, Calvin jadi khawatir.

“Dia kurusan, Bang,” tutur Calvin, “gara-gara gue apa, ya?”

“Bisa iya, bisa enggak,” jawab Bayu, “semua tergantung gimana pikiran lo. Iya karena lo udah nyakitin dia pakai banget. Enggak karena bisa jadi kuliahnya yang bikin begitu.”

Opsi terakhir terdengar amat mungkin bagi Calvin karena seingatnya, mantannya itu dulu pernah mengeluh padanya bagaimana harinya di dunia perkuliahan. Meski begitu perasaan bersalah tetap merongrong Calvin dan Calvin tidak suka.

“Apa gue harus minta maaf?”

Retoris.

“Kalau itu bisa bikin semua perasaan bersalah lo lenyap, kenapa enggak?” Bayu menimpali, “gak ada salahnya juga minta maaf. Bisa jadi karena maaf lo, semuanya balik jadi kayak dulu. Gue tahu selama ini lo ngehindar dari mantan lo, kan, Cal? Mending lo selesaiin sampai benar-benar tuntas biar gak ada rasa apapun yang ketinggalan lagi di hati lo.”

Senyuman kecil Calvin terbit, “pengalaman ya, Bang?”

“Nah, kan, malah gue kena serang.”

Memang Bayu ini tempat sambat yang terbaik.


Pukul tiga pagi.

“Kenapa?”

Padahal Calvin sudah mengumpulkan semua keberaniannya sebelum menelpon mantannya namun tiba-tiba lidahnya kelu mendengar sepatah kata yang keluar dari seberang sana.

“Maaf gue nelpon jam segini,” Calvin berkata sebagai pembukaan.

“Santai aja, Cal. Bukannya emang udah biasa juga?”

Calvin mau jempalitan saja rasanya begitu menemukan fakta mantannya masih mengingat hal-hal kecil seperti itu.

“Gue minta maaf.”

Sempat ada hening panjang, “buat? Jangan bilang kata-kata klise kayak 'maaf karena udah bangunin gue jam segini atau blabla—”

“—buat semuanya, Nay,” Calvin menyela, menghela napas, “buat dua tahun kemarin. Gue sadar gue udah banyak nyakitin lo. Bahkan di akhir aja gue gak bisa bikin lo bahagia. Gue selalu bikin lo sedih.”

Di ujung sana, Calvin mendengar tawa pelan. Tawa sendu, “isi pikiran lo di jam tiga pagi emang selalu berbobot, ya.”

“Nay.”

“Tenang aja, Ica—Calvin. Gue memang sayang banget sama lo tapi kayaknya dulu belum cukup ya, Cal? Jujur gue kaget banget lo nelpon gue begini, bawa penyesalan, minta maaf ke gue,” Calvin rasanya mau memukul diri sendiri saat mendengar nada getir di ujung sana, “udah dua tahun, Cal. Gue udah maafin lo, kok. Lo jangan terlalu sering nyalahin diri lo sendiri, ya? Lupain aja semua, anggap buat pembelajaran biar ke depannya lo gak begitu lagi.”

Calvin ingat betul alasan ia jatuh pada gadis itu. Iya, sifatnya yang tidak pernah menaruh dendam dan hangat membuat Calvin sempat menjadi seperti Kirino: budut.

“Makasih ya, Nay,” Calvin tersenyum meski tahu betul senyumnya tidak akan terlihat, “gue sebenarnya pingin balik lagi sama lo tapi gue sadar diri kalau gue udah ngasih luka yang lebar banget ke lo.”

“Iya, Cal, betul. Kita bisa jadi temen lagi, gue gak masalah. Tapi buat balik kayak dulu .... maaf, gue gak bisa. Lo ngerti, kan, Cal?”

“Ngerti. Banget,” balas Calvin seadanya, “udah mau jam empat. Gue tahu lo pasti sibuk nyelesaiin tugas-tugas lo sampai jam segini. Udah sana tidur. Makasih udah mau gue ganggu jam tiga pagi begini.”

“Haha, santai aja, Cal,” Calvin bersyukur si gadis tertawa, “lo juga tidur. Pensiun dulu jadi kalong. Kantong mata lo lama-lama melebar nanti.”

“Iya, iya. Gue mau tidur, kok. Kayaknya malah bakal tidur nyenyak.”

“Kok?”

