You Keep Me Alive
cw, au // chapter 12.2 (Transisi)
Keluarga Geo tiba di depan makam Itto, Zhongli dengan kursi rodanya yang didorong oleh Ningguang, sementara Sara dengan Noelle.
Madame Ping lebih dulu duduk dan memberikan penghormatan untuk cucu pertamanya, tak terasa air matanya menetes setelah mengingat lagi hal-hal pernah terjadi dengannya dan Itto di masa lalu.
“Kami semua datang, To.” ujar Ningguang terisak menahan tangisnya.
Zhongli tak bergeming, ia hanya menatap makam Itto kosong. Raut wajahnya tidak seperti ayah atau menantu yang selama ini pernah mereka lihat.
“Yah?” kata Gorou memecahkan lamunan Zhongli.
“Ya? Kenapa, Dek?”
“Gapapa, tadi tatapan Ayah ngeri banget.” jawab Gorou pelan.
Zhongli tersenyum setelah mendengar jawaban Gorou, begitu juga dengan Madame Ping, perempuan itu hanya tersenyum saat menoleh ke arah Zhongli.
“Ayo, gantian mengirim doa ke Itto.” ujar Madame Ping.
Lewat isyarat dari Ningguang, Noelle mendorong kursi roda Sara dan mempersilakan Sara untuk mengirim doa kepada Itto lebih dulu.
Kak Itto, Sara sudah mendapatkan banyak pelajaran selama Sara hidup. Semua yang telah Kak Itto ajarkan kepada Sara tidak akan pernah Sara lupakan. Walaupun Sara masih bingung dengan semua yang sudah terjadi dengan cepat, Sara mencoba memahami arti dari kehidupan dengan keluarga baru Sara. Kalau Sara mendapatkan satu doa gratis dari Tuhan, tentu Sara ingin semuanya berkumpul lagi sebagai satu keluarga, Sara ingin berjodoh dengan Kak Itto, Sara ingin menggantikan Kak Ei yang sudah sangat mencintai Kak Itto dari awal, Sara ingin—
Air mata Sara kembali menetes, ia bahkan tak bisa melanjutkan doanya. Perempuan bersurai ungu itu tersenyum tipis, malu dengan keluarga barunya karena ia sudah sangat sering menangis dan menunjukkan kelemahannya di depan mereka.
Ningguang mengelus lembut punggung Sara, energi yang dia dapatkan lebih kuat dari apa pun. Sara kembali menunduk dan melanjutkan doanya untuk Itto.
Yang Sara sebutkan tadi itu hanyalah doa yang tidak akan bisa dikabulkan, Kak. Dan yang paling penting, Sara sudah bersama orang yang tepat, Ibu sudah sangat baik kepada Sara, dan Ayah sudah menerima Sara walaupun mungkin sebenarnya Ayah masih bingung dengan apa yang terjadi. Btw, Ayah kalau lagi serius kayak tadi seram sekali, Kak. Mungkin Kak Itto sudah sering dapat tatapan tajam dari Ayah, atau udah terbiasa?
Kak Itto, biarkan Sara merawat dan membesarkan harta yang sangat berharga ini, maafkan Sara kalau dulu sempat ingin menyerah dan menggugurkan kandungan Sara. Nanti Sara akan ajak anak kita untuk mengunjungi kamu. Dan ingatlah, aku selalu sayang sama kamu, Kak.
Sara mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Noelle dengan mata sembabnya, giliran Sara sudah selesai.
Selanjutnya secara bergantian, seluruh anggota keluarga Geo berdoa untuk Itto, orang yang selalu ngeselin namun ngangenin di saat dia tidak ada di sekitar.
“Terima kasih, Itto. Tugas beratmu sudah selesai, istirahatlah dengan tenang.” gumam Zhongli pelan.
Zhongli mengusap pelan tanah makam Itto. Ia tak menangis hari itu, justru tersenyum, ia bangga dengan anaknya yang menyelesaikan hidupnya tanpa ada rasa takut. Berbeda dengan dirinya, yang sampai sekarang masih takut didatangi oleh kematian.
**
Ajax masih bertengger di depan kamar Lumine, mengetuk pintunya pelan agar tidak diketahui oleh Aether.
“Lumi?” panggil Ajax dari luar kamar Lumine.
