ismura

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 7.2 (Ekspektasi Orang Tua)

Jean, Klee dan Razor tiba di depan gerbang Liyue. Sudah ada Lisa di sana, menahan rindu anak semata wayangnya yang pergi dari pagi sampai sore hanya untuk bermain dengan Klee.

“Loh? Ibu katanya gak ikut?” tanya Razor polos.

Lisa langsung memeluk Razor dan membisikkan sesuatu pada anaknya.

“Ibu sengaja diam-diam ikut, Ibu juga mau kali main sama kamu.” ledeknya.

Jean masih tersipu setelah melihat Lisa, pikirannya masih mengambang karena ajakan Lisa untuk tinggal satu rumah dengannya.

“Jean? Kamu kenapa?” tanya Lisa heran.

“Eh. Enggak, Bu. Masih terpikirkan masalah tadi.” jawab Jean pasrah, ia juga sebenarnya bingung apakah Lisa bercanda atau tidak.

Lisa terkekeh mendengar respon dari Jean, ia langsung menggandeng Jean dan berjalan duluan masuk ke area festival.

“Mama mau ke mana?” tanya Klee sambil mengejar ibunya.

“Klee, Tante pinjam mama kamu dulu, ya! Kan kamu lagi asik-asiknya sama Razor.”

Klee langsung mengangguk dan berlari menghampiri Razor lalu menarik tangannya agar bisa menyusul Jean dan Lisa.

“Ayo, Bang! Kita jangan mau kalah sama Mama dan Tante.” ajak Klee yang masih berusaha mengejar Jean dan Lisa.

Razor tersenyum tipis, ia bahagia sekarang. Tentu ini adalah momen yang langka baginya, Razor kini memiliki adik, walaupun bukan dari ibu yang sama.

“Ayo, Klee! Kita coba jajanan festival!” seru Razor penuh semangat.

“AYO!”

**

Kini keluarga Geo yang baru tiba di festival Liyue, mereka membawa dua mobil, rombongan Albedo dan sang ibu hamil Sucrose berangkat bersama Itto dan Sara. Sementara Ningguang dan Zhongli bersama Noelle, Gorou, Lumine dan Barbara.

“Wah, suasana festival masih sama setiap tahunnya, ya.” gumam Ningguang melihat sekeliling festival.

Zhongli tersenyum melihat wajah sang istri yang sedang mengagumi suasana festival. Ia langsung menggenggam tangan Ningguang dan berjalan lebih dulu meninggalkan yang lainnya.

“Yah?” ucap Sucrose yang ikut menggandeng tangan Albedo.

Jelas, warna wajah Albedo memerah setelah dipanggil 'ayah' oleh Sucrose, sebutan yang terbilang mendadak ini mengundang gelak tawa dari sang tunangan, yang sebenarnya ingin mengetahui reaksi Albedo yang terbilang cuek dalam hubungan mereka.

Seru banget ngelihat Kak Albedo dan tunangannya. pikir Sara dalam hati.

Ia menoleh ke arah Itto namun kehilangan sosok raksasa itu dari pandangannya, rupanya Itto sudah berlari menuju Trio Bocah Liyue yang sudah melambaikan tangannya dari tadi.

“Permisi, Kak Sara.” sapa Barbara dan Lumine yang masih segan melihat wajah sang gagak.

“Lumine dan Barbara, kan? Kalau di luar sekolah santai saja.” jawab Sara sambil tersenyum.

Aura yang dipancarkan oleh Sara jelas berbeda ketika sedang berada di sekolah. Barbara baru saja menyadari kalau Sara bukan orang yang sangat judes di mana pun. Dengan keyakinan dan keberaniannya yang baru saja tumbuh, Barbara langsung menggandeng Sara dan Lumine lalu masuk ke dalam festival.

“Barb!” pekik Lumine yang masih ketakutan berada di samping Sara.

Barbara hanya tersenyum dan mengacuhkan Lumine, ia senang bisa memiliki teman baru hari ini, dan itu sudah cukup baginya.

“Ayuk, Kak! Kita kejar pacar Kakak!” seru Barbara yang justru membuat Sara langsung tersipu malu saat mendengarnya.

Pacar... aku pun berharap seperti itu. gumam Sara dalam hati.

Gorou menempel ke Noelle, si bungsu merasa ditelantarkan oleh kedua orang tuanya yang malah asik berduaan menikmati festival. Noelle yang menyadari itu langsung mengelus lembut kepala Gorou dan menyadari bahwa waktu sangat cepat berlalu. Gorou sudah menjadi siswa SMA, padahal perasaan Noelle saat itu masih berpikir kalau Gorou baru saja masuk TK.

“Yuk, kita jangan sampai kalah sama Ayah dan Mamah!” ujar Noelle sambil tersenyum.

**

Flashback

Malam tanpa bintang kini sudah menjadi keseharian Lisa yang masih bertengger di ruang Fakultas Sastra di Universitas Teyvat. Lisa masih disibukkan dengan tesis yang baru saja ia garap setelah sekian lama terbengkalai karena harus menilai tugas-tugas mahasiswanya.

Sesekali ia menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas untuk menghilangkan kantuk dan suntuknya.

Ada satu cara yang membuat Lisa bisa begitu saja menghilangkan rasa lelahnya ketika menjalani rutinitas yang monoton itu.

“Halo, Sayang? Kamu sudah makan?” tanya Lisa kepada Razor melalui ponselnya. Ia juga mengambil bingkai foto yang berisi fotonya dan Razor saat kelulusan SMP waktu itu.

Sudah, Bu. jawab Razor singkat.

“Nanti pulang mau Ibu bawain apa dari luar?” pertanyaan ini memang sudah sangat sering ditanyakan oleh Lisa, karena jujur ia tidak tahu bagaimana cara menghadapi remaja yang terbilang masih tertutup bahkan pada ibunya sendiri.

Tidak usah, Bu.

“Kalau ada apa-apa bilang, ya, Sayang!” seru Lisa dari ujung telepon.

Setelah itu ia menutup teleponnya dan meletakkan ponselnya di atas meja. Ia tak melanjutkan pengerjaan tesisnya, Lisa berdiri dari kursinya lalu meregangkan badannya sambil berjalan ke arah jendela.

“Hari ini langitnya kosong.” gumam Lisa pelan.

Di tengah lamunannya, kadang Lisa dihantam dengan keras oleh ingatannya di masa lalu, saat ia terus menerus dianiaya oleh Diluc, mantan kekasihnya. Luka yang ia alami tak kunjung sembuh, sudah 16 tahun lamanya ia terus terngiang-ngiang oleh perlakuan bejat Diluc di masa lalu. Perempuan itu tak tahu di mana lelaki itu berada, ia tak memedulikannya.

Dari saku kanannya, Lisa mengambil satu batang rokok lalu membakarnya. Ia hirup dalam-dalam tembakau yang selama ini mengkuatkan di kala ia sedang stress. Belum ada satu pun obat yang bisa menyembuhkan luka di hatinya, bahkan Razor sekali pun. Sifat dan wajahnya yang sangat mirip dengan Diluc kadang membuka luka yang hampir saja kering.

Terkadang Lisa menyesali perbuatannya karena telah memutuskan untuk mengandung Razor dan membesarkannya sampai sekarang. Pikiran itu muncul di kala ia sedang benar-benar lelah menjalani hidup, namun saat itu juga ia menyadarkan diri atas pikiran bodohnya.

Razor adalah pembangkit semangatnya, alasannya agar tetap bertahan hidup, cinta terakhirnya.

Lisa tak pernah memiliki perasaan pada lelaki mana pun, karena ia jatuh cinta pada orang yang tak akan pernah bisa menerima dan dimiliki olehnya, yaitu Rosaria.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 7.1 (Ekspektasi Orang Tua) trigger: violence against children

Lantunan musik klasik mengisi seluruh ruang tamu Fischl, hal ini menjadi rutinitas tersendiri bagi keluarganya yang notabene penikmat musik klasik.

Fischl menari-nari kecil saat berjalan menuju sofa ruang tamunya, ia mengambil buku pelajaran dari meja belajarnya dan menjatuhkan badannya ke sofa yang lembut dan mahal itu.

BZZZ dering telepon Fischl yang sengaja ia pasang di mode getar terus memanggilnya untuk diangkat.

“Ya? Halo? Benny!” seru Fischl semangat setelah mendengar suara kekasihnya.

Kita jadi berangkat ke festival, kan, Cel? tanya Bennett yang juga terdengar antusias.

Hari ini ada festival lampion merah di Liyue, sudah menjadi tradisi warga Liyue setiap tahunnya untuk merayakan harapan mereka yang terkabul dulu saat Archon War. Setelah itu, warga berinisiatif untuk menggantungkan harapannya di lampion berwarna merah dan menerbangkannya dengan harapan agar doa dan keinginan mereka bisa sampai ke surga.

“Tentu! Aku sudah siap, Benny!” jawab Fischl dengan senyum lebarnya yang tentu tak bisa dilihat oleh Bennett sekarang.

Okaaay! Aku ke rumah kamu sekarang!

Fischl meletakkan ponselnya di atas meja, kembali membaca dan merangkum sedikit mata pelajaran Ekonomi yang menjadi mata pelajaran favoritnya setelah Sastra.

“Ah... setidaknya sudah lebih bahagia daripada dulu.” gumam Fischl pelan, senyumnya perlahan memudar, hilang tertelan ketakutannya akan masa lalu.

**

Fischl kecil berlari menghampiri ibunya yang sedang merajut pakaian untuk bayi yang sedang berada di kandungannya.

“Mamiii!” seru Fischl sembari memeluk dan merasakan hangat tubuh sang ibu.

“Fischl sudah pulang sekolah, Sayang?” ujar Mariane dengan senyum tulusnya yang menjadi energi penyembuh untuk Fischl yang sebenarnya sudah lelah menjalani seluruh kegiatan di sekolah.

“Sudaaah!” jawab Fischl dengan senyum lebarnya.

Fischl memegangi perut Mariane, ingin merasakan tendangan dari adik kecilnya, sebentar lagi ia akan lahir ke dunia ini, Fischl sudah mempelajari bagaimana cara menjadi saudara perempuan yang baik di ensiklopedia parenting yang ia beli bersama ibunya beberapa waktu lalu.

Terasa sedikit tendangan dari dalam perut sang ibu, keduanya terkejut sembari menatap satu sama lain.

“Ih! Adek nendang, Mi!” seru Fischl semangat, ia kembali meraba-raba perut sang ibu agar bisa merasakan tendangan dari adik kecilnya itu.

“Kerasa banget, lho! Kayaknya adek mau ketemu Kak Icel cepet-cepet, ya?” tanya Mariane sambil mengelus lembut perutnya yang sudah membesar, kehamilannya sudah berada di usia 8 bulan, memang sebentar lagi.

Fischl dan Mariane terkekeh setelah mendapat respon dari bayi yang ada di kandungan Mariane, calon bayi yang sedang berada di dalam perut Mariane terus menendang seperti memberi sinyal bahwa dia akan segera hadir ke dunia dan menjadi pelipur lara bagi Fischl dan Mariane.

**

Hari ini adalah hari pertama Fischl berseragam SMA, berkat nilainya yang sangat tinggi saat SMP, membuat Fischl yakin bahwa ia akan menjadi perwakilan angkatan untuk memberikan pidato saat penyambutan siswa baru, bahkan ia sudah menyiapkan beberapa kata mutiara agar bisa menjadi penyemangat untuk siswa baru di SMA Teyvat.

“SELURUH SISWA BARU SMA TEYVAT DAN ORANG TUA YANG MENDAMPINGI SILAKAN MENUJU KE AULA UNTUK ACARA PENYAMBUTAN SISWA BARU!”

Selama perjalanan menuju aula, Fischl menggumamkan instrumen favoritnya yaitu piano. Mariane juga terlihat senang melihat raut wajah Fischl sambil menggendong sang adik, Abe, yang baru saja berusia satu tahun.

Abe terlihat lebih girang dari biasanya, senyumnya tak pernah pudar selama perjalanan menuju aula, ia bergerak seperti ingin lepas dari dekapan sang ibu dan ikut menari-nari kecil menemani sang kakak yang akan berpidato saat penyambutan siswa baru hari ini.

Akhirnya aku bisa membuat Mami bangga lagi kepadaku! seru Fischl dalam hati.

Akhirnya mereka tiba di aula SMA Teyvat, Fischl sengaja mengajak Mariane dan Abe untuk duduk di kursi paling depan. Khusus hari pertama sekolah dan penyambutan siswa baru, orang tua boleh ikut mendampingi dan ikut meramaikan meriahnya pesta penyambutan yang akan diisi oleh banyak talenta dari SMA Teyvat.

Venti dan Barbara jalan menuju belakang panggung untuk meletakkan peralatan musiknya. Xiao langsung duduk di sembarang kursi walaupun Ganyu sudah memanggilnya untuk mengisi bangku yang masih kosong di depan.

Mata Fischl langsung tertuju pada Bennett, temannya sedari SD, gadis bersurai kuning keemasan itu melambaikan tangan ke arah Bennett, cinta pertamanya.