Calvin merebahkan diri, tersenyum, “karena lo udah bikin semua rasa bersalah gue lenyap. Makasih sekali lagi ya, Nay.”

“Gak perlu berterima kasih, Cal. Jangan lupa buat bahagia, ya?”

Tut.

Sambungan terputus.

telpon


Papi nelpon mami.

Tiga kata yang terucap dari Hyunjae di seberang sana sukses melenyapkan senyum Eric. Buru-buru ia melangkahkan kaki menuju kamar, mengabaikan tatapan bingung Sunwoo.

“Terus gimana?” begitu tanya Eric tepat setelah dirinya menutup pintu, “mami ga papa, kan? Sekarang mami lagi ngapain? Terus Abang tau ga papi—”

Satu-satu kalau nanya, Ric,” Eric bisa mendengar kekehan pelan Hyunjae, “tadi abang liat mami masih makan habis nelpon papi. Ga tau deh sekarang lagi ngapain.

“Abang lagi di rumah sakit, ya?”

Entah mengapa Eric bisa membayangkan Hyunjae mengangguk, “abang ga sempet denger banyak, ga sopan juga tau nguping. Tapi yang dari abang denger, katanya papi mau bilang sesuatu buat kita—buat abang sama kamu, Ric.

Tiba-tiba Eric teringat percakapannya dengan Jeno di kereta sewaktu mereka sedang menuju tempat tinggal Sunwoo untuk semifinal.

“Mami ... beneran ga ada reaksi apa-apa, Bang?” jujur Eric khawatir.

Bagaimana ia tidak khawatir? Eric masih ingat jelas bagaimana papinya berkata cukup kasar pada maminya dulu. Padahal papinya merupakan sosok yang amat baik dalam mengontrol emosi.

Engga ada,” Hyunjae menghela napas, “semoga semuanya baik-baik aja ya, Ric. Jujur abang sebenarnya udah ga mau berhubungan lagi sama papi tapi abang juga pingin banget denger papi minta maaf walau cuma sekali aja. Ya, minimal sama mami, lah.

Eric mengangguk setuju, “sebenarnya, bang, kemarin anaknya papi bilang ke Eric kalau dia disuruh papi buat bilang sesuatu ke Eric tapi Eric tolak karena Eric mau denger sendiri dari papi.”

Bagus, Ric,” ucap Hyunjae, “emang harus begitu. Yang salah siapa, kok, nyuruh orang lain buat benerin kesalahannya.

Eric tersenyum kecil, “semoga semuanya cepet membaik ya, Bang. Eric pingin kita lepas dari masa lalu.”

Bahasamu, Ric,” tawa Hyunjae menggelegar, “tapi iya, semoga semuanya cepet membaik.

Iya, semoga.


Lagu milik Arctic Monkeys sedari tadi diputar berulang-ulang tanpa ada niatan untuk diganti. Kedua pemuda yang tengah duduk bersama pun nampaknya tak begitu peduli, sibuk menghabiskan satu dus rokok dengan laptop di pangkuan. Keduanya seperti berlomba memenuhi ruangan dengan asap dan helaan napas lelah.

Fuck society,” yang lebih muda, Juyeon, lebih dahulu membuka percakapan sembari menutup laptopnya kasar.

Mendengar umpatan Juyeon, Hyunjae hanya mengangguk, menyetujui. Namun dirinya lebih tenang, memilih bergeming sebelum beringsut turun dari kasur, membuka jendela. Tidak langsung duduk, Hyunjae menatap pemandangan malam dari jendela apartemennya, menghembuskan asap rokoknya ke langit malam.

“Gak papa kalau mau nangis, Ju,” barulah suara Hyunjae perlahan mengalun, “gue dan apartemen gue bisa jadi saksi bisu.”

Juyeon melirik Hyunjae, semakin memenuhi dadanya dengan nikotin. Jemarinya memilih meraih gitar miliknya yang sengaja ditinggal di apartemen Hyunjae, memetik pelan, “boys don't cry.

Tidak berbalik, Hyunjae tersenyum tipis. Ia tahu betul bahwa perkataan Juyeon yang tadi hanyalah sarkasme belaka, “matiin dulu lagunya kalau lo mau main gitar.”

