ismura

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Ending Chapter 14 (Perang Archon Bagian Ketiga) trigger: blood, character deaths

Varka dan Signora masih dalam kejaran Pierro dan Columbine, kini mereka sudah berada di perbatasan antara Natlan dan Fontaine, wilayah kekuasaan Lyney dan Lynette.

“Jangan pergi!” seru Columbine lantang.

Melihat mantan istrinya terus berteriak hingga suaranya habis hampir membuat Pierro tak percaya bahwa Columbine memiliki sisi lain yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.

“Colum—”

“DIAM!”

Varka masih menggendong Signora dengan pedang yang tertancap di perutnya, pria bertubuh besar itu sama sekali tidak memperlihatkan kelemahannya di depan Pierro dan Columbine, bahkan ia masih bisa tersenyum di saat seperti ini.

Varka menyenderkan tubuh Signora di salah satu bebatuan besar di sana, setelah itu ia kembali menghadap ke Pierro dan Columbine yang masih terus berdebat tak tentu arah.

Columbine dan Pierro sudah tak lagi mendengar apa pun yang didebatkan oleh mereka, yang ada di pikiran mantan suami istri tersebut adalah bagaimana cara menghabisi Varka tanpa harus bertarung lebih banyak lagi.

“Jangan memaksakan dirimu, Columbine.”

“Kekasihku sudah mati, aku harus menyusulnya ke neraka,”

Varka menghunuskan pedang besarnya lalu meletakkan senjata itu ke tanah. Senyumnya masih menghiasi wajah pemimpin Knight of Favonius tersebut.

“Masih ada yang mau menyusul ke neraka?” ujar Varka sinis.

Saat Pierro dan Columbine yang masih berdebat menoleh ke arah Varka, pria bertubuh kekar itu tiba-tiba sudah ada di depan matanya dengan dua tangan yang mencengkram kepala mereka satu persatu.

“INI KARENA SUDAH MEMBUNUH ANAKKU!”

“DAN INI KARENA AKU SELALU MENCINTAIMU, MARIA!”

Dengan kekuatan yang sangat besar, Varka kembali menguburkan dua kepala Harbingers ke dalam tanah, kini tubuh Pierro dan Columbine lah yang menjulang ke atas, sementara kepalanya sudah terbenam karena Varka.

Belum sampai di sana, Varka berjalan dengan santai mengambil senjatanya dan kembali ke arah Pierro dan Columbine.

“Ternyata kalian belum kehabisan nafas, ya?”

Pierro masih memberontak keluar walaupun kepalanya masih tertanam di dalam tanah, sementara Columbine sudah tidak bergerak sama sekali.

Varka menancapkan pedangnya di antara tubuh Pierro dan Columbine hingga menciptakan getaran yang sangat besar di dalam tanah. Getaran tersebut sukses mengubrak-abrik seluruh tatanan tulang mereka hingga pecah tak bersisa, kini tubuh Pierro dan Columbine sudah seperti balon yang pecah.

Darah bertebaran di mana-mana, dengan tatapan kosong Varka mengambil kembali pedang itu meletakkan di punggungnya.

“Kok nyangkut?”

Ternyata selama ini Varka tidak menyadari bahwa pedang tadi masih tertancap di perutnya, kekuatan pria itu memang sudah di luar batas wajar. Ia hanya bisa tertawa melihat pedang yang baru saja ia lepas dari perutnya tersebut.

“Bagaimana aku bisa meninggalkanmu di saat kondisimu seburuk ini?” gumam Varka pelan.

Ia pun tak begitu paham dalam dunia medis untuk mengobati Signora yang sudah terluka parah.

“Biarkan saja aku, kembalilah ke Natlan, selamatkan Teyvat,” ujar Signora lirih.

Varka terkejut melihat Signora yang masih sadar walaupun lukanya sudah terbuka lebar seperti itu.

“Kau yakin? Aku tidak tega—”

“PERGI! KAU TIDAK PERLU MENGASIHANIKU! KELUARGAKU SUDAH BERBUAT BANYAK KESALAHAN DAN KAU MASIH MAU MEMBANTUKU?!”

Varka tersenyum tipis setelah dibentak dengan keras oleh La Signora, pria bertubuh besar itu kembali mengangkat tubuh Signora dan membawanya pergi menjauh dari Natlan walaupun Signora terus memberontak sambil meringis kesakitan.

“Aku tak peduli apakah kau Harbingers atau tidak, yang aku pedulikan adalah baik buruknya seorang manusia,”

**

Zhongli, Xiao dan Cyno tiba di Natlan. Suasana negeri api itu sudah tak terkondisikan lagi, sudah banyak pasukan yang berjatuhan entah itu akibat ulah dari Iansan maupun memang mati karena perang.

Scaramouche dan Kaeya sudah terpojokkan oleh si kembar Sandrone-Pantalone, tubuhnya sudah tak bisa digerakkan lagi karena sudah diserang dengan brutal oleh pembunuh berdarah dingin tersebut.

Sandrone terus melemparkan senyumnya ke arah Kaeya yang sudah tak lagi memiliki kekuatan untuk bangkit.

“Ternyata kemampuan perang Knight of Favonius jauh lebih lemah dari seorang Harbingers,” ledek Sandrone sambil bercanda.

“Aku tak pernah mau membunuh adik kandungku sendiri, tetapi kau yang sudah mengkhianati keluarga kita, Scaramouche.” ujar Pantalone yang sudah berada tepat di depan lelaki bersurai ungu itu.

Scaramouche meludahi wajah Pantalone, namun air liurnya justru diserap habis oleh pria tak berakal itu.

Aura yang dipancarkan Pantalone terus menekan tubuh Scaramouche, ia benar-benar sudah membeku karena rasa takutnya berhasil menghancurkan mentalnya.

Dari sisi kirinya Xiao melesat dengan tombak sakti milik Zhongli untuk menyerang Pantalone yang hampir saja membunuh Scaramouche.

“Woah! Santai, Boy!”

Begitu juga dengan Cyno, ia juga sudah berhasil menjatuhkan Sandrone yang tak sadar dengan hawa keberadaannya.

Cyno duduk di atas dada Sandrone dan mencabik-cabik wajahnya hingga darah di kepalanya menyebur dengan deras. Sandrone dan Pantalone tidak bisa dikalahkan jika mereka sedang fokus, satu-satunya cara untuk mengalahkan mereka adalah di saat mereka lengah.

“SANDRONE?!” pekik Pantalone lantang.

Melihat wajah Sandrone sudah tinggal tengkoraknya saja membuat pria itu merinding ketakutan, Cyno menoleh ke arahnya dengan tatapan tajamnya.

“Ja-jangan,”

Cyno bangkit dari tubuh Pantalone, wajahnya sudah memerah karena tersulut emosi. Ia tidak bisa lagi kalah oleh siapa pun, karena harga dirinya sudah habis diinjak-injak usai kekalahannya di Teapod.

“JANGAN! JANG—”

SLASH

Dua kaki Sandrone lepas dari tempatnya, pria itu terjatuh karena lengah dari serangan mendadak Xiao.

“Kali ini kami tidak akan kalah lagi!” seru Xiao dan Cyno bersamaan.

Sandrone histeris melihat kedua kakinya sudah tergeletak di tanah, ia terus meminta ampun kepada Xiao dan Cyno agar memaafkan seluruh perbuatannya.

“Masih banyak yang harus kulakukan selain mengampunimu,” ujar Xiao dengan suara beratnya.

“SEMUANYA! MENJAUH DARI NATLAN!” seru Ayato yang sedang berlari dari tengah medan pertempuran.

Kusanali dan Murata sedang bertarung dengan kemampuan terbaiknya, kedua Celestia itu saling serang demi mempertahankan nama baik wilayahnya.

Namun Murata tak terlihat kesulitan karena semua serangan Kusanali dapat dengan mudah ditangkis olehnya.

“Wow, kau meminta bantuan Pahlawan dari Teyvat untuk menjatuhkanku?”

Zhongli berdiri tepat di samping Kusanali, netranya terlihat menakutkan bagi Murata. Ia kembali terngiang oleh kekalahannya di masa lalu, sosok Zhongli masih terlihat mengerikan di matanya.

“Kenapa, Murata? Kami sudah datang bertandang ke sini untuk mengalahkanmu, tetapi kenapa kau malah terlihat ketakutan?”

Lamunan Murata hancur ketika ia ingat bahwa di sini adalah wilayahnya, ia memiliki kekuatan lebih dari yang lain karena hanya di tempatnya lah Murata berkuasa.

“Dulu kau sempat mengalahkanku, Zhongli. Tapi kali ini kau tidak bisa lagi lari dariku,”

Seluruh pasukan yang masih selamat sibuk melarikan diri dari Natlan, getaran yang terjadi di wilayah itu lebih besar dari biasanya. Murata menghentakkan kakinya hingga membuat salah satu gunung berapi di sana memuntahkan lava panas dari dalam perut gunung tersebut.

Lava yang mendidih itu mengarah ke Zhongli, namun berhasil ditahan oleh pohon yang tiba-tiba muncul dari tanah karena kekuatan Kusanali.

“Terima kasih,”

Zhongli langsung berlari ke arah Murata dan menyerangnya dengan tangan kosong, kelemahan Murata adalah serangan jarak dekat, ia kesulitan menangkis serangan Zhongli yang memukulnya bertubi-tubi.

“BERENGSEK!” teriak Murata lantang.

Dua gunung berapi mulai memuntahkan lavanya, kini Natlan sudah dibanjiri oleh lava panas yang terus mengalir dari mulut gunung tersebut.

Kusanali terdiam menatap erupsi yang terjadi di langit, melupakan fakta bahwa hujan lava berada tepat di depan matanya. Tubuh Kusanali terbakar habis oleh mineral panas itu hingga menyisakan setengah badannya saja.

Melihat tubuh sang kakak terjatuh ke tanah membuat Cyno memberontak berlari menuju Kusanali. Namun sayang, ia tidak bisa menahan kekuatan pasukan yang membawanya pergi menjauh dari Natlan, Cyno hanya bisa berteriak histeris sambil menyaksikan kematian Kusanali tanpa melakukan apa-apa.

“Tidak ada yang bisa mengalahkanku sekarang,”

Tubuh Zhongli tidak seimbang karena getaran yang terjadi dari bawah tanah, melihat kesempatan ini membuat Murata tersenyum lebar sambil mengarahkan tinjunya ke wajah Zhongli.

BOOM

“ZHONGLI!!!”

-to be continued

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 14 (Perang Archon Bagian Ketiga) trigger: blood, character deaths

Natlan adalah tempat kedua yang menjadi medan tempur pada Perang Archon kedua, kini wilayah dengan jumlah gunung aktif terbanyak di Teyvat itu dibanjiri oleh manusia yang sedang bertarung mati-matian baik itu untuk menjaga bumi ini atau pun malah menghancurkannya.

Knight of Favonius melawan seluruh bawahan Il Dottore dari The Underworlds, sementara para pemimpinnya secara tidak sengaja sudah berada di depan lawan mereka masing-masing, seperti sudah ditentukan siapa yang harus melawan siapa.

Murata masih duduk di singgasananya, sementara Iansan anaknya masih berlari-lari di sekitar tempat ibunya duduk. Hebohnya perangai Iansan jelas tak menguntungkan kedua belah pihak, ia terus menciptakan gempa kecil di setiap hentakan kakinya. Mereka harus menjaga keseimbangan agar tidak jatuh dan kalah begitu saja akibat anak dari Celestia tersebut.

Varka berhasil mengalahkan puluhan The Underworlds dalam sekali serangan menggunakan pedang besarnya sebelum berhadapan dengan Pulcinella, Arlecchino dan Pierro.

“Adil gak ini? Tiga orang melawanku sendiri,” ledek Varka dengan senyum sinisnya.

Pierro masih tak berhenti tersenyum setelah mengetahui bahwa Varka adalah ayah dari Jean. Varka menatapnya aneh karena lelaki berbadan bungkuk itu menatapnya penuh gairah.

“Asal kau tahu, Anak Muda. Aku masih mencintai mendiang istriku dan tidak ada sedikit pun niat untuk mencintai orang lain,”

“Dan asal kau tahu, Orang Tua. Aku adalah orang yang berhasil membunuh anakmu dengan pedang suaminya sendiri,”

Mendengar hal itu justru membuat senyum Varka semakin lebar, ia genggam erat pedang yang masih tertancap di tanah itu dan mengangkatnya hingga membuat debu dari tanah Natlan mengganggu penglihatan mereka.

Walaupun berbadan besar tak membuat Varka kehilangan kecepatannya, senjatanya yang terlihat berat melayang begitu saja di udara lalu disusul olehnya. Varka dengan kekuatan penuh menyerang Pulcinella, Arlecchino dan Pierro dari udara.

Tiga Harbingers tersebut dapat dengan mudah menghindari serangan dari Varka, namun getaran yang disebabkan oleh pedang besar miliknya ikut menghentakkan bumi dan kekuatannya tak kalah dengan Iansan.

Banyak pasukan yang telah gugur akibat dari gempa bumi, seolah hanya Iansanlah yang berhasil mengalahkan mereka hanya dengan hentakan kakinya.

“Sepertinya memang harus kukalahkan kalian semua sekaligus,” ujar Varka dengan suara berat.

Pulcinella menyerang Varka lebih dulu, ia menggunakan tombak dan menusuk pria itu setelah tubuhnya ikut berputar dengan cepat bersama senjatanya.

Serangan Pulcinella berhasil ditangkis dengan mudah oleh Varka, namun serangannya tak hanya sampai di sana. Di sisi lain, Pierro dan Arlecchino menyerangnya dari sisi yang berbeda.

“MATI KAU!”

SLASH

Serangan Pierro dan Arlecchino justru menjadi bumerang bagi mereka sendiri, kekuatan dari pedang milik Varka bukanlah tandingan dari senjata mereka. Pedang besarnya memiliki kekuatan magis yang diberikan oleh Lord Waldes sebelum ia gugur saat peperangan.

Luka Pierro kembali terbuka, melihat darah yang keluar dari tubuhnya membuat lelaki itu menjerit histeris karena rasa sakit yang baru ia sadari. Arlecchino masih terus menyerang Varka dengan ganas, tak ada sedikit pun serangannya berhasil masuk ke Varka, pria bertubuh besar itu masih tak tergores sedikit pun.

“Segini saja?!”

SLASH

Satu tebasan itu tepat mengenai dada Arlecchino, ia langsung terjatuh dan tak sadarkan diri.

“Co-Colum—”

Belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, kepala Arlecchino sudah habis dipijak oleh Pierro karena masih menyimpan dendamnya.

“SEKARANG KAU PAKAI OTAK KECILMU ITU UNTUK BERPIKIR KALAU ITU ADALAH ISTRIKU, TOLOL!”

Arlecchino sudah tak lagi bersuara, kepalanya bahkan sudah tak terbentuk lagi karena berulang kali dipijak dengan sepatu boot milik Pierro.

Varka menyeringai melihat keganasan Pierro bahkan kepada saudaranya sendiri, namun ia tak sadar bahwa Pulcinella sudah ada di belakangnya sejak tadi.

SLASH

Varka melihat sendiri pedang yang tembus dari perutnya, serangan mendadak Pulcinella benar-benar tak disadari olehnya.

“Dalam perang, kau bebas melakukan apa pun agar menang, Varka.” ujar Pulcinella sinis.

Varka tersenyum, ia menoleh ke arah Pulcinella yang sudah merasa kemenangan ada di pihaknya.

“Dalam perang, kau harus mengetahui dulu seberapa besar kekuatan musuhmu,” ujar Varka yang dengan cepat berbalik arah dan menerkam kepala Pulcinella yang besarnya jauh lebih kecil dari tangan Varka.

Pria bersurai pirang itu mengangkat kepala Pulcinella dan menghempasnya ke tanah, kepalanya terkubur jauh ke dalam tanah karena kekuatannya Varka.

Setelah urusannya selesai dengan Pulcinella, Varka berbalik ke arah Pierro masih masih ganas memijak tengkorak Arlecchino yang sudah cair. Cipratan darah yang mengenai tubuhnya tak lagi dihiraukan karena dendamnya jauh lebih besar dari rasa sakitnya.

“Hey,”

Pierro menoleh ke arah Varka dengan pedang yang masih tertancap di punggungnya. Lelaki itu bergidik saat melihat Varka yang mulai tersenyum ke arahnya.

I always saving the best for the last,”

Varka berlari sambil mengayunkan pedang besarnya ke arah Pierro yang sudah tak lagi berkutik. Namun dari sisi kanannya terdapat dua bayangan hitam ikut menyerang Pierro dengan cepat.

