ismura

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 15 (Siluet) trigger: blood, suicide attempt

Scaramouche terlihat sedang bingung di kantornya. Walaupun masih anak sekolahan, ia sudah memiliki bisnis karena diturunkan oleh La Signora yang bergerak di bidang jasa, tak ayal seluruh karyawan Scaramouche memiliki badan yang besar dan tegap.

Mungkin karena Scaramouche adalah anak bungsu, La Signora lebih menyayangi dan memperhatikannya di bandingkan dengan Ajax, yang dinilai sudah bisa hidup mandiri. Jika dilihat dari sifat dan sikapnya, Ajax memang orang yang mandiri dan kuat, namun sang kakak melupakan fakta bahwa Ajax tidak pernah memiliki masa kecil yang indah karena perannya tersebut.

“Boss,” ujar salah seorang bawahan Scaramouche.

Scaramouche hanya menoleh sebentar, lalu kembali fokus ke berkas-berkas yang sudah bertumpuk di atas mejanya.

“Madam Yae Miko memberi upah lebih lagi untuk kami, bagaimana cara membaginya?” lanjutnya.

“Untuk kalian saja semuanya, ajak yang lain makan-makan bersama. Saya tahu kalian sering mengais makanan bekas dari Wanmin Restaurant, kan?” jawab Scaramouche tanpa melihat ke arah bawahannya.

Lelaki berbadan besar itu berkaca-kaca, mereka tidak sadar bahwa selama ini Scaramouche memperhatikan seluruh karyawannya. Mereka sudah cukup paham bahwa kondisi Fatui Harbringers sedang tidak baik karena kasus tabrak lari Zhongli beberapa waktu lalu, hanya Yae Miko yang masih menggunakan jasa mereka sampai saat ini.

“Masih gila itu si perawan tua?” tanya Scaramouche datar.

Pertanyaannya hanya dibalas dengan anggukan, sambil sesekali memegangi perut karena memang mereka jarang mendapatkan makanan yang masih layak untuk dimakan sehingga harus mengais makanan bekas dari rumah makan atau tong sampah di kota.

“Ya sudah, kalian makan saja,”

Pria berbadan besar itu meninggalkan ruangan Scaramouche sambil terisak-isak, memang Mora yang diberikan oleh Yae Miko sangat besar, bisa dipakai untuk menyewa apartemen selama setahun, dan Scaramouche tidak memperhatikan itu sama sekali, yang penting baginya adalah kesejahteraan karyawannya.

Lelaki bersurai ungu itu melanjutkan pekerjaannya, dan terhenti di satu berkas yang membingungkan baginya, berkas klien yang meminta Fatui untuk membuat Zhongli kecelakaan seolah itu adalah kecelakaan tunggal.

Scaramouche tak bisa berhenti tertawa setelah membaca nama klien yang mencoba membunuh pahlawan Teyvat itu.

“TOLOL!” teriak Scaramouche lantang, dibarengi dengan tawa yang menggelegar.

“PEREMPUAN MUNAFIK!”

Scaramouche menyobek kertas permintaan jasa milik Yanfei dan membakarnya hingga hangus. Orang yang selama ini menjadi kepercayaan bagi keluarga Geo justru menusuknya dari belakang, seluruh permainan Yanfei sudah terungkap, namun buktinya sudah dibakar habis oleh Scaramouche. Ia ingin tahu bagaimana kelanjutan dari sandiwara manusia-manusia bodoh di Teyvat.

**

Suasana rumah Jean dan Lisa terlihat ramai, hari ini mereka menyelenggarakan pesta rumah baru dengan mengundang seluruh warga Teapod Residence dan kolega serta kerabat yang mereka kenal.

Barbara sibuk menuangkan minuman dingin di atas cawan kaca yang tampak bersinar karena pantulan sinar matahari. Senyum gadis itu merekah karena sebentar lagi kekasihnya, Venti, akan datang. Mereka sudah lama tidak ketemu karena kesibukan masing-masing, dan hari ini Barbara ingin membayar rasa rindunya dengan harga berapa pun agar dapat terus di samping Venti.

“Klee! Jangan main HP terus!” seru Jean dari dapur.

Sang ibu terlihat sedikit kesal karena setelah Klee dibelikan gawai baru oleh Lisa, ia seakan memiliki dunia baru dan membuatnya lupa dengan dunia nyata.

Razor baru saja turun dari lantai dua setelah mandi, ia masih mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Razor, tolong ambil saja HP-nya Klee. Dia udah lama banget mainnya,”

“Iya, Bu.”

Razor menghampiri Klee di ruang tamu, namun Jean tetap memperhatikan mereka dari dapur, takut Razor terpengaruh oleh Klee dan melupakan tugasnya.

“Duh, salah nyuruh orang,” runtuk Jean pelan.

Klee langsung mengajak Razor bermain gim dan diiyakan oleh sang kakak, dengan cepat Razor berlari menuju kamarnya untuk mengambil gawainya yang sedang diisi daya baterainya.

Lisa yang sejak tadi memperhatikan mereka hanya bisa tertawa sambil berjalan ke dapur, ia merangkul Jean yang sudah ngomel-ngomel sendiri dari tadi.

“Sudah, Jean. Biarkan saja, mereka masih anak-anak,” bisik Lisa lembut.

Jean bergidik, ia masih belum biasa diperlakukan selembut itu oleh Lisa, sekuat apa pun Jean berusaha untuk menerima perlakuan Lisa, tetap saja ia belum terbiasa dengan semua itu.

Lisa membantu Jean mempersiapkan makanan yang akan dihidangkan saat pesta nanti, apa pun masalahnya jika diselesaikan bersama pasti akan cepat selesai.

Jean menoleh sekilas ke arah Lisa, namun Lisa sudah lebih dulu memandangi wajah Jean sambil tersenyum menggoda. Mereka tertawa setelahnya, sambil melanjutkan urusan mereka di dapur.

TING TONG

Barbara dengan cepat berlari menuju pintu depan rumahnya, saat ia membuka pintunya, dia kaget dengan penampilan Beidou yang jauh berbeda dari biasanya.

“Tante Beidou?” ujar Barbara pelan.

Beidou hanya tersenyum kepada Barbara, ia mengacaukan rambut Barbara yang sudah ditata rapi sejak pagi. Perempuan itu sengaja, karena ia suka reaksi Barbara ketika sedang kesal dengannya.

“Tante! Ih! Rara udah dandan, lho!”

Barbara langsung berlari menuju kamarnya, tak peduli dengan cawan-cawan kaca yang masih belum selesai ia tuang. Sementara Beidou masih tertawa melihat Barbara yang terlihat masih seperti balita di matanya.

Jean keluar dari dapur, mendengar Barbara yang mengomel sambil menangis membuatnya penasaran dengan apa yang terjadi di depan.

“BEIDOU!” sahut Jean penuh semangat.

Jean langsung memeluk Beidou erat, ia senang bahwa temannya menepati janjinya untuk datang ke pesta rumah baru mereka.

“Gue datang, nih. Jangan bilang gue pembohong lagi,” ledek Beidou sambil merangkul Jean.

Mereka tertawa setelahnya, Lisa juga ikut tersenyum melihat kehangatan yang ditunjukkan oleh dua sahabat itu dari dapur. Bersyukur bahwa Jean masih bisa menemukan kebahagiaan lain, dan dia sudah tidak terlihat murung lagi semenjak kepergian sang suami.

“Lah? Baru gue doang ini ceritanya?” tanya Beidou heran.

Jean hanya mengangguk sebagai balasan. “Gue mau ngajak lo masak tapi pasti gak akan bisa, kan?”

Beidou sontak tertawa mendengar pertanyaan Jean.

“Tahu aja! Gue mau minta bir, mana kulkas lo?”

Lisa datang dari dapur sambil membawa satu botol bir yang masih dingin dari kulkas, uap yang dikeluarkan dari minuman dingin itu terlihat jelas oleh mata telanjang, yang membuat Beidou bersemangat untuk menelanjangi minuman itu sampai habis.

“Oh, iya! Saya Beidou, Bu.” ujar Beidou kepada Lisa.

Lisa hanya membalasnya dengan senyuman, lalu kembali menuju dapur untuk menyelesaikan masakannya.

“Kenapa itu orang?” tanya Beidou pelan.

Jean tak bisa menjawabnya, ia juga baru kali ini melihat Lisa bertingkah seperti itu.

“Beidou! Sepatunya dilepas, ya, Sayang!” teriak Lisa dari dapur.

“Bangsat! Gue lupa lepas sepatu!” gumam Beidou malu, ia meletakkan birnya dan berlari keluar rumah untuk membuka sepatunya.

Jean tertawa sambil menoleh ke arah Lisa, melihat senyum Lisa membuat Jean serasa lebih hidup dari sebelumnya. Ia sangat bersyukur bahwa Tuhan cepat memberikan pengganti Diluc untuknya, walaupun bukan sebagai pasangan, Lisa adalah teman yang baik serta ibu yang dapat dijadikan panutan untuk Klee dan Barbara.

**

Kokomi berdiri di depan rumah si kembar, sudah lebih dari 15 menit perempuan itu menunggu namun tidak ada balasan dari dalam. Bel rumah yang sudah ia tekan berkali-kali, pintu rumah yang juga sudah ia ketuk berkali-kali, hasilnya nihil. Namun ia masih belum menyerah, ia tahu bahwa Aether dan Lumine sedang berada di rumah.

“Ah? Kak Kokomi?” sahut Lumine heran.

Kokomi tersenyum, memberikan dua kotak makanan untuknya dan sang kakak.

“Bisa tolong sampaikan salam saya kepada Aether?” tanya Kokomi sambil tersenyum.

Lumine hanya mengangguk dan masih bingung dengan kedatangan Kokomi yang terbilang tiba-tiba ini.

“Kakak mau masuk dulu? Aether masih istirahat, sih.”

“Tidak usah, saya tidak akan mengganggu waktu istirahat kalian. Saya ikut sedih setelah tahu kondisi kalian sebelum pindah ke SMA Teyvat. Kalian adalah saudara yang hebat karena bisa menguatkan satu sama lain.”

Lumine mengernyitkan alisnya, lagi-lagi ia bingung dari mana Kokomi tahu cerita yang seharusnya hanya diketahui oleh Keqing, Ajax dan Scaramouche, itu pun kalau Scara masih ingat.

“Kakak tahu dari mana?”

“Saya? Tahu dari siapa?”

Lumine mengangguk pelan, sebenarnya ia ragu untuk bertanya kepadanya.

“Hotaru, kita adalah Celestia yang tidak masuk dalam kontrak milik Zhongli,” jawab Kokomi tersenyum.

Lumine bergidik, gadis bersurai pirang itu tak menyangka bahwa Kokomi tahu nama aslinya. Bukan hanya itu, ternyata Kokomi juga merupakan keturunan dari Celestia kuno.

“Kontrak yang diberikan kepada Zhongli hanya untuk menghabisi seluruh bangsawan dan Celestia murni dari setiap suku yang ada di Teyvat. Bunda Tsaritsa adalah Celestia kuno terakhir, benar?”

Pertanyaan Kokomi hanya dibalas oleh senyum tipis Lumine, yang sudah semakin ketakutan mendengar seluruh penjelasan Kokomi.

“Kita adalah keturunannya, hanya saja kita berbeda bapak. Wanita jalang itu ternyata memberikanku dua adik kembar.” lanjut Kokomi yang masih tak bisa berhenti tersenyum.

“K-Kak?”

Kokomi spontan memeluk Lumine, air matanya mengalir setelahnya. Sudah lama ia mencari informasi tentang keberadaan saudara jauhnya, ini adalah wasiat terakhir dari sang kakek yang gagal diteruskan oleh ayahnya yang meninggal karena kecelakaan satu tahun yang lalu.

“Maafkan saya, Hotaru. Saya tahu kalian sangat sayang dengan Bunda Tsaritsa, tapi keluarga kami sangat membenci ibu kita. Walaupun saya juga darah dagingnya, perlakuannya kepada keluarga kami sangat kejam.”

“Kak? Aku bingung,” ujar Lumine pelan.

“Lingkaran kehidupan dan kebencian harus putus di kita, sekarang kita harus hidup berdampingan dan tidak saling bermusuhan satu sama lain.”

Lumine melepaskan pelukan Kokomi sekuat tenaga, ia menatap tajam mata yang diduga saudaranya itu.

“Kak, aku ingin mencoba untuk percaya dengan Kakak. Tapi maaf, aku belum bisa.” kata Lumine, bibirnya bergetar hebat karena masih ketakutan ketika mendengar nama lamanya.

“Pak Zhongli adalah ketua RT di perumahan ini. Kalau Kakak mau, kita bisa bertanya sama-sama kepa—”

“Jangan,” sanggah Kokomi.

“Kenapa?”

Kokomi menghela nafasnya perlahan, mencoba menenangkan dirinya sembari menyeka air matanya yang terkadang masih mengalir begitu saja.

“Saya takut dengan Zhongli, dia bukan orang sembarangan.” jelas Kokomi kepada Lumine.

“Tapi dia lucu, kok. Receh juga orangnya,” balas Lumine sambil mengusap dagunya. Gadis itu heran, kenapa setiap pandangan orang terhadap Zhongli berbeda-beda.

“Itu gak terlalu penting, yang jelas, setelah mendengarkan ceritamu dari anak-anak di sekolah, aku langsung sadar bahwa kalian adalah orangnya. Aether sempat berteriak tentang Snezhnaya kepada Ajax, dan Ajax memanggilnya dengan sebutan Sora, itu yang membuat saya semakin yakin.”

Lumine bergeming, ia hanya bisa menatap Kokomi penuh kekhawatiran. Ia masih tak percaya bahwa ibunya memiliki kekasih dan keturunan lain selain dengan ayahnya yang selama ini mereka kenal.

“Kakak tahu? Alasan Mama melakukan hal seperti ini?”

Kokomi menggeleng, ia tak akan bisa menemukan jawabannya jika harus mencari ke mana pun, dan sejauh apa pun tempatnya.

“Mungkin supaya Celestia tidak punah, karena memang tinggal kita bertiga yang tersisa,” jawab Kokomi, berharap bisa diterima dengan baik oleh Lumine.

“Juga, Kak. Mungkin ada keturunan bangsawan lain yang tidak masuk ke dalam kontrak. Kita, kan, gak tahu.”

Kokomi hanya mengangguk, lalu kembali memeluk Lumine dengan erat. Kini bukan rasa takut lagi yang dirasakan oleh Lumine.