Perkataanya tidak didengarkan. Justru Juyeon semakin memetik asal, mengiringi lagu 505 yang sekarang terputar. Hyunjae gemas, ia tidak terlalu suka kebisingan seperti itu. Meski pemandangan malam lebih menggoda, dengan berat Hyunjae beranjak, mematikan ponselnya yang mulai panas akibat dipaksa memutar lagu sejak tiga jam yang lalu.

“Muka lo sepet banget sumpah,” Hyunjae terkekeh, “udah gue bilang gak papa kalau mau nangis.”

“Dan udah gue bilang: boys don't cry,” balas Juyeon.

“Iya, laki-laki gak boleh keliatan lemah, ya?” Hyunjae menimpali.

Seiring dengan anggukan, Juyeon menghembus asap rokoknya, “laki-laki, kok, lemah. Banci, ya?”

Keduanya tertawa sendu, lelah dengan pandangan masyarakat yang semakin rusak. Terlalu saklek, banyak peraturan. Biar begitu Hyunjae tahu betul bahwa ucapan Juyeon bukan hanya perkataan asal. Ada beban yang tengah dipikul Juyeon. Sebagai sosok yang berpengalaman menyembunyikan segala sesuatu, Hyunjae sadar kalau kini Juyeon sedang butuh pendengar.

“Kenapa lagi lo hari ini, Ju?” maka, Hyunjae mengambil perannya sebagai pendengar.

“Biasa, ketua himpunan gue,” Hyunjae baru ingat bahwa kini Juyeon masih sibuk mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Berbeda dengan dirinya yang kini sedang koas di salah satu rumah sakit, “gue cuma istirahat dikit dari bikin pensi dibilang lemah. Dasar diktator, dikira anak buahnya robot semua apa gimana? Udah gitu keluar lagi kata-kata khas orang-orang dengan pikiran sempit: laki-laki gak boleh lemah. Halah bajingan.”

Geram, Juyeon menghembus asapnya kuat-kuat, membuat Hyunjae sedikit terbatuk karena terkena hembusan Juyeon, “terus lo ngapain? Gue tau lo bukan tipikal orang yang diem gitu aja,” Hyunjae berkata.

Juyeon menatap lurus Hyunjae, “gue tonjok.”

Entah terlalu banyak menghisap rokok atau dirinya yang tidak siap dengan jawaban Juyeon, Hyunjae terbatuk hebat, melotot menatap Juyeon. Namun di bibirnya tersungging senyuman, “anjir, serius lo?”

“Iya lah,” dahi Juyeon berkerut, mengingat detail kejadian yang ia alami kemudian bahunya merosot, “tapi gimana ya, Je? Orang yang punya privilege lebih menang. Gue lagi yang disalahin,” Juyeon memaksa tawanya keluar.

Masam, Hyunjae mengangguk. Ia tahu betul apa yang dimaksud Juyeon. Dirinya dan Juyeon sudah hidup cukup lama untuk menjadi saksi ketidakadilan dunia pada orang-orang kecil. Menjadi saksi bagaimana pula manusia dikekang oleh tuntutan-tuntutan yang tidak memanusiakan manusia.

Fuck society,” lagi, Juyeon mengumpat.

Gelak tawa yang meluncur dari bibir Hyunjae mau tak mau menular. Juyeon ikut tertawa seraya mematikan rokok kelimanya. Jemarinya kembali memetik gitarnya yang sempat terhenti.

“Lo, Je?” tidak mau menjadi satu-satunya pihak yang didengarkan, Juyeon bertanya, “hari lo apa kabar?”

Hyunjae menghela napas amat panjang, melayangkan tatapannya ke luar jendela, “gak bagus-bagus amatlah. Kayak yang lo bilang barusan, fuck society.”

“Kalau mau ngomel, ngomel aja, Je,” ujar Juyeon, “gue dan apartemen lo siap jadi saksi bisu.”

Mendengar perkataannya yang dicuri, Hyunjae menoleh, menatap Juyeon dengan senyum kecil, “laki-laki harus bisa ngontrol emosi.”

Keduanya tertawa mendengar tutur kata Hyunjae. Nampaknya Hyunjae sedang tidak ingin banyak bercerita sehingga Juyeon memilih diam. Selain itu Hyunjae juga memilih untuk meraih laptopnya yang mulai kehabisan baterai karena ia tinggal menyala tatkala mengobrol bersama Juyeon. Melihatnya Juyeon berdecak. Sebal karena Hyunjae kembali menyibukkan diri dengan tugasnya padahal ia tahu bahwa lelaki di hadapannya pasti belum beristirahat sejak tadi.

