Hyunjae amat sadar bahwa saat ini dirinya tengah dibuntuti oleh seseorang atau bahkan sekelompok. Sejak awal dirinya melangkahkan kaki keluar dari kantornya, sebuah mobil hitam terus mengikutinya. Sayangnya kaca mobil si penguntit amat gelap namun Hyunjae punya satu dugaan: Scorpions.
Astaga, musuhnya itu memang selalu gigih. Bahkan detik ini Kevin—ace terhebat Hyunjae—pun masih belum ditemukan oleh Hyunjae. Baik Younghoon maupun Eric kewalahan. Katanya Kevin benar-benar raib begitu saja. Iya Hyunjae tahu betul dirinya memang selangkah terbelakang dari Scorpions dan fakta itu membuat Hyunjae cukup ketar-ketir.
“Je.”
Hyunjae mengangguk paham, tahu betul apa yang ingin Younghoon ucapkan, “fokus aja nyetirnya,” titah Hyunjae.
Badannya lalu bergerak, mengambil senapan yang ia simpan di jok belakang, bersiap. Sengaja ia menyuruh Younghoon untuk melalui jalanan yang sepi agar lebih mudah untuk menembak. Hyunjae dengan mata tajamnya mengamati, menilai pergerakan si penguntit dari spion mobil.
Lalu tatkala Younghoon berbelok, barulah Hyunjae melongokkan kepala dari jendela, memberi beberapa tembakan yang langsung dibalas. Sialnya, Hyunjae tidak sadar bahwa ada mobil lain dengan kecepatan penuh sedang menuju arahnya, berniat menubruk hingga dirinya remuk. Untung Younghoon lebih cekatan, ia langsung berbelok dan menyebabkan mobil mereka menabrak beberapa kursi kafe yang belum dibereskan oleh si empunya.
“Je, mobil lo belum diservis apa gimana, sih?” Younghoon mengomel sembari berusaha menyalakan mesin mobil Hyunjae yang tak kunjung berhasil.
“Mana gue tau, itu, kan, tugas lo!” Hyunjae kesal saat Younghoon justru mengomel padanya.
“Sialan, gak mau nyala,” Younghoon bergerak mengambil senapan lain, “kita harus keluar dari sini kalau lo masih mau hidup.”
Dilindungi Younghoon, Hyunjae perlahan keluar dari mobil. Bertepatan dengan kemunculan sosoknya, Hyunjae langsung dihujani oleh tembakan yang tak ada habisnya. Nampaknya si penguntit ini tak peduli tembakannya kena sasaran atau tidak, hanya asal menembak untuk mengintimidasi Hyunjae.
Sebentar, asal menembak?
“Je!”
Benar saja, rupanya ada orang lain yang mengincar dirinya. Manik Hyunjae membulat ketika dari balik jas Younghoon timbul darah. Younghoon tertembak.
“Sial, sniper?” Hyunjae memapah Younghoon menuju tempat aman. Matanya tak henti mencari sudut-sudut di mana sekiranya sniper bersembunyi, “pasti Kim Sunwoo,” duganya.
Keadaan semakin parah ketika kedua senapan yang dibawa sudah kosong sedangkan peluru musuh nampaknya tak ada habisnya. Hyunjae pun tidak bisa melawan lebih dengan Younghoon yang terluka disisinya. Iya, Younghoon memang masih kuat namun Hyunjae tidak bisa membiarkan Younghoon bersikeras melindunginya ketika darah yang merembes keluar tak kunjung berhenti.
Hingga sebuah mobil datang dari arah berlawanan, menerjang beberapa penembak dan berhenti tepat di dekat Hyunjae bersembunyi. Hyunjae rasanya tersedak ketika melihat sosok yang berada di dalam sana.
“Masuk!”
Menanggalkan segala gengsinya, Hyunjae kembali memapah Younghoon, masuk ke dalam mobil si penyelamat.
Hyunjae tak berbuat banyak ketika si penyelamat, Juyeon, mengobati Younghoon. Ia hanya berdiri di kejauhan, memandang jalan dari jendela apartemen Juyeon sembari menyulut sigaretnya. Dalam hati merutuk, ia tidak mau punya hutang balas budi kepada Juyeon. Lagipula mengapa lelaki ini tahu bahwa dirinya sedang dalam bahaya sedangkan ia sudah mati-matian menjauhkan Juyeon dari dunianya.
“Je.”
Hyunjae langsung melotot mendengar Juyeon memanggilnya seperti itu. Ia menoleh cepat, menatap tajam lelaki yang menawarkan segelas air padanya, “bisa-bisanya lo manggil gue kayak gitu?”
Berbeda ketika Juyeon masih menjadi bodyguard-nya, ia mengangkat bahu tak acuh, “lo udah bukan atasan gue lagi, kan?”
Hyunjae tersedak liurnya sendiri. Benar juga apa yang dikatakan Juyeon, “Younghoon?” tak mau membahas lebih lanjut, Hyunjae memilih bertanya tentang tangan kanannya.
Juyeon menatap Hyunjae sejenak, “gak serius. Dia baik-baik aja cuma terlalu banyak darah yang keluar.”
Penuh kelegaan, Hyunjae menghembus asap sigaretnya. Memang bukan sekali Younghoon terluka namun rasa khawatirnya tetap sama.
“Duduk, Je,” Juyeon menepuk sofa di sebelahnya, “wakil lo gak papa, cuma butuh istirahat.”
Hyunjae menatap lama sofa Juyeon, menimang. Otaknya berkata untuk tidak menuruti Juyeon namun hatinya berkata lain. Pada akhirnya Hyunjae menuruti hatinya. Pun raganya sudah amat lelah, perlu rehat.