“Hai, Icel!” seru Bennett dari arah yang berlawanan dengan tempat duduk Fischl.

“Halo, Tante.” sapa Bennett sopan setelah sampai di depan Fischl, Mariane dan Abe.

“Wahh, Benny masuk SMA Teyvat juga, ya? Kereeen! Semoga sekelas sama Icel, ya!” balas Mariane dengan senyum lebarnya. Ia juga terlihat sangat senang saat mendampingi anaknya, terlebih Fischl akan mewakili angkatannya untuk berpidato nantinya.

“Hehe! Bisalah, Tante!” jawab Bennett salah tingkah.

Fischl hanya bisa tersenyum memandang wajah Bennett, entah kenapa menatap wajah Bennett malah semakin melebarkan garis mulut Fischl dan melebar dengan sendirinya.

“Benny duduk di sana dulu, ya, Tante, Fischl.” ujar Bennett pamit ke Mariane dan Fischl.

“Dadah! Abe!” Bennett meninggalkan mereka dan duduk bersama Xingqiu yang tidak ditemani oleh orang tuanya karena sibuk.

Mariane menoleh ke arah Fischl yang masih tersenyum melihat Bennett yang baru saja duduk di samping Xingqiu.

“Duuh, lebar banget senyumnya!” ledek Mariane yang malah membuat wajah Fischl semakin memerah karena malu.

“Ihhh! Mami!” balas Fischl sambil menutup wajahnya yang semakin memerah.

“BAIK! SETELAH SEMUANYA BERKUMPUL, MARI KITA MULAI ACARA PENYAMBUTAN SISWA BARU SMA TEYVAT ANGKATAN 21!”

Acara demi acara terus berlanjut sampai akhirnya tiba saatnya perwakilan siswa baru untuk menyampaikan pidato mewakili anak-anak angkatan 21 SMA Teyvat.

“Baik, untuk mengefisiensikan waktu. Kita akan mendengarkan sambutan dari salah satu siswa kita yang mendapatkan nilai sempurna di semua mata pelajarannya saat ujian nasional.” ujar Jean sebagai perwakilan majelis guru yang menyampaikan sambutannya menggantikan kepala sekolah sekaligus ayah kandungnya, Varka.

Fischl terkejut saat mendengar kalimat 'nilai sempurna' yang disebutkan oleh Jean, karena nilainya ujian nasionalnya hampir mendekati sempurna. Fischl menoleh ke arah Mariane perlahan, senyum yang terpancar dari wajah sang ibu perlahan memudar.

Mariane tidak mentolerir kesalahan, apalagi kegagalan. Ia tahu nilai Fischl saat ujian nasional mendapatkan berapa poin, karena itu juga raut wajah sang ibu berubah setelah mendengar hal yang sama seperti apa yang Fischl dengar.

“Silakan maju ke depan, Aether!”

Tak ada yang beranjak dari kursinya, itu artinya siswa yang bernama Aether sedang tidak berada di aula.

“Aether? Tidak ada? Baik. Karena Aether tidak hadir di antara kita, kita lanjut ke siswa dengan perolehan nilai tertinggi setelah Aether.”

Fischl mendongak ke arah Jean, berharap namanya akan disebut, ia sudah tak berani lagi menatap ke arah Mariane.

“Siswa ini merupakan kembaran dari Aether.”

Fischl tersentak karena bukan dia yang akan dipanggil menuju ke atas panggung. Abe yang awalnya tertawa kini menangis setelah kakinya diremas dengan kuat oleh sang ibu.

“Mami...” ujar Fischl pelan. Ia melihat urat yang keluar di dahi sang ibu sangat jelas di matanya, Mariane benar-benar murka.

“Silakan maju ke depan, Lumine!”

Ada satu orang yang beranjak dari kursinya, namun itu adalah Mariane yang masih meremas kaki Abe semakin kuat dan meninggalkan ruangan aula dengan cepat. Fischl langsung berlari menyusul sang ibu ke luar ruangan. Seluruh pandangan mengarah kepada mereka, namun tak dihiraukan oleh Fischl.

“Mami! Maafin Icel!” seru Fischl yang berusaha mengimbangi langkah kaki Mariane.

“DIAM KAMU!” bentak Mariane dengan keras, untungnya tidak ada orang di sekitar mereka.

“Kamu tahu, kan? Apa konsekuensinya kalau kamu tidak mendapatkan peringkat pertama? Kamu tidak berada di peringkat kedua, tapi TIGA! DAN ITU PUN KALAU MEMANG DI PERINGKAT KETIGA!” lanjut Mariane yang sudah tak memedulikan lagi suara tangis Abe dan mulai menarik perhatian siswa lain yang berjalan melewati mereka.

Fischl hanya menunduk, ia benar-benar takut saat ini, namun ia pasrah mengikuti sang ibu dan pulang ke rumah tanpa menyelesaikan acara penyambutan siswa baru yang masih berlanjut.

**

Fischl membuka baju seragamnya dengan pelan, luka di punggungnya masih segar setelah beberapa kali dicambuk oleh Mariane di ruang bawah tanah. Hukumannya belum sampai di situ, kini Mariane sedang mengasah pisau dengan batu asah yang masih terlihat baru.

“Ini akan membuat kamu sadar, Nak.” ujar Mariane datar.

Mariane mengarahkan pisaunya ke bara api yang menyala dengan ganasnya. Setelah mata pisau itu berwarna merah, Mariane mengarahkan pisau itu ke punggung Fischl.

“Saya tidak mentolerir kegagalan, kamu tahu sendiri, kan?”

Fischl hanya mengangguk pelan, ia menahan tangis karena hawa dari pisau yang baru saja dipanaskan itu hampir mendekati lukanya yang masih segar.

Mariane mengiris pelan kulit Fischl, walaupun ia marah, ia tetap berhati-hati agar luka yang ia buat tidak terlihat oleh orang lain.

Fischl menjerit kesakitan, namun mulutnya disumbat oleh kain karena Mariane tidak ingin ada suara tambahan selain suara pisau panas yang menyentuh kulit anaknya.

“Saya sengaja melakukan hal seperti ini karena saya sayang sama kamu.”

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 7 (Ekspektasi Orang Tua)

Razor tiba di Good Hunter, menyapa Jean yang sudah tiba lebih dulu darinya. Lelaki berambut abu-abu itu duduk sambil mengikat rambutnya yang dari tadi masih digerai.

“Maaf Razor terlambat, Bu Jean.”

Jean hanya tersenyum, ia juga baru saja tiba.

Selama perjalanan menuju Good Hunter, pikiran Jean disibukkan dengan pertanyaan Razor tentang ibunya, Lisa. Karena jujur saja, Jean tidak terlalu dekat dengan Lisa, walaupun Jean termasuk mahasiswa favorit Lisa kala itu.

“Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan, Nak?” tanya Jean lembut.

Razor tak menjawabnya, ia bingung bagaimana cara mengeluarkan apa yang ada di pikirannya. Razor bukan orang yang ceplas-ceplos seperti Ajax atau Venti. Ia lebih sering memendam apa yang ia rasakan dan pikirkan sampai menjadi beban untuk dirinya sendiri.

“Tanya saja, Ibu pasti akan menjawab.” lanjut Jean pelan.

Jean memegang tangan Razor yang sedari tadi berada di atas meja. Walaupun terlihat tidak nyaman, Razor tetap menahan kontak fisik yang diberikan oleh Jean.

“Maaf, saya terlambat.”

Lisa baru saja tiba di Good Hunter, perempuan itu masih terengah-engah karena buru-buru menyusul Razor setelah diberitahu oleh Jean.

“Ibu? Ada apa ke sini?” tanya Razor heran.

Lisa tersenyum, mengelus lembut kepala anak semata wayangnya lalu duduk di samping Razor.

“Tadi Ibu melihat kamu dari jauh. Ya, Ibu samperin, dong!” jawab Lisa berbohong. Ia seperti mengetahui sesuatu tentang apa yang ingin Razor katakan.

Melihat senyum sang ibu, Razor seperti mendapatkan energi lebih untuk berani bertanya kepada Jean. Tentang “kebenaran” yang selama ini ingin ia ketahui.

Lisa menoleh kepada Jean, memberi isyarat apakah Razor sudah bertanya sesuatu. Jean hanya menggeleng pelan lalu kembali menatap Razor, menunggu pertanyaan darinya.

“Begini, Bu...”

“Apa Ibu tahu? Ayahnya Razor siapa?”

Lisa terkejut mendengarkan pertanyaan itu, Razor sempat beberapa kali bertanya kepadanya, namun Lisa selalu bisa mengalihkan pembicaraan mereka karena Razor orangnya mudah untuk dialihkan atau dipengaruhi.

“Maaf, Razor. Sepertinya Ibu tidak bisa menjawab itu, karena Ibu Lisa yang lebih tahu pastinya.” balas Jean yang sebenarnya juga terkejut mendengar pertanyaan Razor.

“Tapi, Waka Kesiswaan seharusnya tahu identitas ayahnya Razor. Ibu tidak mau memberitahu Razor. Razor selalu dialihkan oleh sesuatu sehingga Razor menjadi lupa.”

Jean kehilangan akal, baru saja dirundung duka, kini ia harus menghadapi salah satu siswanya yang kebingungan tentang siapa ayahnya yang sebenarnya.

“Baiklah, biar Ibu yang menjawab.” ucap Lisa lirih.

Mata Lisa sudah berkaca-kaca setelah mendengar Razor berbicara seperti itu. Hatinya perih, rasanya seperti dihujani ribuan tombak yang menancap tepat di hatinya.

Razor menoleh ke arah Lisa, berharap tidak dialihkan lagi dan mendapatkan jawaban yang sebenarnya. Berbeda dengan Lisa, ia menatap Jean dengan wajah yang penuh dengan kekhawatiran.

“Kenapa, Bu?” tanya Jean yang bingung dengan tatapan dosennya itu.

Air mata Lisa menetes, pikirannya kembali jauh ke masa lalu.

“17 tahun yang lalu, di umur saya yang baru saja beranjak 21—”

Lisa berhenti sejenak, menghela nafas beberapa kali. Air matanya terus mengalir tanpa ia minta. Namun ia harus tetap kuat dan berkata yang sejujurnya pada Razor, terkhususnya pada Jean.

“Saya sempat memiliki hubungan dengan Diluc di masa lalu.”

Jean tersentak saat mendengarkan cerita Lisa, ia kembali teringat mendiang suaminya yang baru saja meninggal 3 minggu yang lalu.

“Lalu?” tanya Jean pelan, bibirnya bergetar hebat, badannya gemetar setelah tahu kebenaran yang selama ini disimpan rapat-rapat oleh Diluc.

“Diluc adalah kakak tingkat saya di kampus, kami berbeda satu tahun. Jadi saat saya ulang tahun, Diluc datang ke rumah saya, memberikan hadiah dan mengajak saya minum saat itu untuk merayakan hari lahir saya.”

Razor hanya bengong mendengar semua cerita Lisa, ia tidak tahu siapa Diluc, tak pernah terbayangkan sedikit pun olehnya sosok sang ayah. Ia juga tak tahu bahwa Jean adalah istri dari Diluc.

“Singkat cerita, karena kami melebihi batas alkohol kami, Diluc mengutarakan perasaannya kepada saya. Namun jujur saja, Jean. Saya tidak memiliki perasaan sama sekali dengan mendiang suami kamu dulu.”

Kali ini mata Jean yang berkaca-kaca, seberapa kuat pun ia menahannya, air matanya ikut mengalir diiringi oleh rasa sakit yang tak terhingga.

“Diluc? Ber...berbuat sesuatu... pada Ibu?” tanya Jean terbata-bata.

“Iya, Jean. Diluc memaksa saya setelah saya tolak perasaannya.”

“Saya juga tidak memiliki kekuatan untuk melawannya...” lanjut Lisa.

Razor menoleh ke arah Jean, dan menatap Lisa sesekali. Walaupun ia tidak terlalu mengerti, namun ia kini tahu siapa ayahnya yang sebenarnya.

“Setelah itu, kami memiliki hubungan namun hanya sepihak.”

Jean sudah tak bisa berpikir apa-apa lagi, apa pun yang keluar dari mulut Lisa, begitu sakit saat masuk ke telinganya, dan semakin perih ketika ia cerna di otaknya.

“Lalu, saya mengetahui kalau saya hamil. Saya tidak memberitahu Diluc karena saat itu ia sedang sibuk dengan tugas akhirnya. Saya ingin menceritakan tentang kehamilan saya di saat yang tepat.” lanjut Lisa.

“Beberapa bulan kemudian, Diluc menyadari perubahan di tubuh saya, saat itulah Diluc berubah menjadi kasar, ia memaksa saya untuk mengugurkan Razor, semua perlakuan yang paling parah yang ada di dalam pikiran kamu sekarang, itu sudah saya dapatkan darinya.”

“Mau tak mau, saya izin cuti ke fakultas dan pergi ke Liyue untuk bertemu Ibu Ningguang dan Pak Zhongli. Di sana saya dirawat sampai melahirkan Razor.”

