You Keep Me Alive
cw, au // ending You Keep Me Alive
“Ilmu pengetahuan benar-benar membuatmu gila, Yanfei.” ujar Ningguang dari luar sel tempat Yanfei berada.
Gadis itu hanya terkekeh mendengar Ningguang, orang yang selama ini ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri. Tidak ada alasan spesifik kenapa Yanfei sengaja mencelakakan Zhongli, gadis itu memang sudah gila sejak awal.
Ningguang bergegas meninggalkan selnya Yanfei, ia masih ditunggu oleh Teppei yang kebetulan sedang berjaga di depan meja informasi.
“Kamu ini kerjanya sebagai inspektur atau resepsionis, sih, Pei?” ledek Ningguang bercanda.
Teppei hanya membalas pertanyaan Ningguang dengan tawa canggungnya. “Mau gimana, Bu? Kalau gak diawasin nanti mereka mangkir terus!”
Ningguang mengisyaratkan Teppei untuk mengikutinya, mereka berjalan menuju sudut ruangan dekat pintu keluar kantor polisi pusat Teyvat.
“Yanfei benar-benar tidak memberikan alasan yang pasti, seperti yang kamu bilang?”
Teppei hanya mengangguk, tidak ada yang tahu bahwa selama ini Yanfei memiliki kelainan, gadis itu mengidap dissociative identity disorder atau berkepribadian ganda.
Ningguang berdehem, jawaban Teppei sama sekali tidak memuaskannya. Ia merasa kasihan kepada Yanfei karena bisa saja ia memiliki trauma di masa lalu sehingga dia bisa menjadi seperti sekarang ini.
“Tapi, Bu. Hukum tetap harus ditegakkan, Yanfei akan mendapatkan hukuman yang setimpal sesuai dengan perbuatannya.”
“Ya, jangan dikurung dalam penjara terus. Buat dia berbicara dengan psikiater atau apa pun itu namanya. Dia masih sangat muda, Teppei.” balas Ningguang khawatir.
Rasa kesal dan bencinya kepada Yanfei perlahan hilang setelah mengetahui bahwa gadis itu memiliki kelainan, melihat Yanfei dikurung di dalam sel berukuran sempit justru mengingatkannya kembali kepada anak sulungnya, Arataki Itto. Ningguang selalu menemani Itto di saat-saat terakhirnya, ia benar-benar merindukan Itto saat ini.
“Ya sudah, saya percayakan semuanya kepada yang lebih paham. Terima kasih banyak, Teppei.” ujar Ningguang lalu pergi meninggalkan kantor polisi.
Perjalanan sebuah waktu tidak perlu lagi diragukan, ia akan terus berjalan walaupun banyak orang yang memohon untuk menghentikannya. Waktu tidak pernah berbohong jika berbicara tentang akhir, ia selalu menepati janjinya untuk menyembuhkan luka seseorang, mengungkap takdir yang selama ini ditunggu oleh setiap insan, dan yang paling pasti adalah waktu justru membuat kita sadar bahwa hidup hanyalah sementara.
5 tahun telah berlalu, hari ini adalah hari kelulusan si kembar di Universitas Teyvat.
“Wisudawan terbaik Universitas Teyvat, dari jurusan Ilmu Pemerintahan, Aether dengan IPK sempurna, 4.0!” seru Lisa yang kini sudah menjadi rektor di Universitas Teyvat.
“Wisudawati terbaik Universitas Teyvat, dari jurusan Psikologi, merupakan kembaran dari Aether, bernama Lumine dengan IPK hampir sempurna, 3.94!”
“Selamat untuk kedua wisudawan terbaik tahun ini, saya harap kalian akan traktir saya nanti di rumah!” ledek Lisa kepada si kembar yang justru mengundang gelak tawa tamu yang lain.
Sejak lulus sidang skripsi beberapa bulan yang lalu, Venti dan Barbara memutuskan untuk menikah sebelum prosesi wisuda. Barbara meminta Lumine dan Jean untuk menjadi bridesmaid-nya, namun Lumine lah yang paling sibuk sebelum pernikahan mereka. Ditambah lagi dengan hiruk pikuknya dunia perkuliahan yang kadang membuatnya nangis sendiri di kala dunia sedang kejam kepadanya.