SLASH

Varka menghentikan langkahnya dan mendapati Columbine yang berusaha menyerang Pierro namun diselamatkan oleh Signora.

“KENAPA KAU BUNUH KEKASIHKU?!” sentak Columbine penuh emosi.

Signora masih berusaha sekuat tenaganya untuk menahan pedang milik Columbine, matanya memerah dengan darah yang sudah bercucuran membasahi wajahnya. Perempuan itu sadar bahwa Arlecchino mati saat bertarung dengan Signora, namun dengan cepat ia menyusul kekasihnya tetapi kecepatan Signora tak kalah dari Columbine.

“Lawanmu bukan Pierro, Columbine!”

Signora menyapua kaki Columbine hingga terjatuh, namun saat ia akan menusuk kepala Columbine dengan pedangnya, Pierro ikut menyerang Signora dari belakang.

SLASH

Reflek Signora berhasil membuat tangannya menangkis Pierro dari belakang, namun di saat yang bersamaan tubuhnya sudah tembus oleh pedang milik Columbine.

Ah... ternyata begini caraku mati, ujar Signora dalam hatinya.

Varka kembali menyerang Pierro dan Columbine dan membawa lari Signora sebelum ia benar-benar tak bisa diselamatkan lagi.

“Ke-kenapa—”

“Diam dan jangan bergerak, kau sudah kehabisan darah,”

Dengan cepat Varka berlari keluar dari Natlan, namun Pierro dan Columbine ikut mengejarnya karena memang bertempuran mereka belum selesai sampai di sana.

Scaramouche yang sadar bahwa Signora sudah terluka parah ikut berlari menyusulnya, tetapi tepat di hadapannya sudah ada Pantalone yang berdiri tegap dengan senyum beringasnya.

“Adik bungsuku ternyata seorang pengkhianat,” ujar Pantalone datar.

Scaramouche tersenyum tipis, selama kepergiannya dari rumah Harbingers di Teapod ia melatih dirinya agar bisa bertarung setelah kekalahannya dengan preman yang berhasil membuatnya babak belur di masa lalu. Kini ia bukanlah anak cengeng seperti yang orang lain kenal.

“Kau tahu apa tentang pengkhianatan,” balas Scaramouche tersenyum.

“Anak bungsu itu tak pernah diharapkan oleh keluarga, ya, kan?”

Sandrone berdiri tepat di samping Pantalone, kini keduanya sudah benar-benar haus akan darah musuhnya siapa pun itu, tak peduli bahwa mereka memiliki darah yang sama, siapa pun yang berada di depannnya harus dikalahkan.

“Oy! Kenapa gak imbang gini? Dua lawan satu? Yang benar saja,” ujar Kaeya dingin.

Sandrone dan Pantalone sudah berhadapan dengan Kaeya dan Scaramouche. Mereka sama-sama ingin menyusul Varka dan Signora, namun masih terhalang oleh dua saudara kembar yang selalu melengkapi ini.

“Tujuan kita sama, jangan jadi beban,” ujar Scaramouche kesal.

“Seharusnya aku yang bilang itu,” balas Kaeya bercanda.

Sandrone dan Pantalone melesat cepat ke arahnya, serangan demi serangan terus terjadi, kekuatan mereka seimbang dan belum diketahui siapa yang akan memenangkan pertarungan ini.

**

“Kau benar-benar tak tahu kapan harus menyerah, ya?” ujar Ayato kepada Childe.

Lagi-lagi pria bersurai oranye itu bertekuk lutut di depan Ayato yang masih tegak berdiri di depannya.

“Kau—”

“Sudahlah, tak ada lagi gunanya bersuara,”

SLASH

SLASH

SLASH

SLASH

SLASH

“Aku pernah mendengar cerita bahwa lelaki hidung belang di Mondstadt mengalami kecelakaan hingga bersisa kepala dan badannya saja,”

Childe sudah tak lagi bergerak, walaupun ia masih mendengar seluruh ucapan Ayato, tubuhnya sudah terpisah karena dipotong oleh Ayato.

“Dan dia mati mengenaskan di depan istri dan anaknya,”

“Aku tak mau ada cerita lelaki hidung belang dari Snezhnaya di kemudian hari, maka dari itu aku harus menyelesaikan hidupnya hari ini sebelum semuanya terlambat,”

SLASH

Kepala Childe melayang di udara, kini Ayato benar-benar sudah mengalahkannya dengan telak. Melihat kepala lelaki bersurai oranye itu menggelinding mendekat ke arahnya membuat senyum Ayato merekah.

Kekasihmu sudah mati, Lumine. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menceritakan seluruh perjalananku kepadamu saat aku pulang dari Natlan,

**

Zhongli tiba di Sumeru bersama Tsaritsa, Lumine dan Kokomi. Di sana sudah ada Dainsleif yang sedang menunggui Aether dan Shenhe di rumah sakit. Melihat anaknya terluka parah membuat air mata Tsaritsa kembali mengalir untuk kesekian kalinya.

“Abang...” ujar Lumine lirih.

Gadis bersurai pirang itu terus menyisir rambut abangnya yang terus terjatuh, Aether masih belum sadarkan diri, berbeda dengan Shenhe yang langsung terbangun saat Dainsleif membuka pintu ruang rawatnya.

“Terima kasih, Zhongli.”

Zhongli hanya membalas ucapan Dainsleif dengan senyuman, ia tak banyak berbicara setelahnya. Beberapa saat kemudian, pria berusia 55 tahun itu pamit dengan Tsaritsa dan melanjutkan perjalanannya menuju Natlan.

“Saya pergi, Tsaritsa.” ujar Zhongli dengan suara berat.

Selama perjalanan keluar dari Sumeru, ia berpapasan dengan Xiao dan Cyno yang sedang terengah-engah karena perjalanan panjangnya dari Teapod menuju Sumeru.

“Alatus, Cyno, kenapa kalian di sini?”

Xiao menyeka keringat dengan tangan kirinya, lalu memberikan tombak sakti milik Madame Ping kepada ayahnya.

“Aku tak bisa menggunakan ini dengan mudah, Yah.”

Zhongli tersenyum saat melihat topeng peninggalan Itto yang tersangkut di baju Xiao. Ia menepuk lembut bahu Xiao dan Cyno dan mengajaknya ikut berangkat menuju Natlan.

“Alatus, kamu sudah mewarisi kekuatan saya dan Itto. Kamu sudah lebih kuat dari semua orang yang ada di Teyvat,”

Mendengar ucapan Zhongli tak membuat Xiao merasa tenang, kini pundaknya terasa berat karena beban yang diberikan oleh Zhongli kepadanya.

“Xiao, percaya sama ayahmu,” ujar Cyno memecahkan lamunannya.

“Kau punya janji dengan kekasihmu, dan satu-satunya cara untuk menepatinya adalah dengan memenangkan pertarungan ini,” lanjut Cyno tegas.

Xiao kembali teringat dengan kekasihnya, Xiangling. Ia sudah berjanji akan menikahinya setelah semua urusannya selesai, rasa tidak percaya dirinya kadang terus menghantui Xiao sampai ia tak bisa bergerak karena ketakutan. Keberadaan Zhongli dan dorongan dari Cyno berhasil membuat lelaki bersurai hijau itu membangkitkan semangatnya.

“Maafkan aku, Yah.”

Maafkan aku, Xiangling. Maafkan aku karena sempat ragu dengan kekuatanku sendiri, aku berjanji akan pulang. Pegang janjiku baik-baik,

**

Ganyu membuka matanya perlahan, gempa yang disebabkan oleh Murata sudah berhasil menghancurkan hampir seluruh wilayah Liyue. Ia tak menggerakkan tubuhnya karena tersangkut oleh reruntuhan bangunan.

“Guoba?”

Boneka beruang milik Xiangling sudah terbelah menjadi dua, boneka itu sudah bermandikan darah. Setelah melihat sekelilingnya Ganyu tak mendapati tubuh kekasih adiknya itu di mana pun.

Xiangling?! Kamu di mana?!

Ganyu benar-benar tak bisa lepas dari reruntuhan tadi, satu-satunya cara untuk lepas adalah dengan memenggal kedua kakinya agar dapat mencari Xiangling yang menghilang begitu saja.

Seharusnya dia tidak jauh dari—

Pita rambut Xiangling jatuh di samping Ganyu, saat gadis itu mendongak ke atas ia sudah mendapati Xiangling terhimpit oleh dua beton yang meremukkan seluruh tubuhnya.

Xiangling mati dalam keadaan tersenyum saat sedang memegang foto kelulusannya dari akademi memasak bersama Xiao dan Chef Mao 3 tahun yang lalu.

“XIANGLING!!!” pekik Ganyu histeris.

“TOLONG!!!”

“SIAPA PUN! TOLONG KAMI!”

**

Enkanomiya terlihat sepi, itu karena semuanya berhasil dikalahkan oleh Il Dottore seorang diri. Pria bersurai biru muda itu tersenyum melihat Beidou, Ayaka dan Gorou yang sudah tak sadarkan diri.

“Tolol,”

“Semua ini? Kalah? Begitu saja?”

Ia melanjutkan perjalanannya ke Sumeru setelah mendapatkan informasi dari salah satu pasukan Sangonomiya yang membocorkan lokasi Kokomi dan lainnya, namun Il Dottore tetap membunuhnya karena keinginannya sudah tercapai.

Il Dottore tak berhenti tersenyum selama perjalanannya keluar dari Enkanomiya.

“Ah... terima kasih diriku yang lain,” gumam Il Dottore pelan.

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 13 (Perang Archon Bagian Kedua)

Perjalanan panjangnya menuju Enkanomiya menemui titik akhir, Zhongli tiba di wilayah Klan Sangonomiya dengan selamat tanpa hambatan. Melihat banyaknya pasukan yang terluka pasca perang di Inazuma tak membuat pria itu bergidik atau pun iba.

Zhongli terus menyusuri Enkanomiya hingga dia menemukan orang yang dicari selama ini, yaitu Tsaritsa.

“Anda siapa?! Seenaknya masuk ke wilayah kami!”

“Kau bukan bagian dari Sangonomiya!”

“ENYAH KAU DARI SINI!”

“PAHLAWAN TEYVAT AKHIRNYA KEMBALI MEMBAWA PETAKA!”

Semua ocehan dan makian itu tak digubris oleh Zhongli, ia pun kerap dilempari batu dan sampah selama pencarian Tsaritsa.

“Ternyata benar kau memang masih hidup,” ujar Zhongli.

Di depannya, ada Tsaritsa dan Lumine yang sedang duduk di depan rumahnya. Ayahnya Kokomi sengaja membangun rumah ini agar Tsaritsa tidak bisa ke mana-mana lagi setelah membuat replika dirinya dan meletakkannya di banyak tempat. Percaya bahwa Tsaritsa masih mencintainya membuat pria itu rela melakukan apa saja demi Tsaritsa, dan memaksa Kokomi untuk pura-pura bodoh selama bertahun-tahun karena harus menutup mulut kepada siapa pun perihal hidupnya Tsaritsa di Enkanomiya.

“Zhongli,” ujar Tsaritsa lembut.

Melihat senyum yang terpancar dari wajah Tsaritsa membuat Zhongli heran, selama ia bertemu Tsaritsa bertahun-tahun belum pernah ia bertemu dengan sosok yang ia temui saat ini.

“Apakah perang membuatmu bertaubat, Tsaritsa?” tanya Zhongli heran.

Tsaritsa menggelengkan kepalanya, ia terlihat sedang menggenggam tangan Lumine dan menopang kepala anaknya yang sedang tertidur di pundaknya.

“Aku tak pernah membuat peperangan,” ujar Tsaritsa sama lembutnya sejak tadi.

Perempuan itu mempersilakan Zhongli untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh bawahan Kokomi. Walaupun masih banyak mata yang memandang ke arah mereka, namun dengan secepat kilat mengalihkan pandangannya di saat Tsaritsa menatap mereka tajam.

Zhongli duduk di kursi itu dan meletakkan tangannya di atas meja, ia terus berpikir kemungkinan apa saja yang terjadi saat pria itu melihat Tsaritsa masih hidup.

“Kalau kau tak pernah berperang, lalu siapa yang saya bunuh selama ini?”

Tsaritsa menundukkan kepalanya, terlihat air matanya berlinang saat memikirkan masa lalu. Saat perempuan itu sudah sedikit kuat untuk buka suara, ia kembali menatap netra milik Zhongli.

“Saat kau 'membunuhku', aku tidak ada di sana sejak awal. Dan Tsaritsa yang dimaksud semua orang adalah pengkhianat yang memanfaatkan tugasnya sebagai replika diriku,” jawab Tsaritsa lirih.

“Ini semua salahku, aku sengaja membuat replika diriku dari berbagai orang yang mirip denganku di setiap wilayah Teyvat dan meninggalkan mereka di sana, termasuk Snezhnaya. Namun dengan mudah pula mereka semua terbunuh oleh Harbingers, khususnya Il Dottore dan Pierro. Mereka mencari dan membunuhku atas arahan Pulcinella yang mengetahui bahwa diriku memiliki banyak versi, karena anehnya setiap versiku memiliki ciri khas dari setiap wilayah di Teyvat, maka dari itu mereka bisa tahu kalau orang yang dibunuh bukanlah diriku yang asli,”

Zhongli bergeming, namun seluruh cerita Tsaritsa masih tak masuk di akalnya.

“Sebagai Celestia Kuno yang diketahui oleh seluruh dunia, tentu aku harus menjaga diriku apa pun caranya. Saat kematian hampir seluruh replika diriku, barulah aku sadar bahwa salah satu dari 'tubuhku' membangun kastil besar dari uang pajak masyarakat di dekat Snezhnaya, dan memaksamu untuk membuat kontrak pembunuhan para Celestia,”

“Aku tahu bahwa kau membunuhnya di kastil itu, aku tahu semuanya. Ada dua saksi kunci yang mengetahui 'tubuhku' tewas di tanganmu saat kejadian itu, dia adalah Kunikuzushi dan Tartaglia,”

“Maksudmu Scaramouche dan Childe, bukan?” potong Zhongli untuk memastikan.

Tsaritsa terlihat bingung karena belum pernah mendengar nama itu sebelumnya, namun ia berasumsi bahwa mereka adalah orang yang sama.

“Sepertinya itu nama baru mereka, ya?”

Zhongli hanya mengangguk setelah mendengar pertanyaan dari Tsaritsa.

“Mereka masih sangat kecil dan belum tahu apa-apa. Melihatku mati saat diriku yang palsu memulai peperangan pasti membuatnya dendam karena Snezhnaya adalah tempat pertama yang kau hancurkan,” lanjut Tsaritsa datar.

“Yang memulai peperangan ini sejak lama bukan diriku, karena aku sudah di Enkanomiya sejak lama, setelah aku melahirkan Kokomi, ayahnya memintaku untuk mereplika diriku agar aku tidak pergi lagi dari hadapannya,”

“Dan itu yang membuat seluruh Klan Sangonomiya tidak mau berurusan dengan kepolisian? Bukan karena kematian ayah Kokomi?” tanya Zhongli.

Tsaritsa hanya mengangguk, ia masih terisak sejak tadi. Lumine yang sebenarnya mendengarkan semua cerita ibunya terus menahan tangis dan berpura-pura tidur, begitu juga dengan Kokomi yang sejak tadi menyimak pembicaraan mereka di balik pintu rumahnya.

“Berarti sudah tidak ada lagi replika dirimu? Dan kau adalah Tsaritsa yang asli?”

Tsaritsa hanya mengangguk sambil menyeka air matanya dan mengelap tetesan air matanya yang jatuh ke pipi Lumine.

“Aku tidak boleh mati, Zhongli.”

“Kalau aku mati, anak-anakku pasti mati,” lanjut Tsaritsa lirih.

Zhongli tersenyum tipis mendengar perkataan Tsaritsa, “Sebegitu besarnya cintamu pada anak-anakmu hingga kau menghancurkan dunia ini, Tsaritsa?”

“Aku akan melakukan apa pun agar anakku bisa bertahan hidup,”

Zhongli berdeham dan memejamkan matanya. Tsaritsa terdengar tulus saat menceritakan semua itu.

“Kau tahu? Saya pasti akan melakukan hal yang sama denganmu,” ujar Zhongli dengan suara beratnya.

“Tapi ceritakan yang sebenarnya tentang Celestia Kuno agar saya bisa membantumu,” lanjut Zhongli.