Ketika dirinya duduklah matanya tak sengaja menangkap pigura di satu sudut. Bibirnya kelu ketika menyadari foto apa yang terbingkai di sana. Itu foto dirinya dan Juyeon ketika mereka masih sekolah dulu. Mungkin sudah sepuluh tahun sejak foto itu diambil. Miliknya saja sepertinya sudah kandas bersamaan dengan rumahnya namun Juyeon ternyata masih menyimpannya.
Foto itu penuh kenangan. Hyunjae ingat hidupnya masih baik-baik saja kala itu. Masih bisa tertawa, minum yogurt, bermain basket, bahkan menghabiskan hari bersama Juyeon. Dulu semuanya begitu indah, lancar, tak ada sesuatu yang menyiksanya. Hyunjae tertawa sumbang ketika sadar betapa cepat dunianya berubah. Tatapannya kembali pada Juyeon dan seluruh memorinya berputar begitu saja.
“Masih disimpen?” Hyunjae menunjuk foto itu dengan jarinya yang mengapit sigaret.
Berbeda dengan dirinya yang tersenyum semu, Juyeon sepenuhnya tersenyum tulus ketika Hyunjae mengangkat topik satu-satunya kenangan yang mereka punya, “kenapa gak gue simpen? Waktu itu kita bahagia banget, Je.”
“Dulu,” Hyunjae mengisap sigaretnya dalam-dalam, “sebelum hidup gue berubah secara signifikan.”
Manik Juyeon menggelap, “kenapa, Je?”
“Apa?”
“Kenapa lo gak cerita semuanya ke gue?”
Sesungguhnya Hyunjae memiliki jawaban atas pertanyaan Juyeon. Jawabannya amat rapi tersusun dalam benaknya. Namun entah mengapa lidahnya kelu, tak mampu menjawab dan hanya menatap Juyeon, “hak gue buat gak cerita sama lo, kan?” malah perkataan sinis yang terlontar dari bibir tipis Hyunjae.
Justru tawa lolos dari si lawan bicara, membuat satu kernyitan bingung timbul di kening Hyunjae, “biar lo udah jadi bos mafia begini, ternyata masih ada yang gak berubah di diri lo ya, Je.”
Hyunjae sebenarnya benci dengan sifat sok akrab Juyeon.
Ia takut dirinya runtuh.
“Maksud?” Hyunjae mengambil sebatang sigaret baru.
“Sarkas lo masih sama,” Juyeon tersenyum, “sarkasnya seorang Lee Hyunjae.”
Sialan, hati Hyunjae tersentuh. Dirinya sempat terlena rasa bahagia ketika tahu Juyeon masih mengingat setiap detail dirinya. Kalau boleh jujur, hanya Hyunjae dan Younghoon yang tahu betapa Hyunjae sangat merindukan Juyeon. Tak pernah lepas sekalipun Hyunjae menggumamkan nama Juyeon ketika dirinya masih menjadi pembunuh bayaran bersama Younghoon.
“Dunia lo berbahaya, Je,” saat itu kata-kata Younghoon menamparnya, membuatnya sadar bahwa ia tak boleh membawa Juyeon ke dalam ranahnya, ke dalam dunianya.
“Je, gue mohon,” lamunan Hyunjae buyar seiring suara berat Juyeon memasuki inderanya, “izinin gue jadi bodyguard lo lagi.”
Hyunjae langsung memijat pangkal hidungnya, pening. Jikalau ia mengabaikan semuanya, saat ini pasti ia akan langsung mengangguk antusias. Tetapi Hyunjae ini pria yang amat berhati-hati. Semua skenario tersusun rapi di otaknya dan menerima permintaan Juyeon dapat membawa risiko besar padanya.
“Juyeon, ada alasan kenapa gue mecat lo,” tutur Hyunjae, “lo gak seharusnya ada di lingkup dunia gue.”
Juyeon ini keras kepala, Hyunjae tahu sejak dari awal mereka bersama. Maka ia sudah bisa menduga tatkala Juyeon kembali mendebatnya. Hyunjae hanya menggeleng dan terus menggeleng ketika Juyeon tak henti-hentinya meminta.
“Je, gue mohon.”
Perasaan Hyunjae hanya memejamkan mata sepersekian detik namun tiba-tiba Juyeon sudah berada di hadapannya, menggenggam kedua tangannya dengan tatapan penuh pinta.
“Gue gak tenang lepasin lo gitu aja.”
Sialan. Hyunjae susah payah mengalihkan pandangan. Juyeon benar-benar sosok yang masih sama. Dulu lelaki di hadapannya sering sekali berkata demikian padanya, membuatnya memiliki harapan untuk hidup di keesokan harinya. Namun mendengarnya lagi sekarang rasanya bukanlah waktu yang tepat. Semuanya sudah tidak sama seperti dulu dan andai saja Hyunjae punya cara untuk membuat Juyeon paham.
“Je!”
Tautan tangan mereka lepas dengan Younghoon yang tiba-tiba datang dan mendorong tubuh Juyeon menjauh.
“Jangan deket-deket Hyunjae,” Younghoon membuat ultimatum, “gue liat lencana Scorpions ada di kamar lo. Ini semua jebakan lo, kan?”
Manik Hyunjae menatap Juyeon tak percaya. Terlebih ketika lelaki itu diam, memperjelas semua tutur kata Younghoon.
“Juy...”
Selain ayahnya, rupanya satu-satunya sosok yang paling berharga bagi dirinya pun bisa menjadi orang paling brengsek dalam hidupnya.