“And now i pronounce you husband and wife“
“You may kiss the bride“
Melihat indahnya pernikahan Venti dan Barbara membuat air mata Lumine tak bisa ditahan lagi, ia tak pernah menyangka sahabatnya ini benar-benar menemukan pasangan sejatinya begitu cepat. Dulu ia selalu mencibir Barbara ketika sudah berbicara tentang jodoh, karena ia tak pernah percaya sedikit pun dengan jodoh yang katanya di tangan Tuhan. Namun, Tuhan memberikan petunjuk untuk Barbara, sehingga ia terus menjaga Venti sampai akhirnya mereka berdiri di depan puluhan tamu yang menjadi saksi ikatan cinta mereka.
“Jangan nangis, dong!” ujar seorang pria yang berdiri tepat di samping Lumine sembari memberikan tisu kepada kekasihnya tersebut.
“Terima kasih, Sayang.” balas Lumine kepada Tartaglia, orang yang masih setia menunggunya sampai lulus kuliah.
Hubungan mereka selalu dihadapkan dengan problematika yang rumit, mulai dari Aether yang awalnya masih tidak setuju dengan hubungan mereka, ditambah lagi dengan Tartaglia yang masih dianggap sebagai bagian dari The Harbringers bagi sebagian orang. Tartaglia terus menjaga rahasia terbesar yang dimiliki oleh Lumine, yaitu dia adalah seorang Celestia kuno. Memang sampai saat ini belum banyak yang mengetahui hal itu, tapi itu selalu menjadi kebanggaan tersendiri untuk Tartaglia yang sekarang sudah mendapatkan panggilan khusus dari Lumine, yaitu Childe.
“Tumben? Manggil sayang?” sindir Childe kepada sang kekasih.
“Berisik! Lagi terharu ini!” balas Lumine kesal.
Childe merangkul Lumine dengan lembut, mereka begitu menikmati suasana pesta pernikahan Venti dan Barbara. Di satu sisi, masih ada saudara yang belum bisa tahan melihat kemesraan adiknya, padahal mereka sudah jadian selama kurang lebih 2 tahun.
“Udah kali, Yang. Mereka cocok, kok.” ujar Keqing yang dari tadi sibuk mengelus punggungnya Aether, kepalanya otomatis terfokus ke Childe ketika pria itu sedang memanjakan Lumine.
“Keselnya sampai sekarang, tahu!” runtuk Aether, namun ia tak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, Yang?”
Aether menoleh ke arah Keqing. Keqing pun menyenderkan kepalanya di bahu sang kekasih.
“Bentar lagi, kan, wisuda. Aku juga udah kerja dan jabatanku di Jade Chambers juga lumayan.”
“Apa? Kamu mau menikah juga?” potong Aether dengan senyum menggoda.
“Yaaaa... siapa tahu kepikiran gitu,” lanjut Keqing yang sudah terlanjur malu, ia membuang wajahnya setiap kali Aether berusaha untuk menatap matanya.
“Lagian masa aku ngelamar kamu di nikahan orang, sih?”
Keqing terkejut, matanya juga berkaca-kaca, namun bukan karena Aether, melainkan pengumuman lempar bunga untuk tamu yang hadir malam ini.
“Pokoknya kamu ambil itu bunga, gak mau tau!” suruh Keqing yang sudah berusaha mendorong Aether menuju tempat lemparan bunga.
Namun, lagi-lagi mata Aether fokus ke Lumine dan Childe, tapi Childe yang mendorong-dorong Lumine untuk menangkap bunganya.
“Ayo, Sayang! Kamu, kan, temannya Barbara!” seru Childe dengan nada memelas.
“Yang, ih! Venti itu sahabat kamu, tahu!” suruh Keqing dengan suara yang tegas.
Kini si kembar sudah berdiri di antara tamu lain yang siap untuk menangkap bunga yang akan dilempar oleh kedua pasutri muda ini.
“Kenapa lo di sini?” tanya Aether datar.
“Lo sendiri? Ngebet kawin?” balas Lumine.
Venti dan Barbara sudah memegang bunga dan menghadap ke belakang. Semua peserta pelemparan bunga sudah memasang kuda-kuda untuk berebut bunga yang katanya jika berhasil ditangkap maka dia akan menemukan jodohnya sebentar lagi.
“Ngalah sama adik lo, Bang.”
“Gue lebih tua dari lo, lo gak boleh nikah sebelum gue.”