Jean menatap Razor, perlahan ia menyadari bahwa wajah Razor dan Diluc terlihat mirip, badan dan tekstur rambutnya juga sama seperti Diluc.

“Te...terus? Apa Diluc mengetahui keberadaan Ibu saat kabur ke Liyue?”

Lisa hanya mengangguk, mulutnya sudah terkunci, hanya isak tangisnya yang terdengar. Razor menepuk lembut punggung ibunya, merangkul dan menenangkan sang ibu yang terlihat bukan seperti Lisa yang ia kenal.

“Saya jelas tidak ingin menggugurkan kandungan saya, Jean. Saya lebih baik membesarkan Razor seorang diri dari pada harus bertahan dengan pria yang berlaku seenaknya pada saya.”

“Tapi... Diluc tidak seperti itu kepada saya...” gumam Jean pelan.

“Saya minta maaf, Jean. Tapi memang seperti itu yang terjadi.” ujar Lisa sambil menghapus air matanya dengan tisu.

Lisa menggenggam tangan Jean.

“Saat Diluc tahu saya kabur ke Liyue, Razor sudah berusia 1.5 tahun. Dia memaksa saya untuk kembali ke Mondstadt, namun Pak Zhongli tidak memperbolehkan saya untuk pulang. Diluc sudah hilang kendali atas dirinya sendiri saat itu, ia mengamuk sejadi-jadinya dan terpaksa dibawa oleh pihak yang berwajib setelah dikalahkan oleh Pak Zhongli.”

Lisa berpindah duduk di samping Jean, memeluk perempuan yang hatinya kembali hancur setelah tahu kebenaran tentang mendiang suaminya.

“Jean, setelah saya menceritakan hal ini kepada kamu, saya tidak mempermasalahkan apa yang akan terjadi ke depannya, bagaimana pandangan kamu setelah tahu yang sebenarnya. Di hati saya hanya ada Razor, ia adalah harapan saya satu-satunya.”

Setelah mendengar perkataan Lisa, Jean menangis sejadi-jadinya. Tak peduli dengan orang lain yang sibuk memperhatikannya. Ia kesal, karena tak pernah tahu tentang hal ini, ia ingin marah kepada suaminya, namun bagaimana caranya berbicara dengan orang yang sudah di dunia yang berbeda dengannya?

Kebenaran akan selalu terungkap, entah itu dari orangnya langsung atau pun dari orang lain. Kini Jean sudah mengetahui bagaimana masa lalu mendiang suaminya, dan apa yang selama ini menjadi pertanyaan bagi Razor sudah terjawab. Sementara Lisa, harus kembali mengingat masa-masa kelamnya yang seharusnya sudah ia kubur rapat-rapat.

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 6 (Di Antara Banyak Bintang) trigger: harsh words

Beidou menatap Itto dengan tatapan yang penuh emosi, perempuan itu meminta ganti rugi kerusakan kapal akibat perbuatan Itto yang melemparkan tongkat kesayangannya saat bermain bajak laut bersama Trio Bocah Liyue; Littel Meng, Little Lulu, dan Little Fei.

“Seharusnya gue udah pergi dari Liyue, ini semua gara-gara lo, Tolol!” bentak Beidou sambil menggebrak mejanya.

“Gue udah bilang, kan? Gue gak sengaja! Gue ceritanya jadi raja bajak laut!” balas Itto tak mau kalah.

“Itu alasan lo doang, Berengsek!”

Beidou menyenderkan badannya di kursi, menghela nafas untuk menenangkan dirinya, ia tak bisa menang jika berseteru dengan Itto, alasan tak masuk akal yang selalu Itto keluarkan itu yang membuatnya malas untuk memperpanjang masalah.

“Lo minta sama Mamah aja.” ujar Itto yang sebenarnya merasa bersalah, tapi gengsi untuk mengakui kesalahannya.

“Lo gila, ya, Anjing?!”

“Mamah lo itu gak suka sama gue! Gimana gue mau minta ganti rugi sama mamah lo itu?!”

Itto mengacak-acak rambutnya, ia tak punya uang sama sekali untuk membayar kerusakan kapal Beidou. Satu-satunya harapan Itto memang sang ibu, Ningguang.

“Cuma itu satu-satunya jalan keluar, Beidou.” jawab Itto lemas.

“Terserah lo, deh. Yang penting gue bisa berlayar, mau mamah lo atau buyut lo yang udah mati pun gue tagihin.”

Beidou berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan 4, ruangan besuk Itto hari ini. Ia mengeluarkan ponselnya untuk mencari nama Ningguang, sambil mempersiapkan kata-kata yang pas untuk mengirim pesan ke Ningguang, ia melihat perempuan berambut ungu sedang menatapnya tajam namun seketika membuang wajahnya ketika Beidou menatapnya balik.

Bukannya itu Kujou Sara? pikir Beidou dalam hati.

**

Bennett sedang berada di depan rumah Fischl, lelaki berambut pirang itu sudah berpakaian sebagus dan serapi mungkin. Ini adalah kali pertama Bennett keluar bareng Fischl setelah resmi berpacaran. Bennett memakai flanel berwarna coklat dan celana kain yang sudah ia jahit ulang supaya ukurannya pas dengan kakinya, ibunya sengaja membeli celana bahan yang sedikit besar untuk Bennett, biar bisa dipakai sampai beberapa tahun ke depan.

“Benny!” sapa Fischl yang baru saja keluar dari rumahnya.

Senyuman Fischl membuat hati Bennett meleleh, kenapa perempuan itu semakin cantik di matanya?

“Iceelll~ udah siap?”

“Ayuk, berangkat!”

Bennett dan Fischl berangkat menuju Good Hunter menggunakan sepeda motor matic milik Bennett. Sepanjang perjalanan, dua sejoli itu saling bertukar cerita yang sebenarnya mereka sudah ceritakan saat saling mengirim pesan dari ponselnya. Namun entah kenapa, cerita itu masih asik didengar dan diceritakan lagi pada seseorang yang spesial di hati.

Sementara itu di Good Hunter, Xingqiu, Hu Tao, Xiao, Venti, Barbara, Razor, Lumine, Aether, Ajax, Keqing, Amber, Gorou, dan Kazuha sudah tiba di tempat lebih dulu. Xiao mengajak Gorou, yang ternyata sudah berteman semenjak insiden tawuran itu, Kazuha diajak oleh Gorou, sementara Razor tidak mengajak siapa-siapa.

Bennett heran kenapa banyak kendaraan yang parkir di depan Good Hunter, namun karena hari ini hari minggu, ia tak curiga sama sekali bahwa teman-teman yang ia ajak, mengajak teman lain untuk ikut bergabung.

“Ayo, Icel. Aku udah lihat mobil Xingqiu, berarti mereka udah sampai.”

“Nah, itu motor si Venti.” kata Bennett penuh antusias pada Fischl.

Fischl hanya bisa tersenyum memandangi wajah ceria milik Bennett, hatinya terasa tenang saat melihat senyum pria yang ia sayangi itu.

“Tapi, Benny?” ujar Fischl yang menghentikan langkahnya.

“Ya? Kenapa?”

“Itu motor Venti, bukan? Kok helmnya ada dua?” tanya Fischl bingung.

Bennett tergelak mendengar pertanyaan Fischl. Menggandeng tangannya lembut dan mengajaknya masuk ke dalam.

“Paling dia ngajak Barbara, kalau cuma dia sih aku masih bisa—”

Bennett ternganga melihat kumpulan meja yang sudah disatukan menjadi satu meja besar beserta teman-temannya yang memanggilnya tanpa merasa berdosa.

“Cuy! Ayo sini, cepetan!” sahut Venti yang sedang meminum Strawberry Milkshake di tangan kanannya.

“Ini dia! Couple of the year!” lanjut Xingqiu dengan suara lantangnya.

“Fischl!” sapa Amber sembari melambaikan tangannya ke arah Fischl.

Bennett masih diam tanpa kata, dalam kepalanya ia sedang menghitung mora miliknya dan berapa kira-kira mora yang akan habis kalau dia mentraktir semua makanan yang sudah terhidang di atas meja.

“Benny? Kamu gapapa?” tanya Fischl yang sudah menarik baju Bennett dari tadi.

Bennett terbangun dari lamunannya menoleh ke arah Fischl. Kini wajah Fischl pun sudah berubah menjadi gundukan mora di matanya, pikiran Bennett sudah tak karuan sekarang.

“Kita bayar berdua, ya? Aku akan selalu dukung kamu di saat kamu susah, sama seperti kamu yang selalu mendukungku di kala aku susah dulu.” bisik Fischl sambil mengecup lembut pipi Bennett.

Penonton setia pasangan Bennett dan Fischl berteriak histeris, mereka tak menyangka Fischl akan mencium Bennett di depan teman-temannya.

“Terima kasih, Fischl.” ujar Bennett terharu.

Anytime, my love!

**

Bel pintu rumah Zhongli berbunyi, Signora dan Scaramouche malam ini datang ke rumah calon RT Teapod Residence yang sebenarnya hanya memiliki 3 rumah.

Noelle membuka pintu dan menyuruh adik kakak itu masuk ke dalam dan mengarahkan mereka ke ruang tamu. Di sana, Zhongli dan Ningguang sudah duduk menunggu kedatangan tamu pertama mereka setelah 2 minggu tinggal di Teapod Residence (TR).

“Selamat malam, Pak, Ibu.” sapa Signora kepada pasutri legend ini.

“Silakan duduk, Sinyorita.” suruh Zhongli mempersilakan Signora dan Scaramouche untuk duduk.

Signora tentu kesal mendengar panggilan itu, karena semasa sekolah ia selalu diledek oleh teman-teman sebayanya dengan sebutan Sinyorita.

“Saya Signora, Pak.” tegasnya, wajahnya merah karena kesal.

Zhongli terkekeh melihat reaksi Signora saat memperbaiki panggilannya ke Zhongli.

“Kamu pasti Mascara.” sapa Zhongli ke Scaramouche.

Apa, sih? Si anjing ini. runtuk Scara dalam hati, bisa-bisanya semua nama diubah sesuai kemauan Zhongli pikirnya.

“Scaramouche, Pak.” balas Scara yang sudah terpaksa senyum saat menatap ke arah Zhongli.

“Lha! Bener, dong! Scara, saya panggil Mascara?”

Scaramouche mulai mengepalkan tangannya, senyumnya sudah hilang, kini ia menatap Zhongli sedalam-dalamnya karena kesal.

“Mas Zhongli, udah.” potong Ningguang yang sudah melihat Signora dan Scaramouche tidak nyaman dari tadi.

Zhongli menegakkan duduknya, ekspresi wajahnya berubah menjadi serius. Tentu membuat Signora kaget, aura yang dipancarkan oleh lelaki paruh baya ini jauh berbeda dari sebelumnya. Signora bisa merasakan dan memahami kalau Zhongli bukanlah orang sembarangan.

“Silakan diminum.”

Noelle meletakkan es jeruk yang ia bawa dari dapur kepada Signora dan Scaramouche.

“Baik, saya langsung saja.” kata Zhongli dengan suara berat khasnya.

“Kita harus memiliki RT di perumahan ini, supaya bisa saling koordinasi antar warganya, RT merupakan akronim dari Rukun Tetangga, jadi tugas saya saat sudah menjadi RT nanti adalah membuat seluruh warga di Teapod Residence ini saling bantu dan rukun satu sama lain.”

Kini Scaramouche yang tersentak melihat aura yang Zhongli pancarkan tiba-tiba berubah dratis. Ia menoleh ke arah Signora yang kebetulan juga sedang melihat ke arah Scara.

Mata mereka berbicara, mungkin saling memperingati bahwa lelaki yang duduk di depan mereka adalah bukan lelaki sembarangan, bukan hanya seorang bapak-bapak dengan humor recehnya.

“Baik, Pak. Saya setuju.” jawab Signora.

“Tapi bagaimana dengan tetangga kita satu lagi?”

“Oh, mereka masih bersekolah. Mereka kembar dan ada satu temannya tinggal di sana. Saya sudah kunjungi mereka 2 hari yang lalu. Mereka setuju dengan niat baik saya.” jawab Zhongli.

“Mereka gak ikut hadir malam ini, Pak?” tanya Scaramouche gugup, tak berani lagi menatap mata Zhongli.

“Seharusnya mereka datang malam ini...”

TING TONG

Suara bel rumah Zhongli kembali berbunyi, Noelle dengan cepat berlari dan membukakan pintunya untuk penghuni TR satu lagi.

“Selamat malam, Pak, Bu. Maaf telat.” sapa Aether sambil membungkukkan badannya.

Signora kaget sejadi-jadinya, melihat Aether dan Lumine masuk bersama Ajax, adik laki-lakinya. Begitu pula dengan Scaramouche, namun ia tak terlalu menunjukkannya.

“Lo ngapain ke sini?!” tanya Signora dengan suara kerasnya.

“Gue tinggal bersama mereka setelah lo usir.” jawab Ajax cuek. Ia menyusul Lumine dan Aether lalu berdiri di belakang kursi di mana si kembar duduk.