“Dek? Lo ngapain sama ketos?!” teriak Aether yang kaget setelah bangun dari tidurnya.

Lumine dan Kokomi hanya tertawa melihat reaksi dari Aether, setelah dipersilakan untuk masuk. Kokomi, Lumine dan Aether duduk di ruang tamu yang beralaskan bantal kecil untuk mereka duduk.

“Jadi begini ceritanya, saya akan ulangi dari awal,” ujar Kokomi membuka cerita dengan senyumnya yang manis dan menenangkan.

**

Xiao tiba di depan rumah Yoimiya, setelah memaksa Gorou untuk meminta alamat rumah Yoimiya kepada Kazuha. Akhirnya lelaki bersurai hijau itu tidak salah alamat lagi.

Ini pasti rumahnya,

Xiao mengetuk pintu rumah Yoimiya berkali-kali, namun hanya suara musik metal yang terdengar dari luar.

Gila ini anak, ya? Setel lagu kencang-kencang,

Saat Xiao akan mengetuk pintunya, tiba-tiba kenop pintu rumah Yoimiya terlepas dan jatuh. Pintunya terbuka karena terhembus angin yang lebih kencang dari biasanya.

Xiao berjalan pelan menuju ruang tamunya, melihat begitu banyak sampah yang berserakan di sana, namun ia tak memedulikan itu. Ia terus menyusuri seisi ruangan di rumah Yoimiya, namun tak ada satu orang pun di sana.

Anak ini keluar rumah gak kunci pintu, lagu kebesaran. Benar-benar gila ini anak.

Berjalan menuju sumber suara lagu metal yang masih terdengar berteriak dan mengumpat kepada Tuhan, jantung Xiao berdebar hebat, ia memiliki firasat yang buruk tentang apa yang akan terjadi jika ia terus masuk ke dalam kamar Yoimiya.

Total nightmare! Total nightmare! You wanna hear my side? You need to drown to know With all the times it hurt me to fuck you I built a wall with your blood to show God save us God save us all God hates us God hates us all

Xiao terjatuh karena terkejut melihat darah yang terus mengalir dari lengan Yoimiya, ia tak berkutik setelahnya, seluruh tubuhnya bergetar hebat, keringat mulai bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.

“YO-YOIMIYA!”

Setelah berhasil melawan rasa takutnya, Xiao langsung bergegas menutupi lengan Yoimiya yang terluka. Bekas sayatan miliknya terbuka lebar, seluruh bekas luka sayatan milik Yoimiya ia tutupi dengan tato. Ini yang membuat Xiao sadar alasan Yoimiya menggunakan tato untuk apa, tanpa bertanya langsung kepada orangnya.

Xiao mengambil ponselnya dan menghubungi unit gawat darurat daerah Inazuma.

“HALO! TOLONG KIRIMKAN AMBULAN KE RITOU! TEMAN SAYA MELAKUKAN PERCOBAAN BUNUH DIRI!”

credits: Song by Avenged Sevenfold – God Hate Us

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 14 (Pilihan Hidup)

FLASHBACK

Raiden Shogun masuk ke dalam ruang sel isolasi Itto, ia tak menghiraukan Ningguang yang memanggilnya dari tadi. Setelah sampai di dalam, Itto tak mengacuhkan Raiden sama sekali.

“Itto,” sapa Raiden kepada sang Bocah Raksasa.

Itto hanya menoleh sebentar, lalu kembali menunduk ke arah tanah.

“Maafkan saya, karena mungkin ini adalah kali terakhir kita bertemu,” lanjut Raiden pelan.

Itto tersenyum setelah mendengar Raiden yang sudah terisak-isak saat mengatakan perpisahannya.

“Ei,” panggil Itto, ia tersenyum ke arah Raiden.

Raiden Shogun (Ei) mendongak dan melihat senyum mantan kekasihnya, hatinya terenyuh setiap kali melihat sang iblis itu tersenyum. Banyak kenangan yang kembali terulang ketika Itto tersenyum untuknya.

“Terima kasih, telah mengajarkan kepadaku tentang banyak hal,” lanjut Itto.

Raiden terus menangis di setiap kata yang keluar dari mulut Itto.

“Pasti berat, bertukar identitas dan hidup menderita selama 10 tahun lamanya. Tapi di satu sisi, kenyataan ini juga berat bagiku.”

“Kenyataan bahwa kamu tetap hidup dalam bayang-bayang Baal yang seharusnya menjadi Raiden Shogun yang sebenarnya.”

“Aku sudah mengikhlaskan semuanya di saat kematianmu, aku berusaha untuk mengerti bahwa Celestia tidak harus ada di dunia yang sudah modern ini. Banyak buku yang sudah kubaca tentang keberadaan Euthymia dan keluargaku, beberapa bulan setelah kematian saudaramu aku pergi mengelilingi Teyvat. Melanjutkan mimpi kita yang ingin keliling dunia seorang diri, untuk mendedikasikan kematianmu, Ei.”

Raiden Shogun (Ei) tak bisa menghentikan tangisnya, perempuan itu tertampar oleh kenyataan bahwa Itto sudah jauh lebih dewasa dari yang ia kenal 10 tahun yang lalu.

“Aku harus apa, Itto?” ujar Raiden Shogun (Ei) pelan.

Itto menatapnya dalam-dalam, tak peduli dengan air mata mantan kekasihnya yang terus menerus jatuh tanpa diminta.

“Sebelum kamu kasih tahu dirimu yang sebenarnya saat ziarah aku ke makam Baal, aku sudah tahu duluan kalau kamu bertukar identitas dengannya,”

Raiden terkejut mendengar perkataan Itto, ia tahu betul bahwa Baal sangat pandai untuk menjaga rahasia.

“Kamu pasti kaget, dan aku lebih kaget lagi di saat tahu bahwa Baal tidak mengerti apa-apa tentang Celestia.”

“Hanya ada satu Celestia di setiap suku bangsawan dan suku murni di dunia ini, dan Baal tidak tahu akan hal itu.”

Raiden Shogun mendekat ke sel Itto, memohon kepadanya untuk tidak melanjutkan apa yang sedang lelaki itu bicarakan.

“Sekarang semuanya percuma, Ei. Saudaramu telah lama mati, nyawamu saja tidak akan bisa mengganti seluruh penderitaannya,”

“Ternyata memang benar kata Ayah, semua Celestia harus mati.” tutup Itto yang sudah tidak menunjukkan lagi senyumnya.

Raiden Shogun menyeka air matanya yang belum bisa berhenti mengalir, ia tersenyum tipis ke arah Itto dan berbalik arah menuju pintu keluar ruangan sel isolasi.

“Ya, pada akhirnya semua Celestia akan mati.” kata Raiden Shogun dengan suara yang masih terdengar serak seperti sedang menahan tangis.

Itto hanya mengangguk pelan, setuju dengan perkataan Raiden Shogun yang perlahan pergi meninggalkannya.

2 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Itto terbangun dari tidurnya, ia sudah lupa dengan hari, karena memang tidak ada penunjuk waktu di sekitar sel isolasi miliknya. Wajah lelaki itu terlihat lebih suram dari biasanya, entah apa yang sedang dipikirkannya.

“Gila. Apa hari ini, ya, gue matinya?”

Di luar ruangan sel isolasi, Ningguang baru saja menyelesaikan urusannya di meja adminstrasi. Hari ini hanya dia sendiri yang membesuk Itto, karena Sara harus melakukan terapi untuk kakinya di rumah sakit.

“Mamah? Sara mana?” tanya Itto heran.

“Sara di rumah sakit, Mamah sedang berusaha untuk membuatnya bisa jalan kembali dengan melakukan terapi,” jawab Ningguang sembari menghela nafasnya.

Wajah Ningguang terlihat khawatir, banyak yang menjadi beban pikirannya saat ini, Zhongli yang tak kunjung sadar, Sara yang belum tentu bisa berdiri dan berjalan lagi, Albedo yang sibuk bekerja sampai jarang pulang, Sucrose yang terpaksa melakukan banyak pekerjaan rumah karena yang lain sibuk, sementara usia kandungannya semakin bertambah, dan masih banyak lainnya.

“Mamah kenapa?” tanya Itto lagi.

“Mamah kepikiran ayah kamu, dan juga Al yang makin sibuk bekerja,” jawab Ningguang singkat.

“Ayah belum sadar?”

Ningguang hanya mengangguk sebagai balasan.

Mereka tak melanjutkan pembicaraan, suasana yang hening membuat seisi ruangan terasa mencekam.

“Mah?” panggil Itto pelan.

Ningguang menoleh ke arah si sulung, membuka sebelah matanya karena ia sedang mengistirahatkan pikirannya dengan bermeditasi.

“Apa memang ini jalan terbaik untuk Itto?”

Ningguang tak bisa menjawab pertanyaannya, anaknya akan dihukum mati karena perbuatannya, tentu tidak ada orang tua yang mau darah dagingnya mati begitu saja, namun ketika masih ada kesempatan untuk bertemu dengannya pasti akan ia gunakan sebaik-baiknya seperti sekarang ini.

“Mamah gak bisa bilang ini yang terbaik, To. Ayah tidak tahu apa-apa tentang ini, karena Mas Zhongli juga belum sadar sampai saat ini.”

“Tapi Mamah yakin, kalau keputusan Mas Zhongli akan sama seperti Ayato. Walaupun sikap ayah kamu memang seperti anak-anak, ada sisi lain yang membuat Mamah tidak bisa bergerak di saat harus menghadapinya.” lanjut Ningguang sambil tersenyum tipis.

“Sisi lain? Sisi lain dari Ayah maksudnya?”

Ningguang mengangguk pelan, begitu juga dengan Itto yang tiba-tiba teringat banyak tentang kejadian di masa lalu ketika Zhongli berada di mode serius.

“Kalau Ayah sudah memegang tombak milik Madame Ping, Itto sudah tak bisa berkutik lagi,” ujar Itto yang sudah merinding sendiri ketika menceritakannya.

Ningguang terkekeh mendengar cerita Itto yang masih sempat-sempatnya menari dengan tarian aneh yang biasa ia lakukan bersama Trio Bocah Liyue.

Itto banyak menirukan gerakan sang ayah ketika sedang bermain-main dengan tombaknya, Ningguang juga benar-benar terhibur dengan apa yang dilakukan oleh Itto. Padahal seharusnya Ningguang yang menghibur Itto di saat-saat terakhirnya.

“Kamu tidak takut mati, Nak?” tanya Ningguang dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Itto menggeleng dan tersenyum setelahnya, yang sedikit memberikan energi positif kepada Ningguang.

“Kita akan berkumpul lagi di singgasana, hanya saja Itto yang lebih dulu tinggal di sana nanti,” jawab si sulung.

“Oh, iya, Mah? Eksekusi Itto hari ini, bukan, ya?”

1 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Itto keluar dari sel yang telah mencekamnya selama 6 hari terakhir, hari ini ia diberi kebebasan untuk menghirup udara segar di taman para tahanan yang ada di lapas.

Langit masih biru seperti biasanya, rumput terus bergoyang ditiup oleh angin, memang tidak akan ada yang berubah. Kita sendiri yang merasakan sakit, orang lain tidak akan sadar atau peduli dengan rasa sakit kita.

Hari ini adalah hari terakhirku hidup di dunia ini, banyak kenangan yang belum siap kulepaskan. Penyesalan karena tidak bisa menemani Sara yang sedang berjuang sekuat tenaga mengandung anakku, anak kami.

Kalau anakku perempuan, seharusnya aku menjadi ayah mertua yang kejam kepada calon menantuku kelak, melarangnya pergi jauh apalagi sampai pulang larut, menemaninya menangis di kala seorang lelaki mematahkan hatinya untuk pertama kali, melacak keberadaan lelaki yang sudah mematahkan hatinya lalu kugebukin bersama anggota gengku yang lain.

Aku ingin mengatakan kepadanya bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun untuk sekarang dan di masa yang akan datang aku tidak akan bisa melakukannya. Aku terlalu cepat meninggalkan dunia ini.

Kalau anakku laki-laki, aku akan mengajarkannya menjadi bajak laut, agar Beidou bisa menurunkan rasa kesalnya kepada anakku juga, bukan ke aku saja. Aku ingin Meng, Fei dan Lulu menjadi teman sekaligus saudara yang bisa membimbingnya di kala aku sibuk bekerja agar bisa membelikan skincare untuk Sara. Ah, dia sangat terlihat sangat manis di pikiranku.

Semoga kematianku dan Baal dapat menjadi simbol perdamaian untuk Euthymia dan Geo's yang sudah lama berseteru karena perbedaan pendapat. Semua yang diceritakan oleh Ayah benar adanya, Euthymia dan Geo's tidak akan bisa bersatu sampai kapan pun. Kupikir aku bisa mengubah sejarah itu, dan menjadikan Ei sebagai istriku. Tuhan memang adil, memberitahu bahwa aku tidak pantas untuknya melalui keputusan yang ia buat karena dirasa menarik olehnya. Pertukaran identitas agar dapat melanjutkan keturunan Celestia dari Euthymia adalah pemikiran yang bodoh, Ei. Dan sekarang kamu tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini.

Itto tertidur di bawah pohon Willow Oak, menunggu kematiannya yang hanya tinggal hitungan jam saja.

Apa yang kita taburkan, itu yang akan dituai. Arataki Itto akan menjalani hukuman terakhirnya di dunia ini, tak ada rasa takut sedikit pun yang terpancar di wajahnya. Bahkan di hari terakhirnya hidup di dunia ini, ia masih bisa menggaungkan kepada dunia bahwa ia akan tetap hidup di hati mereka yang yakin bahwa perpisahan ini hanya sementara, kita akan bertemu lagi dengan Itto di dunia yang kekal nantinya.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 14.2 (Pilihan Hidup) tigger: blood, abuse

3 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Sara kembali membesuk Itto hari ini, ia ditemani oleh Ningguang hari ini. Sara telah menyiapkan satu bungkus Mochi yang sudah ia buat dengan sepenuh hati.

“Jangan senyum-senyum dulu, Sayang. Nanti dikira orang apa, lho!” ledek Ningguang yang juga ikut tersenyum melihat Sara terlihat antusias selama perjalanan.

“Ah! Maaf, Bu. Sulit untuk menyembunyikannya,”

Selagi mendorong Sara menuju ruang isolasi, Ningguang mengelus lembut kepala Sara dengan tangan kirinya yang membuat Sara semakin nyaman ketika berada di sisi Ningguang.

“Enak?” tanya Ningguang lembut.