“Dikit lagi selesai,” begitu ujar Hyunjae ketika kaki nakal Juyeon menendang pahanya pelan.

“Jangan terlalu diporsir,” Juyeon meraih dus rokok di dekat Hyunjae, “gak apa-apa buat terlambat dari yang lain sekali-kali.”

Hyunjae tersenyum namun tak lama, “cukup nyebatnya. Lo udah habis lima, kasian paru-paru lo.”

“Yaelah Hyunjae mode dokter balik lagi,” Juyeon memetik gitarnya bar-bar, menimbulkan kebisingan.

Apartemen milik Hyunjae memang tempat yang amat tepat untuk mengakhiri hari. Meski apartemen Hyunjae tergolong sederhana, rupanya kenyamanan bisa didapat dari mana saja dan keduanya sadar akan hal itu. Hanya dengan sebungkus rokok, gitar, atau terkadang dua gelas kopi cukup membuat keduanya merasa menjadi orang paling kaya sedunia. Terlebih ketika mereka saling bersama, saling mengisi satu sama lain, saling memperbaiki dunia kecil mereka yang sama-sama tak sempurna.

“Besok nugas di sini lagi?” disela pekerjaannya, Hyunjae bertanya pada Juyeon yang sudah bergelung di dalam selimut Hyunjae.

Juyeon hanya bergumam, sudah terlampau mengantuk, “beliin gue sedus rokok.”

“Kalau mau nangis, kesini aja,” Hyunjae mengabaikan perkataan Juyeon barusan, “gue selalu siap jadi saksi bisu.”

Di ambang alam mimpi, Juyeon tersenyum, “gue juga selalu siap jadi saksi bisu kalau lo lagi gak baik-baik aja.”

Tuh, kan. Juyeon dan Hyunjae memang saling mengisi dan akan selalu seperti itu.


Hyunjae amat sadar bahwa saat ini dirinya tengah dibuntuti oleh seseorang atau bahkan sekelompok. Sejak awal dirinya melangkahkan kaki keluar dari kantornya, sebuah mobil hitam terus mengikutinya. Sayangnya kaca mobil si penguntit amat gelap namun Hyunjae punya satu dugaan: Scorpions.

Astaga, musuhnya itu memang selalu gigih. Bahkan detik ini Kevin—ace terhebat Hyunjae—pun masih belum ditemukan oleh Hyunjae. Baik Younghoon maupun Eric kewalahan. Katanya Kevin benar-benar raib begitu saja. Iya Hyunjae tahu betul dirinya memang selangkah terbelakang dari Scorpions dan fakta itu membuat Hyunjae cukup ketar-ketir.

“Je.”

Hyunjae mengangguk paham, tahu betul apa yang ingin Younghoon ucapkan, “fokus aja nyetirnya,” titah Hyunjae.

Badannya lalu bergerak, mengambil senapan yang ia simpan di jok belakang, bersiap. Sengaja ia menyuruh Younghoon untuk melalui jalanan yang sepi agar lebih mudah untuk menembak. Hyunjae dengan mata tajamnya mengamati, menilai pergerakan si penguntit dari spion mobil.

Lalu tatkala Younghoon berbelok, barulah Hyunjae melongokkan kepala dari jendela, memberi beberapa tembakan yang langsung dibalas. Sialnya, Hyunjae tidak sadar bahwa ada mobil lain dengan kecepatan penuh sedang menuju arahnya, berniat menubruk hingga dirinya remuk. Untung Younghoon lebih cekatan, ia langsung berbelok dan menyebabkan mobil mereka menabrak beberapa kursi kafe yang belum dibereskan oleh si empunya.

“Je, mobil lo belum diservis apa gimana, sih?” Younghoon mengomel sembari berusaha menyalakan mesin mobil Hyunjae yang tak kunjung berhasil.

“Mana gue tau, itu, kan, tugas lo!” Hyunjae kesal saat Younghoon justru mengomel padanya.

“Sialan, gak mau nyala,” Younghoon bergerak mengambil senapan lain, “kita harus keluar dari sini kalau lo masih mau hidup.”

Dilindungi Younghoon, Hyunjae perlahan keluar dari mobil. Bertepatan dengan kemunculan sosoknya, Hyunjae langsung dihujani oleh tembakan yang tak ada habisnya. Nampaknya si penguntit ini tak peduli tembakannya kena sasaran atau tidak, hanya asal menembak untuk mengintimidasi Hyunjae.