“Ning.” bisik Zhongli ke Ningguang.

“Ya, Mas?” balas Ningguang cepat.

“Kayak acara tv tali kas—”

DUK!

Ningguang memijak kaki Zhongli dengan cepat agar suaminya tidak terlalu sering bercanda di saat yang seharusnya serius.

Signora langsung beranjak dari tempat duduknya dan mengajak Scaramouche pergi dari rumah keluarga Geo.

“Saya setuju dengan niat Bapak untuk menjadi ketua RT. Sekarang izinkan saya dan adik saya pamit dari sini. Selamat malam.”

Signora dan Scaramouche pergi begitu saja setelahnya, meninggalkan Zhongli, Ningguang, si kembar, dan Ajax yang hanya bisa diam melihat kakak adik itu hengkang dari rumahnya.

“Ya sudah, biarkan saja mereka. Jadi? Bagaimana kalau kita buat jadwal kerja bakti?”

**

Yoimiya terbangun dari tidur panjangnya, badannya terasa sangat sakit dan kepalanya masih terasa melayang-layang.

“Ah... kenapa gue gak jadi mati, sih?” tanya gadis berselimut tato di seluruh tubuhnya itu.

Di antara banyak bintang, ada yang berharap bisa melihat bintang itu jatuh agar dapat mengabulkan permintaannya. Ada juga yang berharap bahwa langit tak perlu banyak bintang untuk menerangi dinginnya malam. Tetapi ada satu bintang, yang jatuh tanpa dipedulikan oleh orang lain.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 6.3 (Di Antara Banyak Bintang)

Sara mempercepat langkahnya menuju halte bus sekolah, hari ini ia pergi ke kantor polisi untuk membesuk Itto. Ia sengaja menyelesaikan rapat OSIS di sekolah secepat mungkin agar bisa sampai di kantor polisi sesuai jam besuknya.

Sudah seminggu ini Sara terus berkunjung menemui Itto, walaupun selama Sara datang, mereka tak berbicara satu patah kata pun. Sara sangat menikmati momen itu, di mana ia melihat pria yang ia sukai itu berada tepat di depan matanya.

“Arataki Itto? Apa saya bisa membesuknya?” tanya Sara ke bagian informasi.

“Maaf, Dik. Tahanan Arataki Itto sedang bertemu dengan seseorang. Mungkin bisa ditunggu sebentar, ya?”

Sara heran, siapa yang membesuk Itto hari ini, karena biasanya hanya Sara sendiri yang menjenguk Itto. Bisa-bisa waktu besuknya semakin berkurang gara-gara orang yang tak ia ketahui itu membesuk Itto hari ini.

Sara duduk di kursi ruang tunggu di depan ruangan khusus membesuk tahanan. Memainkan ponselnya walaupun ia sendiri bingung harus membuka apa, ia sibuk menekan-nekan apa yang ada di layar ponselnya, sesekali ia melihat ke ruangan yang biasa ia datangi saat membesuk Itto.

Masih ada orang di dalam gumam Sara dalam hati.

Memang ada tanda yang berwarna merah di ruangan yang sedang di isi oleh orang yang membesuk seorang tahanan, sudah 15 menit Sara menunggu di sana, waktu besuknya tinggal 30 menit lagi. Setiap tahanan hanya memiliki waktu membesuk selama satu jam setiap harinya.

Makanan yang sudah Sara siapkan dari rumah sudah ia bungkus dengan rapi, ia berharap kali ini Itto mau memakan masakannya.

Keluar seorang perempuan dari ruangan besuk Itto, dia memakai baju merah dan menutup sebelah matanya dengan eye patch, sok keren menurut Sara.

Perempuan itu jalan melewati Sara, ia sudah habis dimaki oleh Sara dari dalam hatinya karena sudah menghabiskan waktu besuknya hari ini.

“Dik, silakan masuk ke ruangan 4.” ujar petugas informasi.

Sara masuk ke dalam ruangan 4, Itto masih duduk di sana dengan wajah kesalnya. Saat Sara duduk, Itto membuang wajahnya ke arah lain.

“Kak...” sapa Sara lembut.

“Ini Sara bawain makanan.”

Sara membuka tasnya dan mengeluarkan satu kotak makanan dan Dango Milk yang ia beli di Inazuma.

Itto masih tak mengambil makanan yang sudah Sara berikan.

“Boleh Sara tanya sesuatu, Kak?”

Itto masih tak bergeming.

“Gapapa kalau gak dijawab. Sara cuma mau nanya, apakah Kak Itto sengaja menjauh dan mengacuhkan saya karena Kak Ei?”

Itto terlihat kaget, namun masih bisa menyembunyikan raut wajahnya.

“Hmm... Sara rasa, Sara bisa mengetahui jawabannya dari gerak-gerik Kak Itto.”

Itto mulai menoleh ke arah Sara, menatapnya dalam-dalam yang tentu membuat wajah Sara memerah karena malu.

“Ya, Sara. Gue sengaja menjauh dari lo, karena ini kemauan Ei.”

“Gue diminta oleh Ei untuk menjaga lo, dengan cara menjauh dari lo. Karena dengan itu, lo bisa aman dan tentram saat melanjutkan hidup lo.” lanjut Itto.

“Tapi, Kak—”

“Usia kita terpaut jauh. Gue sadar, kalau lo ada perasaan sama gue. Lagipula, gue masih jadi kekasih kakak lo, Sara.” potong Itto saat Sara baru saja mulai berbicara.

Sara menunduk pasrah, di saat Itto mengeluarkan suaranya, hatinya yang sudah rapuh kembali hancur berkeping-keping. Apakah tak bisa sehari saja Itto bersikap manis padanya? Mengesampingkan janjinya dengan Ei yang sudah lama sekali itu?

“Sara sudah menyukai Kak Itto dari kec—”

“Gue tau, gue sadar. Tapi tolong hargai apa kemauan Ei.” potong Itto lagi.

Kali ini Sara tak bisa berkata apa-apa lagi, hanya air mata yang mengalir membasahi pipinya, wajahnya tertutup oleh rambutnya. Isak tangis Sara sama sekali tak dihiraukan oleh Itto.

“Cari yang lebih baik lagi dari gue, Sara. Gue bicara fakta, tapi kalau lo sama gue, inilah keseharian lo nanti, membesuk gue tiap—”

“Kalau Kak Ei masih hidup, pasti Kak Itto akan terus bersamanya. Sekarang, di saat Kak Ei sudah tiada, Sara tak memiliki kesempatan sama sekali untuk berada di sisi Kak Itto.” kini Sara yang memotong pembicaraan Itto.

“Sara...” ujar Itto pelan.

“Kenapa Kak Itto masih belum bisa keluar dari kenyataan?!” teriak Sara dengan keras.

“Sara juga capek, Kak.”

“Sara juga capek mencintai seseorang dan sadar kalau orang yang Sara cintai itu gak akan bisa menerima hati Sara.”

“Sara sadar akan hal itu!”

Air mata Sara mengalir deras, tak peduli dengan waktu besuknya yang telah usai, Sara tak beranjak sedikit pun dari kursinya.

Petugas jaga yang tadinya ingin menyuruh Sara keluar, terhenti saat melihat Itto yang mengisyaratkan untuk membiarkan Sara menyelesaikan tangisannya.

“Mau sejahat apa pun perlakuan Kak Itto ke Sara, itu gak akan membuat Sara menyerah!”

“Apa Sara harus mati dulu seperti Kak Ei supaya Kak Itto sadar kalau Sara itu berharga?!”

Itto terdiam, melihat Sara mengeluarkan isi hatinya sendiri tanpa diminta. Itto tersenyum melihat Sara menangis, matanya sudah memerah dan bengkak. Itto menyadari betapa tulusnya Sara saat mengungkapkan perasaannya, namun hatinya masih belum terbuka sama sekali.

“Orang lagi nangis... malah senyum... HUAAAA” tangis Sara pecah, ia merasa diledekin Itto saat melihat bocah raksasa itu malah tersenyum saat melihatnya menangis.

“Sara...” panggil Itto pelan.

Sara menoleh ke arah Itto, menghapus air matanya agar bisa melihat lelaki bodoh yang ada di depannya itu dengan jelas.

“Di antara banyak bintang, cuma lo yang masih bersinar di sini.” ujar Itto sembari menunjuk dadanya.

“Maksudnya apHUAAA?” ujar Sara yang masih terisak-isak.

Itto terkekeh pelan melihat Sara yang masih belum terkontrol.

“Artinya, lo harus tetap terang, menerangi hati gue yang perlahan-lahan mati rasa.”

Sara sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan oleh Itto. Rasanya ia ingin memukul wajahnya saking kesalnya.

“Ngomong pakai bahasa manusia dong, huhuhuhuhu” balas Sara yang masih belum bisa menghentikan tangisnya.

“Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, bisa aja gue menggapai bintang yang selama ini tampak jauh di atas, tak peduli berapa kali pun gue jatuh, gue akan tangkap bintang itu.” lanjut Itto sambil tersenyum.

“Bintang-bintang mulu! Sara gak ngerti, Kak!” rengek Sara yang hatinya sudah tak karuan.

“Bintang yang gue maksud itu lo, Sara.”

DEG

Tiba-tiba tangis Sara terhenti, ia kaget mendengar perkataan Itto.

“Di antara banyak bintang?” tanya Sara pelan.

“Ya, cuma lo yang masih terang.” jawab Itto lembut.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 6.2 (Di Antara Banyak Bintang)

“Abaaanngggg” seru Lumine yang langsung berlari memeluk Aether.

Lumine menangis setelah beberapa jam menahan perasaannya karena harus sok kuat saat tidak bersama dengan abangnya.

“Udah gapapa, lo udah aman.” ujar Aether sambil mengelus lembut kepala sang adik.

Ajax tersenyum melihat interaksi si kembar, mereka harus bersama agar menjadi kuat. Ini adalah kekuatan misterius yang menarik perhatiannya, apa memang seperti ini ikatan dari anak kembar.

“Ventiiii.” Beda dengan Lumine, Barbara tampak lebih santai saat bertemu dengan Venti. Memang pada dasarnya Barbara adalah orang yang ceria, ia sejak tadi sibuk mengalihkan perhatian Lumine sampai Aether datang.

“Kamu gapapa, kan?” tanya Venti sambil memperbaiki rambut Barbara agar bisa melihat wajah sang kekasih lebih jelas lagi.

“Ah... akhirnya tugas gue jadi obat nyamuk double dimulai, nih.” ledek Xingqiu pada si kembar dan VenBar.

Ajax hanya tertawa melihat anak-anak yang awalnya tampak khawatir kini sudah jadi lebih baik karena sudah menemukan “rumahnya”.

“OH IYA, CUK! SI BENNETT!”

**

Itto sudah 2 kali berpindah sel, awalnya ia masuk sel umum, namun ia terlibat perkelahian dengan tahanan di sana.

“Apa gak kurang kecil ini buat gue?” tanya Itto datar.

Itto dimasukkan ke ruang isolasi, tempatnya lebih kecil dari yang ia ingat. Ia sudah beberapa kali keluar masuk penjara, makanya ia tampak santai.

Bocah raksasa itu melihat sekeliling ruangan kecil yang dingin itu, memeriksa sesuatu yang ia tinggalkan sejak lama.

“Nah! Ini dia!”

Itto mengais-ngais tanah di ruang isolasi yang ia sudah hafal seperti apa bentuknya karena ia sengaja membuatnya seperti itu.

Sebuah kotak merah yang penuh dengan tanah dikeluarkan oleh Itto dari lubang yang sudah ia bentuk 10 tahun lalu.

“Udah lama banget gue gak ketemu sama lo, Sul!”

Time capsule yang ia buat bersama Ei 10 tahun lalu, ia tak menyangka akan membukanya setelah perjanjiannya dengan Ei saat di awal jadian dulu.

“Ei...” gumam Itto pelan.

Knock knock

Petugas membuka pintu ruangan isolasi Itto.

“Tahanan Arataki Itto, harap ikuti saya menuju ruang mediasi.”

“Gak perlu, gue terima hukuman gue sekarang. Bilang sama si Yanfei.” jawab Itto kesal.

“Bukan Ibu Yanfei yang ingin bertemu dengan Anda, melainkan Ibu Ningguang dan Bapak Zhongli.”

Setelah mendengar nama orang tuanya, Itto langsung meletakkan kembali time capsule yang telah ia gali dan mengancam petugas yang menjemputnya tadi untuk tidak mengacak-ngacak ruangannya, serasa ruangan isolasi itu hanya milik dan untuk Itto seorang.

Itto masuk ke ruangan mediasi, sudah ada Teppei, Ningguang, Zhongli dan Yanfei di sana.

“Permisi,” ujar Raiden dan Sara yang baru saja tiba di ruang mediasi.

Itto benar-benar bingung melihat formasi ini. Ia tak bisa memikirkan hal terburuk yang akan menimpanya jika orang-orang yang sekarang ada di ruangan ini berkumpul.