“En-enak, Bu. Terima kasih banyak,” ujar Sara menghadap ke belakang.

Setelah tiba di meja administrasi, Ningguang dan Sara mendapati Raiden Shogun yang baru saja akan masuk ke dalam ruangan sambil memegang sesuatu di tangannya.

“Raiden!” seru Ningguang lantang.

Raiden menoleh ke arah Ningguang dan Sara, namun hanya menundukkan kepalanya lalu masuk ke dalam ruangan isolasi.

“Maaf, Bu. Suaranya mohon dipelankan,” kata salah seorang sipir yang bertugas di sana.

“Kami keluarganya Itto, kenapa kamu malah membiarkan orang yang bukan keluarganya untuk membesuknya?!” ujar Ningguang penuh emosi.

Melihat tatapan Raiden Shogun tadi malah membuat Sara membisu, Mochi yang telah ia buat terjatuh karena ia hampir tak sadarkan diri.

“Sara? Kamu kenapa, Sayang?”

FLASHBACK

Sara hampir tiba di kapal menuju Mondstadt, nafasnya terengah-engah setelah berlari sejauh 20 Km. Namun rasa lelahnya seperti terbayar karena ia tidak melihat siapa pun yang mengikutinya selama perjalanan ke pelabuhan.

Saat Sara baru saja duduk di salah satu kursi kapal, terdengar suara pengumuman dari speaker kapal.

“Kepada Nona Kujou Sara diharapkan untuk melakukan validasi tiket kembali di depan, terima kasih.”

Sara bingung dengan pengumuman yang mencurigakan itu, padahal dia tidak membeli tiket, dia adalah penumpang gelap, karena jarang juga ada yang membeli tiket kapal jika hanya ingin menumpang. Dan juga, dari mana mereka tahu namanya?

Seorang lelaki berbadan besar dan tegap menghampiri kursi Sara dan menariknya dengan paksa.

“Ada apa ini?!” bentak Sara tak terima.

Lelaki itu tak menjawab pertanyaannya, pinggul Sara tersenggol besi pembatas antara satu penumpang dengan penumpang lainnya yang membuat perempuan itu meringis kesakitan.

Sara dibawa ke luar kapal, saat itu juga Sara mendapati bahwa Yae Miko sudah berada tepat di hadapannya.

“Mau kabur ke mana, Sara?” tanya Yae Miko sambil tersenyum.

Perempuan bersurai merah muda itu berjalan mendekati Sara yang masih memegangi pinggulnya yang sudah lebam.

“Raiden sudah memerintahkan saya untuk memotong kakimu,”

Mata Sara terbelalak setelah pipinya dicengkram oleh Yae Miko, kukunya yang tajam dan panjang membuat wajahnya terasa sangat sakit.

“Sa-sakit, Mba!” rintih Sara tak tertolong.

“Apakah saya terlihat peduli? TIDAK!”

Yae Miko melepaskan cengkramannya, lalu menjambak rambut Sara dan menyeretnya ke suatu tempat dekat pelabuhan di Inazuma. Mereka berdua diikuti oleh 3 lelaki lain yang sama besarnya dengan yang membawa Sara keluar dari kapal tadi.

Mereka tiba di suatu gedung yang telah dikosongkan oleh Yae Miko hanya untuk menghukum Sara.

Yae Miko mengambil sebilah pisau tajam yang masih terlihat baru dan mengkilat. Pisaunya tidak terlihat besar, dan tak mungkin bisa dipakai untuk memotong kaki manusia.

“Saya ada ide yang lebih menarik daripada perintah Raiden Shogun, kamu mau tahu?” ujar Yae Miko mendekat ke Sara yang sudah diikat di atas kursi kayu.

Sara menggeleng ketakutan, ia sudah ditodong oleh pisau, ujung pisau itu sudah menusuk pipi Sara dan dengan sengaja diturunkan ke lehernya sehingga terjadi goresan yang panjang di wajah Sara.

“Tajam juga pisaunya,” seru Yae Miko antusias, ia menoleh ke arah 4 orang tadi, mereka hanya membalasnya dengan senyum dan jempolnya.

“A-ampun, Mba!” teriak Sara ketakutan, keringatnya sudah mengalir deras di sekujur tubuhnya, tangan dan kakinya diikat dengan kuat sehingga Sara tidak bisa bergerak lagi.

“Saya gak akan memotong kaki kamu, tenang aja!”

Yae Miko memotong tali pengikat kaki Sara dengan pisaunya, dan mengisyaratkan lelaki berbadan besar itu untuk memegangi kakinya.

Sara benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa, melihat lelaki berbadan besar itu sudah memegangi seluruh tubuhnya, mau bergerak saja tidak bisa, apalagi memberontak.

“Ini yang mau saya lakukan padamu, Sara.”

Yae Miko mengarahkan pisaunya ke belakang kaki Sara, lalu meletakkan pisau itu tepat di atas tumitnya.

SLASH

Sara berteriak kencang, hanya suaranya yang terdengar mengisi seluruh gedung yang kosong itu.

“Baru satu kakinya, udah nangis aja,” kata Yae Miko sambil menahan tawa.

“SAKIT, MBA! AMPUN!”

Yae Miko berdiri dan mencengkram lagi wajah Sara.

“KALAU RAIDEN MENYURUH SAYA UNTUK MEMBUNUHMU, SUDAH SAYA LAKUKAN DARI TADI! JADI DIAM SAJA!”

Sara tak bisa berkata apa-apa lagi, ia sudah pasrah dengan semua yang telah dan akan terjadi setelah ini.

“Nah, diam seperti itu, kan, enak.”

SLASH

Teriakan Sara menggelegar mengisi seluruh ruangan, namun tak akan ada yang dapat mendengarnya, karena ia sudah jauh dari pelabuhan.

“Lucuti pakaiannya, dan ganti dengan jubah hitam,” suruh Yae Miko sambil berdiri dan membersihkan pakaiannya yang terkena tanah.

Sara sudah tak bisa melawan, rasa sakit di kakinya perlahan hilang. Sara sudah tidak bisa merasakan kakinya lagi.

Saat baju Sara dibuka oleh kawanan lelaki berbadan besar itu, ada satu test pack yang terjatuh dari saku bajunya.

“Boss! Ini ada sesuatu!” ujar salah satu di antara mereka.

Yae Miko mengambil alat tersebut dan tersenyum lebar.

“Positif, ya? Selamat, ya!” kata Yae Miko sambil tersenyum lebar, namun sepersekian detik kemudian wajahnya berubah menjadi datar.

“Sekarang bawa dia ke pengadilan, saya sudah tidak peduli lagi dengannya,”

Perintah itu disanggupi oleh anak buahnya, mereka menggeret Sara yang sudah tak berdaya keluar dari gedung kosong. Sesaat setelah Sara sadar, ia sudah duduk di kursi tempat Itto mendapatkan vonis untuk hukuman terakhirnya dari Ayato Kamisato.

**

Ningguang dan Sara masuk ke dalam ruangan sel isolasi Itto, namun Raiden Shogun baru saja akan membuka pintunya dan keluar.

“Ningguang, Sara, ini adalah terakhir kalinya saya bertemu dengan kalian, juga Itto.”

Ningguang sudah tak peduli lagi dan memaksa mendorong kursi roda Sara walaupun Raiden tepat berada di depannya.

Raiden terjatuh setelah ditabrak dengan keras oleh kursi roda besi itu, namun ia tak menunjukkan reaksi apa-apa.

“Itto akan pergi 3 hari lagi, kalau memang ini adalah hari terakhirmu untuk bertemu dengan kami, tak usah dipikirkan lagi, kamu sudah mati di mata saya.” kata Ningguang tanpa menghadap ke belakang.

Raiden Shogun hanya mengangguk dan berdiri lalu meninggalkan mereka bertiga.

“Sara. Sadar, Sayang. Gak usah takut, ada Ibu di sini.” ujar Ningguang memecahkan lamunan Sara.

“Ah, maaf, Bu. Maaf, Kak Itto.”

Itto hanya tertawa melihat reaksi Sara, ia jelas tidak tahu apa yang telah terjadi, ia juga tidak akan memikirkannya.

“WAH! MOCHI?! BUATAN LO, SAR?”

“Itto, jangan manggil Sara seperti itu,” potong Ningguang.

“Jangan, Kak. Itu udah kotor, jatuh ke tanah soalnya.” ujar Sara khawatir.

Tangan Itto langsung keluar dari sela-sela jeruji dan mengambil Mochi yang ada di tangan Sara lalu memakannya dengan lahap.

“AHHHH! ANDAI AJA GUE MASIH BISA HIDUP DAN NIKAH SAMA LO, PASTI GUE JADI GENDUT! ENAK BANGET MAKANAN BUATAN LO, SARA!”

“HEH, ITTO!” sanggah Ningguang tak kuat menahan malunya ketika si sulung berkata seperti itu.

Sara hanya tertawa melihat Itto dan Ningguang, ini yang sangat ia rindukan selama ini. Namun kenapa ini terjadi setelah semuanya berada di ujung jurang yang sudah jelas terlihat curam dan berbahaya, namun senyum dan tawa mereka tak pernah pudar seakan mereka tahu bahwa semua akan baik-baik saja jika dilewati bersama.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 14.1 (Pilihan Hidup)

4 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Raiden Shogun berjalan menuju sel Itto, di saat tidak ada siapa-siapa di sekitarnya ia terlihat antusias dan tak bisa menyembunyikan senyumnya. Setiap langkahnya terasa sangat ringan, ia masih mengingat kata-kata Itto yang memintanya untuk menemaninya di saat-saat terakhirnya.

“Maaf, Bu. Setiap hari hanya satu orang saja yang bisa membesuk, dan untuk saudara Arataki Itto sudah ada yang membesuk,” jelas sang sipir yang bertugas di meja administrasi.

Raiden tersenyum tipis, ia tahu siapa yang ada di dalam.

“Saya ada urusan penting dengan Itto.”

“Ya, tetap saja tidak bisa, Bu.” balas sipir tersebut.

Raiden membalikkan badannya, padahal ia sudah memasakkan makanan yang sedikit lebih enak dari sebelumnya. Ia sudah belajar banyak dari buku resep makanan khas Inazuma, berharap Itto memberikan senyum yang lebar lagi untuknya.

Pasti si Sara yang ada di dalam.

**

Ningguang duduk bersimpuh di depan sel Itto. Wanita itu belum menoleh ke arah si sulung, yang justru membuat Itto berpikir keras tentang apa yang sedang ada di pikiran sang ibu.

“Kemarin Sara ke sini sama Noelle, kan?”

Itto hanya mengangguk, ia plonga plongo melihat sikap Ningguang yang lebih dingin dari biasanya.

“Mamah mau kamu jujur,”

“Tentang apa, Mah?”

Kini Ningguang menatap netra sang Bocah Raksasa dengan tajam, tak sedikit pun kehangatan yang terpancar dari aura sang ibu.

“Kenapa kamu dan Ayah membohongi Mamah saat Ei meninggal?”

“Kamu bilang Ei meninggal karena ada serangan mendadak dari Fontaine?”

Itto terkejut mendengar perkataan Ningguang, memang kematian Ei sudah dirahasiakan Zhongli dari Ningguang.

“Mamah tahu dari mana?”

“Madame Ping,” jawab Ningguang singkat.

Ningguang menyilangkan kedua tangannya sembari menunggu jawaban Itto yang sudah membatu, tidak tahu harus berkata apa.

“Kalau Nenek Ping yang ceritain—”

“Ya, kenapa Mamah harus tahu itu dari Nenek?!” ujar Ningguang sedikit keras.

“Ayah kamu tidak pernah mau menceritakan pekerjaannya kepada Mamah, dia tiba-tiba diangkat menjadi pahlawan, yang justru membuat Mamah bingung. Pahlawan seperti apa yang tingkahnya seperti anak-anak?”

Itto terdiam mendengar seluruh perkataan Ningguang, ia tidak tahu bahwa Zhongli menyimpan banyak rahasia selama ini. Titel Archon memang gelar yang cukup bergengsi di Teyvat, Zhongli adalah Archon dari Liyue, namun ia bukan sebagai pejabat atau pelaksana pemerintah di sana. Archon, hanya Archon, tanpa penjelasan.

“Kamu ada di sana saat Ei dibunuh, kenapa kamu gak menghentikannya?! Kenapa?!” bentak Ningguang keras.

Wanita itu memukul besi pembatas dengan sangat kuat, namun karena sudah berkarat dan tak terurus, besi itu bisa dengan mudah dipatahkan oleh Ningguang.

Gila, Mamah kuat juga.

“Kenapa Mamah gak nanya langsung saja sama Ayah?” tanya Itto pelan, tubuhnya sudah bergetar melihat sisi lain dari ibunya yang belum pernah ia ketahui sebelumnya.

Ningguang menoleh ke arah Itto, matanya sudah merah karena menahan tangis, kini emosinya lebih besar dari apa pun.

“Karena Mamah adalah seorang istri, To.”

Air mata Ningguang mulai mengalir, ia sudah tak bisa menahannya lagi. Tangan kanannya sudah berdarah karena memukul besi berkarat tadi, kekuatannya sudah terkuras, Ningguang memang impulsif seperti itu.

“Mamah selalu diajarkan oleh Madame Ping untuk tidak mencampuri urusan lelaki, apalagi suami. Mamah selalu diajarkan untuk mengikhlaskan, namun Mamah gak pernah mau melakukan itu, karena jika Mamah sudah mengikhlaskan, kamu pasti tidak akan lahir, Nak.”

“Mamah dituntut untuk mematuhi seluruh perintah Ayah, apa pun itu. Dan Mamah tidak berhak membantah, walaupun sikapnya seperti anak-anak.”

Itto tidak paham sama sekali dengan apa yang dibicarakan oleh Ningguang, otaknya masih sibuk mencerna di bagian Ningguang adalah seorang istri.

“Mamah tanya sekali lagi, kenapa kamu menyembunyikan kematian Ei dari Mamah?”

Itto menelan ludahnya, salah berbicara bisa panjang urusannya nanti.

“Karena kontr—”

“Kontrak. Ya, selalu kontrak. Madame Ping bilang kontrak, Mas Zhongli bilang kontrak. Harus bunuh ini, harus bunuh itu, setiap hari kerjaannya membunuh dan membunuh,” sanggah Ningguang yang sudah hilang akal.

Itto memutuskan untuk tidak membuka suara lagi, ia mulai paham bahwa sang ibu hanya butuh pendengar yang baik setidaknya untuk hari ini saja.

