You Keep Me Alive
cw, au // ending chapter 9 (Melt)
Kaeya tiba-tiba datang ke Teapod Resindence tengah malam, mencari Albedo yang katanya sedang ronda malam. Setelah rapat yang cukup alot di Knight of Favonius, ia mendengar kabar bahwa Eula pindah ke Teapod.
“Al!” seru Kaeya dari mobilnya.
Albedo melambaikan tangannya lalu kembali fokus ke ponselnya.
Kaeya turun dari mobilnya dan menghampiri Albedo yang sedang asik bermain game online dengan Aether dan Ajax.
“Push, Bang! Elahh malah AFK.” seru Ajax yang sudah terlihat emosi ketika Albedo yang merupakan carry satu-satunya dalam match tersebut malah meletakkan ponselnya dan berbicara dengan Kaeya.
Aether menyenggol tubuh Ajax, membisikkan sesuatu.
“Itu siapa?”
Ajax hanya menggeleng tak peduli, ia menukar ponselnya dengan milik Albedo yang sudah mengisyaratkan untuk memainkan hero miliknya.
Albedo membawa Kaeya sedikit jauh dari pos ronda malam.
“Lo beneran, kan? Eula pindah ke sini?” tanya Kaeya dengan wajah yang penuh kekhawatiran.
“Hape gue masih dimainin, pokoknya dia join grup RT kami. Emang itu bohongan bagi lo?” jawab Albedo dengan wajah seriusnya, tapi di situasi apa pun, wajahnya memang seperti itu.
Kaeya menghela nafas lega, ia menarik lengan Albedo dan memintanya untuk mengantarkan Kaeya ke rumah Eula.
“Bentar, gue bilang dulu sama anak-anak.”
Albedo menghampiri Ajax dan Aether, berbicara sesuatu namun tak terlalu dipedulikan oleh mereka. Bagaimana tidak? Mereka sudah hampir menang, namun dikacaukan oleh teman Albedo yang tiba-tiba merusak momen.
Kaeya hanya tertawa kecil saat ditatap sinis oleh Aether dan Ajax saat Albedo menjelaskan sesuatu pada mereka.
“Udah, ayok. Biarin aja mereka.”
Setelah sampai di depan rumah Eula, Albedo kembali menuju pos ronda dan melanjutkan ketertinggalannya tadi.
Kaeya menghela nafas sebelum menekan bel rumah Eula.
Namun pintu rumah Eula terbuka dari dalam, ternyata Eula sudah mengetahui kalau Kaeya datang berkunjung.
Mereka hanya dibatasi oleh pintu teralis rumah Eula. Perempuan itu sudah menggunakan gaun tidurnya yang cukup tipis, sehingga sedikit menunjukkan tubuhnya pada Kaeya namun tak terlalu dipedulikan oleh Eula.
“Ada apa? Saya tidak bisa berhubungan badan tanpa status.” ujar Eula singkat.
Saat mendengarkan hal itu, hati Kaeya seperti tertusuk jarum lalu diseret ke bawah sampai tersayat dan luka. Ia benar-benar merasa bersalah, namun tak bisa berkata apa-apa setelah mendengar perkataan Eula.
“Eula, boleh aku masuk?” tanya Kaeya, bibirnya bergetar saat mengatakan hal itu.
Eula membuka batas terakhir penghalang antara mereka, mempersilakan Kaeya masuk.
“Rumah saya kosong, sama seperti hati saya.” ujar Eula sambil berjalan menuju dapur.
Memang tidak ada apa-apa, setidaknya kursi plastik untuk duduk saja tidak ada.
Kaeya menyusul Eula ke dapur. Melihat perempuan itu sedang menahan tangisnya dari belakang.
“Jangan mendekat!” seru Eula yang sadar bahwa Kaeya sedang mendekatinya.
“Eula...”
Eula membalikkan badannya, menatap pria yang selama ini ia sukai dengan perasaan penuh benci.
“Semua penjelasan kamu tidak akan bisa saya terima lagi, Kaeya!” bentak Eula.
Kaeya kembali mendekati Eula namun di saat yang sama Eula juga ikut mundur.
“Jangan mendekat! Saya sudah bilang jangan mendekat!”
Eula sudah tak bisa bergerak lagi setelah terhalang dinding dapurnya, air matanya mengalir, ia sudah tidak bisa apa-apa lagi.
Kini mereka jarak mereka tinggal sejengkal. Tak ada lagi pembatas, tak ada lagi halangan, tak ada lagi gangguan. Hanya Kaeya dan Eula.
“Aku minta maaf.” ujar Kaeya pelan.
Eula tak membalasnya, ia membuang mukanya dari Kaeya, deru nafas pria itu terasa jelas di pipi kanannya, membuat jantungnya berdebar hebat.
“Cu...kup...” gumam Eula pelan.
Kaeya menyentuh bahu Eula dengan lembut, namun refleks Eula mendorong Kaeya sampai terjatuh.
“Kaeya, saya tidak bisa seperti ini. Kamu sudah bermain dengan adik saya di belakang saya. Kamu pikir saya akan menerima kamu setelah melihat adegan panas yang kalian perbuat tempo hari?!”