Hari sudah menunjukkan pukul 23.34 WT, sebentar lagi Aether pasti bangun dan langsung mengajaknya untuk ngeronda. Namun, bagaimana bisa pikiran yang sedang kalut dikelabui oleh hiburan ecek-ecek seperti itu?
“Makanannya sudah aku letakkan di depan kamar kamu, ya. Sudah aku panasin juga.” ujar Ajax masih di luar kamar Lumine.
TING TONG
Ajax melihat ke arah luar rumah, bingung dengan tamu yang datang hampir tengah malam begini. Ia pun berjalan ke depan rumah dan mendapati Albedo yang sudah menjemputnya untuk ngeronda.
“Cepetan, Jax! Bangunin tuh si Aether juga!” suruh Albedo dengan penuh semangat.
“Emang kenapa, Bang? Kan tuh barang sama Mba Rosa.” bisik Ajax agar tidak ketahuan oleh Lumine.
“Iya, makanya cepetan! Itu barang lagi dipasangin sama Mba Rosa. Dia juga pengen main gara-gara lo. Ntar Mba Eula juga ikut malah katanya!” balas Albedo tak sabaran.
“Anjir? Main partai dong?”
Albedo mengangguk antusias, entah kenapa kalau masalah game wajahnya bisa berubah menjadi cerah.
“Bentar, gue bangunin dulu si Aether.”
Ajax berlari menuju kamar Aether, namun secara tak sengaja mendapati Lumine yang sedang mengambil nampan berisi makanan yang sudah disiapkan olehnya barusan.
“Makan yang banyak, ya!” ujar Ajax sambil tersenyum, ia masih lari-lari kecil di tempat ia berdiri.
“Ya.” jawab Lumine cuek.
Aether keluar dari kamarnya, matanya masih tertutup sebelah, tapi lelaki itu kaget melihat Albedo yang sudah berdiri di depan rumahnya dan Ajax yang sedang menatap ke arah Lumine.
“Bang? Ronda, kan?” tanya Aether memecahkan lamunan Ajax, padahal Lumine sudah masuk ke kamar daritadi.
“Eh...”
“Iya, ayo! Ada Mba Rosa sama Mba Eula!” bisik Ajax antusias.
“Serius?! Main partai kita?” balas Aether pelan.
Ajax mengangguk semangat, lalu menatap ke arah Albedo yang sudah mengangguk-ngangguk daritadi.
“Itu calon bapak kok girang amat mau main PS doang?” tanya Aether heran.
“Ya, paling cuma ini waktunya ngobrol sama non istri kali.” canda Ajax yang disambut dengan tawa oleh Aether.
Aether pamit dengan Lumine dari luar kamarnya, Lumine tak membalas sama sekali ucapan Aether. Mereka pergi meninggalkan rumah si kembar menuju pos setelah mengunci pintu rumahnya.
Lumine keluar dari kamarnya dengan cepat, ia membuang makanan yang dipanaskan oleh Ajax ke wastafel, dengan cepat Lumine mengorek langit tenggorokannya karena mual.
“MAKANAN APAAN YANG DIPANASIN MANUSIA ITU?!” bentak Lumine keras, namun tak ada balasannya karena memang ia tinggal seorang diri di rumah.
Ketika ia berjalan ke dapur, ia melihat satu bungkus makanan yang masih terlihat segar dan belum terbuka sama sekali.
“Ini baru makanannya, dasar si Ajax.” gumam Lumine pelan sambil mengumpat si Ajax.
“Dia sampai salah manasin makanan, gitu amat kalau orang lagi galau, ya.”
Tiba-tiba garis bibir Lumine naik, membayangkan raut wajah Ajax yang kebingungan setelah tak sengaja mengungkapkan perasaannya kepada Lumine.
Ah, udah deh. Lagian hubungan itu gak mungkin terjadi.
Lumine membuka bungkus makanan itu dan ternyata belum ada yang memakan makanan itu daritadi.
Belum dimakan? Berarti dia belum makan dong dari tadi?
Lumine yang merasa bersalah langsung membungkus kembali makanan yang Ajax belikan dan berlari menuju pos ronda untuk menyuruhnya makan.
Kenapa gue jadi gak enak sama dia, ya?