“Bawel”
1
“Gue sama Keqing udah pacaran duluan,”
2
“Tapi Childe lebih kaya dari kalian,”
3
Venti dan Barbara melempar bunga tepat menuju si kembar, namun mereka masih berdebat tentang siapa yang harus mendapatkan bunga sampai saat ini. Aura tidak mengenakkan mulai terasa ketika Childe dan Keqing melompat untuk menggapai bunga yang masih melayang di udara itu.
“YES! DAPAT!” seru Childe penuh antusias.
“GAK ADA CERITA!” balas Keqing yang juga berhasil mendapatkan sebagian dari bunga yang dilemparkan.
Si kembar hanya bisa menatap heran pasangan mereka masing-masing, saat bunganya jatuh dan rusak pun mereka masih terus berdebat tentang siapa yang akan menikah duluan, gedung mana yang akan dipakai, pakaian dari adat mana yang akan mereka gunakan, bahkan siapa anak mereka nanti jika laki-laki dan perempuan.
“Mereka lebih cocok kayaknya, ya, Bang.”
“Ho'oh.”
**
Xiao berjalan menuju Cafe Good Hunter atas suruhan Xingqiu, hari ini lelaki itu diminta untuk menjadi ring bearer untuk Xingqiu.
Karena semuanya sibuk mau wisuda atau nikah, lo sendiri yang masih jomlo.
Kalimat itu masih terngiang jelas di telinga dan pikiran Xiao, bisa-bisanya Xingqiu mengatakan fakta terpahit dalam hidupnya dan masih terpikirkan sampai saat ini.
“Xiao! Sini cepetan!” seru Xingqiu yang sudah duduk di mejanya, namun Xiao tak melihat Hu Tao di mana pun.
Xiao dengan cepat menghampiri Xingqiu, setelah brief selama 2 menit, Xiao duduk di sembarang meja agar tidak terlihat sedikit pun oleh Hu Tao yang sudah berjalan kembali menuju mejanya dari toilet.
“Eh? Kamu siapa?” tanya seorang gadis yang awalnya sibuk memakan makanan yang terhidang di piringnya.
Mata Xiao langsung tertuju kepada gadis rambut pendek dengan pita aneh (menurut Xiao) di kepalanya.
“Kamu siapa?” tanya Xiao balik, ia jadi linglung karena panik ia telah duduk di tempat yang sudah ditempati orang lain.
“Xiangling,” jawab gadis itu tersenyum saat netra mereka bertemu.
“A-aku Xiao,” balas Xiao yang terlihat lebih gugup daripada saat ia interview untuk masuk akademi Teyvat.
Xingqiu sudah mengkode temannya itu berulang kali, namun tak dihiraukan oleh Xiao yang sudah nyaman ngobrol dengan Xiangling.
“Kayaknya temen kamu manggil-manggil di ujung sana?” bisik Xiangling.
“Oh, itu aku disuruh jadi pembawa cincin tunangannya,” balas Xiao santai.
Xiangling terkejut setelah mendengar perkataan Xiao, namun Xiao lebih terkejut lagi karena dia lupa sudah diminta tolong oleh Xingqiu.
Xiao langsung beranjak dari mejanya dan berlari menuju Xingqiu dan Hu Tao.
“Duuh! Yang baru kenalan sama cewek cakep sampai lupa sama kita-kita!” ledek Xingqiu ke Xiao yang sudah tersipu malu.
“Diem! Ini kotaknya!”
Xingqiu menerima kotak yang diberikan oleh Xiao, namun ia kembali memberikan kepada temannya tersebut.
“Gue tahu lo anti sosial, Cho. Tapi masa lo gak ingat, sih, kalau kami baruuuuuu aja tunangan kemarin?”
Xiao hanya membeku setelah mendengar omelan Xingqiu.
“Terus ini kotak buat apa?”
“Itu kartu namaku, Xiao. Nomor teleponku ada di sana, nanti telepon aku, ya!” ujar Xiangling yang sudah berdiri tepat di belakang Xiao.
Saat Xiao menghadap ke Xiangling, ia hanya dapat melihat senyum tulus dari perempuan yang baru saja ia kenal itu.
“Ini Xiangling, anaknya Chef Mao. Itu, lho! Kita biasa cabut kuliah kan ke Wanmin! Ini anaknya!” ujar Xingqiu dengan penuh semangat.