“Mamah tidak bisa membahas semua ini ke Al, Noelle, apalagi Gorou. Mamah minta maaf, ya, To. Hanya kamu yang bisa diajak bicara masalah ini,”

Itto tersenyum, dan mengangguk setelahnya.

“Ei adalah Celestia, dan semua Celestia harus dibunuh agar tidak ada lagi kesenjangang sosial di dunia ini. Apa kamu rela? Itu kekasihmu sendiri, dan kamu ada di depannya saat itu.” lanjut Ningguang yang masih terisak-isak.

“Mah, yang Ayah bunuh saat itu bukan Ei.”

Ningguang terkejut mendengar perkataan Itto.

“Iya, walaupun mereka kembar namun sifat mereka berbanding terbalik. Perasaan Itto mengatakan seperti itu,”

“Lalu? Dari mana kamu bisa yakin kalau Ayah membunuh orang yang salah? Hanya dari perasaan?”

Itto mengangguk pelan. “Itto mengenal Ei lebih dari siapa pun.” lanjut sang Bocah Raksasa.

“Ei pasti bertukar identitas dengan Baal, Ei pasti takut dibunuh oleh Ayah. Baal tidak tahu apa-apa tentang Celestia, saat Itto berbicara dengannya beberapa tahun yang lalu, ia bahkan kaget setelah mengetahui bahwa dirinya adalah Celestia, dan itu mencurigakan.”

“Bagi Itto, saat Baal terbunuh, saat itu pula Ei telah mati.”

Ningguang mengangguk setuju dengan perkataan Itto, ia ingat betul kejadian yang membuat hubungannya dengan Itto membaik ketika Itto berziarah di makamnya Raiden Ei yang sebenarnya adalah Baal.

“Jadi kamu menangis saat itu? Karena Ei yang sudah berubah?”

“Bukan, karena Raiden Shogun yang jujur kepada Itto saat sedang ziarah.”

Pikiran Ningguang pergi jauh ke belakang, ia mengingat saat Raiden Shogun keluar dari area pemakaman di kala Ningguang akan masuk ke dalamnya. Matanya terlihat seperti habis menangis, namun harus tetap terlihat tegar di depannya.

“Itto mencintai orang yang salah, Mah.”

“Yang Itto bayangkan selama ini adalah Ei yang mudah tersenyum, Ei yang penyayang dan Ei yang selalu menjadi semangat untuk hidup Itto. Namun, ternyata Ei adalah orang yang sangat manipulatif.” lanjut Itto yang kini juga terisak.

Ningguang tak bisa berkata apa-apa, kini ia hanya menempatkan dirinya sebagai pendengar yang baik untuk Itto.

“Mah, Itto boleh minta tolong sesuatu?”

“Minta tolong apa?”

“Itto mau dipeluk, Itto kangen dipeluk Mamah,”

Itto menatap Ningguang, namun tatapannya sendu, aura milik si sulung sudah sangat melemah, ia terlihat sakit di mata Ningguang.

“Ba-bagaimana cara Mamah memelukmu Itto?”

Jeruji besi yang membatasi tak bisa merestui rasa rindu yang dimiliki oleh ibu dan anak ini, mereka hanya menangis di tempat mereka masing-masing, tanpa tahu bagaimana cara mereka menuntaskan rindunya.

“Tolong jaga Sara, Mah. Itto mohon.”

Ningguang mengangguk pelan, ia tersenyum walaupun air matanya terus mengalir. Begitu juga dengan Itto, namun ia terus memaksakan senyumnya agar terlihat normal di mata sang ibu, tapi Ningguang pasti lebih paham tentang hal itu lebih dari siapa pun.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 14 (Pilihan Hidup)

7 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

“Jangan judes gitu dong, Pei, mukanya!” ledek Itto kepada Teppei yang menemani sipir penjara mengantarkan Itto ke tempat istirahat terakhirnya sebelum hari penghakiman.

“Bang, lo udah mau mati gini kenapa masih songong aja, sih?” ujar Teppei heran.

Teppei masih tidak menyangka bahwa orang yang membunuh dua aparat kepolisian dengan mudah adalah kakak kelasnya sendiri. Dulu mereka juga satu akademi sebelum Itto dikeluarkan karena ketahuan mabuk dengan Beidou.

“Lo gak tahu aja, Pei. Ini satu-satunya cara untuk mendapatkan kemenangan yang hakiki!” jawab Itto asal, ia bahkan tidak tahu apa arti dari hakiki itu sendiri.

Teppei hanya geleng-geleng kepala, ia tahu Itto tidak akan paham dengan apa yang sedang ia bicarakan.

Itto pun masuk ke dalam selnya, namun Teppei belum beranjak meninggalkannya.

“Kenapa lo? Mau ikut masuk?”

“Bukan, Bang. Gue lihat Sara tadi.”

“Hah?”

“Iya, Sara ikut dalam persidangan tadi.”

Itto mengernyitkan alisnya, menyenderkan tubuhnya di dinding sel dan rasa hampa yang menyelimuti di sekelilingnya.

“Gue kira dia ditahan sama Euthymia.”

“Kalau itu gue gak tahu, Bang. Tapi yang jelas dia ada saat persidangan lo.”

“Cuma itu, sih, yang bisa gue bilang. Tadi gak enak karena ada sipir.” lanjut Teppei pelan.

“Ya udah. Makasih, Pei!”

Teppei meninggalkan Itto sendirian di ruangan putih dengan hawa yang sangat mencekam itu.

Sara? Kenapa lo sampai begini banget?

6 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Hanya Raiden Shogun yang datang membesuk Itto, entah darimana ia datang dan membawa makanan yang sudah dimasak sendiri olehnya.

“Ini, To. Makanan untukmu.”

“Tumben?” jawab Itto singkat.

Raiden tak menjawab pertanyaan Itto, perempuan itu menatap ke seluruh sudut sel Itto yang memang hanya dibatasi oleh besi-besi dingin yang berkarat. Ia bisa melihat dengan jelas bahwa Itto tidak difasilitasi apa-apa dalam tempat istirahat terakhirnya.

“Memang tidak ada kasur di sini? Di mana lo buang air kemarin?” tanya Raiden heran.

“Iya, gue juga gak dikasih makan. Makanya gue kaget kalau lo ada di sini, bawa makanan pula,”

Raiden Shogun tak bisa menahan dirinya, garis bibirnya perlahan naik, ia tampak seperti akan tertawa namun berusaha untuk menutupinya.

“Gue cobain, ya!”

Itto langsung melahap makanan yang dimasak oleh Raiden tanpa memperhatikan raut wajah perempuan yang sedang salah tingkah itu dari tadi.

“Itto,” panggil Raiden pelan.

Ia sadar bahwa makanan yang sudah dimasak dengan penuh perjuangan itu tidak enak sama sekali. Sebelum dibungkus, Raiden sempat mencicipi masakan pertamanya, dan berharap bahwa itu akan menjadi masakan terakhirnya.

“Kenapa?” tanya Itto yang masih dengan lahap menyantap masakan Raiden.

“Itu gak enak, gue salah masaknya.”

“Enak, kok!” jawab Itto dengan mulutnya yang sudah terisi penuh dengan nasi goreng yang tampak kehitaman daripada kecokelatan.

Raiden Shogun membuang wajahnya, air matanya mengalir namun tetap ia tahan agak tidak terlihat oleh Itto.

“Udah mau pulang? Ini kotak nasi lo gimana?”

Raiden bergeming, ia malah terisak-isak setelah Itto menanyakan hal sepele itu.

“Kenapa lo nangis, Raiden? Lo gak biasanya gini?”

Setelah berhasil kembali menjadi Raiden Shogun yang dikenal oleh semua orang, ia menyeka air matanya dan kembali menatap Itto dengan tajam.

“Ambil saja, siapa tahu bisa lo pakai untuk menyimpan bekal yang dikasih sama keluarga lo nanti saat mereka membesuk.”

Itto terkekeh mendengar jawaban Raiden, tatapannya sudah kembali menjadi sosok Raiden yang ia kenal. Raiden Shogun adalah rival terberat sang Pangeran Itto. Semenjak Raiden Ei diangkat menjadi Putri Inazuma, Itto sudah jarang bisa bertemu dengan Ei, biasanya mereka bisa berjumpa walaupun hanya beberapa detik saja, atau Itto bisa memancingnya keluar dengan pura-pura menculik Sara yang hanya bisa menurut kepada sang Bocah Raksasa.

“Gitu, dong. Stay in character,” ledek Itto sambil tersenyum.

Raiden Shogun berjalan keluar dari ruangan khusus sel isolasi yang hanya diisi oleh Itto saat itu.

“Raiden,” panggil Itto sekali lagi.

Raiden menghentikan langkahnya, ia tak menoleh ke arah Itto namun berharap lelaki itu melanjutkan perkataannya.

“Gue harap lo bisa datang tiap hari, tolong temani gue di sisa hidup gue.”

Setelah Itto mengatakan itu, Raiden langsung pergi begitu saja.

Berengsek! Itto berengsek!

5 HARI SEBELUM KEMATIAN ITTO

Sara datang membesuk Itto, ia diantar oleh Noelle hari ini karena kondisi Sara yang sudah tidak bisa berjalan lagi akibat ulah dari Yae Miko.

“Sara?” ujar Itto pelan.

Sara berusaha untuk tersenyum, namun air mata yang keluar setelahnya.

“Bang Itto, Noelle tinggal sebentar, ya. Nanti telepon aja, ya, Kak!” kata Noelle pamit kepada sang abang dan Sara.

Setelah mereka tinggal berdua di ruangan itu, yang bisa dibilang ruangan di dalam ruangan. Di dalam sel yang ditempati oleh Itto, terdapat beberapa sel lain yang kosong karena memang jarang ada penjahat kelas berat sepertinya yang bertengger di sini. Kini, hanya Itto seorang yang bisa menempati tempat paling menyeramkan di lapas penahanan narapidana di Teyvat Pusat.

“Kak Itto,” panggil Sara setelah ia berusaha sekuat mungkin untuk meyakinkan dirinya dan jujur kepada Itto.

“Kenapa?”

“Sara baru tahu apa yang dititipkan oleh Kak Itto,” ujar Sara sambil mengelus perutnya.

Mata Itto terfokus pada gerakan tangan Sara yang terlihat mengelus lembut perutnya yang sudah terlihat menonjol.

“Iya, gue berharap itu bisa gantiin gue nanti, Sara.” jawab Itto datar, berusaha tersenyum namun tak bisa.

“Kenapa harus ini, Kak?”

Isak tangis Sara mulai terdengar, air matanya terus mengalir tanpa henti. Perempuan itu benar-benar bingung dengan apa yang telah terjadi dalam hidupnya, karena semuanya berlalu begitu cepat.

“Karena tinggal lo satu-satunya bintang di hati gue.” jawab sang Bocah Raksasa.

Bintang? Kenapa harus bintang ini lagi?

“Ya, kalau untuk ini gue gak bisa cerita sama lo, dan mungkin juga gak akan pernah. Tapi percayalah, gue sudah mengikhlaskan Ei.”

Sara sontak kaget mendengar perkataan Itto, namun ia masih belum dapat jawaban yang bisa diterima oleh logikanya.

“Kemarin Raiden Shogun datang membesuk gue, dan gue rasa itu adalah saat terakhir gue bertemu dengannya.”

Sara hanya menyimak cerita Itto, lelaki itu berjalan mendekat ke jeruji besi yang menjadi pembatas dunia mereka.

“Setelah kedatangan Raiden Shogun untuk yang terakhir kalinya, gue rasa gue bisa mengikhlaskan keduanya, baik Raiden Shogun yang merupakan rival gue, dan Ei yang merupakan kekasih gue.”

“Maaf, kalau butuh waktu yang lama, Sara.” lanjut Itto, tersenyum, dan terlihat sangat manis di mata Sara.

Sara memaksakan senyumnya, ia juga berusaha untuk tegar menghadapi situasi yang memang sudah tak bisa diganggu gugat lagi. Sara benar-benar ingin memeluk Itto, ia mau meminta kekuatan yang sama dengan yang dimiliki oleh Itto.

“Kenapa baru sekarang, Kak? Di saat tinggal lima hari lagi sisa hidup Kak Itto?”

“Maaf,” hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Sara gak butuh kata maaf!” bentak Sara keras.

Itto tersenyum menatap Sara, ia mengeluarkan tangannya dari jeruji besi yang membatasi keduanya. Itto mengelus lembut kepala Sara.

Jantung Sara berdebar hebat, nafasnya tak beraturan, ia belum pernah diperlakukan selembut ini oleh Itto, semasa kecilnya Sara sering jadi bahan percobaan eksperimen Itto saat itu. Sara sering diberikan pedang kayu oleh Itto yang justru dijadikan samsak untuk mengukur kekuatan tongkat kesayangannya. Sara juga pernah disuruh uji nyali oleh Itto, untuk mengukur seberapa seramnya Itto saat acara dua dunia (semacam Halloween) yang kerap diselenggarakan di Mondstadt, dan kegilaan lainnya yang di luar nalar manusia.

“Gue boleh ngomong sesuatu?”

Sara hanya mengangguk, menikmati tangan kasar Itto yang mengelus lembut kepalanya.

“Ini adalah jalan yang gue pilih, gue harap lo bisa menghargai jalan yang gue pilih.”

Sara tak mendengarkan perkataan Itto karena rasa nyaman saat dielus oleh Itto benar-benar membuatnya lupa dengan dunia.

“Gue gak berharap lo dengar semua yang gue bilang,”

Tapi, biarlah gue mati dalam keadaan mencintai lo, Sara. ujar Itto dalam hati.

Sara menatap ke arah Itto, memberikan senyum manisnya hanya untuk Itto seorang. Ia sudah dikuatkan oleh Itto, dan Sara rasa ini sudah cukup untuk dikenang saat Itto sudah tidak ada lagi di dunia ini, walaupun Sara tidak mendengar dengan jelas semua yang dikatakan oleh Itto.

Aku sayang sama kamu, Itto.

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 13 (Bagi Yang Masih Bertahan) trigger: murder, character death on flashback, blood

Lumine tiba di ruang UKS, ia langsung menghampiri Aether yang tampaknya masih belum sadarkan diri. Air mata sang kakak mengalir dalam tidurnya. Ajax sama sekali tak dipedulikan oleh Lumine, padahal dari tadi ia sudah memanggil nama perempuan itu.

“Lumine...” panggil Ajax yang kesekian kalinya.