Sebentar, asal menembak?

“Je!”

Benar saja, rupanya ada orang lain yang mengincar dirinya. Manik Hyunjae membulat ketika dari balik jas Younghoon timbul darah. Younghoon tertembak.

“Sial, sniper?” Hyunjae memapah Younghoon menuju tempat aman. Matanya tak henti mencari sudut-sudut di mana sekiranya sniper bersembunyi, “pasti Kim Sunwoo,” duganya.

Keadaan semakin parah ketika kedua senapan yang dibawa sudah kosong sedangkan peluru musuh nampaknya tak ada habisnya. Hyunjae pun tidak bisa melawan lebih dengan Younghoon yang terluka disisinya. Iya, Younghoon memang masih kuat namun Hyunjae tidak bisa membiarkan Younghoon bersikeras melindunginya ketika darah yang merembes keluar tak kunjung berhenti.

Hingga sebuah mobil datang dari arah berlawanan, menerjang beberapa penembak dan berhenti tepat di dekat Hyunjae bersembunyi. Hyunjae rasanya tersedak ketika melihat sosok yang berada di dalam sana.

“Masuk!”

Menanggalkan segala gengsinya, Hyunjae kembali memapah Younghoon, masuk ke dalam mobil si penyelamat.


Hyunjae tak berbuat banyak ketika si penyelamat, Juyeon, mengobati Younghoon. Ia hanya berdiri di kejauhan, memandang jalan dari jendela apartemen Juyeon sembari menyulut sigaretnya. Dalam hati merutuk, ia tidak mau punya hutang balas budi kepada Juyeon. Lagipula mengapa lelaki ini tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya sedangkan ia sudah mati-matian menjauhkan Juyeon dari dunianya.

“Je.”

Hyunjae langsung melotot mendengar Juyeon memanggilnya seperti itu. Ia menoleh cepat, menatap tajam lelaki yang menawarkan segelas air padanya, “bisa-bisanya lo manggil gue kayak gitu?”

Berbeda ketika Juyeon masih menjadi bodyguard-nya, ia mengangkat bahu tak acuh, “lo udah bukan atasan gue lagi, kan?”

Hyunjae tersedak liurnya sendiri. Benar juga apa yang dikatakan Juyeon, “Younghoon?” tak mau membahas lebih lanjut, Hyunjae memilih bertanya tentang tangan kanannya.

Juyeon menatap Hyunjae sejenak, “gak serius. Dia baik-baik aja cuma terlalu banyak darah yang keluar.”

Penuh kelegaan, Hyunjae menghembus asap sigaretnya. Memang bukan sekali Younghoon terluka namun rasa khawatirnya tetap sama.

“Duduk, Je,” Juyeon menepuk sofa di sebelahnya, “wakil lo gak papa, cuma butuh istirahat.”

Hyunjae menatap lama sofa Juyeon, menimang. Otaknya berkata untuk tidak menuruti Juyeon namun hatinya berkata lain. Pada akhirnya Hyunjae menuruti hatinya. Pun raganya sudah amat lelah, perlu rehat.

Ketika dirinya duduklah matanya tak sengaja menangkap pigura di satu sudut. Bibirnya kelu ketika menyadari foto apa yang terbingkai di sana. Itu foto dirinya dan Juyeon ketika mereka masih sekolah dulu. Mungkin sudah sepuluh tahun sejak foto itu diambil. Miliknya saja sepertinya sudah kandas bersamaan dengan rumahnya namun Juyeon ternyata masih menyimpannya.

Foto itu penuh kenangan. Hyunjae ingat hidupnya masih baik-baik saja kala itu. Masih bisa tertawa, minum yogurt, bermain basket, bahkan menghabiskan hari bersama Juyeon. Dulu semuanya begitu indah, lancar, tak ada sesuatu yang menyiksanya. Hyunjae tertawa sumbang ketika sadar betapa cepat dunianya berubah. Tatapannya kembali pada Juyeon dan seluruh memorinya berputar begitu saja.

“Masih disimpen?” Hyunjae menunjuk foto itu dengan jarinya yang mengapit sigaret.

Berbeda dengan dirinya yang tersenyum semu, Juyeon sepenuhnya tersenyum tulus ketika Hyunjae mengangkat topik satu-satunya kenangan yang mereka punya, “kenapa gak gue simpen? Waktu itu kita bahagia banget, Je.”