“Baiklah,”

“Orang yang kau bunuh sebenarnya tidak pernah mati,”

“Maksudku, yang kau bunuh di kastil itu adalah hologram yang dibuat oleh Baizhu untuk mengelabuimu,”

“Baizhu dan Harbingers sudah bekerja sama sejak lama, dokter itu berhasil membuat hologram pertamanya sehingga—”

“Saya pikir memang Celestia Kuno terlalu istimewa, karena saat saya membunuhmu, jasad palsumu tidak mengeluarkan darah sedikit pun,” potong Zhongli dengan nada kesal.

Tsaritsa terkejut saat Zhongli memotong pembicaraannya, ia tak tahu akan hal itu.

“Lantas, siapa yang sebenarnya pengkhianat yang kau maksud?” tanya Zhongli.

“Orang itu bernama Columbine,”

“Baizhu membuat hologram diriku yang palsu menggunakan tubuh Columbine karena dia adalah replika diriku dari Snezhnaya,”

“Saya tak pernah mendengar namanya,” ujar Zhongli bingung.

“Ya, karena dia adalah istri dari salah satu anggota keluarga Harbingers,”

Zhongli kembali berdaham, mendengar seluruh cerita Tsaritsa membuatnya semakin panas. Darah yang ada di kepalanya memang sudah mendidih sejak tadi, namun ia kini ikut merasa bersalah karena selama ini patuh kepada orang yang salah.

“Berarti, saya bukanlah Archon karena yang mengangkat saya adalah dirimu yang palsu,” kini suara Zhongli pun ikut terdengar lirih.

“Tetapi kau tetap pahlawan di mata semua orang, Zhongli.”

“Ada satu pertanyaan lagi untukmu,” ujar Zhongli dengan suara berat.

“Apa itu?”

“Kau bilang tadi, kalau kau mati maka anak-anakmu juga akan mati, apakah itu benar?”

Tsaritsa hanya membalas pertanyaan Zhongli dengan anggukan pelan.

“Tenang saja, tidak akan ada kiamat yang datang atas murkanya Tuhan kalau pun kami semua mati,” canda Tsaritsa memecahkan suasana.

Zhongli berdiri dari duduknya, lalu mengajak Tsaritsa, Lumine dan Kokomi untuk pergi menuju Sumeru.

“Di sana akan lebih aman, kita gunakan cara yang sama,”

“Tinggalkan replikamu serta anak-anakmu di sini,”

Tsaritsa menyanggupi arahan dari Zhongli, beberapa saat setelah Tsaritsa menjelaskan rencananya kepada seluruh Klan Sangonomiya mereka pergi meninggalkan Enkanomiya untuk berangkat menuju Sumeru.

Ayaka, Beidou dan Gorou yang akan menjadi replika dari Tsaritsa, Lumine dan Kokomi. Walaupun Gorou tidak terima dengan perintah Tsaritsa, lelaki itu langsung disadarkan oleh Beidou dengan jitakan keras ke kepalanya.

“Ikutin aja kenapa?!” sentak Beidou yang hampir membuat Gorou menangis.

“Masa harus pakai wig?! Dan kenapa harus Adek, Yah?!” rengek Gorou kepada Zhongli.

Zhongli hanya tersenyum mendengar rengekan dari si bungsu, ia mengelus lembut pucuk kepala Gorou lalu memeluknya dengan erat.

Gorou meneteskan air matanya saat dipeluk oleh Zhongli, ia belum pernah merasakan hal ini sebelumnya, namun pikiran negatifnya selalu menghantui setelah Zhongli pamit pergi meninggalkannya menuju Sumeru.

Lumine terus menggandeng lengan Kokomi, ia benar-benar tidak siap untuk pergi dari Enkanomiya.

“Kita akan baik-baik saja, Sayang.” ujar Tsaritsa lembut.

Lumine tersenyum tipis, walaupun ucapan sang ibu begitu menenangkan, namun hatinya tetap khawatir karena bertahan hidup tidak semudah itu.

**

“Akhirnya aku menemuimu,”

Cuaca di Mondstadt seketika berubah saat Raiden Ei bertandang ke sana, walaupun Varka dan Knight of Favonius telah berangkat ke Natlan, Raiden Ei kembali untuk menjemput Fischl yang merupakan salah satu dari Celestia.

“Ra-Raiden Shogun?!” sentak Fischl terkejut.

Raiden Ei mengulurkan tangannya kepada Fischl, seperti tersihir oleh kekuatan magis darinya membuat Fischl memberikan tangannya kepada Raiden Ei.

“Kita harus menghentikan peperangan ini,” ujar Raiden Ei tegas.

“Tapi aku tidak memiliki kemampuan untuk bertarung,” balas Fischl yang sudah mulai terisak karena ketakutan.

“Kau bisa membantuku untuk memulai peperangan dengan menggunakan kekuatanmu,”

Kekuatanku? Apa kekuatanku? ujar Fischl dalam hati. “Kekuatanku? Apa kekuatanku?” suara yang sama ikut terdengar oleh Raiden Ei dan sontak membuatnya tersenyum.

“Kau bisa memanipulasi suara, semua suara hatimu terdengar olehku,” jawab Raiden Ei yang justru membuat Fischl kaget setelah mengetahui kekuatan dirinya yang sebenarnya.

Fischl mengangguk ragu, “Kalau memang itu yang bisa kulakukan, aku akan usahakan sebisa mungkin,”

“Apa pun resikonya?”

“Ya, apa pun resikonya,” ujar Fischl mulai yakin.

Raiden Ei dan Fischl berjalan menuju pusat kota Mondstadt yang sudah habis dibanjiri air hujan. Raiden Ei mengarahkan seluruh petirnya menuju Fischl sementara gadis bersurai pirang itu berbicara dari dalam hatinya sesuai arahan dari Raiden Ei.

KALAU MEMANG PEPERANGAN HARUS DILAKUKAN UNTUK MENGHENTIKAN DUNIA INI DARI KEKACAUAN, AKAN KUBUAT KIAMAT YANG BESAR UNTUK MENGHANCURKAN DUNIA INI SEBELUM KAU MENGHANCURKANNYA, MURATA!

Suara itu disertai oleh petir yang sangat kuat dan menyebar ke seluruh Teyvat, semua orang dapat mendengar semua yang dikatakan oleh Fischl. Mondstadt yang terbang tak bisa membendung kekuatan dari Raiden Ei dan Fischl, perlahan tanah-tanah di sana mulai retak dan hancur seketika. Seluruh warga Mondstadt lari tunggang langgang menyelamatkan dirinya, namun semuanya terlambat.

Murata yang mendengarkan hal itu di kandangnya ikut tersenyum bersama Iansan, namun antusiasnya semakin meningkat ketika Varka dan Knight of Favonius tiba di Natlan.

“HENTIKAN PEPERANGAN INI, CELESTIA!” seru Varka lantang.

Dari bawah tanah, muncul dahan pohon besar berisi ribuan pasukan Sumeru yang dipimpin oleh Kusanali.

“Aku mewakili Faksi Anti Perang akan membantumu, Varka.” ujar Kusanali tegas.

Varka tersenyum melihat pasukan Kusanali yang tak kalah banyak dengan pasukannya.

Murata dan Iansan yang masih duduk di singgasananya hanya bisa tertawa melihat ribuan orang yang tiba-tiba datang dalam waktu yang sama.

“Tenang saja, kau tak perlu turun tangan untuk membunuh seluruh manusia hina ini, Murata.”

Pulcinella dan Arlecchino mulai menampakkan dirinya di sisi Murata, dua orang penting di Harbingers kini tiba membantu Murata dengan pasukan dari Underworlds milik Il Dottore di belakangnya.

“Bagus, karena lawanku adalah Kusanali dan Raiden Shogun,” ujar Murata dengan suara beratnya.

Iansan melompat dari pangkuan ibunya, wajahnya memerah karena terbakar oleh semangat dari dalam dirinya. Seketika gempa mulai muncul sesaat setelah kakinya memijak bumi.

“Ini kenapa bocah malah ikutan?” tanya Sandrone yang baru saja tiba.

“Jadi gempa ini disebabkan oleh ibu anak? Gila!” ujar Pantalone kagum dengan kekuatan Murata dan Iansan.

Columbine pun menyusul di belakang Sandrone dan Pantalone walaupun saat ini mereka masih dalam kondisi terluka pasca perang di Inazuma.

“Aku tak mau saudaraku bersenang-senang tanpaku!”

Childe tiba di Natlan dengan tangan prototip buatan Baizhu yang masih dipakainya dengan paksa.

“Ha-ha-ha! Kau masih berengsek walaupun hanya bertangan satu, Tartaglia!” ujar Pulcinella kegirangan melihat wajah adiknya.

Dari sisi Faksi Anti Perang dan Knight of Favonius, muncul dua orang yang sebenarnya bertolak belakang dengan peperangan ini.

“Izinkan aku ikut bergabung,” ujar Scaramouche yang baru saja tiba di Natlan bersama Ayato.

Kamisato Ayato berdiri di samping Varka, ia hanya mengisyaratkan kepada pria itu bahwa Scaramouche ada di pihak mereka.

“Aku selalu percaya pada Tuan Muda,” canda Varka sambil menepuk bahu Ayato.

Signora pun tiba di samping Scaramouche tanpa memedulikan tatapan seluruh pasukan dari Faksi Anti Perang dan Knight of Favonius yang kebingungan karena Harbingers terlihat seperti pecah menjadi dua kubu.

“Jatahku si Columbine,” ujar Signora pelan ke Scaramouche.

Kusanali masih mencari-cari Jean yang belum juga tiba di medan perang. Hatinya penuh dengan kekhawatiran sampai akhirnya sosok yang sebenarnya tidak ia harapkan tiba di depannya dan bergabung bersama Harbingers dan Underworlds.

Pierro tiba di medan perang sambil tersenyum ke arah Kusanali, ia mengeluarkan lidahnya dan membuat air liurnya menetes deras setelah mengingat euforianya saat berhasil menipu Jean dan membunuhnya.

“Ada apa, Kusanali?” tanya Varka heran.

“Maafkan aku, Varka. Tapi Jean...”

Tatapan Varka kosong setelah mendengar jawaban dari Kusanali, ia mengarahkan pandangannya ke Pierro yang masih senyum-senyum sendiri. Pria bertubuh kekar itu menggenggam erat pedang besarnya, giginya yang bergesekan terdengar nyaring di telinga semua orang. Kini Varka bukanlah pemimpin yang mereka kenal, kematian anaknya menjadi awal mulanya Perang Archon kedua.

“DEMI TEYVAT, SERANG!

-to be continued

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 12 (Perang Archon Bagian Pertama) trigger: blood, character death

Varka tiba di pintu gerbang masuk Mondstadt, kedatangannya ditunggu oleh ribuan pasukan Knight of Favonius yang dipimpin oleh Kaeya Alberich.

“Jadi bagaimana situasi di Teyvat?” tanya Varka tersenyum.

Kaeya menundukkan kepalanya, “Natlan sudah hancur karena Murata, Pak.”

Varka mengelus jambangnya, orang yang terkenal paling riang di Mondstadt itu sudah tidak lagi menampakkan senyumnya. Seluruh pasukan KoF sedang menanti perintah dari sesepuh Mondstadt tersebut.

Pria bertubuh kekar itu menoleh ke kanan dan ke kiri, semuanya tidak berani menatap langsung matanya, walaupun Varka dikenal sebagai orang yang ramah dan tidak menyukai kekerasan namun jika ia sudah turun ke medan perang berarti dunia memang sedang tidak baik-baik saja.

“Kedatangan saya ke sini hanya untuk menemui keluarga tercinta, tetapi Tuhan berkehendak lain. Apa pun yang terjadi kita sebagai penjaga perdamaian tentu harus ikut—”

Varka berhenti berbicara lalu menoleh ke sembarang arah, awan hitam pekat yang sering dibicarakan oleh orang-orang mulai datang menuju Mondstadt namun hilang dalam sekejap mata.

“Pak, itu Celestia,” ujar Kaeya pelan.

Mendengar hal itu malah membuat Varka tertawa terbahak-bahak, ia kembali menjadi sosok yang dikenal oleh banyak orang.

“Celestia bukan urusan kita, tujuan kita ke Natlan adalah Harbingers,”

“Ada apa dengan Harbingers, Pak? Yang memulai peperangan ini adalah Mura—”

“Tahan dulu, Kaeya. Saya belum selesai berbicara,”

Kaeya bergidik, aura yang dipancarkan oleh Varka tidak dapat dibendung olehnya. Kakinya terasa lemas setelah ayah dari Jean dan Barbara itu menatapnya tajam.

“Harbingers lebih berbahaya dari Celestia. Seorang Celestia tidak akan berani memulai peperangan tanpa ada alasan yang jelas, tetapi Harbingers bisa bebas melakukan apa pun karena memang mereka tidak punya akal sehat,”

“Kamu lihat awan hitam tadi? Itu tanda bahwa Raiden Shogun sedang menuju ke Natlan, dan itu akan menjadi urusannya dengan Murata, tetapi tugas kita adalah menghentikan pergerakan Harbingers yang juga sedang menuju ke Natlan,” lanjut Varka dengan tegas.

“Apa motif mereka, Pak?”

“Mereka hanya ingin bersenang-senang,”

Varka meletakkan pedang yang besarnya melebihi tubuhnya itu di tanah, senjatanya berhasil menciptakan getaran yang hebat walaupun Mondstadt terapung di udara.

Kekuatannya sangat mengerikan! gumam Kaeya dalam hati.

Hanya dengan menancapnya pedang milik Varka di tanah berhasil membuat ratusan pasukannya bertekuk lutut karena tidak kuat menahan kekuatannya, pedang legendaris itu ia dapatkan saat sedang dalam perjalanan menuju Snezhnaya saat Perang Archon pertama.

“Pedang pemberian Lord Waldes ini akan menjadi bukti bahwa umat manusia bukanlah sosok yang lemah, dulu kita sempat kalah karena kekuatan aneh milik Celestia tapi sekarang—”

“SEKARANG KITA BISA MENANDINGINYA!” tegas Varka dengan lantang.

Seluruh pasukan KoF ikut bersorak saking semangatnya setelah pidato singkat yang diberikan oleh Varka, dengan badan yang tegap mereka berjalan menuju Natlan penuh percaya diri.

Kali ini kita tidak akan kalah lagi, Maria.

**

Jean dan Kusanali berada di barisan paling depan saat pasukan militer dari Sumeru akan berangkat menuju Natlan, walaupun masih ada keraguan di hati Jean tak membuat mentalnya hancur karena ia bersanding dengan Celestia dari Negeri Bunga Suci.

“Kita tidak akan kalah seperti dulu, Jean.” ujar Kusanali berusaha membangkitkan semangat Jean.

Perempuan bersurai pirang itu mengangguk yakin setelah mendengar ucapan Kusanali.

“Jarak kita dengan Natlan lumayan dekat dari yang lain, itu berarti kemungkinan besar kita akan melawan Murata terlebih dahulu,”

“Murata adalah lawanku, kamu dan yang lainnya bertugas untuk mencegah serangan lain yang datang kepadaku saat melawan Murata,”

“Baik, Kusanali.”

Di perbatasan Sumeru dan Natlan, ada satu orang yang sedang duduk di atas tumpukan mayat penjaga perbatas Sumeru. Ia tersenyum lebar setelah melihat pasukan milik Kusanali itu datang mendekat kepadanya.

“Akhirnya, mereka datang juga,” ujar Pierro pelan.

Kusanali menghentikan langkahnya lalu diikuti oleh seluruh pasukannya, namun tidak dengan Jean yang terus melangkah menuju Pierro.

“Jean,”

Perempuan itu menghentikan langkahnya, pedang yang sudah ia genggam erat sejak tadi basah oleh keringatnya. Jean menoleh pelan ke arah Kusanali.

“Lawanmu adalah Murata, jadi biarkan aku melawan orang ini,”

Kusanali menghela nafas panjang, netra hijau miliknya tak bisa terus menatap Jean yang sudah terlihat sangat yakin akan keputusannya.

Jean menghunuskan pedangnya dan kembali menghadap ke Pierro, “Pergilah, Kusanali. Aku akan menyusulmu ke Natlan,”

Mendengar ucapan Jean membuat Kusanali terpaksa menurutinya, ia menghentakkan kakinya sehingga mengeluarkan dahan pohon yang tiba-tiba keluar dari tanah lalu menutupi dirinya serta pasukannya.

Kusanali dan pasukannya hilang saat dahan pohon itu kembali masuk ke dalam tanah.

Pierro berjalan dengan santai ke arah Jean, melihat wajah perempuan itu malah membuat Pierro bergairah, Jean terlihat manis di matanya saat ini.

“Kau tahu? Kau mengingatkanku kepada mantan istriku,” gurau Pierro.

“Dan kau tahu? Aku tidak peduli sedikit pun dengan seluruh ucapanmu!”