Lumine bergeming, ia sibuk menyeka air mata yang terus menerus membasahi pipi Aether.

“Sora...” panggil Lumine pelan, kini ia pun ikut meneteskan air mata.

Ajax yang mendengar Lumine langsung menyuruh seluruh petugas UKS keluar dari ruangan dan membiarkan si kembar berdua di sana.

“Sora, vse budet khorosho, volnovat'sya ne o chem, chto sluchilos' pust' proydet

“Sora, YA vsegda budu lyubit' tebya i nikogda ne ostavlyu tebya v pokoye, potomu chto my odno

Lumine mencium lembut kening Aether, setelah berbicara dengan tulus menggunakan bahasa suku kuno yang harus mereka pelajari selama di panti asuhan, ini menjadi bahasa rahasia mereka dalam berkomunikasi. Kalimat terakhir Lumine yang memantik kesadaran Aether begitu cepat, ia terbangun namun kepalanya terasa sangat sakit.

“Hotaru,” panggil Aether dengan suara yang serak, ia masih terlihat lemas karena mentalnya sangat terkuras mengingat masa lalu yang sangat buruk itu.

Lumine sontak memeluk sang kakak, menangis sekeras-kerasnya karena khawatir terjadi sesuatu di luar kendalinya, kini mereka sudah kembali bersama, pikiran yang jauh ke masa lalu kadang mengupas luka yang baru saja kering. Aether dan Lumine tak bisa dipisahkan, mereka adalah satu, itu adalah pesan terakhir dari ibunya, Tsaritsa sebelum meninggalkan mereka selama-lamanya ke singgasana surga.

Zhongli yang merupakan orang paling patuh di Teyvat melupakan satu bagian penting dalam silsilah Celestia dari suku kuno, alasan Hotaru dan Sora pergi dari satu tempat ke tempat lain adalah karena mereka juga merupakan keturunan Celestia yang bukan dari kalangan bangsawan, mereka adalah keturunan murni Celestia.

Tsaritsa adalah orang yang memulai perang Archon, ia ingin kedua anaknya pergi dari istana Celestia, karena Zhongli merupakan lawan yang berat baginya. Hotaru dan Sora sengaja di buang ke Snezhnaya karena memang di sana tidak ada satu pun Celestia yang bertahan hidup, karena tempat pertama yang Zhongli datangi saat Archon War adalah Snezhnaya.

FLASHBACK, 12 tahun yang lalu

Pintu istana Celestia yang Agung sudah terbakar oleh api yang dengan cepat melahap hampir seluruh gedung istana. Tsaritsa tetap duduk di singgasana kebanggaan para Celestia murni, menunggu pahlawan Teyvat yang sudah siap untuk membunuhnya dengan polearm peninggalan Madame Ping.

“Zhongli, Pahlawan kebanggan Teyvat yang masih berniat untuk hidup,” ujar Tsaritsa sambil tersenyum.

Zhongli terkekeh mendengar kata 'pahlawan' yang disebutkan oleh Tsaritsa barusan.

“Anda yang memberikan saya kontrak, ternyata Anda juga yang menjadi orang kedua terakhir yang harus saya bunuh,” jawab Zhongli yang masih bisa tersenyum.

Lelaki itu sudah menggenggam tombaknya dengan erat.

“Setelah Anda, satu lagi Celestia dari Euthymia yang harus saya bunuh. Kenapa bukan Anda yang terakhir, padahal Anda adalah Celestia kuno?”

“Karena salah satu di antaramu ada sangkut pautnya dengan Celestia dari Euthymia.” jawab Tsaritsa tersenyum.

“Tugas terakhirmu bukan keluarga Oldenburg, Zhongli. Kenapa kau malah hidup seperti manusia biasa setelahnya?” lanjut Tsaritsa.

“Karena saya telah menemukan dunia yang baru, tapi saya tidak bisa tinggal dalam dua dunia yang berbeda.”

“Dunia sebagai ayah, dan dunia sebagai pembunuh?”

Tsaritsa terkekeh, mimpi Zhongli terdengar konyol olehnya. Lelaki itu sudah berkeluarga dan memiliki empat anak, Itto, Albedo, Noelle dan Gorou.

Karena sudah terlanjut emosi, Zhongli langsung berlari menuju singgasana milik Tsaritsa.

Tsaritsa juga ikut berdiri saat melihat Zhongli sudah berlari dan bersiap untuk menghabisinya. Perempuan paruh baya itu menghunuskan pedangnya dan langsung menyerang Zhongli yang lengah karena melihat pedang emas milik Tsaritsa.

SLASH

Luka yang baru saja dijahit selama perjalanan menuju istana kembali terbuka akibat serangan dari Tsaritsa.

“Sudah lelah? Bertahan hidup seorang diri?” ujar Tsaritsa datar.

“Saya adalah Archon, itu adalah titah darimu, Tsaritsa.”

Tsaritsa kembali mengayunkan pedangnya tepat ke leher Zhongli, namun Zhongli berhasil menghindarinya walaupun resikonya adalah semakin membuka luka yang sudah terjahit rapat.

“Rapi juga siapa pun yang mengobati lukamu.”

Tsaritsa berjalan mendekati Zhongli yang sudah tidak bisa bergerak leluasa.

“Pada akhirnya, kau gagal, bukan?”

“Saya tidak pernah gagal menjalankan misi saya dan menyelesaikan kontrak saya” jawab Zhongli dengan suara yang berat.

“Kau benar-benar gila, Zhongli.”

“Dan kau benar-benar bodoh.”

SLASH

Dengan cepat Zhongli menebas tubuh Tsaritsa, perempuan itu sudah tergeletak di tanah dan terbagi menjadi dua bagian. Saat Zhongli berusaha untuk berdiri, ia mendengar suara pintu yang terbuka.

Zhongli menatap ke arah pintu tersebut, mendapati dua kepala kecil yang sedang mengintip namun terlihat jelas bahwa mereka tidak sedang bersembunyi.

“Siapa kalian?” tanya Zhongli.

Lelaki itu terseok-seok saat berjalan menuju ke dua bocah yang mengintip pertarungannya tadi.

Namun saat Zhongli hampir tiba di sana, mereka sudah berlari sambil meneriakkan sesuatu.

“Anak kecil seperti mereka seharusnya tidak ada di istana yang akan rubuh ini.”

Zhongli keluar dari istana Celestia yang Agung dengan rasa bangga, kemenangannya setelah berhasil menyelesaikan kontraknya membuat Zhongli tak bisa berhenti tersenyum. Ia tak sabar menceritakan kemenangannya saat ia tiba di Liyue.

DI EUTHYMIA

Raiden Ei duduk di kamarnya, kehidupannya sudah berubah setelah perempuan itu menjadi Celestia baru Euthymia. Walaupun ia masih tinggal bersama Baal, namun kehidupannya tidak lagi bebas. Sibuk mempersiapkan seluruh rangkaian upacara penghormatan dan penobatannya sebagai Ratu Inazuma membuat dadanya terasa sangat sesak walaupun menghirup udara yang sama dengan kembarannya.

Ei membuka kotak yang diberikan oleh Itto, tepat di hari ulang tahunnya yang ke-20, ia akan diangkat menjadi Ratu Inazuma. Mereka sudah menjalin hubungan selama kurang lebih 2 tahun.

Saat membuka kotak pemberian sang kekasih, Ei tertawa melihat satu ekor Onikabuto yang sudah kering. Itto orangnya sangat polos, ia bahkan tak bisa mengawetkan dulu serangga tangkapannya sebelum diberikan sebagai hadiah. Lelaki berusia 18 tahun itu hanya bisa bertemu dengannya beberapa detik saja, itu pun hanya untuk memberikan hadiah tadi.

KNOCK KNOCK

Baal menggeser pintu kamar Raiden Ei, lalu duduk bersimpuh di depannya.

“Ada apa memanggil saya, Tuan Putri?”

Raiden Ei mengangkat kepala Baal, lalu tersenyum saat mata mereka saling bertatapan.

“Aku ada ide yang menarik, Baal. Kamu mau tahu?”

Baal hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Kamu benar-benar sudah disterilkan? Dan kamu benar-benar sudah tidak memiliki hasrat apa-apalagi?” tanya Raiden Ei penasaran.

Baal hanya menggangguk, sekali lagi. Ia juga bingung dengan saudara kembarnya yang menanyakan hal aneh kepadanya.

“Aku harus belajar menjadi kamu,”

“Maksudnya, Tuan Putri?”

“Setelah aku menjadi Ratu Inazuma, kamu akan menjadi pelaksana pemerintah di Inazuma, kamu tahu, kan?”

“Ya, saya tahu.”

Raiden Ei tersenyum lebar karena antusiasnya yang sudah tak terkendali lagi.

“Bagaimana kalau kita bertukar posisi? Kamu akan menjadi Raiden Ei, dan aku akan menjadi Raiden Shogun?”

Baal kaget ketika mendengar perkataan Raiden Ei.

“Tapi bagaimana dengan Pangeran Itto?”

Nama panggilan Pangeran Itto sengaja diteriakkan keras-keras oleh Itto ketika berhasil mengalahkan seluruh pasukan penjaga istana Inazuma, bocah raksasa itu hanya ingin bertemu dengan Ei, namun karena larangan hubungan antara bangsawan dan manusia biasa membuat Itto berusaha untuk mematahkan stigma itu, ia berhasil masuk ke istana Inazuma dan menamai dirinya sebagai Pangeran Itto kepada siapa pun yang ada di sana.

“Sudah saatnya kamu hidup seperti apa yang kamu mau dari dulu. Seluruh kehidupanmu akan berubah sebagai Raiden Ei, dan aku akan menggantikanmu dan hidup sebagai Raiden Shogun.”

“Untung banget wajah kita gak ada pembeda, selalu pakaian yang menjadi pembeda di antara kita.” lanjut Ei sambil tertawa.

“Apakah saya boleh menjalankan mimpi saya?”

“Ya, karismamu sebagai ratu lebih kuat dariku. Setelah penobatan aku akan mengajarkan semuanya, termasuk tentang cinta. Begitu juga dengan kamu, kita akan saling belajar satu sama lain tentang diri kita,” jawab Ei tersenyum.

“Baik, Tuan Pu—”

“Hey! Sekarang kamu adalah putrinya, saya adalah Baal.” potong Raiden Ei.

Identitas mereka berubah setelah itu, Baal diangkat menjadi Ratu Inazuma, sementara Ei menjadi Raiden Shogun yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan di Inazuma.

Mereka belajar satu sama lain tentang diri mereka, dan membuka hati mereka untuk hal-hal yang baru. Namun, Raiden Ei (Baal) tak pernah benar-benar mencintai Arataki Itto selama sisa hidupnya, dan Raiden Shogun (Ei) adalah orang terakhir yang menyaksikan kematian kekasihnya di hari penghakiman.

Kini Raiden Shogun hidup penuh rasa sakit, akibat ide bodoh yang ia sangka menarik, malah justru menjauhkannya dari seluruh kehidupan yang pernah ia rasakan sebelumnya. Yang berlalu sudah tak bisa diulang kembali, bagi mereka yang masih bertahan, bertahan hidup adalah satu-satunya jalan untuk menemui akhir dari takdir yang selama ini jadi pertanyaan banyak orang.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 13.2 (Bagi Yang Masih Bertahan) trigger: blood, character death on flashback, murder

Keqing masih sibuk menelepon Lumine yang sampai sekarang belum ada kabarnya. Perempuan bersurai ungu itu sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, ia hanya bisa menangis di depan UKS. Keqing tak tega melihat Aether seperti tadi.

Lumine, kamu di mana, sih?

**

Raiden Shogun terlihat murka di dalam ruangan pengurus Euthymia, ia menatap Yae Miko tajam namun tak dihiraukan oleh sang sepupu.

“Miko...” panggil Raiden yang sudah kesekian kalinya.

Yae Miko masih bergeming. Raiden masih marah kepadanya karena masih mengikuti perintahnya untuk memotong saraf di kaki Sara saat ia menemui Sara sedang diam-diam pergi ke pelabuhan di Inazuma. Saat itu Sara hendak menuju ke Liyue, ia sengaja karena kalau Sara langsung pergi ke Mondstadt, Yae Miko sudah menunggunya di pelabuhan.

Namun, rencana Sara sudah terbaca oleh Yae Miko. Yae Miko memiliki banyak mata di seluruh Teyvat, perempuan itu bekerja sama dengan Fatui Harbringers untuk mencari Sara, padahal sebenarnya hubungan Euthymia dan Harbringers tidak pernah akur sejak lama, karena banyak yang memiliki dendam kepada Euthymia.

“Miko, kamu dengar?” panggil Raiden sekali lagi.

Yae Miko menoleh ke arah Raiden, ia tersenyum seperti biasanya. Raut wajah yang selalu ditunjukkan Yae Miko kini membuat Raiden muak, ia sudah biasa dengan raut wajahnya selama ini, namun kali ini berbeda.

“Kan, kamu sendiri yang memerintahkan saya. Dari dulu saya selalu mematuhi perintah dari para petinggi, perintah pertama selalu—”

“SELALU BENAR! IYA, SAYA PAHAM!” bentak Raiden keras. Ia berkali-kali memukul meja karena sudah terlampau emosi.

Yae Miko hanya terkekeh melihat reaksi yang ditunjukkan oleh Raiden.

“Silakan salahkan saya, Tuan Putri. Saya tidak pernah menyalahkan Euthymia yang sudah merenggut mimpi saya untuk menjadi seorang perempuan. Toh, saya hidup hanya untuk menunggu kematian saya saja.” balas Yae Miko masih tersenyum.

Raiden tersentak setelah mendengar pernyataan dari Yae Miko, ia sadar bahwa Yae Miko didoktrin sedari kecil untuk memenuhi seluruh keperluan keluarga Raiden, ia juga disterilkan untuk menghilangkan hasratnya untuk berkeluarga, karena hampir seluruh perempuan di keluarga Yae Miko pasti begitu.

Rasa dendam Yae Miko kepada Euthymia lebih besar daripada rasa dendamnya kepada keluarga Geo. Ia lebih membenci orang yang telah merenggut mimpinya daripada sejarah yang kelam dan tersimpan rapat di antara keluarga Geo dan Euthymia.

“Kalau anda memerintahkan saya untuk menghabisi anda sekarang juga, saya siap, Raiden.”

Yae Miko berdiri dari kursinya, pergi meninggalkan Raiden yang masih terngiang dengan masa lalunya yang juga merupakan seorang pion bagi Euthymia. Rasa cemburunya kepada Ei kembali terungkit, luka lama yang ia rasakan kembali menghantuinya.