“Dulu,” Hyunjae mengisap sigaretnya dalam-dalam, “sebelum hidup gue berubah secara signifikan.”

Manik Juyeon menggelap, “kenapa, Je?”

“Apa?”

“Kenapa lo gak cerita semuanya ke gue?”

Sesungguhnya Hyunjae memiliki jawaban atas pertanyaan Juyeon. Jawabannya amat rapi tersusun dalam benaknya. Namun entah mengapa lidahnya kelu, tak mampu menjawab dan hanya menatap Juyeon, “hak gue buat gak cerita sama lo, kan?” malah perkataan sinis yang terlontar dari bibir tipis Hyunjae.

Justru tawa lolos dari si lawan bicara, membuat satu kernyitan bingung timbul di kening Hyunjae, “biar lo udah jadi bos mafia begini, ternyata masih ada yang gak berubah di diri lo ya, Je.”

Hyunjae sebenarnya benci dengan sifat sok akrab Juyeon.

Ia takut dirinya runtuh.

“Maksud?” Hyunjae mengambil sebatang sigaret baru.

“Sarkas lo masih sama,” Juyeon tersenyum, “sarkasnya seorang Lee Hyunjae.”

Sialan, hati Hyunjae tersentuh. Dirinya sempat terlena rasa bahagia ketika tahu Juyeon masih mengingat setiap detail dirinya. Kalau boleh jujur, hanya Hyunjae dan Younghoon yang tahu betapa Hyunjae sangat merindukan Juyeon. Tak pernah lepas sekalipun Hyunjae menggumamkan nama Juyeon ketika dirinya masih menjadi pembunuh bayaran bersama Younghoon.

“Dunia lo berbahaya, Je,” saat itu kata-kata Younghoon menamparnya, membuatnya sadar bahwa ia tak boleh membawa Juyeon ke dalam ranahnya, ke dalam dunianya.

“Je, gue mohon,” lamunan Hyunjae buyar seiring suara berat Juyeon memasuki inderanya, “izinin gue jadi bodyguard lo lagi.”

Hyunjae langsung memijat pangkal hidungnya, pening. Jikalau ia mengabaikan semuanya, saat ini pasti ia akan langsung mengangguk antusias. Tetapi Hyunjae ini pria yang amat berhati-hati. Semua skenario tersusun rapi di otaknya dan menerima permintaan Juyeon dapat membawa risiko besar padanya.

“Juyeon, ada alasan kenapa gue mecat lo,” tutur Hyunjae, “lo gak seharusnya ada di lingkup dunia gue.”

Juyeon ini keras kepala, Hyunjae tahu sejak dari awal mereka bersama. Maka ia sudah bisa menduga tatkala Juyeon kembali mendebatnya. Hyunjae hanya menggeleng dan terus menggeleng ketika Juyeon tak henti-hentinya meminta.

“Je, gue mohon.”

Perasaan Hyunjae hanya memejamkan mata sepersekian detik namun tiba-tiba Juyeon sudah berada di hadapannya, menggenggam kedua tangannya dengan tatapan penuh pinta.

“Gue gak tenang lepasin lo gitu aja.”

Sialan. Hyunjae susah payah mengalihkan pandangan. Juyeon benar-benar sosok yang masih sama. Dulu lelaki di hadapannya sering sekali berkata demikian padanya, membuatnya memiliki harapan untuk hidup di keesokan harinya. Namun mendengarnya lagi sekarang rasanya bukanlah waktu yang tepat. Semuanya sudah tidak sama seperti dulu dan andai saja Hyunjae punya cara untuk membuat Juyeon paham.

“Je!”

Tautan tangan mereka lepas dengan Younghoon yang tiba-tiba datang dan mendorong tubuh Juyeon menjauh.

“Jangan deket-deket Hyunjae,” Younghoon membuat ultimatum, “gue liat lencana Scorpions ada di kamar lo. Ini semua jebakan lo, kan?”

Manik Hyunjae menatap Juyeon tak percaya. Terlebih ketika lelaki itu diam, memperjelas semua tutur kata Younghoon.

“Juy...”

Selain ayahnya, rupanya satu-satunya sosok yang paling berharga bagi dirinya pun bisa menjadi orang paling brengsek dalam hidupnya.