Hu Tao hanya memperhatikan Xiao dengan segala kebingungan yang ditunjukkan kepada semua orang, gadis itu tersenyum bahagia setelah melihat Xiao bisa berbicara dengan temannya lagi atau berkenalan dengan orang baru pasca kematian Yoimiya.
“Senang berkenalan denganmu, Xiao!” ujar Xiangling dengan senyum yang masih terlihat indah di benak Xiao.
Xiangling meninggalkan Good Hunter karena ia harus kembali ke Wanmin Restaurant, tempat di mana ia bekerja yang sesungguhnya, gadis itu menggantikan Chef Mao yang sudah pensiun, untung saja bakat memasaknya ikut turun ke Xiangling, kalau tidak mungkin Wanmin sudah tidak beroperasi lagi karena anak satu-satunya tidak bisa memasak.
“Gimana? Pilihan Hu Tao, tuh!” ledek Xingqiu.
“Ih, apaan, sih, Yang?!” bantah Hu Tao, malu-malu tapi mau dipuji juga.
Xiao tersenyum, matanya masih menatap ke pintu keluar Good Hunter, ia percaya semuanya memang sudah menjadi takdir dari Tuhan, pertemuan Xiao dan Xiangling ada alasannya, entah itu hanya sebagai tempat singgah, atau menjadi rumah untuk selamanya.
**
Kazuha menunggu kapal milik Beidou yang sudah terlihat dari pelabuhan, hari ini sepupunya kembali entah dari mana dan akan tinggal di Liyue untuk sementara waktu sampai tugas baru diberikan kepadanya.
Dengan gagahnya, Beidou berdiri di kepala kapal seorang diri, kini tidak ada lagi yang disembunyikan olehnya. Ia sudah merelakan matanya untuk disingkirkan, hidup dengan satu bola mata justru membuat Beidou lebih bersyukur dengan semua yang telah terjadi. Mengorbankan mata kirinya untuk menyelamatkan Kazuha saat ada perampok yang menjarah rumahnya di masa lalu adalah hal yang selalu menjadi kebanggaan Beidou.
Sudah sekian lama gue menderita karena mata kiri ini, sekarang impian gue sudah terwujud. Gue adalah kapten kapal wanita khusus Liyue. Rasanya gue sedang hidup di dunia mimpi.
Kazuha tersenyum menyambut kedatangan Beidou, kini umurnya sudah pantas untuk menemani sang kakak untuk minum alkohol.
“Udah latihan lo?” tanya Beidou dengan nada menyindir.
“Udah, dong! Tapi gue masih awal, jangan ajakin gue lomba dulu,” balas Kazuha percaya diri.
“Halah, Bocil! Di mata gue lo tetap Kazuha yang lemah dan manja, sama aja!” ledek Beidou sambil mengelus kasar rambut adiknya.
Mereka tertawa saat perjalanan menuju Wanmin Restaurant, banyak cerita yang akhirnya tersampaikan, kini Kazuha sudah memasuki semester akhir dan mempersiapkan skripsinya, ia masih harus terus mengejar mimpinya sebagai sastrawan. Semua itu didukung oleh Beidou, apa pun yang terjadi, selama Kazuha menikmati perjalanan itu, ia tidak akan menghalangi.
“Bentar! Kayaknya gue kenal sama nih cewek!” potong Beidou dengan cepat.
Perempuan itu berusaha untuk mengingat-ingat nama gadis yang selalu bertengger di depan rumah sepupunya saat masa sekolah dulu.
“Masa lo lupa, Mba?”
Gadis itu menunduk dengan anggun dan menyapa Beidou yang langsung mempertanyakan sisi kewanitaannya.
“Perkenalkan, Kak. Saya Sangonomiya Kokomi.”
“Sang-sangonomiya! Ah! Iya! Sangonomiya!” hanya itu yang keluar dari mulut Beidou.
“Dih, norak lo, Mba.” sindir Kazuha sambil menyenggol bahu sepupunya itu.
“Diem! Gue udah lama ngefans banget sama anak ini! Tuan putri ini! Masa pacarnya manusia biasa kayak adik gue?!” ujar Beidou tak percaya.