Ei, kenapa kamu tega kepadaku?

FLASHBACK

Ei dan Raiden duduk di hadapan Zhongli, Itto dan Sara. Zhongli menagih kontraknya kepada Celestia terakhir yang ada di Teyvat, yaitu Ei.

“Bagaimana, Ei? Apakah kamu sudah siap?” tanya Zhongli sambil tersenyum.

Ei membalas senyum Zhongli. Baginya, Zhongli merupakan sosok yang sangat hebat, karena ia tidak sedikit pun mengasihani Ei karena dia adalah kekasih dari anaknya sendiri.

Zhongli berdiri dari duduknya, ia mengeluarkan tombak yang selalu ia asah setiap hari. Tombak itu adalah pemberian dari Madame Ping, yang hanya boleh digunakan untuk menjalankan tugasnya sebagai penyetara kehidupan.

“Saya tidak akan mengingkari janji saya.” ujar Zhongli berat.

“Saya juga tidak akan lari dari takdir saya.” jawab Ei tegas.

Itto menggigit bibirnya dengan keras, ia menyadari bahwa darah sudah mengalir dari bibirnya, namun ia tak peduli dengan hal itu.

Sara sudah menangis lebih dulu bahkan jauh sebelum hari kematian Ei, karena Ei sudah berkali-kali memberitahu Sara bahwa kontrak hidupnya di dunia ini sudah semakin dekat. Sara terus menerus menghitung hari sebelum kematian Ei sejak satu tahun yang lalu.

“Itto, jangan bersedih. Kamu sendiri yang mau melihat Ei di saat terakhirnya.” kata Zhongli, namun ia tak menoleh ke belakang.

Itto tak membalasnya, selama empat tahun ke belakang, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk Itto dan Ei. Di samping karena memang ini adalah hari ulang tahun Ei, hari ini juga merupakan hari jadi mereka.

“Saya masih bingung kenapa anda memberikan kami waktu untuk hidup selama ini?” ujar Raiden yang sudah kesal namun bingung dengan keputusan Zhongli.

Setelah Ei diangkat menjadi Celestia di usianya yang ke-18 tahun, Zhongli memohon kepada Ei yang seharusnya sudah dibunuh tepat di hari itu juga. Wacana Ei tentang keinginannya untuk mengakhiri hidupnya juga sudah didiskusikan dengan Zhongli setelah Ei dipersiapkan untuk menjadi Celestia saat pemilihan.

Ei ingin menghabiskan waktu dengan Raiden di saat-saat terakhirnya, ia juga sudah lama mengurus Euthymia dengan Raiden dan rasanya memang waktu yang mereka miliki tidak akan cukup sembari mempersiapkan kematiannya.

“Pion tidak berhak untuk berbicara sekarang.” tegas Zhongli.

Raiden langsung terdiam saat itu juga, ia tak kuat menahan aura yang Zhongli pancarkan saat berjalan mendekat ke arah Raiden dan Ei.

“Saya boleh meminta tolong sesuatu?” tanya Ei kepada Zhongli.

Zhongli hanya mengangguk sebagai balasan.

“Tolong bantu Euthymia di saat saya tidak ada, saya ingin Geo dan Euthymia tidak bermusuhan seperti dulu. Pengorbanan saya adalah akhir dari perseturuan panjang di antara keluarga kita. Ini juga sebagai permintaan maaf saya kepada keluargamu, Zhongli.” ujar Ei yang masih kuat untuk tersenyum.

Zhongli bergeming, tombaknya semakin ia pegang dengan erat.

“Berikan saya kematian yang cepat.” lanjut Ei, yang merupakan kalimat terakhirnya.

Zhongli menghunuskan tombaknya tepat di jantung Ei. Di saat-saat terakhirnya, Ei pun masih bisa tersenyum. Itto menatap Ei dengan tajam sambil berlumuran darah di seluruh tubuhnya, bibirnya sudah pecah karena gigitan dari taringnya yang memang sangat tajam. Itto tak bisa berbuat apa-apa karena memang itu sudah menjadi takdir untuk Ei, walaupun sejujurnya ia masih tak mengerti sistem takdir itu seperti apa.

Ei berkata sesuatu kepada Itto, namun suaranya tak keluar sama sekali, senyuman terakhir Ei hanyalah untuk Itto, rasa sayangnya yang sangat besar harus dipisahkan oleh takdir yang tak jelas dari mana asalnya. Itto adalah cinta pertama dan terakhir bagi Ei, kisah cinta mereka dibatasi oleh dinding yang sangat besar. Kisah cinta antara seorang Celestia dan manusia biasa hanya akan berhasil di dongeng pengantar tidur, tidak berlaku di dunia nyata.

Itto membaca gerak mulut Ei sesaat sebelum ia menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya.

Aku sayang kamu, Itto.

**

Lumine terbangun dari tidurnya, karena ia sudah memiliki tempat khusus untuknya setelah menjelajah di sekolah satu harian ini. Di belakang sekolah ternyata ada hutan yang nampaknya belum terjamah sama sekali oleh siapa pun.

“Ahh... nyenyak banget.” gumam gadis bersurai pirang itu pelan.

Lumine sibuk memandangi langit yang tidak sama sekali menyakiti netranya. Pohon yang rimbun, dedaunan kering yang jatuh lalu ditiup oleh hembusan angin membuat Lumine seperti berada di surga.

Ntar Aether gue ajakin ke sini, dia paling demen yang beginian pasti. Walaupun itu bocah bukan anak bolang, tapi sepadan sama perjuangannya.

Suara grasah-grusuh terdengar di tumpukan daun tempat Lumine meletakkan ponselnya, ia sudah berdering berkali-kali sejak tadi, namun Lumine tak memedulikannya sama sekali.

“Kak Keqing?” ujar Lumine heran.

“Halo, Kak?”

KAMU KE MANA AJA, LUMINE?!

Lumine kaget mendengar suara teriakan Keqing.

“Ada apa, Kak? Jangan teriak-teriak, dong. Aku di hutan belakang sekolah.”

AETHER PINGSAN, LUMINE! TRAUMANYA SAMA SNEZHNAYA TERUNGKIT LAGI SAMA AJAX!

Setelah mendengar kata 'Snezhnaya', Lumine langsung berlari menuju sekolah, pohon-pohon yang ia panjat kini tak terasa lagi olehnya, pikirannya sudah kosong. Peristiwa Snezhnaya memang selalu membekas di hati mereka, ia tak menyangka Ajax membuka luka lama si kembar, namun di saat yang sama ia juga bingung kenapa Ajax malah mengungkit kampung halamannya sendiri kepada Aether.

Ya, Archon. Apa yang sebenarnya terjadi?!

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 13.1 (Bagi Yang Masih Bertahan)

Sara tiba di sekolah sedikit terlambat hari ini, begitu juga dengan Gorou dan Noelle. Ia memakai jaket yang sedikit besar dan kursi roda yang saat ini didorong oleh Noelle.

“Jangan takut, ya, Kak.” bisik Noelle pelan kepada Sara.

Ekspresi wajah Sara terlihat sangat khawatir, mereka menjadi bahan tontonan siswa lain karena memang terlihat aneh, konflik Sara dengan kedua adik kakak itu cukup terkenal di sekolah, namun kini mereka terlihat seperti sangat dekat dan akrab satu sama lain.

“Kalau ada apa-apa telepon Gorou aja, Kak. Nanti Gorou pasti langsung datang.”

Sara hanya tersenyum kepada adik-adiknya, masih bingung dan malu dengan mata yang sibuk memandangi mereka berjalan menuju kelas.

Ayaka yang sedang berjalan menuju ruang OSIS langsung berlari menghampiri mereka bertiga.

“Kak Sara kenapa?” sapa Ayaka khawatir.

Sara hanya membalasnya dengan senyuman, ia sudah tak berani lagi berbicara dengan siapa-siapa selain keluarganya.

“Kak Sara terkena musibah dan sekarang belum bisa jalan lagi.” jawab Noelle mewakili Sara yang sudah terlihat tidak nyaman.

“Astaga, maaf, Kak. Ayaka gak tahu.”

Mereka bertiga sedikit dongkol dengan Ayaka, karena kakaknya yang menjadi hakim di persidangan Itto yang telah memberikan vonis mati kepadanya.

“Kami permisi dulu, ya, Kak.” ujar Gorou pelan, mengisyaratkan Ayaka untuk berhenti menghalangi jalannya mereka.

“Oh, iya, baik. Kalau ada apa-apa kabarin aja, ya, biar Ayaka bantu.”

Mereka tak menghiraukan perkataan Ayaka, membiarkan gadis bersurai biru muda itu tanpa balasan.

“Untung aja sekolah kita sangat mendukung siswa difabel, Kak Sara gak usah takut untuk naik turun tangga, tapi kami tetap bantu Kak Sara setiap istirahat dan pulang.” ujar Noelle menghibur Sara yang semakin terlihat tertekan.

“Iya, Noelle. Terima kasih banyak sudah banyak membantuku.” jawab Sara singkat.

Noelle dan Gorou kaget melihat Ajax yang sedang menggendong Aether yang sedang pingsan, diikuti oleh Keqing yang sudah menangis histeris selama perjalanan mereka ke UKS. Sementara Sara, dia hanya menundukkan pandangannya dan tidak peduli dengan apa pun lagi.

“Lho, itu Aether kenapa?” ujar Gorou bingung.

Noelle yang notabene anak UKS langsung bergegas menuju UKS setelah menitipkan Sara kepada sang adik.

“Noelle sigap sekali, ya, Dek.” ujar Sara pelan, namun untung Gorou mendengarnya.

Gorou terkekeh mendengar Sara berkata seperti itu, baru kali ini Gorou dipanggil dengan sebutan 'Dek' yang memang sudah melekat pada dirinya di keluarga Geo.

“Kak Noelle emang gitu, kalau ada situasi seperti ini dia langsung ninggalin semua urusan duniawinya.”

Mendengar perkataan Gorou yang terdengar sok bijak di telinganya, Sara sontak tertawa karena memang interaksi mereka juga sangat kurang ketika di rumah, Sara lebih memilih untuk mengurung diri di kamar, hanya Ningguang yang boleh masuk ke dalam kamarnya.

Selama di kamar, Sara selalu menangis, bahkan di saat air matanya sudah tak bisa keluar lagi, ia terus meringis karena merasa hidupnya tak pernah mendapatkan keadilan. Sara selalu menyalahkan Archon karena telah memberikan kehidupan yang berat di usianya yang masih menginjak 18 tahun.

“Ayo, Kak, kita ke kelas.” ajak Gorou sambil mendorong kursi roda milik Sara.

“Iya, ayo, Dek.” balas Sara tersenyum.

**

Yoimiya terlihat sedang mondar-mandir di depan kelasnya Xiao, batang hidung lelaki itu belum terlihat sama sekali. Ternyata sebenarnya Xiao sedang berada di ujung lorong, memperhatikan perempuan yang sedang menungguinya.

Ngapain, sih, itu anak?

Garis bibir Xiao naik sambil memperhatikan Yoimiya, namun ia dikagetkan oleh Xingqiu yang sedang berjalan menuju kelasnya Hu Tao.

“Ngapain, Cok?!” kata Xingqiu mengagetkan Xiao.

“Gak kaget gue, Goblok.” balas Xiao sambil tertawa.

Melihat ada yang aneh dari raut wajah temannya, justru membuat Xingqiu semakin penasaran dengan apa yang sedang terjadi.

“Gebetan baru, Cho?”

Xiao hanya menggeleng. Ia tak membalas Xingqiu dan fokus memandangi Yoimiya dari kejauhan.

“Mendingan lo minta kontaknya aja, Cho. Kalau lo senyum-senyum sendiri gini gue yang meriang ngeliatnya.” canda Xingqiu.

“Maunya sih emang gitu, cuma gue gak yakin dia bakal ngasih.”

“Lagian dia ngapain mondar-mandir di depan kelas kita kalau dia gak ada urusan? Itu anak udah dari sabtu kemarin kayak gitu.”

Xiao menatap ke arah Xingqiu, penasaran apakah yang dikatakan temannya itu benar atau tidak.

“Lah, gue serius! Bennett yang bilang, kemarin dia yang ngobrol sama Bennett.”

“Nah ini orangnya!”

Bennett dan Fischl baru saja datang dari kantin, mereka sudah tak malu lagi menunjukkan kemesraan mereka di depan umum, bahkan mereka sedang bergandengan tangan sekarang.

“Ben, itu tangan lo udah keriput, anjir, gara-gara pegangan terus sama Fischl.” ledek Xingqiu.

Bennett hanya senyum-senyum saja, namun Fischl yang bereaksi terlebih dahulu.

“Eh, iya! Kamu kok gak bilang, Yang?” kata Fischl melepaskan tangannya dari Bennett.

“Gak mau dilepasin, biarin aja tangan kita menyatu. Jangan ngomporin orang lo, Q!”

Bennett kembali meraih tangan Fischl dan menggenggamnya, rona wajah Fischl memerah setelah sang kekasih kembali menyatukan tangan mereka.

“Alay lo, Bulol.” ujar Xiao namun tak menatap ke arah mereka.

Xingqiu membisikkan sesuatu ke telinga Bennett, mereka berdua sontak tertawa setelahnya.

“Kemarin dia nanyain lo, Cho.” kata Bennett mendekat ke Xiao, begitu juga dengan Fischl.

“Lo kalau ngomong kenapa harus berdua juga datangnya, sih?” kata Xiao risih.

“Kami, kan, pasangan sehidup semati! Ya, kan, Cel?” canda Bennett sembari menatap ke arah sang kekasih.

“Kamu bisa saja, jangan begitu terus, jantung Icel gak karuan mendengarnya.” balas Fischl yang sudah tak bisa lagi menahan rasa bahagianya.

“Sama aja kalian berdua.” sanggah Xiao yang merusak momen romantis mereka.

“Mau gue ceritain gak, sih, informasi berharga ini?”

“Ya, kenapa gak dari tadi?”

“Nah! Jadi waktu anak itu—”

“Yoimiya namanya.” kata Xingqiu memotong pembicaraan Bennett.

“Iya, itulah, terserah lo. Jadi dia nanyain lo di mana kemarin, terus waktu gue mau jawab—”

“Gue yang bantu jawab duluan, gue bilang lo lagi di lapangan basket.” sanggah Xingqiu, lagi.

“WOY! Gue lagi jelasin ke dia!”