“Silakan duduk,” suruh Teppei, setelah itu ia berdiri dan meninggalkan ruangan mediasi.

Itto duduk di hadapan mereka semua, 5 banding 1.

“Itto—” panggil Ningguang lembut.

“Iya, Mah. Itto tahu, sekarang Itto harus menerima hukumannya.” potong Itto seakan sudah tahu apa yang akan ibunya bicarakan.

“Dengarkan dulu ibu kamu, Nak.” ujar Zhongli dengan suara berat yang menjadi khasnya itu.

Yanfei membuka berkas yang berisi lembaran kertas laporan yang sangat tebal.

“Berdasarkan hasil laporan yang saya terima, benarkah Mas Itto yang menerobos masuk siswa tawuran yang bersembunyi di dalam laboratorium bahasa?” tanya Yanfei tegas.

Itto tak menjawabnya, ia bahkan tak memandang ke arah Yanfei.

“Itto... jawab, Sayang.” kata Ningguang sambil memegang tangan si sulung.

“Tadi kata Ayah dengerin kata Mamah aja, makanya Itto—”

DUK!

Raiden menendang tulang kering Itto, bocah raksasa itu meringis kesakitan karena tepat sasaran.

“Bukan begitu maksudnya, Bodoh.” Raiden sangat kesal melihat sikap Itto yang terkadang tidak tahu tempat, seperti anak-anak yang tak tahu malu dan salah.

Sara justru tersentak dan tertawa melihat sikap konyol Itto.

“Ah... maaf.” ujar Sara langsung menunduk malu dengan wajahnya yang memerah.

“Iya! Iya! Gue yang nerobos mereka. Semuanya salah gue, tapi gue gak terima melihat Gorou dikeroyok gitu. Cuma naluriah aja, dan gue akuin gue salah sebagai orang dewasa yang tidak bisa berpikir jernih dan melakukan kekerasan pada anak di bawah umur.” jelas Itto pada Yanfei.

“Ya, baik. Setelah saya lihat-lihat, kalau kita berhasil mengajak damai keluarga yang anaknya menjadi korban, hukuman Itto bisa diringankan atau bahkan dibebaskan, karena kita memutuskan untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.” jelas Yanfei ke Ningguang dan Zhongli.

Zhongli berdehem pelan, pria itu sedang memikirkan sesuatu.

Ningguang menatap Zhongli khawatir, karena jika Zhongli sudah bicara, mau tak mau Ningguang harus menurutinya.

“Hukuman paling lamanya berapa? Dan paling ringannya berapa? Kalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan?” tanya Zhongli.

Yanfei membalik halaman demi halaman untuk menganalisis laporan serta hukuman yang kira-kira akan dijatuhkan pada Itto.

“Paling lama 3 tahun, paling cepat 1 bulan, Pak.” jawab Yanfei.

“Biarkan Itto satu bulan di sini. Kita tidak bisa selalu menang dalam pertempuran. Biarkan dia mendinginkan kepalanya selama satu bulan di sini.” suruh Zhongli ke Yanfei.

“Tapi, Mas...” Ningguang berusaha mengubah pikiran suaminya.

“Itto setuju, Yah.” potong Itto, lagi.

“Itto sudah merepotkan Ayah dan Mamah, mungkin Yanfei, Raiden dan juga Sara.” lanjut Itto.

“Engg—” ucap Sara namun terpotong oleh Raiden.

“Iya, sangat merepotkan.” ujar Raiden yang mengalahkan suara Sara.

Itto terkekeh melihat jawaban Raiden. Kadang Raiden tidak seperti Ei sama sekali di mata Itto, walaupun secara fisik sangat identik, namun rasanya jauh berbeda dari kekasihnya.

“Kalau gue merepotkan, kenapa lo capek-capek nolongin gue?” sindir Itto dengan tatapan tajamnya menuju Raiden.

“Itto! Jangan seperti itu!” sanggah Ningguang yang sudah menyadari bahwa situasinya sudah memanas.

“Tidak apa-apa, Ningguang. Memang sudah seharusnya saya menjawab pertanyaan bodoh ini setelah 6 tahun lamanya.” kata Raiden sambil berdiri dari kursinya.

Raiden menggebrak meja ruang mediasi. Wajahnya merah pekat, darahnya sudah mendidih sampai ke ubun-ubun.

“Kalau lo bisa bersikap layaknya manusia di umur lo yang sekarang. Mungkin hidup gue bakal tenang.” jelas Raiden yang masih berusaha menahan emosinya.

Ningguang menggoyang-goyangkan tangan Zhongli yang hanya terlihat memperhatikan Itto dan Raiden berseteru.

“Tenang? Kenapa lo gak pergi sekalian dari hidup gue, Raiden Shogun? Kenapa lo masih capek-capek ngadapin manusia yang sikapnya tak sesuai umurnya kayak gue?!”

“KARENA EI YANG MINTA GUE UNTUK JAGAIN LO!”

Itto terkejut mendengar suara Raiden yang sangat kuat, perempuan berambut ungu itu tak pernah terdengar marah dengan suara yang keras, apalagi sampai berteriak lantang seperti itu.

Raiden menghela nafasnya, menenangkan dirinya sejenak, lalu mengambil tasnya serta mengajak Sara pergi dari ruang mediasi.

“Itto, ini terakhir kalinya gue bantuin lo. Rekor gue untuk tidak membentak orang selesai di usia gue yang ke 30 tahun dan semua itu berkat lo. Terima kasih banyak, jangan sampai kita berjumpa lagi.”

Sara yang pasrah ketika ditarik oleh Raiden hanya bisa menunduk sejenak seraya memberi salam pada orang-orang yang masih berada di ruangan itu.

“Itto, jadikan ini sebagai titik balik dari semua yang telah kamu perbuat selama ini. Paling sebentar satu bulan lagi, saya tidak ingin melihat Itto yang sama seperti yang saya lihat sekarang.” ujar Zhongli serius.

Itto menunduk, setiap kata-kata yang dikeluarkan oleh ayahnya terasa sangat menyakitkan. Ia tak bisa melawan Zhongli, di antara ribuan manusia yang pernah bermasalah dengannya, hanya Zhongli satu-satunya lawan yang tak bisa ia kalahkan.

“Baik, Yah.”

Zhongli dan Ningguang beranjak dan pergi dari ruang mediasi. Selagi Yanfei mengemaskan berkas-berkasnya, Itto dibawa kembali ke tempat di mana ia akan hidup selama satu bulan, di ruangan kecil dan dingin.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 6.1 (Di Antara Banyak Bintang)

Suasana kantor polisi Teyvat sudah tak terkondisikan lagi, banyak orang tua yang muridnya menjadi korban akibat Arataki Itto meminta Ningguang mengganti rugi serta biaya rumah sakit. Mereka bahkan berdesak-desakan masuk setelah tahu bahwa Ningguang sudah berada di dalam kantor polisi.

Ningguang cukup terkenal di kalangan warga Teyvat, khususnya Liyue. Menikah dengan Zhongli di usia yang cukup muda, membuat banyak pria yang patah hati setelah mendengar kabar kelahiran Itto saat itu. Ya, Itto lahir lebih dulu baru Zhongli dan Ningguang memutuskan untuk menikah setahun kemudian.

“KAMI MINTA GANTI RUGI!”

“PERCUMA DARI KELUARGA KAYA TAPI ANAKNYA KAYAK IBLIS!”

“PAK POLISI! TOLONG JANGAN TUMPUL KE BAWAH HUKUM DI NEGERI INI!”

Ningguang menghampiri Zhongli di sel khusus anak setelah berpisah jalan dengan Ganyu yang menuju ke ruang mediasi, Itto tidak mungkin berada di sana karena ia sudah jauh lebih dewasa untuk dimasukkan ke sel khusus anak.

“Gorou gimana, Mas?” tanya Ningguang khawatir.

Zhongli memeluk Ningguang yang sudah sangat ketakutan.

“Gorou sudah aman, saya sudah minta Teppei untuk memisahkan Gorou, Xiao dan Kazuha agar tidak terjadi perkelahian lagi di dalam sel.” jawab Zhongli menenangkan.

Ningguang menghela nafas lega, ia sudah kalang kabut mencari bantuan untuk Itto sehingga agak melupakan Gorou yang ia rasa sudah aman bila sudah bersama Zhongli.

“Yanfei sudah menjelaskan kepada saya tentang Itto...” bisik Ningguang ke Zhongli.

Dari dalam ruangan sudah terdengar suara caci maki untuk keluarga Geo, mereka tak bisa tinggal diam begitu saja, mengetahui nama Arataki Itto yang menjadi dalang dari kehancuran SMA Teyvat untuk kedua kalinya itu membuat trauma masa lalu itu kembali.

Itto tidak hanya merusak sekolah, Itto juga membunuh beberapa siswa yang berani melawan tindakan bodohnya itu. Namun Itto bebas begitu saja saat Ningguang turun tangan, berkat bantuan Yanfei juga yang kala itu masih menjadi pengacara rookie, sejak saat itu juga nama dan ketenaran Yanfei melejit pesat.

“Dia tak bisa lagi lolos sekarang.” lanjut Ningguang.

“Saya tahu, kontrak perjanjian yang dibuat itu saya juga masih simpan.” ujar Zhongli yang sedang mengusap dagunya kebingungan.

Aether, Venti, dan Xingqiu baru saja masuk ke dalam kantor polisi setelah dijemput Ajax.

“Yang bisa kalian temui sekarang cuma Lumine sama Barbara, Xiao masih ditahan, Ganyu lagi di ruang mediasi.” jelas Ajax pada tiga sekawan itu.

“Bentar, kayak ada yang lupa. Kita mau jemput siapa satu lagi?” sanggah Aether yang seperti ingat tapi gak ingat.

“Ya, tinggal Xiao lah. Bener, kok. Kak Ganyu lagi ngurusin dia juga, kan.” ujar Venti yang sudah khawatir namun tertutup emosi sejak tadi.

Mereka berempat berjalan menuju tempat di mana Lumine dan Barbara duduk, sambil memikirkan siapa satu lagi teman mereka yang hilang.

“Coba dihitung baik-baik. Kita pasti lupa satu orang ini.” kata Aether ke Xingqiu dan Venti.

Ajax hanya terkekeh melihat tingkah mereka, dia jelas tahu kalau Aether dan kawan-kawannya lupa dengan Bennett. Tapi dia hanya menikmati momen itu, hitung-hitung pelepas stress baginya.

“RAZOR! DI MANA KAMU, SAYANG?!” teriak Lisa mencari ke sana kemari.

“DI MANA RUANG KONSELING? SAYA MAU KETEMU BAPAK TEPPEI! SEGERA!” suruh Lisa yang sudah hilang akal.

Wanita berambut coklat itu terus meneriaki nama anak semata wayangnya itu. Walaupun hanya menjadi bahan tontonan orang di kantor polisi.

Sara baru saja keluar dari ruang konseling, berjalan menemui Ningguang dan Zhongli. Rasa gugup mulai menggerogoti hatinya, ia selalu kesal karena kalau bertemu dengan keluarga orang yang ia sukai itu selalu karena masalah.

“Bu, Pak.” sapa Sara seraya menundukkan kepalanya.

“Bagaimana, Sara?” tanya Ningguang berharap keajaiban terjadi.

“Saya sudah konsultasi dengan Bapak Teppei, saya disuruh keluar setelah ada ibu-ibu masuk ke ruangan itu dengan paksa.” penjelasan Sara tak membantu sama sekali.

“Itu si Lisa.” bisik Zhongli sambil terkekeh. Sekali lagi, tak ada warga Teyvat yang tak mengenal Zhongli, begitu pun dengannya. Sebenarnya siapa Zhongli ini?

“Mas!” tegas Ningguang sambil memijak sepatu Zhongli dengan keras.

“Siap gerak!” Zhongli langsung bersikap siap sambil menahan sakit karena kakinya dipijak oleh heels setinggi 10 cm milik Ningguang.

“Yanfei di mana?” sahut Raiden dari belakang. Ia baru saja tiba di kantor polisi.

Raiden Shogun dan Zhongli cukup terkenal di Teyvat, terlebih Ei yang merupakan perempuan nomor 1 di Inazuma dulu. Bukan karena pernah mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau semacamnya, tapi cerita itu terlalu panjang untuk dibahas saat ini.

“Ayo, Kak. Saya antarkan ke tempat Mba Yanfei.” Sara langsung mengarahkan Raiden menuju tempat Yanfei berada.

Fischl yang baru saja tiba di kantor polisi berhasil masuk dari sela-sela warga yang sedang berdesak-desakan masuk ke kantor polisi, anak itu memang paling bisa kalau urusan susup menyusup.

“Permisi? Saya mau bertanya kepada dua sejoli yang tampak sedang kebingungan sama seperti saya.” sapa Fischl pada Ningguang dan Zhongli.

“Ya?” balas Ningguang sedikit kaget, entah karena kepuitisan anak ini atau sikapnya yang kurang ajar pada orang tua.