Kokomi hanya tertawa melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Beidou. Begitu juga dengan Kazuha, yang masih tak percaya dengan kisah cintanya sendiri. Kokomi yang awalnya sudah memutuskan untuk mundur, ternyata diam-diam memperhatikan Kazuha pasca kematian Yoimiya. Memang butuh waktu yang lama untuk menyadari hal itu, namun Kokomi tidak pernah menyerah untuk memenangkan hati Kazuha. Gadis itu adalah sang juara di hatinya.
“Kebetulan! Ada Kokomi! Gue mau minuman gue dituangkan sama tuan putri!” ujar Beidou penuh antusias.
“Atur aja, Mba! Atur!” sindir Kazuha tak ada hentinya.
“Tenang saja, Kak! Mimi jago, lho!” balas Kokomi dengan manisnya.
Beidou, Kazuha dan Kokomi masuk ke dalam Wanmin Restaurant, menikmati seluruh hidangan yang disajikan serta mengabadikan momen ini sehingga tidak akan bisa dilupakan. Kini mereka satu, dan akan selalu menjadi satu untuk selamanya.
**
Razor telah selesai melaksanakan upacara pengukuhan pasukan khusus kepolisian Teyvat, Lisa yang berdiri di kursi tamu hanya bisa menangis terharu melihat anaknya yang kini sudah menjadi pasukan khusus kepolisian Teyvat.
“Selamat, ya, Ibu Lisa!” ujar tamu yang lain kepadanya.
“Terima kasih banyak!”
“Ya ampun, anakku udah jadi polisi aja,” gumam Lisa yang masih enggan menahan tangisnya di depan banyak orang.
Klee berlari menuju Razor yang sedang berjalan menuju keluarganya.
“Selamat, Abangku!” ujar Klee sambil memeluk erat abangnya. Gadis ini sudah berusia 13 tahun sekarang, Klee sudah duduk di bangku SMP.
“Terima kasih, Klee. Terima kasih semuanya,” ujar Razor kepada seluruh anggota keluarganya yang hadir dalam upacara pengukuhan.
Venti membisikkan sesuatu kepada Barbara lalu diiyakan oleh sang istri, Barbara langsung menyuruh anggota keluarganya untuk berfoto untuk mengabadikan momen indah ini.
“Venti gak ikut foto?” tanya Jean heran.
“Bisa minta tolong fotoin sama yang lain, lho!” timpal Lisa karena tak enak dengan Venti yang terkadang memisahkan diri dari keluarga barunya.
“Gapapa, Bu! Nanti kalau ada yang saya kenal minta tolong foto aja,”
“Gaya formal dulu!”
Venti terus mengabadikan momen ini, ia terus menekan tombol foto di gawainya, saking semangatnya fotonya terlihat bagus-bagus sampai tidak perlu lagi disunting oleh Barbara yang suka menambahkan filter lucu atau menajamkan fotonya dengan aplikasi edit foto.
“Yok! Sekarang gaya bebas!”
“Sebentar!” kata Lisa menahan Venti untuk memotret mereka.
“Hey! Thoma! Sini dulu sebentar!”
Thoma hanya terkekeh setelah dipanggil oleh Lisa dan mengambil alih gawai yang dipegang oleh Venti.
“Kalau gaya bebas kamu paling jago, Ven! Ajarin kami!” kata Lisa penuh canda.
“Ya udah, ayo ikutin saya!”
Gaya-gaya aneh ditunjukkan oleh Venti, namun semuanya tetap mengikuti dan tenggelam dalam kebahagiaan mereka.
“Makasih, ya, Thoma! Kamu seniornya Razor jangan galak-galak sama anak saya, ya!” ledek Lisa sambil memukul lembut lengan Thoma.
“Hehe! Enggaklah, Bu. Saya gak pernah galakin anak orang, kok.” balas Thoma sambil tertawa dan menggaruk-garuk belakang kepalanya.
“Udah sana, kamu ditungguin anak pak RT, tuh. Makasih sekali lagi, ya!”
Setelah pamit dengan keluarga Jean dan Lisa, Thoma berbalik dan menghampiri kekasihnya, Noelle.
“Maaf, Sayang!”
“Gapapa, kok. Itu, kan, tetanggaku juga.” jawab Noelle sambil tersenyum.