Eula berjalan keluar dari dapurnya namun kakinya ditahan oleh Kaeya yang masih tak hilang akal.
“LEPASIN KAKAK GUE!” teriak Rosaria dari pintu depan rumah yang masih terbuka lebar.
Rosaria berlari menghampiri Eula dan Kaeya dan memisahkan mereka.
“LO GILA, YA?! SETELAH KITA SELESAI LO MALAH LAKUIN HAL INI KE KAKAK GUE?! BANGSAT LO, KAE!” bentak Rosaria dengan keras.
Kaeya berdiri dari lantai dan membersihkan baju dan celananya.
“Gue cuma mau minta maaf, gue mau jelasin tapi Eula—”
“BOHONG! GUE LIHAT SEMUANYA!” potong Rosaria cepat.
Eula menatap ke Rosaria, wajah adiknya itu merah karena emosi.
“Gini aja, gue jelasin di sini. Gak ada yang bergerak.” ujar Kaeya.
“Gue adalah polyamorous” lanjut Kaeya singkat.
Raut wajah Eula dan Rosaria semakin masam setelah mendengarkan penjelasan dari Kaeya.
“Berarti selain gue? Masih ada lagi yang tidur sama lo? Atau pacaran sama lo?” tanya Rosaria memastikan.
Kaeya mengangguk, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Gue minta maaf, yang sebesar-besarnya. Terutama untuk kamu, Eula.”
“Aku tak sengaja menyentuhmu tadi, aku hanya ingin minta maaf padamu dan pergi dari hidupmu setelahnya. Apa yang aku dan Rosaria lakukan sangatlah salah, aku juga tahu kalau kamu memiliki perasaan padaku. Namun melihat aku yang seperti ini, Polyamorous. Aku rasa kita—”
“Cukup. Penjelasanmu sudah saya dengar, sekarang keluar dari rumah saya.” potong Eula cepat. Ia sudah muak mendengar dan melihat wajah Kaeya. Rasa sukanya hilang begitu saja setelah mendengar bahwa Kaeya adalah seorang polyamorous.
Kaeya hanya tersenyum, menunduk dan pergi meninggalkan dua saudari itu.
“Kak... Rosa minta maaf...” ujar Rosaria sambil menangis, ternyata ia sudah menahan tangisnya dari tadi.
Eula memeluk Rosaria dengan erat, ia sangat merindukan adiknya, namun egonya lebih tinggi dari apa pun. Kini ia benar-benar tak mau berpisah dengan adiknya, selama-lamanya.
“Kita tinggal di sini saja. Kamu cari pekerjaan baru, jangan pernah berinteraksi lagi dengan lelaki bajingan itu.” balas Eula sambil mengusap lembut rambut Rosaria.
**
Selama perjalanan menuju Liyue, ponsel Itto terus menerus berdering. Sara meneleponnya tanpa henti, kini Itto sadar bahwa ia tidak boleh berada di dekat Sara lagi. Sejenak ia berpikir bahwa Sara adalah orang yang akan mengobati lukanya, namun disadarkan kembali setelah Yae Miko datang.
Cukup, Sara. Kita gak akan bisa bersama.
Itto berjalan menuju pelabuhan Liyue, ia melihat Beidou sedang meneguk alkohol yang kesekian kalinya. Paras Beidou tampak anggun di bawah sinar rembulan yang sedang berada di puncaknya malam ini.
“Yo!” sapa Itto lalu naik ke atas kapal Beidou yang masih dalam proses reparasi.
“Mana botol gue?!” balas Beidou yang ternyata masih sadar setelah meminum lebih dari 10 botol.
“Gila, gue baru aja nyampe.” ujar Itto sambil menggaruk kulit kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu, sudah menjadi kebiasaannya entah kenapa.
Beidou memperhatikan Itto dengan seksama, ada yang lain yang ditunjukkan oleh bocah raksasa itu, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Perempuan itu menggeser botol-botol kosong yang ada di kursi panjang kapal lalu menyuruh Itto untuk duduk.
“Lo kenapa?” tanya Beidou sambil membuka botolnya yang keempat belas.
Itto tak menjawabnya, lelaki itu hanya menatap langit dengan mata kosongnya, menyenderkan tubuhnya di dinding kapal lalu menghirup nafas dalam-dalam.
Beidou tidak peduli dengan gelagat Itto yang ia rasa sok galau tersebut. Ia kembali menegak alkohol yang rasanya sudah seperti minum air mineral baginya.
“Kalau mau cerita, tinggal cerita. Gak usah sok galau.” ujar Beidou kembali meyakinkan Itto untuk mencurahkan seluruh isi hatinya.
Itto menatap ke arah Beidou perlahan, memandangi wanita yang enggan membuka eye patch miliknya sebelum ia benar-benar mabuk.
“Ada yang salah dalam hidup gue,” ujar Itto pelan.
Beidou mengernyitkan sebelah alisnya, ia benar-benar baru kali ini menghadapi Itto yang sedang galau tak tentu arah.