“Saya ingin bertanya, di manakah sel khusus anak-anak? Saya ingin bertemu dengan seorang lelaki yang selama ini sudah menemani saya selama ini.” lanjut Fischl yang semakin kurang ajar di mata Ningguang.

Zhongli memegang tangan Ningguang, menenangkan istrinya yang sudah nampak kesal.

“Siapa nama lelakimu itu?” tanya Zhongli santai.

“Le-lelakiku?!” Fischl kaget bukan kepalang, wajahnya memerah tak jelas setelah Zhongli berkata seperti itu.

“Namanya Bennett, kelas 10D di SMA Teyvat.” ujar Fischl setelah memecahkan lamunannya.

“Oh, kalau sel anak ke arah utara, tapi lebih kamu kamu bertanya ke bagian informasi dulu. Karena hanya orang tua dan wali yang bisa menjemput. Bukan pacarnya.” Zhongli kembali menggoda gadis rapuh itu, wajahnya kembali memerah karena pikirannya melayang setelah mendengar Zhongli mengatakan bahwa Bennett adalah pacarnya.

“Terima kasih, Pak. Saya permisi.” ujar Fischl sembari mempercepat langkahnya menuju meja informasi.

Zhongli tertawa kecil setelah Fischl pergi, melihat suaminya yang masih bisa tetap tenang bahkan tertawa membuat hati Ningguang sedikit adem, ia benar-benar tak salah memilih pasangan, hanya saja sepertinya ia baru sadar setelah 26 tahun menikah.

“Mas...” panggil Ningguang pelan.

Zhongli menoleh ke arah Ningguang dan tersenyum sambil mengusap lembut sang istri.

“Saya tahu, Ning. Saya juga mencintaimu.”

You Keep Me Alive

cw, au // ending chapter 5 (Dunia Baru) trigger: blood, violence, angst, character death

Sudah satu minggu lebih Ajax tinggal bersama si kembar, mereka juga berangkat sekolah bersama. Kedekatan mereka bertiga bahkan sudah tak bisa disembunyikan lagi. Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul terkait Ajax. Awalnya Aether tidak terlalu ambil pusing dengan keputusannya memperbolehkan Ajax untuk tinggal bersamanya dan Lumine.

“Gila, masih SMA tapi udah tinggal bareng. Itu pacarnya si Ajax, kan?”

“Pantesan jabatannya sebagai ketua KOT (Komite Olahraga Teyvat) dicabut pas naik kelas.”

“Berarti emang sengajalah si kembar itu sekolah di sini, ya. Biar bisa dekat sama si Ajax.”

“Itu kayaknya si Lumine hamil, deh. Coba perhatiin perutnya, kayak udah mulai membesar gitu.”

“Kalau pun benar hamil, malu gak, sih? Masih sekolah udah hamil gitu.”

“Makanya hati-hati kalian, jaga pergaulan biar gak kayak mereka.”

“Eh, gue denger-denger abangnya itu juga suka sama adeknya, lho! Kayak incest gitu jatuhnya.”

“Masa, sih? Tapi gue pernah denger juga. Ingat gak waktu awal pertama mereka masuk itu? Mereka sampai gandengan tangan mesra.”

“Mungkin emang mau nutupin hubungan mereka kali, ya?”

“Apa jangan-jangan mereka threeway?”

Mulai banyak rumor yang bermunculan setelahnya, memang orang-orang sangat mudah untuk berasumsi. Namun mereka tidak berani bertanya tentang fakta yang sebenarnya terjadi. Mereka lebih senang menyimpulkan sesuatu sendiri dan menyebarkannya sesuka hati sesuai “bumbu” yang sudah mereka buat.

Rumor itu sudah sampai di telinga Lumine. Namun gadis itu tak menghiraukannya, ia sudah sangat terbiasa mendengar rumor itu tentang dirinya dan Aether, salah satu faktor mereka pindah-pindah rumah dan sekolah adalah ini. Lumine juga sudah berjanji pada dirinya sendiri dan Aether khususnya, kalau SMA Teyvat ini adalah sekolah terakhir mereka yang harus diselesaikan hingga kelulusan nanti.

“Lumine!” seru Barbara menghampiri Lumine dan memeluknya erat.

Seminggu kemarin Barbara tidak bisa hadir ke sekolah karena mengikuti lomba pramuka dan PMR. Gadis itu benar-benar sangat sibuk akhir-akhir ini.

“Hai, Barbara! Udah lama banget kita gak ketemu.” Lumine pun memeluk Barbara erat, ia rindu teman pertamanya di sekolah ini. Karena hanya Barbara tempat Lumine bercerita apa pun.

“Jangan terlalu dipikirin, ya. Semua rumor yang beredar itu!” bisik Barbara pada Lumine.

“Udah biasa, udah kebal gue!” canda Lumine sambil tertawa.

Mereka berdua sedang jalan menuju kantin sebelum jam pelajaran pertama dimulai, ada sekitar 15 menit sebelum bel kedua dibunyikan.

“Barbara!” ujar salah seorang siswa dari kelas lain.

“Lo gak malu temenan sama orang yang incest?” lanjut siswa yang lain.

Barbara terdiam, dalam hati ia tentu marah, namun ia lebih khawatir dengan Lumine. Barbara tak menjawab pertanyaan segerombolan siswa itu, mengambil lengan Lumine dan mengajaknya untuk mempercepat langkahnya.

“Si kembar itu orang aneh ta—”

Entah dari mana, tiba-tiba Xiao menerjang kepala salah seorang siswa yang masih sibuk menyindir Lumine dan Barbara. Siswa yang tak dikenal itu terpelanting dan jatuh ke tanah.

“EH! MASALAH LO APA?” gerombolan siswa nakal itu langsung mengurung Xiao di tengah-tengah.

Lumine yang sadar langsung berlari menghampiri Xiao namun dihadang oleh siswa lain yang jumlah dan postur tubuhnya lebih besar.

“Masih kelas 10 udah belagu.”

“Mentang-mentang kakaknya si Ganyu, malah sok keren.”

“Entah, lawan Gorou aja kalah.”

Semua omongan yang dilontarkan orang-orang itu tak didengar sama sekali oleh Xiao, matanya menatap hanya pada satu titik, yaitu Lumine. Ia khawatir Lumine akan menangis atau apalah yang ada di dalam pikirannya. Satu hal yang pasti terlintas dalam pikiran Xiao, ia harus menyelamatkan Lumine.

“Udahlah! Keroyok aja! Si ceking pendek ini cuma sendirian!” seru salah seorang dari gerombolan itu.

“Gas!”

Mereka mulai memukul Xiao tanpa ampun, walaupun sulit untuk melawan mereka semua, tetapi Xiao masih bisa memukul jatuh beberapa orang yang mengeroyoknya.

Suasana di depan kantin begitu ramai, tidak ada siswa yang melaporkan kejadian ini ke Sara, apalagi ke majelis guru. Kejadian ini sangat jarang terjadi, makanya semua tampak menikmati pertunjukan kecil Xiao dan anak-anak gabungan anak IPS dari kelas 11 dan 12.

Gorou yang baru saja berjalan menuju kantin bersama Kazuha langsung berlari ketika melihat kerumunan itu, mau tak mau Kazuha juga terpaksa mengikuti Gorou yang sudah kepanasan melihat situasi hidup mati bagi Xiao itu.

“JANGAN KEROYOKAN, BERENGSEK!” teriak Gorou sambil berlari menuju kerumunan.

“GOROU! JANGAN GILA!” seru Kazuha yang tak kalah cepat berlari menyusul Gorou.

Mereka berdua berhasil masuk ke dalam lingkaran siswa IPS itu, mendapati Xiao yang sudah lebam di seluruh tubuhnya karena dikeroyok.

“Gila lo, ya?” ujar Gorou membelakangi Xiao.

“Gue sendiri juga bisa lawan mereka semua.” rintih Xiao yang sedang mengelap darah segar di bibirnya.

“Udah, Rou. Kita selesaikan aja mereka semua. Bertiga cukuplah!” ujar Kazuha seraya melerai adu mulutnya Gorou dan Xiao.

Setelah Gorou berteriak lantang, perkelahian kembali dimulai. Bel sekolah tanda pelajaran jam pertama sudah 5 menit yang lalu dibunyikan, namun belum ada satu pun anak-anak di kelas. Semuanya langsung berlari menyerbu kantin setelah mendengar kabar ada tawuran di kantin.

“Tawuran?” tanya Sara yang baru saja dijemput oleh salah satu anggota OSIS di ruangannya.

Sara langsung bergegas menghampiri kerumunan itu, bisa-bisanya ada kejadian gila di pagi yang cerah ini, pikirnya. Seluruh anggota OSIS langsung bergerak mendatangi TKP secepat mungkin.

Suasana sekolah semakin kacau, yang niatnya hanya menonton tadi mulai terprovokasi oleh yang lain untuk ikut tawuran, dan sekarang bukan hanya Xiao, Gorou dan Kazuha saja yang berkelahi, hampir sebagian siswa laki-laki ikut meramaikan tawuran itu, tak peduli siapa yang dipukul atau siapa yang terluka, yang penting mereka bisa melampiaskan semuanya lewat tawuran.

“Gila. Si bocah itu lupa mulu bawa bekal. Gue lagi main PS pun disuruh Mamah buat nganterin nih bekal.” omel Itto yang baru saja tiba di depan SMA Teyvat.

Itto mencium bau keributan, memang sudah naluri baginya, di mana ada keributan, di situ ada Itto. Ia merasa bersyukur sudah menemui keributan pagi-pagi.

CLICK bunyi pesan dari ponsel Itto berbunyi. Ternyata pesan dari Noelle.

Bang, Gorou tawuran sama anak-anak di sekolahan. Noelle gak bisa melerai lagi!

Baru saja membaca di bagian “Gorou tawuran”, Itto langsung berlari sekuat tenaga menuju kerumunan itu, beruntung ia tak membawa tongkat kesayangannya hari ini. Kalau tidak, mungkin bisa saja banyak korban berjatuhan karenanya.

Anggota OSIS yang baru saja tiba dikejutkan dengan suara yang dikeluarkan oleh Itto saat berlari, ibarat mobil F1 yang sedang melaju cepat, seperti itulah kira-kira bunyi yang terdengar hanya dari hentakan kaki Bocah Raksasa itu.

“SINI KALIAN SEMUA! ARATAKI ITTO TIBA DI MEDAN PERTEMPURAN!”

Itto menerjang semua orang yang ada di depannya, jalannya menuju kawanan Gorou langsung terbuka lebar akibat tenaga yang dikeluarkan oleh Itto.

“Kak Itto...” gumam Sara pelan.

Entah gadis itu harus bersyukur atau khawatir setelah melihat Itto masuk dalam kerumunan itu. Ia bersyukur karena masih bisa bertemu dengannya walau tak saling menyapa, di sisi lain Sara juga khawatir akan banyak siswa yang akan diantar ke rumah sakit akibat ulah Itto yang sudah membabi buta.

**

Diluc telah siuman, ia terbangun di Rumah Sakit Umum Dragonspine. Beruntung ia masih terselamatkan, ia pingsan di jalan turunan dari Dragonspine menuju Mondstadt.

“Ah...” gumam Diluc pelan. Ia sudah sadar, namun ia tak bisa menggerakkan badannya. Rasanya semua seperti mati rasa.

Jean duduk di samping Diluc, wajah khawatirnya langsung ia sembunyikan setelah melihat suaminya itu sadar.

“Jean...” ujar Diluc pelan.

Jean tak menjawabnya. Ia sadar, jika ia bersuara mungkin air matanya akan ikut mengalir. Rasa kesal dan marahnya sudah berubah menjadi khawatir dan ketakutan.

“Maafkan saya...” ucap Diluc lirih.

Diluc sudah tak bisa merasakan apa pun kecuali penyesalan. Melihat Jean yang masih datang setelah mendengar kabar bahwa dirinya tertimpa musibah, membuat lelaki itu sangat menyesal.

“Dari... dari awal...” ujar Jean lirih. Ia bahkan tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Dari luar ruangan terdengar suara teriakan Klee yang sedang berlari mencari ruangan ayahnya.

“PAPA!!! PAPA DI MANA?!” teriak Klee dan berlari tak tentu arah.

“RUANGAN SWEET FLOWER DI MANA, KAK AL? SINI CEPAT! KLEE MAU BERTEMU AYAH!”

Albedo berlari menyusul Klee setelah bertanya pada resepsionis di mana ruangan Diluc.

“Klee! Di sini!”

Klee berlari secepat mungkin dan masuk ke ruangan Diluc.

“PAPA!!!”

Klee tiba di depan Diluc yang sedang terbaring, ia ingin lompat dan memeluk ayahnya namun ditahan oleh Jean.

Albedo yang baru saja menutup pintu ruangan Sweet Flower terkejut melihat kondisi Diluc yang hanya tersisa kepala dan tubuhnya yang sudah dipasang berbagai macam alat medis.