Mereka saling melempar senyum, kisah cinta mereka dimulai saat Thoma mendaftarkan dirinya untuk mengikuti akademi di tahun pertamanya kuliah, ia rasa kuliah bukanlah jalan yang tepat untuknya. Walaupun ia sudah mendapatkan jatah bangku kuliah saat dia kelas 12 dulu, ia tak menikmati sedikit pun dunia perkuliahan. Mungkin karena rasa sakit di hatinya pasca putus dengan Ayaka masih sangat terasa.
Noelle selalu ada untuk Thoma di tahun terakhir sekolahnya, setelah lulus sekolah, Noelle juga mengikuti jejak Thoma untuk masuk ke akademi. Kekuatan cinta yang membuat Noelle yakin bahwa suatu saat nanti Thoma akan menerima dirinya sebagai perempuan, bukan sebagai adik kelasnya saja.
“Ini dia! Kapten pasukan khusus!” kata Zhongli dengan sikap tegap dan hormat berkali-kali.
“Udah, Mas. Noraknya jangan ditunjukin banget,” balas Ningguang yang sudah malu dari tadi karena Zhongli terlalu sering berteriak saat pengukuhan.
“Ya, gimana, Ning? Dulu waktu saya ikutan beginian gak pake upacara,” timpal Zhongli yang masih tak mau kalah dengan sang istri.
“Ya udah, bikin pengukuhan sendiri aja sana, minta sama gubernur.”
“Beneran? Nanti aku makin famous kamu jadi cemburu?”
Ningguang menatap suaminya dengan jijik yang dibuat-buat, maksudnya untuk bercanda. Namun seluruh keluarganya paham dengan seluruh pertikaian kecil yang ada di antara pasutri legenda itu.
“Gorou juga mau, Mah! Kayak Bang Thoma.” bujuk Gorou yang sebenarnya tidak diperbolehkan masuk akademi oleh Ningguang.
“Gak, gak, gak! Jangan masuk akademi semua, dong! Nanti rumah jadi sepi!” ujar Ningguang yang sengaja mengelak pelukan dari Gorou.
“Oh, iya. Thoma, kita jemput Al, Sucrose dan Sayu di TK, ya? Ada acara di sekolah jadi ayah dan ibunya harus hadir. Biar Ning sama yang lain langsung ke makam Itto.” ajak Zhongli sambil memberikan kunci mobilnya kepada Thoma.
“Siap, Pak.” jawab Thoma dengan tegas, sudah menjadi kebiasaan juga.
**
Sara dan Yun Jin berjalan menuju makam Itto, kini kursi roda milik Sara sudah diganti dengan yang lebih canggih, ia tinggal menggeser ke sana kemari tuas yang ada di kedua tangannya.
Hari pertama Yun Jin untuk bersekolah sengaja diurungkan karena anak itu ingin merayakan ulang tahun sang ayah sekaligus menjadi pengalaman pertamanya untuk berziarah di makamnya.
“Ayah mana, Ma?” tanya Yun Jin dengan suara lucunya.
“Sebentar lagi, Sayang. Hati-hati bebatuannya, kamu di samping Mama saja.”
Yun Jin menuruti perkataan Sara, melihat sang ibu tidak bisa berjalan layaknya manusia biasa, membuatnya sedikit sedih karena ia tidak bisa mengikuti sports day dengan Sara nantinya.
Mereka tiba di depan makam Itto lebih dulu dari yang lain. Sara meminta Yun Jin untuk meletakkan kue ulang tahunnya di atas makam sang ayah. Untung cuaca sedang bersahabat hari ini, karena beberapa hari sebelumnya ramalan cuaca Teyvat jarang akurat.
“Ayah mana? Katanya sudah sampai?”
Sara hanya bisa menahan tangis setelah mendengar pertanyaan anaknya, namun ia paksakan dengan tawa kecil karena kepolosan Yun Jin.
“Ini tempat peristirahatan terakhir Ayah, Nak. Ayah udah tidur lama banget di sini.”
“Oh, begitu,”
Yun Jin melihat sekeliling area pemakaman dengan seksama, lalu kembali menoleh ke Sara.
“Berarti semua yang ada di sini adalah sudah tidur di dalam tanah?”
Sara hanya mengangguk sambil mengelus kepala Yun Jin, ia gemas dengan tingkah dan pertanyaan aneh yang selalu dilontarkan putri tersayangnya itu.
“Ayo, ucapin selamat ulang tahun untuk Ayah.” ajak Sara kepada Yun Jin.