“Gue udah ngomong untuk yang kesekian kali sama lo, Ei udah mati, To.” ujar Beidou tegas, tak peduli dengan perasaan Itto yang sedang rapuh.
“Gue tahu.” jawab Itto pelan.
“Gue ada di sana saat Ei mati.” lanjutnya.
Beidou tersedak minumannya, lalu mengambil kerah baju Itto dan mendorongnya ke ujung kapal.
“TOLOL!”
Beidou menampar pipi kanan Itto berkali-kali, tenaga wanita itu sangat kuat setelah dalam pengaruh alkohol, gila.
Itto tak membalas apa pun yang Beidou berikan.
“TERUS KENAPA LO GAK NOLONGIN DIA?! LO BIARIN DIA MATI GITU AJA?!” bentak Beidou dengan keras.
“GUE GAK BISA GANGGU APA YANG AYAH GUE PERBUAT!”
Beidou melepaskan genggamannya, ia terkejut bukan kepalang. Zhongli, orang yang selama ini menjadi panutan baginya telah membunuh Ei? Yang merupakan kekasih anaknya sendiri?
Itto terduduk lemas, rasanya ia ingin menumpahkan semua rasa sakitnya lewat tangisan, namun sayangnya tidak ada yang keluar dari matanya saat ini.
“Lo jangan bohong, To.” bantah Beidou tak percaya.
Itto tertunduk, ia tak bisa berkata apa-apa. Sedikit saja suara yang keluar dari mulutnya, ia bisa menangis.
“Pak Zhongli? Membunuh Ei?”
Itto hanya mengangguk, namun tidak menatap Beidou.
“Kenapa?”
**
“Karena, itu adalah kontrak yang diberikan kepada saya.” jawab Zhongli dengan suara khasnya.
Yae Miko menatapnya aneh, tak paham dengan jawaban Zhongli.
“Kontrak?!” bentak Yae Miko keras.
“Ya, tetua dari Celestia yang mengutus saya.”
Yae Miko menendang Zhongli dengan keras, lelaki itu terdorong ke pojok ruangan karena lengah.
“Celestia apanya?! Celestia itu gak ada!”
“Raiden Ei dan Raiden Shogun adalah generasi terakhir di Euthymia! Anda memang benar-benar gila, ya?!” lanjut Yae Miko terus menohok Zhongli dengan suara kerasnya.
Zhongli berdiri dan menatap Yae Miko dalam-dalam.
“Euthymia, itu bukan nama asli dari panti asuhan yang kalian dirikan.” ujar Zhongli singkat.
“Alasan saya membunuh Ei adalah supaya tidak ada lagi garis keturunan dari Euthymia.”
Mata Yae Miko terbelalak setelah mendengarkan penjelasan Zhongli, semuanya masih tak masuk akal baginya. Zhongli hanya menjawab apa yang menurutnya perlu dijawab, ia tak bisa terus memancing pria paruh baya itu untuk membeberkan semuanya.
“Apakah kamu sadar? Kenapa saya hanya membunuh Ei?”
Yae Miko menggelengkan kepalanya, tidak tahu apa isi pikiran dan masa lalu dari Zhongli.
“Karena hanya Ei yang bisa memiliki keturunan.” lanjut Zhongli datar.
Kini Zhongli berjalan mendekati Yae Miko yang sudah membeku sejak tadi.
“The Face of Inazuma, adalah sebutan Ei, bukan?”
Yae Miko hanya mengangguk ketakutan, aura yang Zhongli pancarkan begitu kuat sehingga menembus mentalnya yang belum seberapa ini.
“Wacana tentang keabadian yang sering digaungkan Euthymia itu hanya omong kosong belaka.”
“Justru saya menyelamatkan Ei dari penderitaannya.” lanjut Zhongli.
“DENGAN MEMBUNUH?! HAH?!” balas Yae Miko tak peduli lagi dengan rasa takutnya.
“Ya, dengan membunuhnya.”
Yae Miko terjatuh karena badannya sudah tidak seimbang, tubuhnya bergetar hebat tak kuat menahan aura Zhongli yang semakin lama semakin menekan tubuhnya.
“Tidak ada yang abadi di muka bumi ini. Bahkan Ei sendiri tahu akan hal itu.”
“Ada harga yang harus dibayar untuk Teyvat. Ini saling menguntungkan, dia memiliki darah keturunan yang kotor dan hina, sementara saya ditugaskan untuk membersihkannya dari dunia ini.”
“Adanya strata sosial membuat dunia ini penuh dengan kelicikan dan kemunafikan, dan bukan hanya Euthymia yang saya habisi. Seluruh bangsawan dan keturunan murni yang ada di Teyvat sudah saya musnahkan.”
Zhongli memberikan tangannya pada Yae Miko.
“Ayo berdiri, beban yang Celestia berikan pada saya lebih berat dari apa pun. Rasa takut yang menggerogoti, dosa yang datang tanpa henti, gelar pahlawan yang mereka sematkan di samping nama saya, itu semua tidak ada artinya.”
“Sejujurnya, hidup tak pernah bercanda padamu. Kamu sendiri yang menganggap dunia ini hanyalah panggung sandiwara.”
-to be continued