Jean berlari sekuat tenaga untuk menghantam tubuh Pierro, namun dengan mudahnya pria itu menghindar dari serangan pertama yang dilayangkan oleh Jean. Dari sisi kirinya Pierro mengeluarkan pedang hitam dan membalas serangan Jean.

Kedua pedang mereka beradu, gesekan besi itu menciptakan percikan indah. Mereka seperti berdansa di tengah gurun pasir, serangan demi serangan terus menghiasi pertempuran Jean dan Pierro.

Kemampuan berpedang Jean tidak pernah diragukan oleh siapa pun bahkan Varka sendiri, ia adalah perempuan pertama dari Keluarga Gunnhildr yang berhasil masuk ke dalam akademi dan menjadi sersan di sana. Namun setelah bertemu dan dijodohkan dengan Diluc Ragnvindr, Jean memutuskan untuk kembali ke cita-cita lamanya yaitu menjadi guru.

“Boleh juga kau, Jalang!” seru Pierro yang mulai kehabisan nafas menangkis seluruh serangan kilat dari Jean.

“Tidak perlu waktu istirahat, kan?” ledek Jean dengan senyum sinisnya.

“BERENGSEK!”

Pierro menyapu kaki Jean dengan kuat sehingga perempuan itu terjatuh, pria itu dengan brutal menusuk pedangnya ke arah Jean namun seluruh serangan Pierro masih berhasil dihindari oleh Jean.

Jean bangkit dari tanah, tubuhnya penuh dengan pasir kasar khas Sumeru. Ia menyeka keringatnya dengan lengan baju kirinya.

“Ha-ha-ha! Kau benar-benar hebat! Aku harus kondisikan celanaku dulu sebelum benar-benar bertarung denganmu!”

Jean bergidik ngeri mendengar kalimat menjijikkan yang keluar dari mulut Pierro. Air liur pria itu terus menetes entah karena gairah bertarungnya atau hal lain.

Pierro memukul bagian bawahnya sekuat tenaga, walaupun mengerang kesakitan, celananya yang awalnya tegak kini sudah tak lagi bergerak.

“Kau menjijikkan,” ujar Jean kesal.

Oh, Baby. I know you want it!

Pierro melesat dengan pedang di tangan kirinya, serangan mendadak itu melukai pipi kiri Jean karena telat menghindari serangan Pierro.

Darah segar milik Jean terus mengalir, luka di pipinya cukup dalam.

Your blood looks delicious, Dear.

Jean tak memedulikan darah yang mengalir di pipinya, ia kembali memasang kuda-kuda dan mencari titik lemah Pierro. Setelah ia menemukannya Jean langsung mengarahkan kakinya ke atas kepala Pierro.

“Bukan begitu cara—”

SLASH

Tendangan Jean hanya tipuan untuk menyayat luka di tubuh Pierro, sayangnya luka itu tak ditutupi dengan baik sehingga Jean bisa dengan mudah melihat bercak darah yang menodai pakaiannya.

“Bo-boleh juga kau, Gunnhildr.”

Pierro terjatuh saat lukanya semakin terbuka dan darah yang menyembur dari perutnya. Pria itu tak sadarkan diri setelahnya.

Aku berhasil. Aku tak menyangka tetapi aku berhasil mengalahkan Harbingers!

**

Klee sedang menemani Albedo mencari kayu bakar di sekitar Hutan Guyun, senyumnya sudah tak nampak lagi di wajahnya. Walaupun Albedo menyadari hal itu, ia tetap tidak berani bertanya langsung kepada Klee, ia hanya menggenggam tangan gadis itu untuk menenangkannya.

“Kak Al,”

“Ya, Klee?”

“Klee takut,”

Albedo menoleh ke arah Klee, air mata gadis itu mengalir deras walaupun ia tak terdengar terisak sama sekali.

“Kamu kenapa, Klee?”

“Hati Klee tidak tenang, Kak.”

Albedo menyuruh Klee duduk di salah satu pohon besar yang ada di hutan, setelah ia benar-benar memperhatikan Klee dengan baik, barulah Albedo sadar bahwa ada laba-laba yang sedang berkeliaran di sekitar tubuh Klee.

“Cuma laba-laba, Sayang. Dia gak beracun kok,”

Albedo langsung membuang laba-laba tadi dan mendekap Klee dengan erat, saat itu juga tangisan Klee pecah.

“KLEE KANGEN MAMA!”

“KLEE MAU KETEMU SAMA MAMA!”

“KLEE MAU IKUT MAMA!”

Albedo tak bisa melepaskan pelukan Klee sehingga ia sulit untuk menatap wajahnya yang sudah terbenam di dadanya.

“Klee, mama kamu akan baik-baik saja, kamu gak usah khawatir—”

“KALAU MAMA BAIK-BAIK SAJA, KENAPA HATI KLEE TERASA SAKIT, KAK AL?!”

“KENAPA?!”

“HATI KLEE SEPERTI TERIRIS PADAHAL TIDAK ADA PISAU YANG MELUKAI HATI KLEE!”

“JANTUNG KLEE TERASA SAKIT, PADAHAL HATI KLEE TIDAK BERDARAH!”

“KLEE KENAPA, KAK AL?!”

Albedo tidak pernah melihat Klee sehisteris ini sebelumnya, gadis riang itu tak pernah menangis kecuali saat kematian ayahnya 5 tahun yang lalu. Melihat Klee meronta-ronta seperti ini membuat hati Albedo ikut khawatir kalau terjadi apa-apa terhadap Jean.

Darah itu menetes perlahan, tubuhnya tak lagi bergerak karena sudah tertancap oleh pedang suaminya sendiri. Di saat kematiannya pun ia hanya seorang diri, tidak ada yang menemani di sisi. Rambutnya yang terikat kuat kini sudah tergerai bebas, angin yang meniup lembut rambut pirangnya kini bukan untuk menunjukkan keindahannya, melainkan mengabarkan bahwa sosok itu sudah tak lagi bernyawa.

“Tolol,”

Pierro mengelap pedangnya yang penuh dengan darah, ia sudah tahu bahwa lukanya akan selalu menjadi sasaran Jean. Sebelum bertarung ia pasti sudah meneliti seluruh kebiasaan lawannya, dan Jean adalah lawan yang paling berat baginya.

“Tetap saja tolol,”

Pierro berdiri dari tempatnya berpijak, ia berjalan menjauh dari jasad Jean sambil menyeret pedangnya ke tanah. Tubuhnya sudah tak bisa bergerak sesuai keinginannya, tenaganya sudah habis terkuras saat bertarung melawan Jean.

“Padahal kau adalah lawan yang kuat, tapi kenapa kau tak sadar kalau itu darah palsu?”

-to be continued

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 11 (Faksi Anti Perang) trigger: character death

Jean dan Kusanali tiba di ruangan khusus untuk rapat besar jika diselenggarakan di Sumeru, dengan gugup Jean duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati khas Negeri Bunga Suci tersebut.

Melihat Kusanali tak seramah biasanya, membuat Jean semakin gugup. Namun perempuan berusia 33 tahun itu tahu kalau kondisi Teyvat tidak bisa dibiarkan begitu saja. Murata semakin mengguncang Teyvat dengan hentakan kakinya, hampir seluruh masyarakat di seluruh wilayah mengungsi di tempat yang tidak dikelilingi oleh lempeng bumi, contohnya Watatsumi di Inazuma dan Mondstadt yang bisa dibilang Negeri Kebebasan karena wilayahnya seakan terangkat oleh kekuatan magis sehingga membuatnya terlihat terbang jika dilihat dengan mata telanjang.

“Apa kamu yakin, Jean?” tanya Kusanali serius.

Jean mengangguk ragu, ia terus berusaha meyakinkan dirinya bahwa perang ini bukan hanya sekadar perang antar Archon, melainkan seluruh umat manusia.

“Ya, saya yakin,” jawab Jean dengan tegas setelah berhasil menghilangkan pikiran negatifnya.

“Kalau Mondstadt tidak bisa membawa pasukannya, biarkan saya sendiri yang mewakili Mondstadt itu sendiri,” lanjut Jean sambil meletakkan tangannya di atas meja bundar berwarna hijau.

“Jangan gegabah, Jean. Saya adalah seorang Celestia dan Archon, Murata bukanlah tandinganmu,”

“Begitu juga dengan Harbingers, mereka juga manusia,” bantah Jean kesal setelah mendengar ucapan Kusanali.

“Lagi pula, saya tidak mengincar kepala Murata, dia tentu bukan tandingan saya. Saya hanya ingin Teyvat kembali seperti dulu,”

“Baik, kalau memang itu maumu,”

Kusanali menghela nafas panjang, semua tentu ingin Teyvat kembali seperti dulu, namun mengingat apa yang selalu dikatakan oleh Zhongli, semua ada harganya.

“Saya jadi teringat kalimat Zhongli yang selalu ia ucapkan setelah berhasil membunuh Tsaritsa, untuk kedamaian dan keseimbangan dunia ini ada harganya. Kita tidak bisa tiba-tiba datang ke medan perang dan berdiri di tengah-tengah untuk menghentikan perang, bukan?”

Jean mengangguk ragu, kesehariannya sebagai kepala sekolah dan mengurus anak-anak tidak sebanding dengan orang dewasa yang haus akan darah dan kemenangan.

“Ta-tapi, Pak Zhongli adalah manusia biasa pertama yang berhasil mengalahkan banyak Archon, Celestia dan tetuanya di masa—”

“Zhongli bukan manusia biasa,”

Jean tersentak mendengar ucapan Kusanali, kalimat itu terasa ambigu di pikirannya.

“Kalau beliau bukan manusia biasa, lalu beliau apa?”

Kusanali terkekeh melihat raut wajah Jean yang khawatir sekaligus bingung, mungkin ada yang salah dalam kalimatnya.

“Tentu, tentu Zhongli adalah manusia biasa. Maksud saya, dia bukan seperti kalian, dia lebih dari itu,”

“Seperti kami? Tolong jelaskan, Kusanali. Saya tidak paham dengan kalimatmu yang sering terpotong-potong seperti ini,”

Kusanali menatap ke langit-langit ruangan lalu tersenyum, semuanya terlihat aneh di mata Jean. Kusanali jelas menyimpan rahasia besar yang tidak diketahui oleh siapa pun sampai saat ini.

“Baik, jangan pasang wajah cemberut seperti itu, Jean. Saya sedikit merinding melihatnya,” canda Kusanali namun tak digubris sama sekali oleh Jean.

Kusanali berdiri dari kursinya dan berjalan mendekati Jean.

“Kamu tahu kalau hubungan antara Celestia dan manusia biasa itu tidak akan berhasil? Itu sudah menjadi rahasia umum, bukan?”

Jean mengangguk setuju, semua tentang hal itu sudah terbukti dan tidak ada lagi orang yang berani nekat untuk membuktikan hal itu lagi kecuali Arataki Itto.

“Sebenarnya bukan tidak ada, semuanya mungkin. Dan itu nyata, Jean.” lanjut Kusanali.

“Berarti? Pak Zhongli manusia setengah Celestia?”

Kusanali hanya mengangguk sebagai jawaban. Walaupun Jean sudah bisa menebaknya sejak tadi, rasa syoknya setelah mendengar semua itu masih terasa di dadanya.

“Bukan hanya Zhongli, tetapi—”

“Sebentar, bagaimana dengan seluruh keturunannya? Berarti mereka juga keturunan Celestia?” tanya Jean heran.

“Bisa dibilang begitu, hanya saja mereka tidak dianugerahi hal yang sama seperti Zhongli,” jawab Kusanali singkat.

“Mereka tidak memiliki kekuatan? Saya tahu Pak Zhongli orang yang sangat kuat, dan sepertinya itu menurun pada Itto,”

“Jean, kemungkinan itu sangat kecil, walaupun Itto mendapatkan kekuatan dari Zhongli, dia tidak sama seperti ayahnya,”

Jean berusaha memahami semua yang dijelaskan oleh Kusanali namun tidak semuanya dapat dicerna oleh otaknya, kenyataan bahwa Zhongli adalah manusia setengah Celestia bukan berarti dia satu-satunya di dunia ini yang merupakan keturunan Celestia.

“Masih ada lagi? Yang sama seperti Pak Zhongli?” tanya Jean serius.

“Ada, Xiao Alatus dan Ganyu,” jawab Kusanali jelas di setiap katanya.

“Mereka anak angkat Zhongli, Xiao adalah anak dari teman baik Zhongli yang juga gugur di medan perang saat Perang Archon,”

“Bolehkah saya tahu siapa orang itu?”

“Guizhong,”

**

Setelah berhasil melewati runtuhan longsor salju, Ayato, Scaramouche, Mona dan Yun Jin keluar dari Snezhnaya secepatnya. Mereka berjalan ditemani oleh getaran yang terus terasa akibat ulah Murata.

“Mona,”

Scaramouche menahan lengan Mona, membiarkan Yun Jin dan Ayato berjalan lebih dulu. Mereka cepat akrab karena sama-sama suka minuman dingin yang terbuat dari seagrass jelly.

“Bawa Yun Jin menuju Mondstadt,”

Mona yang tidak tahu apa-apa langsung terkejut mendengar perintah aneh dari Scaramouche.

“Kenapa? Kenapa kami tidak ikut denganmu?”

“Terlalu bahaya, tujuan kami adalah Natlan. Dan lo tahu sendiri tempat itu berbahaya,”

“Tapi—”

“Gak perlu kata tapi, lo harus ke Mondstadt karena di sana lebih aman. Ningguang gak bisa dihubungi jadi kita gak bisa mengantar Yun Jin begitu saja,”

“Setelah perang ini selesai—”

“Kamu benar-benar akan menikahiku, kan?” tanya Mona malu.

“Tolol!”

Scaramouche menjentikkan jari telunjuknya ke dahi Mona sehingga membuat gadis itu mengerang kesakitan. Mendengar Mona menggerutu tak jelas membuat garis bibir milik Scaramouche secara tiba-tiba terangkat.

It's a yes,

“Apa?”

“Bawa Yun Jin ke Mondstadt, nanti gue kabarin lebih lanjut,”

“Oh, oke.”

**

Capitano tiba di Natlan dengan kondisi yang buruk, sejak kekalahannya dengan Raiden Ei lelaki bertubuh besar itu tak memiliki kekuatan untuk bertarung lagi.

“Ada tamu lagi ternyata,”

Murata berdiri di atas lava yang masih mendidih tanpa melukai bagian tubuhnya sedikit pun. Kehebatannya itu jelas tidak masuk akal bagi orang lain, namun semuanya berharap agar kakinya tidak menyentuh bumi sedikit pun.

“Murata, tolong kami,” mohon Capitano sambil bersujud di depan Celestia dari Natlan itu.

“Apa yang harus kubantu? Sepertinya semua bertaruh pada satu tempat,”

“Jadilah aliansi dari Harbingers untuk mengalahkan Zhongli dan Raiden Shogun,”

“Apa yang akan kau persembahkan untuk peperangan ini?”

Il Capitano bergidik, ia tahu apa maksud Murata jika perempuan itu sudah mulai meminta persembahan.

“Dulu Guizhong adalah peluit pembuka dari peperangan ini, sekarang apa?”

“Guizhong?”

Murata tersenyum bengis, matanya merah menyala saat menatap tajam wajah putus asa Il Capitano.

“Gadis malang itu dijebak oleh perempuan nomor satu di Liyue di masa lalu, nenek itu baru saja mati, aku lupa namanya,”

“Yang jelas, harus ada harga yang dibayar untuk semua kekacauan ini,”

Murata melangkah sedikit demi sedikit, beberapa kali gempa kecil dan besar mengguncang Teyvat hanya karena perempuan itu berjalan menuju Il Capitano.

“Murata...”

Semakin lebar senyum dewi perang itu, semakin deras air mata membasahi pipi orang nomor dua di Harbingers tersebut.

“Murata, tolong...”

“Murata!”

“MURATAAAAAAAAA!!!!!!!!”

Murata memukul Il Capitano hingga tak bersisa, kini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah. Kematian Il Capitano menjadi langkah awal peperangan di era modern ini.

“Begitu mudahnya kau mati, Capitano.”

“Mama!” sahut seorang anak kecil dengan langkah kaki yang berefek sama seperti Murata.

“Iansan! Anakku!”

“Mama membunuh orang lagi?”

Murata tersenyum sambil menggendong anaknya itu, memeluknya erat hingga tanah yang ia pijak rusak lebih parah dari sebelumnya.

“Gapapa, kan?”

Iansan tersenyum lebar, matanya pun ikut tersenyum. Murata dan Iansan berjalan menuju singgasananya di tengah Natlan yang sudah bermandikan lava yang mendidih.

“Murata...”