Diluc tak bisa lagi menggerakkan dan merasakan tubuhnya karena seluruh tulangnya sudah hancur karena tertimpa longsor, tangan dan kakinya terpaksa diamputasi karena memang semua sarafnya sudah mati, berita longsor yang tak begitu dipedulikan oleh warga Teyvat ternyata berdampak besar bagi keluarga Jean. Alasan Jean yang tampak tegar daritadi adalah karena perempuan itu sudah menangis sejadi-jadinya setelah tahu bahwa Diluc tertimpa longsor dan seluruh tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi.

“PAPA.....”

Klee yang baru sadar dengan kondisi ayahnya tak bisa lagi berkata apa-apa. Gadis kecil itu mematung, melihat ayahnya yang hanya tinggal kepala dan tubuhnya saja dengan nafas yang terengah-engah.

“Papa kenapa?” ujar Klee pelan. Wajah cerianya sudah tak lagi nampak.

“Klee...” hanya itu yang keluar dari mulut Diluc, ia sudah memejamkan matanya karena tak kuat melihat sinar lampu yang begitu menusuk netranya.

“Ma? Papa kenapa, Ma?” Klee menarik-narik baju ibunya penuh rasa takut.

Air mata Jean kembali menetes. Semasa sekolah, tak pernah ada pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh Jean. Begitu juga saat ia sudah menjadi guru, tak ada satu pun pertanyaan dari siswa yang tak bisa dijawab olehnya. Namun kali ini, untuk kali ini saja, Jean tak bisa menjawab pertanyaan Klee.

“Mama kenapa menangis? Kalau Mama menangis, Klee juga sedih.” kini Klee mulai meneteskan air matanya, tak tega melihat ibunya menangis.

Klee menggoyang-goyangkan tubuh ayahnya, namun tak direspon sama sekali oleh Diluc.

“Papa...”

“Papa... bangun, Pa.”

“Klee gak tahu Papa kenapa, tapi Papa harus sembuh...”

“Klee gak mau Mama sedih...”

“Klee gak mau Papa sakit...”

“Klee mau Papa dan Mama tinggal bersama lagi...”

Diluc tak lagi bersuara. Suara elektrokardiogram sudah datar terdengar. Jean dan Albedo sudah sadar akan hal itu, namun tidak dengan Klee. Gadis itu masih sibuk mengajak ayahnya berbicara, setelah 5 tahun tak bertemu, tentu Klee merindukan ayahnya.

“Klee temenin Papa tidur siang, ya. Klee bawa buku cerita! Klee sudah bisa membaca, Pa! Klee hebat, kan?!”

Tak sadar air mata Albedo pun menetes, hatinya benar-benar sakit melihat Klee yang tidak sadar bahwa ayahnya telah tiada.

Jean memeluk Klee dari belakang sambil menangis. Tak ia biarkan sedikit pun anaknya bisa bergerak. Buku cerita yang Klee pegang terjatuh.

“Ma! Nanti dulu! Klee mau dongengin Papa!” elak Klee namun tak kuat melawan pelukan sang ibu.

Dokter dan suster masuk ke dalam ruangan Diluc.

Waktu kematian, pukul 10.42 WT

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, ikatan yang terjalin selama apa pun pasti putus begitu saja ketika sudah dipisahkan oleh kematian. Cerita yang tertulis tak bisa lagi dihapus, goresan tinta yang bernama takdir sudah menuntaskan cerita milik Diluc Ragnvindr. Dunia baru tak selamanya indah. Dunia baru karena hadirnya sang buah hati, atau dunia baru karena ditinggal mati.

Your pick.

-to be continued

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 5.2 (Dunia Baru)

Aether dan Lumine serta Ajax tiba di depan rumah si kembar secara bersamaan. Ajax yang bukan lagi seorang Harbringers tidak bisa tinggal di rumah milik Signora walaupun jarak rumah Harbringers dan si kembar berdekatan.

“Abang! Sini gue mau ngomong dulu!” Lumine menarik lengan Aether menjauh dari Ajax.

Awalnya memang membingungkan bagi Aether, kenapa Ajax tidak pulang langsung ke rumahnya, ia juga mendapati Ajax sedang memegang koper yang bertuliskan namanya.

“Kenapa si Ajax bawa koper? Lo mau kawin lari?! Gak boleh!” ujar Aether yang nampak kesal sendiri melihat mereka berdua.

GEPLAK!

“Dengerin dulu gue ngomong! Jadi waktu di rumah sakit itu, kakak tertua Ajax datang, terus mereka ribut gitu.” jelas Lumine pada sang abang.

“Terus?” Aether mengernyitkan alisnya, ia masih belum mendapatkan apa yang ia mau.

“Ya, terus gitu deh, gue ajak aja dia tinggal di rumah kita.” balas Lumine pelan, ia pasrah kalau saja Aether tak mengizinkan ada orang asing tinggal di rumah mereka.

“Lo beneran gak diapa-apain, kan? Lo gak pacaran sama dia, kan?” tanya Aether bak seorang detektif. Iya, detektif cinta.

Lumine kembali mengangkat tangannya, Aether langsung mengangguk setuju dengan perkataan Lumine tadi, bahwa Ajax akan tinggal bersama mereka untuk sementara waktu.

“Lo belajar dari mana, sih? Pake aba-aba angkat tangan gitu?” bisik Aether.

Si kembar datang menghampiri Ajax yang hanya bisa terkekeh melihat Aether dan Lumine dari jauh tadi.

“Ae, maafin gue, ya. Untuk beberapa waktu ini, gue gak bisa balik ke rumah, walaupun rumah gue di sono. Anggap aja gue lagi sleepover di rumah kalian.” canda Ajax sambil menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal itu.

“Iya, Bang. Tapi gue ada syaratnya, boleh?” ujar Aether serius.

Lumine menoleh ke arah abangnya, penasaran dengan syarat yang akan disampaikan oleh Aether.

“Oh, ya? Boleh. Gue bakal ikutin semua syaratnya.” jawab Ajax sambil tersenyum.

“Lo gak boleh pacaran sama Lumine, Bang.”

Ajax dan Lumine menganga mendengar syarat dari Aether, namun Ajax lebih cepat mengerti daripada Lumine. Ia paham dengan syarat yang diberikan oleh Aether. Karena jika Ajax di situasi seperti ini, belum tentu ia memperbolehkan orang asing untuk tinggal bersama mereka.

“Gue setuju. Tapi gue boleh tanya sesuatu? Ini agak personal, sih.” Ajax menyilangkan tangannya di dada.

Kini Lumine menoleh ke arah Ajax, ia sudah tak menganga lagi.

“Orang tua kalian? Gimana?”

“Kami tinggal berdua, Bang. Orang tua kami udah gak ada.” jawab Lumine dengan nada yang sedikit kesal karena pertanyaan Ajax.

“Oh, begitu. Baik, Lumine. Kalau begitu...” ujar Ajax, namun ia berhenti sejenak.

Si kembar menunggu kelanjutan dari ucapan Ajax.

“Gue bisa jadi sosok abang untuk kalian.” lanjut Ajax sambil tersenyum.

Mereka bertiga pun masuk ke rumah sambil berbincang-bincang kecil, mungkin tentang pembagian kamar tidur. Sementara itu mobil sedan melaju melewati kediaman si kembar plus Ajax The Ex Harbringers.

**

Sucrose dan Albedo baru saja tiba di rumah baru keluarga Geo. Hanya ada 3 rumah dalam perumahan itu. Benar saja, rumah baru yang kata Ningguang akan sangat nyaman untuk ditempati terlihat sangat megah dari luar. Rumah baru mereka kini memiliki 5 kamar tidur dan 4 kamar mandi yang di bagi dari 2 lantai.

Sucrose dan Albedo turun dari mobil sedan berwarna hijau muda milik Sucrose. Albedo yang juga baru pertama kali melihat rumah barunya sedikit takjub sampai akhirnya suara teriakan Itto terdengar dari dalam karena meneriaki Gorou.

“GUE UDAH BILANG KALAU LAGI PINALTI JANGAN DIPAUSE, BERENGSEK!” teriak Itto dari dalam rumah, apa yang si sulung katakan itu terdengar jelas setiap huruf dan katanya.

“Jangan kaget, ya, Sayang. Memang seperti ini keluargaku, dan kamu juga nantinya.” Albedo meraih tangan Sucrose dan menggandeng perempuan tercintanya.

Sucrose berulang kali menghela nafas, ia benar-benar gugup sebelum masuk ke dalam rumah keluarga Geo.

Gorou berlari keluar dari rumah karena dilempari sepatu yang tersusun di rak sepatu oleh Itto.

“Ampun, Bang! Ampun! Iya! Iya!” seru Gorou sambil menghindari lemparan demi lemparan yang ditujukan padanya.

Gorou melihat Albedo dan sosok perempuan yang belum pernah ia kenal sebelumnya. Ia menghentikan langkahnya, terdiam lalu menyerukan nama Albedo karena abang favoritnya telah pulang.

“Kak Al!” seru Gorou lalu berlari memeluk Albedo.

Albedo memeluk Gorou dengan erat. Ia juga rindu dengan si bungsu, mereka hanya bisa berkomunikasi via telepon atau hanya sekadar chat.

“Hai, Manis.” sapa Itto yang sudah tiba di depan Sucrose entah kapan.

Sucrose hanya terkekeh mendengar sapaan Itto, namun pipinya memerah setelahnya. Ia baru sadar sepersekian detik kemudian.

“Makasih, Al. Lo udah bawain jodoh buat gue.” ujar Itto sumringah.

“Enak aja! Ini calon istri gue, Bang.” sanggah Albedo yang tak terima dengan perkataan Itto.

Lagi-lagi, sebutan calon istri kembali masuk ke dalam telinga Sucrose, membuat khayalannya terbang setinggi-tingginya.

“Lho? Yang udah cukup umur itu gue di sini, Al.” balas Itto tak terima.

“Anak 18 tahun kok udah mau nikah aja.” lanjut Itto kesal.

“Nah! Ini, nih. Akibat gak ketemu 4 tahun, lupa kalau Kak Al bentar lagi lulus kuliah.” sindir Gorou yang langsung sembunyi di balik tubuh Albedo.

“Hah? Lo bukannya lulus SMA, Al?” Itto mengernyitkan alisnya dan berbicara dengan polosnya.

Sucrose tertawa kecil mendengar pembicaraan Albedo dan saudaranya, ia benar-benar merasa ada kehangatan ketika berada di antara mereka.

“Noelle mana?” tanya Albedo.

“Ada, tuh. Di dapur.” balas Itto ketus, ia kembali ke dalam rumah, melanjutkan gamenya yang sempat terhenti karena Gorou bermain curang.

“Kak Al? Ini Kak Sucrose, kan?” bisik Gorou pelan.

Albedo mengangguk, tersenyum lebar setelahnya.

“Gorou, Mamah dan Ayah belum sampai rumah, kan?” tanya Albedo.

Gorou menggeleng, berarti memang kedua orang tua mereka belum tiba di rumah dari Inazuma.

“Ya sudah, kita masuk, yuk. Ada yang ingin Kak Al bicarakan sebelum Mamah dan Ayah datang.”

Mereka bertiga masuk ke dalam rumah, Albedo dan Sucrose justru lebih kagum lagi melihat isi rumahnya yang terlihat mewah sekali. Namun ada yang lebih penting pikir Albedo. Ini tentang dirinya dan Sucrose.

“KAK AL!” seru Noelle, gadis itu berlari dari dapur dan memeluk Albedo dengan penuh semangat.

“Apa kabar kamu, Dek?” tanya Albedo sambil mengusap kepala adik perempuan satu-satunya itu.

“Kami semua baik-baik saja, Kak! Eh, ini pasti Kak Sucrose, kan?”

“Hai, Kak! Namaku Noelle!” sapa Noelle ke Sucrose.

Sucrose hanya tersenyum kaku. Jujur, ia lebih gugup dari sebelumnya setelah masuk ke dalam rumah keluarga Geo. Ia benar-benar minder, karena ia hanya mahasiswa biasa, orang tuanya sudah pisah sejak lama, dan Sucrose memutus hubungannya dengan keluarganya karena tidak tahan menjadi tempat pelampiasan sang ayah ketika mabuk atau sang ibu yang sengaja menyiksanya ketika sedang stress.

“Tolong kumpul dulu sebentar. Ada yang ingin gue sampaikan. Ini tentang gue dan Sucrose.” ajak Albedo sambil duduk di ruang keluarga, sebenarnya kalimat ini ditujukan ke Itto yang masih asik bermain PS, sementara Gorou dan Noelle sudah duduk dari tadi.

Itto ikut duduk dengan saudaranya di ruang keluarga, sebenarnya ia sudah menyadari bahwa ini akan menjadi berita yang besar bagi keluarga Geo. Namun ia sengaja bermain peran sebagai anak sulung yang menyebalkan seperti biasa.

Albedo menjelaskan semua kejadiannya dari awal sampai akhir, dari awal mereka jadian sampai Sucrose yang sedang hamil. Hanya Gorou dan Noelle yang terkejut setelah mendengar tentang kehamilan Sucrose.