Ibu dan anak itu menutup matanya, berdoa yang terbaik untuk sang suami sekaligus ayah dari harta berharga yang telah ditinggalkan oleh Itto.
Kak Itto—maksudku, Sayangku. Maafkan aku yang baru berani mengajak Yun Jin untuk mengunjungimu, anak kita sudah berusia 5 tahun, ia bersikeras untuk merayakan ulang tahunmu dibandingkan dengan menghadiri acara hari pertama sekolahnya bersama sepupunya, si Sayu. Anak kita seperti dewasa sebelum waktunya, namun ditutupi oleh kepolosan. Dia berpikir sebelum bertindak, tutur katanya bagus dan terjaga, dia benar-benar tidak seperti kita, Sayang. Dan aku sangat bersyukur, dan meminta maaf karena aku sempat tidak mau menjaga harta berharga yang telah kamu berikan ini kepadaku. Dengan Yun Jin aku kuat, dia adalah alasanku untuk hidup sekarang, membawa semangatmu untuk terus menjadikan anak kita sukses di kemudian hari. Tidak banyak yang berubah dari aku, rasa sayangku terus tumbuh hanya kepadamu, di hatiku hanya Yun Jin sekarang. Kamu tidak perlu takut aku pindah ke lain hati walaupun kamu memintanya ribuan kali di akhirat sana.
Yun Jin menatap sang ibu yang masih terpejam dan menangis, Sara sengaja menahan tangisnya ketika berdoa agar tidak didengar oleh Yun Jin.
Anak itu jelas belum tahu caranya berdoa, ia juga masih bingung dengan esensi berdoa kepada mayat yang sudah lama terkubur di dalam tanah. Namun, setelah ia menyelesaikan doanya, Yun Jin memeluk erat sang ibu yang masih menangis karena mendoakan suaminya.
“Yuyun sayang Mama. Mama jangan menangis,” ucap Yun Jin kepada Sara.
Setelah mendengar ucapan anaknya justru membuatnya menangis lebih keras lagi. Ia benar-benar bersyukur telah diberikan karunia yang besar ini oleh Tuhan, Yun Jin adalah satu-satunya alasan untuk tetap bertahan hidup.
“Nana! Angli!” seru Yun Jin kepada Ningguang dan Zhongli yang baru saja tiba bersama yang lainnya.
“Tuh, kan, masih dipanggil Angli, kamu gak ajarin, kan, si Yun Jin?” runtuk Zhongli ke Ningguang.
“Kan, lebih cocok. Angli yang berarti Abah Zhongli.” ledek Ningguang yang sudah merasa menang.
Kedekatan Yun Jin dan Ningguang sudah terasa saat anak itu baru saja lahir, Zhongli tidak diberikan kesempatan sedikit pun untuk menimang cucunya pasca kelahiran, ikatan yang dimiliki oleh Ningguang dan Yun Jin sangatlah kuat.
Zhongli menghampiri Sara yang sedang menyeka air matanya dengan sapu tangan. Lelaki paruh baya itu tersenyum sembari mengelus lembut tangan anaknya yang sedang bersedih itu.
“Itto pasti senang melihat kita semua berkumpul di sini,” bisik Zhongli pelan.
Sara hanya mengangguk mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Zhongli.
“Terima kasih, Yah.” balas Sara pelan.
Setelah itu semuanya bergantian memberikan doa untuk Itto, sementara Sara dan Yun Jin menunggunya di belakang. Yun Jin terus memegang tangan sang ibu, karena baru kali ini anak itu melihat ibunya menangis, selama ini Yun Jin menilai Sara sebagai ibu yang tegas, namun ternyata sang ibu memiliki sisi lain yang baru saja ia ketahui hari ini.
Setiap orang memiliki alasan untuk bertahan hidup, dan alasan itulah yang menguatkan mereka agar terus berjuang hingga titik darah penghabisan. Tidak ada yang bisa membantah hal itu, baik atau buruknya seseorang tak membuat mereka lupa dengan alasannya untuk terus bertahan, setiap awal pasti memiliki akhir, pertemuan akan berjumpa dengan perpisahan, semua yang hidup justru dibayang-bayangi oleh kematian.
“You keep me alive, Yun Jin.” ujar Sara dalam hati saat menatap putri satu-satunya itu.