Lyney mendekati singgasana milik Murata perlahan, tidak ada yang berani mendekati tempat terpanas di Natlan itu kecuali dirinya. Entah apa yang akan ia katakan setelah ini kepada sang dewi perang.

“Apakah perang sudah dimulai?” tanya Lyney pelan.

“Kau tidak melihat Capitano menjadi abu? Kau pikir itu ulah siapa?!” bentak Murata kepada Celestia Kuno dari Fontaine tersebut.

“Semua orang pasti tahu, dan tidak mungkin Archon lain membiarkan hal ini begitu saja,”

“Aku sudah melakukan banyak untukmu dan Fontaine, tapi aku tak mendapatkan apa-apa dari kalian,”

Lyney mendongak ke arah Murata, setelah sedikit menegakkan tubuhnya ia berdeham pelan.

“Apa yang kau ingin—”

DUST

Iansan berteriak kegirangan, bocah mungil itu melompat dari tubuh Murata dan bermain-main dengan abu Lyney yang berterbangan di udara sebelum menghilang dimakan angin.

“Kamu kayaknya senang banget hari ini?” tanya Murata tersenyum.

“Iya! Iansan senang karena Mama membunuh dua orang hari ini!” jawab Iansan antusias.

Murata membiarkan Iansan melompat ke sana kemari tanpa mengetahui fakta bahwa wilayah Fontaine sudah hancur akibat gempa yang disebabkan oleh anaknya. Kematian Lyney ikut berdampak pada saudara kembarnya, Lynette. Beberapa detik setelah Lyney mati, sang adik terkapar begitu saja saat sedang membantu warga untuk menjauh dari Fontaine. Saat tubuhnya dievakuasi, jasadnya perlahan menghilang sama persis seperti Lyney yang langsung terbakar habis karena pukulan dari Murata.

“Aku menunggumu, Celestia.” ujar Murata sambil tersenyum tipis.

**

Seorang pria bertubuh kekar tiba di Cape Oath, ia tersenyum lebar walaupun tubuhnya bergetar hebat akibat ulah Murata dan Iansan. Dengan pedang besar yang ia topang di pundaknya, pria itu berjalan turun menuju kampung halamannya untuk memberi kabar bahwa orang nomor satu di Mondstadt itu telah tiba.

“Baru saja pulang setelah petualangan panjang, sudah mau perang lagi!” canda Varka sambil tertawa selama perjalanan pulangnya.

-to be continued

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Ending Chapter 10 (Perang di Inazuma)

Langit Inazuma tak secerah biasanya, tidak ada lagi aktivitas warga yang terlihat karena semua sudah mengevakuasikan diri ke Watatsumi Island.

Kobaran api di sekitar pusat kota menjadi bukti bahwa perang di Inazuma berlangsung sengit, namun sebentar lagi kita akan mendapatkan pemenangnya.

“Demi Inazuma katanya?” ledek Sandrone sambil menepuk bahu Pantalone.

Seluruh pasukan gabungan unit Inazuma sudah berhasil dikalahkan oleh Pantalone seorang diri, sementara pasukan khusus Klan Kamisato juga tak bisa berbuat banyak setelah Ayaka dengan mudahnya dikalahkan oleh tipu daya Sandrone karena sejak awal pasukan yang dipimpin oleh Ayaka adalah Fatui Harbingers itu sendiri.

“Bagaimana, Tuan Putri? Belum sanggup mengalahkan orang-orang Harbingers?”

Sandrone memijak tubuh Ayaka dengan keras, erangan Putri Inazuma itu terdengar menyakitkan. Belum puas sampai di sana, ia mematahkan kayu lambang Klan Kamisato sebagai bukti bahwa Harbingers telah berhasil mendapatkan Inazuma.

“Sudah, dia tidak penting lagi sekarang. Saatnya kita mencari Sangonomiya Kokomi,” suruh Columbine kepada adik iparnya.

“Bawel, dari awal kita udah menang, ini cuma pemanasan saja, Kak!” balas Pantalone membela saudaranya.

“Tumben lo belain gue?”

“Bacot!”

Mereka bertiga tertawa setelahnya, melupakan fakta bahwa Signora telah hilang dari pandangannya sejak perang tadi.

“Mba Beidou,” ujar Gorou lirih, ia berusaha menggapai Beidou yang masih tak sadarkan diri beberapa meter di depannya.

Beidou mengalami luka parah karena melindungi Gorou, Pantalone benar-benar lawan yang mengerikan, ia membabi buta dan mengantarkan nyawa hampir seluruh pasukan gabungan unit Inazuma menuju singgasana.

Apakah ini akhir dari Inazuma?

Kami dapat dikalahkan begitu saja oleh dua orang,

Bagaimana ini, Tuhan? Apakah semuanya akan berakhir seperti ini?

Suara gemuruh dan sorakan mulai terdengar di sekeliling pusat kota, kobaran api yang sejak tadi melahap habis bangunan di sana sudah berhasil dipadamkan.

Di depan kumpulan masukan itu, seorang gadis bersurai pirang keemasan berdiri dengan tegak seraya memimpin pasukan dari Enkanomiya untuk mengalahkan Keluarga Harbingers.

“Kemenangan kalian cukup sampai di sini,”

Sangonomiya Kokomi berserta ribuan pasukan dari Klan Sangonomiya telah mengepung Keluarga Harbingers. Jumlah mereka tidak main-main, semuanya bersenjata lengkap dan terlihat gagah dengan baju zirah khas Sangonomiya.

“Wow, kalau gini kita pasti kalah jumlah,” ujar Sandrone pelan.

Pantalone menelan paksa ludahnya, melihat pasukan Kokomi mengelilingi mereka sedikit membuat mentalnya terguncang.

Columbine masih berdiri tegak memandangi sekelilingnya, dengan lantang ia meneriakkan slogan Harbingers untuk menyemangati seluruh pasukan yang tersisa.

Odinnadtsat' Predvestnikov Fatui!

Hanya dari kalimat itu, mereka dapat kembali berdiri tegak setelah disihir oleh suara lantang milik Columbine. Bahkan Sandrone dan Pantalone sudah kembali menyeringai karena semangatnya sudah terisi kembali.

It's now or never,” ujar Columbine dengan suara beratnya.

Kokomi menundukkan kepalanya, berdoa yang terbaik untuk seluruh pasukan dari Klan Sangonomiya, gadis itu yakin semuanya akan berjalan dengan baik dan berakhir dengan sempurna.

“Demi Orobashi dan seluruh elemen Klan Sangonomiya, kita tuntaskan kejahatan di Teyvat!”

“SERANG!”

Pasukan dari Sangonomiya mulai menyerang Fatui Harbingers yang sudah membuat formasi tameng untuk melindungi petingginya, namun hanya Columbine yang terlihat di sana.

Sandrone dan Pantalone menembus formasi itu dan menyerang lebih dulu dari yang lain.

“KAU SETENGAH, AKU SETENGAH, SANDRONE!”

“DIAM! YANG PALING BANYAK MEMBUNUH DIA YANG AKAN MENANG, TOLOL!”

Columbine tersenyum tipis melihat pemandangan yang sudah lama tidak pernah ia rasakan sejak lama. Ini merupakan kali kedua ia mengikuti perang, saat pertama kali perang ia masih sangat muda dan masih menjadi istri dari Pierro. Kini ia adalah kekasih Arlecchino, saudaranya Pierro. Hubungannya tidak akan bisa berjalan mulus tanpa persetujuan dari Signora, Arlecchino pun tidak akan menikahi Columbine jika salah satu dari keluarganya tidak merestui hubungan mereka.

Perempuan itu menghirup dalam-dalam suasana hiruk pikuk peperangan di Inazuma, ia mulai mengeluarkan senjata dari kedua sisi kakinya.

“Buka formasi ini, biarkan aku ikut perang,”

“Tidak bisa, Madam. Ini perintah Tuan Arle—”

SLASH

Sekali tebas, tiga kepala terpotong. Dengan mudah Columbine memenggal kepala bawahannya, raut wajah perempuan itu berubah drastis. Ia terkenal lembut dan mudah tersenyum, namun kali ini senyumnya bengis karena haus akan darah pasukan yang gugur.

Columbine menjilati pedang yang sudah berlumuran darah itu, matanya memerah dan tubuhnya kejang-kejang karena euforia yang sudah lama tidak ia rasakan.

Bolehkah aku menjadi seperti dulu?

Seketika hati dan pikirannya beradu, janji yang telah diucapkan kepada Arlecchino perlahan hilang dari ingatannya, kini yang dilihat oleh Columbine adalah mangsa empuk dengan darah segar untuk memandikan senjatanya.

Maafkan aku, Kekasihku. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali,

Pasukan Fatui Harbingers hanya bisa terdiam sejak rekannya dibunuh oleh Columbine, mereka sudah tidak lagi mengenal perempuan itu.

Odinnadtsat' Predvestnikov Fatui!

Teriakan lantang Columbine kembali menyihir pasukannya, dengan badan yang tegap mereka ikut menyerang pasukan Sangonomiya di bawah komando Columbine.

Beidou, Gorou, Ayaka serta pasukan yang masih dapat diselamatkan sudah dievakuasi oleh tim medis Sangonomiya. Mereka langsung dilarikan ke Watatsumi, Kokomi mulai masuk ke dalam medan tempur untuk memberikan perintah terakhirnya.

“TUJUAN KITA TELAH SELESAI, SELURUH PASUKAN KEMBALI KE TITIK KUMPUL!”

Tujuan utama mereka hanya untuk menyelamatkan Putri Inazuma, karena itu adalah permintaan terakhir Ayato sebelum berangkat menuju Snezhnaya. Kokomi merasa iba melihat Pelaksana Pemerintah Inazuma itu harus sujud dan mencium kaki Kokomi agar mereka mengawasi serta menjaga Ayaka.

Sandrone yang melihat pasukan Sangonomiya muncul mulai emosi karena perang ini tidak sesuai dengan ekspektasinya.

“GAK ADA SELESAI-SELESAI! KITA PERANG SAMPAI—”

Columbine melesat dengan kecepatan tinggi, belum ada yang pernah melihatnya seganas ini. Perempuan itu mengincar kepala sang Celestia Kuno untuk menjadi persembahan terakhir dan bukti cintanya kepada Arlecchino.

“TUAN PU—”

SLASH

Kokomi terjatuh, setengah dari rambut panjang miliknya terpotong namun tidak ada anggota tubuhnya yang terpisah.

“EU-EUTHYMIA?!”

Yae Miko berhasil tiba pada waktunya, perempuan itu selama ini memperhatikan seluruh peperangan di Inazuma setelah diantarkan oleh Kaeya.

“Yae Miko...”

Sepasang tangannya tergeletak di tanah, darah segar mulai mencuat dari kedua tangannya. Perempuan itu tersenyum bangga setelah berhasil menyelamatkan Kokomi.

“Akan kutagih sepasang tanganku ini di singgasana nanti, Kokomi.”

Columbine terkekeh melihat senyum Yae Miko yang menjengkelkan itu. Ia kembali menghirup aroma darah segar milik pelayan khusus Raiden Shogun dan menjilatnya dengan penuh gairah.

“Ternyata darah rubah itu manis, Sayang.” ujar Columbine dengan suara beratnya.

“Kau tidak akan tahu apa yang kurasakan selama perjalananku kembali dari neraka,”

“Oh, ya? Kalau begitu ceritakan semuanya dengan tangan mungilmu itu,”

Columbine mulai menyerang Yae Miko dengan kecepatan tinggi, namun berhasil dengan mudah dihindari olehnya. Walaupun tanpa tangan, Yae Miko berhasil menyerang beberapa titik lemah Columbine dengan kakinya sehingga membuat perempuan itu tersungkur karena kekuatan milik Yae Miko yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.

“Cepat pergi dari sini! Biar aku yang akan melawan mereka!” seru Yae Miko kepada Kokomi dan pasukannya yang masih tersisa.

“Kau? Melawan kami bertiga?”

Sandrone dan Pantalone membantu Columbine untuk bangkit, mereka bertiga sudah bersiap untuk melawan Yae Miko seorang diri.

“Yae Miko... darahmu terus berkurang,” ucap Kokomi bergetar.

Awan hitam mulai menyelimuti langit Inazuma. Benar saja, langit Inazuma tak secerah biasanya.

“Celestia...” ujar Columbine pelan.

Hujan lebat mulai membasahi seluruh wilayah Inazuma, suara petir yang menggelegar berhasil membuat seluruh Fatui Harbingers bertekuk lutut setelah melihat Raiden Ei berjalan menuju pusat kota.

“Pergilah, Kokomi.”

Ucapan Raiden Ei disanggupi oleh Kokomi, ia langsung memerintahkan seluruh pasukannya untuk mundur dan membawa Yae Miko untuk diobati.

“Maafkan aku,” ujar Yae Miko menunduk ke arah Raiden Ei.

“Aku sudah tidak mengenalmu lagi, siapa pun engkau cepat pergi dari sini dan obati dirimu,” balas Raiden Ei tanpa menoleh sedikit pun ke arah Yae Miko.

Yae Miko menunduk sekali lagi sebelum pergi meninggalkan Raiden Ei, di bawah guyuran hujan pasukan Sangonomiya berhasil keluar dari medan tempur setelah tujuan utamanya tercapai.

“Sekarang apa?” tanya Columbine dengan nada sinis.

“Bebas,” jawab Raiden Ei singkat.

Namun setelah Raiden Ei menjawab pertanyaan Columbine, guntur terbesar mulai menyambar ke arah Harbingers sehingga menciptakan kilat putih yang menyilaukan mata.

“Ah... ternyata kalian bukan tandinganku,”

Raiden Ei pergi meninggalkan Inazuma setelah Sandrone, Pantalone dan Columbine berhasil dikalahkan dengan mudah. Harbingers bukanlah lawan yang cocok untuk seorang Celestia, sejauh ini Raiden Ei telah berhasil mengalahkan 4 anggota keluarga dari Harbingers dan seorang kerabatnya.

Sudah kubilang, Celestia tidak akan mati, ujar Raiden Ei dalam hati.

**

Zhongli dan Kusanali tiba di depan gerbang Sumeru, ia sengaja mengantarkan Zhongli sampai ujung wilayah itu untuk mengucapkan salam perpisahannya kepada Pahlawan Teyvat tersebut.

“Engkau yakin? Akan pergi ke sana seorang diri?”

Zhongli mengangguk yakin, ia tersenyum sambil meletakkan tangannya di pundak Kusanali.

“Saya yakin Sumeru akan baik-baik saja, karena mereka memiliki pemimpin yang bijaksana sepertimu,”

“Jangan terlalu sering memuji orang, Zhongli.”

“Oh, ya? Apakah berbicara fakta juga termasuk memuji?”

Kusanali hanya tersenyum, begitu pun dengan Zhongli. Setelah mendapatkan informasi dari salah satu orang terpercaya Kusanali, Zhongli memantapkan diri untuk berangkat menuju Enkanomiya, tempat Tsaritsa yang asli mengasingkan diri setelah Perang Archon pertama.

“Ah, kamu salah satu warga Teapod, bukan?” tanya Zhongli heran.

Chongyun tiba di depan pintu gerbang itu setelah berlari sekuat tenaga karena pesan singkat dari Shenhe, ia dan Aether sedang dalam perjalanan menuju Sumeru.

“Hey?” sapa Zhongli kesal.

Setelah beberapa kali dipanggil oleh Zhongli, Chongyun sadar bahwa ia adalah orang yang dimaksud sejak tadi.

“HAH? Pak Zhongli kenapa di sini?!”

Zhongli terkekeh melihat raut wajah panik Chongyun, ia pasti tahu bahwa dirinya adalah buronan saat ini, dan raut wajah lelaki bersurai putih itu sudah menjadi bukti bahwa dirinya benar-benar dicari oleh seluruh dunia.

“Saya akan ke Enkanomiya, Nak.”

Chongyun tak bisa berkata apa-apa, melihat idolanya berdiri tepat di depannya membuat lelaki berusia 22 tahun itu membeku.

Tak lama kemudian Aether dan Shenhe tiba di Sumeru, keduanya terluka parah dan langsung dilarikan ke unit gawat darurat Sumeru.

“Saya pamit, Kusanali.”

“Hati-hati, Zhongli.”

Mereka berpisah di depan pintu gerbang masuk Sumeru, dengan mantap langkah kaki Zhongli bergerak menuju Enkanomiya. Kini ia harus menyelesaikan urusannya dengan Tsaritsa, orang yang seharusnya sudah mati sejak lama, orang yang selalu menjadi pelopor peperangan di mana pun, Zhongli khawatir bahwa panasnya Murata saat ini adalah karena ulah dari Tsaritsa.