Dari kejauhan, suara sorak-sorak anak laki-laki sudah terdengar. Ajax, Albedo dan Aether meneriaki Rosaria yang tampak bermain curang saat bermain game dengan mereka, ada Eula juga di sana, namun matanya fokus dengan laptop dan urusan pekerjaannya.
“MASA MAIN PAUSE, SIH, MBA?! GAK KALAH SAMA GOROU INI CARA MAINNYA!” seru Albedo yang diikuti oleh Ajax dan Aether.
“LOH, BIARIN! DARI PADA PS KALIAN GAK AMAN? PILIH MANA? GAK GUE SIMPENIN LAGI, NIH!” balas Rosaria tak mau kalah.
“EH? MASIH ADA RUMAH BU LISA! MAMAH KENAL KOK SAMA BU LISA!” balas Albedo lagi yang sudah keluar sisi bocahnya.
Lumine berdiri di depan mereka, namun tak dihiraukan oleh kawanan para peronda yang masih sibuk beradu argumen.
Eula yang sudah menyadari kehadiran Lumine hanya bisa berdesis mendiamkan adik dan tetangganya.
“Apaan, sih, Kak?! Kayak ular aja!” bantah Rosaria yang merasa terganggu dengan suara desis Eula.
“Gak sabar tuh Mba Eula mau main lawan gue!” ujar Aether yang kebetulan satu partai dengan Eula.
“Ah, lo semua gue bantai pakai Cels—”
Ajax yang lebih dulu melihat Lumine yang sudah mematung memandangi tingkah mereka.
“Lumi, aku bisa jelaskan!” seru Ajax mengejar Lumine yang sudah berbalik arah.
Aether ikut menyusul Ajax yang sedang mengejar Lumine.
“Udah, Mba. Itu urusan mereka, kita main aja.” kata Albedo memberikan joystick milik Ajax ke tangan Rosaria.
Mereka melanjutkan permainan mereka tanpa memedulikan si kembar dan Ajax lagi.
Langkah Lumine terhenti di depan pagar rumahnya, ketika ia berbalik badan, sudah ada Ajax dan Aether yang membungkuk karena kehabisan nafas setelah berusaha mengejar Lumine.
“Kak, gue harus jujur juga ke Aether.” ujar Lumine ragu.
“Hah? Apaan, nih?”
Ajax hanya mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran.
“Tadi sore gue ditembak Razor lagi di depan rumah.” ujar Lumine ke Aether.
Aether tak terlalu kaget saat mendengarnya, karena ia tahu akan hal itu dari Bennett.
“Terus gue ngaku ke Razor kalau Kak Ajax adalah pacar gue.”
Ajax menoleh pelan ke arah Aether.
“Terus?” tanya Aether dengan suara beratnya.
“Kak Ajax ikut dengan permainan gue buat mengelabui Razor. Tapi setelahnya—”
“Setelahnya gue juga nembak Lumine, Ther.” potong Ajax sambil bergeser ke dekat Lumine.
“Sejujurnya gue udah suka sama Lumi dari awal gue ngajak dia ke Cape Oath. Tapi gue tahu perasaan Lumi ke gue itu—”
“Cukup, Bang.” sanggah Aether tegas.
“Gue udah bilang sama lo tentang syaratnya. Sekarang lo gue kasih dua pilihan.”
Ajax menelan ludahnya setelah mendengar perkataan Aether.
“Lo mau lupain perasaan lo ke Lumine dan tetap tinggal sama kami, atau pergi dari rumah kami tapi juga lupain perasaan lo ke Lumine. Karena lo gak bakal gue restuin.” kata Aether tegas.
Senyum tipis ditunjukkan oleh Ajax, ia mengangguk pelan setelahnya.
“Ya udah, gue beres-beres barang gue dulu lalu pergi dari sini.” jawab Ajax langsung berjalan menuju rumah.
Lumine melototin Aether tak berhenti, namun tak dipedulikan oleh Aether.
“Percuma, gue gak akan restuin hubungan kalian.” ujar Aether pelan.
“Terserah lo, Bang. Lagian gue juga gak ada perasaan ke Kak Ajax!” bentak Lumine lalu masuk ke dalam rumah menyusul Ajax.
“Ya udah.” jawab Aether cuek.