“Lah, figuran jangan kebanyakan ngomong, nanti peran lo dinilai gak berhasil, Ben.”

Hanya Fischl yang tertawa di antara mereka, melihat interaksi teman-teman Bennett yang selalu akrab walaupun dengan cara yang sedikit berbeda membuatnya bersyukur karena Bennett selalu dikelilingi oleh orang yang baik, gadis itu tak sengaja menitikkan air matanya karena terharu.

“Bentar! Sabar, Q! Kok kamu nangis?” tanya Bennett.

“Gapapa, Icel senang melihat Benny dikelilingi teman-teman yang baik. Walaupun masih jadi figuran.” kata Fischl namun masih sempat meledeknya setelah itu.

Xingqiu dan Xiao tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Fischl, mereka tidak menyangka bahwa selera humornya pas dengan kawanan Bennett.

“Lah? Orangnya mana?” gumam Xiao heran.

“Kabur dia gara-gara gak lo samperin, cemen banget!” balas Xingqiu yang masih belum bisa berhenti tertawa.

Keqing terlihat sedang berlari menuju kelas Lumine, Xingqiu, Bennet, Xiao dan Fischl langsung menghampiri Keqing karena perempuan itu menangis sambil memanggil-manggil nama Lumine.

“Kenapa, Kak?” tanya Xingqiu panik.

“Kalian lihat Lumine, gak?” tanya Keqing dengan nafas yang terengah-engah.

Bennett dan Fischl menggeleng, Xiao dan Xingqiu sibuk mengingat kapan terakhir kali mereka melihat Lumine.

“Kami gak tahu, Kak. Udah dicoba telepon anaknya?”

“Ada apa emang, Kak?”

Keqing kembali menangis karena kalang kabut mencari adiknya Aether.

“Aether pingsan!” ujar Keqing keras, ia sudah kehilangan akal.

HAH?

Xiao kaget setelah mendengar Keqing, ia langsung lari lebih dulu meninggalkan yang lain. Sementara Xingqiu berpencar dengan Bennett dan Fischl untuk mencari Lumine, sedangkan Keqing sibuk menelepon adiknya Aether dari tadi.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 13 (Bagi Yang Masih Bertahan) trigger: abusive, children abuse, natural disaster

Suasana SMA Teyvat tetap berjalan seperti biasa walaupun ada beberapa hati yang rapuh sedang menimba ilmu di sana. Kazuha berjalan menuju kelasnya sambil menunduk, ia jelas menunjukkan ketidaksemangatannya hari ini. Ajax juga baru saja tiba di kelas setelah berpisah dengan Thoma di perempatan koridor pemisah jurusan IPA dan Sastra.

“Jax?” panggil Keqing dari kursinya.

Ajax yang baru saja meletakkan tasnya langsung datang menghampiri Keqing.

“Ada apa?” tanya Ajax yang sedang mengusap bagian belakang kepalanya.

“Lo sekarang tinggal di mana jadinya?” tanya Keqing yang sebenarnya lebih sibuk dengan kertas pelajarannya daripada menatap wajah Ajax saat berbicara.

“Gue sama Thoma jadinya. Sama aja diperas juga uang gue di mana-mana, ya!” runtuk Ajax kesal.

Keqing hanya tertawa mendengar rengekan Ajax, namun tetap saja matanya lebih fokus kepada kertasnya.

“Sibuk banget kayaknya lo?”

Ajax mendekat ke arah Keqing, ia melihat semua kertas soal dan pemantapan milik Keqing yang penuh dengan coretan angka. Mereka berdua sudah kelas 12, tentu masa depan adalah hal yang harus dipersiapkan. Berbeda dengan Keqing, Ajax justru tidak terlalu memedulikan masa depannya, sumber uang yang datang entah dari mana membuat lelaki itu merasa masa depannya sudah aman.

“Lo kok bisa jadi anak IPA, sih? IPA 1 lagi?!” kata Keqing bercanda.

Ajax hanya membalas omelan Keqing dengan tawanya, namun mereka berdua tidak sadar bahwa ada Aether yang sedang memperhatikan mereka dari depan kelas.

Aether tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, namun hatinya terasa sangat sakit saat melihat mereka terlihat lebih akrab saat lelaki bersurai pirang itu tidak bersama Keqing dan Ajax.

Keqing yang lebih dulu menyadari bahwa Aether sedang memandang ke arah mereka, langsung melambaikan tangan dan menyapa kekasihnya.

“Ae! Sini, Yang!” ajak Keqing sambil berdiri dan menghampiri Aether.

Namun saat Keqing menghampirinya, Aether langsung pergi meninggalkan kelasnya Keqing dengan cepat. Bingung dengan tingkah kekasihnya hari ini, membuat Keqing berlari semakin cepat mengejar Aether yang sudah hampir hilang dari pandangannya karena tertutup oleh siswa lain yang sedang lalu lalang.

“Aether!” seru Keqing dari kejauhan, namun tak digubris oleh Aether.

Aether berhenti, mereka benar-benar berada di tengah kerumunan. Wajahnya terlihat sangat merah karena sedang berusaha meredam emosi.

“Kamu ngapain dekat-dekat sama dia?!” bentak Aether keras.

Keqing tersentak mendengar perkataan Aether, ia yang tak tahu apa permasalahannya justru menyimpulkan bahwa Aether sudah tahu bahwa Ajax adalah mantan kekasihnya.

“Kami sekarang cuma berteman, Yang.” bujuk Keqing yang sudah kehilangan harga dirinya.

Mereka berdua menjadi pusat perhatian setelah Aether membentak Keqing di depan publik.

Keqing berusaha meraih tangan Aether namun selalu dilepas olehnya.

“Cuma berteman?” tanya Aether yang masih tampak emosi.

“Iya! Serius! Setelah putus kami cuma—”

“Oh... kalian pernah jadian ternyata.” potong Aether cepat.

Keqing merasa bodoh saat itu juga, ia tak menyangka bahwa Ajax belum memberitahu Aether kalau mereka pernah menjalin hubungan.

“Pantesan deket banget sama Ajax, pantesan dia tahu semua sifat kamu.” lanjut Aether yang sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitarnya.

Siswa yang kebetulan lewat jadi ikut terdengar semua yang dikatakan Aether, mereka juga mulai berkata yang tidak-tidak tentang Keqing dan Ajax.

“Keqing sama Ajax mantanan?”

“Masa, sih?”

“Itu tadi dia ngomong sendiri!”

“Anjir! Ternyata siswi teladan pacaran sama anak KOT.”

“Lebih cocok mereka, sih, daripada sama yang sekarang.”

Keqing yang sudah muak mendengar semua percakapan siswa yang tidak memiliki urusan dengan hubungannya langsung meneriaki semua orang yang lewat di belakangnya.

“DIAM KALIAN! KENAPA EMANGNYA KALAU GUE SAMA AETHER?!” teriak Keqing lantang.

Aether kaget mendengar suara teriakan Keqing yang baru ia keluarkan untuk pertama kalinya.

“GAK USAH NGOMONG YANG ENGGAK-ENGGAK KALAU GAK TAHU MASALAH KAMI!”

Ajax yang baru turun dari kelasnya langsung melerai Aether dan Keqing, ia membawa mereka keluar dari kerumunan. Tak heran, banyak mata yang tak senang melihat perlakuan Keqing justru mencibir gadis berbando telinga kucing itu.

“Kalian kenapa, sih?! Kayak anak-anak banget?” seru Ajax setelah melepaskan tangan mereka.

Kini mereka sedang berada di belakang sekolah, tempat ini selalu sepi karena jarang ada yang berani bermain atau nongkrong di sini, angker katanya.

“Lo mending diem aja, Bang.” ujar Aether tegas.

“Lo ada masalah apa, sih, sama gue? Gue udah pergi lho dari rumah lo, Ther?” balas Ajax yang juga sudah mulai emosi.

Keqing mematung mendengarkan perdebatan mereka, ia malah bingung harus memihak kepada kekasihnya yang masih kekanak-kanakan, atau sahabatnya yang sangat mengerti dengan keadaannya.

“Lo mau tahu? Oke! Gue gak suka sama lo semenjak gue tahu kalau lo itu orang Snezhnaya!”

Ajax kaget mendengar jawaban Aether, lelaki itu mengepalkan tangannya karena teringat dengan kota yang telah membesarkannya dan penuh dengan memori yang indah.

“Kenapa sama Snezhnaya? Ada masalah lo sama kami?” kata Ajax sedikit keras. Ia memiliki prinsip bahwa tidak ada yang boleh menjelekkan kota dari mana ia berasal.

“LO GAK AKAN NGERTI PENDERITAAN KAMI SEBAGAI ANAK YATIM PIATU DI SNEZHNAYA DULU, BANG!”

Pikiran Ajax kembali jauh ke belakang, ia langsung teringat dengan kisah dua anak yatim piatu yang selalu menjadi bahan cemoohan warga sana, mereka dilecehkan dan disiksa karena terlihat berbeda dari ciri-ciri orang asli Snezhnaya.

“Bentar, jangan bilang lo itu Sora, Ther?!”

Aether hanya mengangguk, matanya berkaca-kaca setelah sekian lama tidak mendengar nama lamanya. Ajax langsung memeluk Aether dengan erat.

“Lo gak ingat sama Tartaglia?! Itu gue, Ther! Kita dulu pernah terjebak badai salju di Snezhnaya!”

Aether melepaskan amarah dan tangisnya setelah dipeluk erat oleh Ajax, walaupun sudah sering mendengar kata Tartaglia atau Tatanggila dan lain sebagainya, justru Aether tidak menyangka bahwa orang yang selama ini ada di dekatnya malah orang yang berhasil membuatnya kabur dari Snezhnaya lewat kapal menuju Fontaine.

“Tartaglia?” gumam Aether pelan.

FLASHBACK

Akibat badai salju yang semakin lebat, seluruh akses jalan keluar dari Snezhnaya tertutup oleh salju.

Aether (Sora) terus membantu Lumine (Hotaru) yang masih terseok-seok karena kakinya terluka setelah disiksa oleh pengurus panti asuhan tempat mereka tinggal. Mereka sudah berkali-kali pindah dari satu tempat ke tempat lain, seperti yang sudah diceritakan di awal, di mana ada mereka, di situ ada masalah. Aether dan Lumine tidak tahu kenapa mereka bisa tiba di Teyvat, mereka berdua terlalu muda untuk mengingat seluruh kejadian yang lebih bengis dari yang mereka rasakan sekarang.

“Hotaru! Ayo sedikit lagi kita keluar dari sini! Mumpung badai salju!” seru Aether yang masih berusaha membopong Lumine dan berlari menuju selatan kota Snezhnaya.

“Sora, aku sudah gak kuat.” ujar Lumine yang matanya sudah mulai tertutup.

“Enggak! Kita pasti bisa! Ini satu-satunya cara kita keluar dari sini! Bertahanlah, Hotaru!”

BRUK

Salju mulai berjatuhan dari bukit sehingga menutup seluruh jalan di selatan kota Snezhnaya, tempat yang menjadi satu-satunya harapan Aether dan Lumine untuk bisa keluar dari tempat yang kejam ini.

“HEI! SINI!” teriak seseorang dari gubuk kecil yang sudah tampak rapuh.

Entah kenapa, Aether langsung berlari menuju gubuk itu sambil membopong tubuh Lumine yang kian melemah.

Setelah sampai di gubuk itu, anak yang memanggil mereka langsung memberikan selimut yang sebenarnya sedang ia kenakan.

“Tubuhnya dingin banget!” seru anak berambut oren itu.

“Kuni! Air panas kita masih ada, kan?”

“Masih ada, Kak Gli! Sebentar biar Scara tuangkan dulu.”

Aether yang sudah panik hanya bisa memperhatikan Ajax (Tartaglia) dan Scaramouche (Kunikuzhushi) sedang menyiapkan peralatan untuk menaikkan suhu tubuh Lumine yang sudah mulai membeku.

“Tenang aja! Kami udah lumayan hangat, kalian berdua harus jaga suhu tubuh kalian supaya bisa bertahan!”

Scaramouche memberikan satu botol air panas dan memberikannya kepada Ajax, Ajax langsung meletakkan botol panas itu di dalam selimut yang terbuat dari bulu beruang yang sangat hangat, selimut itu merupakan salah satu produk unggulan dari The Harbringers.

“Ini selimut hasil desain kakak kami, namanya Rosalyne (La Signora).” kata Ajax sembari memberikan senyum terlebarnya dengan harapan memberi kekuatan pada si kembar yang sudah patah arang itu.

Aether hanya mengangguk, ia juga sudah menggigil. Ia benar-benar ingin masuk ke dalam selimut yang sudah berhasil mengubah rona wajah Lumine kembali normal.

“Ka..kami cuma punya satu. Kalian kembar, kan? Masuk aja! Sel..selimutnya besar!” suruh Ajax sambil membukakan resleting selimutnya.

Aether ikut masuk ke dalam selimutnya, ia benar-benar merasakan kehangatan yang sangat berbeda ketika cuaca Snezhnaya sedang cerah-cerahnya.

“Ah...” gumam Aether puas, ia benar-benar merindukan kehangatan seperti ini.

“E..enak, kan, Sora?” kata Lumine sambil tersenyum tipis.

“I..iya.” jawab Aether singkat.

“Nama kalian siapa?” tanya Ajax pelan.

“Aku Sora, dan ini kembaranku namanya Hotaru.” jawab Aether sambil tersenyum.

“Ohh! Namaku Tartaglia, dan ini adikku namanya Kunikuzhushi.” ujar Ajax, Scaramouche hanya tersenyum saat dikenalkan oleh sang kakak.

Aether dan Lumine tak berbicara banyak lagi, mereka berdua sudah terlalu nyaman dengan kehangatan dari selimut yang Ajax pinjamkan.

Ajax dan Scaramouche tersenyum melihat mereka berdua, walaupun tubuh mereka sendiri sedang bergetar hebat karena juga tak kuat menahan dingin yang seolah menusuk tulang mereka.

Saking lelahnya, Aether dan Lumine langsung tertidur di dalam selimut itu.

“Kak? Kita melakukan hal baik, kan?” tanya Scaramouce dengan bibirnya yang sudah bergetar hebat.

“I..iya! Kamu tahu sendiri, kan? Kalau mereka berdua ini orang yang sering dibicarakan?” jawab Ajax sambil tersenyum.

“I..iya, Scara tahu.”

“Walaupun mereka berbeda dengan kita, tapi kita harus tetap menghargainya karena kita adalah sesama manusia. Begitu, kan, kata Kak Rosalyne?”