Saat Zhongli hilang dari pandangannya, Kusanali pun berbalik arah menuju ke tempat di mana Aether dirawat. Namun tiba-tiba namanya dipanggil beberapa kali oleh seseorang yang tak jauh dari sana.

“Jean?”

Jean Gunnhildr tiba di Sumeru, kedatangannya sangat tidak disangka olehnya, orang-orang yang bertandang ke Sumeru pasti memiliki tujuan yang penting. Mengingat Keluarga Gunnhildr dan Ragnvindr adalah kolega dari Lord Waldes, Kusanali tentu kaget melihat kedatangan perempuan berusia 33 tahun itu kemari.

“Kusanali...” ujar Jean terengah-engah.

“Saya mewakili Gunnhildr dan keluarga suami saya serta seluruh Mondstadt mengajakmu beraliansi untuk menghentikan perang ini,” lanjut Jean dengan tegas.

-to be continued

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 10 (Perang di Inazuma)

Qiqi terlihat sedang termenung di dekat pagar Wangshu Inn, tempat ini sudah menjadi salah satu rumah saat Baizhu sedang perjalanan dinas atau pergi mengisi seminar kesehatan di seluruh Teyvat sejak gadis berusia 13 tahun itu kecil.

Papa kenapa pergi ke Qingce tanpa Qiqi? gumam gadis itu dalam hati.

Qiqi melihat dengan jelas Baizhu berjalan menuju kampung halamannya bersama pria misterius dengan topeng gagak. Firasatnya buruk, selama ini ia tak pernah melihat Baizhu tertekan, Qiqi selalu tahu kalau Baizhu sedang ada masalah namun gadis itu tak pernah berani bertanya sampai akhirnya terus memendam perasaannya sampai sekarang.

Verr Goldet datang bersama Lisa menuju tempat Qiqi duduk, penginapan terbesar di Liyue ini berdiri kokoh dengan pondasi sebuah pohon yang besar, konon katanya pohon itu adalah peninggalan Lord Waldes yang merupakan mantan Celestia dari Sumeru saat Perang Archon di masa lalu.

“Qiqi,” panggil Verr Goldet sambil menepuk pundak gadis bersurai biru muda tersebut.

Qiqi menoleh ke belakang dan melihat dua wajah yang tak asing di matanya.

“Ada apa, Tante?”

Lisa menunduk menyetarakan kepalanya dengan Qiqi, perempuan bersurai coklat itu tersenyum kepadanya.

“Ayo kita pulang, Tante sudah mencarimu ke mana-mana, Nak.”

Qiqi sontak menggeleng setelah mendengarkan ajakan dari Lisa, ia tidak bisa berada di dekat orang asing, walaupun ia berteman dengan Klee namun berbicara dengan orang dewasa sangat sulit baginya.

“Gak mau,” jawab Qiqi polos.

“Kata Papa, Qiqi harus pulang sama Papa,” lanjutnya.

Mendengar penjelasan dari Qiqi membuat Lisa mengisyaratkan Verr Goldet untuk kembali ke dalam penginapan, ia ingin berbicara empat mata dengan putri dari Diluc tersebut.

“Tante Verr mau ke mana?” tanya Qiqi namun tak dihiraukan oleh Verr Goldet.

Lisa duduk di samping Qiqi dan merangkul tubuh mungilnya. Selama perjalanan mencari Qiqi, ia sudah dihadapkan dengan berita hancurnya Teapod dan beberapa perang yang sudah terjadi, sekarang perempuan itu harus pasrah setelah mendengar kabar bahwa Jean pergi tanpa alasan yang jelas.

“Kita harus pulang, Sayang. Teapod sudah hancur, kamu tahu beritanya?”

Qiqi menggeleng pelan, lalu menunduk, ia lihat kaki kecilnya yang berbalut kaos kaki putih yang sudah ia pakai selama beberapa hari terakhir.

“Kenapa Teapod bisa hancur, Tante?” tanya Qiqi polos.

Kepolosan Qiqi justru berhasil mengangkat garis bibir Lisa, semakin erat ia merangkul Qiqi yang sudah mulai terisak.

“Bagaimana Tante menjelaskan kepada kamu, ya?” ujar Lisa lirih.

“Sepertinya sebentar lagi akan perang,” lanjutnya pelan.

Qiqi memaksakan kepalanya untuk menoleh ke arah Lisa, tubuhnya sudah dipeluk erat oleh perempuan itu untuk mengurangi rasa getaran yang terjadi akibat ulah Murata, gempa susulan dari Natlan terus berlanjut.

“Sakit, Tante.” rengek Qiqi sedikit keras, Lisa sama sekali tak memedulikannya.

Kini gempa itu terasa semakin kuat, Lisa sengaja memeluk Qiqi sekuat-kuatnya sampai ia tak bisa melihat apa pun lagi karena kepala Qiqi sudah tertutup oleh dadanya.

“Tunggu sebentar, Tante masih pengen meluk kamu,” balas Lisa yang juga ikut terisak melihat awan hitam yang bergerak mendekati Liyue.

Beberapa menit berlalu, getaran itu masih sangat terasa. Walaupun jarak antara Liyue dengan Natlan cukup jauh, namun semburan lava dari gunung vulkanik Negara Api itu terlihat dengan jelas dengan mata telanjang.

Suara teriakan histeris warga sekitar dan sirine tanda bahaya mulai terdengar, semuanya lari tanpa menyelamatkan barang berharganya, dunia seperti akan kiamat, peristiwa yang sama akan kembali terulang lagi dan entah akan seperti apa hasil akhirnya nanti.

“Tante,”

“Ya, Sayang?”

“Kenapa banyak orang yang teriak?”

“Teriak? Enggak, tuh?”

Air mata Lisa mulai menetes, warna langit sudah tak karuan. Ia hanya bisa berdoa kepada Tuhan agar perang ini tidak terjadi.

Berikanlah mukjizat kepada kami, Ya Tuhan.

Tolong selamatkan dunia ini!

Seluruh pengunjung dan karyawan Wangshu Inn sudah turun ke bawah, namun Lisa melihat Eula menerobos di antara orang-orang yang sedang panik melarikan diri.

“KENAPA KALIAN MASIH DI SINI?!” seru Eula yang masih menggunakan pakaian rumah sakit dengan selang infus yang masih menancap di lengannya.

“Eula?! Kenapa kamu ke sini?!”

Lisa masih tak membiarkan Qiqi melihat ke mana pun, Eula menarik paksa Lisa untuk turun dari Wangshu Inn agar tidak ada korban jiwa akibat gempa susulan yang kembali berdatangan.

“Razor terlibat dalam perang di kaki gunung Tianheng, kami pun kalah dengan Childe. Saya sudah berusaha menghubungimu tapi tidak bisa! Jadi terpaksa harus dilacak dengan alat kepolisian,”

“Di mana anakku sekarang?!”

“Razor dirawat di Liyue, tap—”

Wajah Lisa memerah setelah mendengar kabar itu, tak sedikit pun terbesit di benaknya keadaan sang anak saat ini. Ia mempercepat larinya sambil menggendong Qiqi di badannya, karena badannya masih kecil membuat Lisa mudah untuk membawanya.

Eula berlari ke arah yang berbeda saat mereka turun dari Wangshu Inn, namun Lisa tidak menyadari itu. Lisa terus berlari menuju Liyue di mana tempat Razor dirawat.

Sudah tak sempat lagi!

Mereka berpisah selama perjalanan, Lisa dan Qiqi menuju Liyue sementara Eula menuju ke Inazuma setelah mendapat kabar bahwa Thoma akan dieksekusi di depan publik karena telah membiarkan Zhongli kabur dari Teyvat.

**

Thoma digiring menuju tempat eksekusinya, ia dilihat oleh ratusan penduduk yang sudah geram dengan tindakannya karena membiarkan Zhongli kabur begitu saja.

“MATI SAJA KAU, THOMA!”

“DASAR PENGKHIANAT!”

“PENGKHIANAT HARUS MATI!”

“SEMOGA HARI TERAKHIRMU DI TEYVAT CEPAT BERAKHIR!”

“ENYAH KAU, BIADAB!”

“MATI KAU, SETAN!”

Pria bersurai pirang itu hanya tersenyum tipis, ia dipaksa bersimpuh di tengah lapangan luas sembari menunggu algojo yang sedang mempersiapkan pedangnya di ujung tempat eksekusi.

Mendengar seruan dan ocehan dari penduduk warga setempat tak membuatnya gentar, apa yang ia pilih tentu harus dipegang teguh olehnya.

Ini adalah jalan terbaik, bukan?

Sang algojo mulai datang dengan sebilah pedang yang terlihat mengkilat di matanya, sinar matahari Inazuma berhasil menyilaukan besi tajam itu ke arah netranya.

Cuaca yang cerah untuk kematian yang indah,

DIHARAPANKAN UNTUK SELURUH WARGA INAZUMA UNTUK MENGEVAKUASIKAN DIRI KE WATATSUMI ISLAND!

PERANG AKAN SEGERA TERJADI! SEKALI LAGI, SELURUH WARGA INAZUMA DIHARAPKAN MENGEVAKUASIKAN DIRI KE WATATSUMI ISLAND SEKARANG JUGA!

“APA YANG TERJADI?!” pekik algojo tadi sambil berlari dengan kencang setelah melemparkan pedangnya ke sembarang arah.

Thoma merangkak ke arah pedang tajam itu, berusaha memotong tali yang sudah mengikat tangannya lebih dari 4 jam. Setelah berhasi, ia pun lari menuju Watatsumi Island bersama warga lainnya.

**

Suara sirine tanda bahaya mulai berbunyi, pengumuman evakuasi mulai terdengar oleh seluruh warga Inazuma. Dengan cepat mereka berlari ke arah timur menuju Watatsumi Island, tempat di mana Sangonomiya Kokomi lahir.

Beidou keluar dari ruang operasi, ia tersenyum lebar setelah bisa melihat kembali dunia yang sudah rusak ini. Namun sesaat setelah keluar dari ruangan tersebut mulai terdengar suara sirine tanda bahaya.

DIHARAPANKAN UNTUK SELURUH WARGA INAZUMA UNTUK MENGEVAKUASIKAN DIRI KE WATATSUMI ISLAND!

PERANG AKAN SEGERA TERJADI! SEKALI LAGI, SELURUH WARGA INAZUMA DIHARAPKAN MENGEVAKUASIKAN DIRI KE WATATSUMI ISLAND SEKARANG JUGA!

“Perang?” gumam Beidou pelan.

Dengan cepat perempuan bersurai hitam itu mengikuti ke mana arah warga lain berlari, selama perjalanannya menuju Watatsumi Island ia melihat sosok yang tak asing di matanya.

Harbingers?!

Sandrone, Pantalone, Signora dan Columbine berjalan ke arah yang berlawanan dengan warga Inazuma. Mereka dengan santainya masuk ke wilayah Inazuma di saat genting seperti ini.

“Jangan bilang informasi lo itu salah! Kita udah jauh-jauh ke Inazuma, Tolol!” sentak Sandrone kepada Pantalone.

“Lah? Emang dia nyuruhnya ke sini! Di sini ada Celestia Kuno!” balas Pantalone tak mau kalah dengan saudaranya.

Columbine hanya terkekeh melihat tingkah adik iparnya, sementara Signora masih bingung kenapa ia harus ikut perempuan yang sangat ia benci itu atas perintah Pulcinella.

Beidou tak yakin bisa mengalahkan mereka berempat dengan tangan kosong, namun ia tetap menguatkan mentalnya agar tidak kalah duluan sebelum bertanding.

“MBAK BEIDOU!”

Beidou menoleh ke belakang, ia melihat Gorou bersama rekan sesama akademinya berlari ke arahnya.

Seragam mereka berbeda-beda, namun Beidou dapat mengerti bahwa ini adalah pasukan gabungan yang siap turun di garda paling depan jika terjadi perang di Inazuma.

“Kayaknya kita terkepung, Bro.”

Tepat di belakang Harbingers, seluruh pasukan khusus dari Klan Kamisato yang dipimpin oleh Ayaka sudah berdiri dengan tegap setelah tiba di pusat kota Inazuma.

“Menyerahlah, Harbingers! Ada urusan yang lebih penting daripada melawan kalian!” seru Ayaka dengan lantang.

Sandrone dan Pantalone saling tatap lalu tertawa setelahnya, kini adrenalin mereka sudah terpacu untuk bertanding. Wajah mereka berdua merah pekat setelah mengambil senjata yang terletak di punggungnya.

“GAS?”

“GAS!”

Sandrone dan Pantalone berlari ke arah yang berlawanan, Sandrone melesat menuju Ayaka sementara Pantalone ke arah Beidou dan Gorou.

“Kamu bisa tetap di belakangku—”

“Tidak perlu, kalau harus bertanding aku tak sudi meminta bantuanmu,” potong Signora dengan cepat.

Gorou memberikan pedang besar milik Beidou, setelah menggenggamnya perempuan itu mulai yakin bahwa Pantalone bukanlah lawan yang sulit untuk dikalahkan.

“Ayo, Dek.”

“Ayo!”

Senyum lebar Pantalone memaksa seluruh rahangnya hingga terangkat, bunyi 'krek' di rahang bawahnya terdengar keras sampai membuatnya tertawa terbahak-bahak.

“KALIAN BUKAN TANDINGAN KAMI, TOLOL!”

Ayaka menghunuskan pedangnya dan memerintahkan pasukannya untuk menyerang Sandrone.

“Demi Inazuma!”

DEMI INAZUMA!

You Keep Me Alive Season 2

cw, au // Chapter 9 (Menuju Akhir)

Pasca perang di Fontaine, Liyue, Teapod dan Snezhnaya, kini mulai banyak masyarakat di Teyvat melayangkan Gerakan Anti Perang (GAP). Mereka meminta para petinggi pemerintah untuk mencegah terjadinya peperangan agar tidak ada lagi korban jiwa atau wilayah yang hancur mengingat peristiwa Perang Archon yang pertama.

Setelah secara 'kebetulan' badai besar dan hujan yang sangat deras datang, kini Teapod sudah rata dengan tanah walaupun tidak ada korban jiwa di tempat kejadian. Kini hampir seluruh masyarakat Teyvat yakin bahwa Celestia dari Euthymia memang masih hidup setelah sebelumnya dikabarkan mati untuk membuka era baru tanpa Celestia.

Media cetak mau pun online sudah mulai mengeluarkan berita investigasi tentang daerah mana saja yang sering didatangi oleh 'awan hitam' tersebut. Sampai akhirnya mereka mulai mendapatkan jawabannya, Teapod Residence adalah tempat kedua setelah Tsurumi Island yang kerap terkena efek dari 'awan hitam' tadi.

“KAMI HANYA INGIN KEJELASAN TENTANG PAHLAWAN TEYVAT!” seru salah satu pengunjuk rasa yang sudah berhasil mengumpulkan lebih dari 1000 orang di depan kantor pemerintahan Liyue.

“DI MANA PAK ZHONGLI? KENAPA DIA HILANG DI SAAT SEPERTI INI?!”

“SETELAH KEPERGIAN MADAME PING, SEKARANG PAK ZHONGLI DAN SELURUH KELUARGA GEO HILANG TANPA KABAR! BAGAIMANA DENGAN RAKYAT LIYUE?!”

Para pengunjuk rasa sudah lebih dari 2 hari bertengger di depan kantor pemerintahan Liyue, tidak ada yang berani pulang ke rumah karena teror dari Il Dottore masih terasa hingga saat ini.

**

Peristiwa Pasca Perang di Teapod Residence

Fischl terbangun dalam keadaan terapung, banjir bandang pasca badai besar yang menghantam Teapod masih dapat dirasakan olehnya. Dengan cepat gadis itu melarikan diri sebelum Pierro dan Capitano sadar, ia menggerakkan tubuhnya sekuat tenaga untuk keluar dari Teapod.

Apa yang terjadi?! Kenapa tempat ini banjir?! pekiknya dalam hati.

Ia terus menyusuri banjir itu hingga Mondstadt, dampak dari kekuatan Raiden Ei memang benar-benar besar. Fischl dengan cepat menuju rumah sakit untuk mengobati lukanya, ia baru sadar bahwa salah satu matanya telah diambil saat tiba di IGD Mondstadt.

“Apa yang terjadi?!” seru salah satu perawat yang bertugas di IGD.

Fischl hanya tersenyum tipis, gadis bersurai pirang itu dilarikan ke ruang rawat intensif untuk penindakan lebih lanjut.

Di saat yang sama, Cyno dan Xiao adalah orang terakhir yang sadar bahwa tinggal mereka berdua di Teapod.