“Jadi, gue sengaja ngasih tau ke kalian dulu. Karena pembicaraan ini akan sangat berat untuk Ayah dan Mam—”

“Kami sudah mendengar semuanya, Al.” potong Ningguang sambil berjalan masuk menuju ruang keluarga. Saking besarnya rumah baru mereka ini, sampai tak sadar bahwa orang tua mereka sudah tiba di rumah.

Zhongli berjalan setelah Ningguang. Lelaki itu duduk di antara Gorou dan Noelle, sementara Ningguang langsung memposisikan dirinya di samping Sucrose.

Sucrose yang menyadari bahwa Ningguang duduk di sampingnya langsung menunduk dan membeku. Ia tak bisa berbuat apa-apa.

“Albego.” ceplos Zhongli bercanda.

“ALBEGO!!! HAHAHAHA GUE GANTI KONTAK LO SEKARANG, AL!” seru Itto yang langsung berlari mengambil hapenya di kamar.

“Mas.” Ningguang memotong candaan Zhongli. Pria itu kembali menjadi pria yang serius.

“Maaf!” kini Sucrose yang memotong Zhongli yang ingin berbicara.

Sucrose berdiri dan menunduk memberi hormat kepada Ningguang dan Zhongli.

“Perkenalkan, nama saya Sucrose, Pak, Bu.”

“Iya, Sucrose. Duduk saja, jangan melelahkan diri kamu sendiri.” suruh Ningguang dengan lembut.

“Sucrose, kamu kenapa terlihat seperti sedang ketakutan?” tanya Zhongli heran. Ia bahkan tidak mengamuk, tapi raut wajah kekasih Albedo itu benar-benar tampak ketakutan.

“Saya gugup... saya takut dengan kehamilan saya yang tiba-tiba ini membuat keluarga Albedo jadi membenci saya.” balas Sucrose yang sudah pasrah dengan keadaan.

Ningguang tersenyum, ia merangkul Sucrose yang ternyata sudah bergetar hebat karena ketakutan.

“Kenapa kami harus membenci keluarga baru kami?” ujar Ningguang lembut. Semakin erat rangkulannya pada Sucrose.

“Padahal itu kalimat yang sudah saya persiapkan, Mah.” kata Zhongli cemberut. Pura-pura kesal sebenarnya.

“Kalian sudah berjuang sampai sejauh ini, dengan kamu mempertahankan kandunganmu jelas itu adalah tindakan yang hebat.” lanjut Zhongli.

“Dan, Albedo. Kamu juga laki-laki yang hebat karena mau bertanggung jawab. Ayah lihat tak sedikit pun wajah panik yang kamu tunjukkan.”

Kini Sucrose sudah lebih tenang, pembicaraan keluarga Geo sudah mulai masuk ke telinganya dengan baik. Ia bahkan sudah tak gugup lagi, Ningguang selalu tersenyum kepadanya saat Sucrose menoleh ke arahnya.

“Sucrose, sebelum pernikahan kalian. Kamu tinggal di sini saja, Mamah dengar kamu tinggal sendiri di asrama?” ujar Ningguang lembut sambil tersenyum. Ningguang juga tak bisa menyembunyikan senyumnya sama seperti Albedo.

“Mamah?” gumam Sucrose pelan.

“Iya, mulai sekarang saya adalah mamah kamu. Dan mulai detik ini kamu adalah keluarga kami.”

Ningguang mengecup lembut kepala Sucrose, air matanya tak tertahankan lagi. Begitu juga dengan Sucrose. Ia begitu bahagia sudah disambut dengan hangat oleh keluarga Geo, dan kini Sucrose sudah menjadi bagian dari keluarga Geo.

**

Diluc jalan terseok-seok. Berjalan dalam kegelapan mencari cahaya matahari yang seakan menjauh darinya.

“Klee...” gumam pria itu pelan sebelum tak sadar diri lagi.

You Keep Me Alive

cw, au // chapter 5.1 (Dunia Baru)

“Sucrose!” seru Albedo berlari menghampirinya.

Sucrose melambaikan tangannya ke Albedo, lega, karena lelaki yang sangat ia cintai itu sudah berada di depan matanya.

Albedo langsung memeluk erat tubuh Sucrose, ia sangat senang setelah mengetahui bahwa Sucrose tengah mengandung anaknya. Namun wajah Sucrose masih tampak khawatir, takut dengan keluarga Albedo yang bahkan belum pernah ia temui sama sekali.

“Kamu masih khawatir? Gak perlu takut, Sayang.” ucap Albedo menenangkan.

“Iya... aku udah coba. Mungkin memang butuh waktu, Al.” ujar Sucrose pelan.

“Mamah dan Ayah lagi di Inazuma, kamu mau nyusul mereka atau kita di rumah aja?” tanya Albedo yang tampak masih sangat antusias.

“Ehm... Aku bingung, Al.” jawab Sucrose mengaitkan kedua jari dari dua tangannya, masih gugup dan khawatir.

Albedo memeluk Sucrose lagi, mencium kening wanita yang sedang kalang kabut itu, ia benar-benar paham dengan perasaan Sucrose, tapi Albedo benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya hari ini.

“Romantis banget!” ledek Klee yang ternyata sedikit terlupakan oleh Albedo.

Klee masih bersama Albedo karena Jean masih memiliki urusan di sekolah, sebelum Albedo pulang, Klee lebih sering bersama Barbara sebelum tahun ajaran baru di mulai.

“Oh, ya! Maaf, Klee!”

“Ini calon istri Kak Al, cantik, kan?”

Mendengar sebutan calon istri membuat pipi Sucrose memerah, jantungnya berdetak kencang, ia tak pernah berharap akan hidup seperti ini. Dulu, melihat Albedo dari kejauhan sana sudah merupakan anugrah terindah bagi Sucrose, dan kini ia sudah dipanggil seperti itu oleh Albedo.

“Hai! Kamu Klee, kan? Al cerita banyak tentang kamu!” sapa Sucrose mengalihkan rasa malunya sejenak, ia mengelus lembut kepala bocah itu.

“Ihhh! Hebat!” ujar Klee sambil mengeluarkan jempolnya.

“Hebat kenapa, Klee?” tanya Albedo heran.

“Klee seperti dielus Kak Albedo! Hehe!” jawab Klee antusias, ia langsung terbang ke pelukan Sucrose, mencium aroma tubuh Sucrose, harum dan manis di hidung.

Albedo menatap Sucrose yang sedang bercanda dengan Klee, raut wajahnya tak bisa ia kontrol lagi, senyumnya merekah lebar, Albedo berada di puncak kebahagiaannya sekarang, ia tak peduli dengan respon orang tuanya yang mendukung atau tidak, ia hanya ingin bersama Sucrose, menemani Sucrose, dan menua bersamanya.

Siapa sangka, Albedo yang menyukai Sucrose duluan, saat itu masih masa orientasi siswa, walaupun beda kelompok, Albedo tetap curi-curi pandang ke arah kelompok Sucrose, memandangi perempuan bersurai hijau itu diam-diam. Begitu juga Sucrose, ia mengira bahwa dia lah yang menyukai Albedo duluan, karena kuliah umum dan satu kelompok dengan Albedo, Sucrose jatuh cinta pada pandangan pertama.

“Sayang?” panggil Albedo lembut.

Sucrose menoleh ke arah Albedo, tersenyum setelahnya.

Will you marry me?

Of course, Al.

**

Ningguang berjalan lebih cepat dari Zhongli, wanita itu masih kesal dengan tingkah suaminya yang seperti anak-anak. Bagaimana bisa suaminya berpikir untuk meletakkan bekas kunyahan permen karet di jok mobilnya agar diduduki oleh Ningguang.

“Ning. Tunggu aku.” ujar Zhongli yang baru saja turun dari mobil.

Ningguang tak menoleh, ia sudah dekat dengan panti asuhan Euthymia, milik Shogun dan mendiang Ei.

Zhongli berjalan sedikit cepat juga supaya bisa menyusul Ningguang sebelum istrinya tiba di panti asuhan, seharusnya ia memang tidak mengerjai istri tersayangnya itu. Namun, mau bagaimana lagi? Kadang harus seperti itu agar mendapat perhatian dari istrinya.

Raiden sudah menunggu di depan, menyambut tamu yang sudah sangat lama tidak berkunjung ke panti asuhannya.

“Silakan, Ningguang.” suruh Raiden Shogun kepada Ningguang.

Ningguang masuk ke ruangan pembina panti, disusul oleh Zhongli di belakangnya.

Setelah mereka duduk dan disuguhi oleh teh hangat, Ningguang langsung membuka pembicaraan tanpa membuang waktu lagi.

“Mana Kujou Sara?” tanya Ningguang langsung pada intinya.

“Ada apa dengan Sara?” tanya Raiden balik.

“Saya tidak terima dengan perlakuannya yang menampar anak bungsu saya, Gorou.”

“Ah... lagi-lagi salah kami, ya?” sindir Raiden yang sudah terbiasa dengan sikap Ningguang yang kerap menyimpulkan lebih dulu sebelum mendengar penjelasan.

“Anak saya memang bertengkar dengan siswa lain, tapi apa memang harus ditampar di depan publik oleh anak asuhmu?” Ningguang memukul meja dengan keras. Ia sudah terlampau emosi.

“Ning...” ujar Zhongli menenangkan istrinya.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan, Sara sudah pulang dari sekolahnya.

Sara masuk dan langsung duduk di samping Raiden.

“Ningguang bilang kamu habis menampar Gorou? Apa itu benar?” tanya Raiden dengan suara datarnya.

Sara menunduk, jelas situasi ini tak seperti yang ia bayangkan saat di sekolah. Ia bahkan lupa kalau sudah menampar Gorou di depan publik.

“Be-benar.” jawab Sara sambil menunduk.

Zhongli memotong Ningguang yang sepertinya akan mengumpat.

“Apa tindakan kamu, Raiden?” tanya Zhongli serius.

Ningguang tak bisa menyanggah Zhongli, sekesal apa pun ia pada suaminya, tapi jika suaminya sudah berbicara serius, ia harus menghormati lelakinya.

“Silakan dipilih saja, Anda mau saya melakukan hukuman fisik pada Sara, atau mental?” jelas Raiden pada Zhongli dan Ningguang.

“Saya tidak ingin ada hukuman untuk Sara, tapi bisakah kalian meninggalkan kami berdua di ruangan ini?” suruh Zhongli pada Ningguang dan Raiden.

Ningguang yang sedari awal sudah emosi, sekarang dikerubungi oleh kekhawatiran, belum pernah ia melihat Zhongli seperti ini. Ia bahkan lupa dengan rasa kesalnya pada sang suami, dan bekas permen karet yang masih menempel di bajunya.

“Baik, Mas.” ujar Ningguang.

Ningguang dan Raiden berdiri lalu meninggalkan ruangan pembina panti setelahnya.

Kini tinggal Zhongli dan Sara yang berada di ruangan itu. Suasana hening yang mencekam membuat Sara tidak nyaman, sudah kedua kalinya Sara bertemu dengan Zhongli, tapi dia tak seperti yang Sara kenal. Tatapannya tajam dan aura yang ia pancarkan seakan meremukkan tubuh Sara perlahan.

“Saya tidak akan menghukum kamu. Apalagi meminta Raiden untuk menghukummu.” ujar Zhongli.

“Saya tahu, kamu memiliki prinsip dalam hidupmu. Kalau memang seperti itu cara memimpinmu, saya tidak akan ikut campur.”

Sara mendongak ke arah Zhongli, melihat laki-laki itu duduk dengan tegak namun tatapannya tak bisa dielakkan.

“Tapi kalau Gorou atau murid lain salah, silakan kamu hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku.”

“Baik, Pak.” ujar Sara pelan.

Zhongli tersenyum, berdiri dari kursinya dan keluar dari ruangan.

Sara mengepalkan tangannya sekeras mungkin. Air matanya mengalir deras, ia tak menyangka bisa menangis karena ini.

Raiden masuk ke ruangan pembina dan langsung berlari menghampiri Sara.

“Kamu kenapa, Sara?” tanya Raiden cemas.

“KAAAAAAAKKKKK!” Sara menangis dengan keras, ia melepaskan semuanya, rasa sakit yang selama ini ia pendam, rasa kecewa yang selama ini ia rasa, sampai rasa rindu yang selama ini ia bungkam.

“Apa yang Zhongli lakukan pada kamu?!” tanya Raiden dengan nada sedikit keras.

“Sara capek, Kak!” teriak Sara meronta-ronta, ia hanya ingin didekap, Raiden tahu akan hal itu.

Raiden memeluk Sara dan mengelusnya lembut, menenangkan perempuan yang sudah ia anggap sebagai adik kandungnya sendiri, mereka sudah bersama saat Sara masih bayi saat dititipkan di panti asuhan. Ei lah yang memiliki ikatan yang kuat dengan Sara, namun Raiden adalah sosok guru baginya setelah Itto. Raiden membiarkan Sara menangis sejadi-jadinya, ini kali kedua bagi Raiden mendengarkan Sara menangis seperti ini semenjak kematian Ei 6 tahun yang lalu.

Everything is gonna be okay, Sara.