Scara mengangguk, ia tersenyum setelah mendengar nama sang kakak, yang sedang sibuk mencari bantuan dan menyelamatkan barang berharga mereka di kantor Harbringers.

“Biarin aja mereka istirahat, kita udah terlalu lama juga merasa nyaman di balik selimut ini.”

**

“Bang...” ujar Aether pelan, ia tak bisa berkata apa-apa lagi selain menggumamkan hal yang sama.

“Kita ketemu lagi, Sora.” balas Ajax yang juga ikut menangis, ia masih memeluk erat tubuh teman kecilnya yang ia kira sudah mati saat badai salju Snezhnaya semakin menggila.

“Maafin gue, Bang.”

“Gue yang minta maaf, mewakili seluruh warga Snezhnaya. Terima kasih kalian masih bertahan, Sora.”

“Maafin gue, Bang...” ujar Aether pelan.

Tubuhnya sudah tak kuat lagi, ia kembali teringat dengan seluruh memorinya di Snezhnaya, di mana Aether dan Lumine disiksa, dipaksa memakan salju yang kotor, dimandikan oleh air seni oleh anak-anak panti asuhan tempat mereka tinggal dulu, Lumine yang dilecehkan karena memiliki warna kulit yang berbeda serta tekstur rambut yang tidak sama seperti orang Snezhnaya pada umumnya, Aether juga selalu dihina karena warna dari netranya yang berbeda dari yang lain.

Aether pingsan di pelukan Ajax, tubuhnya tak kuat menahan seluruh beban yang pernah ia rasakan dulu.

Keqing memekik dengan keras saat melihat Aether terjatuh, Ajax langsung menggendong Aether dan berlari menuju UKS sekolah. Mereka kembali menjadi tontonan siswa lain, saat Ajax dan Aether tiba di UKS, Keqing langsung berlari menuju kelasnya Lumine.

“Aether kenapa, Kak?!” seru Barbara yang kebetulan sedang bertugas menjaga UKS.

“Tolong bantu Aether, ya, Barbara! Gue mau nelepon rumah sakit dulu.”

Aether menangis dalam tidurnya, badannya kejang-kejang, ia benar-benar trauma karena mendengar nama yang merupakan aib baginya, ditambah lagi dengan perasaan bersalahnya kepada Ajax, ia sudah tidak bisa menahan itu semua.

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 12 (Transisi)

Wajah Yoimiya terlihat masam karena Kazuha tak mau disuruh pulang dari tadi. Mantan kekasihnya pura-pura tidur supaya bisa lebih lama “menjaga” Yoimiya yang menurutnya butuh lebih banyak perhatian agar tidak melakukan hal-hal yang aneh lagi tanpa sepengetahuan Kazuha.

“Ju? Mau balik jam berapa, sih?” tanya Yoimiya sambil menggoyangkan badan Kazuha yang sedang menghadap ke kanan, ke tembok rumah Yoimiya.

“Gak tau.” jawab Kazuha singkat.

“Udah tengah malam, Bego. Gimana kata tetangga nanti?!” seru Yoimiya kesal karena tingkah Kazuha.

“Dulu lo nyariin gue mulu, sekarang gue di sini malah lo usir.” balas Kazuha namun ia tak menoleh sedikit pun ke arah Yoimiya.

Yoimiya menepuk pundak Kazuha sedikit keras karena kesal, namun Kazuha masih tak menghiraukan Yoimiya.

“Serah, dah! Kalau sampai kita digerebek lo yang gue geprek!” ujar Yoimiya lalu masuk ke dalam kamarnya.

Yoimiya membanting pintu kamarnya dengan keras, berharap Kazuha sadar akan tingkahnya yang sudah gila itu.

Setelah Yoimiya masuk ke dalam kamarnya, Kazuha langsung bangun dari tidurnya, berjalan ke depan kamar Yoimiya. Di sana Kazuha menguping kamarnya Yoimiya, apakah ada suara musik yang diputar olehnya atau tidak, karena kebiasaan Yoimiya adalah memutar lagu metal sebelum tidur, Kazuha sudah hafal dengan rutinitas mantan kekasihnya.

Gak ada suaranya?

Tiba-tiba pintu kamar Yoimiya terbuka, tak sengaja Yoimiya menabrak tubuh Kazuha karena memang posisinya Kazuha sedang menguping dari luar.

BRAK!

“APAAN, DAH?! FREAK BANGET NGUPINGIN GUE?!” bentak Yoimiya, wajahnya merah karena rasa kesalnya sudah berubah menjadi amarah.

“Maaf, gue kira lo udah mau tidur, makanya gue nguping.” jawab Kazuha menunduk, ia tentu merasa bodoh karena tingkahnya yang seperti anak-anak.

Melihat Kazuha dengan tampang bersalahnya, malah menimbulkan perasaan untuk menggoda Kazuha.

“Lo mau masuk?” bisik Yoimiya menggoda Kazuha.

“Enggak.” jawab Kazuha datar.

Setelah itu mereka berdua tertawa karena sebenarnya mereka sudah saling memahami, namun tetap tak bisa bersatu.

“Miya, gue boleh nanya?”

“Apaan?”

“Menurut lo, mungkinkah sesuatu akan berubah antara kita suatu hari nanti?”

Waduh, ini anak lagi serius kayaknya.

“Kalau perubahan, gue yakin pasti ada.” jawab Yoimiya tersenyum.

Kazuha terlihat kaget, namun masih berusaha untuk menyembunyikannya.

“Ngerti gak maksud gue?” lanjut Yoimiya.

Kazuha malah menggeleng, yang membuat Yoimiya semakin gemas padanya.

“Ya, perubahan, Juuu! Kayak umur, status, pekerjaan, itu bisa berubah, kan?”

“Kalau jodoh?” tanya Kazuha pelan.

Yoimiya terdiam sejenak, karena ia juga sedang bingung dengan perasaannya. Semakin hari, Yoimiya melihat Kazuha hanya sebagai sahabatnya, tidak lebih dari sebelumnya.

“Jodoh...” gumam Yoimiya pelan.

“Lo yakin gak kalau gue itu jodoh lo?”

Yoimiya mendongak ke arah Kazuha, mata mereka saling bertatapan, namun perasaan sayangnya sebagai kekasih perlahan memudar.

“Gue... gak yakin, Ju.” balas Yoimiya.

“Kenapa?”

“Ya, karena gue udah ngerasain, gue udah tahu rasanya sakit waktu lo putusin dulu, dan gue gak mau hal itu kejadian lagi, apalagi kalau kita udah menikah.”

“Mungkin itu perasaan lo aja, dan gue minta maaf karena dulu gue orangnya masih emosian. Gue bakal berubah, Miya. Gue janji.”

Yoimiya menundukkan kepalanya. Anehnya, semakin ia mendengar semua penjelasan Kazuha, semakin ia sadar bahwa perasaannya untuk Kazuha telah selesai.

“Jujur, Ju. Perasaan gue sama lo udah selesai.” tegas Yoimiya.

Kali ini Kazuha terlihat kaget setelah mendengar jawaban Yoimiya.

“Kita gak bisa apa jadi sahabat aja? Lo boleh, kok, main ke rumah gue tiap balik sekolah. Kita bisa pulang pergi sekolah bareng-bareng, rumah kita, kan, lumayan dekat.”

“Gak akan ada yang berubah kalau itu, persahabatan kita bakal terus ada, Ju.” lanjut Yoimiya.

Air mata Kazuha mengalir perlahan, ia sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi.

“Gue balik dulu.” ujar Kazuha lalu meninggalkan Yoimiya begitu saja. Yoimiya pun tak tergerak sedikit pun untuk mencegah Kazuha supaya tidak pergi.

Mungkin ini yang terbaik, Ju.

Cuma lo yang terbaik, Miya

Ini awal yang baru untuk kita.

Akhir kisah cinta kita akan menjadi transisi di hidup gue menuju jalan yang lebih gelap lagi.

**

Ajax tiba di rumah Thoma, rumah dengan nuansa tradisional khas Inazuma masih sangat terasa saat Ajax pertama kali memijakkan kakinya di rumah Thoma.

“Rumah lo antik banget, Bro.” ujar Ajax yang masih mengagumi seluruh isi rumah Thoma.

“Jangan ada yang lo ambil, ye. Punya Emak gue semua itu.” balas Thoma sambil memperhatikan Ajax supaya dia tidak mengambil barang-barang berharga milik ibunya.

“Bawel, terus gue tidur di mana ini?”

Thoma mengajak Ajax menuju kamar tamu, ia sudah menyiapkan futon untuk tidurnya Ajax malam ini.

“Sampai waktu yang tidak ditentukan, kan?”

Ajax mengangguk sambil tersenyum lebar.

“Ya udah, gue denger-denger lo kaya. Bantuin gue bayar listrik, ya.” ujar Thoma yang juga tersenyum lebih lebar lagi untuk mengalahkan Ajax.

“Anjing banget lo, tapi oke deh.”

Setelah itu Thoma keluar dari kamar tamu dan kembali masuk sambil membawa nampan berisi teko untuk teh dan dua cangkir kecil.

“Gue yakin lo juga mau cerita pasti.” kata Thoma sembari meletakkan teh beserta cangkirnya.

Ajax terkekeh mendengar perkataan Thoma.

Tau dari mana ini curut kalau gue juga mau cerita?

“Iya, gue tahu. Muka lo lagi galau itu, Jax.”

“Lo bisa baca isi hati gue juga ini ceritanya?”

Thoma berdiri sambil tertawa, ia mengembalikan nampannya ke dapur tanpa menjawab pertanyaan Ajax.

Ajax menuangkan teh yang sudah disiapkan oleh Thoma ke masing-masing cangkir. Menunggu Thoma yang seharusnya sudah kembali dari dapur.

“Thom?”

Ajax menyusul Thoma keluar dari kamarnya, mencari dapur di rumah yang luas itu justru malah membingungkan Ajax karena ia sudah terbiasa tinggal di rumah yang minimalis seperti rumah si kembar.

Melihat Thoma sedang menelepon seseorang malah membuat Ajax semakin penasaran dengan isi percakapan temannya itu.

“Iya, makasih juga, ya, Ayaka.” ujar Thoma pelan, berharap kalau Ajax tidak mendengarnya.

Good night.”

“Oalaaah, lagi nelepon pacarnya.” sindir Ajax dari belakang.

Thoma berbalik menghadap Ajax, wajah kagetnya terlihat jelas karena ia benar-benar lengah.

“Udah jadian lo?”

Thoma mengangguk, namun sedikit ragu karena harus menceritakannya kepada raja gosip seangkatannya.

“Kalau lo mau hubungan kalian rahasia, gue bisa jaga, kok.” kata Ajax sambil mengusap-usap dagunya, sok keren.

“Jangan bilang biaya listrik lo mau dikorting. Gak akan.” ledek Thoma yang sudah tahu dengan syarat yang pasti akan Ajax ucapkan padanya.

“Anjir, lo cenayang, ya, Thom?”

“Gue bukan cenayang, emang lo aja yang gampang ditebak.”

Mereka kembali ke kamar Ajax lalu meminum teh yang sudah lama dingin karena ditinggal oleh mereka berdua.

“Lain kali kalau mau nuang teh tungguin dulu orangnya ada gak di tempat!” gerutu Thoma yang gagal menikmati teh hangat.

“Ya, gue mana tahu kalau lo mau nelepon cewek!” balas Ajax tak mau kalah.

“Udah, ah. Mending lo ceritain masalah lo.”

Ajax menceritakan semuanya dari awal, mulai dari ia mengajak Lumine untuk muncak di Cape Oath, Scaramouche yang dikeroyok, ia jatuh cinta kepada Lumine, diusir dari Harbringers, tinggal di rumah si kembar, sampai akhirnya Ajax menyatakan cintanya kepada Lumine namun ditolak mentah-mentah oleh Aether.

“Gue kira udah abis kontrak ngekos lo di rumah si kembar itu, ternyata malah diusir.” ledek Thoma yang senang karena ada bahan ledekan untuk Ajax, biasanya Ajax yang selalu mengejek Thoma kapan pun ada waktu.

“Bacot lo, Thom. Pokoknya itu lah, gue juga bingung kenapa Aether sampai segitunya sama gue.”

“Dia emang lagi ngejaga adiknya. Itu yang seharusnya dilakukan oleh seorang kakak, kalau gue di posisi Aether gue juga pasti bakal nabok lo, Jax.”

“Dih, nyesel beneran gue cerita sama lo, Bangsat!”

Thoma terkekeh mendengar respon dari Ajax.

“Dari yang gue lihat, lo udah dua kali mengalami transisi di hidup lo.”

“Transisi?”

“Iya, peralihan gitu maksudnya.”

“Gue tahu maksud lo, Bambang! Maksud gue itu transisi yang gimana? Kok udah dua kali aja gue ngalamin?”

Thoma dan Ajax memang jarang berbicara serius, di momen-momen seperti ini juga tak bisa menjadi serius karena sifat mereka yang sangat bertolak belakang.

“Iya, dari lo masih bagian dari Harbringers, terus lo tinggal bareng si kembar, dan sekarang sama si ganteng, itu termasuk trans—”

“SI GANTENG APAAN? KEPEDEAN LO!”

“BIARIN! MAU TINGGAL DI SINI GAK?”

Ajax langsung tunduk, namun dibalasnya dengan tawa setelah itu. Memang itu satu-satunya cara mereka berkomunikasi, selalu diselipkan dengan candaan, walaupun mereka tidak terlihat akrab di sekolah, justru itu yang membuat mereka sangat dekat, memang aneh tapi nyata.

“Gue selalu welcome sama lo, Jax. Karena gue berutang budi sama lo, kan?”

“Apaan, sih? Itu udah lama banget, ngapain lo ingat lagi?”

“Lo bisa jadikan rumah gue sebagai rumah kesekian.”

“Jadi kalau gue mau bertransmisi lagi ke tempat lain, terus gue transmigrasi lagi ke sini boleh?” tanya Ajax yang sudah lupa dengan apa yang dikatakan Thoma.

“Gue bingung lo ini emang tolol atau pengaruh narkoba?”

Ajax dan Thoma kembali tertawa setelah itu, masa transisi orang memang berbeda-beda. Ada yang berubah jadi lebih baik, ada pula yang berubah menjadi lebih buruk.

Percayalah, bahwa roda akan selalu berputar, transisi akan selalu ada, dan yang pasti semua pasti akan mengalaminya.

-to be continued