Pierro dan Capitano sudah tidak nampak lagi di pandangan mereka, walaupun banjir sudah mulai surut, mereka tetap kesusahan untuk melarikan diri karena luka yang cukup berat setelah bertempur dengan petinggi Harbingers tersebut.

“Kita harus kembali ke Sumeru,” ajak Cyno setelah berhasil membangunkan Xiao yang terluka lebih parah.

“Bagaimana dengan Fischl?”

Mereka mencari keberadaan gadis itu di sekitar Teapod, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Fischl masih ada di sekitar sana. Xiao merasa bersalah karena masih belum bisa mengalahkan Pierro meskipun sudah dibantu dengan tongkat sakti peninggalan Zhongli.

“Mungkin dia sudah pergi lebih dulu dari kita. Sekarang ayo kita pergi!” ajak Cyno dengan nada sedikit lebih tinggi.

Melihat kekhawatiran di wajah Cyno membuat Xiao spontan mengangguk dan pergi menuju Sumeru bersama Cyno, mereka berangkat dari Teapod menuju Sumeru yang akan memakan waktu lebih dari 6 jam.

**

Ningguang bersama Sara, Keqing, Noelle, Sucrose, Sayu, Klee, Albedo, Venti dan Barbara tiba di tempat sakral yang berada di selatan Liyue. Mereka tiba di Guyun Forest, ini adalah tempat kelahiran Zhongli, wilayah itu masih dikelilingi oleh hutan yang lebat dan hanya beberapa orang saja yang dapat masuk ke sana.

“Setidaknya kita aman di sini,” ucap Ningguang sambil menggendong Sayu yang sedang tertidur.

Klee masih terlihat ketakutan setelah ditinggalkan Jean tanpa kabar, namun Jean sudah berbicara dengan Ningguang sesaat sebelum kepergiannya menuju suatu tempat yang tidak sempat ia katakan.

Dengan cepat Ningguang mengelus lembut rambut krem milik Klee, setidaknya agar gadis berusia 13 tahun itu bisa lebih tenang.

“Terima kasih, Tante.” ujar Klee sambil menundukkan kepalanya.

“Mama akan kembali, begitu juga dengan Bunda Lisa,” balas Ningguang kepada Klee.

Gadis itu hanya tersenyum tipis, tidak ada lagi yang dapat dikatakan olehnya, setelah mengetahui bahwa Qiqi adalah saudaranya, Klee mulai merasakan ada ikatan di antara mereka, sama seperti Razor, Klee sudah bisa merasakan itu sejak pertemuan pertamanya dengan Qiqi.

Sara memberikan isyarat kepada Keqing agar tidak mendorong kursinya lagi, dengan penuh keyakinan ia menggerakkan kakinya yang sudah lama tidak berfungsi.

“Sar—”

Walaupun masih bertopang pada pegangan kursi rodanya, Sara bisa merasakan tanah di kakinya. Perempuan berambut ungu itu tersenyum setelahnya, menoleh ke arah Keqing bahwa ia sudah tidak lemah seperti dulu.

“Tetap saja, kamu tidak bisa memaksakan untuk langsung berdiri, Sara.”

Karena sudah melewati batasnya, tubuh Sara ambruk tepat di atas kursi rodanya. Ia tersenyum lebar karena hasil dari terapinya selama bertahun-tahun sebentar lagi akan terbayarkan.

Mereka tiba di tengah hutan Guyun, ada sebuah gubuk kecil di sana, itu adalah tempat tinggal Zhongli sebelum diangkat oleh Madame Ping ke Liyue.

“Dulu ini tempat Ayah,” ujar Ningguang pelan.

Albedo dan Sucrose masih belum bisa percaya bahwa dulu Zhongli tinggal di tempat seperti ini, gubuk itu sudah hampir hancur karena tidak terurus, bahkan penjaga yang bertugas di depan pintu gerbang hutan Guyun pun tidak bisa masuk ke dalam.

“Cepat baringkan Venti di dalam, saya yakin gubuk ini masih bisa ditempati walaupun hanya satu orang, sisanya di luar saja,” suruh Ningguang kepada Barbara dan Noelle.

Setelah dikalahkan oleh Pierro, Venti masih belum sadarkan diri, nafasnya terengah-engah sepanjang perjalanan.

Sayang, maafkan aku, ujar Barbara dalam hati.

Air mata Barbara tak sengaja jatuh membasahi kening Venti, namun tidak ada keajaiban yang terjadi, bagaimana bisa setetes air mata dapat menyembuhkan orang yang sedang terluka berat?

KRING

Dering telepon Noelle terus berbunyi, ternyata Gorou yang menghubunginya. Setelah ia menekan tombol hijau di layar ponselnya, Noelle mengaktifkan mode loudspeaker agar Ningguang juga dapat mendengar percakapan mereka.

Kak Noelle? Halo?!

“Kamu di mana, Gorou?”

Adek masih di Inazuma, tidak ada yang bisa keluar sebelum Tuan Ayato kembali ke Inazuma, kalian di mana? Adek dengar Teapod sudah hancur?

“Kami di Guyun Forest, Nak.” jawab Ningguang.

Mah? Di sana baik-baik aja, kan?!

Ningguang tersenyum, raut wajah panik Gorou terlintas di pikirannya. Kini anak bungsunya sedang menjalani pendidikan untuk menjadi pasukan khusus kepolisian Teyvat dan ditugaskan di Inazuma.

“Kami baik-baik saja, Ayah sedang mencari Yun Jin, dia hila—”

YUN JIN HILANG?!

Mata Ningguang berkaca-kaca setelah teringat kembali bahwa cucu kesayangannya itu masih belum ditemukan di mana pun. Noelle mengusap air mata Ningguang lalu memeluk tubuh sang ibu dengan erat.

“Udah, Mah. Kita percayakan semuanya sama Ayah. Yun Jin dan Ayah pasti pulang, kok.”

Iya, Mah. Tenang aja, yang penting semuanya selamat, kalau Yun Jin pasti selamat karena Ayah pasti datang, ya, kan, Kak?

Noelle tersenyum setuju dengan ucapan sang adik, kalimat itu juga sedikit menenangkan hati Ningguang. Walaupun sampai saat ini Zhongli tidak berkabar, itu adalah hal yang baik, setidaknya itu yang diyakini oleh Ningguang saat ini.

“Kamu jaga diri di sana, ya, Dek.” ujar Ningguang terisak.

I-iya, Mah! Te-tenang aja! jawab Gorou yang tak tega mendengarkan isak tangis sang ibu.

Albedo datang membawa perlengkapan untuk membangun tenda dari hutan, juga peralatan seadanya untuk membuat dapur darurat yang sedang dikerjakan oleh Sucrose, dapur darurat ini pasti akan berguna untuk beberapa hari ke depan.

“Kamu bantu abang kamu, Sayang.” ujar Ningguang kepada Noelle.

Keqing juga ikut membantu yang lainnya setelah mengantarkan Sara ke dekat gubuk tempat Ningguang beristirahat.

“Bu,” ujar Sara pelan.

Ningguang yang masih menimang Sayu menoleh ke arah Sara.

“Sepertinya Sara sudah bisa berdiri,”

“Oh, ya? Kamu sudah coba?”

Sara mengangguk sambil tersenyum, ia mulai membangkitkan tubuhnya dari kursi roda. Masih sama seperti tadi, Sara kembali terjatuh setelah berhasil berdiri selama beberapa detik.

“Tidak apa-apa, Sayang. Butuh waktu agar semuanya bisa kembali normal,”

**

Jean tiba di makam mendiang suaminya, perempuan itu mengepalkan tangannya sekuat tenaga, wajah dan matanya merah karena menahan emosi.

“Diluc,”

Perempuan bersurai pirang itu menarik pedang yang tertancap di atas makam Diluc. Pedangnya masih kokoh dan tajam walaupun sudah bertengger di sana selama lebih dari 5 tahun.

“Kamu tahu bahwa Keluarga Gunnhildr sama kuatnya dengan keluargamu, walaupun kita menikah melalui perjodohan, kamu selalu kalah denganku saat bertarung. Aku tak peduli kalau kamu sengaja mengalah atau apa pun alasanmu dulu, sekarang akan kubuktikan kekuatanku atas nama Gunnhildr,”

Jean memasukkan pedang milik mendiang suaminya di sisi kiri, dan meletakkan sarung tangan milik keluarganya sebagai ganti pedang yang telah diambil olehnya.

“Diluc Ragvindr, sebejat atau seberengsek apa pun kamu, ketahuilah bahwa aku akan tetap sayang kepadamu,”

“Klee adalah bukti cinta kita yang akan terus kujaga sampai mati, setidaknya biarkan aku menjaga janji itu setelah kepergianmu,”

“Aku akan mengembalikan pedang ini setelah perang selesai,”

Jean berbalik dan meninggalkan makam Diluc, air matanya tak berhenti mengalir sejak tadi. Sekuat apa pun ia menahannya, semakin deras pula air itu membasahi pipinya.

Jean Gunnhildr menuju ke Sumeru untuk bertemu dengan Kusanali, putri Lord Waldes yang merupakan teman dari Varka, ayah dari Jean dan Barbara.

**

“Akhirnya kutemukan kau di sini, Kokomi.” ujar Raiden Ei.

Kokomi hanya tersenyum ke arah Raiden Ei, setelah diculik oleh Il Dottore dan diasingkan ke Tsurumi Island, Kokomi dengan mudah keluar dari pulau angker itu dan menuju tempat leluhurnya di Enkanomiya.

Hampir seluruh warga pedalaman di sana merupakan anggota dari Klan Sangonomiya, mereka sedang mempersiapkan untuk perang yang sepertinya akan terjadi dalam waktu dekat.

“Kamu seharusnya tidak mencariku, Raiden Shogun.”

Ucapan Kokomi disambut dengan tawa oleh Raiden Ei, ia lupa bahwa Celestia Kuno satu ini tidak mengetahui identitas aslinya.

“Aku aman bersama keluargaku, kami akan bergerak setelah perang dimulai,” lanjut Kokomi dengan tegas.

“Aku tak peduli denganmu atau Enkanomiya,”

“Aku hanya datang untuk memastikan bahwa kau masih hidup,” lanjut Raiden Ei.

Kokomi hanya tersenyum dan mengangguk setelah mendengar perkataan Raiden Ei. Gadis itu menundukkan kepalanya dan berjalan menjauh darinya.

Aku tahu kau ada di sini, Tsaritsa.

-to be continued

KLUB BODOH

BAB 1: ITTO DAN AYATO

15 menit setelah Pak Zhongli membuka unit baru yang bernama Klub Bodoh itu, kami berenam ditambah Bu Amber masih terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa, kami hanya termenung sambil memikirkan apa maksud dari unit yang dibuat oleh pihak sekolah ini.

“Klub bodoh?”

“Klub bodoh?”

“Klub bodoh?” hanya itu yang keluar dari mulut kami.

**

Kegiatan belajar mengajar sudah dimulai, pelajaran pertama kami adalah Bahasa Hilicurl. Tidak ada guru yang masuk, karena itu adalah salah satu plus Klub Bodoh ini, kami diberi kebebasan dalam belajar. Ayato yang dari tadi sibuk membaca bukunya, tampak masih gelisah dan emosi karena masuk ke Klub Bodoh.

Guys!” sontak Ayato langsung berdiri dan membuat kami semua memandang ke arah Ayato.

“Gini, nilai rapor kalian gimana semester lalu?” Tanya Ayato sambil berjalan kedepan kelas.

“Coba gue tanya lo, To.” jari telunjuk Ayato mengarah ke Itto, yang sedang sibuk bermain gawainya.

“Apaan lu? Nanya-nanya gue?” Itto hanya menoleh sebentar ke arah Ayato, lalu kembali menatap layar gawainya. Aku yang dari tadi kebingungan merasakan ada aura yang tidak mengenakkan. Ganyu yang sudah ketakutan duluan, memilih untuk berpura-pura menulis, walaupun ntah apa yang ditulisnya.

“Gue nanya ke elo! Nilai rapor lo bagus gak?” Ayato yang masih bersikeras menanyakan ke Itto tentang nilai rapornya disambut lembut oleh Ajax yang dari tadi sudah mengangkat tangannya tapi tidak diberi kesempatan berbicara oleh Ayato.

“Ayato! Biar gue aja duluan yang ngasih tahu,” potong Ajax dengan lembut, kami semua menoleh ke arah Ajax, terpesona dengan auranya yang menyejukkan.

“Gimana nilai lo, Jax?” tanya Ben yang mulai menyerah dengan M.

Ajax langsung berdiri dari kursinya sambil mengeluarkan rapor yang masih ada di dalam tasnya. Lalu Ajax membuka lembar demi lembar rapor dan mencari nilainya di semester lalu.

“Ini, nilai gue,” tunjuk Ajax, kami semua seperti tertarik menuju meja Ajax dan melihat nilai rapor yang luar biasa hancurnya. Bahkan keterangan tidak naik kelasnya sampai dicoret dengan tip ex.

“Lo harusnya gak naik kelas, Jax.” Celetuk Itto yang masih streaming Blackpink di gawainya, aku sempat melihat sekilas sebelum kembali melihat rapornya Ajax.

“Mungkin gara-gara gue kali, ya. Duuh, maaf banget!” Ajax dengan wajah paniknya mampu membuat kami luluh dan langsung memaafkannya saat itu juga.

“Bukan salah lo kok, Jax.” Jawab Ben sok asik, sok kenal, sok dekat, sok akrab. Aku pun tahu dia juga terpesona dengan aura Ajax.

**

Setelah melihat rapor—yang secara tidak sengaja dibawa semua. Dapat disimpulkan bahwa kami masuk Klub Bodoh karena ada alasan khusus. Ajax yang harusnya tidak naik kelas, Sara yang harus mendapatkan perhatian khusus, Ganyu yang dari kelas 10 selalu dirundung, aku yang ternyata peringkat terakhir, isi rapor Itto yang penuh catatan negatif dari wali kelas, dan Ayato yang ternyata jago ngomong doang, tapi nilainya lebih rendah dari Itto.

“Oke, Guys. Gini deh, kita lapor ke Bu Amber aja. Kita protes! Masa kita direndahkan gini?!” suara Ayato terdengar sangat meyakinkan. Membuat kami berlima langsung patuh kepadanya.

Kami berenam berjalan menuju majelis guru yang jaraknya hanya tinggal sejengkal saja dari Ruang Serbaguna. Dipimpin oleh Ayato, kami berlima mengekor di belakang.

Namun saat melihat Pak Diluc baru saja keluar dari ruang majelis guru sambil membawa penggaris besi panjang di tangan kanannya membuat kami kicep. “Balik yuk!”

Ayato yang tadinya berjalan dengan dada yang tegap langsung berputar berbalik arah diikuti oleh kami yang juga tidak berani dengan Pak Diluc, guru killer sekolah ini.

**

Bel istirahat sudah berbunyi, semua siswa yang telah lelah mengikuti pelajaran dari jam pertama hingga jam keempat langsung tumpah dan berhamburan keluar dari kelas. Sementara kami masih malu untuk keluar dari ruangan. Aku melihat Ayato masih berpura-pura membaca dan memahami isi buku yang sebenarnya terbalik itu.

Sekarang, pandanganku terhadap Ben sudah berubah, dia pengecut banget. Asli.

“Siapa yang mau ke kantin, nih?” Sara beranjak dari kursinya setelah menyelesaikan sesuatu, aku gak tahu apa yang dia perbuat.

“Ayo,” Itto langsung bergegas berdiri sambil memegang kabel dan mencolokkan gawainya untuk charging gawainya.

“Ther, Jax, ayo ke kantin.” Ajak Itto sambil memegang perutnya.

Ganyu yang sudah berharap diajak kembali duduk lesu dan membuka lagi bukunya.

“Lo ajak juga si Ganyu, Bego!” sentak Sara sambil menusuk perut Itto dengan pena.

“Aduh! Sakit, Bego!”

“Ganyu, ayo ke kantin!”

Seketika Ganyu langsung berdiri dari kursinya dan berlari ke arah kami, kami membiarkan Ayato yang sudah lebih dulu memberikan sinyal bahwa tidak ingin diganggu oleh kami.

**

“Lo kenal Ayato gak?” tanyaku sambil memecahkan keheningan kami yang sedang kompak makan bakso di Ibu Katheryne.

“Kenal,” jawab Itto singkat.

Melihat respon Itto, membuatku tidak berani bertanya lebih lanjut tentang Ayato.

“Itto sama Ayato itu bertolak belakang,” jelas Sara, aku yang awalnya tidak mau ikut campur lagi, sekarang sudah memasang kuping dan siap untuk ghibah.

“Apaan, sih? Gak usah ngomongin orang lah!” Itto langsung mencoba mengalihkan pembicaraan kami yang sebenarnya akan seru ini.

“Tapi gue mau tahu, gimana dong, To?” ujar Ajax yang terlihat menggemaskan di mata kami semua.

Cemberutnya Ajax membuat M langsung luluh, entah kenapa Ajax bisa berbuat seperti itu, kami tidak kuat dibuatnya, auranya sangat kuat.

“Dulu gue sama Ayato pernah jadi fanboy di girlgroup yang sama. Kami sama-sama suka ITZY, padahal gue udah duluan bilang ke dia kalau bias gue itu Yeji! Tapi dia juga suka dong! Kan bikin emosi banget!”

Itto langsung membanting sendoknya sehingga kuah baksonya nyiprat ke baju Sara, hal itu jelas membuat Sara langsung jengkel dan mencekik Itto dengan satu tangan.

“Lo jangan coba-coba berani sama gue ya!” Sara langsung menarik kerah baju Itto dan mendorongnya sampai dia mundur beberapa langkah.

“Gue gak sengaja, Sar!” Itto sepertinya lebih takut kepada Sara ketimbang Ayato, aku langsung menengahi mereka berdua, sementara Ajax mencoba menenangkan Ganyu yang gak tahu apa-apa.

“Udah! Jangan gini dong! Malu sama yang lain!” aku mencoba menahan Sara yang sudah menggunakan tenaga dalamnya.

Aku tak bisa menahan Sara yang sudah mulai mengepalkan tangannya dan siap memukul Itto. Ajax juga langsung membantuku menahan Sara, tapi kekuatan kami tidak cukup untuk membendung monster berkedok manusia ini.

“Udah, Sar!” Ajax masih mencoba menahan tangan kanan Sara sementara aku berusaha menutupi M yang sudah tak berkutik.

Suasana kantin semakin panas, semua melihat ke arah kami. Aku bisa mendengarkan bisikan mereka yang merendahkan kami, sepertinya semua sudah tahu kalau kami adalah anggota Klub Bodoh, pandangan mereka berbeda, mereka seperti sedang menyaksikan ayam yang sedang ditandingkan.

“Udah dong! Udah!” aku masih mencoba menenangkan Sara yang sudah mulai melayangkan pukulannya ke Itto namun selalu berhasil mengenaiku.

“Sara! Udah!” Ajax masih mencoba menahan tangan Sara, sementara Ganyu dari tadi sudah mematung.

“SARA! UDAH!” teriak Ayato dari kejauhan.

Sambil berjalan menghampiri kami, kekuatan Sara langsung berkurang, dia tidak seganas tadi. Itto yang dari tadi sibuk melindungi kepalanya berdiri dan membersihkan baju serta celananya.

“Apa-apaan sih kalian? Gak malu?! Udah gede masih berantem gini?!” Kali ini tatapan Ayato tajam, aku bisa melihat aura kepemimpinannya keluar, mengesampingkan pandangan negatifku terhadap Ayato membuatku yakin kalau Ayato adalah pemimpin dari Klub Bodoh.

“Lo berantem sama siapa?” Ayato bertanya ke Sara. Sara hanya menunjuk dengan matanya, dia menunjuk Itto.

“Dia?” tanya Ayato namun jarinya menunjuk ke perut Itto, bukan ke wajahnya.

“Muka gue di sini!” tegas Itto yang sudah kesal dengan perlakuan Ayato. Aku bisa melihat kalau mereka bertiga ada sesuatu di masa lalu.

“Yuk, ke kelas aja, yuk.” pinta Ajax sambil memegang lengan Ganyu yang mulai ketakutan ketika dekat dengan Sara, kami juga mengikuti mereka dari belakang.

“Heeeeeey!” Teriak Ibu Katheryne yang masih sibuk menuangkan kuah bakso.

Kami berenam kompak menoleh kebelakang, karena kami merasa panggilan itu memang untuk kami.

“Kenapa, Bu?”

“BAYAR!”

KLUB BODOH

PROLOG.

Libur panjang telah selesai, akhirnya aku resmi menjadi anak kelas 12. Hari ini aku sangat bersemangat untuk berangkat ke sekolah.

Kenapa? Karena aku baru saja dibelikan sepeda motor baru oleh Ayah. Setelah sekian lama memakai motor butut dengan knalpot yang sudah tidak ada. Akhirnya Ayah membelikanku motor outlander bekas yang jarang dipakai, katanya sih.

“Sarapan dulu! Baru berangkat!” Teriak Ibu sambil meletakkan piring-piring yang sudah ada nasi goreng di atasnya.

“Waaah! Nasi goreng, Bu?” teriak Lumine, adikku yang masih kelas 5 SD.

“Makan, ya, Lumi. Biar cepet gede!” lanjut Ayah sambil menyeduh kopi terbaiknya pagi ini.

“Eh! Jangan! Kamu jangan cepet gede! Biar si Aether aja! Berat!” celetuk Ayah sambil diiringi tawa paksa dari Ibu, dan aku tentunya. Cringe.

“Udah, Yah. Cuma Dilan yang bisa begitu, gak usah dipaksa,” Omel Ibu yang masih bolak-balik meletakkan gelas-gelas yang bentuknya berbeda untuk setiap manusia yang tinggal di rumah ini.

Melihat Ayah, Ibu dan Lumine yang selalu ceria dipagi hari kadang membuatku berpikir, apakah nikmat yang Tuhan berikan terlalu banyak untukku dan keluargaku? Bahagiaku selalu tertahan saat memikirkan orang yang nasibnya bisa jadi lebih buruk dariku.

Tapi, ya sudahlah. Namanya juga hidup.

**

Hari ini aku sampai lebih cepat dari biasanya, aku ingin menerapkan prinsip intime, yaitu datang lebih cepat dari sebelumnya, memang benar, aku tiba di sekolah pukul 06.15, padahal jarak menuju SMA Teyvat biasanya butuh waktu sekitar 30 menit. Memang gak ada duanya, outlander baruku.

Hari pertama sekolah, biasanya MOS dulu dong, bukan bermaksud sengaja pengin lihat anak-anak baru yang masuk SMA-ku, siapa tahu ada yang kecantol! Aku bersekolah di SMA Teyvat, sekolah yang terkenal memiliki siswa-siswa yang berprestasi dan unggulan, sampai orang-orang rela masuk kesini dengan membayar lebih demi masa depan si anak yang katanya bakal terjamin kalau masuk sekolah ini.

Aku cuma bisa nongkrong di parkiran sembari menunggu bel masuk kelas, karena sahabatku Paimon, pindah sekolah. Paimon pindah karena terpaksa, Bapaknya harus dimutasi ke Khaenri’ah. Paimon adalah satu-satunya temanku, karena aku emang orangnya memiliki circle yang sempit.

PENGUMUMAN, KEPADA SISWA-SISWI YANG MENDAPATKAN KARTU PUTIH, SILAKAN BERKUMPUL DI RUANG SERBAGUNA! SEKALI LAGI, KEPADA SISWA-SISWI YANG MENDAPATKAN KARTU PUTIH, SILAKAN BERKUMPUL DI RUANG SERBAGUNA! TERIMA KASIH!

Oh, ya. Aku mendapatkan ‘Kartu Putih’ saat pembagian rapor kenaikan kelas lalu, katanya hanya untuk siswa-siswi berprestasi, memang benar sih. Aku pernah ikut lomba Cosplay, walaupun gak juara, yang penting aku pernah mengharumkan nama baik sekolah dulu.

Masih jam segini, belum juga jam 7, gumamku dalam hati. Karena memang masih sepi banget sekolahan, masih pukul 06.35.

“Jalan aja kali, ya. Biar tahu orang-orang pintar selain aku,”

Dengan bangganya, rasanya hati dan pikiran seperti selaras kali ini. Aku berjalan menuju Ruang Serbaguna, walaupun namanya serbaguna, tapi ruangan ini sangat jarang dipakai, kecuali kalau Archon yang datang.

Setelah sampai di seberang Ruang Serbaguna, aku melihat seseorang yang juga sedang berjalan menuju Ruang Serbaguna, badannya mungil, jalannya sedikit cepat, dan rambutnya yang masih basah bermain-main dengan angin yang malu-malu tapi mau mencoba merusak rambutnya pagi ini.

“Orang pintar pertama nih,” sambil menunggu, aku duduk di kursi panjang dekat ruang Majelis Guru. Pagi ini terasa sangat sejuk, ntah kenapa. Aku juga merasa bahagia hari ini, sarapan pagi bersama keluarga yang lengkap, mendapat Kartu Putih kebanggaan, sampai bertemu dengan gadis cantik yang ternyata akan satu ruangan denganku.

3 menit kemudian, ada yang berjalan dengan santai sambil memegang roti sobek ditangan kanan, dan sekantung es teh ditangan kirinya. Badannya besar, rambutnya sedikit lebat, dan dimiringkan ke kanan, hampir seperti anak emo.

“Masih ada aja anak emo dimuka bumi ini,” tawaku sendiri sambil menggelengkan kepala.

Setelah itu, aku merasakan ada angin yang berhembus dari sisi kiriku, langkah demi langkah terdengar sangat hebat dan tegas, seorang lelaki dengan badan yang tegap berjalan menuju Ruang Serbaguna, aku sampai terdiam melihatnya.

Gila, jiwa pemimpinnya kelihatan banget, omelku dalam hati. Dengan mantap dia berjalan menuju Ruang Serbaguna.

Aku pun ikut berdiri setelah melihatnya masuk, saat aku berjalan menuju Ruang Serbaguna, aku melihat satu orang lagi dari sisi kanan, dari arah pintu gerbang samping sekolah.

Cewek tomboy dengan dandanan super maksa, rambutnya yang lepek diikat dengan kuat, melihatnya saja sudah membuatku gak mood. Melihatnya sudah memasuki Ruang Serbaguna, akhirnya aku juga ikut masuk ke Ruang Serbaguna itu.

**

“Oh, udah datang, ya. Cari kursi yang ada nama kamu, ya.”

Ternyata dugaanku salah, mereka juga menerapkan sistem intime, aku merasa sudah tertinggal beberapa langkah dari mereka, bahkan buku tulis dan alat tulis mereka sudah tertata rapi diatas meja.

Gila, bisa gak aku saingan sama mereka? tanyaku dalam hati, ragu.

Aether, mejaku berada di tengah, di samping kanan si cewek tomboy dan disamping kiri si pemimpin. Dengan gugup aku duduk di kursiku, aku melihat cewek cute tadi sudah duduk di belakangku, aku melemparkan senyumku padanya, dia pun ikut membalas senyumanku.

Inikah namanya cinta?! teriakku dalam hati.

Baru kali ini aku nemuin cewek yang senyumnya semanis Nagisa dari film Clannad. “Baik anak-anak! Tinggal satu orang lagi yang belum datang, kita bisa mulai duluan saja, ya. Sambil menunggu satu orang lagi. Perkenalkan, nama say—”

“Maaf, Bu! Saya terlambat!”

Angin menghembus masuk ke Ruang Serbaguna dengan sangat kencang. Untuk pertama kali aku melihatnya, laki-laki yang sangat tampan masuk ke dalam Ruang Serbaguna, badannya tinggi tapi sedikit bungkuk, wajahnya yang sangat tampan mampu membuat kami berlima menganga, bahkan Ibu guru—yang kami sendiri tidak tahu namanya siapa ikut terdiam dan menganga melihatnya.

“Ka-kamu Ajax?” tanya si Ibu.

“Iya. Maaf, ya, Bu. Saya terlambat!” jawab Ajax, sambil melemparkan senyumnya kearah guru perempuan itu, namun kami juga seakan terluka karena tersayat dagunya yang sangat tajam.

**

“Ba-ba-baik. Ibu akan perkenalkan diri Ibu dulu, ya. Nama Ibu Amber. Ibu yang akan menemani kalian sampai kelulusan nanti,”

Belum sempat aku menyadarkan diri saat memandang Bu Amber, tiba-tiba si pemimpin memotong pembicaraan Bu Amber, “Bu. Kita kenapa dikumpulin disini?” tanya si pemimpin dengan suara yang berat.

“Untuk itu, Ibu belum tahu, ya, Nak. Ibu baru disuruh mengumpulkan kalian saja, soalnya takut kalian gak ada yang datang tadi, Ibu mau absen dan perkenalan dulu, ya.” Jawab Amber manis. Duuuh, bikin betah sekolah aja.

“Baik! Kalau begitu, biar saya yang memperkenalkan diri saya duluan!” Si pemimpin langsung berdiri dari kursinya dan bersikap siap seperti sedang upacara.

“Selamat pagi, teman-teman semua! Perkenalkan, nama saya Kamisato Ayato, tapi panggil aja Ayato! Semoga kita cepat akrab, ya!” dengan nada yang tegas dan suara yang berat, Ayato menutup perkenalannya dengan tegas pula.

“Baik, terima kasih, ya, Ayato. Selanjutnya—”

“Kamu,”

Bu Amber menunjukku dengan matanya. Tak mau kalah dengan Ayato, aku langsung berdiri dan berusaha tegap, supaya kelihatan aura orang pintarnya.

“Selamat pagi semuanya! Perkenalkan nama saya Aether. Terima kasih!” Suara tepuk tangan mengiringiku saat aku bergegas duduk kembali.

Tanpa aba-aba, si tomboy langsung berdiri sambil menyilangkan tangannya dan berdiri miring dengan kaki kanan yang menopang berat badannya lebih keras.

“Nama gue Kujou Sara,”

Perkenalan singkat itu langsung disudahi oleh Sara, si cewek tomboy yang gak tahu sopan santun.

“Salam kenal, ya, Sara!” jawab Ajax sambil melemparkan senyumnya ke arah Sara.

“Y-y-a, salam kenal.” Bahkan Sara yang tomboy bisa dibuat salting karena senyum manis dari Ajax.

“Baik, silakan Ajax perkenalkan diri kamu ke teman-teman kamu,” lanjut Bu Amber. “Halo semuanya! Nama saya Ajax. Hmm, apalagi, ya, Bu? Hehe!”

Sebuah ‘hehe’ dari Ajax sudah berhasil membuat wajah Sara, Amber, dan si cewek cute merah pekat, mereka seperti bersyukur karena Ajax telah diciptakan sesempurna ini.

“Udah, kalian jangan lebay! Perkenalkan nama saya Arataki Itto, tapi panggil aja Itto. Sekian, terima kasih.” Kata si gempal yang ternyata bernama Arataki Itto—tapi pengin dipanggil Itto.

“Baik, Itto, ya. Terakhir, kamu, yang dibelakang Aether. Kelewatan tadi,” Suruh Bu Amber, kami semua menghadap ke belakang, karena dia duduk di belakang, ntah kenapa dia bisa diposisikan untuk duduk di belakang.

“Ha-halo semuanya, nama saya Ganyu. Terima kasih!” Ucap Ganyu singkat, ternyata si cute ini bernama Ganyu.

Ayato, Sara, Ajax, Itto, aku dan Ganyu adalah orang-orang terpilih yang mendapatkan Kartu Putih, namun kembali membuatku masih berpikir keras, kenapa kami bisa mendapatkan kartu spesial itu?

**

Beberapa saat setelah perkenalan selesai, kepala sekolah kami Pak Zhongli, memasuki ruangan didampingi oleh guru BK sekolah, Bu Jean.

“Selamat pagi, Anak-anak! Pak Zhongli akan berbicara sedikit tentang unit siswa yang baru dibentuk ini,” Kata Bu Jean.

Kami semua spotan bertanya-tanya, unit kelas?

“Baik, terima kasih Bu Jean.”

“Selamat pagi,” sapa Pak Zhongli, dan kami pun membalasnya.

“Setelah melalui proses seleksi yang sangat panjang, akhirnya telah diputuskan, bahwa kalian akan menjadi pengurus untuk unit baru yang telah dibuat oleh pihak sekolah. Kalian mendapatkan ruang yang lebih bebas, ruangan ini bisa kalian pakai untuk belajar, kalian tidak perlu masuk ke kelas untuk belajar seperti siswa lainnya.” Jelas Pak Zhongli kepada kami.

Aku langsung senyum-senyum sendiri, ternyata begini rasanya menjadi dan berkumpul dengan orang-orang yang terpilih.

Aku melihat kearah Ayato, dia menatapku tajam dan yakin, lalu aku melihat ke arah M yang sedang tersenyum lebar mendengar Pak Zhongli. Aku juga melihat ke arah Ganyu yang masih malu-malu untuk tersenyum. Aku belum berani menatap Ajax. Dan Sara, walaupun cuek tapi gadis itu tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

“Selamat datang dan selamat bergabung di Klub Bodoh!”